Tumgik
#silva4d
kurasasaja · 4 days
Text
Silva4d : Tanah di Ujung Galaksi
Tumblr media
Bab 1: Panggilan dari Bintang
Langit malam tak lagi asing bagi Kapten Arka. Sudah sepuluh tahun ia memimpin ekspedisi luar angkasa, mengarungi kegelapan abadi yang dipenuhi bintang-bintang jauh. Namun, perjalanan kali ini berbeda. Ia tidak lagi mengejar planet asing untuk kolonisasi atau menambang mineral langka. Kali ini, ia mencari sesuatu yang bahkan teknologi tercanggih Bumi pun tidak bisa jelaskan: sebuah sinyal.
Sinyal itu muncul dari tepi galaksi, dari wilayah yang belum pernah dijelajahi manusia. Sebuah pesan yang tak diketahui asalnya, tetapi sangat jelas. Seperti panggilan personal, satu kata yang berulang-ulang: "Pulangkan."
Arka duduk di ruang komandonya, memandang laju bintang yang melebur jadi garis-garis cahaya saat The Horizon, kapalnya, melesat dalam kecepatan warp. Pikirannya penuh pertanyaan. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan mengapa terdengar seperti berasal dari rumah, meski berada di ujung galaksi yang tidak terjangkau?
Di belakangnya, pintu otomatis berderak terbuka, dan Letnan Sari masuk dengan wajah serius.
"Kapten, kita akan memasuki wilayah tak dikenal dalam dua jam," lapor Sari sambil menyerahkan peta holografis ruang angkasa. "Belum ada tanda-tanda bahaya, tapi sebaiknya kita siap-siap."
Arka mengangguk. "Siapkan tim penjelajah. Begitu kita tiba, kita akan menyelidiki sumber sinyal."
Bab 2: Planet Misterius
Setelah dua jam dalam mode waspada, mereka tiba di titik yang dituju. Di depan mereka membentang sebuah planet yang sama sekali tidak tercatat di peta. Warnanya biru kehijauan, atmosfernya tampak tenang, dan dari orbit, mereka bisa melihat hamparan daratan luas yang mengingatkan Arka pada Bumi. Tapi ada sesuatu yang aneh. Terlalu tenang. Tidak ada satelit alami, tidak ada kapal asing, tidak ada aktivitas sama sekali—hanya keheningan.
"Kapten, sinyal semakin kuat," kata Sari, menunjuk layar. "Sumbernya ada di permukaan."
Dengan hati-hati, Arka memimpin tim kecil turun ke planet itu. Begitu mereka mendarat, hal pertama yang mereka rasakan adalah gravitasi yang sama seperti di Bumi. Ini hampir tidak mungkin. Mereka sudah terlalu jauh dari tata surya, jauh dari rumah mereka.
"Kau merasakan itu?" tanya Arka, suaranya hampir seperti bisikan. "Ini seperti… Bumi."
Mereka mulai bergerak menyusuri daratan berbatu, meneliti setiap detil. Sampai akhirnya, mereka tiba di sebuah struktur besar di tengah lembah. Bangunan itu tampak seperti monumen tua, dihiasi ukiran yang asing namun terasa familiar.
"Tuan, Anda perlu melihat ini," kata Sari yang sudah mendekati salah satu ukiran. Dengan jari gemetar, ia menunjuk ke arah simbol di dinding batu. Sebuah lambang yang tak mungkin salah dikenali oleh Arka: lambang peradaban manusia.
"Ini mustahil," gumamnya, jantungnya berdetak kencang. "Bagaimana lambang manusia bisa sampai di sini?"
Bab 3: Peninggalan Masa Depan
Di dalam monumen itu, mereka menemukan lebih dari sekedar simbol. Ruang-ruang dalamnya penuh dengan artefak, catatan, dan bahkan teknologi yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya, tetapi semuanya bercampur dengan hal-hal yang sangat dikenal. Ada foto-foto Bumi, peta kuno, bahkan rekaman suara. Tetapi hal yang paling mengejutkan adalah, ketika mereka mencapai pusat monumen, mereka menemukan kapsul kriogenik—masih aktif.
Di dalamnya, seorang pria. Manusia. Dan wajahnya—wajahnya mirip dengan Arka. Hampir seperti melihat ke cermin.
"Ini… aku?" Arka hampir tak bisa berkata-kata.
Kapsul kriogenik itu tiba-tiba menyala, menampilkan hologram pesan. Suara itu—serupa dengan suaranya sendiri—mulai berbicara.
"Jika kau mendengar ini, berarti waktumu telah tiba," kata sosok hologram tersebut. "Aku adalah kau dari masa depan. Aku telah melakukan perjalanan ke ujung galaksi untuk menyelamatkan umat manusia, namun aku terjebak di sini. Sinyal yang kau terima adalah panggilan terakhirku. Kini, kau harus melanjutkan misi ini. Waktu Bumi hampir habis, dan jawabannya ada di sini, di planet ini."
Arka terpaku, pikirannya dipenuhi oleh ribuan pertanyaan yang tak terjawab. Apakah ini nyata? Bagaimana mungkin ia bisa bertemu dirinya sendiri dari masa depan?
"Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Arka pada timnya. "Dan kita harus cepat. Jika ini benar, mungkin Bumi sedang dalam bahaya."
Bab 4: Takdir Sang Penjelajah
Sementara mereka menggali lebih dalam ke misteri planet tersebut, satu hal menjadi jelas: tempat ini bukan hanya planet biasa. Ini adalah persimpangan waktu, di mana berbagai garis masa bertemu. Di sini, Arka dari masa depan terjebak setelah mencoba memperbaiki kesalahan yang belum terjadi di Bumi.
Namun kini, segalanya berada di tangan Arka yang sekarang. Ia harus membuat keputusan besar: kembali ke Bumi dengan informasi ini, atau tinggal di planet ini dan mencari cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri di masa depan.
Saat dia menatap ke langit planet yang misterius, Arka menyadari bahwa takdirnya sebagai penjelajah bukan hanya tentang menemukan dunia baru. Ini tentang menemukan jawaban di luar batas pemahaman manusia. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk seluruh umat manusia.
Dan begitu dia kembali ke kapalnya, ia tahu satu hal: penjelajahannya belum selesai.
Akhir
2 notes · View notes
ceritasingkat88 · 5 days
Text
Silva4d - Rasa di Balik Sedotan
Tumblr media
Setiap sore, di sudut pasar yang mulai sepi, Dimas selalu duduk di belakang gerobaknya yang penuh dengan botol-botol minuman dingin. Es kelapa, es jeruk, es teh, semua tersusun rapi di dalam peti kayu kecil yang sudah mulai mengelupas catnya. Ia bukanlah penjual minuman besar, hanya seorang pria biasa yang hidupnya terbungkus dalam rutinitas sederhana. Namun, bagi Dimas, gerobaknya adalah sumber kehidupan sekaligus tempat dia mengamati dunia.
Dimas sudah bertahun-tahun berjualan di sana. Orang-orang datang dan pergi, kadang tersenyum, kadang tidak berkata apa-apa. Namun, sore itu berbeda. Seorang perempuan muda dengan langkah terburu-buru datang dan langsung memesan segelas es kelapa. Wajahnya penuh keringat, dan napasnya terengah-engah. Dimas menyajikan minuman itu tanpa banyak bicara, tapi matanya tertarik oleh sesuatu dalam tatapan perempuan itu—campuran antara kebingungan dan kesedihan.
“Terima kasih,” katanya singkat, sebelum beranjak pergi dengan cepat.
Dimas hanya mengangguk. Namun, ia tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul dalam dirinya. Ada sesuatu yang mengganjal, meskipun ia tak tahu apa itu. Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa, namun perempuan itu tak pernah kembali. Setiap sore, Dimas memperhatikan setiap wajah yang lewat dengan harapan melihatnya lagi. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada perempuan itu, mengapa dia tampak begitu gelisah waktu itu. Namun, Dimas tahu bahwa hidup di pasar berarti menerima datang dan perginya orang-orang tanpa pertanyaan.
Suatu sore, beberapa minggu kemudian, perempuan itu muncul kembali. Kali ini, ia berjalan perlahan, tatapannya jauh lebih tenang. Dia memesan es kelapa lagi, dan ketika Dimas menyajikannya, ia memberanikan diri untuk berbicara.
“Kamu sering lewat sini, ya?” tanyanya pelan, sambil menyerahkan gelas plastik.
Perempuan itu tersenyum lemah. “Kadang-kadang. Aku bekerja di dekat sini, tapi jarang lewat pasar. Waktu itu... aku sedang buru-buru.”
Dimas mengangguk, meskipun dia tahu ada lebih banyak cerita di balik kalimat itu. "Semoga sekarang lebih baik."
Perempuan itu memandangnya dengan mata yang sedikit bengkak, seolah terkejut oleh kesederhanaan kata-katanya. “Iya... sekarang lebih baik. Terima kasih.”
