Tumgik
#kehidupan yang membosankan
hellopersimmonpie · 8 months
Text
Retrospective
Meskipun belum kaya, gue bisa bilang bahwa dalam dua tahun tuh hidup gue sedang tidak dalam survival mode. Gue jadi punya waktu untuk memeriksa diri sendiri. Mulai dari kompas moral yang gue anut, pendirian gue dalam beragama, sampai karir gue mau diarahkan kemana.
Gue bersyukur hidup gue masuk fase ini meskipun mungkin aja kelak gue bakal mengalami hidup yang survival mode lagi. Hidup dalam survival mode itu beneran challenging. Saking challenging-nya, gue sampai begitu mensyukuri kehidupan stabil yang bagi gue dulu tuh kerasa membosankan karena minim konflik.
Kompas moral gue ke arah mana?
Gue memandang bahwa gue cuma manusia biasa. Bagian dari alam semesta yang maha luas. Kehidupan gue juga cukup singkat jika dibandingkan umur semesta. Maka sebagai tamu, gue cuma pengen hidup sebagai tamu yang baik. Sebisa mungkin nggak meninggalkan kerusakan di muka bumi.
Gue nggak memandang alam sebagai sesuatu yang gue taklukkan. Gue berterimakasih karena Allah menyediakan banyak hal di alam agar manusia kayak gue bisa hidup dengan baik.
Sejak membaca banyak referensi tentang antropologi dan ekologi, gue berusaha menghargai alam dengan baik dan cukup memahami bahwa relasi manusia dengan hewan dan tumbuhan tuh nggak seharusnya "berebut ruang hidup" melainkan saling menjaga. Maka menjaga kelestarian lingkungan itu bukanlah "amal baik" manusia kepada lingkungan melainkan "kewajiban" kita agar ekosistem tempat kita bertumbuh tetap layak didiami oleh semua makhluk.
Bagaimana pendirian gue dalam beragama?
Gue udah cukup lama nggak menulis tentang fiqih ataupun tafsir. Gue nggak pernah berhenti belajar. Dan excitement gue terhadap fiqih ataupun tafsir tuh nggak pernah hilang. Bahkan sekarang lebih excited.
Hanya saja makin lama gue menyadari bahwa ilmu agama gue hanya cukup untuk diri gue sendiri. Maka gue lebih memilih untuk berkontribusi maksimal ke bidang ilmu gue aja. Bidang Ilmu gue tuh Teknologi Game. Maka gue akan mendalami disiplin ilmu ini lebih jauh lagi agar lebih bermanfaat. Gue berharap kelak usaha gue untuk mendalami bidang ilmu ini tuh bisa menyediakan lapangan kerja yang layak dan memanusiakan manusia.
Kalo dulu gue termasuk orang yang mikir bahwa agama tidak boleh dipisahkan dengan politik, sekarang gue masih orang yang sama. Gue mikir bahwa agama itu nggak boleh dipisahkan dengan semua lini kehidupan kita. Hanya saja, dalam tataran prakteknya beda. Dulu mikir bahwa satu-satunya jalan untuk memperbaiki kualitas politik kita tuh dengan menjadi pendukung parpol.
Sekarang gue mikir untuk nggak menunjukkan dukungan ke parpol manapun. Selain karena gue ASN, gue juga memandang bahwa memperbaiki kualitas politik juga bisa dicapai lewat jalur pendidikan. Dengan meningkatkan awareness kita terhadap kebutuhan manusia untuk hidup layak. Dengan mendefinisikan bahwa salah satu kriteria hidup layak adalah manusia tetap punya ruang untuk bertumbuh. Waktunya tidak boleh habis untuk mikir kebutuhan perut aja atau habis di jalan karena jarak antara rumah dan tempat kerja terlalu jauh
:")
Waktu kecil, tayangan TV sering nunjukin ke gue tentang keluarga yang hidup miskin ataupun cukup dan anak-anaknya sholeh sholiha. Kemudian ada juga keluarga kaya yang cuma peduli masalah uang dan anaknya jadi aneh-aneh. Stigma kayak gini tuh nempel sampe gue dewasa.
Bahwa yang mikir kebutuhan perut sampe nggak ngurusi anak tuh cuma orang kaya. Padahal realitanya tidak begitu.
Ada banyak orang miskin yang susah mendapatkan akses lapangan kerja yang layak sehingga waktu mereka habis untuk bekerja. Personal development mereka nggak keurus. Pendidikan anaknya juga.
Kalau ada kisah tentang ulama besar dari keluarga miskin, maka itu rezeki dari Allah yang perlu kita syukuri. Namun ini sama sekali tidak menghilangkan kewajiban kita untuk memberikan kehidupan yang layak bagi orang-orang miskin.
Islam memerintahkan kita untuk memelihara jiwa.
Jadi sebagai muslim, gue merasa perlu punya standar yang jelas perkara rasa "nyaman" agar bisa memelihara jiwa dengan baik.
So, kadang-kadang gue merasa perlu keluar dari perspective survival mode dengan sudut pandang:
"Bisa makan besok aja untung"
Ke perspective hidup yang lebih nyaman. Agar gue punya standar yang tinggi dalam memperlakukan diri sendiri atau orang lain baik secara personal ataupun dalam lingkup kebijakan.
Sorry kalau penjelasan gue agak belibet ~XD udah lama ga menulis beginian.
Salah satu contoh memelihara jiwa dalam versi gue adalah dengan memelihara kesehatan mental. Memelihara kesehatan mental yang tidak melulu soal awareness tentang mental ilness dan penyediaan layanan psikiatri.
