#KRITIK
Explore tagged Tumblr posts
Text
Siapa sih yang suka dikritik?
Ngga ada.
Manusia, pada dasarnya, cenderung menghindari kritik. Seberapa terbuka pun seseorang, saat menerima kritik, tubuhnya akan bereaksi secara alami: tegang, kontak mata jadi canggung, kadang ngefreeze karena bingung bagaimana harus merespons.
Karena itu, penting bagi kita untuk belajar menyampaikan kritik dengan cara yang baik.
Mungkin kamu pernah dengar tentang teknik sandwich. Dalam teknik ini, kritik disampaikan dengan cara yang “dibungkus” di antara dua lapisan apresiasi. Mulanya kita memberikan pujian, lalu menyisipkan kritik, dan menutupnya lagi dengan apresiasi.
Awalnya, saya juga skeptis dengan teknik ini. Saya lebih suka bicara blak-blakan saat memberikan kritik. Saya pikir teknik sandwich ini omong kosong motivator aja. Tapi ternyata, saya cuma kekurangan contoh dan referensi.
Akhirnya, saya bertemu seseorang yang pandai dalam menggunakan teknik sandwich ini. Beliau benar-benar membuka perspektif saya bahwa teknik ini bisa tetap relevan, sekalipun saat kita bicara dengan orang yang tahu teknik ini.
Coba bandingkan dua pernyataan berikut:
A. "Desainnya bagus, tapi terlalu kompleks dan banyak komponen custom, sehingga waktu pengerjaannya akan lebih lama. Mungkin bisa disederhanakan untuk memudahkan implementasinya. Tapi konsepnya bagus, kok."
B. "Desain ini terlihat modern dan punya sentuhan yang segar, terutama di hero section-nya. Kalau mempertimbangkan manpower dan waktu yang ada, menurut saya kita bisa memprioritaskan elemen-elemen yang paling penting dulu untuk tahap awal, lalu sisanya bisa kita rencanakan untuk iterasi berikutnya. Kalau ini terealisasi, saya yakin hasil akhirnya akan jadi sesuatu yang luar biasa."
Apa perbedaan keduanya?
Pernyataan kedua memberikan pujian yang lebih spesifik. Ketika kita bisa memberikan apresiasi yang spesifik, orang lain akan merasa dihargai secara tulus, bukan sekadar formalitas.
Selain itu, pernyataan kedua memosisikan kita di sisi yang sama dengan penerima kritik. Alih-alih menjadi pihak yang berseberangan, kita menunjukkan bahwa kita punya kepentingan yang sama dan menawarkan solusi untuk masalah yang sedang dihadapi bersama.
Kata "tapi" juga sebaiknya dihindari karena bisa menegasikan pujian yang sudah disampaikan.
Pernyataan kedua ditutup dengan optimisme yang bisa menguatkan motivasi lawan bicara.
Pendekatan ini juga efektif untuk memberikan kritik kepada anak-anak.
Anak-anak sedang dalam fase belajar dan pasti sering membuat kesalahan. Agar mereka tetap semangat belajar dari kesalahan tanpa merasa terhakimi, kita bisa menggunakan teknik sandwich.
Contoh:
A. "Wah, kamu hebat udah mau beresin kamar. Tapi masih ada mainan-mainan yang ketinggalan di sini. Jangan lupa diberesin juga, ya. Makasih, I love you."
B. "Wah, kamarnya sekarang sudah terasa lebih rapi dan nyaman banget, apalagi kasurnya. Tinggal sedikit lagi selesai, nih. Kalau mainan-mainan ini juga dibereskan, kamar kamu bakal jadi super nyaman. Setelah itu, kita sarapan bareng, ya. Makasih, I love you."
Kedua pernyataan ini sama-sama bagus, tapi pernyataan kedua terasa lebih kuat karena:
Memberikan pujian yang spesifik, sehingga terasa lebih tulus.
Mengarahkan apresiasi pada hasil dari usaha anak, bukan hanya tindakannya. Hal ini membantu anak belajar mencintai proses usaha mereka.
Menghindari kata “tapi” yang sering kali membuat pujian terasa “batal” oleh kritik.