Ada keheningan yang canggung setelah itu. Dimas merasa ingin tahu lebih banyak, tapi dia bukan tipe orang yang pandai menggali cerita. Dia hanyalah penjual minuman. Namun, perempuan itu tidak pergi segera. Dia berdiri di sana, memainkan sedotan di tangannya, seolah sedang berusaha mencari keberanian untuk mengatakan sesuatu.
“Aku baru saja kehilangan ayahku,” akhirnya perempuan itu berkata. “Waktu itu... aku baru dengar kabarnya ketika aku lewat sini.”
Dimas terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata seperti itu selalu terasa berat, terutama bagi seseorang yang tak tahu caranya menghibur. Dia hanya bisa mengangguk, mencoba menyalurkan rasa simpati lewat senyumnya yang tipis.
“Ayahku juga dulu penjual,” perempuan itu melanjutkan. “Bukan minuman, tapi barang-barang kelontong. Melihatmu di sini... entah kenapa membuatku teringat padanya.”
Dimas merasa tersentuh oleh pengakuan itu. Pasar memang punya cara aneh untuk menghubungkan orang-orang, bahkan yang tak pernah saling mengenal. “Aku minta maaf atas kehilanganmu. Kehilangan seseorang yang kita sayangi memang tidak mudah.”
Perempuan itu mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi kali ini, dia tidak terburu-buru pergi. Dia berdiri di sana cukup lama, menyeruput minumannya pelan-pelan, sementara Dimas melayani beberapa pelanggan lain. Setelah beberapa menit, dia berterima kasih lagi, lebih tulus kali ini, dan pergi dengan langkah yang lebih ringan.
Dimas memperhatikan saat dia menghilang di antara kerumunan pasar yang semakin sepi. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya setelah pertemuan itu. Selama bertahun-tahun, dia selalu menganggap pekerjaannya sebagai sekadar cara untuk hidup, tanpa memikirkan lebih dalam tentang orang-orang yang dia layani. Namun, sore itu membuatnya menyadari bahwa setiap orang yang datang ke gerobaknya membawa cerita, dan mungkin, kadang-kadang, yang mereka butuhkan bukan hanya minuman dingin, tapi juga seseorang yang mau mendengarkan, walau tanpa banyak bicara.
Hari-hari berlalu, dan perempuan itu mulai sering muncul, tidak lagi dalam keadaan terburu-buru, tetapi sekadar untuk duduk dan berbincang. Mereka tidak pernah membahas hal-hal berat lagi, tapi Dimas tahu, dalam percakapan sederhana mereka, ada semacam ikatan yang terbentuk—ikatan antara dua orang yang, meskipun berbeda, sama-sama mengerti bahwa hidup ini penuh dengan kehilangan dan juga harapan.
Dan di sudut pasar yang ramai itu, gerobak penjual minuman Dimas kini tidak hanya menawarkan kesegaran, tapi juga ruang kecil di mana cerita-cerita manusia bertemu, berbagi, dan mungkin, sembuh.
2 notes · View notes
silva4dbuktijp · 2 months
Text
Kecelakaan Fatal di Jalan Magetan-Maospati: Dua Pengendara Motor Tewas
Tumblr media
Kecelakaan Maut di Jalan Magetan-Maospati: Dua Pengendara Motor Tewas
Game Online terbaik Silva4d – Pada Selasa, 23 Juli 2024, terjadi kecelakaan lalu lintas fatal di Jalan Raya Magetan–Maospati, tepatnya di Desa Sugihwaras, Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Insiden tragis ini melibatkan dua sepeda motor dan mengakibatkan dua orang pengendara meninggal dunia.
Menurut rekaman CCTV yang beredar di media sosial, kecelakaan bermula ketika sebuah sepeda motor Honda Supra X dengan nomor polisi AE 3918 BE melaju dengan kecepatan tinggi dari arah barat menuju Maospati. Pada saat yang sama, sebuah motor Honda Kharisma dengan nomor polisi AE 3136 PL mencoba menyeberang jalan dari arah berlawanan. Pengendara Honda Supra X tidak dapat menghindari motor yang menyeberang tersebut, sehingga tabrakan pun terjadi.
Keduanya langsung terpental akibat benturan keras dan tidak bergerak. Warga yang menyaksikan kejadian tersebut segera mendatangi lokasi untuk memberikan bantuan kepada para korban. Meskipun upaya pertolongan dilakukan, kedua pengendara tersebut dinyatakan meninggal dunia di tempat kejadian.
Korban yang tewas dalam kecelakaan ini adalah Parjo, seorang pria berusia 66 tahun dari Desa Sugihwaras, dan Mujiono, 48 tahun, dari Kota Madiun, yang mengendarai Honda Supra X. Kedua motor mengalami kerusakan parah di bagian depan akibat benturan yang sangat keras.
Apong, seorang saksi mata, mengungkapkan bahwa Mujiono sempat membunyikan klakson dari jarak jauh sebelum tabrakan terjadi. Namun, Parjo tetap melintas di jalan tersebut, yang menyebabkan tabrakan hebat. "Saya melihat kejadian itu dengan cepat dan keras. Kedua korban terlempar jauh. Salah satunya adalah warga lokal," jelas Apong.
Setelah menerima laporan kecelakaan, Kanit Gakkum Satlantas Polres Magetan, Ipda Agnes Triananta, mengatakan bahwa pihaknya segera melakukan olah TKP di lokasi kejadian. Mereka juga memeriksa sejumlah saksi dan rekaman CCTV untuk mengidentifikasi penyebab pasti kecelakaan. "Korban saat ini berada di Rumah Sakit dr Sayidiman dan keduanya dinyatakan meninggal dunia," kata Ipda Agnes.
Kedua kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan telah diamankan di Unit Gakkum Satlantas Polres Magetan untuk keperluan penyidikan lebih lanjut. Kasus kecelakaan maut ini masih dalam penanganan pihak kepolisian.
Pihak kepolisian terus menyelidiki kasus ini untuk memastikan penyebab pasti dari kecelakaan tersebut dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah insiden serupa di masa depan. Masyarakat diimbau untuk lebih berhati-hati saat berkendara dan mematuhi peraturan lalu lintas guna mengurangi risiko kecelakaan di jalan raya.
0 notes
studiotogel · 5 years
Photo
Tumblr media
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖ ✨✨✨✨✨✨  SILVA4D  ✨✨✨✨✨✨ ➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖ BONUS DEPOSIT MEMBER BARU 5% ( max 100.000 )
DAFTAR & LOMBA : https://bit.ly/2MU33cm
⇨ Deposit : Rp 20.000,- ⇨ Tarik Dana : Rp 50.000,- ⇨ Support Bank : BCA, BRI, BNI, Mandiri,
Pasaran : 🔘 MIAMI 🔘 HK 🔘 BEIJING 🔘 SINGAPORE 🔘 MALAYSIA 🔘 ALMADA 🔘 QATAR 🔘 ESPANA
1 note · View note
ceritasingkat88 · 2 days
Text
Silva4d - "Butiran Ketan, Butiran Harapan"
Tumblr media
Silva4d - Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang pemuda bernama Banyu. Banyu bukanlah anak yang lahir dari keluarga berada. Ayahnya seorang petani sederhana, sementara ibunya sudah lama meninggal dunia. Namun, ada satu hal yang diwariskan ibunya yang paling berharga, yaitu resep ketan hitam legendaris yang dikenal dengan nama Ketan Harapan.
Menurut cerita yang diturunkan oleh ibunya, Ketan Harapan bukan sekadar ketan biasa. Ketan itu dipercaya memiliki kekuatan magis yang bisa mengabulkan keinginan siapa pun yang berhasil membuatnya dengan hati tulus. Ibunya pernah berkata, “Jika kamu membuat ketan ini dengan harapan yang murni, alam semesta akan mendengar.” Namun, Banyu tidak pernah percaya sepenuhnya. Baginya, ini hanya dongeng yang dibuat-buat agar semangat hidup tetap terjaga di tengah kesulitan.
Suatu hari, bencana melanda desa mereka. Tanah longsor menghancurkan sebagian besar sawah warga, termasuk sawah milik ayah Banyu. Harapan panen musnah, dan tak ada yang bisa dilakukan kecuali pasrah. Saat itulah ayahnya jatuh sakit karena tekanan mental. Semua penduduk desa kebingungan, dan hidup terasa semakin berat. Banyu, yang biasanya tegar, kini terperangkap dalam keputusasaan.
Sambil memandangi sisa-sisa ketan hitam yang disimpan di lumbung kecilnya, Banyu teringat ucapan ibunya tentang Ketan Harapan. Meski hatinya penuh keraguan, ia memutuskan untuk mencoba membuatnya. Di tengah malam yang sunyi, dengan gemerisik daun bambu yang ditiup angin, Banyu mulai menanak ketan. Dalam prosesnya, ia mencurahkan semua harapan dan doa-doanya—untuk kesehatan ayahnya, untuk desanya yang kembali makmur, dan untuk masa depan yang lebih baik.
Setelah ketan itu matang, Banyu menyajikannya di depan rumah ayahnya. Beberapa tetangga yang melihatnya berkumpul, penasaran dengan aroma wangi ketan yang menggoda. Mereka bertanya-tanya, “Apa yang sedang kamu buat, Banyu?”