Tapi lebih ke meningkatkan awareness kita terhadap kebutuhan dasar manusia akan rasa nyaman. Sehingga kita bisa merumuskan kebijakan yang menjamin kenyamanan tersebut.
Duh jadi muter-muter ~XD Tapi gini lho.... ada masalah-masalah psikologis yang bisa diselesaikan oleh psikolog dan psikiater. Ada juga masalah-masalah psikologis yang semakin runyam kalo kondisinya nggak nyaman. Masalah ini bisa dikurangi jika triggernya dihilangkan melalui intervensi kebijakan. Seperti memastikan support system bagi ibu yang baru selesai melahirkan agar resiko baby blues bisa diturunkan.
Demikian islam mengajarkan kita :")
Apakah gue berpendapat bahwa dakwah dengan membagikan ilmu agama di medsos tidak diperlukan? Jelas diperlukan. Tapi orangnya bukan gue ~XD Ada banyak ustadz/ustadzah yang lebih capable dan punya ijazah yang jelas.
Karir gue diarahkan kemana?
Gue suka banget riset, ngoding, dan nulis cerita. Tentunya, dengan segala pahit dan manisnya, gue sampai saat ini akan milih bertahan menjadi akademisi. Tapi di sisi lain, gue juga sedang bersiap merintis karir yang sustain sebagai game developer. Kenapa harus menjadi game developer? Karena di situ gue bisa meneliti, nulis cerita dan ngoding. Sementara hasil penelitian gue bisa gue share ke mahasiswa :")
Sekarang sampai mana?
Masih jauh banget. Mohon doanya aja. Moga Allah ngasih berkah atas semua usaha gue.
31 notes · View notes
meng-u-las · 3 months
Text
Bernadya - Kata Mereka Ini Berlebihan
youtube
Mendengarkan lagu dari Bernadya yang berjudul "Kata Mereka Ini Berlebihan", langsung membuat saya tersentak sendiri, karena liriknya seperti membawa saya ke masa remaja dimana saya baru belajar "pacaran", saking kasmarannya saya waktu itu dengan gebetan atau pacar, saya sampai lupa dengan diri sendiri. Padahal sebetulnya saya waktu itu seperti membohongi diri sendiri, dengan dasar cinta, semuanya seakan bisa dihalalkan, tujuannya supaya kita mendapatkan cinta atau pengorbanan yang sama besarnya dari orang yang kita taksir, padahal seperti halnya diri kita yang tidak nyaman dengan berkorban seperti itunya, orang lain pun jadi melihat kita sebagai orang yang membosankan, karena hanya sekedar mengikuti apa mau mereka, dan jadi tidak ada percikan yang membuat penasaran, ujungnya kita merasa berkorban sendirian dan biasanya hubungan yang seperti itu tidak akan bertahan lama.
Diatas itu sepenggal kisah pribadi yang sempat saya alami sekian tahun lalu, tapi berjalannya waktu saya yang semakin "dipaksa dewasa" oleh kehidupan menyadari, bahwa hidup itu tidak melulu harus diri kita yang berkorban, terutama dalam suatu hubungan, saat hubungan berat sebelah, itu artinya pasangan kita bukan orang yang tepat, karena hubungan itu antara 2 orang dan bukan merupakan tugas 1 orang saja. Saat ada salah satu pihak yang merasa banyak berkorban, sebaiknya sih jangan lanjutkan hubungan tersebut, karena ujungnya hanya melukai kedua belah pihak.
Menjadi diri kita yang terbaik untuk pasangan, pasti merupakan impian semua orang, tapi dengan bertambahnya usia dan dari pengalaman saya pribadi, saya mau menambahkan satu hal lagi, yaitu komunikasikan dahulu keinginan kita atau bahasa cinta yang kita miliki dan yang pasangan kita miliki, sehingga tindakan yang kita lakukan dengan maksud membuat bahagia pasangan tidak menjadi sia sia, karena setiap orang memiliki bahasa cinta nya yang berbeda, jangan sampai kita berbuat sesuatu sepenuh hati tapi pasangan tidak menganggap itu hal yang spesial, karena dia punya keinginan atau bahasa cinta yang berbeda.
Tulisan ini sebagai bentuk permenungan diri saya sendiri dan juga pesan untuk teman teman pembaca yang sedang menghadapi "Kasmaran" dan sebagai bentuk refleksi untuk diri saya yang lebih muda, karena cinta itu tidak boleh melulu kita yang berusaha keras, seharusnya itu tugas dua belah pihak, karena bahagia itu bukan untuk "dia" saja tapi untuk "kita" juga, jangan lupa dengarkan dirimu sendiri.
8 notes · View notes
duniapetualangkata · 4 months
Text
Sunyi diantara bunyi gemericik hujan
Pada ruangan ruangan hampa
Kesendirian begitu kelabu
Tak ada warna tak ada cerita
Semua terlihat sama.
Sampai kapan?
Begitu membosankan
Menikmati atau memilih bergerak
Waktu tidak seluang untuk basa basi
Terjebak di obrolan yang sama
Kita diam atau bergerak karena
Di Kehidupan yang akan datang, kita hanya perlu menjadi bahagia.
