Tumgik
#rintik
mputraff · 2 years
Text
4
Dari balik kaca aku melihat langit yang terus menerus kelabu. Mengeluarkan rintiknya satu per satu. Membuatku terjebak layaknya di penjara, tidak bisa kemana-mana hanya bisa berlindung di balik pintu.
Namun, setelah di lihat-lihat, rintiknya memberikan asupan pada tanaman depan rumah. Membuat benihnya tetap hidup dan tumbuh. Jadi hari ini aku mau bersyukur. Terima kasih Tuhan pemberian-Mu tidak pernah sia-sia meski dari pagi hingga sore langit tetap berwarna abu.
Rancaekek, hujan belum berhenti dari tadi pagi.
13 notes · View notes
nerveilleux · 2 years
Text
kamu yang sedang di pikiran
seakan nyata
sedetik kemudian nyata
lalu aku berdoa
semoga detik berikutnya
dan terus berikutnya
jangan pergi lagi
26 Maret 2023
8 notes · View notes
creamyforsastra · 1 year
Text
Hujan dan Kenangan
1.3
Kau tau, mengapa hujan itu sendu?
Karena ia selalu menutup lukanya dengan rintik sendu.
2 notes · View notes
irmodayo · 11 months
Text
Paus, terima kasih untuk podcast terakhir kamu, we're okay, kid. Aku juga salah satu anak broken home. Ya, seperti yang kamu bilang kalo broken home tidak selalu mereka yang orang tuanya bercerai. Orang tuaku, mereka masih bersama-sama hingga detik aku menulis ini. Tapi jika melihat ke dalam, mereka seperti sedang tidak bersama. Mungkin sulit dimengerti dari luar, namun sebagai sesama anak yang menghadapi situasi menakutkan ini, kamu pasti akan paham. Setiap hari aku menyaksikan mereka bertengkar, berdebat, dan banyak perselisihan lain since I was 13 and now I'm 23. Aku nggak bisa bilang keadaan membaik, tapi setidaknya dengan bertambah dewasanya aku, aku jadi sedikit lebih kuat menghadapi itu semua. Aku juga tidak bisa mengklaim bahwa diriku sudah berdamai, karena pada kenyataannya mau seberusaha apapun aku mencoba memutar cerita sedih ini menjadi komedi, aku tetap saja akan menangis saat membicarakan perihal ini.
Ini tulisan pertamaku yang membicarakan tentang sesuatu yang selama ini aku tutupi dari semua orang. Aku merasa itu aib. Tapi sejak mendengarkan ceritamu, aku merasa aku harus memberi respon. Tanggapan yang kumaksudkan sebagai bentuk terima kasih karena sudah mau berbagi tentang hal menakutkan ini. Saat mendengarkannya aku merasa seperti dipeluk, seperti punya teman yang mengatakan bahwa aku bukan satu-satunya orang yang menderita. Kesannya sedikit jahat jika aku bersyukur karena mengetahui fakta bahwa ada orang lain yang merasakan kesakitan yang sama, tapi mengetahui kenyataan bahwa aku tidak sendirian, itu sangat melegakan. Jadi aku memutuskan untuk mengeluarkan isi perasaanku sebagaimana kamu melakukannya. Aku juga ingin membuat orang lain di situasi yang sama merasa tidak sendirian, just like the way you make me feel better. Aku pun ingin mengatakan kepada diriku sendiri bahwa hal ini sama sekali tidak memalukan, ini sudah menjadi bagian hidupku yang mengantarkanku pada titik dimana aku bisa menjadi diriku yang sekarang. Butuh banyak keberanian untuk jujur dalam tulisanku sendiri. Butuh banyak keberanian juga untuk menerima bahwa aku memang punya kekurangan. Butuh keberanian juga untuk menghadapi bahwa setelah orang lain membaca tulisan ini, mereka mungkin akan mengasihaniku, padahal aku tidak begitu suka dikasihani. Tapi aku tidak bisa selamanya berpura-pura bahwa kekuranganku itu tidak pernah ada. Suatu hari pun, aku pasti harus mengungkapkan semua ini. Maka aku memilih mengungkapkannya sekarang.
