nurunala
171 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Bukan lama obrolannya, tetapi perasaan lega setelahnya. :)
109 notes
·
View notes
Text
Nak ...
Nak …
Sebenarnya, kamu tidak perlu terlalu risau apakah kami bangga atau tidak.
Orang tua mencintai anak-anak mereka tanpa syarat, karena hal itu adalah fitrah.
Tidak ada kegagalan atau pencapaian yang bisa mengurangi atau menambahkan rasa cinta kami.
Jika kamu butuh pertolongan, kami akan membantu sejauh yang kami mampu.
Jika kamu bahagia, kami akan berkali lipat lebih bahagia.
Karena itu, berbahagialah, Nak ...
Rayakan apa saja setiap hari.
Romantisasi setiap keindahan dan kebaikan yang ada di sekitar, sesederhana apa pun itu.
Kamu sedang mendaki jalan terjal untuk mewujudkan mimpimu. Tetapi jangan lupa, di tengah perjalanan ini, ada banyak pemandangan yang terlalu indah untuk dilewatkan.
Sesekali, kamu boleh berhenti. Beristirahat sejenak sambil mengumpulkan energi, mempersiapkan diri untuk perjalanan yang terbentang panjang di depan.
Di waktu tertentu, kamu juga boleh menengok ke belakang.
Bukan untuk menyesali apa yang terjadi. Melainkan untuk bersyukur bahwa semua itu telah terlewati.
Bersyukur bahwa kamu, ternyata bisa sampai di titik ini.
139 notes
·
View notes
Text
Tiba-tiba Kelas Menulis sudah Batch 14.
Senang melihat para alumni sudah berhasil menyelesaikan, menerbitkan, bahkan ada yang sudah buku ke-2.
Tentu, itu semua berkat kerja keras mereka. Karena apalah artinya kelas-kelas ini, kalau naskahnya tidak dikerjakan.
Bagaimanapun, semoga kelas sederhana ini membantu. Sebab di kelas ini saya, yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi penulis, bercerita tentang:
Gambaran Industri Buku Saat Ini
Konsep Umum Sebuah Cerita
Proses Kreatif Menulis Novel
Proses Kreatif Menulis Memoar
Proses Kreatif Menulis Antologi Prosa
Langkah-langkah Menerbitkan Buku
Menemukan Pembaca
Konsisten & Hidup dari Menulis
Jika kamu tertarik mengikuti kelas ini, klik ikut kelas menulis.
Sampai ketemu di Zoom! Kita cerita dan ngobrol lebih banyak di sana. :)
17 notes
·
View notes
Text
Bu, Pak ... Setiap membuka sosial media, sepertinya semua orang hidupnya bahagia. Kenapa sepertinya cuma aku yang hidupnya begini-begini saja? Sehari-hari melakukan hal kecil yang tidak berarti apa-apa.
---
Nak ...
Kalau yang kamu maksud 'semua orang' itu adalah teman-temanmu, kamu beruntung karena punya teman-teman yang bahagia.
Tetapi, Nak... Setahu kami, orang-orang memang cenderung menggunakan sosial media untuk berbagi kebahagiaan.
Luka, kesedihan, kemalangan, biasanya disimpan sendiri. Atau diceritakan ke sahabat terdekat.
Kamu pun begitu, kan?
Memang tidak semua perasaan perlu diumumkan. Tidak semua kejadian layak dipublikasikan.
Dan benar, mungkin di antara temanmu ada yang terlihat keren karena melakukan hal besar. Bersyukurlah, kamu bisa terinspirasi dan belajar dari mereka.
Kamu enggak perlu berkecil hati. Karena Tuhan menyuruh kita berjuang sesuai kesanggupan.
Nak ...
Kalau kamu belum bisa melakukan hal besar, tidak apa-apa. Kamu tetap bisa melakukan hal kecil dengan kesungguhan yang besar.
232 notes
·
View notes
Text
Bu, Pak … Teman-temanku satu per satu menikah, sebagian bahkan sudah mengantar anak ke sekolah. Sementara aku merasa belum bertemu jodohku. Apa aku terlalu pemilih? Apakah kriteria yang aku inginkan terlalu tinggi?
Nak …
Menjadi pemilih dalam urusan jodoh adalah sebuah keharusan.
Sudah selayaknya kamu berhati-hati menjalin hubungan dengan orang yang nanti akan serumah denganmu, membangun keluarga, menghabiskan waktu menua bersama.
