hellopersimmonpie
hellopersimmonpie
Hello!
3K posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
hellopersimmonpie · 3 days ago
Text
Lagi ngeriset response-response viewers di media sosial kemudian mengelompokkan mereka dalam rentang umur tertentu jadi bisa baca pattern masalah-masalah manusia sesuai umurnya. Meskipun nggak bisa dipukul rata banget ya wkwkwk.
Ini yang bikin gue paham kenapa komunikasi w sama gen Z kadang ada gapnya. Bukan perkara akses media sosial. Lebih ke mereka belum mengalami apa yang gue alami dan gue sendiri tidak mendewasa dengan cara mereka mendewasa.
Yang gue suka dari gen z adalah mereka beneran bisa ngobrolin kebutuhan mereka. Meskipun agak nyebelin karena untuk hal-hal simple yang sebenernya bisa nanya ke orang malah milih nanya menfess ~XD
Pernah gue ngobrol sama mereka tentang gimana mereka menyelesaikan konflik sama temen atau keluarga. Sebagai milenial, kita mungkin sudah mengalami konflik yang sampe beneran ngebuka banyak layer dari diri kita buat nyari clarity sama mengurai trauma. Gen Z? Mereka punya lebih banyak akses dan awareness. Tapi di usia 20 an, ketimbang membuka layer-layer trauma, fase mereka masih berusaha menemukan kestabilan hidup. Nyari kerja, adjusting lifestyle, nyari role model. Kalaupun pacaran ya banyakan konfliknya masih ringan-ringan aja. Kalaupun punya trauma sama orang tua, kapasitas mentalnya belum cukup untuk mengurai itu.
Baru mulai ada yang ke arah sana mungkin di gen Z usia 24 tahun ke atas.
Gara-gara ini, gue yang awalnya selalu intense dan serius jadi belajar lebih santai ngobrol. Lebih belajar ga bawa semua hal ke teori-teori berat.
Contoh?
Kadang ada anak-anak bimbingan atau anak studio yang "avoidant" kemudian mulai dikaitkan dengan inner child bla bla bla. Tapi setelah ditelisik masalahnya bukan inner child atau trauma. Emang belum terlatih berkomunikasi langsung aja. Belum terlatih ngadepin masalah juga.
Jadi keinget temen gue ngomong:
"Nggak semua hal arahnya ke patologis atau disorder. Kadang kebingungan itu normal, kegugupan itu normal. Jadi ketimbang diarahin ke personal ya coba bikin struktur yang memfasilitasi mereka melatih komunikasi dengan baik"
Memang keluarga tidak cemara yang membuat anak-anak jadi kesulitan di kehidupan sosialnya tuh ada. Tapi tidak semuanya seperti itu wkwkwk.
Ada juga pola yang gue tangkep di anak-anak yang biasa juara kelas pas SMA. Biasanya pas mereka jadi maba, mereka akan menjadi role model dan memimpin temen-temennya. Gue kadang tergelitik banget lihat ini. Kadang kalo anak-anak ini merasa bertanggung jawab atas semua kondisi kelas, gue bilang ke mereka:
"Ga harus kamu. Bukan tanggung jawab kamu. Gapapa belajar rajin. Tapi kamu ga harus jadi role model. Kecuali kalo kamu lagi jadi Project Manager, task yang nggak selesai itu memang tanggung jawab kamu. Tapi kamu ga harus jadi PM all the time. You are humanbeing too"
Ada orang-orang yang hidupnya jadi merasa bertanggung jawab sama semua hal karena lingkungan sosial membiasakan itu. Padahal manusia yang sehat tuh selain perlu belajar konsep compassion alias welas asih juga perlu belajar boundary alias batas dan cara menempatkan diri. Masalah kayak gini tuh sebenernya khas usia belasan dan 20 an. Tapi kadang kebawa sampai 30 - 40 an kalo ga nemu orang yang nyuruh dia stop bawa tanggung jawab kemana-mana.
28 notes · View notes
hellopersimmonpie · 3 days ago
Text
Belakangan ini ketimbang self development, exposure berita malah lebih banyak ke kebijakan pemerintah dan kondisi angkatan kerja yang baru.
Gue dulu habis lulus langsung dapet kerja. Awalnya sempet ngira semua bakal kayak gitu. Ternyata enggak.