Banyu hanya tersenyum, mengundang mereka untuk mencicipinya. Tak ada janji mukjizat, tak ada kata-kata besar. Namun, setelah mereka menyantap ketan itu, sesuatu yang ajaib terjadi. Ayahnya yang lemah tiba-tiba terbatuk pelan dan matanya terbuka. “Banyu?” panggilnya lemah, tapi jelas. Orang-orang di sekeliling Banyu terperangah, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Desa itu perlahan-lahan berubah. Bukan karena ketan itu memiliki kekuatan magis yang langsung mengubah segalanya, tapi karena ketan tersebut membawa harapan dan semangat baru bagi penduduknya. Mereka mulai bekerja bersama, membangun kembali sawah yang rusak, saling membantu satu sama lain. Setiap orang yang mencicipi ketan buatan Banyu merasa seperti ada secercah harapan di tengah kegelapan.
Lama kelamaan, Ketan Harapan Banyu menjadi simbol kekuatan tekad dan kerja keras di desanya. Tidak ada lagi yang berbicara tentang kekuatan magis, tetapi mereka menyadari bahwa kekuatan sesungguhnya berasal dari dalam diri mereka sendiri—dari keberanian untuk berharap dan tidak menyerah pada keadaan.
Ketan hitam itu, walau hanya butiran kecil yang lembut, telah menyatukan seluruh desa. Dan bagi Banyu, dia mengerti sekarang bahwa harapan bukanlah sesuatu yang ajaib, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Butiran ketan yang ia masak dengan penuh harapan telah mengubah segalanya, karena di dalamnya tersimpan doa dan cinta yang tulus.
0 notes
ceritasingkat88 · 4 days
Text
Silva4d : Di Bawah Langit Medan
Tumblr media
Silva4d Novel Singkat Bab 1: Kembali ke Tanah Lama
Langit di atas Medan selalu punya cerita, entah itu tentang awan kelabu yang menumpuk, atau gerimis lembut yang seakan tak henti-hentinya menyapa bumi. Siang itu, hujan turun dengan ringan, menciptakan harmoni bersama suara bising kota. Jalanan sibuk penuh dengan motor yang mendominasi aspal, klakson berteriak tanpa henti, dan para pejalan kaki bergegas dengan langkah tergesa, menyingkir dari hujan yang tak terduga.
Hannah berdiri di sudut Lapangan Merdeka, memandang rerimbunan pohon trembesi tua yang melengkung seperti tangan-tangan raksasa. Ini adalah pertama kalinya ia kembali ke Medan setelah hampir sepuluh tahun meninggalkan kota kelahirannya. Hatinya bergemuruh, seperti deru mesin becak motor yang terus-menerus lewat di depannya.
Ia menarik napas panjang, meresapi aroma khas tanah basah bercampur dengan wangi kopi dari warung di seberang jalan. Warung kecil dengan papan nama usang bertuliskan "Kedai Kopi Kok Tong" itu membangkitkan kenangan masa kecilnya. Dulu, ia sering datang bersama ayahnya, menikmati secangkir kopi susu sembari mendengar cerita-cerita lama tentang Medan yang dulu, tentang sungai Deli yang pernah jernih, tentang kereta api yang dahulu berderak lambat membawa penumpang dari pinggir kota.
Hannah tahu, Medan tak lagi sama seperti yang ia tinggalkan dulu. Perubahan terasa di setiap sudut kota, di gedung-gedung yang menjulang lebih tinggi, di mal-mal besar yang menggantikan toko-toko tua, bahkan di wajah-wajah yang berjalan melewatinya. Namun, ada satu hal yang tetap sama: energi kota yang tak pernah mati.
Ia memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri Jalan Kesawan. Di sepanjang jalan, bangunan tua peninggalan Belanda masih berdiri kokoh meski didera waktu. Rumah Tjong A Fie yang legendaris terlihat sunyi, hanya beberapa turis lokal yang tampak berfoto di halaman depannya. Hannah pernah mendengar cerita tentang Tjong A Fie, seorang saudagar Tionghoa yang membangun pengaruh besar di Medan. “Seorang penguasa tanpa mahkota,” begitu ayahnya sering berkata. Kisahnya terukir di ingatan Hannah, menggambarkan Medan sebagai kota persinggahan yang selalu ramah bagi siapapun yang datang dengan harapan dan kerja keras.
Tiba-tiba, ingatan masa lalunya tentang Medan mengalir deras. Dulu, ia sering bersepeda di sekitar Jalan Ahmad Yani, menghindari mobil-mobil tua dan becak. Sepeda itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ke-sepuluh dari ibunya, tepat sebelum ibunya jatuh sakit dan pergi untuk selamanya. Kenangan itu menggoreskan sedikit rasa perih di hatinya, namun ada juga kehangatan di sana, kehangatan dari cinta seorang ibu yang tak pernah padam.
“Medan adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur,” pikirnya. Bahkan di malam hari, kehidupan tetap berdenyut di setiap sudut kota. Pasar malam, warung kopi yang masih buka hingga dini hari, dan anak-anak muda yang nongkrong di pinggir jalan. Di sinilah, Medan menemukan jiwanya—di tengah-tengah kekacauan yang teratur, di antara suara-suara bising yang anehnya menenangkan.
Saat melangkah lebih jauh, Hannah melihat sebuah plang dengan nama yang tidak asing: "Marga Harahap". Nama keluarganya. Sebuah firma hukum kecil berdiri di sana, dengan pintu kayu berukir yang membuatnya berhenti sejenak. Di situlah ayahnya bekerja bertahun-tahun lamanya, membangun reputasi sebagai salah satu pengacara terhormat di kota ini. Hannah merasa perutnya bergejolak—sebuah perasaan campur aduk antara rindu dan rasa bersalah. Ia tidak pernah sempat mengucapkan selamat tinggal dengan benar sebelum pergi.
Di Medan, segala sesuatu terasa dekat, namun sekaligus jauh. Kota ini punya caranya sendiri untuk membuat seseorang merasa terhubung dan terasing dalam waktu yang sama. Ketika Hannah melanjutkan perjalanannya, ia menyadari satu hal: meski ia pernah melarikan diri dari Medan, kota ini tidak pernah meninggalkannya.
Ia tahu, perjalanannya baru saja dimulai. Ada banyak yang harus ia temukan lagi—bukan hanya tentang kota ini, tetapi juga tentang dirinya yang telah berubah. Medan, dengan segala keunikan dan kontradiksinya, akan selalu menjadi bagian dari hidupnya. Dan sekarang, ia siap untuk menghadapinya.
0 notes
kurasasaja · 5 days
Text
Silva4d - Di Bawah Lampu Jalan
Tumblr media
Malam itu seperti malam-malam biasanya di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan yang redup memantulkan bayangan samar dari para pejalan kaki dan kendaraan yang lalu-lalang. Di antara keramaian itu, berdirilah sebuah warung tenda sederhana dengan papan kayu bertuliskan “Pecel Lele Bu Yati” yang sudah pudar catnya. Bau harum dari minyak goreng panas dan sambal terasi menyebar, mengundang orang-orang yang kelaparan setelah seharian bekerja.
Bu Yati, pemilik warung, adalah sosok yang selalu tersenyum, meski usianya sudah lebih dari setengah abad. Setiap malam, ia mempersiapkan pecel lele dengan tangan yang gesit, tapi hati yang penuh ketenangan. Bagi banyak orang, pecel lelenya bukan sekadar makanan; itu adalah penghiburan setelah hari-hari yang panjang dan melelahkan.
Namun, di balik senyum ramahnya, Bu Yati menyimpan banyak cerita. Usaha pecel lele ini ia jalankan sendiri setelah suaminya, Pak Rahmat, meninggal lima tahun yang lalu. Warung ini dulu mereka kelola bersama, berbagi canda tawa sembari melayani pelanggan yang datang. Kini, semua kenangan itu terasa hanya bayangan, tetapi warung tenda kecil itu menjadi tempatnya bertahan hidup.
Malam itu, saat jarum jam mendekati pukul sembilan, warung mulai dipadati pelanggan. Seorang pria muda dengan wajah letih datang dan memesan seperti biasanya, “Satu pecel lele, Bu, sambal pedasnya jangan lupa.”
Pria itu bernama Adi. Ia pelanggan setia yang hampir setiap malam mampir ke warung Bu Yati. Sebagai pekerja bangunan, Adi selalu kelelahan setelah bekerja di proyek yang tak kenal istirahat, tapi pecel lele Bu Yati adalah satu-satunya hal yang ia nantikan tiap malam.
“Kamu capek banget, Di?” tanya Bu Yati sambil meletakkan lele ke atas wajan panas.
Adi mengangguk pelan, menyesap teh manis hangat yang disajikan di mejanya. “Iya, Bu. Banyak kerjaan. Kadang kepikiran buat cari kerjaan lain, tapi bingung mulai dari mana.”