Mungkin ini kedengaran klise, tapi menikah memang bukanlah perlombaan. Tak ada menang-kalah, tak ada cepat-lambat.
Masa penantian dan pencarian ini, barangkali adalah ruang yang Tuhan kasih untuk kamu belajar lebih banyak:
Tentang dirimu, tentang hidupmu.
Tentang menjadi pasangan dan orang tua yang baik.
Tentang mengelola uang dan mengatur rumah tangga.
Tentang membangun keluarga yang bahagia, sehidup sesurga.
398 notes
·
View notes
Text
Bu, Pak … Maaf kalau hidupku begini-begini saja. Maaf aku belum bisa bikin kalian bangga. Aku masih berusaha, dan akan terus berusaha. Doakan aku, ya.
Nak …
Tidak apa-apa.
Kamu tumbuh dengan baik dan sekarang dalam kondisi sehat. Bagi kami, itu sudah lebih dari cukup.
Dan kami bangga.
Kami bangga karena kamu sudah berusaha sebaik-baiknya.
Kami akan terus mendoakanmu.
195 notes
·
View notes
Text
Ilmu & pengalaman 10 tahun menulis dirangkum dalam satu buku. ✨
Membahas konsep cerita, menggali ide, membuat kerangka, sampai menerbitkan buku & menemukan pembaca.
Ditulis dengan penjelasan sederhana, to the point, agar bisa langsung dipraktikkan.
Cocok buat kamu yang mau:
Mengenal lebih dalam dunia kepenulisan.
Menulis cerita yang memikat
Merampungkan naskah yang gak selesai-selesai.
Menerbitkan buku, baik self-publishing maupun lewat penerbit.
Hidup dari karya.
Klik https://nurunala.myr.id/lp/ebook-menulis pakai kode voucher JADIPENULIS untuk diskon 20%.
29 notes
·
View notes
Text
Setelah engkau pergi Dunia tak sama lagi ...
Dan aku dipaksa cepat Beradaptasi ...
101 notes
·
View notes
Text
"Ada banyak hikmah dan pembelajaran di sepanjang perjalanan pencarian sang ayah. Bukan hanya untuk Elang, tapi juga aku sebagai pembaca. Buku yang wajib dibaca minimal sekali seumur hidup." - Husna
17 notes
·
View notes
Text
Enggak selamanya ibu ada buat kamu. Kamu harus kuat.
- Ibu dalam Novel Janji untuk Ayah
64 notes
·
View notes
Text
Novel Terbaru: Janji untuk Ayah
Akhirnya, setelah tiga tahun, novel ini selesai dan akan segera terbit.
Momen kehilangan segalanya, sering kali menjadi momen untuk menemukan diri sendiri.
∞
Setelah kematian ibu, Elang tinggal sebatang kara dan kehilangan alasan untuk hidup.
Hari-harinya berjalan tanpa tujuan hingga datang kabar mengejutkan tentang keberadaan ayah yang tidak pernah ia kenal.
Bermodalkan sebuah alamat, Elang memulai perjalanan tak terduga. Rintangan demi rintangan menghadang, namun tekadnya tak tergoyahkan.
Ia telah berjanji akan menemukan ayahnya.
Kisah petualangan yang mendebarkan sekaligus menghangatkan hati dari penulis novel best-seller Seribu Wajah Ayah.
---------
Kata Mereka, Pembaca Pertama
"Novel ini page turner abis. Alurnya sangat flowly, konfliknya jelas dari A sampai Z, tersusun rapi. Karakter para tokohnya juga balance. Aku paling suka sama Aral dan Lintang, yang mengajarkan bahwa hidup adalah medan petualangan yang sesekali perlu dirayakan. Buku yang unik, keren, mendebarkan, sekaligus menghangatkan hati pembaca. Worth reading and worth buying. Rate: 5/5" - Ahmad (@im.yaannn_)
“Healing fiction ini penuh dengan kritik sosial. Emosinya dapet, rangkaian katanya indah, kental dengan nilai agama. Pembaca bakal dibikin penasaran sama cara Elang menghadapi cobaan yang datang silih berganti. Tapi, seperti yang dibilang sama buku ini: kalau kita fokus sama rasa sakitnya, kita bakalan menderita. Kalau kita fokus sama pembelajarannya, kita bakal bertumbuh.” - Syarif (@menceriakan)
“Novel ini tipis tapi isinya padat banget. Setiap perjalanan ada maknanya. Elang bukan sekedar mencari ayahnya, tapi justru mencari jati dirinya sendiri. Cerita fiksi yang penuh dengan pelajaran hidup, disampaikan dengan sangat halus. A must-read, sih!” - Keiko Siahaan (@keikoas)
"Saya hanyut ke dalam dunia yang diciptakan penulis. Ikut merasakan perjalanan Elang menggunakan motor supra, sampai mendaki gunung. Pesan-pesan inspiratif dan kehangatan hubungan antar tokoh di novel ini precious banget. Buat kamu yang lagi butuh bacaan inspiratif yang mengandung bawang, novel ini salah satu yang terbaik." - Wildan (@welldonemusthofa)
23 notes
·
View notes
Text
Berpura tenang bagai laut tanpa gelombang, padahal tangis selalu pecah selepas petang.