Teknik sandwich bisa terasa cheesy kalau kita menggunakannya sebagai template.
Tapi, kalau kita benar-benar mengadopsinya sebagai cara pandang, teknik ini akan membentuk pola pikir dan komunikasi kita, sehingga kritik dapat disampaikan dengan lebih efektif dan membangun.
Sekian dan terima kasih.
97 notes
·
View notes
Text
Deadpool & Wolverine (O-Ton)...
...ist in seinen besten Momenten ein zum Brüllen komischer Metareigen mit zwei überaus unterhaltsamen Superstars, welche sich beide voll reinwerfen, in seinen schwächeren der zum Scheitern verurteilte Versuch, sich organisch in das MCU einzugliedern, was vor allem im Mittelteil in Erklärbärkaskaden mündet, die offen gestanden für die ein oder andere Länge sorgen. Aber auch wenn dieser Film die Frische der ersten halben Stunde nie mehr erreichen soll, so bleibt es doch insgesamt ein kurzweiliger Quatschreigen, welcher sehr selten an die Qualitäten des ersten Teils heranreichen mag und aufgrund der Halbwertszeit seiner Witzchen in ein paar Jahrzehnten wohl nur noch von Geschichtsfans goutiert werden wird - anders als zum Beispiel James Gunns zeitloses Meisterstück "Guardians of the Galaxy" - der aber im Hier und Jetzt allen mit dem nötigen Backroundwissen Ausgestatteten eine wirklich vergnügliche Zeit bescheren kann.
D.C.L.
#deadpool and wolverine#filmkritik#kritik#d.c.l.#spielfilm#chronicles of d.c.l.#komödie#action#scifi#fantasy#deadpool 3#ryan reynolds#hugh jackman
20 notes
·
View notes
Text
"Sekolah Is Bulshit??"
Potret Buram Pendidikan Kita: "Ketika sekolah tak lagi menjadi tempat belajar, tapi ladang profit, siapa yang sebenarnya dicerdaskan?"
Sebagai seorang guru yang juga seorang konten kreator, saya sering merasa gemas dengan wajah pendidikan Indonesia yang—alih-alih berkembang—justru terjebak di antara aturan kaku dan mentalitas yang tidak relevan dengan kebutuhan generasi saat ini. Pendidikan seharusnya membimbing dan membuka potensi anak-anak kita, tapi kenyataannya sistem pendidikan Indonesia malah sering berfokus pada kekurangan, bukan kelebihan anak. Setiap siswa diukur dengan standar yang sama meskipun keunikan mereka berbeda. Misalnya, ada anak yang luar biasa berbakat di bidang fotografi dan videografi, tetapi sistem mewajibkan mereka untuk mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dalam pelajaran menggambar. Bukannya didorong untuk mendalami potensi, mereka malah dicap "gagal" hanya karena bakat mereka tidak ada di jalur akademik konvensional.
Lebih parahnya, saya juga melihat anak-anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk merasakan realitas dunia kerja. Bayangkan saja, di SMK misalnya, mereka dipersiapkan untuk dunia kerja yang penuh tekanan deadline, disiplin tinggi, dan tuntutan kualitas, tapi banyak guru yang enggan memberikan latihan seperti itu karena khawatir akan Undang-Undang Perlindungan Anak. Ironisnya, akibat ketakutan itu, anak-anak malah tumbuh dengan mental "tempe" dan merasa mereka tidak perlu bekerja keras atau menerima teguran. Sejujurnya, dunia kerja tidak akan memperlakukan mereka sebaik itu, dan sikap menghindar ini tidak mendidik mereka untuk siap menghadapi tantangan hidup yang nyata.
Lalu ada lagi "jaminan" naik kelas yang dianggap seolah wajib, bahkan ketika siswa tersebut tidak memenuhi kualifikasi. Sebagai seorang guru, saya pernah tidak meluluskan sembilan siswa dan tidak menaikkan dua belas siswa lainnya—tentu saja ini kontroversial. Keputusan saya membuat beberapa siswa merasa malu, bahkan mereka akhirnya pindah sekolah. Kenapa ini jadi masalah besar? Karena banyak sekolah yang takut prosentase kelulusan mereka turun. Kenyataannya, sistem dapodik dan akreditasi sekolah masih sangat bergantung pada statistik kelulusan yang 100%. Jika anak tidak naik kelas atau lulus, sekolah bisa terancam nilainya, dan dampaknya, sekolah lebih memilih "memaksa" anak naik kelas, terlepas dari apakah mereka sudah layak atau belum.