8 notes · View notes
rentangkehidupan · 5 months
Text
💫Surga itu Mahal💫
Tumblr media
Mengapa? Karena jalan kebaikan itu tak mudah dikerjakan, sukar, bahkan lebih banyak terasa pahit juga. Sebab, perbuatan baik kebanyakan bertentangan dengan hawa nafsu. Dan sebaliknya, yang berdasarkan hawa nafsu lebih banyak disukai. Tapi semua itu ulah godaan syaitan, dan syaitan ga akan rela kita melakukan kebaikan. Disebutkan juga di hadits: "Surga dikelilingi hal-hal yang dibenci" (HR.Muslim)
Sehingga apa yang harus kita perbuat? Melakukan ibadah kehidupan dengan ikhlas, sabar serta penuh harap kepada Allah agar Allah mudahkan. Agar Allah istiqomahkan. Kalau ga gitu, ibadah akan hambar rasanya. Shalat akan terasa melelahkan, tilawah akan membosankan, dan sedekah berat untuk dikerjakan. Naudzubillah.
Kerjakanlah, ikhlaskanlah dan bersabarlah secara perlahan. Mungkin dimatamu itu sudah menjadi sebuah jihad nyata dan sabar luas. Tapi bagi Allah apakah sama?
Luruskan kembali niat, beramal lah tanpa imbalan! 😊
9 notes · View notes
milaalkhansah · 2 years
Text
Rumus Bermedia Sosial
Rumus pertama dalam bermedia sosial adalah jangan pernah berekspetasi apa pun kepada siapapun. Karena di dunia maya, seseorang bisa menjadi apa saja, tak peduli di balik layar, siapa ia yang sebenarnya.
seseorang bisa menciptakan kesan apa pun yang ingin ia tunjukkan, tak peduli jika di kehidupan nyata, ia sama sekali tak seperti apa yang ia tampilkan di sana.
orang yang kelihatan paling bahagia pada setiap postingannya, tak berarti kehidupan nyatanya pun demikian.
orang yang postingannya penuh dengan kata-kata bijak, belum tentu menerapkan apa yang ia ujarkan.
dan orang-orang yang memilih untuk tak menampilkan apa pun di sana, bukan berarti tidak memiliki kehidupan yang menyenangkan apalagi membosankan.
adakalanya kita tidak bisa menilai karakter seseorang hanya terbatas pada seperti apa ia di media sosial, karena media sosial adalah sebuah tempat yang bias akan kebenaran, akan banyak muka yang ditampilkan, dan di antara sekian muka yang kita temui, kita akan kesulitan untuk mengetahui muka yang mana yang benar-benar terpasang di badan, dan sudah menjadi kodrat pada umumnya bahwa kita lebih suka menampilkan kesempurnaan di banding kekurangan bukan?
- Chapter 27 in 2023
96 notes · View notes
afrianajeng · 7 months
Video
youtube
Putaran roda kehidupan yang tak bejeda membuat usia berkelana sambil bergelut dengan angka-angka. Harus juga pandai menyaring banyak suara. Tumbuh hebat katanya, tumbuh kuat pintanya, tumbuh tapi kadang sekarat kataku padanya.
Sepertinya penilaianmu berlebihan. Kadang aku layaknya debu yang berterbangan. Angin tanpa tujuan. Daun yang terus berguguran. Burung terbang tanpa sekawanan. Bagimu menarik, bagiku membosankan. 
Meski kadang hancur, tapi tetap bersyukur. Meski runtuh tapi terus bertumbuh. Meski terluka tapi masih bisa tertawa. Jika kembali ke dunia yang dulu, lalu apa makna dari rindu. Kemanapun alur cerita akan membawaku, cukuplah Engkau sebagai penolong bagiku. Ingatkan aku untuk selalu mengharap ridha-Mu dan kembali kepada-Mu. Dan, seperti kata sayyidina Ali bin Abi Thalib, “apapun yang menjadi takdirmu pasti akan mencari jalannya sendiri untuk menemukanmu”.
7 notes · View notes
ranah-upaya · 1 year
Text
Krisisnya Nalar Kritis
Pergolakan dalam hal kurikulum pendidikan di negeri kita, menjadi hal lazim bagi seluruh lintas generasi. Bukan hanya bagi pendidik dan peserta didik, tetapi keresahan dan permasalahan ini juga sangat mendominasi para orang tua, yang sangat berharap akan keberhasilan anaknya di masa depan. Terhitung, hampir 11 kali mengalami pergantian kurikulum pendidikan sejak tahun 1947 hingga kini. Adapun kurikulum yang sedang diterapkan saat ini adalah Kurikulum Merdeka Belajar yang diusung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem.
Tumblr media
Banyak kritik dan saran, kesan dan pesan terkait kebijakan mendikbud ini. Belum lagi, permasalahan yang menjamur di setiap lini lapisan masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini tidak merata, saling tumpang tindih, ketimpangan. Belum selesai memahami, memaknai, mengimplementasi, dan mengaplikasikan kurikulum pendidikan yang diusung sebelumnya, lalu dipaksa untuk menerima dengan legowo kebijakan selanjutnya. Baiklah, mungkin terbilang mudah bagi sekolah yang notabene sesuai dengan kualifikasi yang diperkirakan Mas Menteri; fasilitas tercukupi, SDM yang memadai, lingkungan yang mendukung, para orang tua yang mampu dan suportif dan masih banyak lainnya. Lalu, bagaimana dengan kami yang harus beradaptasi dengan hal tidak serupa? Tentu jomplang, berat sebelah dan tidak seimbang.