429 notes
·
View notes
Text
Ilmu & pengalaman 10 tahun menulis dirangkum dalam satu buku. ✨
Membahas konsep cerita, menggali ide, membuat kerangka, sampai menerbitkan buku & menemukan pembaca.
Ditulis dengan penjelasan sederhana, to the point, agar bisa langsung dipraktikkan.
Cocok buat kamu yang mau:
Mengenal lebih dalam dunia kepenulisan.
Menulis cerita yang memikat
Merampungkan naskah yang gak selesai-selesai.
Menerbitkan buku, baik self-publishing maupun lewat penerbit.
Hidup dari karya.
Klik https://nurunala.myr.id/lp/ebook-menulis pakai kode voucher JADIPENULIS untuk diskon 20%.
29 notes
·
View notes
Text
Buku Tentang Menulis
Saya selalu menahan diri untuk menulis buku tentang menulis. Entahlah. Merasa belum pantas.
Lalu akhir Mei kemarin, ketika berada di Makassar untuk memenuhi undangan Makassar International Writers Festival, saya merenung lama sekali.
Rupanya, sudah lebih dari 10 tahun saya menjadi penulis ... Belasan buku telah terbit dan beberapa di antaranya cukup beruntung untuk dikenal luas dan terus dicetak ulang ... Dan saya, berada di sini, berbicara di salah satu festival sastra paling bergengsi di Indonesia ...
Dengan segala dinamika dan jatuh-bangunnya, saya merasa sangat bersyukur bisa sampai di titik ini. Bisa terus berkarya dan mencukupi kebutuhan hidup dari karya tersebut, rasanya mengharukan.
Maka izinkan saya merayakan perjalanan panjang ini. Menuangkan ilmu & pengalaman dari 10 tahun menulis ke dalam sebuah buku.
Buku ini berisi panduan praktis untuk menulis buku, khususnya novel. Ditulis dengan penjelasan sederhana, dilengkapi berbagai contoh dan template.
Buku bisa diunduh di sini.
Selamat membaca, semoga bermanfaat. :)
50 notes
·
View notes
Text
Cerpen: Hujan atau Cinta
Mungkin, memang sudah seharusnya aku berterima kasih kepada hujan. Rintik-rintik kenangan yang menahan kita tetap di sini. Mendengarkan cerita satu sama lain.
Kamu bercerita, aku bercerita—dan entah sudah berapa dusta yang aku cipta.
Hujan menggenang lubang-lubang jalan. Burung-burung berteduh.
Hatiku mengaduh.
Inikah rasanya jatuh, terluka, tapi harus terus berpura-pura?
“Siapa dulu yang ketawa ngakak sampai jatuh dari pohon?”
Dahimu selalu berkerut jika sedang bertanya.
“Amar? Yang celananya sobek?”
“Iya bener, Amar! Celananya sampai sobek ya? Oh iya!”
Kamu tertawa lepas sambil reflek menepuk lengan kiriku.
Aku selalu suka tawa itu. Terutama saat pemicunya adalah aku.
Sejak dulu, aku selalu ingin jadi sumber bahagia dalam hidupmu.
“Kamu, lama di sini?”
Akhirnya, kuberanikan diri bertanya. Mengukur kemungkinan berapa kali lagi kita bisa berjumpa. Untuk sekadar bertukar cerita, bernostalgia, atau … menumbuhkan lagi rasa?
“Besok jam 6 pagi udah ke Jakarta lagi,” jawabmu datar.
Besok pagi? Maksudmu, 14 jam dari sekarang?
“Buru-buru amat. Baru aja sampai tadi pagi.”