Bu Yati tersenyum tipis. “Yang penting kamu terus maju. Setiap orang punya jalannya masing-masing. Kadang jalan kita terasa berat, tapi kalau terus dijalani, pasti ada ujungnya.”
Adi hanya tersenyum. Ia seringkali heran dengan ketenangan Bu Yati yang tak pernah goyah, meski hidup tak selalu mudah. Di balik meja gerobaknya, perempuan tua itu tampak seperti benteng yang tak terkalahkan, tak peduli berapa badai yang sudah menghampiri hidupnya.
Tiba-tiba, suara seorang anak kecil terdengar dari sudut warung. Seorang bocah laki-laki, berusia sekitar delapan tahun, berlari kecil ke arah Bu Yati. “Nenek, aku bantuin ya!” serunya sambil tersenyum ceria.
Itu adalah Bagas, cucu Bu Yati. Sejak orang tua Bagas pindah ke luar kota untuk bekerja, bocah itu tinggal bersama neneknya. Bagas sering membantu Bu Yati di warung sepulang sekolah, meskipun bantuannya seringkali lebih banyak menambah keceriaan daripada benar-benar membantu.
Bu Yati menyambutnya dengan senyum hangat. “Ayo, sini bantu nenek ambilkan piring untuk pelanggan.”
Adi memandang bocah itu dengan tatapan yang lembut. "Bagas makin pintar, Bu. Dia pasti jadi kebanggaan Nenek."
Bu Yati tertawa kecil. “Iya, dia yang bikin nenek semangat.”
Malam itu, warung Bu Yati tetap ramai hingga lewat tengah malam. Setiap pelanggan yang datang membawa cerita masing-masing, dan warung tenda itu seolah menjadi tempat perhentian sejenak dari kesibukan hidup mereka. Sambil memasak, Bu Yati sering mendengar percakapan mereka, tawa, dan kadang keluhan tentang hidup. Meskipun sederhana, warung itu adalah tempat di mana banyak jiwa yang lelah datang untuk menemukan sedikit kedamaian.
Saat Adi selesai makan dan hendak pergi, ia memberikan uang pembayaran kepada Bu Yati. “Bu, terima kasih banyak ya. Pecel lelenya seperti biasa, juara.”
Bu Yati tersenyum. “Terima kasih, Adi. Kamu hati-hati di jalan, ya.”
Adi mengangguk, tapi sebelum pergi, ia berhenti sejenak dan berkata, “Bu Yati, warung ini selalu bikin saya merasa tenang. Mungkin karena sambalnya, mungkin juga karena senyuman Ibu.”
Bu Yati tertawa kecil, tapi tatapannya mengandung rasa syukur. “Itu yang namanya kasih sayang, Di. Kasih sayang bisa lewat banyak hal, termasuk lewat makanan.”
Adi tersenyum, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar nasi dan lele yang ia santap malam ini. Ada kehangatan yang tak bisa ia temukan di tempat lain.
Malam semakin larut, dan setelah pelanggan terakhir pulang, Bu Yati mulai membereskan gerobak dengan bantuan Bagas. Bocah itu sudah mulai mengantuk, tetapi ia tetap semangat membantu neneknya. Saat semua selesai, mereka berdua berjalan pulang bersama, di bawah lampu jalan yang temaram.
Warung tenda sederhana itu mungkin akan kembali ramai esok malam. Pecel lele akan kembali digoreng, sambal terasi akan dibuat pedas sesuai permintaan. Dan di balik semua itu, Bu Yati akan tetap tersenyum, melayani pelanggan dengan cinta dan ketulusan, karena itulah yang membuat hidup terus berjalan.
1 note · View note
kurasasaja · 9 days
Text
Silva4d - Singa di Bawah Cahaya Bulan
Tumblr media
Silva4d - Di sebuah savana yang luas dan megah, hiduplah seekor raja yang gagah berani, bernama Raja Azmar, seekor singa jantan dengan surai emas berkilauan. Dia bukan hanya pemimpin para singa, tetapi juga seluruh penghuni hutan. Setiap makhluk, mulai dari burung elang yang terbang di angkasa hingga serangga kecil yang merayap di tanah, menghormati dan takut padanya. Azmar terkenal karena keberaniannya, kebijaksanaannya, dan keadilan yang ia tegakkan.
Namun, di balik kegagahan dan kekuatan yang dimilikinya, Azmar menyimpan kegelisahan. Setiap malam, ketika bulan purnama menggantung di langit, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Sebagai raja, ia telah mencapai segala sesuatu yang bisa diimpikan oleh seekor singa: tanah yang luas, para pengikut yang setia, dan kekuasaan tanpa batas. Namun, hatinya tetap kosong.
Suatu malam, saat langit diwarnai perak oleh cahaya bulan, Azmar berjalan seorang diri ke Bukit Batu, tempat ia sering merenung. Ia menatap jauh ke cakrawala, bertanya-tanya apa yang telah mengganggu pikirannya. Di tengah keheningan, ia mendengar suara lembut namun penuh wibawa.
“Kau tampak gelisah, wahai Raja Singa.”
Azmar berbalik dan mendapati seekor singa betina dengan surai perak yang aneh, matanya bersinar seperti bintang-bintang. Dia belum pernah melihat singa seperti ini sebelumnya. Singa betina itu tampak seperti bagian dari cahaya bulan itu sendiri, misterius namun menenangkan.
“Siapa kau?” tanya Azmar dengan suara rendah, matanya tetap waspada.
“Saya adalah Liora, pelindung malam dan pembawa pesan dari arwah leluhur,” jawab singa betina itu sambil berjalan mendekat. "Saya di sini karena hatimu terbelenggu oleh kebingungan."
Azmar menunduk, merasa bahwa kata-kata Liora benar. "Aku memiliki segalanya, namun setiap malam hati ini terasa hampa. Apa yang kurang dariku?"
Liora tersenyum lembut. "Segala kekuasaan, kekuatan, dan penghormatan tidak bisa mengisi kekosongan dalam jiwa. Kau lupa satu hal yang paling penting bagi seorang pemimpin: warisanmu."
Azmar terdiam, mencoba memahami maksudnya. "Warisan?"
"Warisan bukan hanya tentang apa yang kau bangun saat ini, tetapi tentang apa yang akan kau tinggalkan bagi mereka yang datang setelahmu. Pemimpin yang sejati tidak hanya memimpin dengan kekuatan, tetapi juga dengan cinta dan kebijaksanaan. Kau harus menemukan apa yang benar-benar berharga, bukan hanya bagi dirimu, tetapi bagi mereka yang kau lindungi."
Kata-kata itu menggema dalam pikiran Azmar. Ia selalu berpikir bahwa memimpin dengan kekuatan sudah cukup, namun ternyata ada sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang melibatkan masa depan, bukan hanya masa kini.
“Maka apa yang harus aku lakukan?” tanya Azmar, suaranya lirih namun penuh keinginan untuk berubah.
“Kau harus mencari penerus, seseorang yang akan kau ajarkan segala hal yang telah kau pelajari. Bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga kebijaksanaan dan kasih sayang. Hanya dengan begitu, kau akan menemukan kedamaian dalam hatimu.”
Azmar menyadari bahwa selama ini ia memimpin tanpa mempersiapkan siapa pun untuk menggantikannya. Tanpa seorang penerus yang bijak, kerajaan yang ia bangun bisa runtuh ketika ia tiada. Ia memandang Liora dengan penuh rasa terima kasih.
“Aku mengerti. Aku akan memulai pencarian penerus, dan mengajarinya apa arti sebenarnya dari kepemimpinan.”
Liora tersenyum, lalu tubuhnya perlahan mulai menyatu dengan cahaya bulan. “Ingatlah, Azmar, seorang pemimpin tidak diukur dari berapa lama ia berkuasa, tetapi dari apa yang ia tinggalkan bagi generasi berikutnya.”
Ketika Liora menghilang sepenuhnya, Azmar merasa hatinya lebih ringan. Ia memandang ke arah hutan yang luas di bawahnya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat masa depan dengan harapan.
0 notes
ceritasingkat88 · 9 days
Text
Silva4d novel - Punggung Bumi
Tumblr media
Silva4d - Di suatu masa, di tepi alam semesta yang sunyi, hiduplah seekor kura-kura bernama Tera. Bukan kura-kura biasa, Tera memiliki punggung yang tak seperti milik kura-kura lain. Punggungnya luas, besar, dan penuh rahasia. Di atas punggung itu, terbentang sebuah dunia. Gunung-gunung menjulang, hutan rimba yang tak terjamah, sungai-sungai mengalir deras, dan lautan yang luas. Punggung Tera adalah tempat di mana kehidupan berdenyut—tempat ribuan makhluk kecil tinggal dan tumbuh, tanpa menyadari bahwa dunia mereka terletak di atas punggung seekor kura.
Tera telah ada selama jutaan tahun, dan ia terus berjalan tanpa henti. Tidak ada yang tahu kapan ia mulai bergerak, atau kemana tujuannya. Tapi setiap langkahnya adalah perubahan. Pegunungan yang terbentuk dari erupsi gunung berapi di punggungnya perlahan bergeser, hutan-hutan beranjak, dan lautannya mengalir mengikuti alunan tubuh Tera. Namun, Tera tak pernah menyadari makhluk-makhluk kecil yang mendiami punggungnya. Ia hanya tahu, bahwa selama ia bergerak, dunia di atasnya akan terus hidup.