Hadirnya teknologi, memang tidak bisa terus disalahkan. Teknologi memang hadir untuk memudahkan segala pekerjaan manusia. Mereka menciptakan, mereka yang mengatur, mereka yang memfungsikan. Hadirnya teknologi, memang sudah tidak asing seharusnya. Apalagi semenjak pandemi merebak, teknologi dan kecerdasan buatan sudah menjadi sahabat. Sayangnya, tidak semua memahami dan kemudian memfungsikan dengan bijak. Misal, hadirnya Chat GPT sebagai alat untuk mempermudah diskusi dan menuangkan ide untuk ranah kehidupan. Faktanya, kita semua sudah terlalu percaya bahwa AI (Artificial Intelligent) bisa menggantikan tugas guru di sekolah. Anak-anak sudah tidak perlu membaca dan sibuk mencari referensi sumber, sibuk mendengarkan penjelasan guru yang membosankan, tidak menarik. Belum lagi harus berhadapan dengan karakter dan pribadi guru pengajar yang menakutkan, menyeramkan, pemarah, suka mem-bully para siswa yang tidak mengerjakan tugas atau melanggar. Ini bukan hanya sekali dua kali saja. Sejujurnya, para siswa tidak pernah berfikir dan merindukan gurunya saat mengajar di sekolah. Mereka hanya ingin bertemu sahabatnya di sekolah, karena juga malas dan tidak betah di rumah.
Problematika seperti ini, memang tidak pernah disadari oleh individu pendidik sendiri. Padahal, komponen utama dalam kegiatan mendidik itu sendiri adalah kesamaan resonansi antara pendidik dan peserta didik. Tetapi, pada realitanya. Pendidik hanya berfokus pada tujuan utama dirinya sendiri; hanya mengajar dan menyampaikan ilmu di buku. Urusan pembentukan karakter, kematangan mental, nalar yang kritis untuk bisa menghadapi permasalahan yang lebih kompleks, menjadi nomor sekian. Ya, pada akhirnya mengajar yang juga sebagai kegiatan mulia seorang guru, dimonetisasi dan hanya dijadikan ladang penghidupan bukan menjadi ladang amal.
Nalar kritis yang selalu digaungkan sebagai harapan pelajar pancasila itu, hanya berwujud sebagai jawaban hitam putih saat ujian. Walau tugas-tugas dalam lembar kerja siswa tertanda sebagai soal HOTS. Apakah kualitas nalar berfikir kritis juga serupa? Rasanya tidak. Mengapa? Karena penyampaian materi di kelas, jarang bahkan tidak pernah sama sekali mengajak para siswa berfikir kritis, menggunakan kemampuan berfikir yang luar biasa, memfungsikan logika yang sudah Allah karuniai pada setiap hamba. Ketakutan para siswa dengan jawaban yang salah, sangat mempengaruhi kemampuan berfikir mereka yang bebas. Mereka memikirkan jawaban yang umum, jawaban yang tertulis di bukunya, dan juga jawaban tepat pada pilihan ganda.
Belum lama ini, Maudy Ayunda sempat ditanya oleh konten kreator, tentang kebijakannya bila dinobatkan sebagai menteri pendidikan. Maudy menjawab, bahwa ia akan menghapuskan asesmen pilihan ganda, dan menggantinya dengan soal esai berbasis critical thinking, ia juga menyampaikan bahwa ingin mengajak anak bangsa untuk punya hobi belajar dan mencintai ilmu seperti dirinya. Lalu, apa kabar hari ini? Bila memang hal itu terjadi setelah kebijakan Mas Menteri yang telah lama menghapuskan UN, meniadakan skripsi bagi mahasiswa dengan mengganti tugas yang sepadan, kemudian disusul dengan kebijakan-kebijakan yang hampir serupa di masa yang akan datang. Bagaimana dengan kondisi lapangan hari ini yang masih sangat lemah dalam hal bernalar kritis? Semoga pendidikan anak bangsa, kebijakan pemerintah dan urusan mengenai masa depan sebuah peradaban semakin membaik dan juga bermanfaat untuk agama, nusa dan bangsa.
13 notes · View notes
aksarajuang · 3 months
Text
Dewasa
Dulu, aku mengira bahwa kehidupan sebagai orang dewasa itu akan membosankan. Setiap hari akan disibukkan dengan rutinitas berulang yang sama, ditambah lagi dengan beban kehidupan yang semakin bertambah.
Setelah dijalani, ternyata justru sebaliknya.
Adulthood is thrilling.
Ada banyak hal seru yang menunggu untuk dikerjakan. Inspirasi dan ide seperti tak pernah ada habisnya.
Di sisi lain, menjadi dewasa juga menyadarkan bahwa waktu adalah aset yang tak ternilai harganya, Ia terus berjalan tanpa peduli kita melakukan yang terbaik atau belum. Ia menjadi satu-satunya pembatas atas semua keinginan untuk terus berbuat lebih banyak. Ia adalah ketetapan yang tak bisa dilawan.
Kini, aku paham mengapa dulu Abi sering mengulang2 pesannya: "Yuk tuntaskan urusan2 pribadi dan mendasar agar kita bisa segera melangkah untuk mengerjakan hal-hal yang lebih besar."
2 notes · View notes
ismahaha · 5 months
Text
Koh Ruby, Belajar Life Skill Setiap Hari
"Paling tidak, luangkan waktu sebentar untuk selalu mendengar dan melihat ilmu dari orang lain. Gratis dan mudah."
Tema kali ini tentang rekomendasi channel yang menurut pribadi bermanfaat. Rasa-rasanya sangat banyak yang ingin ku rekomendasikan berdasarkan jenisnya. Tapi aku memutuskan untuk memfokuskan mereview channel ini. Sosok yang sudah 3 tahun ini menemani perjalanan perubahanku.
Sebelum ke sana, aku mau bilang kalau kita punya tontonannya sendiri, dan orang-orang yang kita tonton, sudah tentu baik menurut kita. Dan ini, aku mau cerita kenapa Koh Ruby yang jadi pilihan pada tema kali ini.