Paus, hampir setiap kata-kata yang kamu sebut, aku bisa merasakannya. That's why I cried, a lot. Aku percaya diri dengan semua yg aku punya. Aku tidak pernah merasa malu dengan warna kulitku atau gigi kelinciku. Tapi aku malu dengan latar belakang keluargaku. Aku berusaha menyembunyikannya dalam bentuk yang baik, namun pada ujungnya insecurity-ku kembali muncul. Aku pun baru saja merasakan puncaknya sekitar satu bulan lalu, ketika crush-ku menikah. Lucu sekali, Us. Aku sampai sakit satu minggu lamanya. Tidak bersemangat untuk bangkit dari kasur dan serasa asing dengan diriku sendiri. Mungkin yang teman-temanku lihat adalah aku yang patah hati karena putus cinta. Mereka berusaha membuatku merasa baik dengan mengatakan bahwa aku pasti akan menemukan penggantinya. Aku sangat menghargai itu. Sayangnya, yang membuatku patah hati bukanlah kepergian orang yang aku sukai. Namun perasaan tak aman yang menjadi hantu terbesar dalam hidupku. Tapi saat itu aku tidak bisa menceritakannya kepada mereka. Sama sepertimu, Us. Hantu ini membuatku serasa seperti aku tidak layak untuk siapapun. Ketika menerima kabar bahwa ia menikah melalui undangan yang diberikan langsung kepadaku, rasanya duniaku runtuh. Aku menghela nafas panjang, like you said, here we go again. Sedih sekali hingga aku harus mempertanyakan eksistensiku sebagai seorang perempuan, apakah laki-laki yang sempurna tidak ditakdirkan bersama seorang pasangan yang memiliki ketidaksempurnaan sepertiku? 
Selama ini aku berusaha meyakinkan diriku bahwa kekuranganku pasti bisa dimaklumi. Aku yang sebelumnya sangat takut untuk menyukai seseorang, saat itu telah memberanikan diri. Ketika aku sudah mulai yakin –bahkan aku berencena mengutarakn perasaanku, semuanya hancur. Melihat ia dengan calon istrinya beserta latar belakang keluarganya yang sempurna, membuatku malu. Aduh, siapa sih aku. Dalam proses menuju pernikahan, bibit selalu menjadi satu dari tiga pertimbangan filosofis sebagai kriteria pasangan yang berkualitas. Aku, tidak punya bibit yang bagus, Us. Kurasa nanti itu akan menjadi pertimbangan terberat dalam berpasangan. Sekarang, aku belum berani menyukai seseorang seperti aku menyukai dia. Hantu ini semakin menjadi-jadi ketika pada suatu waktu bergulir di beranda sosial mediaku. Lalu aku melihat sebuah unggahan yang mengajak open discussion soal perspektif masyarakat mengenai berpasangan dengan anak broken home. Aku kecewa, sebab mereka mengatakan bahwa anak seperti kita pasti berpotensi mengulang sejarah untuk kedua kalinya, jadi lebih baik dihindari saja dalam berpasangan. Paus, rasanya aku marah dan ingin memberontak. Semua pondasiku untuk berdiri tegap menerima keadaanku seolah tidak valid bagi mereka. Apakah serendah itu menjadi anak broken home? Padahal jika bisa memilih, aku tidak akan mau melalui jalan cerita seperti ini. Padahal kita juga punya mimpi untuk memperbaiki kesalahan kedua orang tua kita. Padahal kita juga punya angan untuk mengubah masa depan kita menjadi tidak abu-abu. Kakiku serasa terseok-seok, Us. Sebab semua keraguan menyerangku. Aku masih punya ketakutan jika insecurity-ku tidak bisa dimaklumi. Aku juga masih belum percaya diri untuk memulai hubungan. Mungkin nanti lelakiku bisa menerima, tapi apakah keluarganya bisa menerima keadaanku juga? Semoga bisa ya, Us. Akan melelahkan jika aku harus menjelaskan semua kepedihanku dari mula hingga akhir, tapi ya itu sudah menjadi konsekuensi dari takdirku. Untungnya aku masih optimis, bahwa Tuhan pasti memberikan hadiah yang lebih indah. Semoga lelakiku nanti bisa membantuku mewujudkan rumah baru yang lebih hangat. Aku ingin membuktikan ke diriku sendiri (bukan mereka) jika gadis kecil yang berasal dari puing-puing bangunan yang roboh juga bisa membangun rumah yang lebih indah. Aku ingin mengisi rumah yang lebih layak untuk suami dan anak-anakku nanti dengan cerita yang indah-indah saja. Aku ingin bisa diterima sebagai diriku, kekuranganku, dan masa laluku. Mimpiku dalam berkeluarga sesederhana ini, Us. 
