#kritik
Explore tagged Tumblr posts
yasirmukhtar · 2 months ago
Text
Siapa sih yang suka dikritik?
Ngga ada.
Manusia, pada dasarnya, cenderung menghindari kritik. Seberapa terbuka pun seseorang, saat menerima kritik, tubuhnya akan bereaksi secara alami: tegang, kontak mata jadi canggung, kadang ngefreeze karena bingung bagaimana harus merespons.
Karena itu, penting bagi kita untuk belajar menyampaikan kritik dengan cara yang baik.
Mungkin kamu pernah dengar tentang teknik sandwich. Dalam teknik ini, kritik disampaikan dengan cara yang “dibungkus” di antara dua lapisan apresiasi. Mulanya kita memberikan pujian, lalu menyisipkan kritik, dan menutupnya lagi dengan apresiasi.
Awalnya, saya juga skeptis dengan teknik ini. Saya lebih suka bicara blak-blakan saat memberikan kritik. Saya pikir teknik sandwich ini omong kosong motivator aja. Tapi ternyata, saya cuma kekurangan contoh dan referensi.
Akhirnya, saya bertemu seseorang yang pandai dalam menggunakan teknik sandwich ini. Beliau benar-benar membuka perspektif saya bahwa teknik ini bisa tetap relevan, sekalipun saat kita bicara dengan orang yang tahu teknik ini.
Coba bandingkan dua pernyataan berikut:
A. "Desainnya bagus, tapi terlalu kompleks dan banyak komponen custom, sehingga waktu pengerjaannya akan lebih lama. Mungkin bisa disederhanakan untuk memudahkan implementasinya. Tapi konsepnya bagus, kok."
B. "Desain ini terlihat modern dan punya sentuhan yang segar, terutama di hero section-nya. Kalau mempertimbangkan manpower dan waktu yang ada, menurut saya kita bisa memprioritaskan elemen-elemen yang paling penting dulu untuk tahap awal, lalu sisanya bisa kita rencanakan untuk iterasi berikutnya. Kalau ini terealisasi, saya yakin hasil akhirnya akan jadi sesuatu yang luar biasa."
Apa perbedaan keduanya?
Pernyataan kedua memberikan pujian yang lebih spesifik. Ketika kita bisa memberikan apresiasi yang spesifik, orang lain akan merasa dihargai secara tulus, bukan sekadar formalitas.
Selain itu, pernyataan kedua memosisikan kita di sisi yang sama dengan penerima kritik. Alih-alih menjadi pihak yang berseberangan, kita menunjukkan bahwa kita punya kepentingan yang sama dan menawarkan solusi untuk masalah yang sedang dihadapi bersama.
Kata "tapi" juga sebaiknya dihindari karena bisa menegasikan pujian yang sudah disampaikan.
Pernyataan kedua ditutup dengan optimisme yang bisa menguatkan motivasi lawan bicara.
Pendekatan ini juga efektif untuk memberikan kritik kepada anak-anak.
Anak-anak sedang dalam fase belajar dan pasti sering membuat kesalahan. Agar mereka tetap semangat belajar dari kesalahan tanpa merasa terhakimi, kita bisa menggunakan teknik sandwich.
Contoh:
A. "Wah, kamu hebat udah mau beresin kamar. Tapi masih ada mainan-mainan yang ketinggalan di sini. Jangan lupa diberesin juga, ya. Makasih, I love you."
B. "Wah, kamarnya sekarang sudah terasa lebih rapi dan nyaman banget, apalagi kasurnya. Tinggal sedikit lagi selesai, nih. Kalau mainan-mainan ini juga dibereskan, kamar kamu bakal jadi super nyaman. Setelah itu, kita sarapan bareng, ya. Makasih, I love you."
Kedua pernyataan ini sama-sama bagus, tapi pernyataan kedua terasa lebih kuat karena:
Memberikan pujian yang spesifik, sehingga terasa lebih tulus.