Bukan cuma dia sebenarnya konten motivasi yang selalu share banyak ilmu, tapi menurutku dia sudah sangat baik dalam berkata-kata.
Redaksi bahasa yang diucap juga selalu tertata dan rapi. Dari setiap omongannya, dia selalu menghargai proses orang, dan selalu percaya kalau orang punya cara dan prosesnya masing-masing.
Membahas financial, life skil, ya itu kemampuan dia, dan tentunya selalu memakai properti yang dijadikan perumpamaan dalam menjelaskan sesuatu. Ini makin memudahkan pendengarnya.
Paling kusuka, ada segmen Dibacain, yang isinya membahas dan mereview buku yang ia baca. Menariknya, dia gak menceritakan bagaimana buku itu, tapi apa insight yang berkaitan dengan kehidupan kita dan korelasinya dari buku itu. Jadi gak heran kalau dia ceritain buku, dia selalu punya contohnya sendiri.
Ngomong pakai data, aku suka nih yang gini-gini, ngomong gak asal ngomong. Dia nih ngomong pakai data, pakai grafik, bahkan kutipan kecil, dia juga buat tuh kutipan siapa.
Dan channel ini, gak membosankan sih kata ku. Sama kaya 1%, selalu ada yang menarik di kontennya. Beda, dan selalu punya isian yang daging + beda. Jadi bikin penontonnya gak muak. Sederhana, durasi gak kepanjangan, dan tentunya to the point. Gak banyak babibu.
Oh ya terakhir, siapapun yang kita lihat, semoga itu benar-benar bikin kita teredukasi. Paling enggak, buat kita punya waktu yang bermanfaat dengan melihat tontonan itu.
Jangan lupa sesuaikan tontonan dengan kebutuhan kita. Pakai porsinya. Berapa persen nontonin jenis religi, biar nambah ilmu agama. Berapa persen nontonin jenis scholarship, financial, life skil, hiburan, dsb.
Semoga kita tetap memanfaatkan waktu sebaik-baiknya❤ Dan jangan judge tontonan orang, loh! Ingat itu!!!!
#tautannarablog
#day10
2 notes · View notes
purplecandytuft · 9 months
Text
A boy on these nights (4)
Hari ini saya menulis surat. Rasanya malas mengakui, tapi saya mau jujur sedikit, saya bosan. Bosan sekali. Dan benci. Benci yang agak banyak. Benci jadi orang dewasa. Saya juga mau terus terang, nanti.
Dari jendela kamar saya, yang terhalang plafon gypsum, suatu kali saya mengintip langit. Saya kangen main petak umpat di semenanjung merkurius, bersama tikus penyedot meteoroid dan tentu saja orang itu juga hadir. Pernah sekali waktu hujan lebat dan bintang tak satupun nampak, saya membayangkan ia mengendap-endap menuju jendela kamar saya lalu merengek meminta selimut sebab selimutnya yang berlubang tak cukup menghangatkan badannya yang besar.
Saya mau memberinya selimut, tapi ia tak akan bisa menemukan jendela kamar saya. 
Hari terakhir kami bermain seluncur di permukaan bulan, sebelum diusir oleh Kapten Kelinci yang tengah menumbuk mochi —kami memanggilnya begitu karna dia yang ingin— saya bilang mau membagi setengah porsi nasi lemak buatnya. Ia kelaparan, kebetulan sore tadi saya mencuri bekal yang disiapkan ibu untuk anak gadisnya tersayang. Baca: kakak saya.
Ada Kapten Kelinci terbahak-bahak padahal saya tidak sedang melucu. Buruknya lagi adalah dia ternyata menguping? Sedari tadi? Huh!! Memang kupingnya panjang, tapi ia tetap berdosa dan lancang dan kurang ajar. Tongkat kayu yang dipegangnya erat-erat tak bisa menyelamatkannya.
Atau menyelamatkan kami lebih tepatnya. Kapten tak punya adab itu menyeret kami dengan tongkat jeleknya —menyeret keluar dari rumahnya. Dia menganggap bulan ini kepunyaannya karna Sang Kapten membayar pajak tiap Desember. 
"Sebenarnya siapa yang tak punya adab?" dia bertanya sepuas saya menggerutu.
"Kapten sinting itu tentu saja!" Oh ayolah. Saya sedang butuh pembelaan dari tingkah tak beradab Kapten Kuping Panjang. Benar kan? Harusnya sepatu converse saya lah yang mendarat sempurna ke pantat sang Kapten, bukan sebaliknya.
Ia menghela napas setelah menatap saya lama sekali. 
Hari itu ia tak senyum sama sekali. Saya tak akan menduga ia sedang kedatangan bulan sebab itu tak mungkin kan. Saya cuma sedikit menduga barangkali ia tahu saya mau pergi.
Sepanjang malam, ia kerap melirik diam-diam. Dia pikir saya tak melihat. Sebagaimana saya juga melirik dia diam-diam. Dan kami memang betulan saling mendiamkan. 
Ia, dengan tangannya yang besar sedang bermain entah apa itu, mungkin squisy, atau ingus Kapten yang dicampurkannya ke adonan mochi.
Saya, menikmati episode pertama serial Gossip Girl dengan ditemani sekaleng cola dan dua toples pringles. 
Ia tak lagi marah kok. Sayapun demikian. Kami memang terkadang begini. Atau beginilah kami sebenarnya berhubungan.
"Kehidupan yang begini membuatmu nyaman?"
"Ya. Kau tidak?"
"Ya. Maksudku tidak, nyaman saja tak bisa menghidupiku kan?"