Mari kita tetap jalan hingga menemukan rumah yang kita impikan. Meski rumahku yang sekarang berantahkan, aku berusaha membuat diriku sendiri tidak turut terkubur dalam puing-puing itu. Aku mencari prestasi dan membuat diriku dengan versi terbaiknya. Just like you said, my home is broken, but I’m not. Aku akan terus berusaha menjadi diriku sendiri yang tak kehilangan arah. Aku akan terus kuat untuk diriku sendiri. Kami sudah berjalan sejauh ini untuk bertahan, mereka mungkin belum memahami betapa berterima kasihnya aku kepada diriku dan semua anak dalam situasi sepertiku. Terima kasih karena telah mau susah payah bertahan dan tetap percaya akan janji keindahan dari Tuhan dan pengharapan kita sendiri. Tidak lupa juga untuk tetap menghargai diri sendiri dalam bentuk yang compang-camping dan hati yang berlubang, semoga kelak kita bisa menemukan seorang ksatria sehidup semati yang menjadi penyempurna dalam perjalanan mewujudkan cita. Aku akan selalu berdoa untukku, untukmu, dan untuk kita semua agar tak ada lagi mimpi buruk yang menakutkan. Semangat, ya. Semua yang sedih-sedih itu tidak abadi, kok. 
1 note · View note
ayeshadasilva · 2 years
Text
Tumblr media
Pelukku Untukmu
Tetesan hujan membasahi bumi Tumbuh subur tumbuhan dan bunga bermekaran Tik tik tik suara dan aroma hujan melekat memeluk tiap-tiap relung jiwa.
Jutaan atau bahkan milyaran tetesan hujan Terbuka lebar pintu permintaan Harapku terlangitkan tinggi Pintaku sembah memohon
Pada pemilik alam semesta Jadikan mudah jalanku menuju Ringankan langkah untukku menjadi sampai Lancarkan lisan untukku berucap Nyatakan peluk untukku mendekap
Rindu yang selalu tersimpan Harap yang selalu terlangitkan Senyum haru meluaskan pandangan Terukir indah sebuah ketenangan Dalam dekap memeluk dengan kehangatan Walau masih menjadi impian
Ridha selalu dipinta, Begitupun keberkahan semoga terlimpahkan.
Pelukku untukmu, Masih sebatas memeluk lewat doa yang ku panjatkan Dariku untukmu Tanpa, batas waktu.
0 notes
Text
Hujan Rintik Sejak Pagi Tak Halangi Evakuasi 5 Korban Gempa Cianjur
Hujan Rintik Sejak Pagi Tak Halangi Evakuasi 5 Korban Gempa Cianjur
BELANEGARANEWS.ID, CIANJUR || Tim gabungan K9 Polri, Basarnas, dan TNI berhasil mengevakuasi korban hilang yang tertimbun tanah usai gempa Cianjur, Jawa Barat (Jabar). Kali ini, evakuasi menemukan lima jenazah di wilayah Kecamatan Cugenang. Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, evakuasi korban kali ini harus melewati medan yang cukup menantang. Selain karena gundukan tanah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
auliasalsabilamp · 6 months
Text
What is the most beautiful part of rain?
