Paus, terima kasih untuk podcast terakhir kamu, we're okay, kid. Aku juga salah satu anak broken home. Ya, seperti yang kamu bilang kalo broken home tidak selalu mereka yang orang tuanya bercerai. Orang tuaku, mereka masih bersama-sama hingga detik aku menulis ini. Tapi jika melihat ke dalam, mereka seperti sedang tidak bersama. Mungkin sulit dimengerti dari luar, namun sebagai sesama anak yang menghadapi situasi menakutkan ini, kamu pasti akan paham. Setiap hari aku menyaksikan mereka bertengkar, berdebat, dan banyak perselisihan lain since I was 13 and now I'm 23. Aku nggak bisa bilang keadaan membaik, tapi setidaknya dengan bertambah dewasanya aku, aku jadi sedikit lebih kuat menghadapi itu semua. Aku juga tidak bisa mengklaim bahwa diriku sudah berdamai, karena pada kenyataannya mau seberusaha apapun aku mencoba memutar cerita sedih ini menjadi komedi, aku tetap saja akan menangis saat membicarakan perihal ini.
Ini tulisan pertamaku yang membicarakan tentang sesuatu yang selama ini aku tutupi dari semua orang. Aku merasa itu aib. Tapi sejak mendengarkan ceritamu, aku merasa aku harus memberi respon. Tanggapan yang kumaksudkan sebagai bentuk terima kasih karena sudah mau berbagi tentang hal menakutkan ini. Saat mendengarkannya aku merasa seperti dipeluk, seperti punya teman yang mengatakan bahwa aku bukan satu-satunya orang yang menderita. Kesannya sedikit jahat jika aku bersyukur karena mengetahui fakta bahwa ada orang lain yang merasakan kesakitan yang sama, tapi mengetahui kenyataan bahwa aku tidak sendirian, itu sangat melegakan. Jadi aku memutuskan untuk mengeluarkan isi perasaanku sebagaimana kamu melakukannya. Aku juga ingin membuat orang lain di situasi yang sama merasa tidak sendirian, just like the way you make me feel better. Aku pun ingin mengatakan kepada diriku sendiri bahwa hal ini sama sekali tidak memalukan, ini sudah menjadi bagian hidupku yang mengantarkanku pada titik dimana aku bisa menjadi diriku yang sekarang. Butuh banyak keberanian untuk jujur dalam tulisanku sendiri. Butuh banyak keberanian juga untuk menerima bahwa aku memang punya kekurangan. Butuh keberanian juga untuk menghadapi bahwa setelah orang lain membaca tulisan ini, mereka mungkin akan mengasihaniku, padahal aku tidak begitu suka dikasihani. Tapi aku tidak bisa selamanya berpura-pura bahwa kekuranganku itu tidak pernah ada. Suatu hari pun, aku pasti harus mengungkapkan semua ini. Maka aku memilih mengungkapkannya sekarang.
Paus, hampir setiap kata-kata yang kamu sebut, aku bisa merasakannya. That's why I cried, a lot. Aku percaya diri dengan semua yg aku punya. Aku tidak pernah merasa malu dengan warna kulitku atau gigi kelinciku. Tapi aku malu dengan latar belakang keluargaku. Aku berusaha menyembunyikannya dalam bentuk yang baik, namun pada ujungnya insecurity-ku kembali muncul. Aku pun baru saja merasakan puncaknya sekitar satu bulan lalu, ketika crush-ku menikah. Lucu sekali, Us. Aku sampai sakit satu minggu lamanya. Tidak bersemangat untuk bangkit dari kasur dan serasa asing dengan diriku sendiri. Mungkin yang teman-temanku lihat adalah aku yang patah hati karena putus cinta. Mereka berusaha membuatku merasa baik dengan mengatakan bahwa aku pasti akan menemukan penggantinya. Aku sangat menghargai itu. Sayangnya, yang membuatku patah hati bukanlah kepergian orang yang aku sukai. Namun perasaan tak aman yang menjadi hantu terbesar dalam hidupku. Tapi saat itu aku tidak bisa menceritakannya kepada mereka. Sama sepertimu, Us. Hantu ini membuatku serasa seperti aku tidak layak untuk siapapun. Ketika menerima kabar bahwa ia menikah melalui undangan yang diberikan langsung kepadaku, rasanya duniaku runtuh. Aku menghela nafas panjang, like you said, here we go again. Sedih sekali hingga aku harus mempertanyakan eksistensiku sebagai seorang perempuan, apakah laki-laki yang sempurna tidak ditakdirkan bersama seorang pasangan yang memiliki ketidaksempurnaan sepertiku?