Sekolah swasta, terutama, sering kali lebih mirip bisnis keluarga daripada lembaga pendidikan. Fokus utama mereka bukan lagi mencerdaskan bangsa, melainkan mengejar profit. Guru dituntut untuk bergelar S1, bahkan S2, tetapi gaji yang mereka terima jauh di bawah UMR. Dana BOS yang seharusnya untuk operasional guru, sering kali hanya lewat tanpa sampai pada guru yang benar-benar mengajar. Guru akhirnya harus bekerja sambilan, membuka les, atau bahkan berjualan online hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup selama satu bulan. Bagaimana kita bisa berharap pendidikan berkualitas jika guru-gurunya justru harus membagi pikiran antara mengajar dan mencari penghasilan tambahan?
Selain itu, kita juga menghadapi tantangan dari orang tua yang terlalu campur tangan. Berdasarkan analisis pribadi saya, banyak orang tua yang lahir di tahun 70-an hingga 90-an tampaknya memiliki “dendam terpendam” terhadap pengalaman mereka dulu yang penuh disiplin keras. Mereka pernah merasakan hukuman fisik dari guru, yang saat itu dianggap wajar. Kini, ketika anak mereka mengalami masalah di sekolah, orang tua ini sering menolak pendekatan serupa, bahkan mendampingi anaknya secara berlebihan, dan guru pun jadi sulit mengambil sikap tegas.
Banyak variabel yang membuat sistem pendidikan kita kompleks dan berat untuk berkembang. Sekolah terjebak pada kebutuhan mencari keuntungan, guru harus berjibaku untuk bertahan hidup, dan pemerintah terus merumuskan kebijakan yang sayangnya tidak berbasis kondisi lapangan. Tanpa perubahan mendasar, pendidikan kita akan terus jalan di tempat. Pendidikan seharusnya membebaskan, tapi realitas yang terjadi malah sebaliknya.
12 notes
·
View notes
Text
Pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier
Mohon maaf pak mentri pendidikan yang budiman. Bagi orang kecil seperti kami, kuliah adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki taraf hidup dan mengangkat derajat serta status sosial keluarga kami.
Kami tak punya uang untuk dijadikan "pelicin" guna masuk kerja pada instansi-instansi tertentu. Karena untuk menyambung hidup saja orang tua kami selalu berhutang. Tutup lubang gali lubang.
Sejak SMA, kami selalu punya mimpi untuk dapat sekolah tinggi, kemudian dapat bekerja mapan dan memperbaiki ekonomi keluarga. Keluar dari zona tidak nyaman ini adalah opsi satu-satunya yang kami punya pak.
Kami orang biasa hanya punya mental bonek disertai dengan komitmen dan determinasi untuk beranjak dari kemiskinan.
Jika akses pendidikan tinggi hanya untuk orang kaya, lalu bagaimana nasib kami? apakah kami tidak diizinkan untuk menikmati apa itu pendidikan? apakah kami harus terus di garis kemiskinan?
jika demikian, makan harus ada yang dirubah dari semboyan negara ini, dari "keadilan sosial bagi seluruh seluruh rakyat Indonesia" menjadi ""keadilan sosial bagi sebagian rakyat Indonesia"
27 notes
·
View notes
Text
Weil Tittelbach derzeit Thema ist (nur anderer ein Tatort Kontext):
#tatort dortmund#tatort made in china#peter faber#rosa herzog#kritik#german#ich kann es kaum erwarten q3q#spoiler#tatort spoiler#made in china spoiler#tittelbach kritiken lese ich immer gern
7 notes
·
View notes
Text
“Masih aja ributin hal ini, pantes Indonesia ga maju-maju!”