Ketika aroma dan suara hujan membuatmu mengingat setiap karunia Rabbmu, melangitkan doa terbaik diwaktu mustajab, dan mendoakan setiap orang yang kamu cintai disetiap rintik air yang jatuh.
Ya Rabbi, untuk setiap orang yang pernah melukiskan senyum diwajahku walau sedetik, berikan ia kebahagiaan seumur hidupnya.
Senin, 06 Syawal 1445 H.
117 notes · View notes
nurunala · 3 months
Text
Cerpen: Hujan atau Cinta
Mungkin, memang sudah seharusnya aku berterima kasih kepada hujan. Rintik-rintik kenangan yang menahan kita tetap di sini. Mendengarkan cerita satu sama lain. 
Kamu bercerita, aku bercerita—dan entah sudah berapa dusta yang aku cipta. 
Hujan menggenang lubang-lubang jalan. Burung-burung berteduh.
Hatiku mengaduh.
Inikah rasanya jatuh, terluka, tapi harus terus berpura-pura?
“Siapa dulu yang ketawa ngakak sampai jatuh dari pohon?”
Dahimu selalu berkerut jika sedang bertanya. 
“Amar? Yang celananya sobek?”
“Iya bener, Amar! Celananya sampai sobek ya? Oh iya!”
Kamu tertawa lepas sambil reflek menepuk lengan kiriku. 
Aku selalu suka tawa itu. Terutama saat pemicunya adalah aku. 
Sejak dulu, aku selalu ingin jadi sumber bahagia dalam hidupmu.
“Kamu, lama di sini?”
Akhirnya, kuberanikan diri bertanya. Mengukur kemungkinan berapa kali lagi kita bisa berjumpa. Untuk sekadar bertukar cerita, bernostalgia, atau … menumbuhkan lagi rasa? 
“Besok jam 6 pagi udah ke Jakarta lagi,” jawabmu datar. 
Besok pagi? Maksudmu, 14 jam dari sekarang? 
“Buru-buru amat. Baru aja sampai tadi pagi.”
Kamu menatap mataku sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan. Seolah mengamati hujan yang belum juga mereda.
“Ayah cuma cuti sehari. Makanya habis resepsi Risma tadi, ayah sama ibu langsung keliling-keliling buat silaturahmi. Udah lama banget gak ke sini. Ada kali ya 5 tahun?”
Tepatnya, 6 tahun 2 bulan. 
Hari ini 27 Agustus 2023. Kamu dan keluarga meninggalkan desa ini untuk pindah ke Jakarta sejak 25 Juni 2017. Saat kita mau naik kelas 2 SMA. 
Banyak yang bilang aku pelupa. Tapi tentangmu, percayalah: aku pengingat yang baik. 
“Iya, sekitar 5 tahunan. Ya, lumayan. Kalau orang, kira-kira umur segitu udah TK lah.”
“Udah bisa maling jambu di kebun Pak Muchtar, ya?”
Pertanyaanmu memanggil kembali ingatan masa kecil kita. Hari-hari di masa lalu ketika kita lebih mudah bahagia karena belum banyak mau. 
“Kamu kan yang nyuruh?”  
Seperti tak terima dituduh, kamu langsung mengklarifikasi, “Aku gak nyuruh. Aku cuma bilang, aku pengen jambu air.” 
Kamu selalu begitu. 
Menyembunyikan ego di balik keluguanmu. Itu alasan kita berpisah 6 tahun lalu, kan? Saat kamu bilang, hubungan jarak jauh melelahkan dan enggak akan berhasil. 
