Tumgik
#SuasanaMedan
ceritasingkat88 · 4 days
Text
Silva4d : Di Bawah Langit Medan
Tumblr media
Silva4d Novel Singkat Bab 1: Kembali ke Tanah Lama
Langit di atas Medan selalu punya cerita, entah itu tentang awan kelabu yang menumpuk, atau gerimis lembut yang seakan tak henti-hentinya menyapa bumi. Siang itu, hujan turun dengan ringan, menciptakan harmoni bersama suara bising kota. Jalanan sibuk penuh dengan motor yang mendominasi aspal, klakson berteriak tanpa henti, dan para pejalan kaki bergegas dengan langkah tergesa, menyingkir dari hujan yang tak terduga.
Hannah berdiri di sudut Lapangan Merdeka, memandang rerimbunan pohon trembesi tua yang melengkung seperti tangan-tangan raksasa. Ini adalah pertama kalinya ia kembali ke Medan setelah hampir sepuluh tahun meninggalkan kota kelahirannya. Hatinya bergemuruh, seperti deru mesin becak motor yang terus-menerus lewat di depannya.
Ia menarik napas panjang, meresapi aroma khas tanah basah bercampur dengan wangi kopi dari warung di seberang jalan. Warung kecil dengan papan nama usang bertuliskan "Kedai Kopi Kok Tong" itu membangkitkan kenangan masa kecilnya. Dulu, ia sering datang bersama ayahnya, menikmati secangkir kopi susu sembari mendengar cerita-cerita lama tentang Medan yang dulu, tentang sungai Deli yang pernah jernih, tentang kereta api yang dahulu berderak lambat membawa penumpang dari pinggir kota.
Hannah tahu, Medan tak lagi sama seperti yang ia tinggalkan dulu. Perubahan terasa di setiap sudut kota, di gedung-gedung yang menjulang lebih tinggi, di mal-mal besar yang menggantikan toko-toko tua, bahkan di wajah-wajah yang berjalan melewatinya. Namun, ada satu hal yang tetap sama: energi kota yang tak pernah mati.
Ia memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri Jalan Kesawan. Di sepanjang jalan, bangunan tua peninggalan Belanda masih berdiri kokoh meski didera waktu. Rumah Tjong A Fie yang legendaris terlihat sunyi, hanya beberapa turis lokal yang tampak berfoto di halaman depannya. Hannah pernah mendengar cerita tentang Tjong A Fie, seorang saudagar Tionghoa yang membangun pengaruh besar di Medan. “Seorang penguasa tanpa mahkota,” begitu ayahnya sering berkata. Kisahnya terukir di ingatan Hannah, menggambarkan Medan sebagai kota persinggahan yang selalu ramah bagi siapapun yang datang dengan harapan dan kerja keras.
Tiba-tiba, ingatan masa lalunya tentang Medan mengalir deras. Dulu, ia sering bersepeda di sekitar Jalan Ahmad Yani, menghindari mobil-mobil tua dan becak. Sepeda itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ke-sepuluh dari ibunya, tepat sebelum ibunya jatuh sakit dan pergi untuk selamanya. Kenangan itu menggoreskan sedikit rasa perih di hatinya, namun ada juga kehangatan di sana, kehangatan dari cinta seorang ibu yang tak pernah padam.
“Medan adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur,” pikirnya. Bahkan di malam hari, kehidupan tetap berdenyut di setiap sudut kota. Pasar malam, warung kopi yang masih buka hingga dini hari, dan anak-anak muda yang nongkrong di pinggir jalan. Di sinilah, Medan menemukan jiwanya—di tengah-tengah kekacauan yang teratur, di antara suara-suara bising yang anehnya menenangkan.
Saat melangkah lebih jauh, Hannah melihat sebuah plang dengan nama yang tidak asing: "Marga Harahap". Nama keluarganya. Sebuah firma hukum kecil berdiri di sana, dengan pintu kayu berukir yang membuatnya berhenti sejenak. Di situlah ayahnya bekerja bertahun-tahun lamanya, membangun reputasi sebagai salah satu pengacara terhormat di kota ini. Hannah merasa perutnya bergejolak—sebuah perasaan campur aduk antara rindu dan rasa bersalah. Ia tidak pernah sempat mengucapkan selamat tinggal dengan benar sebelum pergi.
Di Medan, segala sesuatu terasa dekat, namun sekaligus jauh. Kota ini punya caranya sendiri untuk membuat seseorang merasa terhubung dan terasing dalam waktu yang sama. Ketika Hannah melanjutkan perjalanannya, ia menyadari satu hal: meski ia pernah melarikan diri dari Medan, kota ini tidak pernah meninggalkannya.
Ia tahu, perjalanannya baru saja dimulai. Ada banyak yang harus ia temukan lagi—bukan hanya tentang kota ini, tetapi juga tentang dirinya yang telah berubah. Medan, dengan segala keunikan dan kontradiksinya, akan selalu menjadi bagian dari hidupnya. Dan sekarang, ia siap untuk menghadapinya.
0 notes