Ngelihatin temen di layoff dan banyak OpenToWork di LinkedIn ternyata anak-anak yang lulus tahun lalu ngebuat gue sedih. Gue nggak lagi pesimis cuman yhaaa pengen marah aja sama pemerintah.
Ya Allah.....
Waktu kuliah gue mikir kalo orang yang ngomentarin kebijakan pemerintah tuh sok woke banget. Sekarang? Tunjangan DPR yang udah banyak banget malah naik 3 juta per hari. MBG ga jelas banget arahnya. Kementerian Dikdasmen bagi-bagi TV sembarangan. Belum lagi wamen sama komisaris BUMN yang enggak jelas jobdesc dan requirementnya. Gaji mereka berapa coba? Ga mungkin UMR juga kan?
Duit dihambur-hamburin buat hal kayak gitu sementara yang beneran perlu diurus malah ga diurus tuh gimana sih? Benerin kayak gitu mulai darimana sih? Masak anak cucu gue nanti kudu nanggung rusaknya?
27 notes · View notes
hellopersimmonpie · 17 days ago
Text
Belum menikah sih 🤣 tapiii menghadapi masalah bersama orang yang mau duduk dengerin kita sambil nyari solusi bareng-bareng tuh jauh lebih menenangkan ketimbang sendirian 😂
Tapiiii sendirian itu lebih baik dibanding harus menghadapi mas-mas yang jiwanya kayak anak kecil 😂 insecure, ga punya empati, ga bisa dengerin orang..... that's a nightmare.
Esensi menikah
Sebenarnya esensi menikah itu seperti apa? Apakah memang beban hidup terasa lebih ringan karena dibagi berdua? Apakah kekesalan kemalingan jadi berkurang karena dibagi juga? Apakah semuanya terasa "mudah" karena dijalani berdua?
Kalau memang (hampir semua) menjadi mudah, lalu kenapa disebut setengah agama? Bukan kah solat 5 waktu saja masih terasa berat bagi sebagian orang? kurban juga masih berat.
Lalu kenapa untuk perkara menikah dikaitkan dengan "hidup lebih ringan" ada yang membersamai? Apakah dengan menikah lantas tidak ada masalah hidup? Klise sekali.
Kalau kemalingan, ya kesel, kesel aja, terlepas ada pasangan atau tidak. Cucian banyak ya makin banyak karena berdua. Beli makan jadi dobel pengeluaran. Itu realita. Bukan segala-gala jadi indah dan manis macam gula.
3 Agustus 2025
89 notes · View notes
hellopersimmonpie · 26 days ago
Text
Di usia yang hampir menginjak kepala orang ini, gue belajar bahwa mencintai diri sendiri tuh sangat jauh dari healing-healing estetik. Mencintai diri sendiri adalah berusaha hidup dengan baik, berani mengakui keburukan diri dan berani menghadapi masalah-masalah yang dulu kita hindari
:)
Padahal film ini dulu dipake buat iklan tropicana slim. Sekarang malah kerasa lebih jauh dari itu.
Kalo pikiran kamu sendiri aja belum beres, gimana kamu bisa hadir untuk orang lain?
Sore - Isteri dari Masa Depan
Postingan ini lumayan late post sih. Kayaknya udah dua minggu lalu gue nonton film Sore, Isteri dari Masa Depan dan masih kebawa hangatnya. Baru kali ini gue nonton film Indonesia yang kursinya penuh dan habis scene ending, para penonton berdiri dan tepuk tangan.
Film ini dibagi menjadi tiga segment Segmen Jonathan, segmen Sore, dan segmen waktu. Gue lupa urutan detail tiap segmen tapi gue nggak pernah lupa rasa capeknya ngelihat sore masuk labirin waktu. Mengulang kejadian berkali-kali. Mencoba skenario demi skenario agar Jo bisa hidup dengan baik. Sampai gue awalnya bingung. Ini tuh cinta atau obsesi sih?
Ada banyak emosi yang di permukaan terlihat serupa tapi akar rasanya beda. Sore tidak terobsesi mengubah Jonathan. Ia sedang berduka. Dan duka yang tidak tertampung sering kali mengeras menjadi rasa bersalah.