Tak lama setelah kamu mengatakan itu, kamu mengunggah foto dengan seseorang yang lain–alasan sebenarnya kita berpisah?  
Lalu kita berhenti saling mengikuti di media sosial. 
Setelah belasan tahun pertemanan …
Setelah setahun saling mengungkap perasaan … 
Kita tiba-tiba menjadi dua orang asing. 
Aku berusaha melupakanmu dan meneruskan langkah. Aku berusaha untuk baik-baik saja, memajang senyum dan tawa ke mana-mana. 
Berusaha percaya pada mereka yang berkata, ‘waktu akan menyembuhkan’. Argumen paling tolol yang pernah aku amini. 
Karena, bahkan hingga hari ini, 6 tahun kemudian … 
Saat takdir kembali mempertemukan kita di desa ini–tempat segalanya tumbuh dan bersemi, aku sadar: aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu. 
Bahwa menghapus ingatan tentangmu, adalah sama dengan menghapus seluruh ingatan di kepalaku. 
Bahwa ternyata luka ini, tak pernah benar-benar sembuh.
“Pohon jambunya, masih ada enggak sih?”
Tanyamu sambil melempar pandangan jauh ke sebuah rumah, lalu mengarahkan telunjukmu ke sana.
“Rumahnya yang di situ, kan?”
Aku mengangguk.
“Masih ada, kayaknya. Pohon jambu kan gak bisa tiba-tiba pindah ke Jakarta.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, memicu senyum sinis di wajahmu. 
“Imran, si paling jago kalau nyindir orang.”
“Nadia, si paling …”
“Si paling apa?”
Dahimu berkerut lagi. 
“Si paling cantik,” ada lengkung senyum di wajahmu sebelum berubah jadi ekspresi kesal saat aku melanjutkan, “di Geng Jambu.”
“Yeeh kan aku emang cewek sendiri. Tapi …”
Ada jeda sebentar sebelum kamu melanjutkan kalimat. Seolah kamu ragu.
“... di ingatan kamu, aku kayak gitu ya? ‘Tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Kayak … seolah-olah itu semua kemauan aku.”
“Aku nggak bilang gitu.”
“Kamu tadi bilang, ‘tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Maksudnya aku, kan?”
“Tiba-tiba atau enggak, di ingatan aku, kamu pergi.”
“Dan di ingatan aku, kamu menghilang.”
“Kamu kan yang minta aku menghilang?” tanyaku tak terima. 
“Aku? Aku minta kamu menghilang?” giliran kamu yang tak terima. 
“Kamu bilang, kamu capek sama aku.”
Mendengar ucapanku, kamu terdiam sebentar. Seperti menata kata dalam kepala. Lalu serupa hujan yang tiba-tiba menderas, kalimat demi kalimat meluncur dari mulutmu.
“Aku bilang, aku capek, karena kamu terus-terusan mempertanyakan kepergian aku ke Jakarta. Terus-terusan protes sama kita yang harus tiba-tiba pisah. Terus-terusan ngeluh karena kita jadi gak bisa lagi ketemu setiap hari. Aku gak pernah minta kamu menghilang.”
Nada bicaramu tiba-tiba meninggi. 
Sementara aku masih memproses kata-katamu, kamu bicara lagi.
“Kamu pikir aku gak sedih kita pisah? Kamu pikir aku gak pernah protes? Kamu pikir aku suka keluar dari zona nyaman aku, harus beradaptasi sama orang-orang kota yang sok tau, dikatain kampungan … Selama ini, kamu mungkin mikir aku egois. Tapi, aku tuh …”
Kalimatmu tertahan di sana. Kamu menghela napas dalam, dan matamu mulai berkaca-kaca. 
Hujan di luar sudah hampir reda, hujan di matamu jatuh begitu saja.  
“Maaf. Aku yang egois.”
Hanya itu yang bisa kukatakan. 
Kamu menyeka air mata dengan jemarimu, lalu memaksa bibirmu untuk tersenyum. 