Suatu hari, Tera mendengar suara halus, lebih kecil dari desir angin. “Tolong…” suara itu begitu lirih, nyaris tak terdengar.
Tera berhenti sejenak, sesuatu yang jarang ia lakukan, dan mencoba merasakan keberadaan suara itu. Ia menundukkan kepalanya, memperhatikan punggungnya. Di sebuah tempat kecil di ujung punggungnya, ada sebuah kota, dan di kota itu, seorang gadis kecil menengadah ke langit. “Tolong,” ucap gadis itu lagi. Matanya basah oleh air mata, dan di sekelilingnya, kota tampak hancur oleh gempa yang baru saja terjadi.
Tera tertegun. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang tak terhitung, ia menyadari bahwa ada makhluk hidup di atas punggungnya. Makhluk-makhluk yang rapuh dan tak berdaya, bergantung pada setiap gerakannya. Gempa yang dirasakan gadis itu, tentu saja, hanyalah sebuah langkah kecil bagi Tera. Namun bagi makhluk-makhluk kecil di punggungnya, setiap langkahnya bisa menjadi bencana.
Gelisah, Tera berpikir. Apakah ia telah menjadi ancaman bagi mereka? Bagaimana ia bisa terus berjalan, ketika tahu bahwa setiap langkahnya menimbulkan kehancuran bagi dunia di atas punggungnya?
Namun, Tera juga tahu bahwa ia tidak bisa berhenti. Bumi di punggungnya bergantung pada gerakannya. Jika ia diam, dunia di atasnya akan kehilangan keseimbangan—gunung-gunung akan runtuh, laut akan mengering, dan kehidupan akan sirna. Tera harus melangkah hati-hati, dengan penuh kesadaran akan mereka yang tinggal di atasnya.
Malam itu, di bawah sinar bulan yang pucat, Tera berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan bergerak, tapi dengan lebih lembut, lebih penuh perhatian. Ia akan belajar mendengarkan suara-suara kecil yang ada di punggungnya, menghindari langkah-langkah yang bisa menghancurkan mereka. Ia akan menjadi pelindung, bukan penghancur. Sebab, meski tanpa disadarinya, Tera adalah fondasi dunia mereka—tulang punggung dari kehidupan itu sendiri.
Tahun-tahun berlalu, dan dunia di atas punggung Tera berkembang. Makhluk-makhluk kecil itu mulai menyadari bahwa gempa dan badai tak lagi sering menghantam. Mereka mulai memuja punggung yang mereka tinggali, menyebutnya sebagai "Bumi", tempat segala kehidupan bermula dan berakhir. Mereka menciptakan legenda tentang sang kura yang membawa dunia di punggungnya, tak tahu bahwa legenda itu nyata. Tera terus berjalan, melintasi ruang dan waktu, membawa dunia yang selalu bergerak bersamanya.
Dan di antara semua mitos yang diciptakan, hanya Tera yang tahu kebenarannya. Punggungnya adalah Bumi, dan meski ia harus terus berjalan, ia akan selalu menjaga mereka yang hidup di atasnya, sehalus dan sebijaksana mungkin.
Sebab, dalam setiap langkahnya, dunia di atasnya akan terus tumbuh dan berkembang—mencari keseimbangan di punggung seekor kura-kura abadi.
0 notes
kurasasaja · 10 days
Text
Silva4d Novel singkat - Metamorfosis Sang Ular
Tumblr media
Silva4d - Di sebuah hutan lebat yang terletak jauh di atas pegunungan, hiduplah seekor ular kecil bernama Kalura. Tubuhnya berwarna hijau tua, menyatu dengan dedaunan dan tanah, membuatnya hampir tidak terlihat. Meskipun ia hanyalah ular biasa, dalam dirinya tersimpan mimpi yang besar—mimpi yang tak pernah ia ucapkan pada siapapun. Kalura ingin menjadi seekor naga, makhluk yang sering ia dengar dari cerita-cerita tua yang dibisikkan oleh angin malam di antara pepohonan raksasa.
Setiap hari, Kalura menyaksikan elang terbang tinggi, memandang kagum pada kebebasan mereka yang dapat mengangkasa. Ia pun melihat rusa-rusa berlari cepat dengan lincah, dan ia merasa kecil serta tak berdaya di antara makhluk-makhluk besar itu. Meski ia mampu bergerak dengan tenang dan lihai, ular tak pernah dipandang mulia. Namun di dalam lubuk hatinya, ia percaya bahwa dirinya ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang luar biasa.
Pada suatu malam yang gelap gulita, ketika bulan tersembunyi di balik awan dan hutan sunyi tanpa suara, Kalura merayap keluar dari sarangnya. Ia mengikuti suara gemerisik angin yang mengarahkannya menuju sebuah gua tua, yang katanya dihuni oleh makhluk kuno, seorang bijak misterius yang memiliki kemampuan mengubah takdir.
Di dalam gua itu, Kalura bertemu dengan seekor naga tua, bernama Zaldor. Tubuh Zaldor begitu besar, sisiknya berkilauan seperti zamrud di tengah kegelapan. Mata naga tua itu menatap Kalura dengan penuh kebijaksanaan, seakan-akan telah mengetahui niatnya bahkan sebelum ia sempat berbicara.
"Aku tahu apa yang kau cari, ular kecil," kata Zaldor, suaranya dalam dan bergema di dinding gua.
Kalura menggigil, namun ia tetap memberanikan diri untuk berbicara. "Aku ingin menjadi seekor naga sepertimu. Aku ingin terbang dan membakar dunia dengan kekuatanku."
Zaldor tertawa pelan, namun bukan dengan nada mengejek. "Keinginan yang besar untuk makhluk kecil sepertimu. Tapi ketahuilah, kekuatan naga bukan sekadar sayap dan api. Itu adalah tanggung jawab yang jauh lebih besar dari sekadar tubuh yang kuat. Apakah kau siap membayar harganya?"
Tanpa ragu, Kalura mengangguk. "Aku siap."
Naga tua itu mengulurkan cakar besarnya dan memberikan setetes darah dari ujung cakar tajamnya kepada Kalura. "Minumlah ini. Tapi ingat, metamorfosis bukan hanya mengubah tubuhmu, tapi juga jiwamu. Jika niatmu tak murni, kau akan hancur."
Kalura menelan darah itu tanpa berpikir panjang. Seketika, tubuhnya terbakar dari dalam. Ia menggeliat kesakitan, sisik-sisiknya mulai berkilauan, berubah warna menjadi biru keemasan. Sayap kecil mulai tumbuh dari punggungnya, dan cakar muncul di ujung tubuh yang dulunya hanya licin. Selama berjam-jam, rasa sakit itu tak tertahankan, namun Kalura menahannya dengan tekad baja.
Saat fajar mulai muncul di ujung langit, rasa sakit itu perlahan mereda. Kalura kini telah berubah. Ia tak lagi ular kecil yang merayap di tanah, melainkan seekor naga muda yang bersinar di bawah sinar matahari pagi. Sayapnya membentang lebar, dan kekuatan baru mengalir dalam setiap nadinya.
Namun, perubahan itu bukan sekadar fisik. Kalura merasakan perubahan di dalam hatinya. Mimpi-mimpi tentang kekuasaan dan kekuatan tak lagi memenuhi pikirannya. Sebaliknya, ia merasakan keinginan untuk menjaga, melindungi, dan membimbing makhluk-makhluk yang lebih kecil darinya, sebagaimana Zaldor menjaga hutan selama berabad-abad.
“Sekarang, kau adalah naga,” kata Zaldor, tersenyum tipis. “Bukan karena sayapmu, tapi karena hatimu yang baru. Ingatlah, kekuatan terbesar seekor naga bukanlah apinya, melainkan hatinya yang mampu mengendalikan kekuatan itu.”
Kalura terbang tinggi, melewati pepohonan dan puncak gunung, merasakan angin bebas yang dulu hanya ia impikan. Namun kini, ia terbang bukan untuk menunjukkan kekuatan, melainkan untuk menjadi penjaga hutan. Hutan yang dulu terasa begitu besar baginya kini berada di bawah sayapnya, dan ia siap untuk menjalani takdir barunya—bukan sebagai ular kecil, tapi sebagai sang naga pelindung.
Tamat
0 notes
ceritasingkat88 · 10 days
Text
Silva4d - Kebangkitan Dewa Naga Hitam | Scatter Hitam.
Tumblr media
Silva4d - Di sebuah dunia yang terlupakan oleh waktu, di antara gunung-gunung tinggi dan danau-danau yang tersembunyi, ada sebuah legenda yang hanya dikenal oleh para tetua suku kuno. Legenda tentang Nagaraja, Dewa Naga yang menjaga keseimbangan alam. Ribuan tahun yang lalu, Nagaraja mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran, lalu tertidur di kedalaman gua purba, menunggu saatnya untuk terbangun kembali.
