Tumgik
#KisahDiBalikGerobak
ceritasingkat88 · 5 days
Text
Silva4d - Rasa di Balik Sedotan
Tumblr media
Setiap sore, di sudut pasar yang mulai sepi, Dimas selalu duduk di belakang gerobaknya yang penuh dengan botol-botol minuman dingin. Es kelapa, es jeruk, es teh, semua tersusun rapi di dalam peti kayu kecil yang sudah mulai mengelupas catnya. Ia bukanlah penjual minuman besar, hanya seorang pria biasa yang hidupnya terbungkus dalam rutinitas sederhana. Namun, bagi Dimas, gerobaknya adalah sumber kehidupan sekaligus tempat dia mengamati dunia.
Dimas sudah bertahun-tahun berjualan di sana. Orang-orang datang dan pergi, kadang tersenyum, kadang tidak berkata apa-apa. Namun, sore itu berbeda. Seorang perempuan muda dengan langkah terburu-buru datang dan langsung memesan segelas es kelapa. Wajahnya penuh keringat, dan napasnya terengah-engah. Dimas menyajikan minuman itu tanpa banyak bicara, tapi matanya tertarik oleh sesuatu dalam tatapan perempuan itu—campuran antara kebingungan dan kesedihan.
“Terima kasih,” katanya singkat, sebelum beranjak pergi dengan cepat.
Dimas hanya mengangguk. Namun, ia tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul dalam dirinya. Ada sesuatu yang mengganjal, meskipun ia tak tahu apa itu. Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa, namun perempuan itu tak pernah kembali. Setiap sore, Dimas memperhatikan setiap wajah yang lewat dengan harapan melihatnya lagi. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada perempuan itu, mengapa dia tampak begitu gelisah waktu itu. Namun, Dimas tahu bahwa hidup di pasar berarti menerima datang dan perginya orang-orang tanpa pertanyaan.
Suatu sore, beberapa minggu kemudian, perempuan itu muncul kembali. Kali ini, ia berjalan perlahan, tatapannya jauh lebih tenang. Dia memesan es kelapa lagi, dan ketika Dimas menyajikannya, ia memberanikan diri untuk berbicara.
“Kamu sering lewat sini, ya?” tanyanya pelan, sambil menyerahkan gelas plastik.
Perempuan itu tersenyum lemah. “Kadang-kadang. Aku bekerja di dekat sini, tapi jarang lewat pasar. Waktu itu... aku sedang buru-buru.”
Dimas mengangguk, meskipun dia tahu ada lebih banyak cerita di balik kalimat itu. "Semoga sekarang lebih baik."
Perempuan itu memandangnya dengan mata yang sedikit bengkak, seolah terkejut oleh kesederhanaan kata-katanya. “Iya... sekarang lebih baik. Terima kasih.”
Ada keheningan yang canggung setelah itu. Dimas merasa ingin tahu lebih banyak, tapi dia bukan tipe orang yang pandai menggali cerita. Dia hanyalah penjual minuman. Namun, perempuan itu tidak pergi segera. Dia berdiri di sana, memainkan sedotan di tangannya, seolah sedang berusaha mencari keberanian untuk mengatakan sesuatu.
“Aku baru saja kehilangan ayahku,” akhirnya perempuan itu berkata. “Waktu itu... aku baru dengar kabarnya ketika aku lewat sini.”
Dimas terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata seperti itu selalu terasa berat, terutama bagi seseorang yang tak tahu caranya menghibur. Dia hanya bisa mengangguk, mencoba menyalurkan rasa simpati lewat senyumnya yang tipis.
“Ayahku juga dulu penjual,” perempuan itu melanjutkan. “Bukan minuman, tapi barang-barang kelontong. Melihatmu di sini... entah kenapa membuatku teringat padanya.”
Dimas merasa tersentuh oleh pengakuan itu. Pasar memang punya cara aneh untuk menghubungkan orang-orang, bahkan yang tak pernah saling mengenal. “Aku minta maaf atas kehilanganmu. Kehilangan seseorang yang kita sayangi memang tidak mudah.”
Perempuan itu mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi kali ini, dia tidak terburu-buru pergi. Dia berdiri di sana cukup lama, menyeruput minumannya pelan-pelan, sementara Dimas melayani beberapa pelanggan lain. Setelah beberapa menit, dia berterima kasih lagi, lebih tulus kali ini, dan pergi dengan langkah yang lebih ringan.
Dimas memperhatikan saat dia menghilang di antara kerumunan pasar yang semakin sepi. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya setelah pertemuan itu. Selama bertahun-tahun, dia selalu menganggap pekerjaannya sebagai sekadar cara untuk hidup, tanpa memikirkan lebih dalam tentang orang-orang yang dia layani. Namun, sore itu membuatnya menyadari bahwa setiap orang yang datang ke gerobaknya membawa cerita, dan mungkin, kadang-kadang, yang mereka butuhkan bukan hanya minuman dingin, tapi juga seseorang yang mau mendengarkan, walau tanpa banyak bicara.
Hari-hari berlalu, dan perempuan itu mulai sering muncul, tidak lagi dalam keadaan terburu-buru, tetapi sekadar untuk duduk dan berbincang. Mereka tidak pernah membahas hal-hal berat lagi, tapi Dimas tahu, dalam percakapan sederhana mereka, ada semacam ikatan yang terbentuk—ikatan antara dua orang yang, meskipun berbeda, sama-sama mengerti bahwa hidup ini penuh dengan kehilangan dan juga harapan.
Dan di sudut pasar yang ramai itu, gerobak penjual minuman Dimas kini tidak hanya menawarkan kesegaran, tapi juga ruang kecil di mana cerita-cerita manusia bertemu, berbagi, dan mungkin, sembuh.
2 notes · View notes