Selama ini aku berusaha meyakinkan diriku bahwa kekuranganku pasti bisa dimaklumi. Aku yang sebelumnya sangat takut untuk menyukai seseorang, saat itu telah memberanikan diri. Ketika aku sudah mulai yakin –bahkan aku berencena mengutarakn perasaanku, semuanya hancur. Melihat ia dengan calon istrinya beserta latar belakang keluarganya yang sempurna, membuatku malu. Aduh, siapa sih aku. Dalam proses menuju pernikahan, bibit selalu menjadi satu dari tiga pertimbangan filosofis sebagai kriteria pasangan yang berkualitas. Aku, tidak punya bibit yang bagus, Us. Kurasa nanti itu akan menjadi pertimbangan terberat dalam berpasangan. Sekarang, aku belum berani menyukai seseorang seperti aku menyukai dia. Hantu ini semakin menjadi-jadi ketika pada suatu waktu bergulir di beranda sosial mediaku. Lalu aku melihat sebuah unggahan yang mengajak open discussion soal perspektif masyarakat mengenai berpasangan dengan anak broken home. Aku kecewa, sebab mereka mengatakan bahwa anak seperti kita pasti berpotensi mengulang sejarah untuk kedua kalinya, jadi lebih baik dihindari saja dalam berpasangan. Paus, rasanya aku marah dan ingin memberontak. Semua pondasiku untuk berdiri tegap menerima keadaanku seolah tidak valid bagi mereka. Apakah serendah itu menjadi anak broken home? Padahal jika bisa memilih, aku tidak akan mau melalui jalan cerita seperti ini. Padahal kita juga punya mimpi untuk memperbaiki kesalahan kedua orang tua kita. Padahal kita juga punya angan untuk mengubah masa depan kita menjadi tidak abu-abu. Kakiku serasa terseok-seok, Us. Sebab semua keraguan menyerangku. Aku masih punya ketakutan jika insecurity-ku tidak bisa dimaklumi. Aku juga masih belum percaya diri untuk memulai hubungan. Mungkin nanti lelakiku bisa menerima, tapi apakah keluarganya bisa menerima keadaanku juga? Semoga bisa ya, Us. Akan melelahkan jika aku harus menjelaskan semua kepedihanku dari mula hingga akhir, tapi ya itu sudah menjadi konsekuensi dari takdirku. Untungnya aku masih optimis, bahwa Tuhan pasti memberikan hadiah yang lebih indah. Semoga lelakiku nanti bisa membantuku mewujudkan rumah baru yang lebih hangat. Aku ingin membuktikan ke diriku sendiri (bukan mereka) jika gadis kecil yang berasal dari puing-puing bangunan yang roboh juga bisa membangun rumah yang lebih indah. Aku ingin mengisi rumah yang lebih layak untuk suami dan anak-anakku nanti dengan cerita yang indah-indah saja. Aku ingin bisa diterima sebagai diriku, kekuranganku, dan masa laluku. Mimpiku dalam berkeluarga sesederhana ini, Us.