Waktu terus berjalan, dan dunia mulai melupakan legenda itu. Manusia semakin terikat dengan kekuatan dan kemajuan teknologi, lupa bahwa alam memiliki penguasa yang jauh lebih tua dari mereka.
Namun, pada suatu hari, sebuah tanda muncul. Gunung tempat Nagaraja bersemayam mulai bergetar, dan langit di atasnya menghitam, seolah mengundang badai. Air di danau-danau yang tenang mendadak menjadi liar, memuntahkan pusaran air besar yang tak terhentikan. Manusia mulai merasa ketakutan, tapi tak seorang pun tahu apa yang sedang terjadi—kecuali satu orang, seorang pemuda bernama Arka.
Arka bukanlah pemuda biasa. Ia adalah keturunan terakhir dari suku penjaga yang diberi tugas untuk melindungi rahasia Nagaraja. Sejak kecil, ia telah diajari tentang legenda naga dan bagaimana cara membangunkannya jika dunia berada di ambang kehancuran. Namun, Arka tak pernah membayangkan ia akan benar-benar menghadapi tugas ini. Kini, tanda-tanda kebangkitan naga telah muncul, dan ia tahu bahwa hanya dia yang bisa memanggil Nagaraja kembali.
Dengan membawa pusaka keluarganya—sebuah batu giok berbentuk sisik naga—Arka melakukan perjalanan menuju puncak gunung. Ia melintasi hutan-hutan lebat dan jurang-jurang curam, menembus angin yang seakan ingin menjatuhkannya. Setiap langkah terasa semakin berat, tapi tekadnya semakin kuat. Dunia butuh Nagaraja, dan Arka harus membangunkannya sebelum terlambat.
Setibanya di gua purba di puncak gunung, Arka berdiri di hadapan pintu batu besar yang tertutup rapat. Ia meletakkan batu giok di ceruk yang telah ditakdirkan untuknya, dan dengan suara gemuruh, pintu batu itu terbuka. Di dalam gua, sebuah bentuk besar dan berkilauan terbaring, melingkar seperti sungai yang membeku—itulah tubuh Nagaraja. Sisiknya memancarkan cahaya samar, dan matanya tertutup, seperti dalam tidur panjang yang dalam.
Arka mendekat dengan hati-hati, lalu berbicara dengan suara penuh hormat, "Wahai Nagaraja, Dewa Naga yang Agung. Dunia membutuhkanmu lagi. Keseimbangan telah terganggu, dan hanya engkau yang bisa memulihkannya."
Pada saat itu, mata naga itu terbuka. Sejenak, keheningan menyelimuti gua, sebelum suara gemuruh keluar dari mulut sang naga. "Keseimbangan telah terganggu karena keserakahan manusia," suara Nagaraja bergaung, dalam dan penuh wibawa. "Apakah mereka pantas untuk diselamatkan?"
Arka menggeleng, matanya penuh keyakinan. "Bukan semua manusia. Banyak yang telah tersesat, tapi masih ada yang menjaga keseimbangan. Mereka yang peduli pada bumi, pada alam, dan satu sama lain. Mereka layak diberi kesempatan."
Nagaraja terdiam sejenak, memandangi pemuda itu. Arka berdiri tegak, tak gentar meskipun dirinya hanya setitik debu di hadapan naga sebesar gunung. Setelah beberapa saat, Dewa Naga itu mengangguk. "Jika kau percaya demikian, aku akan memberi mereka kesempatan. Tapi ingat, jika keseimbangan kembali terganggu, aku tidak akan ragu untuk menghancurkan semuanya."
Dengan satu gerakan besar, Nagaraja terbangun sepenuhnya. Sayapnya yang besar terbentang, menggetarkan seluruh gunung. Arka hampir tersapu oleh angin kencang yang ditimbulkan naga itu, tapi ia tetap berdiri tegak, menyaksikan kebangkitan sang dewa naga. Nagaraja terbang menuju langit, dan saat ia melewati awan, langit yang gelap mulai berubah cerah. Air yang tadinya mengamuk kembali tenang, dan tanah yang retak mulai sembuh.
Dunia telah diberi kesempatan kedua, berkat keberanian seorang pemuda dan kekuatan sang Dewa Naga.
1 note · View note
kurasasaja · 11 days
Text
Silva4d : Cinta di Antara Takhta
Tumblr media
Bab 1: Perjodohan di Balik Mahkota
Di sebuah negeri kecil yang berada di tepi laut Selatan, berdirilah dua kerajaan yang megah dan kaya, yaitu Kerajaan Tirtalaya dan Kerajaan Sabran. Kerajaan Tirtalaya diperintah oleh seorang raja yang bijaksana, Raja Arya, dan putrinya yang jelita, Putri Anindita. Sementara itu, di kerajaan tetangga, Raja Sabran yang perkasa, Raja Indra Wijaya, menginginkan perdamaian dan memperkuat aliansi dengan Tirtalaya.
Untuk menyatukan kedua kerajaan yang bertetangga, Raja Arya dan Raja Indra Wijaya memutuskan untuk menjodohkan Putri Anindita dengan Pangeran Alaric, putra mahkota dari Kerajaan Sabran. Namun, di balik keputusan politik tersebut, hati Putri Anindita dipenuhi kebimbangan. Ia selalu mendambakan cinta sejati, bukan sekadar perjodohan demi tahta.
“Apakah aku akan benar-benar menemukan cinta dalam pernikahan ini?” gumamnya pada suatu malam di balkon istana, matanya menatap bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Angin malam yang lembut meniupkan kecemasan di hatinya, membawanya pada keraguan yang tak terelakkan.
Bab 2: Pertemuan Pertama
Pangeran Alaric tiba di Tirtalaya dengan rombongan megah, diiringi para prajurit dan duta besar kerajaan. Semua mata tertuju padanya saat ia memasuki istana Raja Arya, mengenakan pakaian kebesaran yang menunjukkan statusnya sebagai pewaris takhta. Tampan, gagah, namun penuh ketenangan. Wajahnya tampak tak tertembus emosi, seolah tanggung jawab kerajaan telah membekukan hatinya.
Putri Anindita menatapnya dari jauh, dengan perasaan yang bercampur aduk. "Inikah pria yang akan menjadi suamiku?" tanyanya dalam hati. Tak ada percikan cinta pada pertemuan pertama itu. Mereka berbicara dengan nada formal, mengikuti aturan etiket kerajaan.
Namun, di balik percakapan yang kaku, Alaric memperhatikan kecerdasan dan kelembutan Putri Anindita. Dia menyadari bahwa wanita di hadapannya bukan hanya sekadar pion dalam permainan politik, melainkan seorang pribadi yang berharga, yang layak dicintai.
Bab 3: Perjuangan Hati
Waktu berlalu, dan perjodohan mulai disiapkan dengan segala kemewahannya. Namun di antara persiapan itu, Pangeran Alaric mulai merasakan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ketika ia dan Putri Anindita berbicara lebih sering, ia menemukan kenyamanan dalam kehadirannya. Dia menyukai cara putri itu memandang dunia, dengan empati dan kebijaksanaan yang lebih besar daripada sekadar kemegahan istana. Di dalam dirinya, ia mulai menyimpan benih-benih cinta yang tak pernah ia duga akan tumbuh.
Namun, Alaric juga menyadari satu hal: Anindita tidak mencintainya. Bukan karena ia tidak menyukainya, tapi karena hatinya masih tertutup, terkurung dalam ketakutan akan perjodohan yang dipaksakan. Putri Anindita hanya melihatnya sebagai pewaris takhta, sebagai bagian dari tanggung jawab yang harus ia jalani, bukan sebagai pria yang bisa mencintai dan dicintai.
Suatu malam, mereka berjalan berdua di taman istana. Langit dipenuhi bintang, dan suara debur ombak dari kejauhan membawa ketenangan. Alaric memberanikan diri bertanya, "Putri, apakah engkau bahagia dengan perjodohan ini?"
Anindita terdiam sejenak, lalu menjawab dengan lembut, "Aku tidak tahu, Pangeran. Selama ini aku hanya memikirkan kewajiban sebagai anak seorang raja. Cinta, menurutku, adalah sebuah kemewahan yang tidak dapat kuraih."
Pangeran Alaric menatapnya dalam-dalam. "Tapi apakah kau ingin mencintai, Anindita? Apakah hatimu merindukan lebih dari sekadar perjodohan ini?"
Bab 4: Cinta yang Terpilih
Pertanyaan itu mengguncang hati Anindita. Selama bertahun-tahun, ia menganggap bahwa cintanya harus dikorbankan demi kerajaan. Namun kini, di hadapan Alaric, ia mulai melihat sosok lain — bukan sebagai pangeran yang akan menjadi suaminya karena politik, tetapi sebagai pria yang benar-benar menginginkannya untuk alasan yang lebih dalam.