Kalimat tersebut seringkali kita dapati ketika ada keributan di sosmed tentang berbagai isu yg sedang hangat. Teruntuk yg mungkin masih dan pernah berpikiran demikian, kritik itu sah-sah saja, tapi mbok ya yg tepat sasaran~
7 notes
·
View notes
Text
Gedenken
Es pfeift ein Wind um leere Stände,
und an dem Zaun vom Festgelände,
da weht ein schwarzes Seidenband.
Wo gestern noch die Tanne stand.
*
Der Platz verwaist, es fliegt Papier.
Der Turnschuh liegt noch immer hier.
Die schwarzen Vögel flogen fort.
Und Trauer senkt sich auf den Ort.
*
Kein Glaube, keine Hoffnung ist,
weil man das eigne Volk vergißt.
Und wenn man uns nicht schützen kann,
stehn‘ wir zusammen, Frau und Mann.
*
Das Fest versinkt in tausend Tränen.
Kein Mensch glaubt heute ans Versöhnen.
Das Weihnachtsfest in diesem Jahr
wird anders sein, als es mal war…
6 notes
·
View notes
Text
Kriti Sanon
7 notes
·
View notes
Text
viele verzweigungen auf dem handschuh - soll es die lunge darstellen, deren krankheiten hier eine große rolle spielen? so ganz erschließt sich mir das design nicht und schon garnicht die hellen pastellfarben zum düsteren roman... auch zum phantasiewort oder der wortneubildung empusion will es nicht wirklich passen. es spricht nicht wirklich an und lässt keine rückschlüsse auf den inhalt zu, dieses cover...
#olga tokarczuk#empusion#kampa verlag#kampa#roman#cover design#philosophenstreik#lara flues#lübbeke naumann thoben#umschlaggestaltung#Rezension#kritik#tobias bruns
2 notes
·
View notes
Text
Riad Sattouf - Der ARABER von morgen / Band 1 - 3.
Riad Sattouf - Der ARABER von morgen / Band 1 - 3. #graphicnovel #derarabervonmorgen #riadsattouf #lesejahr2024 #book #review #penguinverlag
View On WordPress
#Bücher#Buch#Buchbesprechung#Der Araber von morgen#Frankreich#Graphic Novel#Kritik#Lesejahr 2024#Lesen#Libyen#Literatur#Naher Osten#Penguin Verlag#Rezension#Riad Sattouf#Syrien
2 notes
·
View notes
Text
Lapangan
Dulu, kulihat anak-anak berlarian,
berlarian di lapangan.
Kaki-kaki mereka menjelajah,
menjelah setiap sudut lapangan.
Kini, tidak kulihat lagi mereka,
tidak kulihat lagi mereka berlarian.
Lapangan sudah tertutup,
tertutup baja-baja ringan.
Kenapa anak-anak harus mengalah?
Kenapa mereka yang kalah?
Apa kebahagiaan orang dewasa lebih genting?
Kenapa tidak sama penting?
Jakarta, 20 Mei 2024
4 notes
·
View notes
Text
Hi-Hi-Hilfe, mein letzter Text für den Tagesspiegel!
4 notes
·
View notes
Text
All of us Strangers (O-Ton)...
...ist eine Parabel über die Geister der Vergangenheit, die wir immer dann rufen, wenn wir etwas uns wichtiges verloren haben, oder uns auch nur verloren fühlen, in der Hoffnung, dass sie uns erhören, bei sich aufnehmen und noch einmal von der so tröstlich wärmenden wie bei Überdosierung gesundheitsgefährdenden Droge Nostalgie naschen lassen, ein Märchen über die Vampire, die manchmal vor unser aller Türen lauern, um uns zu verzehren, und die Sehnsucht nach Menschen, die diese Vampire vertreiben oder zumindest für ein paar Wochen, einen Tag, eine Nacht, einen flüchtigen Moment fern halten können, eine sehr persönliche Geschichte eines schwulen, einsamen Mannes und seine Erinnerungen und Sehnsüchte, eine sehr universelle Geschichte über unser aller Einsamkeiten, Erinnerungen und Sehnsüchte, welche die unterschiedlichsten Menschen, die ich sprach, an den unterschiedlichsten Stellen des Filmes so entdeckten, als sei ebendieser Film an ebendiesen Stellen ausschließlich für sie gemacht, ein Werk, das weniger von Verlust und Trauer erzählt, als davon was danach kommt und was davor war, und wie schlimm und wunderbar es sein kann, wenn wir dieses Davor und Danach zu etwas vermischen, von dem wir weder loskommen können noch wollen, eine Ode an die Liebe in all ihren Facetten, seien diese platonisch, familiär, romantisch oder ekstatisch, die dabei so ehrlich und offen ist, dass sich in einem selbst alles öffnet, bis man das Kino verlässt und auf dem Nachhauseweg heult wie noch nach keinem anderen Film zuvor.
