#rintik sendu
Explore tagged Tumblr posts
Text
Hujan dan Kenangan
1.3
Kau tau, mengapa hujan itu sendu?
Karena ia selalu menutup lukanya dengan rintik sendu.
#sajak puisi#sastra#vintage#tulisan#puisisastra#puisi#puisiku#puisiindonesia#hujan#kenangan#sendu#rintik sendu#Baekhyun#poetry poem writing prose#poetry#poem
3 notes
·
View notes
Text
kondensasi
#draft
awan bagiku ialah manifestasi paling magis atas dewasanya sebuah rasa.
tentang bagaimana pada setiap putaran, sang awan kian tumbuh beriringan dengan datangnya angin dingin pembawa butir-butir pemaknaan. menjadikannya kumulus dikala hari sedang terik, hingga kita dapat menyaksikannya beriringan dengan biru langit dalam atmosfer yang begitu memanja mata.
adakalanya ia menjelma nimbus, menggelegar, menimpa hamparan dunia dengan rintik air sendu. begitu merepotkan memang, namun secara tak langsung, ia meneduhkan pencintanya. menghembuskan angin dingin pembawa memori-memori masa lalu, menenangkan mereka yang tengah berkisruh dengan kiamat gelombang panas, dan mencipta pelangi diakhir tangisannya. membuat segenap pasang mata takjub akan harmoni yang tercipta dari sebuah awan.
oh iya, awan biasanya menghilang sewaktu-waktu, yaa sekalipun sejauh yang kutahu tidak ada yang mempedulikannya, namun jangan pernah berpikir kita dapat hidup tanpa awan. kau tahu? awan telah berjuta kali meneduhkan mereka yang tua dimakan terik, awan telah menciptakan nuansa yang damai bagi mereka yang dimadu asmara, dan awan pula telah membangkitkan kenangan bagi mereka yang rindu, rindu untuk kembali pada waktu lalu, atau bahkan rindu untuk melupa segala yang tabu.
awan mengajarkanku untuk dewasa, salah satunya dengan caramu mencintai seseorang, kau tak mesti terus bersamanya.
#writing#thoughts#clouds#sky#sky photography#poetry#poem#poets on tumblr#writers and poets#original poem#sajak puisi#puisi
51 notes
·
View notes
Text
Tentang Hujan (dan kamu)
Suara gemuruh langit sudah terdengar sejak beberapa jam terakhir, tapi hujan belum juga turun. Sembari mendengar suara langit, pikiranku melayang pada orang-orang yang kusayang, sedang apakah mereka gerangan? Apakah aman dalam naungan? Ataukah di jalan dan kehujanan?
Pun demikian kamu, apakah hujan sudah menyapamu? Ataukah sama sepertiku; mendengar gemuruh langit seraya berharap cemas: supaya hujan ditangguhkan hingga kita sampai tujuan.
Tapi ngomong ngomong tentang hujan, kadang kita kehujanan, tapi sesekali sengaja hujan-hujanan. Dua aktivitas yang sama sama basah terkena air hujan, tapi rasanya berbeda, ya? Kehujanan adalah kita; saat hujan tiba namun kita harus bersegera dan tiada payung dalam genggaman. Kehujanan adalah kita; tentang perasaan-perasaan yang hadir namun kita tidak siap untuk menerimanya. Kehujanan adalah kita; terburu-buru menyangkal dan menghindar saat hujan menyambar tapi tidak ada tempat untuk bernanung. Kehujanan adalah kita; terpaksa basah meski tidak ingin, menahan gigil sembari berharap derasnya segera reda.
Tapi hujan-hujanan adalah juga kita; yang bersengaja menari dalam rintik-rintik yang terkadang sendu. Lalu sakit di kemudian hari.
Jadi, sudahkah kamu sampai tujuan tanpa kehujanan?
04/12/2023.
22 notes
·
View notes
Text
Rintik Dan Pesan
@sindilestariputrisworld
Rintik itu tak lupa membawa suasana sendu. Sedang pesan-pesan itu selalu menjadi pelengkap renungan kalbu.
Aduhai, Tak bisakah aku aman dari rasa khawatir? Sebab goresnya semakin jelas terukir.
Kapankah lengan itu rekat memeluk ragaku? Sungguh ragaku membutuhkan hangat darimu. Aku menunggu... Aku menunggu...
Setelah Hujan Reda, 05 Mei 2024
14 notes
·
View notes
Text
Cerpen: Merindukanmu.
Hujan turun begitu deras, guntur susul menyusul memekakkan telinga. Jendela ruanganku berembun. Ruanganku gelap, cahaya pun tak bisa menembus ruangan ini. Sangat sepi, aku selalu sendirian di ruangan ini, hanya meja belajar dipinggir ranjang dan buku-buku yang berjajar rapih menemaniku. Terdengar suara mobil masuk ke pelataran rumah. Kakiku melangkah pelan, lalu membuka sedikit tirai jendela. Tak ada cahaya matahari, tak ada sinar keemasan menimbun langit. Yang ada hanya langit mendung, juga gemuruh hujan dan aroma paving blok yang basah. Mataku menangkap mobil yang masuk ke pelataran rumah, berhenti tepat di depan rumah. Keluarlah dua orang ceria, terlihat seperti keluarga bahagia. Satu orangnya sebaya denganku, satu tahun lebih muda malah, satunya lagi berwajah tenang, berkerut dikedua mata namun tegas. Tangannya keriput, tapi putih. Ia cekatan mengambil payung dikursi belakang, lalu perlahan membukanya. Membiarkan perempuan satu tahun lebih muda dariku untuk mendekapnya. Kemudian mereka berjalan kearah pintu. Pemandangan biasa yang sering kulihat berkali-kali. Sementara aku kembali melangkahkan kaki, duduk ditepi ranjang. Ruanganku sepi, tak ada siapapun kecuali diriku sendiri, pemuda penyendiri yang hidup didalam kamar. Sehari-hari bertemankan dinding berwarna abu, langit-langit kamar, meja dan kursi belajar dipinggir ranjang, beberapa buku yang berjajar dirak yang tersimpan disudut kamar, juga beberapa gambar yang terpanjang di dinding. Gambar-gambar itu adalah hasil karyaku. Gambar yang terlihat gelap, suram, juga mungkin sendu kalau orang-orang bisa melihatnya. Tapi bagiku itu sangat indah, sempurna, memesona. Sesekali keluar kamarpun untuk mengambil makanan.
Katanya aku seperti monster, orang-orang takut melihatku, setidaknya itu yang digambarkan keluargaku kepadaku. Padahal menurutku tidak demikian, wajahku lumayan, berkulit kuning langsat, bermata tajam, siapa saja yang melihatku mungkin akan terpesona. Alis tebal, rambut pendek hitam legam. Tapi entah kenapa keluargaku sangat takut padaku ketika bertemu, padahal senyumku manis. Tapi aku bagai di iris benda tajam, sempurna menghantam jantungku, hatiku merasa sakit, aku seperti ditusuk ribuan panah, meraba dada, mencengkram baju kuat-kuat, lalu keluarlah air bening nan jernih dipelupuk mata, mengingat adegan nenek tua dan Lili, orang yang satu tahun lebih muda berpelukan. Lihatlah aku kesakitan, aku terluka sendiri, menangis sendiri, tak ada sandaran untukku. Aku adalah burung dalam sangkar, tak bisa kemana-mana, tak bisa menikmati indahnya dunia, menikmati pemandangan jalan, orang-orang berlalu lalang. Tak bisa menikmati aroma dedaunan dan tumbuh-tumbuhan dan bunga yang bermekaran di jalanan, ditaman, dimanapun. Aku hanya bisa menikmatinya dari kejauhan. Apakah aku se aneh itu? Seseram itu? Sehingga aku diperlakukan berbeda dari yang lain. Apa yang mereka takutkan? Apa yang membuat mereka berpandangan aneh kepadaku? Sejenak aku selalu berpikir demikian. Hujan sempurna mengguyur seluruh kota, sempurna menyentuh dedaunan, rerumputan hijau, pepohonan, bangunan-bangunan kota. Menawarkan kesejukkan lewat dinginnya angin menembus kulit, menerpa helaian dedaunan. Rintik hujan yang indah, tapi sayang, tak seindah hidupku, tak seindah hari-hariku, tak seindah perjalananku. Aku tak bisa menyaksikan semua itu, menyaksikan keindahan dunia yang orang-orang dengan mudah bisa melihanya. Hanya dengan berjalan kaki keluar dari rumah, sudah bisa menyaksikan indahnya matahari yang menerangi seantero semesta, atau bulan saat senja mulai tenggelam, berganti dengan hitam pekat, lalu bulan siap menampilkan keindahannya dan bintang- bintang siap bertaburan mempercantik langit kota. Melihat gedung-gedung pencakar langit, lampu bundar yang berjajar di sepanjang jalan, mobil yang saling berjajar berdesakkan. Bisa melihat lenskep kota ditempat yang tinggi. Semua dapat disaksikan oleh kedua mata mereka, lalu merekah lah kebahagiaan tidak terhingga. Sementara aku selalu ditempat yang sama. Lihatlah, tak ada yang tahu bahwa aku ada kecuali keluargaku. Keluarga? Entahlah, apakah mereka layak disebut keluarga? Mereka mengurungku seperti tahanan. Aku kembali melihat lukisan-lukisan indah yang ku lukis, setidaknya melukis adalah caraku meluapkan kesedihan. Tuk..tuk..tuk.. seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku segera menghapus airmata yang datang sembarangan. Membuka pintu, dan lihatlah siapa yang datang. Lili, adik yang paling disayang keluarga, manusia yang terjaga dengan kelembutan oleh keluarga, makhluk murni yang paling dicintai keluarga. Jujur aku benci sekali melihatnya, kenapa dia harus datang kekamarku? Bukankah kalau memiliki sesuatu tinggal telpon saja, atau minta seseorang dirumah menyampaikan pesan padaku. Jaman sekarang dunia semakin canggih dengan berbagai peralatannya. Lili menghambur memelukku, unggingan senyum lahir dibibirnya. Ia memelukku sangat lama, seolah melepas kerinduan tiada tara. Seolah kita tidak bertemu sangat lama, padahal kita selalu dirumah, padahal kamarku tidak jauh dari tempat dimana kakinya selalu ingin berpijak. Di ruang keluarga, di taman, di halaman, dimanapun sekitar rumah. Dia adalah orang yang bebas, orang-orang rumah akan senang ketika melihatnya ceria. Hal yang membuat Lili senang, maka keluargaku juga senang. Tanganku berusaha melepaskan pelukan, tapi gadis riang ini malah semakin erat memelukku.
"Kamu tidak merindukanku Fatih?" Lili masih membenamkan dirinya dipelukanku, bahkan nafasku sesak juga dia tidak peduli. Dia membuncahkan kerinduannya, terlihat sangat nyaman. Matanya tertutup, kedua tangannya merengkuh tubuhku. Pelukan yang sangat kubenci sebenarnya, tapi sangat nyaman bagi gadis yang terpenuhi kasihnya oleh keluarga. Aku membiarkannya, pasrah menunggu ia selesai dengan apa yang dilakukannya. Lili mendongakkan kepala, melihat ekspresiku yang datar, tangannya masih merengkuh, tapi kemudian melepaskannya setelah melihat wajahku. Manyun melihatku yang datar-datar saja.
"Aku bosan hari ini, sendirian menikmati kota. Kamu tahu, hari ini aku banyak mengunjungi gedung-gedung tinggi, melihat univnya Ilyas, cuacanya juga bagus, meski hujan, karena sejuk. Kamu paling suka saat hujan kan?" Aku tertegun sejenak, kupikir keluarga ini sudah melupakan Ilyas. Hatiku terasa sakit lagi, ribuan anak panah diam-diam menusuk, membiarkan diriku kembali meratap, mengambang diantara kejadian-kejadian suram yang menimpa diriku. Aku takut setengah mati, bergetar seluruh tubuh. Tapi berusaha tak memperlihatkannya didepan Lili. Lili masih lanjut berceloteh.
"Hari ini kita juga menjenguk Ilyas dirumah sakit. Kamu tahu keadaannya masih sama, tidak ada perubahan, ekspresinya masih sama, matanya masih terpejam. Bahkan alat-alat rumah sakit yang terpasang ditubuhnya masih ada, tidak hilang. Aku sungguh sangat prihatin" Lili menatapku, melihat wajahku seksama. Memerhatikan ekspresiku yang terlihat biasa saja.
"Kamu tidak merindukannya?" Lili menatapku. Memerhatikan lamat-lamat wajahku.
"Pergilah, kalau tak ada kepentingan, aku butuh istirahat. Lagi pula nenek tidak akan suka kalau kamu disini. Berhenti membuat masalah untukku" Balasku langsung menutup pintu. Lili mendesah pasrah, padahal kerinduan masih membuncah. Lili tahu aku tidak pernah menyukainya sejak kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang menerkamku dengan beribu hantaman kejam keluargaku kepadaku. Lontaran yang siap menyerang mentalku. Menyerang akal, pikiran, hati, bahkan tindakanku. Hari itu semua menjadi berbeda, rumah yang dulu hangat seperti mentari pagi, lenyap seketika. Rumah yang dulu seperti senja yang memanjakan mata kala keindahannya siap memesona langit sore, musnah seketika. Rumah yang seperti bulan siap menyongsong keindahan mempercantik langit malam, semuanya sempurna sirna, sejak kejadian mengerikan dan menyakitkan itu. Nenek bahkan tak memberiku kesempatan berbicara. Baginya aku adalah monster. Makhluk mengerikan yang harus musnah dari dunia ini. Siapa pula yang menginginkan kejadian itu. Keluarga hangat itu tidak ada, keluarga harmonis itu hanya menjadi sejarah. Aku juga kesakitan, bukan hanya nenek, bukan hanya Lili. Tapi kenapa semuanya disematkan kepadaku. Aku bukan keluarga satu-satunya, aku bukan anak satu-satunya. Ada Lili, kenapa dia tidak pernah disalahkan? Kenapa dia tidak dimarahi? Padahal umurnya hanya berjarak satu tahun lebih muda dariku. Apa karena dia lebih muda dariku? Tidak mungkin kan? Aku merajuk, tubuhku perlahan lemas, terkulai dipintu kamar. Aku menangis. Merengkuh lutut, membenamkan wajahku. Lengang, hanya derap langkah Lili yang meninggalkan kamar, menuruni anak tangga yang terdengar.
****
Pagi siap menyambut hangat dengan sinar keemasan menyoroti jendela kamarku lewat ventilasi udara. Semua orang siap memulai aktivitasnya, tak terkecuali Lili yang sudah siap rapih akan berangkat kuliah. Tapi sebelum itu seperti biasa keluarga yang penuh dengan cinta ini berkumpul dimeja makan, meski hanya dua orang. Mereka sarapan dengan tenang, senyum merekah, berbincang satu sama lain. Bercerita tentang apapun yang sudah dilalui. Sungguh keluarga yang bahagia. Setelah selesai Lili naik menuju kamarku, dilihat oleh nenek. Ekspresi nenek cemberut, entah kenapa, sedang Lili tersenyum lembut, riang kearah yang dituju. Setelah sampai gadis itu diam sejenak, berdehem, lalu mulai menceloteh.