Film ini menjadi menarik karena duka tidak hanya dilukiskan lewat tangisan. Tapi lewat fantasi orang yang benar-benar sedang kehilangan. Penuh upaya, penuh perulangan, penuh logika yang tidak masuk akal bagi dunia luar tapi sangat nyata di kepala orang yang sedang berduka. Dan dari setiap upaya Sore inilah kita masuk ke lapisan lain dari hubungan antar manusia yaitu:
Kesiapan untuk mencintai dan menerima cinta.
Karakter Sore dan Jonathan terlihat sangat kontras di film ini. Sore sangat hadir untuk Jonathan. Sementara Jonathan bahkan tidak bisa hadir untuk dirinya sendiri. Setiap nemu masalah, alih-alih menyelesaikan malah lari ke kerja, ke alkohol, ke rokok. Masalah hidup Jonathan di film ini tuh bukan cuma soal gaya hidupnya yang buruk. Tapi keberanian dia untuk duduk dan mengupas semua masalah hidupnya tuh hampir nggak ada. Ini yang membuat cinta mereka terasa timpang.
Cinta Sore untuk Jonathan adalah cinta yang hadir dalam versi paling repot. Cinta yang bertahan di hadapan seseorang yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya dicintai. Yang setiap hari hidup dengan cara menyakiti. Entah menyakiti dirinya sendiri ataupun menyakiti orang lain. Di titik ini hubungan Sore dan Jo sudah mendekati hubungan yang toxic. Untungnya di bagian ketiga film ada satu segmen khusus yang membahas tentang waktu.
Saat Sore menghilang, kita mungkin mengira dia dihukum oleh waktu. Tapi menurut gue, ada tafsir lain. Ada satu elemen cinta yang sering kita lupakan yaitu ruang.
Waktu memisahkan mereka bukan untuk menyakiti. Tapi untuk memberi Jonathan ruang. Untuk melihat, berpikir, dan mungkin… mulai menumbuhkan keberanian yang dulu tak pernah ia miliki.
Yang membedakan antara obsesi dan cinta yang bertahan bukan cuma niatnya. Tapi ruang yang diciptakan. Ruang untuk bernapas. Ruang untuk berubah. Ruang untuk menyadari sesuatu tanpa ditekan.
Sore mencintai Jonathan dengan cara hadir. Tapi waktu membantu mereka berdua dengan cara menjauhkan. Dan kadang, kita perlu keduanya.
Karena cinta bukan hanya tentang tetap bersama. Tapi juga tentang memberi seseorang kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Tanpa kita sebagai pengatur, tanpa tekanan untuk segera “pulih”, tanpa ilusi bahwa cinta bisa menggantikan kewajiban seseorang untuk membenahi hidupnya sendiri.
Ada cinta yang bertahan. Ada cinta yang melepas. Dan ada cinta yang diperkenalkan oleh waktu kepada Sore dan Jonathan. Waktu yang bercanda memaksa Sore berputar dalam labirin waktu demi memberikan pemahaman bahwa cinta yang sehat hanya bisa tumbuh dari dua manusia yang tahu cara mencintai dirinya sendiri.
99 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
Everything arrives,
and quietly, everything leaves.
People come close,
and one day, they may grow distant—
not out of harm,
but because everything in this life moves.
Even the version of you
who once burned with certainty
may one day become someone quieter,
someone who walks slower,
someone who chooses peace.
What remains
is not what was loudest,
not what burned the brightest,
not even what was built the biggest.
What remains
is what you chose to tend to.
The gentleness you returned to—daily.
The forgiveness you offered—again and again.
The small courage to stay kind
when it would’ve been easier to turn away.
It’s not intensity that lasts.
It’s the things you cared for,
even when no one was watching.
A heart that stays soft.
A gaze that still sees beauty.
A soul that keeps choosing
to love with both feet on the ground.
That is what remains.
27 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
I ask about my bias not to appear objective, but to stay accountable to those who do not speak in the dominant rhythm. In many systems—academic, social, economic— knowledge is often shaped by those who speak first, fastest, or loudest. But in the margins of poverty, trauma, or structural exclusion, silence is not absence. It is often a form of survival. That’s why clarity must be ethical. Because when we speak without listening, we risk producing knowledge that erases the very people we claim to understand.
3 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
Berpikir adalah bentuk syukur paling sunyi dari jiwa yang berani bertanya dan akal yang berani memeluk ambiguitas.