“Aku yang maaf. Kenapa jadi marah-marah gini, ya?” 
“Karena aku emang nyebelin?”
“Iya. Nyebelin banget,” ujarmu sambil memanyunkan bibir sedikit. Kebiasaan yang selalu kamu lakukan setiap kesal padaku. 
“Eh, udah ah bahas masa lalunya. Udah lewat juga. Bisa tethering bentar gak? Paket dataku abis, mau ngabarin Ayah kalau kita kejebak ujan di sini. Takutnya dia nyariin.”
Aku menghidupkan fitur personal hotspot di ponsel. 
“Passwordnya?” tanyamu sambil menunjukkan layar ponsel. 
“662016”
“Pelan pelan, dong … Enam .. Enam … apa tadi?”
“Dua Nol Satu Enam.”
“Enam Enam Dua Nol Satu Enam? Eh, ini … ”
Jangan bilang, kamu masih ingat. 
“Tanggal jadian kita bukan, sih?” tanyamu singkat dan lugu.
Ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita pilih. Boleh jadi, salah satunya adalah cinta pertama, yang dengan segala kekonyolannya mewarnai masa remaja. 
Ketika jerawat pubertas pecah dan hidup tak tentu arah.
Cinta pertama adalah bunga yang mekar di taman jiwa. Wanginya semerbak membuai dan melalaikan. Ia menghiasi satu-dua musim, lalu seketika layu dan kehilangan pesona. 
Tetapi, anehnya, ia tetap di sana.
Menetap dalam ingatan. 
Abadi sebagai kenangan. 
“Bisa tethering-nya?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Bisa. Bisa. Bentar ya aku chat Ayah dulu …”
“Oke. Jangan download film.”
“Ya kali …” 
“Siapa tau …”
“Eh, Ran,” kamu menengok ke arahku sambil tersenyum. “Pertanyaanku belum dijawab tadi. Kamu… masih pakai tanggal jadian kita buat password?”
“Heh? Oh, itu. Males ganti-ganti. Susah tau Nad, ngapalinnya.”
Mendengar jawabanku, kamu mengangguk-angguk kecil. 
“Iya sih, setuju. Aku juga …” ada nada ragu di kalimatmu, tapi kamu tetap melanjutkannya, “... masih pake tanggal jadian kita buat passcode handphone, 060616. Dari dulu gak pernah ganti.”
Aku tak tahu harus merespons apa dan bagaimana. 
Haruskah terkejut? Haruskah bangga dan terharu? Haruskah jujur saja mengatakan bahwa sebagaimana password di ponselku, perasaan ini juga tak pernah berubah?
“Emang males banget sih ganti-ganti password,” kataku sambil ikut mengangguk-angguk. Aku berusaha mencari cara untuk keluar dari suasana yang terasa semakin canggung. 
“Hujannya udah agak reda, Nad. Lanjut, yuk!”
Aku berdiri, bersiap melanjutkan perjalanan. 
Tapi, kamu menarik tanganku untuk duduk di sampingmu lagi. 
“Sini dulu deh, mager banget. Udah lama juga aku gak mampir ke warung ini. Dulu setiap pulang sekolah, kita selalu ke sini, kan?”
Pertanyaanmu memecah kecanggungan. Mengembalikan kita ke dalam obrolan-obrolan panjang. 
Sudah sejak tadi hujan berhenti … dan kita masih di sini.
Ternyata bukan karena hujan kita bertahan.
Tetapi, aku terlalu takut menyebutnya cinta.
...
©nurunala
64 notes · View notes
Text
Hari Sesudah Kamu
@nonaabuabu
Aku tidak tahu apakah pesan-pesanku akhirnya kau baca atau kau biarkan berserakan di halaman rumahmu. Apapun itu semuanya sudah, apa yang membuat hatiku menetap dan apa yang membuat kau tak lagi sama.