Kamu menatap mataku sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan. Seolah mengamati hujan yang belum juga mereda.
“Ayah cuma cuti sehari. Makanya habis resepsi Risma tadi, ayah sama ibu langsung keliling-keliling buat silaturahmi. Udah lama banget gak ke sini. Ada kali ya 5 tahun?”
Tepatnya, 6 tahun 2 bulan.
Hari ini 27 Agustus 2023. Kamu dan keluarga meninggalkan desa ini untuk pindah ke Jakarta sejak 25 Juni 2017. Saat kita mau naik kelas 2 SMA.
Banyak yang bilang aku pelupa. Tapi tentangmu, percayalah: aku pengingat yang baik.
“Iya, sekitar 5 tahunan. Ya, lumayan. Kalau orang, kira-kira umur segitu udah TK lah.”
“Udah bisa maling jambu di kebun Pak Muchtar, ya?”
Pertanyaanmu memanggil kembali ingatan masa kecil kita. Hari-hari di masa lalu ketika kita lebih mudah bahagia karena belum banyak mau.
“Kamu kan yang nyuruh?”
Seperti tak terima dituduh, kamu langsung mengklarifikasi, “Aku gak nyuruh. Aku cuma bilang, aku pengen jambu air.”
Kamu selalu begitu.
Menyembunyikan ego di balik keluguanmu. Itu alasan kita berpisah 6 tahun lalu, kan? Saat kamu bilang, hubungan jarak jauh melelahkan dan enggak akan berhasil.
Tak lama setelah kamu mengatakan itu, kamu mengunggah foto dengan seseorang yang lain–alasan sebenarnya kita berpisah?
Lalu kita berhenti saling mengikuti di media sosial.
Setelah belasan tahun pertemanan …
Setelah setahun saling mengungkap perasaan …
Kita tiba-tiba menjadi dua orang asing.
Aku berusaha melupakanmu dan meneruskan langkah. Aku berusaha untuk baik-baik saja, memajang senyum dan tawa ke mana-mana.
Berusaha percaya pada mereka yang berkata, ‘waktu akan menyembuhkan’. Argumen paling tolol yang pernah aku amini.
Karena, bahkan hingga hari ini, 6 tahun kemudian …
Saat takdir kembali mempertemukan kita di desa ini–tempat segalanya tumbuh dan bersemi, aku sadar: aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu.
Bahwa menghapus ingatan tentangmu, adalah sama dengan menghapus seluruh ingatan di kepalaku.
Bahwa ternyata luka ini, tak pernah benar-benar sembuh.
“Pohon jambunya, masih ada enggak sih?”
Tanyamu sambil melempar pandangan jauh ke sebuah rumah, lalu mengarahkan telunjukmu ke sana.
“Rumahnya yang di situ, kan?”
Aku mengangguk.
“Masih ada, kayaknya. Pohon jambu kan gak bisa tiba-tiba pindah ke Jakarta.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, memicu senyum sinis di wajahmu.
“Imran, si paling jago kalau nyindir orang.”
“Nadia, si paling …”
“Si paling apa?”
Dahimu berkerut lagi.
“Si paling cantik,” ada lengkung senyum di wajahmu sebelum berubah jadi ekspresi kesal saat aku melanjutkan, “di Geng Jambu.”
“Yeeh kan aku emang cewek sendiri. Tapi …”
Ada jeda sebentar sebelum kamu melanjutkan kalimat. Seolah kamu ragu.
“... di ingatan kamu, aku kayak gitu ya? ‘Tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Kayak … seolah-olah itu semua kemauan aku.”
“Aku nggak bilang gitu.”
“Kamu tadi bilang, ‘tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Maksudnya aku, kan?”
“Tiba-tiba atau enggak, di ingatan aku, kamu pergi.”
“Dan di ingatan aku, kamu menghilang.”
“Kamu kan yang minta aku menghilang?” tanyaku tak terima.
“Aku? Aku minta kamu menghilang?” giliran kamu yang tak terima.
“Kamu bilang, kamu capek sama aku.”
Mendengar ucapanku, kamu terdiam sebentar. Seperti menata kata dalam kepala. Lalu serupa hujan yang tiba-tiba menderas, kalimat demi kalimat meluncur dari mulutmu.
“Aku bilang, aku capek, karena kamu terus-terusan mempertanyakan kepergian aku ke Jakarta. Terus-terusan protes sama kita yang harus tiba-tiba pisah. Terus-terusan ngeluh karena kita jadi gak bisa lagi ketemu setiap hari. Aku gak pernah minta kamu menghilang.”