66 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
Gue sendiri bikin Sorein Studio karena awalnya pitching novel yang udah gue tulis bertahun-tahun. Tapi pihak penerbit lebih happy ketika gue punya banyak follower di medsos. Diriku sendiri bukan orang yang suka diekspose kehidupan personalnya. Instagram gue aja isinya seputar lab sama mahasiswa doang.
Akhirnya?
Gue nyoba bikin medsos yang bicara tentang stressnya kehidupan dewasa. Udah nggak sekedar promo novel tapi buat mengurai keruwetan hidup orang dewasa biar lebih ringan hhaaa.
Terus gue ga handle studio itu sendiri. Ada temen-temen di belakang gue yang mindsetnya beda banget karena mereka gen Z dan gueee lahir sepuluh tahun sebelum mereka.
Akhirnya biar ga nyampur tulisannya, ada tiktok Sorein Studio buat user gen Z dengan segala sambatnya. Terus ada findwatermelon yang isinya kakak-kakak 30 an yang mulai kalem tapi chaotic juga hidupnya.
Tumblr @soreinstudio buat tulisan versi panjang atau behind the scene. Yakk akhirnya ga fokus promo novel kan. Tapi semoga nanti novelnya bisa di launch pas tiktok udah rame wkwkwk.
13 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
Nulis tentang hidup pasca trauma setelah ngobrol sama temen-temen yang membayangkan:
Apakah setelah inner child gue sembuh, gue bisa punya hubungan yang baik?
Ada konsep yang perlu diluruskan bahwa "menyembuhkan your wounded inner child" itu nggak sama dengan menenangkan anak kecil yang sedang menangis. It is just metaphore.
Yang real terjadi adalah proses learn-unlearn. Iterasi yang terus menerus diperbaiki dengan lembut. Menyadari pola dan belief yang salah lalu belajar mengubahnya dengan tindakan 😆
Dan setelah semua "selesai", hidup kamu ga akan tiba-tiba seperti surga. Tidak ada konsep "selesai" dalam merawat diri karena masa depan pun juga punya tantangan masing-masing yang terus "mendidik" diri kita jika mau.
Sooo....
Nggak harus worry sama masa depan tapi jangan terjebak ke masa lalu untuk memperbaiki hidup. Karena selain punya "backstory" kita juga punya "here and now"
35 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
[Adulting] - Hidup Pasca Trauma
Kehidupan Kita Tidak Pernah Kembali Seperti Dulu. Kita Membangunnya Ulang
Ada dua momen besar dalam hidup gue yang mengubah diri gue menjadi gue yang sekarang. Pertama ketika gue depresi setelah ibu wafat. Kedua adalah ketika gue didiagnosa ADHD. Keduanya seperti penderitaan sunyi yang sulit banget dibagikan. Bukan karena gue nggak punya temen. Tapi karena ada temenpun, jarang yang relate. Mereka menghibur gue banget tapi sunyi tidak hilang.
Depresi ngebuat gue constantly berpikir tentang kematian. Sementara ADHD ngebuat hidup gue terus menerus terasa asing karena mode kerja otaknya beda. ADHD membuat gue selalu kelelahan setiap waktu. Lelah yang sampai secara klinis didiagnosa kelelahan kronis yang tidak sembuh bahkan setelah beristirahat. Gue menjalani ini bertahun-tahun sampai suatu hari gue mengenal macem-macem pendekatan terapi ADHD. Gue menyadari bahwa pendekatan ADHD banyak yang dimulai dengan pendekatan yang menganggap bahwa penderita ADHD itu disfungsional. Maka intervensinya adalah bagaimana biar ADHD ini berfungsi di lingkungan sosial seperti orang normal/neurotypical.
Efeknya apa? We constantly blame ourselves. Ketika kerjaan kami ga achieve target, ketika kami nggak mampu fokus di semua meeting, ketika kami panic attack di lingkungan yang ramai. Sampai suatu ketika, psikiater gue bilang "Neurotypical needs boundaries, so does ADHD". Mungkin ini canon efeknya. Pendekatan terapi bukan lagi tentang bagaimana berfungsi dengan "normal" tapi ya "Let me define my normal". Ternyata ini mengganti self talk gue. Totally.
Dari yang dulunya "kenapa aku nggak bisa multitasking?" ke "To some extent, multitasking hurts me". Dari yang awalnya "aku panik karena besok harus ikut event yang dihadiri 1000 orang" menjadi "Saya khawatir kalau saya nggak mampu handle hari H dengan optimal. Bisa nggak kalo aku dikasih partner jadi aku bisa shift bareng dia?"