"Fatih, aku berangkat ya, ingat untuk sarapan pagi" Lili langsung pergi setelah menyampaikan itu dengan unggingan senyum lembut. Wajahnya amat cantik, tapi aku tidak menyukainya. Penampilannya cukup untuk menarik setiap orang ingin berada didekatnya. Lili menghambur, memeluk nenek lembut. Amat damai, pelukan hangat itu mampu mengambil hati nenek, mampu membasuh hati nenek dengan kesejukan, mampu menyelimuti dengan kesejahteraan. Nenek dialiri ketenangan, senyum nenek penuh damai. Melepaskan pelukan membiarkan Lili berangkat dengan tentram, tanpa beban. Lili menghilang dari pandangan. Dari luar rumah, Lili menatap jendela kamarku beberapa detik. Seolah ingin aku juga memeluknya, mengatakan selamat pagi, melihatnya pergi dan menyambutnya ketika pulang. Lili lanjut melangkah lagi, masuk ke mobil, kali ini benar-benar meninggalkan rumah.
Aku sudah terbangun, kedua tanganku merengkuh lutut, wajahku panik ketakutan. Jantungku berdetak kencang, aku tersengal. Bagaimana tidak, ingatan mengerikan itu kembali bermain dikepalaku. Merenggut awal pagiku yang seharusnya tenang menjadi lautan yang siap melahap bangunan indah yang sempurna rapih dipertengahan kota. Pusaran hitam yang ingin aku lupakan, kejadian yang ingin aku singkirkan dari diriku. Ingatan itu mengikat tubuhku, menerkam hatiku, pikiranku, akalku. Aku bergetar hebat. Bayangan ketika Ilyas berada di atap kampus yang tinggi, memunggungiku, menghadap kedepan. Pandangannya sendu, matanya redup, wajahnya lesu. Ilyas menangis kecil meratapi kehidupannya. Tertekan dengan segala yang terjadi dihidupnya, ia menangis tersedu-sedu, berbalik badan menatapku seolah meminta pertolongan. Tangannya meraba dada lalu mencengkramnya kuat. Lelaki ini bergetar. Ia adalah anak pertama dari keluargaku. Sungguh hari itu aku melihatnya merintih kesakitan, matanya sembab, sesenggukan, tubuhnya lemas. Aku melihatnya seperti ada beban yang tersimpan dipundaknya, ada sebuah tanggung jawab yang harus dikerjakan, tapi ia tak sanggup melakukannya. Ia redup. Aku menatapnya khawatir, bingung apa yang harus kulakukan untuk menenangkannya.
"Fa, aku ingin pergi, rasanya aku tak sanggup menjalani hidupku. Aku tidak sempurna seperti yang keluarga inginkan, aku gagal. Aku ingin tenang" Angin malam itu sangat dingin, masuk menembus kulit, menyapa aku dan Ilyas yang berada di atap kampus. Langit malam seolah mengerti keadaan kami, lalu membasuhi kami dengan angin sejuk, dedaunan yang meliuk-liuk. Dari tempat kami berdiri dapat terlihat beberapa pohon lebat dan tinggi dengan daunnya yang menari-nari. Gedung-gedung tinggi yang berjajar yang disetiap lantai lampu menyala, berpadu dengan lampu-lampu jalan yang menyala, memperindah kota. Dari tempat kami berdiri bisa terlihat sedikit orang yang pulang dari aktivitas atau beberapa orang sedang bertegur sapa. Mengumbar senyum menenangkan, tanpa beban. Orang-orang yang bersahutan sambil membawa ransel ditangan. Wajah-wajah itu dibalut kebahagiaan tiada tara. Sungguh menyenangkan menyaksikan semua itu, tapi tidak bagi Ilyas. Ada iri yang membuncah, Ilyas ingin seperti mereka, yang bisa bersenang-senang seperti seumurannya. Ilyas malah harus menanggung semua kesedihan itu, memikul beban itu. Saat anak-anak seumurannya bisa bermain bebas, Ilyas harus menanggung keinginan orang lain. Keinginan yang merusak mentalnya, merusak dirinya, mengubur mimpinya. Ia harus berjalan dijalan yang disediakan orang lain, bukan berdiri dikaki sendiri. Tak ada cahaya di dirinya, tak ada sinar diwajahnya, ia redup.
"Fa, bagaimana rasanya ya menjadi mereka" Mata Ilyas menatap orang-orang yang berlalu lalang dibawahnya. Aku tidak tahu kalau Lili juga sedang mencari kami. Karena kelasnya sudah selesai, lalu bergegas mencari keberadaan kami diberbagai tempat dikampus tapi tak ada.
"Aku kesakitan Fa" Tangan Ilyas bergetar hebat, matanya bergetar, seluruh tubuhnya bergetar. Aku mendekat, memperhatikan wajah Ilyas yang sudah merah seutuhnya.
"Ilyas, jangan pernah lakukan hal bodoh, jangan seperti ibu dan ayah ya, aku mohon. Aku dan Lili membutuhkanmu. Jangan menghilang dari hidup kami, aku mohon" Aku meyakinkan. Melihat Ilyas dengan kondisi seperti itu, aku takut dia akan melakukan hal konyol. Sama seperti ayah dan ibu kami. Sudah cukup bagi kami menyaksikan ayah dan ibu mengakhiri hidup mereka. Aku tak ingin Ilyas melakukan hal serupa. Pelan-pelan aku pegang bahunya, menenangkan hatinya yang keruh, pikirannya yang rusuh. Memberitahu bahwa aku dan Lili mendukungnya, aku dan Lili adalah penopang hidupnya. Aku dan Lili adalah kristal yang perlu dijaga. Cahaya yang tak boleh dibiarkan redup. Ilyas hanya tersenyum getir, cukup untuk memberitahuku bahwa dia memang tidak baik-baik saja. Matanya terpejam, merasakan lembut angin yang menerpa wajahnya. Tak ada suara, sunyi. Malam itu bulan dan bintang-bintang dilangit menjadi saksi bagaimana keadaan kami, bagaimana keadaan Ilyas. Beberapa detik kemudian Ilyas tiba-tiba tidak ada disampingku, ia akhirnya terjun kebawah. Aku menatap tempat orang yang disampingku beberapa detik lalu dengan ketakutan. Aku bergetar hebat. Apa yang kuduga terjadi, nafasku tertahan, seketika semuanya pecah. Aku membekap mulut dengan kedua tanganku, ingin sekali aku berteriak, tapi tertahan. Aku terpaku, mencerna segala yang terjadi. Sementara itu suara teriakan orang-orang dibawah tempatku berada, begitu histeris. Kaget sekaligus takut, merinding melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian. Tepat saat itu nenek berada didepan Ilyas yang terjatuh. Matanya sama bergetarnya denganku, melihat ke atap, tepat saat wajahku muncul bermaksud memastikan tubuh Ilyas.
Aku meringkuk ketakutan mengingat kejadian itu. Kejadian yang bisa membunuhku perlahan. Saat kejadian itu pula nenek mulai tak menyukaiku, mulai mengurungku, menganggapku monster. Pembunuh berdarah dingin, julukan itu sudah dilekatkan kepadaku sejak kejadian itu. Dan rasanya sangat menyesak dada, aku tersengal, nafasku tak beraturan. Aku mengambil satu bantal, menutup kedua telingaku. Semakin aku rekatkan bantal ketelingaku, semakin lihai pula ingatan itu melingkariku, mengikatku. Semakin riuh ingatan itu dalam kepalaku. Terasa jelas suara-suara yang tak ingin ku dengar, sayup-sayup percakapan antara kami, kejadian saat Ilyas memilih terjun kebawah. Suara berisiknya orang-orang yang menjerit ketika menyaksikan tubuh Ilyas terkapar. Juga bayangan ketika nenek mendongakkan kepala melihat kearahku, yang saat itu ada di atap kampus. Semuanya sempurna membelenggu diriku, menjadikan diriku tak terkendali, bergetar, aku merasa cemas. Bola mataku membelalak kala ingatan itu masih berkeliaran dikepalaku. Beberapa detik kemudian tanganku kembali merengkuh lutut, aku kembali membenamkan wajahku, aku menangis. Bening-bening kristal turun perlahan. Ku lampiaskan kesedihanku lewat tangis yang semakin lama semakin keras. Semakin menjadi-jadi, semakin membuncah. Nenek terdiam di ruang makan mendengarku menangis. Aku luapkan segala hal yang menyakitkan itu, aku tumpahkan seluruhnya agar perasaanku lega.
****
Malam hari tiba, aku sedang mewarnai lukisanku. Lukisan yang menurutku sangat indah, sangat menawan. Lukisan yang menggambarkan indahnya diri dan indahnya dunia dengan berbagai problematikanya. Lukisan dua orang bersama sedang menikmati langit malam. Yang satu kepalanya tertunduk meratap, yang satu menatap lurus tegak menikmati dunia, wajahnya sendu. Ku oles warna hitam pekat pada langit yang ku gambar, sementara pada dua orang yang ku lukis dilekatkan warna biru dan coklat pada bajunya. Bintang-bintangnya berwarna abu. Setelah menyelesaikan lukisan, kakiku bergerak kearah pintu, bermaksud mengambil makan malam. Karena pada malam hari, rumah ini sepi, nenek selalu berada dikamar. Hal rutin yang selalu kulakukan. Baru juga akan membuka pintu. Suara ketukan pintu terdengar. Membuka pintu dan lihatlah, Lili sudah menarik tanganku menuruni anak tangga cepat-cepat.
"Kamu ini kenapa?" Aku keheranan dengan tingkahnya. Lili memasang wajah tak bersalah. Satu telunjuk nya ditaruh dibibir " shuuttt" Lili tersenyum riang kepadaku, mengendap-endap agar tak berisik. Langkahnya pelan-pelan, tangannya menggandeng tanganku. Ada sentuhan hangat, ada ketenangan yang mengalir saat tangannya menggenggam tanganku. Kami melangkah sepelan mungkin. Sepi, tak ada siapapun di ruang keluarga, di ruang makan, ditaman, dimanapun. Nenek mungkin sudah tidur, karena sekarang-sekarang memang waktunya jam tidur. Bukan untuk rumah ini saja, rumah lainpun begitu. Lili dan aku berhasil keluar rumah, mengendap-endap melewati rumput, melewati jajaran-jajaran bunga yang mekar. Sungguh sangat cantik. Sayup-sayup angin menambah kelembutan pada malam ini. Meleburkan perasaan rindu, perasaan benci, perasaan lelah, perasaan letih. Sungguh menakjubkan, pertama kalinya lagi aku menapakkan kaki keluar, menjejak lagi dunia yang sudah lama tak kulihat. Akhirnya kami sudah berada diluar pagar. Wajah Lili menghadapku, matanya berbinar senang, bibirnya menyungging senyum, amat meneduhkan. Entah bagaimana, aku bisa melihat kalau Lili ini sangat puas dengan apa yang dilakukannya, ia seperti berhasil keluar dari teka-teki game, atau terbebas dari Labirin yang sulit. Wajahnya cantik, merona. Lili melihat wajahku lamat-lamat, membaca wajahku yang teramat senang keluar dari sangkar mengerikan.
"Hari ini aku akan mengajakmu ketempat dimana kamu bisa melepas kerinduan. Seperti aku yang selalu merindukanmu, jujur aku rindu sekali masa-masa lalu. Bermain bebas, menyeletuk apa saja yang membuat kita tertawa, meski hal kecil. Tapi bagiku, masa-masa itu adalah yang paling membahagiakan. Aku rindu kebersamaan kita" Lili tersenyum, aku terdiam. Bila harus jujur, aku tidak ada kerinduan sama sekali. Hatiku terlanjur hancur, cintaku sudah lebur, rasa kasihku sudah menjadi kepingan, amat menyakitkan. Tidak ada yang patut dibanggakan, sungguh.
Lili menarikku menjauh, kita melangkah ke pertengahan kota. Disepanjang jalan kami terdiam. Lengang, sepanjang kami berjalan hanya hawa dingin yang menemani, hanya daun rindang menari-nari menyirami kami yang tenggelam dalam keheningan. Hingga akhirnya aku membuka suara.
"Kamu mau membawaku kemana?" Suaraku memecah keheningan. Nadaku datar. Lili menoleh, memerhatikan wajahku, lalu tersenyum.
"Rahasia, nanti kamu juga akan tahu, tapi sebelum kita sampai, aku ingin kamu menikmati semuanya. Menikmati malam ini. Cahayanya, cuacanya, perasaannya. Lepaskan semua beban itu, aku tahu sangat sulit melalui semua yang kamu alami" Lili tersenyum. Dirinya benar-benar merasa prihatin. Wajahnya memerhatikan sekitar. Melihatku, ia seperti paham sekali bahwa kalimat mutiara itu tidak pernah bisa mengobati luka dihatiku. Tidak bisa menghilangkan rasa perih di dalam batin. Kata-kata penenangnya tak mampu menembus dinding hatiku.
"Maafkan aku, aku tak bisa melakukan apapun untukmu, tak bisa membuat perasaanmu lega, tak bisa membuatmu merasa aman dan nyaman. Aku tahu betapa menyakitkannya ketika seseorang yang kita sayangi, tiba-tiba menjauhi kita, tak mau bertemu dengan kita. Aku tahu kamu sangat mencintai keluarga kita. Kamu sangat peduli padaku, pada nenek, juga Ilyas. Kamu tidak membunuhnya" Lili kali ini tertahan. Suaranya lemah, aku terdiam, sempurna membatu. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Lili berhasil menusuk jantungku, merobek hatiku. Aku ringkih, ada sesak di dada. Aku mulai bergetar diam-diam. Tapi tak diperlihatkan kepada Lili. Lima menit tak ada suara, lima menit keheningan. Lili menatap lurus, kami duduk dihalte bus beberapa detik. Kemudian bus menghampiri kami. Aku dan Lili naik, sangat sepi, hanya satu dua orang yang berada dalam bus. Kami duduk berdampingan. Lili memegang tanganku, aku menoleh.
"Lihatlah apa yang ingin kamu lihat. Jarang sekali kan mendapat kesempatan ini? Sejak beberapa tahun itu, kamu tidak pernah lagi melihat dunia, melihat tempat-tempat menakjubkan. Jadikan ini moment terbaikmu, aku ingin kamu memiliki kenangan indah" Lili berkata pelan, tangannya tak dilepaskan. Ia memegang tanganku. Aku tahu gadis disampingku ini ingin menenangkan ku, menenangkan gemuruh dihatiku. Tapi sayangnya itu tidak cukup. Aku masih terluka, luka itu masih membiru. Mataku melihat kearah jendela, menyaksikan keindahan dunia, menyaksikan keindahan kota. Menatap takzim beberapa tempat yang dilewati bus yang dinaikki olehku dan Lili. Mataku tak berpaling sedikitpun, lihatlah cahaya kerlap-kerlip lampu di mol sangat cantik, lampunya membasuh mol dengan keindahan. Gedung-gedung tinggi tak kalah menakjubkan, lampunya juga menyala, menambah pesona. Mobil-mobil melintas, satu-dua menyusul. Ada juga yang dibelakang bus yang kami tumpangi. Malam ini sungguh indah, sungguh berisik. Riuh kota tak terhindarkan. Tetumbuhan kecil dipinggir jalan tampak cantik, meliuk-liuk diterpa angin malam. Sungguh menenangkan, aku sungguh menyukainya. Hatiku bagai dibaluri air bening, menentramkan. Lebih dari itu, aku merasa nyaman. Aku fokus melihat jalan-jalan yang dilewati, menatap sedikit orang lewat jendela bus. Lihatlah, aku tidak sadar menyuging senyum, mataku berbinar, sungguh menentramkan. Aku menatap orang-orang yang berjalan bersama seseorang lainnya. Mereka tersenyum, merekah. Berbincang satu sama lain, entah apa yang mereka bicarakan, terpancar kebahagiaan diraut wajah. Aku menyaksikan jalanan yang dipenuhi kendaraan mobil yang berjajar seirama, menyaksikan bagaimana orang-orang bercengkrama, sambil menjejak kaki disisi aspal berwarna abu, mereka dibaluri kedamaian. Siluet lampu-lampu mobil menyoroti mata mereka, sehingga memicing, namun lama-lama terbiasa. Sungguh aku menyukai hari ini. Dunia yang sudah lama tak kulihat, dunia yang aku rindukan, dunia yang setiap hari aku dambakan. Hari ini aku bisa melihat segalanya. Sungguh, rasa rinduku membuncah malam ini. Mengobati hatiku yang sepi, mengobati diriku yang terluka. Bus melintasi setiap ruko-ruko, mol, gedung-gedung pencakar langit. Mataku tak berhenti terkagum-kagum, suara bising kendaraan berlalu lalang memekakkan telinga. Kami turun di pemberhentian berikutnya, melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Lihatlah, perkotaan yang padat ini sangat indah, berbagai cahaya terang menghiasi seluruh kota, lampu-lampu jalan, lampu-lampu mol, lampu-lampu gedung-gedung tinggi berpadu menyeruakkan sinarnya. Langit pun tak kalah menunjukkan keindahan, tak kalah terang. Bintang-bintang bertaburan bercahaya meramaikan langit hitam pekat, juga bulan yang sudah tegak sempurna, sangat menawan. Memanjakan mata siapa saja yang memandang.