Nada bicaramu tiba-tiba meninggi.
Sementara aku masih memproses kata-katamu, kamu bicara lagi.
“Kamu pikir aku gak sedih kita pisah? Kamu pikir aku gak pernah protes? Kamu pikir aku suka keluar dari zona nyaman aku, harus beradaptasi sama orang-orang kota yang sok tau, dikatain kampungan … Selama ini, kamu mungkin mikir aku egois. Tapi, aku tuh …”
Kalimatmu tertahan di sana. Kamu menghela napas dalam, dan matamu mulai berkaca-kaca.
Hujan di luar sudah hampir reda, hujan di matamu jatuh begitu saja.
“Maaf. Aku yang egois.”
Hanya itu yang bisa kukatakan.
Kamu menyeka air mata dengan jemarimu, lalu memaksa bibirmu untuk tersenyum.
“Aku yang maaf. Kenapa jadi marah-marah gini, ya?”
“Karena aku emang nyebelin?”
“Iya. Nyebelin banget,” ujarmu sambil memanyunkan bibir sedikit. Kebiasaan yang selalu kamu lakukan setiap kesal padaku.
“Eh, udah ah bahas masa lalunya. Udah lewat juga. Bisa tethering bentar gak? Paket dataku abis, mau ngabarin Ayah kalau kita kejebak ujan di sini. Takutnya dia nyariin.”
Aku menghidupkan fitur personal hotspot di ponsel.
“Passwordnya?” tanyamu sambil menunjukkan layar ponsel.
“662016”
“Pelan pelan, dong … Enam .. Enam … apa tadi?”
“Dua Nol Satu Enam.”
“Enam Enam Dua Nol Satu Enam? Eh, ini … ”
Jangan bilang, kamu masih ingat.
“Tanggal jadian kita bukan, sih?” tanyamu singkat dan lugu.
Ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita pilih. Boleh jadi, salah satunya adalah cinta pertama, yang dengan segala kekonyolannya mewarnai masa remaja.
Ketika jerawat pubertas pecah dan hidup tak tentu arah.
Cinta pertama adalah bunga yang mekar di taman jiwa. Wanginya semerbak membuai dan melalaikan. Ia menghiasi satu-dua musim, lalu seketika layu dan kehilangan pesona.
Tetapi, anehnya, ia tetap di sana.
Menetap dalam ingatan.
Abadi sebagai kenangan.
“Bisa tethering-nya?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Bisa. Bisa. Bentar ya aku chat Ayah dulu …”
“Oke. Jangan download film.”
“Ya kali …”
“Siapa tau …”
“Eh, Ran,” kamu menengok ke arahku sambil tersenyum. “Pertanyaanku belum dijawab tadi. Kamu… masih pakai tanggal jadian kita buat password?”
“Heh? Oh, itu. Males ganti-ganti. Susah tau Nad, ngapalinnya.”
Mendengar jawabanku, kamu mengangguk-angguk kecil.
“Iya sih, setuju. Aku juga …” ada nada ragu di kalimatmu, tapi kamu tetap melanjutkannya, “... masih pake tanggal jadian kita buat passcode handphone, 060616. Dari dulu gak pernah ganti.”
Aku tak tahu harus merespons apa dan bagaimana.
Haruskah terkejut? Haruskah bangga dan terharu? Haruskah jujur saja mengatakan bahwa sebagaimana password di ponselku, perasaan ini juga tak pernah berubah?
“Emang males banget sih ganti-ganti password,” kataku sambil ikut mengangguk-angguk. Aku berusaha mencari cara untuk keluar dari suasana yang terasa semakin canggung.
“Hujannya udah agak reda, Nad. Lanjut, yuk!”
Aku berdiri, bersiap melanjutkan perjalanan.
Tapi, kamu menarik tanganku untuk duduk di sampingmu lagi.
“Sini dulu deh, mager banget. Udah lama juga aku gak mampir ke warung ini. Dulu setiap pulang sekolah, kita selalu ke sini, kan?”
Pertanyaanmu memecah kecanggungan. Mengembalikan kita ke dalam obrolan-obrolan panjang.
Sudah sejak tadi hujan berhenti … dan kita masih di sini.
Ternyata bukan karena hujan kita bertahan.
Tetapi, aku terlalu takut menyebutnya cinta.
...
©nurunala
71 notes
·
View notes