Mari kita tetap jalan hingga menemukan rumah yang kita impikan. Meski rumahku yang sekarang berantahkan, aku berusaha membuat diriku sendiri tidak turut terkubur dalam puing-puing itu. Aku mencari prestasi dan membuat diriku dengan versi terbaiknya. Just like you said, my home is broken, but I’m not. Aku akan terus berusaha menjadi diriku sendiri yang tak kehilangan arah. Aku akan terus kuat untuk diriku sendiri. Kami sudah berjalan sejauh ini untuk bertahan, mereka mungkin belum memahami betapa berterima kasihnya aku kepada diriku dan semua anak dalam situasi sepertiku. Terima kasih karena telah mau susah payah bertahan dan tetap percaya akan janji keindahan dari Tuhan dan pengharapan kita sendiri. Tidak lupa juga untuk tetap menghargai diri sendiri dalam bentuk yang compang-camping dan hati yang berlubang, semoga kelak kita bisa menemukan seorang ksatria sehidup semati yang menjadi penyempurna dalam perjalanan mewujudkan cita. Aku akan selalu berdoa untukku, untukmu, dan untuk kita semua agar tak ada lagi mimpi buruk yang menakutkan. Semangat, ya. Semua yang sedih-sedih itu tidak abadi, kok.
1 note
·
View note
Cerpen: Hujan atau Cinta
Mungkin, memang sudah seharusnya aku berterima kasih kepada hujan. Rintik-rintik kenangan yang menahan kita tetap di sini. Mendengarkan cerita satu sama lain.
Kamu bercerita, aku bercerita—dan entah sudah berapa dusta yang aku cipta.
Hujan menggenang lubang-lubang jalan. Burung-burung berteduh.
Hatiku mengaduh.
Inikah rasanya jatuh, terluka, tapi harus terus berpura-pura?
“Siapa dulu yang ketawa ngakak sampai jatuh dari pohon?”
Dahimu selalu berkerut jika sedang bertanya.
“Amar? Yang celananya sobek?”
“Iya bener, Amar! Celananya sampai sobek ya? Oh iya!”
Kamu tertawa lepas sambil reflek menepuk lengan kiriku.
Aku selalu suka tawa itu. Terutama saat pemicunya adalah aku.
Sejak dulu, aku selalu ingin jadi sumber bahagia dalam hidupmu.
“Kamu, lama di sini?”
Akhirnya, kuberanikan diri bertanya. Mengukur kemungkinan berapa kali lagi kita bisa berjumpa. Untuk sekadar bertukar cerita, bernostalgia, atau … menumbuhkan lagi rasa?
“Besok jam 6 pagi udah ke Jakarta lagi,” jawabmu datar.
Besok pagi? Maksudmu, 14 jam dari sekarang?
“Buru-buru amat. Baru aja sampai tadi pagi.”
Kamu menatap mataku sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan. Seolah mengamati hujan yang belum juga mereda.
“Ayah cuma cuti sehari. Makanya habis resepsi Risma tadi, ayah sama ibu langsung keliling-keliling buat silaturahmi. Udah lama banget gak ke sini. Ada kali ya 5 tahun?”
Tepatnya, 6 tahun 2 bulan.
Hari ini 27 Agustus 2023. Kamu dan keluarga meninggalkan desa ini untuk pindah ke Jakarta sejak 25 Juni 2017. Saat kita mau naik kelas 2 SMA.
Banyak yang bilang aku pelupa. Tapi tentangmu, percayalah: aku pengingat yang baik.
“Iya, sekitar 5 tahunan. Ya, lumayan. Kalau orang, kira-kira umur segitu udah TK lah.”
“Udah bisa maling jambu di kebun Pak Muchtar, ya?”
Pertanyaanmu memanggil kembali ingatan masa kecil kita. Hari-hari di masa lalu ketika kita lebih mudah bahagia karena belum banyak mau.
“Kamu kan yang nyuruh?”