Setelah beberapa menit kami berjalan, aku terdiam sejenak. Memandang apa yang kulihat dengan tak percaya. Aku membeku dengan huruf didepanku. Rumah sakit harapan. Gedung putih yang telah ramai oleh beberapa orang yang keluar masuk, sibuk dengan diri sendiri. Bahkan orang-orang yang menghampiriku, sekedar lewat juga berisik dengan suara-suara obrolan khas rumah sakit. Suara-suara itu menanyakan keadaan seseorang, menanyakan suasana didalam, menanyakan kondisi ruangan dan berbagai hal lainnya. Paling banyak membicarakan seseorang yang dijenguk. Beberapa orang duduk di kursi, membicarakan hal apapun. Terlihat ketegangan diraut wajah mereka. Mereka gelisah, khawatir, cemas. Beberapa orang lainnya berlari kesana-kemari membututi adik-adik kecil yang berlarian. Wajah-wajah asing yang baru ku lihat. Wajah mereka sedang dibalut kesedihan. Aku masih mematung, bergetar. Kali ini Lili melihat keteganganku, menyentuh tanganku, mengusir kecemasan.
"Tidak apa-apa, jangan takut. Ini adalah pertemuan yang indah, tidak mungkin kamu akan menyiakan usaha kita kan?" Lili menatapku. Kata-katanya lembut, setidaknya melepaskan kecemasanku sedikit.
"Ini adalah kesempatan, aku khawatir setelah ini, aku tidak bisa membawamu lagi. Kamu tahu kan, nenek orangnya tegas" Lili menarik tanganku, aku membiarkannya. Kami masuk menelusuri rumah sakit. Sangat dingin, suhu ruangan ini dinginnya menembus kulitku. Orang-orang juga tampak kesana-kemari, sibuk sendiri. Ada yang sedang duduk-duduk cemas, ada yang bergelut dengan lamunan, ada yang sedang memerhatikan ponsel, mengetik cepat, entah apa. Wajah-wajah kusut, wajah-wajah lelah, wajah-wajah letih, wajah-wajah lesu mewarnai ruangan ini. Mereka berantakan dengan pikiran mereka sendiri. Wangi khas rumah sakit tercium, begitu pekat. Aku dan Lili melangkah melewati koridor, melewati orang-orang yang sama mau menjenguk, atau sudah selesai menjenguk. Ada juga yang menjemput orang tersayangnya keluar dari ruang inap untuk pulang. Kami saling berpapasan satu sama lain, saling menabrak, tapi spontan saling maaf-memaafkan. Wajah-wajah panik tak terhindarkan. Kami berdesakkan ke ruang yang akan dituju. Sebenarnya sebentar lagi sampai, tapi ramainya pengunjung untuk membesuk tak kalah memadati setiap langkah kami, jadi kami sedikit lambat. Mereka juga khawatir dengan orang tercinta mereka. Separuh dari mereka ada yang sedang berbincang, membahas mengenai keadaan seseorang bersama seorang dokter. Wajah kusutnya tak bisa disembunyikan. Begitu banyak orang-orang khawatir dengan orang terkasih mereka. Kalau aku sakit apakah keluargaku akan sama cemasnya seperti orang-orang yang kulihat ditempat ini? Suhu dingin pun mendadak tak terasa saking padatnya. Suara bising sekitar memenuhi ruangan. Lili dan aku masuk keruangan dimana katanya aku bisa melepaskan kerinduan, setelah berhasil melewati beberapa orang diluar. Kakiku bergetar melihat siapa yang kulihat. Membatu, mataku berkaca-kaca, bergetar. Kakiku bergerak patah-patah. Inikah tempat yang disebut oleh Lili untuk melepas kerinduan? Inikah yang disebut pertemuan yang indah? Oh tidak, lihatlah siapa yang terbaring lemah. Ilyas! Orang yang tak pernah kutemui lagi setelah kejadian mengerikan beberapa tahun silam. Orang yang dulu selalu bersama-sama setiap selesai kuliah, orang yang matanya selalu redup. Orang yang tak berhasil ku bujuk, menyebabkanku dikurung di sangkar mengerikan itu. Orang yang menumbuhkan rasa benci dihati nenek. Lihatlah tubuhnya, lemah, ditopang berbagai alat rumah sakit, ventilator itu sempurna tepasang dihidungnya. Alat untuk membantunya bernafas, memompa udara ke paru-parunya. Monitor di samping ranjang pasien berbunyi pelan memperlihatkan garis-garis zig-zag. Lihatlah, Ilyas tak berdaya, belalai panjang yang terpasang dihidungnya membuatku miris melihatnya. Mata terpejam, tubuh terbaring, tangan tak bergerak, lihatlah lelaki itu sudah seperti mayat.
Aku menangis. Perlahan tanganku memegang tangan lemah Ilyas, lalu ke wajahnya. Memperhatikan lamat-lamat wajahnya. Wajah itu pucat, sesenggukan memerhatikan setiap tubuh seseorang yang sudah lama tak kulihat ini. Hatiku pilu, rasa sakit kembali menyerang ku, menghujamku dengan ribuan pisau menusuk. Aku linglung, kepalaku pusing. Oh Ilyas, apa yang harus kulakukan?
"Lihatlah wajahmu, begitu pucat pasi. Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Kalau kamu begini, aku tidak bisa membencimu padahal aku ingin sekali mengutukmu. Lihatlah aku..." Aku bergetar, meraba dada. Mata fokus kepada Ilyas yang terpejam. Oh tuhan keadaannya mengerikan untukku. Tersengal, membiarkan airmata menetes semaunya.
"Bagaimana bisa, kamu seperti ini? Kenapa tak sekalian mati saja biar aku sudah sempurna menjadi pembunuh untukmu, aku sudah membunuhmu" Setelah keluar kalimat itu aku tersungkur, tanganku lemas. Sepi, hanya layar kotak dipinggir ranjang yang terdengar tut...tut...tut... Ruangan kecil ini begitu sunyi. Lihatlah peralatan yang terpasang pada tubuh Ilyas, begitu miris. Tubuhnya hangat, tapi tak ada pergerakan, ia sempurna diam. Aku lagi-lagi menatap penuh sendu. Langit-langit kamar berwarna putih, serta dinding berwarna putih telah menjadi saksi bagaimana keadaan Ilyas, bagaimana hari-harinya. Alat-alat itu telah bersamanya selama beberapa tahun, sudah menjadi penopang hidupnya. Wajah putih itu tidak ada sinar, tidak ada cahaya. Ia redup, seperti kehidupan yang sudah dijalaninya beberapa tahun silam, hanya keadaan yang kulihat saat ini menjadi pelengkap pahit kehidupan lelaki muda ini. Pemuda yang didambakan menjadi kebanggaan keluarga, pemuda yang di idamkan mencakrawala dikeluarga, pemuda yang diharapkan menjadi panutan bagi adik-adiknya, lihatlah sekarang, sedang terkapar tidak berdaya. Semua mimpi dan harapan keluarga itu hancur lebur, berserak, tak bersisa. Semua yang ingin digapai keluarga punah sudah, bersamaan dengan Ilyas yang terpejam diranjang rumah sakit. Lihatlah sesuatu berbentuk seperti mangkuk membekap hidung dan mulut, serta belalai panjang yang menyatu sempurna menjadi penopang hidup matinya Ilyas, menjadi bantuan pernapasan Ilyas. Entah kapan ia akan sadar, entah kapan ia akan membuka mata. Tapi setidaknya dari Lili dan nenek yang selalu menjenguk sesekali, aku tahu ada harapan yang menimbun, ada secercah keyakinan yang tumbuh, ada sedikit sinar dihati mereka, kalau orang yang paling dicintai keluarga setelah Lili ini akan bangun. Malam ini bukan pertemuan yang indah seperti yang dikatakan Lili, tapi ini adalah pertemuan menyayat hati, setidaknya bagiku.
Entahlah hatiku bimbang antara senang dan sedih. Separuh hatiku merindukan sosoknya. Sosok yang gagah ketika berpura-pura ceria didepan nenek, sosok yang terbuka ketika ia setiap kali lelah, maka kami akan berbincang sebentar. Mencari tempat sepi untuk menumpahkan segala keresahan yang dialami Ilyas. Iya dulu Ilyas sering berbicara tentang betapa ia lelah dengan kehidupannya. Lelah dengan keinginan nenek yang ingin dirinya seperti ini dan itu. Dan kakak pertama dari keluarga kami ini selalu mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan nenek, walau itu kadang ada yang bertentangan. Iya, nenek menganggap lelaki muda ini adalah sosok sempurna. Sosok yang berani dan penuh kewibawaan, panutan bagi keluarga. Yang tanpa disadari itu malah membuahkan luka. Menyebabkan Ilyas tak bisa mengutarakan keinginan yang sebenarnya. Membenamkan mimpinya, mengubur perjalanan yang disusun, dirangkai dengan baik. Karena nenek orangnya tegas dan penuh tekanan. Ilyas adalah anak pertama dari kedua orangtua kami. Jujur ketika melihat Ilyas hari ini, seketika aku teringat dengan ayah dan ibu. Bagaimana keadaan getir mereka. Masa-masa mereka bertengkar hebat dengan nenek karena ada yang tak sepemikiran, ada pertentangan, berbeda cara pandang. Ayah dan ibu adalah pekerja kantoran, pekerja keras. Mereka selalu berangkat pagi pulang malam mengurus beberapa kerjaan diluar. Kalau pulang ke rumah pun sering terdengar pertengkaran hebat antara nenek dan kedua orangtuaku. Saat itu aku, Lili dan Ilyas masih sangat kecil, berusia tujuh, delapan, sembilan tahunan. Setelah beranjak dewasa, Ilyas dituntut untuk ini dan itu, menjadi apa yang nenek mau. Seperti robot, mematuhi apa saja yang diucapkan nenek. Apa karena nenek tak berhasil membujuk ayah dan ibu menapaki jalan yang sudah disediakan oleh nenek? Apa karena nenek gagal membawa ayah dan ibu menuruti setiap jengkal keinginannya? Meski aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan ini adalah karena nenek ingin cucunya menjadi sempurna menurut gambarannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apa arti kata bangga bagi nenek? Apa arti kata sempurna dipandangan nenek? Aku benci sekali sebenarnya mengingat kejadian itu. Karena kejadian itu pula aku dikurung dirumah, tidak perbolehkan keluar. Sekali lagi aku adalah burung dalam sangkar. Akupun tak tahu kenapa nenek seperti itu. Yang jelas hari ini adalah malam yang penuh sesak bagiku. Penuh dengan sulaman kesedihan, penuh dengan tikaman tajam yang sempurna menghujam jantung. Aku masih bergetar, terisak menatap wajah kakak pertamaku ini. Lili diam, membiarkanku melampiaskan segalanya, melampiaskan kemarahan atas kesedihan yang kurasakan. Lili menjadi penonton malam ini, menyaksikan bagaimana aku bereaksi dengan keadaan, menyaksikan aku menangis.
"Seharusnya kamu mati saja, biar apa yang sudah kamu alami tidak lagi dirasakan, agar setiap yang membuatmu perih itu hilang. Kamu seharusnya tidak usah bertahan. Kalau seperti ini, aku malah semakin membenci dirimu, dulu kamu berjanji akan menjagaku dan Lili. Lihatlah, bahkan kamu tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa menjadi pelipur lara untuk adik-adikmu, tak bisa menjadi tempat bersandar untuk kami. Seharusnya kamu menjadi pelindung untukku, untuk Lili. Tapi hari ini aku mengerti, mustahil untukmu untuk menolongku. Aku kesakitan" Airmataku tumpah, sesak di dada luruh. Dinding-dinding hati yang menimbun ribuan sesak runtuh satu-persatu. Aku tak bisa menahan emosi. Membuncahkan segalanya yang terpendam, melampiaskan semuanya yang membenam dalam batin. Ruangan kecil ini menjadi saksi atas kemarahanku. Senyap, Lili tertunduk, menahan denting air yang akan jatuh dipelupuk mata.
"Aku dikurung oleh nenek, padahal kamu yang melakukan hal keji itu, kamu yang memilih jalan itu, kamu yang memilih mengakhiri hidupmu. Aku sudah berusaha mencegahmu, mengatakan bahwa aku dan Lili membutuhkanmu! Dan kami memang membutuhkanmu!! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu tetap melakukannya, kamu tetap melukai dirimu, kamu tidak peduli kepada kami dan tetap memilih mengakhiri hidupmu, tapi kenapa yang disalahkan adalah aku!! Kenapa yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku? Sungguh Ilyas, kalau kamu berkata dari awal apa sebenarnya keinginanmu kepada nenek, semua ini tidak akan terjadi padaku!! Mungkin kalau kamu berani mengungkapkan impianmu, ketakutan yang kamu rasakan itu tidak terjadi!! Kamu adalah orang paling bodoh yang pernah ada, setidaknya kalau kamu mengutarakan apa yang ada dibenakmu, mungkin nenek tidak akan marah seperti yang selalu kamu bilang, mungkin nenek tidak akan merasa kecewa atas keterus-teranganmu!! Karena kamu adalah orang yang paling dicintai nenek! Kamu orang yang berharga untuk nenek! Kamu terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi! Nenek tidak akan menganggapku seorang pembunuh kalau kamu berani mengucapkan semuanya!! Kamu adalah manusia paling konyol!! kamu yang melakukan, aku yang menjadi korban" Hari ini aku menumpahkan segala isi hatiku, isi pikiranku. Biarkanlah aku merasa lega. Biarkanlah perasaan sesak itu keluar dari tubuhku. Biarkan hari ini tubuh ini merasakan leluasa, merasakan kelegaan, merasakan kelapangan, melepaskan semuanya, aku tak tahan lagi. Aku masih menangis, wajahku memerah, mata sembab, suaraku menjadi serak. Aku lemah hari ini. Dinding yang kubangun untuk diriku hancur sudah, retak sudah semuanya, berserakan. Aku roboh hari ini, aku ringkih, lemah.
"Tapi aku merindukanmu..." Nafasku sesak, tubuh berguncang-guncang karena tangisanku yang tak tertahan. Iya, separuh hatiku merindukannya, merindukan kebersamaan kami bertiga, masa dimana kami bermain bebas, meski saat melakukannya kami sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan. Meski saat melakukannya, kami bertiga selalu ada pertengkaran kecil. Tepatnya aku dan Lili yang selalu bertengkar dan Ilyas yang akan mendamaikan. Diantara kami Ilyas adalah sosok yang dewasa, selalu mengalah, selalu mengerti keinginan kami. Itulah kenapa kami sangat mencintainya setelah ayah dan ibu. Apalagi setelah kedua orangtua kami pergi jauh, cinta kami sudah dilabuhkan kepadanya. Kakak yang penuh cinta, kakak yang penuh tatapan hangat, kakak yang penuh tatapan lembut. Kami mencintainya.