Hari-hari berlalu, dan hati Anindita perlahan-lahan terbuka. Ia mulai melihat Pangeran Alaric dengan pandangan baru. Di balik sikap tenangnya, ada seorang pria yang penuh kasih sayang, yang menghormati impian dan keinginannya. Cinta mulai tumbuh, meski pelan, namun semakin kuat.
Pada suatu malam, saat mereka duduk di tepi danau istana, Anindita akhirnya berkata, "Alaric, aku mulai memahami sesuatu. Cinta tidak harus menjadi sesuatu yang terpisah dari tanggung jawab. Aku pikir, mungkin aku bisa mencintaimu. Bukan karena aku harus, tetapi karena aku ingin."
Alaric tersenyum hangat, pertama kalinya emosi lembut itu muncul di wajahnya yang biasa tegar. "Itu semua yang kuinginkan, Anindita. Bukan hanya takhta yang kita bagi, tapi hati yang sama-sama kita pilih."
Bab 5: Takhta dan Cinta
Pernikahan agung antara Putri Anindita dan Pangeran Alaric berlangsung dengan megah, disaksikan oleh dua kerajaan yang bersatu dalam damai. Di antara para tamu, terlihat senyuman dan kebanggaan, tapi hanya Alaric dan Anindita yang tahu bahwa ikatan mereka lebih dari sekadar politik. Itu adalah cinta yang mereka temukan di antara takhta, sebuah kebahagiaan yang datang karena pilihan hati mereka sendiri.
Mereka memerintah bersama dengan bijaksana, menjaga perdamaian di tanah mereka. Setiap tantangan yang muncul dihadapi dengan kekuatan cinta dan pengertian yang dalam. Meski berada di puncak kekuasaan, mereka tetap saling menggenggam tangan, tahu bahwa di balik segala tanggung jawab mereka, ada hati yang saling mencintai.
Tamat.
1 note · View note
ceritasingkat88 · 11 days
Text
Silva4d novel : Sang Maharaja: Kejayaan Majapahit
Tumblr media
Silva4d - Pada puncak kejayaannya, Kerajaan Majapahit berdiri megah di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk. Di bawah panji emas, kekuasaannya membentang dari Sabang hingga Merauke, dari pulau ke pulau di lautan luas. Namun, di balik gemerlap istana dan kejayaan yang agung, tersimpan kisah perjuangan, pengkhianatan, dan cinta yang terpendam.
Bab 1: Takhta di Ujung Kekuatan
Di balik gerbang besar Keraton Trowulan, Maharaja Hayam Wuruk duduk di singgasananya yang terbuat dari gading gajah terbaik. Di sisinya, Gajah Mada, Mahapatih yang terkenal dengan sumpah “Palapa” yang melegenda. Sang Mahapatih telah bersumpah tidak akan mencicipi kenikmatan dunia sebelum Nusantara dipersatukan di bawah Majapahit.
“Mahapatih, apa yang engkau lihat di depan mata kita sekarang?” tanya Hayam Wuruk, suaranya tenang namun penuh wibawa.
Gajah Mada, dengan tubuh tegap dan wajah keras seperti batu karang, menundukkan kepalanya sedikit. "Hamba melihat kejayaan, Tuanku. Seluruh pulau telah tunduk pada kekuasaan Majapahit. Namun di balik kekuatan ini, ada bayang-bayang yang mengancam."
Hayam Wuruk mengernyit. "Bayang-bayang apa yang kau maksud, Mahapatih?"
"Dari dalam istana, ada bisikan pengkhianatan. Para bangsawan mulai tergiur oleh kekayaan, dan beberapa pejabat kita... mereka mulai memperdagangkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi," jawab Gajah Mada dengan suara rendah namun tegas.
Bab 2: Cinta di Antara Takhta
Hayam Wuruk, meskipun menjadi penguasa yang dihormati, hanyalah seorang pria muda yang juga memiliki hatinya sendiri. Sejak kecil, ia dijodohkan dengan putri dari Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi. Namun, bukan sekadar perjodohan politik, hatinya telah jatuh pada sang putri sejak pertama kali mereka bertemu di pertemuan antar kerajaan.
Namun, seperti semua kisah cinta di antara mahkota, politik selalu menjadi penghalang. Gajah Mada, dengan ambisinya yang kuat, melihat pernikahan ini bukan sebagai simbol cinta, melainkan sebuah cara untuk menundukkan Kerajaan Sunda. Ia menginginkan agar Dyah Pitaloka datang bukan sebagai istri raja, tetapi sebagai tanda penaklukan Sunda oleh Majapahit.
Ketika Hayam Wuruk mengetahui rencana Mahapatihnya, ia terdiam. Di satu sisi, ia mengagumi kecerdasan dan keberanian Gajah Mada. Namun di sisi lain, hatinya berontak, ia tidak ingin cinta sejatinya dijadikan alat politik.
"Mahapatih, apa yang kau rencanakan?" tanya Hayam Wuruk.
"Saya hanya berpikir tentang kejayaan Majapahit, Tuanku. Sunda harus tunduk. Pernikahan ini bisa menjadi lambang kekuasaan kita atas mereka," jawab Gajah Mada tegas.
"Tapi Dyah Pitaloka bukan sekadar alat. Ia adalah wanita yang kucintai," kata sang Raja, suaranya mulai meninggi.
"Ampun, Tuanku. Namun Majapahit harus diutamakan."
Bab 3: Pertempuran Bubat
Pernikahan yang diharapkan menjadi lambang persatuan, malah berubah menjadi tragedi. Di lapangan Bubat, pasukan Sunda datang dengan niat baik untuk mengantar Dyah Pitaloka ke Majapahit. Namun Gajah Mada, dengan ambisinya, memaksa mereka tunduk. Terjadilah bentrokan yang berujung pada kematian Raja Sunda dan pengawal-pengawalnya. Dalam keputusasaan, Dyah Pitaloka mengambil keputusan tragis — ia memilih untuk mengakhiri hidupnya sebagai bentuk kehormatan terakhir untuk keluarganya.
Hayam Wuruk hancur melihat wanita yang dicintainya tergeletak tak bernyawa di lapangan berdarah. Gajah Mada tetap berdiri tegap, dengan tatapan dingin namun penuh kemenangan.
Bab 4: Setelah Tragedi
Kejayaan Majapahit tetap abadi di mata dunia. Nusantara bersatu, perdagangan berkembang pesat, dan kekuasaan kerajaan tak tergoyahkan. Namun di dalam istana, Hayam Wuruk hidup dalam kehampaan. Ia berhasil membawa Majapahit ke puncak kejayaan, tapi harga yang harus dibayarnya terlalu mahal.
Setiap malam, sang Raja duduk di taman istana, menatap bintang-bintang, mengingat Dyah Pitaloka, wanita yang ia cintai namun tak bisa ia lindungi.
Di sisi lain, Gajah Mada tetap pada jalannya, memperkokoh kekuasaan Majapahit. Namun perlahan, ia mulai menyadari bahwa kejayaan yang ia bangun bukan tanpa noda. Sumpah Palapa yang selama ini menjadi pijakan hidupnya terasa hampa, karena di balik kejayaannya, ada darah yang tak bisa terhapus.
Epilog: Bayangan Masa Lalu
Hayam Wuruk hidup dengan penuh kejayaan dan kekuasaan, namun dalam hatinya, ia selalu merindukan cinta yang hilang. Di akhir hidupnya, ia merenung, apakah kekuasaan yang ia peroleh sepadan dengan pengorbanan yang ia lakukan? Dalam sepi, ia hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri, sementara bayangan Dyah Pitaloka selalu menghantuinya di setiap mimpi.
Di seluruh Nusantara, nama Majapahit terus dikenang sebagai kerajaan yang besar dan tak terkalahkan. Namun, di balik cerita gemilang itu, ada kisah seorang raja yang kehilangan cinta, seorang mahapatih yang terjebak dalam ambisi, dan sebuah pernikahan yang berubah menjadi tragedi.
Tamat.
0 notes
kurasasaja · 12 days
Text
Silva4d - Sepatu untuk Dunia
Tumblr media
Silva4d - Di sudut sebuah kota kecil, ada sebuah toko sepatu tua yang dimiliki oleh Pak Hasan, seorang penjahit sepatu yang terkenal akan karyanya yang tahan lama. Toko itu tidak besar, bahkan terlihat sederhana dibandingkan bangunan-bangunan modern di sekitarnya. Namun, orang-orang dari berbagai penjuru selalu datang ke sana untuk memperbaiki sepatu mereka atau memesan sepatu baru.
Pak Hasan bukan hanya sekadar penjahit sepatu biasa. Ia memiliki tangan yang terampil dan hati yang selalu ingin membantu. Setiap sepatu yang ia buat atau perbaiki selalu disertai dengan ketulusan, seolah-olah setiap jahitan menyimpan cerita. Meskipun banyak toko modern menjual sepatu baru yang lebih canggih, orang-orang tetap setia pada karyanya, karena sepatu-sepatu buatan Pak Hasan bukan sekadar alas kaki—mereka menyimpan jiwa.