Ah tidak. Percakapan ini cuma terjadi di kepala saya. Malam itu, entah kami banyak bersua atau tidak, yang jelas kami tak lagi berbicara esoknya. Sebab saya pergi.
Dia tak bisa menemukan saya. Mungkin memang tak mencari. Mungkin mencari, tapi saya tak mau dicari.
Mungkin memang betulan mencari. Karna saya menemukan satu suratnya terselip di bawah kusen jendela. Surat yang saya baca sambil senyum kegirangan.
Mungkin ia betulan marah. Atau memutuskan menyerah. Karna saya tak menulis balasan apa-apa untuknya.
Saya mau, tapi terlambat. Sudah tak bisa lagi. 
Jangan tanya seberapa besar saya menyesal. Sebesar jerawat tak berpendidikan yang seenak jidat numpang hidup di dagu saya. Sebesar itu. Tapi tak apa. Menjadi dewasa berarti saya sudah berani mengaku.
Mungkin masih ada kesempatan. Tapi dia tak mau. Dan saya tak berani sebab saya payah. Tak apa. Saya akan menyesal lagi. Dan itu tak apa. Karna saya sudah dewasa. Dan menjadi dewasa itu membosankan. 
Dan saya mungkin akan mati bosan menemukan kenyataan bahwa saya bukan apa-apa dan tak pernah menjadi apa-apa dalam babak kehidupannya. Sebab saya memang bukan apa-apa. 
4 notes · View notes
shabrinana · 6 months
Text
Mengembalikan Semangat
Teruntuk seorang pekerja swasta yang sedang berusaha mengembalikan semangat di hari pertama kerja setelah libur lebaran, berterima kasihlah pada semesta yang menuntunmu menemukan video siang ini.
Sembari membuka Slack yang sedang "ngadat" dan minta di-restart, terdorong untuk buka YouTube dengan keyword "Reset Your Intention". Sayangnyaaa...tidak ada suggested video yang memuaskan.
Tiba-tiba kepikiran mencari keyword "Aida Azlin" yang mana aku tahu channel Youtube-nya sudah tidak ada dan video-video yang dulu sering jadi plester hati ini pun sudah tidak ada :-( Tapi siapa tau ya kan...
Alhamdulillah ternyata siang hari ini aku dipertemukan dengan video "Reflections on Being Uninspired" yang terbit enam tahun lalu. Menariknya lagi, isinya di luar ekspektasi karena Aida menjelaskan tentang perbedaan dirinya ketika masih tinggal di Singapura maupun ketika berkunjung ke belahan dunia lain, versus ketika ia tinggal di Maroko.
youtube
Di Singapura Aida hampir setiap hari keluar rumah, bertemu orang, ikut berbagai kelas yang bisa diikuti dengan mudah, hingga tercermin pada hitungan langkah kakinya. Ketika Aida pindah ke Maroko, ia belum memiliki kehidupan sosial seperti di Singapura sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Di satu sisi, ia bisa menjadi sangat produktif karena waktunya tidak tersita banyak untuk interaksi sosial secara fisik. Di sisi lain, 99% berada di rumah berdampak pada hari-hari yang terasa membosankan dan repetitif.
Kata Aida, well namanya juga hidup. Ada kalanya kita menjalani hari dengan semangat, ada kalanya pula kita merasa "uninspired". Berikut tips dari Aida Azlin yang bisa dilakukan ketika sedang kehilangan semangat dan "mencari inspirasi" untuk datang kembali:
Talk to the husband Sebagai orang yang menjadi satu-satunya "teman" di lingkungan baru, ngobrol apapun itu dengan suami. Mulai dari perasaan hari ini, kepikiran mau ngapain, mau bikin apa, mau masak apa, atau sekadar ranting, aaapapun. Karena dari ngobrol bisa jadi ada celetukan suami yang merupakan ide segar di luar kepala kita yang sedang "banyak kabutnya".
Bersih-bersih, beres-beres. Cleaning is therapeutic, isn't it? Mulai dari nyapu, nyuci, mengembalikan barang ke tempatnya masing-masing, semuanya membutuhkan fisik yang bergerak. Sambil ditemani audio favorit, semoga bersih-bersihnya terasa enjoy dan hati menjadi lebih ringan.
Once you're in the flow, hit your nearest idea dump tools Kira-kira inspirasi bisa kita tunggu untuk datang dengan sendirinya, atau perlu kita jemput? (jadi kaya hidayah ya...) Buat Aida, ketika ia sudah "terpancing" dengan beres-beres atau apapun itu, dengan bismillah ia mulai buka notes dan menulis. Itulah bagaimana inspirasi hadir kembali dalam keseharian.
Kalau dipikir-pikir, aku yang terakhir nulis di Tumblr entah kapan ini juga kaya "kesambet" ya setelah nonton video berdurasi kurang dari tiga menit. Sekarang pukul 12.38 WIB, masih ada setengah hari untuk back on track dan kembali berkarya dari meja kerja. Memang harus diromantisasi, Shab. Udah lama engga, kan?
Sebenarnya video di atas punya makna tersendiri juga buatku, bukan hanya tentang betapa hari ini feeling uninspired ya. Tapi karena insya Allah dalam waktu dekat akan relate dengan apa yang Aida rasakan. Insya Allah optimis nanti bisa menikmati keseharian di manapun itu. Kenapa? Karena sungguh ada banyaaak banget hal produktif dan bermanfaat yang bisa dijelajahi di dunia ini, dengan selalu mengingat "tujuan utama" dan Ia Yang Menciptakan kita.