Mengarahkan apresiasi pada hasil dari usaha anak, bukan hanya tindakannya. Hal ini membantu anak belajar mencintai proses usaha mereka.
Menghindari kata “tapi” yang sering kali membuat pujian terasa “batal” oleh kritik.
Teknik sandwich bisa terasa cheesy kalau kita menggunakannya sebagai template.
Tapi, kalau kita benar-benar mengadopsinya sebagai cara pandang, teknik ini akan membentuk pola pikir dan komunikasi kita, sehingga kritik dapat disampaikan dengan lebih efektif dan membangun.
Sekian dan terima kasih.
123 notes · View notes
bayuvedha · 4 months ago
Text
"Sekolah Is Bulshit??"
Potret Buram Pendidikan Kita: "Ketika sekolah tak lagi menjadi tempat belajar, tapi ladang profit, siapa yang sebenarnya dicerdaskan?"
Sebagai seorang guru yang juga seorang konten kreator, saya sering merasa gemas dengan wajah pendidikan Indonesia yang—alih-alih berkembang—justru terjebak di antara aturan kaku dan mentalitas yang tidak relevan dengan kebutuhan generasi saat ini. Pendidikan seharusnya membimbing dan membuka potensi anak-anak kita, tapi kenyataannya sistem pendidikan Indonesia malah sering berfokus pada kekurangan, bukan kelebihan anak. Setiap siswa diukur dengan standar yang sama meskipun keunikan mereka berbeda. Misalnya, ada anak yang luar biasa berbakat di bidang fotografi dan videografi, tetapi sistem mewajibkan mereka untuk mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dalam pelajaran menggambar. Bukannya didorong untuk mendalami potensi, mereka malah dicap "gagal" hanya karena bakat mereka tidak ada di jalur akademik konvensional.
Lebih parahnya, saya juga melihat anak-anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk merasakan realitas dunia kerja. Bayangkan saja, di SMK misalnya, mereka dipersiapkan untuk dunia kerja yang penuh tekanan deadline, disiplin tinggi, dan tuntutan kualitas, tapi banyak guru yang enggan memberikan latihan seperti itu karena khawatir akan Undang-Undang Perlindungan Anak. Ironisnya, akibat ketakutan itu, anak-anak malah tumbuh dengan mental "tempe" dan merasa mereka tidak perlu bekerja keras atau menerima teguran. Sejujurnya, dunia kerja tidak akan memperlakukan mereka sebaik itu, dan sikap menghindar ini tidak mendidik mereka untuk siap menghadapi tantangan hidup yang nyata.
Lalu ada lagi "jaminan" naik kelas yang dianggap seolah wajib, bahkan ketika siswa tersebut tidak memenuhi kualifikasi. Sebagai seorang guru, saya pernah tidak meluluskan sembilan siswa dan tidak menaikkan dua belas siswa lainnya—tentu saja ini kontroversial. Keputusan saya membuat beberapa siswa merasa malu, bahkan mereka akhirnya pindah sekolah. Kenapa ini jadi masalah besar? Karena banyak sekolah yang takut prosentase kelulusan mereka turun. Kenyataannya, sistem dapodik dan akreditasi sekolah masih sangat bergantung pada statistik kelulusan yang 100%. Jika anak tidak naik kelas atau lulus, sekolah bisa terancam nilainya, dan dampaknya, sekolah lebih memilih "memaksa" anak naik kelas, terlepas dari apakah mereka sudah layak atau belum.
Sekolah swasta, terutama, sering kali lebih mirip bisnis keluarga daripada lembaga pendidikan. Fokus utama mereka bukan lagi mencerdaskan bangsa, melainkan mengejar profit. Guru dituntut untuk bergelar S1, bahkan S2, tetapi gaji yang mereka terima jauh di bawah UMR. Dana BOS yang seharusnya untuk operasional guru, sering kali hanya lewat tanpa sampai pada guru yang benar-benar mengajar. Guru akhirnya harus bekerja sambilan, membuka les, atau bahkan berjualan online hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup selama satu bulan. Bagaimana kita bisa berharap pendidikan berkualitas jika guru-gurunya justru harus membagi pikiran antara mengajar dan mencari penghasilan tambahan?