Aku dan Lili memutuskan pulang. Selama kami berjalan, tidak ada suara, aku menikmati kesendirian, tenggelam dalam renungan. Lili berjalan di belakangku, memerhatikan punggungku. Udara dingin membaluri batin, malam ini sempurna menyulam kesedihan, menyulam kenangan yang dulu begitu amat menentramkan. Dulu aku, Lili, dan Ilyas hanyalah anak-anak kecil yang riang, kami selalu bersama setiap waktu. Menghabiskan hari dengan bermain, berlarian, melempar lelucon dan sebagainya. Aku merindukan moment itu, tapi sekarang aku benci perasaan itu. Perasaan rindu yang melapiskan beberapa kejadian antara senang dan sedih menyatu dalam satu ingatan. Mencabik rasa cinta kumiliki menjadi benci berkali lipat. Malam terasa sejuk, menelusup jiwaku yang bersedih, cukup untuk membasuh batinku yang sedang terluka. Lampu-lampu kota masih menyala menerangi seluruh jalan. Bulan yang berdiri tegak pun masih setia menemani. Aku masih tertimbun kenangan, meneteskan air mata. Bagaimana tidak? Setiap kenangan yang berkelibas berhasil menikamku seperti ditusuk ribuan pisau, perih sekali. Malam ini menjadi malam kesedihanku. Lili membiarkan, memperhatikanku, memutuskan malam ini menjadi milikku. Bintang-bintang ikut merayakan kesedihanku, cahayanya tak mampu menembus gelap dalam diriku. Aku redup, sinar bulan dan bintang tak bisa memecahkan gelimang perasaan terluka, rindu, benci. Aku dalam keadaan terlemah, setelah sekian lama kubangun kuat-kuat dinding dihatiku, akhirnya hancur juga. Setelah sampai rumah, kami melangkah kepelataran rumah, membuka pintu, dan lihatlah siapa yang sudah berdiri diruang keluarga. Menatap buas aku dan Lili yang baru kembali. Sungguh melelahkan hari ini, aku sudah malas melihat nenek. Tak peduli apa yang akan terjadi, perpecahan apa lagi yang akan kudengar. Aku mengabaikannya, memilih berjalan ke kamarku. Lili menghentikan langkah, matanya bergetar, bibirnya bergetar, ia panik setengah mati. Aku tak peduli, tatapan buas nenek tak mempan padaku. Entahlah, mungkin karena aku sudah terbiasa. Raut wajah nenek merah padam, seperti siap membunuhku kapan saja. Hening, hanya suara jam dinding yang terdengar.
"Darimana saja kamu?!" Nenek menatap tajam kearahku. Aku masih melangkah.
"Berhenti! Aku sedang bicara denganmu, apa kamu tidak tahu etika dirumah ini?" Tatapan nenek menyeramkan. Sebenarnya aku malas tidak mau berdebat, sudah cukup hari ini aku mengeluarkan seluruh energiku, aku lelah hari ini. Aku menghentikan langkah, lalu melihat wanita paruhbaya dihadapanku.
"Aku lelah hari ini, bisakah bicarakan besok? Kalau ingin memakiku besok saja" Nadaku datar, langkah berhenti dianak tangga. Nenek melempar gelas bening yang ada dimeja kearahku. Brakkkk terdengar keras sekali menghantam dinding beberapa inci disampingku. Tepatnya meleset. Setelah itu nenek melihat kearah Lili yang masih diam didepan pintu. Menatap garang. Lili terkesiap langsung menutup kedua telinga dengan tangan kala pecahan gelas menerpa dinding. Berkeringat dingin. Entah hari ini apa yang merasuki wanita tua ini. Ia seperti ingin menghabisi kami berdua. Lili ketakutan. Aku diam, terbiasa dengan keadaan.
"Sudah kubilang, jangan bergaul dengannya, kenapa hari ini kamu membantah Lili? Kamu tidak sayang nenek lagi?" Perkataan nenek pedas, menusuk jantung. Sungguh amat perih mendengarnya. Tapi aku terbiasa.
"Kamu tidak lupa, dia ini siapa? Dia sudah membunuh kakakmu!! Kamu tidak takut akan mengalami hal serupa seperti Ilyas? Kenapa masih peduli dengan orang tidak berguna ini!! Ilyas dirumah sakit gara-gara siapa? Gara-gara dia!!" Tangan nenek menunjuk-nunjuk padaku. Sungguh aku menahan amarahku. Sudah kelelahan. Lili menatap ketakutan, ragu-ragu berkata.
"Nek.. jangan salahkan Fatih, aku yang mengajaknya keluar hari ini. Aku mengajaknya bertemu dengan Ilyas. Sudah lama Fatih tidak keluar, aku hanya mengajaknya jalan-jalan, maaf, aku bersalah nek.." Lili tertunduk pasrah. Sedu sedan terdengar, satu denting airmata menetes membasahi pipi Lili. Sungguh perempuan satu tahun lebih muda dariku ini terkejut bukan main melihat ekspresi nenek. Baginya nenek yang lembut itu hilang dalam sekejap. Entah bagaimana mata nenek menyalak buas ke arah Lili, siap menghancurkannya, lalu menatapku lagi. Aku melihat tatapan benci dimatanya.
"Semua yang terjadi kepada Ilyas adalah salahmu, karena kesalahanmu dia menjadi seperti itu! Kamu ingin juga Lili seperti Ilyas? Tidak cukupkah untukmu mengerti kenapa Lili aku larang bersama denganmu! Karena kamu sungguh pembawa sial, kamu orang yang suka membunuh orang! Menyebabkan Ilyas seperti sekarang!! Seharusnya yang mati itu kamu!!" Nenek berteriak membuncahkan kekesalan. Aku mematung, bergetar. Tidak percaya dengan apa yang kudengar. Seperti ada dentuman yang langsung menghantam tubuhku. Seketika Nenek yang menenangkan untuk Lili hilang, nenek yang selalu senyum merekah dihadapan Lili tidak ada sama sekali, nenek yang selalu bersikap santun kepada Lili sirna. Nenek hari ini lepas kendali, gurat-gurat diwajah nenek terlihat. Lili bergetar. Setelah beberapa tahun lamanya tak melihat nenek semarah ini. Aku tersenyum terluka, menatap nenek redup, dengan sisa tenagaku.
"Bagimu aku adalah orang yang seperti itu? Kalau begitu bunuh saja akuu!! Biar kamu puas!! Biar kalau aku mati, takkan ada yang memakiku!! Karena kamu memang tidak mencintaiku, kamu tidak menyukaiku!! Biar aku sama seperti ayah dan ibu!!" Aku kalap, mataku menyalak, tak kuat dengan lontaran nenek. Tersengal dengan sisa tenagaku. Lili bingung, tak bisa menyembuyikan ketakutan, bergetar. Teriakanku dan nenek menggema keseluruh ruangan. Tanganku kearah dada, bergetar, menepuk-nepuk dada, bermaksud menghilangkan sesak nafas yang diam-diam merangsang tubuhku. Tapi semakin lama semakin tak terkendali, sungguh aku tak bisa bernafas. Bola mataku membelalak keluar, aku semakin bergetar.
"Sebegitunya kamu membenciku, seharusnya kamu tanya dirimu sendiri, ada apa denganmu. Kenapa ilyas jadi seperti sekarang!! Keluarga yang sangat kamu banggakan ini nyatanya hanya kebanggaan untuk dirimu sediri!! Kamu tidak bertanya kepada kami, apa yang kami suka, apa yang kami cinta, kami capai! Kamu hanya peduli dirimu sendiri, semua yang ada dirumah ini adalah milikmu!! Nenek yang membunuh Ilyas!!" Tanganku masih menepuk-nepuk dada. Meluapkan emosiku, kemarahanku. Wajahku merah padam. Lili menutup telinga dengan kedua tangan. Sungguh hari ini aku tak bisa mengendalikan diri.
"Biar aku mati saja!! Agar sama seperti ayah dan ibu. Kamu selalu mengharapkan segala yang ada dalam anganmu menjadi kenyataan!! Ingin menjadi yang sempurna, semua harus mengikuti apa yang kamu inginkan!! Tapi apa hasilnya? Ayah dan ibu pergi!! Gara-gara siapa? Gara-gara nenek!!" Aku semakin tersengal setelah mengatakannya, nafas sesak semakin menyerang. Mataku menatap sekitar kunang-kunang, tubuh tiba-tiba terasa berat, tapi berusaha tetap berdiri. Sungguh aku seperti akan mati. Aku melangkah patah-patah kearah nenek, memegang satu tangannya dengan cepat, mencengkramnya kuat-kuat. Aku kesetanan menatap nenek.
"Nenek kira aku juga mau hidup begini?!! Aku sudah hancur olehmu!! Aku sangat benci rumah ini, kamu sudah mengurungku semaumu, sudah mengunciku semaumu, kenapa tak sekalian bunuh saja aku!! Pukul saja aku!!" Aku berteriak, tanganku mengguncang-guncang bahu nenek. Entah bagaimana aku tak bisa mengontrol diri, lemah, aku terjatuh tepat setelah mengatakan itu.
"Diammm kamu!!!!" Nenek menutup telinga. Ketakutan, melangkah patah-patah ke kamarnya, linglung. Sedang Lili langsung menghambur kearahku, membantuku berdiri. Nafasku masih tersengal. Oh tidak, ada apa dengan tubuhku? Kenapa aku menjadi seperti ini? Tanpa banyak bicara Lili menopangku kekamar. Mendudukkan aku diranjang. Kepalaku bersandar dibantalan tempat tidur. Aku lemah, redup, tak ada cahaya, mataku kosong. Lili khawatir melihatku. Bergegas mengambil minum, menuruni anak tangga kedapur, setelah selesai Lili membantuku minum, membiarkanku terus bersantar dibantalan ranjang.
"Maafkan aku Fatih, seharusnya tidak begini. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Nenek marah padamu gara-gara aku. Sungguh Fatih aku dan Ilyas menyayangimu. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian. Meski aku tahu, aku tak sebaik Ilyas yang memiliki keberanian. Kami mencintaimu Fa, maaf..." Lili tersedu-sedu. Aku diam tidak merespon. Merenungi hidupku yang kacau balau.
"Mencintai? Jangan bergurau denganku. Kamu berkata begini, karena hidupmu terpenuhi cinta, penuh kasih. Kamu tidak akan mengerti apa yang kurasakan Lili. Karena kamu dan Ilyas hidup dengan kasih yang melimpah" Aku menatap terluka kearah perempuan disampingku ini. Dari tatapan Lili, aku tahu dia merasa bersalah. Tapi aku sudah hancur, keluarga ini tak lagi menumbuhkan rasa cinta dihatiku.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku memalingkan wajah. Lili meninggalkan kamar, aku sendirian sekarang. Aku menangis kecil, bening-bening kristal ini turun lagi, menangis lagi untuk kesekian kalinya. Aku menatap sekitar kamar, dinding, lukisan-lukisan indah, rak buku. Lengang sudah, aku kesepian. Malam ini, malam yang mengerikan.
****
Surya kembali menyapa. Sinarnya menembus sela-sela ventilasi udara kamar, mengenaiku yang terpejam. Pagi yang hangat. Aku tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang diluar sana, mungkin mereka sedang sibuk mempersiapkan kegiatan hari ini, sibuk berpakaian rapih, pergi ke kampus, atau siap mengantar orang-orang tersayang mereka keberbagai tempat yang dituju. Mungkin sebagian orang juga berjalan kaki sambil menjajakan beberapa dagangan, juga ada yang siap membuka ruko diawal pagi. Mungkin orang-orang juga ada yang siap pergi ke kantor, atau memang sudah ada yang dikantor tidak pulang, menghabiskan seluruh waktunya di perusahaan. Waktu-waktu melelahkan telah merenggut kebersamaannya dengan orang tercinta. Seperti ayah dan ibu yang super sibuk dengan urusan dunianya, pulang hanya sesekali, itu pun kalau selesai pekerjaannya. Kalau tidak, menginap dikantor, dulu ayah dan ibu begitu. Hari ini orang-orang siap menyambut keresahan, keletihan, kekhawatiran setelah melangkah keluar rumah. Siap menggunakan tubuh mereka bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Aku menggeliat, mata remang-remang. Membuka selimut, melangkah gontai kearah jendela, membuka tirai jendela. Sinar keemasan mulai menyoroti kamarku lewat sela-sela, memantul ke dinding. Setelah itu melangkah lagi ke kursi didekat ranjang, duduk, menarik nafas dalam-dalam. Menatap lukisan dengan sendu, lukisan punggung dua orang saudara lengkap dengan biru dan coklat pada baju mereka, sedang duduk menatap langit gelap. Lukisan yang mengharapkan se-embun kebahagiaan, lukisan yang menanti sinar kedamaian, lukisan yang sedang berharap cemas cahaya menentramkan. Sudah seminggu ini aku diam dikamar, keluar kamar hanya sesekali mengambil apa yang ingin dimakan. Rutinitas yang selalu kulakukan. Setelah berdebat panjang lebar seminggu yang lalu, aku, Lili dan nenek tidak bertegur sapa, saling diam. Bagiku hari-hari memang selalu seperti ini, jadi tidak masalah. Lili sesekali menatapku kalau aku sedang mengambil makanan atau minum. Melihatku yang berwajah datar-datar saja. Ragu menyapa dan akhirnya hanya melihatku yang kembali kekamar. Lili menghembuskan nafas pasrah. Aku tidak tahu kalau pagi ini ada kabar membahagiakan bagi keluarga ini. Lili dan nenek sedang menjemput kebahagiaan itu, sedang menanti cinta yang kembali mekar setelah layu beberapa tahun. Terdengar suara mobil meninggalkan halaman rumah. Sementara aku menggelayut dengan lamunan. Mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas dan nenek yang seminggu lalu menginginkanku mati. Andai aku bisa memutar waktu, sungguh aku tak ingin berada dikeluarga ini. Cinta itu tidak ada bagiku, itu hanya berlaku pada Lili dan Ilyas. Mereka lah yang jadi kebanggaan keluarga. Mereka lah yang harum namanya. Bahkan nenek tak segan membicarakan Lili dan Ilyas dengan antusias kalau para tetangga membicarakan soal mereka berdua. Aku hanya nasib buruk bagi mereka. Tidak sadar kembali meneteskan air bening dimata, aku mendongak mencegah lebih banyak kristal-kristal kecil membasahi pipi. Kembali melangkah kearah jendela, membukanya. Sinar matahari langsung menyambutku, menutup mata, merasakan hangat yang ditawarkan mentari. Hangat sekali menerpa wajahku. Setidaknya mengobati diriku yang kesepian, meski tidak benar-benar menyembuhkan.