Bismillah mari kita lanjutkan hari! Oh iya pagi ini senang sekali bisa seduh kopi lagi di rumah pakai Breakfast Blend dari Tanamera, hadiah ulang tahun (hasil request sendiri) dari Saniyah Yusrachmasari a.k.a Sobat Larva 🤍🐛
Tumblr media
5 notes · View notes
desyilmi · 2 years
Text
Ekspektasi
Ekspektasi, nampaknya sudah menjadi makanan sehari-hari manusia. Jika sebagian besar kita makan tiga kali dalam sehari, lebih lagi untuk yang satu ini. Seluruh ruang waktu dalam hidup kita, nampaknya dipenuhi dengan ekspektasi.
Selama hidup, sudah seberapa sering kita tersakiti karenanya? Kecewa, resah, gundah, gulana. Namun, bukankah hidup tidak melulu berputar sesuai orbit kemauan kita? Kalau dipikir-pikir juga, akan terasa membosankan kan jika realita selalu berbanding lurus dengan ekspektasi? Hehe. Kita yang butuh sering-sering latihan untuk merelakan.
Jika yang sering mengecewakan kita adalah manusia, pernah tidak kita berpikir untuk belajar “tidak kecewa” terhadap respon mereka? Respon yang menurut kita tidak sesuai dengan ekspektasi yang sudah dikirim itu. Bagaimanapun, mereka kan manusia juga. Pernah dengar juga bahwa,
Berharap kepada makhluk adalah kecewa yang kita rencanakan sendiri. 
Jadi sebenarnya, respon mereka yang terlalu pahit, atau ekspektasi kita yang terlalu manis sih? Hehe.
So how? Untuk bahagia, apakah kita tak perlu menyediakan ruang ekspektasi dalam hidup? Saya pernah membaca, begini bunyinya: “Bahagia itu perihal ekspektasi. Makin rendah ekspektasimu, makin mudah bahagiamu.” Saya setuju sih, dan itu terbukti dalam kehidupan pribadi. Tapi sebenarnya, ekspektasi tidak boleh selalu disalahkan, kasihan wkwk. Karena...
Bukan tinggi ekspektasi yang membuat kita kecewa, tapi salah tempat menaruh ekspektasi. Maka berharaplah ke Yang Satu saja..
Normal saja bila terkadang realita tak semanis ekspektasi. Namun jika kita tak salah tempat menggantungkan ekspektasi, ketenangan akan tetap dirasa. Rasa syukur dan rajutan sabar yang akan membuat realita semanis ekspektasi kita. 
Kita percaya: Yang didapat mungkin tak sesuai yang kita mau. Tapi inshaa Allah, itu sesuai yang Allah mau.
---------------------------
Jogja, 04/01/2023 | 7:54 WIB
45 notes · View notes
ruangsyindi · 7 months
Text
Tumblr media
Setiap hari dari bangun pagi sampai tidur kembali kemudian berulang lagi sampai tahun berlalu, pernah tidak kita merasakan hidup kita begitu-begitu saja. Tidak ada sesuatu yang terasa berarti, selain hanya lelah atas rutinitas yang dilakukan. Begitu membosankan bahkan hampa. Padahal apa-apa yang kita lakukan, semua mengatasnamakan keinginan dan kebahagian tetapi tetap saja terasa ada yang kurang. Seperti bukan itu yang kita inginkan.
Bisa jadi kita memang harus setiap hari mengecek "alasan" dan "tujuan" dari apa-apa yang kita kerjakan. Bahkan alasan dan tujuan dari mengapa kita hidup, sehingga dengan alasan dan tujuan tersebut kita jadi lebih bisa menjalani kehidupan di dunia yang "lebih hidup" lagi.
Selain menjalani kehidupan dan semua aktivitas di dunia ini untuk tujuan ibadah kepada Allah sebagai seorang hamba, apalagi memangnya alasan yang paling bermakna untuk menjadikan kehidupan kita di dunia jadi lebih hidup? Bahkan bertumpuk-tumpuk impian dan cita-cita tidak akan pernah punya makna jika dijadikan alasan untuk menghidupkan kehidupan di dunia ini. Karena pada akhirnya semua kita akan kembali pulang, tidak mengabadi.
Kita perlu mengakui bahwa betapa sering berambisi untuk meraih ini, menuntaskan itu, mencapai berbagai macam keberhasilan dan kesuksesan, namun kita lupa untuk apa sebenarnya semua yang sudah kita kumpulkan itu. Kita beranggapan bahwa itu adalah kebahagiaan yang kita harapkan. Lalu ketika semua sudah berhasil kita peroleh, tapi kebahagiaan tak kunjung terasa. Selalu ada yang kurang dan ingin terus dikumpulkan.
Karena memang kebahagiaan bukan hanya terletak pada semua pencapaian dunia. Tulisan ini benar-benar ingin mengingatkan diri saya pribadi, khususnya. Untuk hari-hari yang telah terlalui begitu banyak terisi dengan rutinitas berlandaskan "mencapai mimpi" . Meski lelah tapi tetap berusaha dinikmati. Tapi saya masih sering lupa, memangnya untuk apa semua ambisi yang berusaha dinikmati itu? Berbagai karya yang saya hasilkan, buat apa semua itu? Apakah hanya sebatas untuk menyalurkan hobi? Atau paling parah untuk memenuhi kepuasan semata. Sejauh ini, apakah karya dan semua mimpi itu sudah sangat bisa menjadikan hidup saya terasa lebih hidup?