Untuk waktu yang panjang aku tahu aku masih ketergantungan dengan segala hal tentangmu. Puisiku masih namamu, mimpiku masih wajahmu, anganku masih pelukmu dan musikku masih suaramu. Tapi waktu sudah berputar bukan?
Tak ada lagi hujan yang membasahi kita, payungmu dan payungku telah menjadi masing-masing yang menaungi jiwa kita. Jika pernah ia basah oleh luka maka kini sudah seharusnya untuk mengering bukan?
Aku tahu tak semua mudah, kau juga tak pernah mudah di sana. Bagaimanapun kita tetaplah dua tangan yang akhirnya mengecap kegagalan, dan siapa yang suka dengan kegagalan, setiap orang kepayahan bangun setelahnya.
Namun lihatlah waktu membawa kita, meski tak seindah binar matamu ketika pertama kali kita bertemu, setidaknya setenang rintik sore dengan secangkir teh hangat dan sepiring goreng pisang.
Sendiri juga menyenangkan bukan?
Kala Sunyi, 04 Mei 2024
73 notes · View notes
kurniawangunadi · 5 months
Text
Jawaban Doa Saat Hujan
Hari hujan, aku tahu tak semerdu rintiK hujan yang jatuh di atas genting. Tak semenangkan aromanya yang menyelinap dari balik jendela rumahmu. Juga tak sejelas doa-doa yang kamu panjatkan saat itu. Meski doa itu kemudian ternyata berjawab tidak. Memang begitulah takdir, bukan dalam kendali kita bukan? Tidak ada yang perlu disesali, kan? Karena itu yang terbaik.
(c)KG
130 notes · View notes
kevinsetyawan · 13 days
Text
Gugur
Oleh : kevin setyawan
Tumblr media
Dibalik sepetember yang kering ini ada ribuan cintaku yang tengah berguguran padamu.
Jutaan cinta yang telah layu yang telah lama tak pernah kau sirami dan kau rawat dengan sepenuh hati itu.
Ia hanya gugur sementara tapi ia tak pernah mati karna jika kau lihat dibawahnya masih hidup sebongkah akar harapan yang masih berusaha mencarimu untuk tetap bertahan.
Entah seperti apa dirimu saat ini akankah kau selalu ingat dibalik ribuan rintik hujan kenangan yang akan bermuara pada hatimu?.
Apakah semua gambaran tentangku kini telah terganti?.
Apakah ia berkorban memberikan segalanya sebagaimana aku berkorban dulu?.
Kembalilah jika kau masih ingat bagaimana jalan untuk pulang, aku akan selalu disini ditempat awal kita bertemu dengan jutaan dahan rapuh dalam diriku.
Karena bagiku hanya kaulah hujan yang memberikan jutaan kehidupan dalam diriku untuk hati yang tengah gersang ini.
30 notes · View notes
o-agassy · 4 months
Text
Ridho pada hal kecil yang tak kita sukai
Kita tau kalau semua urusan rezeki sudah diatur oleh Allah. Namun kadang masih sebatas ilmu, belum menjadi iman. Masih sebatas pengetahuan, belum keyakinan dalam penerapannya.
Hari kemaren saya menunggu promotor saya hingga larut sore. Padahal janjiannya jam 10 pagi.
Pulang magrib ditemani rintik hujan, istri meminta untuk dijemput di kantor. Padahal jarak kampus dan kantor istri ada 1 jam perjalanan.
Qodarullah di tengah jalan hujan berhenti dan istri memutuskan untuk naik gojek. Padahal saya sudah setengah jalan menuju kantornya. Yang berarti saya harus berganti rute perjalanan untuk langsung ke rumah.
Alhamdulilah, Allah memberikan perasaan tenang dengan cara mengingatkan saya yang sedang di pinggir jalan raya itu akan kalimat:
“semua sudah diatur oleh Allah, keterlambatan mu pulang ini akan ada hikmahnya. Dipilihkannya kamu pulang lewat jalan ini pun juga ada maksud dan tujuannya. Salah satunya bisa sholat jamaah di masjid jami’ tadi”
Mari kita coba meyakini, bahwa segala sesuatu yang telah digariskan itu baik untuk kita. Walaupun kadang hal itu kita rasa hal-hal kecil dan menyebalkan, tidak sesuai ekspektas dan menguras emosi.