Aku tidak tahu kalau nenek dan Lili tersenyum merekah tidak sabaran ingin segera sampai kerumah sakit. Setelah mendengar kabar dari dokter bahwa Ilyas sudah bangun. Mobil-mobil dijalanan meramaikan suasana kota. Tidak peduli berdesakan, saling beradu klakson, mobil-mobil itu melaju seirama. Sebagian dikiri dan kanan, sangat ramai. Matahari terbit menambah kelembutan, menimbun kehangatan pada orang-orang yang sibuk menyetir didalam mobil, pada orang-orang yang berjalan, pada orang-orang yang bertegur sapa, pada orang-orang yang sibuk dengan diri sendiri, pada orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan di kantor, di ruko, dimanapun. Gedung-gedung tinggi menjulang seperti biasa memanjakan mata, beberapa pohon rindang bertiup diterpa angin. Jantung nenek dan Lili berdegup kencang, harap-harap cemas ingin menyaksikan orang tercinta mereka, menyaksikan cahaya yang kembali menyala, setelah sekian lama redup. Meski pagi ini riuh kota begitu memekakkan telinga, mereka tidak peduli, mereka sedang dibalut kegembiraan yang menakjubkan. Awan-awan menggantung di langit biru, amat menawan. Mobil yang mereka tumpangi menyalip beberapa mobil didepan. Layar-layar televisi raksasa yang tertempel di dinding gedung serasi menampilkan berbagai iklan. Semesta telah penuh oleh berbagai aksesoris dunia. Setelah sampai ditempat yang dituju, mereka melangkah girang. Seperti biasa rumah sakit ramai oleh orang-orang yang membesuk. Keluar-masuk dengan berbagai macam ekspresi wajah. Lili dan nenek lihai melewati beberapa orang setelah melewati pintu masuk. Langkah mereka sama cepatnya dengan orang-orang yang berburu hadiah. Lihai melewati koridor, melewati orang-orang, meski harus berdesakan. Sungguh rumah sakit selalu penuh oleh wajah-wajah resah menanti kebahagiaan, wajah-wajah khawatir menanti kesembuhan, wajah-wajah haru menanti keajaiban. Hati Lili dan nenek dibaluri kebahagiaan. Lihatlah, dokter-dokter ditempat Lili dan nenek lewati sibuk menerangkan keadaan seseorang kepada seseorang lainnya. Setelah melewati beberapa kegaduhan akhirnya sampai juga. Melangkah patah-patah kearah Ilyas yang terbangun.
Semburat kebahagiaan terpancar diwajah Lili dan nenek. Mengharu biru dengan apa yang mereka lihat. Oh Ilyas, orang tercinta mereka telah bangun. Siap menggelayutkan kemeriahan dikeluarga, siap menimbun kehangatan dikeluarga, siap menumpahkan kebahagiaan tiada tara. Lihatlah orang yang sudah lama seperti mayat itu akhirnya menunjukkan tanda kehidupan, menaburkan kembali keindahan yang megah. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa senang mereka. Tetes-tetes bening siap tumpah, nenek meraba wajah cucu kebanggaannya. Lihatlah, raut wajah nenek penuh haru. Menggenggam tangan Ilyas, membelai rambutnya pelan, mencium kening, lalu tangan dengan lembut. Diri mereka dialiri kedamaian. Meski terasa berat, Ilyas berusaha membuka mata lebar, tersenyum tenang. Menatap lamat-lamat wajah nenek dan Lili bergantian. Melihat sekitar remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Mata pemuda ini menelisik setiap sudut ruangan. Dinding berwarna putih, sofa yang tersimpan dipinggir ranjang, meja, langit-langit ruangan, lalu kembali menatap Lili dan nenek. Bertanya lemah.
"Mana Fatih?" Ilyas menatap lamat-lamat. Lili membisu, nenek tak menggubris, terlalu berbunga hati melihat cucu kesayangannya akhirnya bangun.
"Dimana Fatih.." Sekali lagi Ilyas bertanya. Lili buru-buru menjawab.
"Dirumah, Ilyas. Tidak perlu khawatir, Fatih ada dirumah, dia menunggumu dirumah" Lili tersenyum lembut. Ilyas menatap nenek, sekali lagi tersenyum. Memegang tangan nenek hangat. Ada ketentraman digenggaman Ilyas. Nenek tak berhenti tersenyum, bersyukur orang yang amat ia cintai kembali kepadanya, siap meramaikan rumah. Ketulusan terpancar dimata nenek, amat menenangkan. Sungguh penantian yang panjang, menunggu beberapa tahun itu tidak mudah. Melewati berbagai kejadian, masa-masa sulit, melewati beberapa tahun kesedihan tapi akhirnya tergantikan oleh harapan yang menjadi kenyataan. Sungguh penantian yang tidak sia-sia, menunggu dengan sabar dan terbayar sudah kelelahan yang panjang dengan cinta yang kembali tumbuh mekar.
"Kami merindukanmu Ilyas, sungguh hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi kami, karena kamu kembali kepada kami. Kita bisa bermain lagi seperti dulu, walau aku tahu kita tidak lagi kecil hehe" Lili teramat senang, wajahnya cerah, secerah matahari. Malu-malu melihat Ilyas. Ilyas membalasnya dengan senyuman menenangkan.
"Aku juga merindukanmu, merindukan nenek, merindukan Fatih. Maaf telah membuat khawatir, terimakasih untuk tak menyerah padaku" Ilyas dengan lembut membelai kepala Lili. Lili merona merah. Setelah beberapa jam berbincang, nenek sibuk mengurus kepulangan Ilyas dirumah sakit, tapi tidak mengapa, karena wanita tua itu melakukannya dengan senang hati. Bagaimana tidak, toh orang yang paling dicintainya kembali menyalakan semangat hidup, kembali menyeruakkan cahaya. Nenek berbinar-binar. Setelah semuanya selesai nenek dan Lili sabar menuntun Ilyas ke mobil, mereka pergi meninggalkan rumah sakit.
Sungguh pagi yang indah, tapi bagiku hari-hari selalu sama, tak ada yang spesial. Kepala mendongak kearah langit, lihatlah formasi awan-awan putih yang menghiasi langit biru pekat berpadu dengan sinar warna kuning disela-sela awan sungguh memesona. Membius setiap orang ingin melihatnya. Aku pun begitu, saking cantiknya selalu memberikan kesan baik kepadaku. Seolah berkata untuk selalu menjalani hidup dengan baik, seolah memberitahu bahwa setiap hari, apapun itu akan terlewati. Tanpa sadar bibirku menyungging senyum, setidaknya hari ini perasaanku jauh lebih baik, karena tak harus berdebat dengan nenek, tak perlu melihat Lili yang selalu mencuri-curi pandang ketika bertemu. Biarlah hari ini aku melepaskan semua beban. Aku menghirup udara, memejam mata lalu membukanya lagi, sungguh menenangkan. Tiga puluh menit berlalu, lihatlah mobil sudah memasuki halaman rumah. Aku melihat dari jendela kamar, memerhatikan kendaraan roda empat seksama. Tepat berhenti didepan pintu, meski berjarak beberapa meter saja. Lili, nenek keluar dari mobil satu persatu, amat hati-hati. Dan lihatlah siapa orang yang kulihat selanjutnya, keluar pelan dengan tangan digenggam Lili. Sungguh hatiku bagai dipanah sempurna menghujam jantung, tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Diam terpekur melihat apa yang kulihat, memerhatikan mereka melangkah kedalam rumah. Nampaknya rumah ini akan ramai lagi. Aku tidak percaya, orang yang semula terbaring lemah, kini telah menjejak lagi dunia, menjejak bumi. Entahlah apa harus senang atau sedih, tapi sungguh itu hal yang baik. Apakah cinta antar saudara akan tumbuh kembali? Kupikir tidak, cinta tidak akan mekar lagi. Ini bukan cinta, aku sudah mengikisnya jauh-jauh. Cinta keluarga itu sudah pupus, aku tidak menyukai keluarga ini. Kembali melangkah ke kursi, duduk, menatap lagi lukisan yang tadi kulihat, setelah itu membalikan lukisan. Ilyas, Lili dan nenek duduk disofa ruang keluarga. Ilyas menelisik setiap sudut, matanya megedar seperti mencari seseorang.
"Lili, dimana Fatih?" Itu kata pertama Ilyas setelah sampai rumah.
"Kenapa aku tak melihatnya?" Mata pemuda ini masih memeriksa sekitar ruangan, kalau-kalau aku mungkin lewat. Lili terdiam, baru akan beranjak dari sofa, tangan nenek mencegah Lili, menyuruhnya untuk tetap duduk menemani ilyas. Ilyas memicing keheranan dengan apa yang dilakukan nenek. Nenek memerhatikan ekspresi Ilyas, lalu cepat-cepat membuka pembicaraan.
"Nak, hari ini kamu sungguh keajaiban yang diberikan Tuhan kepada kami. Kamu tahu, kita tidak pernah lelah menunggu kamu bangun, mencemaskan keadaanmu. Sungguh hari ini kamu adalah hal yang paling membahagiakan. Sudah lama rumah ini sepi" Nenek berkata lembut, menatap Ilyas penuh kasih sayang. Raut wajahnya menunjukkan semua cinta paling dalam. Mata nenek mulai berkaca-kaca, memegang telapak tangan Ilyas. Ilyas terdiam tersenyum. Setelah itu kembali menelisik ruangan.
"Nenek mana Fatih.." Pemuda itu lagi-lagi mencari keberadaanku. Dari tatapannya, nenek tahu Ilyas amat peduli padaku. Keheranan aku masih tak menemuinya. Lili diam, tapi beberapa menit kemudian mengatakan keberadaan ku.
"Dikamar, Ilyas" Lili menempali cepat. Tangan yang semula digenggaman nenek itu terlepas ketika Ilyas langsung beranjak pergi kearah kamar. Nenek menatap Lili, tahu itu tatapan pembunuh, cukup mengerikan. Sementara Ilyas pelan-pelan menaikki anak tangga menuju kamarku. Mengetuk pintuku pelan. Entahlah, terus terang aku benci, tapi juga senang karena dia telah kembali. Setidaknya nenek tak perlu berdebat panjang lebar denganku dengan kehadirannya. Ini bukan karena aku menyayangi Ilyas sebagai keluarga, tapi lebih tidak perlu repot mendengar celotehan nenek kepadaku. Aku tak bergeming meski suara Ilyas terdengar didepan pintu.
"Kamu masih tidur Fatih?" Ilyas terdiam lagi. Tak ada jawaban dariku membuatnya mengetuk lagi berapa kali. Karena masih tak ada jawaban, memutuskan untuk membuka pintu. Dan lihatlah, Ilyas berdiri diambang pintu. Aku diam dikursi, anak pertama dari keluarga ini mendekat, memegang bahu, memerhatikan wajahku yang teramat datar.
"Aku kembali Fatih, aku merindukanmu, merindukan rumah, merindukan keluarga kita" Ilyas mencoba mengajakku bicara, aku tak menggubrisnya. Rasa benci sudah menjalar dalam diriku. Sungguh semua yang dikatakan nya bohong, apa yang perlu dirindukan dari keluarga ini? Tidak ada cinta, tidak ada sama sekali. Keluarga ini mengerikan bagiku.
"Kamu sudah kembali, aku turut senang. Dari penglihatanku kamu masih perlu istirahat. Istirahatlah, aku tak ingin mengganggumu" Jawabku sekenanya. Ilyas diam keheranan, menangkap ekspresiku yang biasa saja.
"Kamu tidak senang aku kembali?" Ilyas masih memerhatikanku. Aku balik menatapnya, memasang wajah datar.
"Itu tidak penting, yang terpenting adalah kamu sudah hadir kembali ke keluarga ini. Nenek dan Lili cukup bahagia, itu sudah cukup. Istirahatlah, kamu masih belum benar-benar pulih" Aku kembali membalikkan badan. Ilyas merasa seperti ada sesuatu denganku.
"Fatih, kata Lili kamu menungguku, kenapa tidak datang ikut bersama nenek dan Lili menjemputku? Kamu tahu, kukira aku sudah mati, kukira sudah selesai semua setelah memutuskan untuk membunuh diriku. Kukira semua selesai setelah aku memutuskan pergi, tapi ternyata sepertinya dunia ini masih belum mengizinkan" Ilyas menghela nafas. Aku diam. Ilyas melangkah kearah ranjang, lalu duduk. Memerhatikan sekitar kamarku lamat-lamat. Melihat lukisan-lukisan sendu, lukisan yang memesona bagiku. Anak pertama dari ayah dan ibu, menatap tak percaya. Seolah mengerti dari lukisan yang ku buat menjelaskan segalanya. Semua yang ku alami.
"Kamu baik-baik saja Fatih?" Ilyas bertanya lagi. Kali ini nadanya lebih rendah. Mungkin memastikan keadaanku. Aku menghadapnya, memerhatikan wajah resah, khawatir. Apakah dia mengkhawatirkanku? Tidak mungkin, itu hanya wajah yang sedang mencoba mengerti perasaan adiknya, bukan perasaan peduli. Wajah Ilyas masih sama lembutnya, sama tenangnya seperti yang selama ini kulihat, tidak ada yang berubah. Sungguh siapapun yang melihat wajahnya, mengetahui sifatnya, banyak yang akan jatuh cinta padanya. Mungkin teman-temannya dikampus menyukainya.
"Aku baik-baik saja, cemaskan saja dirimu sendiri. Kamu masih perlu banyak istirahat, lihatlah tubuhmu masih lemah, kamu terlihat kurus" Aku menjawab canggung, melangkah kearah ranjang, duduk disamping Ilyas. Tangan Ilyas mengacak-acak rambutku, tersenyum tenang. Wajah itu menentramkan.
"Berhenti melakukannya, aku bukan anak kecil lagi" Tanganku menurunkan tangan Ilyas dikepalaku. Apakah aku anak kecil? Ayolah umurku saja sudah dua puluh dua tahun, aku sudah dewasa. Seperti biasa Ilyas mampu menghadirkan ketenangan, bahkan aku bisa merasakannya. Kurasa bukan aku saja, siapapun yang bersama dengannya akan merasakan hal serupa. Itulah mengapa mungkin nenek menaruh harap banyak pada Ilyas. Apa rasa sayangku akan mekar lagi? Tidak, aku sudah benci. Apa yang ku alami sudah cukup menjelaskan betapa aku ingin menghabisinya.
"Bagiku kamu masih seperti anak kecil, kamu masih harus dibimbing. Tapi aku serius, kamu adalah cahaya dirumah ini, sama seperti Lili. Aku tidak tahu kalau tidak ada kalian, aku akan seperti apa. Kalian adalah mutiara untukku" Sungguh perkataan Ilyas lembut masuk kedalam hati. Aku terdiam. Ilyas memerhatikan sekitar kembali. Matanya melihat satu persatu isi kamarku. Rak buku, lukisan, dinding berwarna abu, langit-langit kamar.
"Aku sungguh merindukanmu Fatih, sudah lama kita tak berjumpa" Ilyas masih tersenyum. Aku? Entahlah, perasaanku sakit, sempurna seperti ditikam benda tajam.
"Sebenarnya aku kecewa, karena tak berhasil mewujudkan keinginanku. Mati, ternyata aku masih belum mati, masih menjejak bumi, menjejak jalan yang kubenci. Sebenarnya aku takut, takut kalau aku tetap tidak bisa memenuhi keinginan nenek. Takut kalau aku tak bisa menjadi diriku sendiri. Fatih, sebenarnya aku berharap, aku tak pernah bangun. Rasanya sangat menyesakkan bila mengingat betapa aku tak mampu mengatasi diriku sendiri. Bahkan ketika aku terjun pun betapa sangat menakutkannya itu. Tapi itu pilihanku agar semuanya selesai, agar diri ini tak lagi menghadapi tekanan" Ilyas meratap, matanya sendu kembali. Ternyata situasi pun tak berubah, masih sama seperti dulu. Kukira Ilyas melupakannya, kukira ia akan menerangi keluarga dengan kelembutannya atau apalah dengan peringainya. Aku menyeringai terluka.
"Ternyata kamu masih sama seperti dulu. Berpura-pura bahagia, berpura-pura menjadi kebanggaan nenek. Masih tak berani bicara jujur, sungguh munafik" Aku menjawab sinis. Ilyas memerhatikanku. Wajahnya resah.