Suatu hari, seorang anak laki-laki bernama Dafa datang ke tokonya. Dafa tinggal di desa yang cukup jauh dari kota, dan keluarganya hidup sederhana. Dengan mata yang penuh harap, ia membawa sepasang sepatu kulit tua yang sudah robek di beberapa bagian. Sepatu itu terlalu besar untuk kakinya, dan jelas sekali bahwa itu sudah lama dipakai.
"Pak, bisa tolong perbaiki sepatu ini? Ini milik almarhum ayah saya. Saya ingin memakainya untuk hari kelulusan nanti," kata Dafa dengan suara lembut. Ada rasa hormat dan kesedihan di matanya, seperti seseorang yang menyimpan kenangan berharga dalam benda sederhana itu.
Pak Hasan memeriksa sepatu itu dengan hati-hati. Kulitnya sudah aus, dan solnya hampir terlepas. Namun, ia bisa merasakan bahwa sepatu ini jauh lebih dari sekadar benda usang. Sepatu ini menyimpan kenangan seorang ayah, dan harapan seorang anak. Tanpa ragu, Pak Hasan mengangguk.
"Dafa, sepatu ini akan aku perbaiki, bukan hanya untuk hari kelulusanmu, tapi agar bisa menemanimu dalam langkah-langkah besar yang akan kamu ambil di masa depan."
Selama beberapa hari berikutnya, Pak Hasan bekerja dengan penuh dedikasi. Ia menjahit ulang sepatu itu, mengganti sol yang rusak, dan memastikan setiap bagian sepatu terasa baru kembali, tapi tetap mempertahankan bentuk aslinya. Ia bahkan menambahkan sentuhan pribadi—sebuah inisial kecil di bagian dalam sepatu, sebagai tanda penghormatan pada ayah Dafa.
Ketika hari kelulusan tiba, Dafa datang ke toko untuk mengambil sepatunya. Ketika ia melihat hasilnya, matanya bersinar. Sepatu itu tampak baru, tapi tetap terasa akrab, seolah-olah ayahnya masih bersamanya dalam setiap langkah yang ia ambil.
"Terima kasih, Pak Hasan," kata Dafa dengan suara bergetar. "Sepatu ini akan selalu mengingatkan saya untuk melangkah dengan kuat, seperti yang ayah saya ajarkan."
Pak Hasan tersenyum, merasa puas. Bagi kebanyakan orang, sepatu hanyalah benda biasa. Tapi bagi Dafa, dan juga bagi dirinya, sepatu ini lebih dari sekadar alas kaki—ia adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan, antara kenangan dan harapan.
Dan di situlah keajaiban seorang penjahit sepatu seperti Pak Hasan. Di balik setiap jahitan, ia tidak hanya memperbaiki benda, tapi juga memperbaiki hati yang ingin terus melangkah maju, walaupun jalan hidup kadang terasa sulit.
Tamat
0 notes
ceritasingkat88 · 12 days
Text
Silva4d - Arus Sang Ikan Kecil
Tumblr media
Silva4d - Di sebuah danau yang tenang dan dalam, hiduplah seekor ikan kecil bernama Rimba. Tubuhnya ramping, dengan sisik perak yang memantulkan cahaya matahari setiap kali ia berenang. Namun, di balik penampilannya yang memikat, Rimba merasa ada sesuatu yang kurang. Ia selalu merasa terlalu kecil, terlalu lemah dibandingkan ikan-ikan besar lainnya yang berenang di dalam danau yang sama.
Setiap hari, Rimba melihat kawanan ikan besar berlomba-lomba melawan arus sungai yang deras, menuju tempat-tempat yang jauh di luar danau. Mereka berbicara tentang lautan luas yang penuh misteri dan petualangan. Rimba hanya bisa mendengarkan dengan penuh kekaguman, tapi tak pernah berani bergabung. "Aku terlalu kecil untuk menghadapi arus itu," pikirnya berulang kali.
Namun, suatu pagi, air di danau mulai berubah. Arus yang kuat mengalir dari pegunungan, dan airnya menjadi keruh. Ikan-ikan besar panik, mencoba berenang melawan arus untuk menyelamatkan diri, tetapi banyak dari mereka mulai kelelahan. Badai telah membuat arus lebih kuat daripada yang pernah mereka alami sebelumnya. Dalam kekacauan itu, Rimba melihat sesuatu yang mengejutkan—ikan-ikan besar yang biasanya gagah, kini terseret oleh kekuatan alam yang tak terduga.
Rimba, yang kecil dan gesit, mendapati dirinya tidak terlalu terpengaruh oleh arus itu. Tubuhnya yang mungil memungkinkannya untuk bermanuver dengan lebih lincah di antara pusaran air yang kuat. Meski rasa takut masih menghantuinya, Rimba mulai berenang mendekati ikan-ikan besar yang kelelahan, membimbing mereka untuk menemukan celah di antara bebatuan dan akar-akar pohon di dasar danau. Dengan caranya yang sederhana, Rimba menunjukkan jalan yang aman, satu per satu membantu teman-temannya mencapai tepian yang lebih tenang.
Ketika badai akhirnya mereda, ikan-ikan besar itu mendekati Rimba. Salah satu dari mereka, seekor ikan karper tua dan bijak, berkata dengan suara serak, "Kami selalu berpikir bahwa kekuatan kami adalah segalanya, tapi hari ini, kami belajar bahwa kecekatan dan kecerdikan juga sangat penting."
Rimba merasa dadanya menghangat. Ia menyadari bahwa menjadi kecil bukanlah sebuah kelemahan. Dalam menghadapi arus yang kuat, ia menemukan kekuatan dalam ketenangan, kecekatan, dan keberaniannya. Tak lama kemudian, Rimba pun berani berenang ke sungai yang mengarah ke lautan luas. Bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk menemukan dunia baru dan menguji keberanian yang telah ia temukan dalam dirinya sendiri.
Danau itu mungkin tempatnya lahir, tapi lautan kini adalah tujuannya.
Tamat
0 notes
kurasasaja · 13 days
Text
Silva4d - Sang Gajah Kecil dengan Belalai Pendek
Tumblr media
Silva4d - Di sebuah hutan tropis yang lebat, hiduplah seekor gajah bernama Tumba. Namun, Tumba berbeda dari teman-temannya. Belalainya pendek—jauh lebih pendek daripada gajah-gajah lainnya. Sementara belalai gajah lain panjang dan lentur, Tumba hanya bisa mengangkat ranting-ranting kecil atau memercikkan air dengan usaha yang keras. Ia sering merasa malu dan menyendiri di tepi sungai, menonton teman-temannya bermain dengan air dan saling bercanda.
Tumba terlahir dengan harapan besar dari keluarganya. Ayahnya, Raja Djumbo, adalah pemimpin kawanan yang dihormati dan kuat. Belalainya adalah yang terpanjang dan paling kokoh di antara seluruh gajah. Setiap kali Raja Djumbo berbicara, suara beratnya bergema di seluruh hutan, menandakan kekuasaannya. Sementara itu, Tumba merasa semakin kecil di hadapan harapan dan standar yang ditetapkan oleh ayahnya. Setiap kali ia mencoba berbicara dengan belalainya yang pendek, suaranya nyaris tidak terdengar.
Suatu hari, terjadi peristiwa yang mengubah kehidupan Tumba. Hutan yang tenang itu tiba-tiba dilanda kemarau panjang. Sungai-sungai mulai mengering, dan kawanan gajah harus bermigrasi jauh untuk mencari air. Dalam perjalanan tersebut, mereka sampai di sebuah lembah yang sempit dengan banyak batu tajam. Gajah-gajah besar dengan belalai panjang mulai kesulitan menyeberang karena belalai mereka tersangkut di antara batu-batu dan ranting. Setiap langkah terasa seperti tantangan, dan kawanan mulai merasa putus asa.
Melihat keadaan ini, Tumba merasakan sesuatu di dalam dirinya. Ia tahu inilah saatnya dia bisa berguna. Dengan belalainya yang pendek, ia bisa melewati batu-batu itu tanpa kesulitan. Dengan lincah, Tumba menuntun kawanan melewati lembah tersebut, menunjukkan jalur yang aman. Tumba memimpin mereka dengan penuh percaya diri, dan tak satu pun dari mereka tersangkut di antara bebatuan.
Setelah berhasil melewati lembah, Tumba menjadi pahlawan bagi kawanan gajah. Bukan karena ukuran belalainya, melainkan karena kecerdikan dan keberaniannya. Ayahnya, Raja Djumbo, mendekatinya dengan senyum bangga. "Anakku," katanya dengan suara bergetar, "kamu telah menunjukkan kepada kami bahwa keberanian dan kebijaksanaan jauh lebih berharga daripada kekuatan fisik."
Sejak hari itu, Tumba tidak lagi merasa malu akan belalainya yang pendek. Ia tahu bahwa setiap kekurangan bisa menjadi kekuatan, jika dilihat dengan cara yang berbeda. Hutan itu pun kembali makmur, dan Tumba tumbuh menjadi pemimpin yang dicintai, bukan karena ukuran tubuhnya atau panjang belalainya, melainkan karena hatinya yang besar.
Tamat
0 notes