Namun begitulah perjalanan hidup ini, kita meminta Ridho Allah, dan semoga kita juga ridho atas semua ketetapanNya.
24 notes · View notes
azurazie · 7 months
Text
Menunggu apresiasi dari manusia atas apa yang telah kita lakukan, seperti melihat rintik hujan di atas lautan. Memang ada riaknya sebentar, tetapi setelahnya seolah tidak ada apa-apa. Tetapi, yakinilah apresiasi yang Allah berikan, tak perlu ditunggu, meski tak ada balasan saat itu juga. Akan selalu ada nilainya. Sepanjang hal itu memang untuk kebaikan. Sepanjang hal itu memang didasari atas keikhlasan. Akan tetap ada sepanjang kita meyakininya. Bukankah Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya? Maka, jangan mudah berkecil hati.
@azurazie
21 notes · View notes
Text
Hujan Rintik Sejak Pagi Tak Halangi Evakuasi 5 Korban Gempa Cianjur
Hujan Rintik Sejak Pagi Tak Halangi Evakuasi 5 Korban Gempa Cianjur
BELANEGARANEWS.ID, CIANJUR || Tim gabungan K9 Polri, Basarnas, dan TNI berhasil mengevakuasi korban hilang yang tertimbun tanah usai gempa Cianjur, Jawa Barat (Jabar). Kali ini, evakuasi menemukan lima jenazah di wilayah Kecamatan Cugenang. Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, evakuasi korban kali ini harus melewati medan yang cukup menantang. Selain karena gundukan tanah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
ceritadear · 4 months
Text
Sebelum lepas landas, doa-doa itu didandani menjadi jelita.
Katanya semakin elok, semakin Yang MahaRaja suka.
Doa-doa cantik itu kemudian melejit ke angkasa.
Di ujungnya ada pita merah muda.
Sebagai tanda, ini doa penuh kasih sayang, khusus untuknya.
Menyatu, berkumpul membentuk awan.
Turun ke bumi berupa rintik yang diberi judul oleh Pak Sapardi "Hujan bulan juni".
Kali ini sekalian pula untuk merayakan kesembuhannya.
Maka semesta bahu-membahu mengusahakan bahagia Tuan Putri kesayangan mereka.
Agar tenang hatinya, agar sehat raganya, agar cantik hati dan logikanya.
Misi pun berhasil, Tuan Putri itu sangat bahagia.
Terimakasih semua!🎀
14 notes · View notes
karbonklorida · 7 days
Text
Siapa yang Salah?
kesepianku adalah kapal karam yang dihempas badai rindu ketika kau segerakan satu pertemuan.
dan tubuhmu adalah pelabuhan yang ketika genggaman tengah kau lepas, kesepian itu gentayangannya menerabas.
pada sepoi-sepoi tubuhmu yang angin, aku tegap berdiri seperti pohon beringin, maka terus-teruslah menari, dan biarkan rintik-rintik rindu itu ke tubuhku membasahi.
barangkali adalah sebuah rumah yang dibangun diam-diam oleh waktu
ketika masing-masing lengan kita bergandengan, seperti dinding-dinding berdenyut, dan berkedut menghangatkan hati dari peluh dunia
dan mata yang bertatapan menjelma atap, melindungi semua dari derap-derap hujan yang menetap
barangkali matamu yang terkatung-katung setiap kita bertemu adalah lelah.
dan pada setiap kedipnya adalah pinta.
tetapi aku melihatnya sebagai cinta, yang lekat, dekat dan berpeluk-hangat.
apakah aku terlalu cepat memulai tanpa mendengar aba-aba?
7 notes · View notes