"Fatih...." Nada suara Ilyas lemah.
"Sampaikan kepada nenek apa keinginanmu, jangan ungkapkan padaku. Seharusnya kamu bicara pada nenek, kalau kamu ingin mati. Semua yang tersimpan dalam dirimu, utarakan kepada nenek, bukan kepadaku! Sungguh Ilyas, kamu tidak pernah tahu apa yang kurasakan, tidak tahu bahwa aku menanggung kebencian teramat dalam, karena keluarga mengerikan ini. Kamu mengatakannya begitu mudah, karena kamu dan Lili adalah cintanya nenek, pelipur lara nenek. Kamu merasakan bagaimana disayangi, diberikan kesejahteraan oleh keluarga" Entah bagaimana aku mulai tak terkendali lagi. Meluapkan emosiku lagi. Ilyas diam.
"Bahkan kejadian beberapa tahun silam, aku ingin sekali melupakannya. Tapi setiap kali berkelindan, sungguh menyakitkan. Aku telah merasakan kebencian orang-orang kepadaku, kebencian nenek kepadaku amat dalam. Karena orang tercintanya memutuskan mengakhiri hidupnya, membunuh dirinya sendiri, tanpa tahu sebab mengapa kamu memutuskan melakukan itu. Karena kamu amat dicintai, nenek sungguh terpukul dengan apa yang menimpamu, tapi semuanya disalahkan kepadaku, semua yang kamu lakukan ditimpahkan kepadaku" Aku menatap terluka kearah Ilyas. Meraba dada, mencengkramnya kuat-kuat. Lihatlah mataku akan berair lagi, aku sedu-sedan lagi. Mata bergetar. Ilyas masih menatapku.
"Kamu tahu betapa menyakitkannya itu? Bahkan sekarang kamu kembali, nenek tidak akan berbaik hati padaku, tidak akan melihatku sebagai orang tercintanya, tidak akan memberikan cintanya kepadaku. Sejak kejadian kamu memutuskan untuk membunuh dirimu, nenek telah menaruh benci berkali lipat kepadaku. Sungguh Ilyas kamu tidak akan pernah tahu betapa menyakitkannya melewati semua itu, betapa terlukanya aku. Nenek tidak pernah mencintaiku, perlakuannya sama seperti perlakuannya kepada ayah dan ibu. Kadang aku berpikir keluarga ini sungguh gila, berkehendak semaunya, tanpa peduli bagaimana orang-orang disekitarnya, bagaimana perasaan orang-orang disekelilingnya. Sungguh Ilyas perih sekali, menyalahkan hal yang tidak pernah kulakukan, tapi mereka menyematkan hal itu kepadaku" Aku menatap dalam, terisak. Mata berkaca-kaca, bergetar.
"Nenek menganggapku orang yang telah membunuhmu dan aku harus segera disingkirkan. Semua cercaan yang kuterima melewati beberapa tahun, melewati masa-masa sulit. Dan kebencian nenek semakin menimbun. Nenek tidak pernah mengharapkanku, padahal aku ingin sekali dicintai, disayangi, dianggap berarti. Tapi kamu dan Lili adalah nomor satu dihatinya, tidak seperti aku, ayah dan ibu. Kami tidak akan pernah bisa memasuki hatinya, sungguh Ilyas kalau bisa mengulang segalanya, lebih baik jika aku bukan dari keluarga ini" Sedu-sedan terdengar, sempurna menangis.
"Tidak, jangan berkata demikian, kamu dicintai dikeluarga ini. Aku dan Lili mencintaimu, memperdulikanmu, kami tak ingin kehilanganmu. Kami sungguh mencintaimu, maaf kalau semua yang kamu alami disebabkan olehku, aku tak ingin kamu pergi. Kamu dan Lili adalah cahaya bagiku" Suaranya meyakinkan.
"Fatih, sudah cukup kami kehilangan ibu dan ayah. Kami tak ingin kehilanganmu, aku tidak tahu apa yang telah dilewati olehmu, tapi bolehkah untuk tetap bersama kami? Andai Tuhan mengizinkanku memutar waktu aku tak akan membiarkan ayah dan ibu mati, aku akan mencegah ayah dan ibu pergi. Aku akan bilang kepada mereka, aku mencintai mereka. Biar kita pergi kemanapun, asal keluarga kita bahagia" Ilyas berkata cepat-cepat. Raut wajahnya gelisah, aku menatap sendu.
"Jangan mengatakan hal yang tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meninggalkan rumah ini. Berhentilah membual, jangan memberikan harapan yang tidak bisa kamu wujudkan. Kalau aku meminta pergi hari ini, apa kamu bisa melakukannya? Bawa aku dan Lili kemana saja, kamu bisa?" Ilyas membatu, kebingungan.
"Lihatlah, kamu tidak bisa melakukannya. Sudahlah Ilyas, istirahatlah, nenek tidak akan suka kamu berada disini, aku juga ingin istirahat. Pergilah, aku yakin nenek menunggumu, masih merindukanmu" Aku beranjak mendorong tubuh Ilyas keluar pelan-pelan. Setelah itu menutup pintu. Ilyas terdiam beberapa menit, lalu melangkah menuruni tangga, duduk disamping nenek. Nenek tersenyum, membelai rambut pendek Ilyas lalu Mengecup keningnya.
"Istirahatlah nak, aku yakin kamu lelah. Meski aku masih merindukanmu, tapi aku tak tega melihatmu. Istirahatlah, rebahkan badanmu. Nanti-nanti kita akan berbincang lagi. Hari ini sungguh indah, melihatmu didepan mataku, sungguh kerindukanku masih membuncah, tapi aku tahu kamu lelah. Aku juga akan istirahat" Nenek lembut mengusap telapak tangan Ilyas, lalu beranjak ke kamar. Setelah nenek sempurna hilang dari pandangan, Lili melirik Ilyas. Mendekat, sekilas melirik kamarku, lalu kembali melirik Ilyas lagi.
"Kamu kenapa?" Lili membuka suara, Ilyas menggeleng.
"Bagaimana Fatih? Apa yang kamu bicarakan dengannya?" Lili penasaran.
"Entahlah, masih perlu banyak waktu untuk berbicara dengannya. Untuk sekarang dia tak ingin bicara denganku. Biarlah, biarlah dia sendiri dulu" Ilyas redup. Lihatlah meski Ilyas sudah ada dirumah ini, rumah masih sepi. Lengang. Ilyas menatap langit-langit ruangan. Lili berdehem.
"Aku mengerti kenapa Fatih demikian. Nenek selalu membencinya, dia sudah dikurung dirumah ini sejak kejadian kamu terjun membunuh dirimu. Fatih selalu disalahkan atas kejadian beberapa tahun silam. Bahkan dia tak dibolehkan keluar rumah. Paling keluar kamar pun sekedar mengambil makanan dan minuman. Sudah lama sekali Fatih tak berbincang dengan nenek. Karena menurut nenek apa yang menimpamu adalah kesalahan Fatih. Jujur sebenarnya aku mendengar perbincanganmu dan Fatih di rooftop kampus. Mendengar bagaimana kamu saat itu begitu letih, lelah. Aku mendengarnya. Saat kamu memilih terjun, aku juga ada disana, dibalik dinding. Ilyas hari itu juga aku ingin mencegahmu melakukan bunuh diri, tapi kamu terlanjur melakukannya. Dan Fatih, sungguh terkejut, dia bergetar, ketakutan. Entahlah seperti apa perasaannya saat itu. Tapi aku tahu semenjak itu dia lebih tertutup, tidak berbicara kepadaku. Banyak diam dikamar, bahkan nenek membencinya sejak kejadian itu. Jadi aku sedikit mengerti perasaan Fatih saat ini" Lili menerangkan, tatapannya lemah. Ilyas memasang wajah tak percaya, pandangannya beralih ke kamarku, menatap prihatin. Ilyas menghela nafas.
Waktu cepat berlalu, sudah malam lagi. Aku melangkah menuruni tangga, mengambil makanan dan minum. Ilyas menatap kearahku. Aku mengabaikannya. Berjalan lagi kekamar, tapi baru saja setengah anak tangga, Ilyas sudah menghentikan langkahku.
"Bisakah kita bicara?" Kali ini Ilyas menatap serius. Aku menoleh.
"Tidak bisa, aku lelah" jawabku sekenanya.
"Aku mohon padamu, bicaralah denganku diluar. Kalau disini aku tahu kamu tidak akan suka, ada nenek" Lanjut Ilyas meyakinkan. Aku tak bergeming. Sepi.
"Aku ingin bicara denganmu, kita keluar. Sekalian jalan-jalan menghirup udara. Kamu suka keluar kan? Sudah lama juga aku tak berjalan-jalan. Kalau nenek marah, aku yang akan bertanggung jawab" Ilyas memohon. Aku hanya melangkah keluar, tidak memberi jawaban. Ilyas mengikutiku dari belakang. Tersenyum tenang, layaknya seorang kakak yang berhasil membujuk adiknya.
Malam terasa dingin, anginnya menusuk kulit. Aku dan Ilyas berjalan bersisian. Lihatlah waktu-waktu ini adalah jam tidur, amat lengang. Meski lampu-lampu kota menyala indah, tapi sepi. Tidak seperti kemarin-kemarin saat aku bersama Lili sangat ramai. Meski hari ini pun mobil melintas satu sama lain di jalanan meramaikan jalan, tapi tidak ada orang-orang yang berjalan kaki, tidak ada orang-orang yang berbincang, tidak ada orang-orang yang bertegur sapa, mengumbar senyum. Tidak ada sama sekali. Hari ini sunyi. Tapi ada yang sama, bintang-gemintang menghiasi langit bersama purnama yang tegak, amat memesona. Lampu-lampu gedung menyala, kerlap-kerlipnya memanjakan mata. Malam ini aku dan Ilyas berada diatas jembatan. Sangat sepi, hanya ada kami berdua. Angin mengibas-ngibas rambut hitam pendek kami.
"Maaf Fatih, aku benar-benar minta maaf. Aku sudah mendengar semua kisahmu dari Lili. Kamu mengalami kesulitan selama ini, sungguh Fatih aku tidak bermaksud menyulitkanmu. Aku membunuh diriku saat itu, agar semuanya berakhir. Siapa sangka, nenek akan membencimu begitu dalam, mengurungmu dirumah. Kukira dengan aku terjun, semua telah usai seperti ayah dan ibu" Ilyas redup. Aku diam, meski menyakitkan mengingat itu. Tapi aku sudah lelah.
"Fatih, aku dan Lili mencintaimu. Sungguh mencintaimu, kamu adalah hal berharga yang kami miliki. Meski aku tahu kamu sudah membenci keluarga ini, tapi aku dan Lili akan selalu mencintaimu, menyayangimu" suaranya getir.
"Kamu membawaku kesini hanya untuk membahas ini? Memperlihatkan betapa kamu begitu menyedihkan? Agar aku merasa empati kepadamu, dan akhirnya aku luluh? Wahh... lihatlah, kamu sudah pandai menggunakan wajahmu, pandai menggunakan tubuhmu agar aku merasa bersalah dan kasihan kepadamu" Aku tertawa getir, menyeringai terluka. Entah bagaimana kejadian-kejadian menyakitkan itu kembali hadir dibenakku. Aku memegang dada, mencengkram kuat-kuat.
"Tidak Ilyas, kalian sangat mengerikan. Cinta keluarga itu tidak ada bagiku. Itu hanya berlaku padamu dan Lili, tidak kepadaku. Menyesakkan sekali ketika aku disalahkan atas hal yang tidak pernah aku lakukan. Semua yang kamu katakan itu bohong, kalau aku adalah hal berharga seperti yang kamu katakan, seharusnya ketika aku mencegahmu melakukan bunuh diri, kamu menurutinya. Tapi kamu tidak melakukannya, karena kamu lebih peduli dirimu sendiri. Tidak kepadaku yang katanya adalah hal berharga" Lihatlah mataku akan berair lagi. Berkaca-kaca. Ilyas menatap prihatin. Aku lemas. Ilyas menggeleng-geleng, berkaca-kaca.
"Sudahlah Ilyas, jangan membuatku semakin membencimu. Cinta keluarga ini tidak akan pernah tumbuh dihatiku lagi. Kita pulang, nenek akan mencarimu" Malam ini pembicaraan kami hanya itu. Menyisakan sesak. Tidak ada akhir yang membahagiakan diantara perbincangan akhir kami. Kami memutuskan pulang. Ilyas menatap punggungku dari belakang, memerhatikan gerak-gerikku. Sungguh hari ini kami diselimuti kesenduan. Daun-daun meliuk-liuk diantara pohon-pohon rindang. Kami melangkah masuk rumah. Ilyas masih memerhatikanku yang melanjutkan langkah ke ruang makan mengambil makanan dan minuman, lalu aku berjalan lagi ke kamarku sempurna menutup pintu. Tidak ada kata-kata mutiara, tidak ada kata-kata penenang. Malam yang sepi.
****
Pagi menyambut indah, tidak seperti biasanya, kali ini pagi-pagi sekali Ilyas sudah mengetuk pintuku. Tuk....tuk...tuk....Aku yang masih terlelap tentu saja merasa terganggu. Merekatkan bantal ke kedua telingaku. Sial, aku tak bisa tenang. Ilyas dengan wajah ceria antusias membangunkanku, Lili hanya tersenyum. Kepala mendongak melihat Ilyas. Nenek? Seperti biasa dia tidak suka. Terlihat dari raut wajah. Kepalaku membolak-balik ke kiri ke kanan, berharap suara berisik itu hilang. Sampai akhirnya aku menyerah, melangkah gontai, membuka pintu. Lihatlah, Ilyas sudah tersenyum riang, aku memasang wajah suntuk.
"Ayo sarapan, kita makan bersama" Ilyas begitu riang, aku menolak, menggeleng malas. Tapi tanganku sudah ditarik menuruni anak tangga, melangkah ke ruang makan, duduk disamping Ilyas. Muka nenek musam, tapi Ilyas tidak peduli. Aku? Entahlah, menunduk, melihat piring dan sendok. Lili menuangkan nasi dan lauk-pauk ke piringku, sama riangnya dengan Ilyas. Aku membiarkannya. Ini kali pertamanya lagi aku duduk bersama keluarga ini, setelah beberapa tahun. Meski Susana terlihat kikuk. Senyap. Yang akhirnya nenek memaksakan senyum, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, tidak peduli padaku. Nenek beranjak, tangannya cekatan melakukan apa yang seperti Lili lakukan kepadaku. Menyendok nasi dan lauk-pauk ke Lili, ke Ilyas. Nenek amat pandai menyembunyikan kemarahan, lihatlah wajahnya amat tenang, tersenyum merekah kearah Lili dan Ilyas bergantian. Aku? Tertunduk datar. Nenek, Lili, Ilyas berbincang, menceritakan tentang keadaan kakak pertamaku ini, membicarakan bagaimana waktu Lili dan nenek tak henti menjenguk, menceritakan betapa amat sedih melihat Ilyas terkapar dirumah sakit. Menjelaskan bagaimana wajah pias nenek, kekhawatiran Lili. Aku? Diam saja, makan tenang, datar-datar saja. Biarlah mereka puas dengan obrolan paginya, membuncahkan cinta mereka yang terbenam selama beberapa tahun ini.