Seperti tak terima dituduh, kamu langsung mengklarifikasi, “Aku gak nyuruh. Aku cuma bilang, aku pengen jambu air.”
Kamu selalu begitu.
Menyembunyikan ego di balik keluguanmu. Itu alasan kita berpisah 6 tahun lalu, kan? Saat kamu bilang, hubungan jarak jauh melelahkan dan enggak akan berhasil.
Tak lama setelah kamu mengatakan itu, kamu mengunggah foto dengan seseorang yang lain–alasan sebenarnya kita berpisah?
Lalu kita berhenti saling mengikuti di media sosial.
Setelah belasan tahun pertemanan …
Setelah setahun saling mengungkap perasaan …
Kita tiba-tiba menjadi dua orang asing.
Aku berusaha melupakanmu dan meneruskan langkah. Aku berusaha untuk baik-baik saja, memajang senyum dan tawa ke mana-mana.
Berusaha percaya pada mereka yang berkata, ‘waktu akan menyembuhkan’. Argumen paling tolol yang pernah aku amini.
Karena, bahkan hingga hari ini, 6 tahun kemudian …
Saat takdir kembali mempertemukan kita di desa ini–tempat segalanya tumbuh dan bersemi, aku sadar: aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu.
Bahwa menghapus ingatan tentangmu, adalah sama dengan menghapus seluruh ingatan di kepalaku.
Bahwa ternyata luka ini, tak pernah benar-benar sembuh.
“Pohon jambunya, masih ada enggak sih?”
Tanyamu sambil melempar pandangan jauh ke sebuah rumah, lalu mengarahkan telunjukmu ke sana.
“Rumahnya yang di situ, kan?”
Aku mengangguk.
“Masih ada, kayaknya. Pohon jambu kan gak bisa tiba-tiba pindah ke Jakarta.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, memicu senyum sinis di wajahmu.
“Imran, si paling jago kalau nyindir orang.”
“Nadia, si paling …”
“Si paling apa?”
Dahimu berkerut lagi.
“Si paling cantik,” ada lengkung senyum di wajahmu sebelum berubah jadi ekspresi kesal saat aku melanjutkan, “di Geng Jambu.”
“Yeeh kan aku emang cewek sendiri. Tapi …”
Ada jeda sebentar sebelum kamu melanjutkan kalimat. Seolah kamu ragu.
“... di ingatan kamu, aku kayak gitu ya? ‘Tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Kayak … seolah-olah itu semua kemauan aku.”
“Aku nggak bilang gitu.”
“Kamu tadi bilang, ‘tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Maksudnya aku, kan?”
“Tiba-tiba atau enggak, di ingatan aku, kamu pergi.”
“Dan di ingatan aku, kamu menghilang.”
“Kamu kan yang minta aku menghilang?” tanyaku tak terima.
“Aku? Aku minta kamu menghilang?” giliran kamu yang tak terima.
“Kamu bilang, kamu capek sama aku.”
Mendengar ucapanku, kamu terdiam sebentar. Seperti menata kata dalam kepala. Lalu serupa hujan yang tiba-tiba menderas, kalimat demi kalimat meluncur dari mulutmu.
“Aku bilang, aku capek, karena kamu terus-terusan mempertanyakan kepergian aku ke Jakarta. Terus-terusan protes sama kita yang harus tiba-tiba pisah. Terus-terusan ngeluh karena kita jadi gak bisa lagi ketemu setiap hari. Aku gak pernah minta kamu menghilang.”
Nada bicaramu tiba-tiba meninggi.
Sementara aku masih memproses kata-katamu, kamu bicara lagi.
“Kamu pikir aku gak sedih kita pisah? Kamu pikir aku gak pernah protes? Kamu pikir aku suka keluar dari zona nyaman aku, harus beradaptasi sama orang-orang kota yang sok tau, dikatain kampungan … Selama ini, kamu mungkin mikir aku egois. Tapi, aku tuh …”
Kalimatmu tertahan di sana. Kamu menghela napas dalam, dan matamu mulai berkaca-kaca.