Oder anders: "All of us Strangers" ist eines dieser filmischen Wunder, wie ich sie nur alle paar Jahre erleben darf und dann wieder weiß, warum ich dieses Medium so liebe.
Es ist mittlerweile einige Tage her, dass ich dieses unglaubliche Werk sah, und immer noch denke ich oft daran zurück und bin dann tief dankbar für all die Menschen, welche in meinem Leben für mich da waren, als die Vampire vor meiner Tür standen und mich verzehren wollten, und diese vertrieben oder zumindest für ein paar Wochen, einen Tag, eine Nacht, einen flüchtigen Moment fern hielten.
D.C.L.
#filmkritik#kritik#d.c.l.#spielfilm#chronicles of d.c.l.#drama#fantasy#all of us strangers#paul mescal#andrew scott#aous
21 notes
·
View notes
Text
Meueler: Konstant ist aber seine Kritik am Genozidbegriff, den damals die Friedensbewegung ebenso bemüht hat wie heute die Palästina-Solidarität. Für ihn gilt der Genozidbegriff für den industriellen Massenmord an den Juden und sonst eben nicht. Diese Kritik scheint mir von der Linken nicht reflektiert worden zu sein. Kannapin: Welch ein Wunder, dann müsste man ja nachdenken. Und vor allen Dingen ist gerade die Inflationierung dieser Art von Begriffen wie Genozid und Ähnlichem ein ganz klarer Ausweis, dass wir mitten in der Barbarei sind, weil eben diese Reflexionsebene fehlt. Wie Klaus schon gesagt hat: Heute gibt es genügend Anlässe für große Debatten, aber die Debatten finden nicht statt. Meueler: Immer wenn die Feuilletons von Debatten sprechen, sind es keine. Hayner: Es gibt diese interessante Bemerkung von Pohrt, dass die großen Feuilletons auf die Finanzkrise 2008 mit Debatten über Alternativen zum Kapitalismus reagierten. Und er fragte: Warum fangen die jetzt damit an? Das ist nach Pohrt ganz einfach: Sie wissen selber, dass es keine Alternative zum Kapitalismus gibt oder dass diese unter den jetzigen gesellschaftlichen Bedingungen zumindest nicht von den Debatten, die im Feuilleton geführt werden, abhängt. Diese Debatten haben also etwas zutiefst Illusionäres. Illusionspflege und Bekenntnisrituale ist Pohrt immer direkt angegangen, und das völlig zu Recht. [...] Kannapin: Wenn Autoren zu Werkausgaben und damit zu Klassikern werden, dann ist nicht die Frage, was Pohrt heute gedacht hätte, sondern: Wie kann man ihn als Denkhilfe benutzen?
In den 80er Jahren war der Soziologe und Publizist Wolfgang Pohrt der wichtigste Ideologiekritiker der westdeutschen Linken, der er nationalistische, autoritäre und antisemitische Tendenzen vorwarf. Dafür wurde er gehasst: Robert Jungk bezeichnete ihn als »verwirrten Typen«, der mit seiner »Aggressivität« nicht fertig werde; für Reinhard Mohr war er ein »deutscher Apokalyptiker«, und Hermann L. Gremliza nannte ihn einen »bürgerlichen Marxisten«. Er kam von der Kritischen Theorie und wollte aber lieber als Journalist als an der Universität arbeiten. Nach dem Mauerfall untersuchte er in zwei Studien das »Massenbewusstsein« der Deutschen (»Der Weg zur inneren Einheit«) und »Die Menschen im Zeitalter ihrer Überflüssigkeit« (»Brothers in Crime«) und zog sich sukzessive aus der Öffentlichkeit zurück. Er starb am 21. Dezember 2018 im Alter von 73 Jahren nach langer Krankheit. In der Edition Tiamat sind seine Werke in 13 Bänden erschienen – in ihrem blauen Einband sehen sie aus wie die von Marx und Engels.