"Sungguh Ilyas, kamu adalah keajaiban bagi kami. Kamu adalah tanda kebaikan Tuhan kepada kami bahwa memang rahmatNya tak pernah putus, selalu mengiringi kami. Teramat baik" Nenek akan berair lagi. Satu denting airmata akan tumpah lagi. Pagi yang cerah, meski terlihat kaku, terlihat ganjil. Lili melirikku. Makananku separuh habis, bahkan aku hampir menyelesaikan makananku. Lili memerhatikanku, Ilyas? Matanya fokus kepada nenek, memberikan senyum terbaiknya, menunjukkan bahwa tidak ada masalah di dirinya, menunjukkan ia adalah kebanggaan nenek. Aku membencinya, dia berpura-pura lagi. Makananku kali ini sudah habis, beranjak ke pencucian piring, menyimpannya. Melangkah ke tangga, ke kamarku. Ilyas menoleh kearahku, memerhatikan.
"Sudah selesai?" Ilyas basa-basi.
"Sudah selesai" Aku sinis, melangkah tanpa berbalik badan. Ilyas mendesah, lalu menatap wajah nenek tersenyum tenang, meski dipaksakan. Nenek mengacak-acak rambut Ilyas pelan, tersenyum. Aku terduduk diranjang, mengedar ke langit-langit kamar, lalu menatap lurus lagi. Sepi ini mengajakku berkelana ke beberapa tahun silam, mengukir lagi kejadian mengerikan itu. Itu hal yang paling menakutkan. Lihatlah tubuhku bereaksi ketakutan, aku tegang. Mulai tersengal, tak terkendali. Aku menepuk-nepuk dada, berusaha mengusir sesak nafas. Sial, terjadi lagi. Bayangan Ilyas terjun, suara berisik orang-orang, suara jeritan, bagaimana cara nenek memandangku saat itu sempurna menghantam jantung. Semakin tersengal, terjadi selama beberapa menit. Aku kembali tenang.
Seperti biasa, malam selalu memberikan nuansa yang berbeda. Kali ini aku memberanikan diri keluar. Aku melangkah keluar kamar, melewati ruang keluarga. Ada Lili dan Ilyas diruang keluarga. Nenek? Dia sudah tidur di jam-jam seperti ini. Aku tak pedulikan mereka, berjalan melewati halaman. Aku sudah di luar. Malam ini mencekam, suara-suara mobil beradu. Cahayanya menyatu, menyeruak, mempercantik jalan. Lampu bundar di sisi aspal berdiri tegak, formasi lampu-lampu gedung, mol, lampu-lampu jalan berpadu menyinari kota. Lihatlah bumi ini indah. Tapi tak cukup membaluri ketenangan dihatiku, tak mampu mengusir sendu dalam batin. Aku redup, mata mengedar memerhatikan sekitar. Sepi membalut hatiku. Aku datang ke jembatan kemarin bersama Ilyas. Tapi kali ini aku sendiri, menatap lenskep kota diketinggian, sungguh indah. Memesona. Siapa yang tidak terhipnotis, melihat kerlap-kerlip lampu, rumah-rumah penduduk berjajar rapih, bangunan-bangunan kota tinggi dan pendek memadati diantaranya. Sungguh menawan. Aku tersenyum. Entahlah, bagaimana perasaan ku hari ini. Tapi yang aku tahu, aku selalu sendiri, selalu kesepian. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada yang berubah. Aku memejam mata, merasakan angin menerpa wajah. Mengibas-ngibas rambut hitamku. Meneteskan airmata lagi, sesenggukan terdengar. Biarlah aku menangis lagi, biarlah aku merasa lapang. Semesta membawaku ke kejadian beberapa tahun silam, membawa sulaman kesedihan, membuatku redup. Memori-memori yang ingin aku lupakan, mengikatku. Aku membuka mata, lalu kakiku naik keatas penyangga jembatan, menatap kebawah jembatan beberapa detik, lalu kedua tangan direntangkan, menatap lurus. Biarlah aku mengabulkan keinginan nenek, biarlah aku menghilang dari bumi. Aku ingin tenang. Semesta berbisik lewat angin yang berhembus amat menenangkan. Mengaliri hatiku ketenangan. Aku memejam mata. Dalam beberapa detik tubuhku sudah melayang bersama angin.
"Fatih!!!!!" Lili dan Ilyas berteriak histeris, berlari kearahku yang sudah terhempas. Tanpa kuketahui ilyas dan Lili ternyata mengikutiku dari belakang. Lihatlah, wajah mereka cemas, memerhatikan bawah jembatan.
****
Aku membuka mata, tubuhku sakit semua. Terbaring lemah dirumah sakit. Lihatlah aku tak berdaya, mata, remang-remang tapi lama-lama terlihat jelas. Lili, Ilyas dan nenek tepat disampingku. Menatap penuh khawatir. Mata mengedar ke seluruh ruangan. Ruangan serba putih, dulu Ilyas yang berada disini dengan berbagai ketegangan. Dengan berbagai alat rumah sakit yang berada ditubuhnya. Sekarang giliranku, aku mendesah. Aku tidak tahu bahwa kejadian malam itu, Ilyas bertengkar hebat dengan nenek. Telah menuntaskan segala kesalahpahaman yang terjadi antara kami sekeluarga, meski tidak tahu apa persisnya. Aku menatap ketiganya bergantian, lalu melihat tubuhku, melihat tanganku. Ternyata aku belum mati. Tapi ada yang berbeda dari tatapan nenek, ia redup tapi bukan seperti yang selama ini kulihat, ada yang berbeda. Entahlah apa ini hanya perasaanku atau memang nenek sudah berubah? Tidak mungkin, nenek lebih mencintai Ilyas dan Lili. Aku siapa? Berani mengharapkan cinta.
"Syukurlah kamu baik-baik saja" Celoteh Lili. Disusul Ilyas memberi ekspresi khawatir, nenek hanya melihatku. aku menatap nenek, memerhatikan lamat-lamat. Meski ada yang berbeda dari tatapan biasanya, kesimpulanku adalah apa yang kulihat dari gerak-gerik nenek hanya perasaanku saja. Tidak mungkin rasa sayang itu tumbuh dihati nenek. Aku tidak mungkin bisa menembusnya, aku adalah manusia yang paling dibenci nenek.
"Keluarlah, aku ingin sendiri" Aku berkata pelan, menatap lurus. Tanpa perlu panjang lebar Ilyas mengerti maksudku. Mereka beranjak keluar. Nenek menatapku sebentar. Sungguh ada apa dengan nenek hari ini? Mereka bertiga meninggalkan ruangan, aku menatap kepergian mereka, mataku berkaca-kaca. Setelah benar hilang, aku menatap langit-langit kamar.
"Maafkan nenek Fatih" Suara nenek pelan. Nenek terduduk dikursi tunggu, mengingat pertengkarannya dengan Ilyas. Terpekur.
Flash back.
"Nek, Fatih dirumah sakit nek, aku dan Lili sudah dirumah sakit" Ilyas panik. Wajahnya resah. Lili juga sama cemasnya. Mondar-mandir di depan ruangan berwarna putih itu. Dokter-dokter sedang menanganiku. Setelah menerima telpon Ilyas, nenek bergegas kerumah sakit. Mobil yang ditumpangi nenek menjejak jalan, menyalip beberapa mobil didepan. Tak peduli omongan kesal orang-orang karena diserobot, mobil nenek melaju cepat, tak peduli bunyi klakson yang seolah memprotes. Setelah sampai ditempat tujuan, mobil terparkir di pelataran parkir, nenek melangkah cepat-cepat melewati beberapa orang yang sama sibuk mondar-mandir, sama cemasnya, sama khawatirnya. Lihatlah begitu melihat Lili dan Ilyas, nenek langsung menghambur memeluk mereka berdua, lalu menatap pintu ruanganku yang tertutup.
"Bagaimana keadaannya? Apa yang sebenarnya terjadi?" Nenek bertanya pelan, setelah memeluk beberapa menit.
"Kami tidak tahu" Lili tersungkur. Ilyas menatap pintu ruangan, harap-harap cemas.
"Aku sungguh takut akan seperti ayah dan ibu. Bagaimana kalau dia mati?" Ilyas menatap nenek linglung. Mata bergetar. Nenek terdiam
"Bukankah ini dejavu? Kita pernah mengalami ini, aku pun pernah mengalami ini" Suara Lili patah-patah, tersedu-sedu menatap nenek. Nenek bergetar.
"Lihatlah, kita mengulang lagi hal serupa. Nenek, aku tahu kamu membenci Fatih, menyalahkan Fatih atas apa yang terjadi kepadaku. Tapi sungguh itu bukan kesalahannya" Ilyas menjelaskan dengan sedu-sedan.
"Sungguh nenek, semua bukan kesalahan Fatih. Aku yang memilih membunuh diriku, aku mencelakai diriku, karena aku merasa tertekan, tak bisa memenuhi keinginan nenek, tak memenuhi syarat kebanggaan nenek. Setiap hari dipenuhi keresahan, kekhawatiran. Takut Kalau semua yang kulakukan bukan standar keinginan nenek. Aku membunuh diriku, karena aku sudah lelah, kalau ingin menyalahkan, salahkan aku, karena aku begitu pengecut, tidak berani. Jujur aku terbebani, makanya waktu itu aku memutuskan membunuh diriku. Setiap hari mengeluh, setiap hari pula aku ketakutan" Ilyas penuh resah, nenek hanya menangis.
"Sungguh nenek, kami mencintaimu. Ayah, ibu, aku, Fatih, Lili mencintaimu, teramat mencintaimu, tapi kesalahanku adalah tidak mengungkap keinginanku yang sebenarnya. Aku membohongimu" Ilyas semakin tak tertahan. Nenek diam, terisak. Lili menunduk.
"Fatih teramat mencintaimu, mungkin cintanya lebih besar dariku dan Lili. Tapi kamu membencinya begitu dalam, karena kesalah-pahaman yang terjadi. Aku mohon nek, biarkan kami bebas, biarkan kami memilih apa yang kami mau. Aku tak ingin kejadian yang menimpa ayah dan ibu terulang kembali" Suara Ilyas lemah.
Nenek menangis kecil mengingat itu, mengingat kejadian beberapa tahun silam yang menimpa Ilyas, juga yang menimpa ayah dan ibu. Sedu-sedan nenek terdengar diantara riuhnya orang-orang yang berada dirumah sakit. Beranjak, mendekati pintu ruanganku. Melihatku yang terpekur. Kali ini nenek benar-benar menyesal.
End.
@menyapamakna1
5 notes
·
View notes
Text
MENCARI
perihal apa yang sudah pernah terjadi. kini terulang di hari ini. akankah ini menjadi tujuan yang pasti?. atau mungkin tetap mencari jawaban di akhir nanti.
kelam, dengan rintik hujan yang menghiasi. rembulan seakan menyinari sang cakrawala. dengan alunan sendu seakan alam berbicara. berbisik lirih kata apa yang ingin di ucap. dan dengan dibalutkan asa yang mungkin saja terpatri
Salak I, 29 April 2024
2 notes
·
View notes
Text
Rinai
Riuh kepala kian berisik
Ku duduk termangu
di teras depan rumah
Memandang rintik sendu
Ingin ku berlari dibawahnya
Membasuh segala luka
yang kian membiru
dan menyembunyikan
peluh dan iluh
Pada guyuran rinai
yang kian keras rintihannya.
(Dnars)
2 notes
·
View notes
Text
A to be A+
Salah satu alasan datang ke kajian malam ini, untuk memantik tangan biar nulis lagi. Dan benar, jauh sekali tulisanku membawa diriku kembali. Kali ini, bukan untuk rindu. Melainkan untuk terus menerus menebar syukur.
Sebenarnya, dari judul kajian saja, aku merasa sedang tidak dalam fase itu. Justru sebaliknya, sedang diliputi bahagia kecil-kecilan yang membuat haru. Namun, rintik-rintik sendu ini tentu tak terlahir instan, ia lahir dari tempaan langsung Yang Maha Cinta, ketika hidup lagi capek-capeknya.
Sekitar enam tahun yang lalu, diri ini berada tepat di posisi teman-teman yang menjadi sasaran kajian malam ini. Teman-teman yang sedang berusaha berdamai dengan kegagalan. Aku masih mengingatnya samar, saat dunia seakan tak memiliki masa depan. Wajar sekali jika perasaan marah memegang kendali dan penyangkalan sana sini. I feel it, I've been there. Bahkan, aku memutuskan untuk tak mau bermimpi lagi. Karena memang Allah selalu "menggagalkan" citaku. Semua yang kutulis, dicoretNya paksa. Bahkan grand-design hidupku, Allah hapus percuma. Aku berkali-kali gagal. Berkali-kali teman, bukan satu dua kali. Bahkan seluruh rangkaian mimpi sampai saat itu, semuanya tak ada yang pernah tercapai. Lantas, untuk apa pula aku bermimpi dan berusaha? Masa depan saja rasanya aku tak punya.
Namun, Maha Baik Allah. Yang membuat rasa sakit menjadi obatku bertumbuh. Yang membuat angkuh menjadi alasanku jatuh. Yang mengajarkanku syukur walau tak lagi utuh.
Selama enam tahun lamanya, selama itu lah waktu yang Allah rancang, "hanya" untuk mengajarkan seorang Puspa belajar apa itu syukur dan sabar. Enam tahun lamanya, Puspa diajarkan Allah dua kunci iman yang ternyata selama ini tak pernah benar-benar dipegang.
Empat tahun pertama, pertanyaan mulanya muncul, "bekerja dan belajar untuk bersyukur? kok bisa sih? emang siapa pula yang minta belajar ini?!" Aduh, yaa Allaah, ampuni hamba yaa dulu berpikir begitu :")
Lalu, dua taun setelahnya, berganti lagi tanyanya, "Sebenarnya sabar tuh gimana sih? Ada batasnya yaa? Apa iya harus ngalah terus?" Aahh, ternyata masih ingat yaa 🥹
Dan ini lucunya. Sampai saat ini pun, aku masih selalu memohon dimampukan untuk lulus perihal syukur dan sabar. Lagi-lagu, Maha Baik Allaah, yang sudah menyiapkan jawaban indah atas perjalanan "melelahkan" enam tahun lamanya.
Bukan sama sekali untuk membanggakan diri sendiri. Apalah Puspa yang masih terseok-seok ilmunya lagi tertatih-tatih skill-nya.
Ini semua jawaban dari Allaah. Ini semua hasil dari mimpi yang Allah coret secara paksa. Ini semua pemberian Allah atas lembaran kertas yang kubuang. Ini semua jalan yang Allah sudah siapkan.
Dulu, dalam daftar cita-cita itu, aku tulis ingin menjadi manusia bermanfaat, yang naasnya, harus dengan profesi tertentu, "kalau bukan itu, yaa gimana memberi manfaatnya(?)" aduuhh, kolot sekali kan pikiranku dulu? 🤧 Lalu berontak ketika tak sesuai dengan yang kumau kala itu.
Lantas berada dalam titik pasrah, bahkan pesimis, "Ndatau lah besok bisa kerja apa enda." "Kayaknya aku nda kerja aja deh." "Bisa nda yaa aku kerja, apa alih profesi aja yaa." "Kayaknya aku nda bisa deh." "Bukan aku banget ini mah, apaan ini."
Allah seolah mempertanyakan tujuanku, "Puspa ingin profesinya atau ingin ke-ber-manfaat-an-nya?" Allah seolah ingin meyakinkanku dengan tujuan yang lebih benar, "Menjadi bermanfaat untuk umat." Allaah menyadarkanku.
Asalkan kita masih mau "diatur" sama Allaah, masih mau "ikut" di jalanNya, Allah akan memberi kita hal yang bahkan mustahil menurut kacamata kita. Benar kata ammah Lilis, ketika kita minta A kepada Allaah, yakinlah bahwa Allaah akan memberi A+ kepada kita. Allaah telah menebusnya tunai, bahkan berbunga-bunga 🥹🥰
Jadi, kalau esok, Puspa bertemu dengan kegagalan kembali, "it's okay, helo my little friend. come to see me again?" I'm ready ❤🔥
Karena ternyata, kegagalan adalah bentuk re-direksi Allah untuk mimpi-mimpi indah kita. Yaa Rabbi, if my direction is wrong, please re-direct me. Mari selalu kita ingat 2:216, Boleh jadi, apa yang kita suka, belum tentu baik untuk kita. Boleh jadi, apa yang tak kita suka, justru baik untuk kita.