Hujan di luar sudah hampir reda, hujan di matamu jatuh begitu saja.
“Maaf. Aku yang egois.”
Hanya itu yang bisa kukatakan.
Kamu menyeka air mata dengan jemarimu, lalu memaksa bibirmu untuk tersenyum.
“Aku yang maaf. Kenapa jadi marah-marah gini, ya?”
“Karena aku emang nyebelin?”
“Iya. Nyebelin banget,” ujarmu sambil memanyunkan bibir sedikit. Kebiasaan yang selalu kamu lakukan setiap kesal padaku.
“Eh, udah ah bahas masa lalunya. Udah lewat juga. Bisa tethering bentar gak? Paket dataku abis, mau ngabarin Ayah kalau kita kejebak ujan di sini. Takutnya dia nyariin.”
Aku menghidupkan fitur personal hotspot di ponsel.
“Passwordnya?” tanyamu sambil menunjukkan layar ponsel.
“662016”
“Pelan pelan, dong … Enam .. Enam … apa tadi?”
“Dua Nol Satu Enam.”
“Enam Enam Dua Nol Satu Enam? Eh, ini … ”
Jangan bilang, kamu masih ingat.
“Tanggal jadian kita bukan, sih?” tanyamu singkat dan lugu.
Ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita pilih. Boleh jadi, salah satunya adalah cinta pertama, yang dengan segala kekonyolannya mewarnai masa remaja.
Ketika jerawat pubertas pecah dan hidup tak tentu arah.
Cinta pertama adalah bunga yang mekar di taman jiwa. Wanginya semerbak membuai dan melalaikan. Ia menghiasi satu-dua musim, lalu seketika layu dan kehilangan pesona.
Tetapi, anehnya, ia tetap di sana.
Menetap dalam ingatan.
Abadi sebagai kenangan.
“Bisa tethering-nya?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Bisa. Bisa. Bentar ya aku chat Ayah dulu …”
“Oke. Jangan download film.”
“Ya kali …”
“Siapa tau …”
“Eh, Ran,” kamu menengok ke arahku sambil tersenyum. “Pertanyaanku belum dijawab tadi. Kamu… masih pakai tanggal jadian kita buat password?”
“Heh? Oh, itu. Males ganti-ganti. Susah tau Nad, ngapalinnya.”
Mendengar jawabanku, kamu mengangguk-angguk kecil.
“Iya sih, setuju. Aku juga …” ada nada ragu di kalimatmu, tapi kamu tetap melanjutkannya, “... masih pake tanggal jadian kita buat passcode handphone, 060616. Dari dulu gak pernah ganti.”
Aku tak tahu harus merespons apa dan bagaimana.
Haruskah terkejut? Haruskah bangga dan terharu? Haruskah jujur saja mengatakan bahwa sebagaimana password di ponselku, perasaan ini juga tak pernah berubah?
“Emang males banget sih ganti-ganti password,” kataku sambil ikut mengangguk-angguk. Aku berusaha mencari cara untuk keluar dari suasana yang terasa semakin canggung.
“Hujannya udah agak reda, Nad. Lanjut, yuk!”
Aku berdiri, bersiap melanjutkan perjalanan.
Tapi, kamu menarik tanganku untuk duduk di sampingmu lagi.
“Sini dulu deh, mager banget. Udah lama juga aku gak mampir ke warung ini. Dulu setiap pulang sekolah, kita selalu ke sini, kan?”
Pertanyaanmu memecah kecanggungan. Mengembalikan kita ke dalam obrolan-obrolan panjang.
Sudah sejak tadi hujan berhenti … dan kita masih di sini.
Ternyata bukan karena hujan kita bertahan.
Tetapi, aku terlalu takut menyebutnya cinta.
...
©nurunala
64 notes
·
View notes