[...]
Bittermann: Pohrt hatte als wissenschaftlicher Mitarbeiter einen total lockeren Job, aus heutiger Perspektive traumhaft. Er musste keinerlei Organisation und Bürokratie bewältigen und hatte die »Ein-Tage-Woche«, wie er mir mal schrieb, erfunden: Von Hannover bzw. Berlin nach Lüneburg fahren, das Seminar halten, dann wieder zurückfahren, und der Rest der Woche war frei. Aber er fand es deprimierend, in Lüneburg zu arbeiten vor Studenten, die mit der Kritischen Theorie nichts mehr anfangen konnten, von der er ja geprägt war. Doch ich kenne tatsächlich Leute, die sogar aus Hamburg nach Lüneburg angereist sind, um dort seine Seminare zu besuchen. Das heißt: Er ist als Wissenschaftler schon damals aufgefallen. Doch er hat die Uni als Ort empfunden, an dem man nichts bewirken kann. Er hätte ohne Probleme Professor werden können, das wurde ihm mehr oder weniger sogar angeboten. Aber er hat die Uni gehasst, vor allen Dingen seine Kollegen.
Hayner: Es gibt bei Pohrt etwas spezifisch Antiakademisches. Wenn man allein an seine Dissertation denkt, die »Theorie des Gebrauchswerts« – die legt direkt gegen die Professoralform des Marxismus los. Später gibt es Polemiken zum Staatsfeind auf dem Lehrstuhl, wo Pohrt sich dazu äußert, warum Adorno auf einem Lehrstuhl gelandet und warum das etwas anderes ist, als wenn seine gesamte Schülerschaft glaubt, sie müsse naturgemäß auch auf einem Lehrstuhl landen. Da gibt es eine große Abneigung dagegen, die Kritik zu institutionalisieren. Denn dann ist sie auch eingesperrt. Kritische Akademie heißt ja eben auch: Wirkungslosigkeit zu akzeptieren als eine Voraussetzung dafür, sein eigenes Zeug machen zu können.
[...]
Bittermann: Für Pohrt nicht. Man hat seinen Texten immer angesehen, worauf die rekurrieren und worauf die gründen. Christoph Türke hat damals gesagt, was er an Pohrt wirklich so bewundert habe, war, dass er es verstanden habe, die Theorie der Frankfurter Schule auf den Journalismus anzuwenden, ohne dass viel verloren gegangen sei. Das war die Kunst, und das war anspruchsvoller Journalismus, wo einem ansonsten meist nur Halbwissen angeboten wird.
[...]
Bittermann: Jakob, du hast in der »Welt«, als du Pohrts Briefe besprochen hast, die als letzter Band in der Pohrt-Ausgabe erschienen sind, gefragt: Was würde Pohrt heute sagen? Ich finde aber, dass Pohrt auf die heutige Zeit nicht so einfach anzuwenden ist. Für Pohrt hat immer der Grundsatz gegolten, dass die Wahrheit einen zeitlichen Kern hat. Was wahr ist, ist also davon abhängig, wie die gesellschaftlichen Verhältnisse sich entwickeln. Und die sind heute anders als in den 90er oder nuller Jahren. Die Ausländerverfolgung, die Pogrome Anfang der 90er, gab es später nicht mehr in dem Maße, wie Pohrt 2004 in »FAQ« schrieb. Zu diesem Zeitpunkt wurde die Ausländerverfolgung praktisch zur Staatsräson, als Schröder den »Aufstand der Anständigen« ausrief. In diesem Moment geht es dann darum zu fragen: Was steckt hinter dieser Politik? Das heißt nicht, dass Pohrt die vorhandene Ausländerfeindlichkeit geleugnet hätte, aber in dem Moment, wo der Staat, sich dieses Problems annimmt, geht es für einen Soziologen um andere Fragestellungen. Die Haltung, grundsätzlich misstrauisch gegen den Mainstream zu sein, die Pohrt auszeichnete, hätte für ihn heute vermutlich keinen Bestand mehr, denn der sich austobende Antisemitismus angesichts der Tatsache, dass sich Israel zur Wehr setzt, hätte ihn vermutlich ziemlich in Rage versetzt. Es ist also falsch, Pohrt vorzuwerfen, er habe seine Meinung wie seine Hemden gewechselt.