Keep husnudzon yaa, Puspa. Apapun "tanya" dan "hantaman" yang masih tersembunyi di depan sana, ingat-ingatlah terus tulisanmu ini, kamu udah ditempa Allah enam tahun lamanya, walaupun kadang masih ngulang, tapi setidaknya kamu sudah punya bekal. Jangan ketinggalan yaah 🫶🏻
Remember what Abu Hurairah said in Shahih Bukhari, When Allah said, "I test only those I love." so I took the pain like it was an honour. ✨
oiyaa, A+ malem ini, bisa qtime sama ibuk, mulai dari buka puasa, kajian bareng, ngeteh bareng teh favoritku, dan night-ride bareng, kapan lagi yaa kan 🤣
Alhamdulillaah, Alhamdulillaah, Alhamdulillaahiladzi bini'matihi tatimushsholihat 🤍✨
4 notes
·
View notes
Text
Hujan pertama di 2024
Aku iri kepada mereka yang khusu dalam doanya.
Tentang mereka yang sepenuh yakin akan didengar rintihannya. Dalam pengaduannya. Dalam sujud panjangnya.
Bermunajat tanpa ragu. Terus menerus meminta tanpa lelah. Tanpa memikirkan, sudahkah harapan-harapan dalam doa itu dikabulkan satu-satu. Tugasnya hanya berdoa. Setelahnya, baiknya Allah saja.
Aku iri kepada rintik hujan yang turun kala itu. Hujan yang membersamai untaian doa-doa mereka. Begitu sendu. Begitu syahdu.
اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
@azurazie_
4 notes
·
View notes
Text
Ricuh
Rintik sendu buatku membatu
Tak ada serpih kisah yg bertemu
Terdiam benakku membisu
Menyalahkan semua pada waktu
Rinai hujan buatku tersipu
Tak ada ucap dan terpaku
Fikir tertegun khawatirkan kalbu
Tak pernah sedetikpun terucap kata setuju
Duduk diam memandang kusa sedang bergoyang
Saat semua gerak sedang tertahan
Merenungi asa di kala malam datang
Menyusun siasat yang tercurah hingga pagi menjelang
Lelapku kembali terbuang
Semua tangis dalam pelukan
Semua rasa yg akhirnya tercurahkan
Saat purnama menyentuh relung kehampaan
Pada semesta ku berucap
Terimakasih dengan dada yg terusap
7 notes
·
View notes
Text
Rintik hujan membasuh kalbu
Mengingatmu tentang rindu yg tabu
Terlempar, terhempas tak berdaya saat sendu
Mulai ku hirau tapi tak mampu
Tuhan, aku rindu tawanya
Senyum tulus, yg mungkin palsu
Bergetar walau tak tentu
3 notes
·
View notes
Text
9
Andai saja aku semangat mengejar surga.
Sebagaimana aku yang selalu semangat mengejar langkahmu. Menelusuri luasnya samudra hingga terperangkap di belantara hutan. Aku tetap berlari mengejar bayanganmu. Meski—pun aku tahu kau tidak akan menepi dan kembali.
Andai saja aku selalu memikirkan Rabb—Ku. Sebagaimana aku yang selalu memikirkanmu. Membuat aku sulit tidur lelap. Karena di benak kepala kau selalu hadir menyelinap. Hingga aku ingin terbang menggunakan sayap untuk mencarimu di kubangan rasa yang mengendap. Meski—pun aku tahu kau hanyalah sebatas semoga dan harap.
Andai saja aku selalu rindu kepada Nabi—Ku. Sebagaimana aku yang selalu rindu kepadamu. Membuat hari menjadi sembilu. Membuat jantung menggebu-gebu. Membuat hati yang kian menjadi candu. Hingga rintikan hujan berubah menjadi rintik sendu. Meski—pun aku tahu aku tak pantas untukmu.
Haha, andai saja… Andai saja… Rancaekek, hampir jam sebelas malam.
#selfreminder#tulisan#catatan#menulis#mputraff#tulisansederhana#hijrah#puisi#rindu#allahﷻ#30haribercerita#30harimenulis#puitis#30 days challenge#kata cinta#cinta#sukses#renungan#nasehat#islam#muslim#allah#quran#islamic#hadith#kata#diksikata#diksi
2 notes
·
View notes
Text
Tiba-tiba jadwal tidur berantakan, siklus makan teralihkan, pengeluaran tidak terkondisikan, ini semua BUKAN akibat dari metamorfosa sebuah perasaan, apalagi cinta. Hal-hal yang membuat kita nyaman terkadang menyakitkan, seperti berjalan sendiri di tepi pantai, menghitung rintik hujan di atap gedung dan mendengarkan lagu sendu tanpa kopi kesenangan. Menyakitkan memang, tapi terkadang itu semua membuatku candu. Mengalihkan semua hal toxic di dunia tipu-tipu ini dengan hal remeh yang membuat orang lain merasa kasihan.
So, berapa hal aneh yang sudah kamu lakukan hari ini? Yang penting kamu bahagia, dan jangan lupa mempedulikan kesenangan dirimu sendiri, BUKAN kesenangan orang lain.
3 notes
·
View notes
Text
Langit kelabu, menutupi pandangan mata yang sedang sendu.
Mungkin semesta tak bisa lagi dirayu. Derasnya rintik yang turun siang ini menenggelamkan rasa dan semua pilu.
Ingin Ia menari dibawah derasnya air, namun Ia sadar bahwa hati dan segala kata kata beku yang di rasakannya tak akan mencair.
1 note
·
View note
Text
2026:
Burung-burung enggan berkicau, enggan kembali mengawaniku yang mengambang tanpa arah berkawan deru napas berat, kontradiktif dengan arus yang cenderung lembut.
Langit mulai gelap kala kuintip melalui derai surai yang telah basah oleh air, rintik hujan pun lantas semerta-merta menyapa seolah tengah mengantarku menuju peraduan baru; peraduan yang kuharap tak samar tentangnya.
Segala tentangnya samar nyaris tak terlihat. Tentang hangat yang menjalar di tiap tautan jemari kami, tentang tawa yang terlepas pada setiap jumpa, pun tentang segala perbedaan yang nyaris saja buatku gila.
Figurnya luar biasa nyata untuk perasaan samar ini—setiap hari berlalu bersamanya terlalu nyata untuk kukatakan semu.
Runguku tenggelam dengan sempurna, berdengung kala suara tak asing menyapa, meneriakkan namaku lantas menghujani romanku dengan lebih banyak air.
Aku lantas nyaris tenggelam oleh suara yang terus memanggil, memecah fokusku begitu saja tanpa aba-aba. Aku tengah dalam kebingungan antara imajiner dan realitas.
Nyatakah ia di sana? Menyerukan namaku seraya jemarinya melambai, berteriak menitah aku segera menepi?
Nyatakah ia—ingin temuiku?
Aku dalam ambang semu rentetan fakta tentangku dan dia: aku dan Khinanta.
Tungkai bawahku menyapa dasar kolam dan surai yang mengusik telah kusingkirkan, semata-mata demi telisik figur yang masih samar menyapaku, semerta-merta kujadikan dinding kolam sebagai tumpuan kaki; aku menembus ribuan kubik air, menghampirinya.
Khinanta.
Ia secara nyata berjongkok di pinggir kolam, membawa senyumnya yang merekah paling indah sebagai hadiah lantas ditularkannya kepadaku.
Aku membersamai senyumnya seraya bersandar pada bibir kolam, menumpu pipi pada lengan yang terlipat tanpa kuputuskan tatapku akan Khinanta, tak inginkannya lekang begitu saja.
“Sudah lama?” Khinanta melempar tanya. “Ngambangnya?”
Aku terkekeh, lantas bibir kolam kujadikan tumpuan tangan sebelum aku melompat keluar, terduduk tanpa meloloskan kakiku pada air.
“Enggak juga,” jawabku. “Tumben lo ke sini?”
Khinanta tak berikan jawabannya, malah ia menyodorkan sebotol air yang telah dibuka tutupnya lantas diberinya pipet kaca.
Aku tak menolak, meraih botol plastik tersebut lantas menghabiskan nyaris setengahnya begitu saja. Ia masih berjongkok, melipat tangannya dan kembali beri tatap itu seraya pipi kirinya bertumpu pada tangan.
Senyumnya tak pernah kalah cerah dari mentari, begitu juga gemintang di matanya yang berkilauan lebih cerah daripada batu permata, jemarinya yang dengan mudah menyelinap pada milikku—
️️“Kak Sabda.”
—aku mendambanya.
Aku mendamba seruan itu merdu kala diucapnya, merindukan kupu-kupu yang menari dengan bebas pada setiap sekon kami beradu tatap, menginginkan kembali getaran hangat kala kami tak banyak bicara dan hanya berkawan denting pianonya menyatu dengan senar gitarku.
Napas panjang kuambil sebagai bentuk keraguan dan kejengahan akan kisah yang sepenuhnya samar ini. Aku ingin melipatnya menjadi lembar-lembar lurus bersama Khinanta, ingin menyusunnya bertingkat perlahan pada museum saksi rangkaian kisah kami.
Aku menoleh, mengunci tatapnya yang sama sekali sendu itu. Gelang pada pergelanganku berdenting kala kugerakan dengan cepat, memanggil miliknya untuk turut dentingkan miliknya denganku. Namun ia diam.
Khinanta diam lantas sorot matanya meredup, ada sesuatu yang tertahan di sana, meredam tirta pada pelupuk matanya yang dengan apik disembunyikannya dariku.
Napas kuhela perlahan, aku ingin jawab darinya meski yang diinginkan Khinanta ialah diam dan menyimpan segalanya untuk nanti, untuk kelak kala kami telah siap untuk tak lagi saling menyapa, kala kami telah siap untuk tak berbalik sapa saat tak sengaja jumpa di warung nasi goreng kegemarannya, atau di tengah keramaian kota.
Namun aku ingin tahu. Aku ingin tahu apa yang mengusik Khinanta sampai ia enggan bicara denganku sampai hari ini, membiarkanku rindukan dia sampai nyaris tenggelam berkali-kali.
Aku meraih jemarinya, lantas perlahan kukikis jarak sampai kami tak pernah sedekat ini. Aku tak pernah merasakan deru napasnya sehangat ini—beradu dengan milikku tanpa tempo yang pasti. Atensiku berpusat kepadanya, kepada maniknya yang mengerjap gemas temui milikku, kepada Fabian Khinanta seutuhnya.
Telah sepenuhnya aku yakin bahwa yang mampu pulihkan rinduku akan Khinanta ialah sebuah kecup kecil darinya, dariku, untuk kali pertama tanpa kuindahkan fakta bahwa mungkin ini jua adalah kali terakhir kami beradu tatap.
Khinanta menggigit bibirnya kala kucoba kikis jarak lebih banyak. Lantas pada sekon setelahnya jemala ia mundurkan satu senti, menjauh dariku yang mendadak beku oleh sikapnya.
Aku tak bergeming kala air jatuh begitu saja dari pelupuk matanya, berlarian saling mengejar tanpa henti. Ia berkawan sesaknya sementara ranum hampir berdarah sebab tak hentinya digigiti.
“Sabda...” suaranya bergetar.
Aku tertegun, tak miliki kuasa diri untuk sekadar mengusap pipinya, memberi tahu ia bahwa aku memang di sini, bersamanya, menjadi miliknya.
“...saya ingin kamu. Saya ingin kamu dengan cara paling sederhana. Dengan cara paling menyenangkan di antara segala cara yang disiapkan Tuhan. Tapi dunia nggak inginkan kita, Kak. Dunia nggak ingin saya bahagia.”
Tapi aku inginkannya bahagia, aku inginkannya turut bahagia dengan nama kami tanpa jarak, dengan sorak sorai bahagia menyertai.
Entah sejak kapan aku mulai turut disertai basah pada pipi, getarnya menjalar kepada sekujur tubuh, aku tak lagi mampu berucap.
“Saya paling bahagia sama kamu.” Katanya dengan bibir yang nyaris semerah darah. “Tapi apa saya layak bahagia?”
Kenapa masih ada aku, Khinanta? Kenapa masih ada namaku kalau kau sebut kamu tak layak bahagia?
Katamu, kamu bahagia.
Katamu itu—apakah nyata?
️️“Maaf.”
Demi Tuhan, aku enggak pernah inginkan kata maaf terlontar darinya, disertai isak lirih dan tautan yang melonggar. Aku belum siap untuk ini, aku belum siap akan lembaranku tanpanya.
️“Maaf, Kak, maaf,” Ia terisak. “Saya minta maaf…”
Tak mampu lagi kuhirup oksigen yang melayang bebas, mendadak seluruhnya adalah tentang Khinanta dan racauannya yang sama sekali tak masuk akal, tak mampu dicerna oleh pikiranku yang selalu saja penuh tentangnya.
Ia menunduk, sempurna menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan sementara bahunya bergetar beriringan dengan isak yang terdengar begitu sesak.
Tubuhnya kurengkuh begitu saja, tanpa permisi dan permohonan maaf akan air yang terus menetes dari kaus hitam yang kukenakan sedari tadi.
Kuasaku bersarang pada surainya sementara aku dengan lancang hirup aroma rambutnya begitu dalam, mengunci aroma itu dalam memoriku hingga kelak kutemukan ia tengah berduka, akan kukembalikan bahagia yang pernah bersarang padanya.
Kami saling merengkuh di penghujung hari, tak ingin lepaskannya barang sedetik, sebab kuketahui dengan jelas esok mungkin tak akan jadi hari baik untuknya, untukku, dan untuk kisah rumpang kami yang tak akan rampung sampai dunia berakhir.
Hujan tiba, mentari akan kembali, yang surut akan serat.
Hanya Khinanta yang tak akan kembali. Ia akan hilang, menjadi milik manusia lain di luar sana.
Aku tak akan jadi egois, tak ingin lihat ia kembali dengan sesaknya. Aku inginkan dia, juga dengan cara paling sederhana tanpa pecahan kaca maupun umpatan frustasi akan fakta bahwa aku menyayanginya secara utuh.
Aku tak akan jadi egois.
Kami akan tetap tergantung dalam bingkai paling manis sebuah luka yang dikubur dalam bersama darah.
0 notes
Text
UJUNG UTARA PULAU INI (LAGI)
Seharian ini tampak hujan ingin menampakkan kedatangannya Tak hanya langit mendung, rintik hujan juga hadir pada kaca jendela Cukup nyaman dan teduh tanpa deras Dan inilah waktunya untuk berhenti sejenak, menikmati apa yang dulu pernah terjadi
Teringat di hari ini, hari pertamaku bekerja di sana Tempat yang menyimpan sejuta kenangan dan masih sering ku ceritakan pada orang – orang Bukan hanya tentang tempat, tentu juga tentang orang – orang yang ku temui disana Terima kasih semesta, pernah membawa dan menginzinkanku ke sana Dan berharap masih bisa kembali ke sana
Terputar senandung lagu yang mengingatkan ku pada dirimu Terpampang cover playlist lagu yang sengaja ku pakai foto dirimu Karna diwaktu itu, sejatuh cinta itu aku pada dirimu
Yah biarlah kunikmati cuaca ini dengan perasaannya yang mengikut Entah sendu, entah rindu, intinya ini tentang dirimu Yang entah sedang apa disana Semoga baik-baik saja, doa dari orang senantia mengikutimu dari jauh
0 notes