Sebagai seorang hamba, saya masih sering lupa untuk menjadikan Allah dan beribadah kepada-Nya sebagai alasan-alasan untuk berambisi. Agar semakin banyak stok bekal untuk kehidupan di akhirat nanti, maka dengan memperbanyak karya yang bermanfaat adalah salah satu caranya. Sebagaimana kita pasti kembali kepada-Nya, maka mengembalikan semua alasan juga untuk-Nya adalah sebuah keharusan.
Semoga tulisan ini juga dibuat atas alasan bagian dari beribadah kepada-Nya, menjadi jalan alarm bagi diri sendiri agar selalu berupaya menjadikan Allah sebagai satu-satunya alasan untuk semua yang dilakukan. Semoga kebermanfaatannya sampai pada kalian, juga.. Aamiin
Kamis, 3 Ramadhan 1445 H / 14 Maret 2024
4 notes · View notes
ceritasiolaa · 7 months
Text
Semoga Ramadhan Tahun Ini…
Sebelum malam awal Ramadhan, aku mendengarkan salah satu kajian dari kelas temani hijrah.
Tema kelas saat itu adalah Unlocking His Words, Unveiling Our Hearts.
Kata-kataNya yang dimaksud dalam tema tersebut adalah, firman Allah; Al-Qur’an.
Pertanyaan, “Bagaimana kita memandang Al-Qur’an hari ini?” menjadi pembuka kajian kemarin. Membuatku terlintas berpikir bahwa Al-Qur’an adalah penakluk ketenangan hati. Jawaban setiap audiens berbeda-beda, ada yang memandang bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk, pedoman kehidupan, mukjizat Rasulullah, kitab suci umat islam, dsb. Tidak ada jawaban benar atau salah, namun bagaimana kita memandang Al-Qur’an itulah yang menentukan bagaimana hubungan kita dengan Al-Qur’an. Jangan sampai kita memandang Al-Qur’an sebagai sebuah lembaran-lembaran yang membosankan atau bahkan memandangnya sebagai kitab pengusir jin.
Sebuah reminder yang paling aku highlight dari Ibnu Umar ra, berkata bahwa Rasulullah SAW Bersabda: “Tidak diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali terhadap dua orang: Orang yang dikaruniai Allah (kemampuan membaca/menghafal Alquran). Lalu ia membacanya malam dan siang hari, dan orang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia menginfakkannya pada malam dan siang hari.”  Begitu mulianya orang-orang yang belajar, menghafal, mengamalkan dan mengajarkannya.
Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan yang berbeda untukku, karena saat ini aku sudah menikah. Target atau to do list yang akan dilakukan tidak jauh berbeda dari Ramadhan sebelumnya. Ingin lebih dekat lagi dengan Al-Qur’an, mengikuti kegiatan kemuslimahan, tetap berdakwah sesuai kemampuan yang pastinya dari semua ini mengharapkan Ridho Allah SWT.
Dari kajian bareng temani hijrah kemarin, aku semakin ingin mengenal lebih dalam lagi, lagi, dan lagi dengan Al-Qur’an. Ternyata ilmu yang sudah dipelajari tidak pernah ada kata cukupnya, semakin hari semakin terasa kurang ilmu yang dimiliki.
Semangat untuk Ramadhan tahun ini, semoga harapan-harapan di Ramadhan ini dapat terlaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Karena kita tak akan tahu, dapatkah kita bertemu Ramadhan selanjutnya?
3 notes · View notes
ariniaris · 8 months
Text
Rasanya lelah...
Setiap kali mencoba sesuatu semesta selalu menolak. Membuat hidup terlihat seperti lelucon, menyadari betapa tidak beruntungnya diri dikala semua orang selalu dipihak keberuntungan.
Mau mati saja...
Tapi ingat ucapan maut, jangan main-main denganku. Di coba takutnya bukan surga. Jadi, kembali seperti biasa, ke kehidupan yang paling membosankan.
Bangun tidur, kerja, pulang, tidur, kerja, pulang, nyenengin keluarga. Padahal sendirinya hancur, tapi tetap harus hidup.
Kadang pertanyaanku melangit, namun jawaban tak pernah sampai ke tanah. Selalu menggantung seolah memang tidak ada jawaban atas semuanya.
Ah... semesta menyebalkan, bahkan yang ku sangka berhasil di tahun ini, terlihat seperti lelucon.
5 notes · View notes
catatancr · 8 months
Text
PULANG
Tumblr media
Pulang ke kampung halaman adalah moment yang paling ku rindukan.
Rasa rindu itu muncul begitu saja, ketika diri ini sudah terbiasa dengan istilah "merantau".
Terkadang terbesit dalam hati bahwa bekerja dan pulang ke kampung halaman adalah suatu hal yang begitu membosankan.
Namun jika kita menoleh ke belakang, bahwa di kampung halamanlah kita menemukan moment yang begitu berharga, yaitu moment bertemu keluarga dan teman lama kita. Merekalah yang menemani kita tumbuh dan berkembang serta menghabiskan masa kecil bersama mereka.
Foto di atas ku ambil dari hasil tangkap layar drama korea yang berjudul "Welcome to Samdal-ri".
Drama yang menggambarkan bagaimana rasanya pulang dan bertemu dengan orang lama bukanlah suatu hal yang membosankan, melainkan hal yang paling berkesan dan penuh pelajaran di dalam kehidupan yang singkat ini.
Jadi, yang saat ini sedang merantau, jangan lupa pulang ke kampung halaman yaah😁
Pasti ada seseorang yang sedang menunggu kepulanganmu di kampung halaman tercinta😚🤗
Bogor, 31 Januari 2024 | 18.45 WIB
5 notes · View notes