Selain itu, kita juga menghadapi tantangan dari orang tua yang terlalu campur tangan. Berdasarkan analisis pribadi saya, banyak orang tua yang lahir di tahun 70-an hingga 90-an tampaknya memiliki “dendam terpendam” terhadap pengalaman mereka dulu yang penuh disiplin keras. Mereka pernah merasakan hukuman fisik dari guru, yang saat itu dianggap wajar. Kini, ketika anak mereka mengalami masalah di sekolah, orang tua ini sering menolak pendekatan serupa, bahkan mendampingi anaknya secara berlebihan, dan guru pun jadi sulit mengambil sikap tegas.
Banyak variabel yang membuat sistem pendidikan kita kompleks dan berat untuk berkembang. Sekolah terjebak pada kebutuhan mencari keuntungan, guru harus berjibaku untuk bertahan hidup, dan pemerintah terus merumuskan kebijakan yang sayangnya tidak berbasis kondisi lapangan. Tanpa perubahan mendasar, pendidikan kita akan terus jalan di tempat. Pendidikan seharusnya membebaskan, tapi realitas yang terjadi malah sebaliknya.
15 notes · View notes
dclblog · 6 months ago
Text
Deadpool & Wolverine (O-Ton)...
Tumblr media
...ist in seinen besten Momenten ein zum Brüllen komischer Metareigen mit zwei überaus unterhaltsamen Superstars, welche sich beide voll reinwerfen, in seinen schwächeren der zum Scheitern verurteilte Versuch, sich organisch in das MCU einzugliedern, was vor allem im Mittelteil in Erklärbärkaskaden mündet, die offen gestanden für die ein oder andere Länge sorgen. Aber auch wenn dieser Film die Frische der ersten halben Stunde nie mehr erreichen soll, so bleibt es doch insgesamt ein kurzweiliger Quatschreigen, welcher sehr selten an die Qualitäten des ersten Teils heranreichen mag und aufgrund der Halbwertszeit seiner Witzchen in ein paar Jahrzehnten wohl nur noch von Geschichtsfans goutiert werden wird - anders als zum Beispiel James Gunns zeitloses Meisterstück "Guardians of the Galaxy" - der aber im Hier und Jetzt allen mit dem nötigen Backroundwissen Ausgestatteten eine wirklich vergnügliche Zeit bescheren kann.
D.C.L.
20 notes · View notes
o-agassy · 9 months ago
Text
Pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier
Mohon maaf pak mentri pendidikan yang budiman. Bagi orang kecil seperti kami, kuliah adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki taraf hidup dan mengangkat derajat serta status sosial keluarga kami.
Kami tak punya uang untuk dijadikan "pelicin" guna masuk kerja pada instansi-instansi tertentu. Karena untuk menyambung hidup saja orang tua kami selalu berhutang. Tutup lubang gali lubang.
Sejak SMA, kami selalu punya mimpi untuk dapat sekolah tinggi, kemudian dapat bekerja mapan dan memperbaiki ekonomi keluarga. Keluar dari zona tidak nyaman ini adalah opsi satu-satunya yang kami punya pak.
Kami orang biasa hanya punya mental bonek disertai dengan komitmen dan determinasi untuk beranjak dari kemiskinan.
Jika akses pendidikan tinggi hanya untuk orang kaya, lalu bagaimana nasib kami? apakah kami tidak diizinkan untuk menikmati apa itu pendidikan? apakah kami harus terus di garis kemiskinan?
jika demikian, makan harus ada yang dirubah dari semboyan negara ini, dari "keadilan sosial bagi seluruh seluruh rakyat Indonesia" menjadi ""keadilan sosial bagi sebagian rakyat Indonesia"
28 notes · View notes
maria-koralle · 2 months ago
Text
Tumblr media
Gedenken
Es pfeift ein Wind um leere Stände,
und an dem Zaun vom Festgelände,
da weht ein schwarzes Seidenband.