Kannapin: Das würde ich mittlerweile komplett anders sehen. Ich habe 2012 eine Polemik gegen seinen Band »Kapitalismus forever« geschrieben und fand, da sei er hinten runtergefallen, habe sozusagen seinen Frieden mit allen gemacht. Wenn man das aber im Nachhinein noch mal liest, dann stellt man fest, dass sich an Pohrts Grundpositionen nicht viel geändert hat. Nur die Sachlage ist eine andere. Er weiß nicht mehr, mit wem er kämpfen soll, also muss er sehen, wie er sich selber positioniert. Das gilt auch für »Das allerletzte Gefecht«: Man muss seine späteren Texte lesen, um dann auf seine früheren zurückzukommen. Und natürlich hätte er in so einer Kriegssituation wie jetzt nicht geschwiegen, da bin ich mir ziemlich sicher.
Hayner: Noch mal zur Frage »Was würde Pohrt heute sagen?«. Er hatte in den 80ern an der Friedensbewegung einiges auszusetzen, hat sie als »deutschnationale Erweckungsbewegung« bezeichnet. Wenn aber heute die Massen mit ihren Ukraine-Fähnchen wedeln und ihre Instagram-Profile damit schmücken, dann sind sich alle einig, dass, wer vom Frieden redet, als Putinist, mindestens als Friedensschwurbler zu gelten habe. Die marode Friedensbewegung ist nun keine nationale Erweckungsbewegung mehr, sondern nationales Feindbild. Deshalb kann man nicht sagen: 1982 gilt derselbe Pohrt wie 2023. Das Pohrt’sche Denken bietet uns trotzdem die Kategorien und die Begriffe und irgendwie auch den nötigen Schmiss, den nationalen Konsens zu analysieren: Heute ist nicht die Kriegsgegnerschaft, sondern die Kriegsbefürwortung tonangebend. Wer für den Frieden ist, kann nicht mehr für den Westen und für die Freiheit und was auch immer sein. In nahezu allen politischen Fragen heute gibt es im Großen und Ganzen nur Zustimmung. Und die geht bis zu dem Flügel der Linken oder der Regierung, der alles mitmacht, aber immer mit Bauchschmerzen. Abschiebung und Aufrüstung mit Bauchschmerzen.
Meueler: Konstant ist aber seine Kritik am Genozidbegriff, den damals die Friedensbewegung ebenso bemüht hat wie heute die Palästina-Solidarität. Für ihn gilt der Genozidbegriff für den industriellen Massenmord an den Juden und sonst eben nicht. Diese Kritik scheint mir von der Linken nicht reflektiert worden zu sein.
2 notes
·
View notes
Text
»Das Allgemeine sorgt dafür, daß das ihm unterworfene Besondere nicht besser sei als es selbst. Das ist der Kern aller bis heute hergestellten Identität.« (Theodor W. Adorno, Negative Dialektik: 306).
#theodor w. adorno#identität#allgemeines und besonderes#negative dialektik#identitätsdenken#kritik#kritische theorie#adorno#allgemeines#besonderes#totalität#herrschaft
8 notes
·
View notes
Text
Tatort: Donuts, Kritik
( Wiesbadener Kurier, 01.04 / der letzte Absatz @herzlak )
Ich mag Linda Selb sehr, weil sie eben etwas kühler und unnahbar scheint. Und ich glaube, die Autorin hat bei ihrer Kritik über die Darstellung von GerichtsmedizinerInnen ganz vergessen, dass es Henny Wenzel und Silke Haller gibt.
#tatort bremen#linda selb#liv moormann#kritik#german stuff#jaja ist geschmackssache.... aber ich habe mich aufgeregt über diesen artikel#tatort#dr. henny wenzel#henny wenzel#silke haller#alberich
22 notes
·
View notes