Wo gestern noch die Tanne stand.
*
Der Platz verwaist, es fliegt Papier.
Der Turnschuh liegt noch immer hier.
Die schwarzen Vögel flogen fort.
Und Trauer senkt sich auf den Ort.
*
Kein Glaube, keine Hoffnung ist,
weil man das eigne Volk vergißt.
Und wenn man uns nicht schützen kann,
stehn‘ wir zusammen, Frau und Mann.
*
Das Fest versinkt in tausend Tränen.
Kein Mensch glaubt heute ans Versöhnen.
Das Weihnachtsfest in diesem Jahr
wird anders sein, als es mal war…
9 notes · View notes
theoniprince · 2 months ago
Text
Weil Tittelbach derzeit Thema ist (nur anderer ein Tatort Kontext):
7 notes · View notes
variable-markus-h · 12 days ago
Text
ne Lehre durch mein transparent sein
Als ich sooo Depressiv war, konnte mir wohl nur noch ne Klinik (jene mit damals bestem Ruf) helfen ....in der Klinik, gabs 2 Bettzimmer. Mein Zimmerkollege und ich kamen ganz gut klar miteinander, konnten uns gegenseitig auch weitere Sichtweisen geben. Als etwa 5 Wochen vorbei waren, war mein Zimmerkollege kurz vor mir aus therapiert.
3 Tage vor meinem Gehen, kam ein Neuer zu mir ins Zimmer. Er hatte beim ersten Blick das wahrscheinlich typische aussehen, daß er ne Psychose hatte. Als wir dann redeten .... da fühle ich mich sogleich vöööllig transparent in seinen Augen. Und das hatte er ungefragt gekuckt. Und wieder erwartend, sogar Falsch machte. Er hatte sein kucken zwar verbergen wollen, merkte also schon das Fremde, wo er sich sogar etwas mitlieferte, das machte auch ihn auf ne kleinere Weise aber ausreichend transparent, hatte sogar seine Hürden gesehen, die er noch zu lösen hatte und sehr verzwickt waren. Während er bestimmt mein Unwohlsein gesehen hatte, da ich mich ja ganz durchlöchert fühlte. Leider war das mein unbewusst einzige, das er als Kritik hätte verstehen können. Hatte ja eigentlich einen wirklichen Grund bekommen, wo ich ihn wirklich Kritisieren hätte können. Hatte es aber unwissend auch nicht getan. Ist mir halt leider erst kurz nach der Klinik bewusst, also mir transparent, geworden. ja, ne Psychose , da sieht man mal was passieren hätte können, wenn du nie ne Kritik bekommen hättest. Also bedanke dich artig, wenn dich Jemand kritisiert ;)
3 notes · View notes
universaldoubts · 2 months ago
Text
Gute Vorsätze fürs neue Jahr:
-wir lassen uns unseren schönen Positivismus nicht von diesen pervers-pessimistischen Kritikschweinen kaputt machen
- einen Tierfutterhandel aufmachen, der Waukaumau heißt
3 notes · View notes
cakrawala12 · 14 days ago
Text
TAMU
Orang kota datang, merengek minta susunya, lalu bergaya petantang-petenteng dengan lagaknya.
Mengangkang arogan diatas jutaan kepala manusia.
Tanpa tau pangannya dari sumber matair yang mana
4 notes · View notes
adilemadil · 10 months ago
Text
Tumblr media
“Masih aja ributin hal ini, pantes Indonesia ga maju-maju!”
Kalimat tersebut seringkali kita dapati ketika ada keributan di sosmed tentang berbagai isu yg sedang hangat. Teruntuk yg mungkin masih dan pernah berpikiran demikian, kritik itu sah-sah saja, tapi mbok ya yg tepat sasaran~
7 notes · View notes
i-got-the-feels · 1 year ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Kriti Sanon
7 notes · View notes
philosophenstreik · 5 months ago
Text
Tumblr media
viele verzweigungen auf dem handschuh - soll es die lunge darstellen, deren krankheiten hier eine große rolle spielen? so ganz erschließt sich mir das design nicht und schon garnicht die hellen pastellfarben zum düsteren roman... auch zum phantasiewort oder der wortneubildung empusion will es nicht wirklich passen. es spricht nicht wirklich an und lässt keine rückschlüsse auf den inhalt zu, dieses cover...
2 notes · View notes
arcimboldisworld · 8 months ago
Text
Riad Sattouf - Der ARABER von morgen / Band 1 - 3.
Riad Sattouf - Der ARABER von morgen / Band 1 - 3. #graphicnovel #derarabervonmorgen #riadsattouf #lesejahr2024 #book #review #penguinverlag
Tumblr media
View On WordPress
2 notes · View notes
dclblog · 1 year ago
Text
All of us Strangers (O-Ton)...
Tumblr media
...ist eine Parabel über die Geister der Vergangenheit, die wir immer dann rufen, wenn wir etwas uns wichtiges verloren haben, oder uns auch nur verloren fühlen, in der Hoffnung, dass sie uns erhören, bei sich aufnehmen und noch einmal von der so tröstlich wärmenden wie bei Überdosierung gesundheitsgefährdenden Droge Nostalgie naschen lassen, ein Märchen über die Vampire, die manchmal vor unser aller Türen lauern, um uns zu verzehren, und die Sehnsucht nach Menschen, die diese Vampire vertreiben oder zumindest für ein paar Wochen, einen Tag, eine Nacht, einen flüchtigen Moment fern halten können, eine sehr persönliche Geschichte eines schwulen, einsamen Mannes und seine Erinnerungen und Sehnsüchte, eine sehr universelle Geschichte über unser aller Einsamkeiten, Erinnerungen und Sehnsüchte, welche die unterschiedlichsten Menschen, die ich sprach, an den unterschiedlichsten Stellen des Filmes so entdeckten, als sei ebendieser Film an ebendiesen Stellen ausschließlich für sie gemacht, ein Werk, das weniger von Verlust und Trauer erzählt, als davon was danach kommt und was davor war, und wie schlimm und wunderbar es sein kann, wenn wir dieses Davor und Danach zu etwas vermischen, von dem wir weder loskommen können noch wollen, eine Ode an die Liebe in all ihren Facetten, seien diese platonisch, familiär, romantisch oder ekstatisch, die dabei so ehrlich und offen ist, dass sich in einem selbst alles öffnet, bis man das Kino verlässt und auf dem Nachhauseweg heult wie noch nach keinem anderen Film zuvor.
Oder anders: "All of us Strangers" ist eines dieser filmischen Wunder, wie ich sie nur alle paar Jahre erleben darf und dann wieder weiß, warum ich dieses Medium so liebe.
Es ist mittlerweile einige Tage her, dass ich dieses unglaubliche Werk sah, und immer noch denke ich oft daran zurück und bin dann tief dankbar für all die Menschen, welche in meinem Leben für mich da waren, als die Vampire vor meiner Tür standen und mich verzehren wollten, und diese vertrieben oder zumindest für ein paar Wochen, einen Tag, eine Nacht, einen flüchtigen Moment fern hielten.
D.C.L.
21 notes · View notes
hongibi · 9 months ago
Text
Lapangan
Dulu, kulihat anak-anak berlarian,
berlarian di lapangan.
Kaki-kaki mereka menjelajah,
menjelah setiap sudut lapangan.
Kini, tidak kulihat lagi mereka,
tidak kulihat lagi mereka berlarian.
Lapangan sudah tertutup,
tertutup baja-baja ringan.
Kenapa anak-anak harus mengalah?
Kenapa mereka yang kalah?
Apa kebahagiaan orang dewasa lebih genting?
Kenapa tidak sama penting?
Jakarta, 20 Mei 2024
4 notes · View notes