Tentu hidup gue nggak berubah sehari dua hari, yang gue ceritain ini tuh pengalaman bertahun-tahun. Ini seperti film dengan ending yang baik.
Tapi apakah setelah momen-momen ini, hidup gue jadi bebas masalah? Tidak.
Hidup gue nggak akan pernah kembali seperti ketika ibu masih ada. Dan setelah gue memahami ADHD dengan baik, bukan berarti semua hal bisa dikompromikan. Gue pelan-pelan sembuh dari kelelahan kronis tapi bukan berarti hidupku bebas memilih banyak hal.
This is part of adulting. Realita yang perlu kita sadari. Bahwa ketika kita mulai “baik-baik saja,”. Hidup tidak langsung pulih seperti semula. Kadang kita sendiri heran, kenapa setelah sembuh pun hidup masih terasa aneh?
Karena trauma itu bukan luka. Ia reruntuhan.
Dan hidup setelah trauma bukan tentang healing lalu kembali normal. Tapi tentang belajar tumbuh di tanah yang tidak lagi sama.
Banyak orang yang selesai menjalani terapi, melewati masa krisis, atau berdamai dengan inner child wound-nya, merasa hidup akan “mulai dari nol.” Tapi nyatanya bukan begitu. Kita tidak mulai dari nol, dan bukan dari minus juga. Kita mulai dari tanah yang berubah bentuk.
Ada pola pikir yang ikut terbentuk saat bertahan hidup. Ada respon tubuh yang tertinggal dari masa krisis. Ada cara pandang terhadap diri sendiri yang terbentuk saat semua terasa rapuh.
Dan itu semua tidak hilang begitu saja saat kita sembuh.
Kita tidak hidup sebagai “versi baru”. Kita hidup sebagai versi yang tumbuh.
Dari reruntuhan, dari kerikil, dari retakan yang sudah diberi ruang untuk kering.
Kadang bentuknya bukan lari, tapi:
Berani beli kasur yang nyaman.
Akhirnya bilang “nggak” tanpa merasa jahat.
Pelan-pelan percaya bahwa minta bantuan itu bukan kelemahan.
Makan enak tanpa merasa harus layak dulu.
Atau sekadar: berani ngantuk tanpa rasa bersalah.
Karena setelah trauma, hidup itu tidak meloncat. Ia berputar.
Kita mengulang rutinitas yang sama seperti biasa. Kita mengulang doa yang sama seperti biasa. Kita mengulang pertanyaan yang sama sepeti biasa:
“Apa aku sudah sembuh?”
Padahal… pertanyaan kita mungkin perlu diganti:
“Apa aku bisa hidup, meski semua tidak kembali seperti semula?”
Dan jawabannya, pelan-pelan, adalah: ya.
You don’t need to become a new person.
You just need a new way to hold yourself.
Bukan “versi lebih kuat,” tapi versi yang cukup lembut untuk nggak kabur saat lelah datang.
Versi yang tahu: Aku boleh tetap berjalan. Meskipun nggak tahu akan sampai di mana.
Karena hidup setelah trauma bukan soal kembali seperti semula. Tapi soal menanam sesuatu di tanah yang baru. Dengan cuaca yang tetap tidak bisa diprediksi. Dengan tubuh yang tetap terus belajar.
83 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
Kenalan yuk sama Sorein Studio!
[Behind The Post] #1 Kolega yang Membawa Rasa Lelah
Gue sebenernya nggak pengen membawa bahasan semacam ini dengan nada berghibah. Tapi gue rasa, kalau kita tidak pernah membahas hal semacam ini, pergi ke kantor yang harusnya nyari rezeki jadi momen traumatis yang melelahkan.
Soo mari kita move on dari mengeluh dengan gaya ghibah dan mulai belajar mengelola konflik dengan baik.
Membangun keberanian di kantor itu bukan perkara sehari - dua hari. Butuh ketelatenan untuk membangun tangga-tangga kecil. Butuh awareness, butuh empati dengan firm.
Ada orang-orang yang bisa kita hadapi dengan diskusi. Ada orang-orang yang lebih butuh dokumentasi.
Sooo here we gooo.
On having Complicated Colleague
14 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
youtube
Ya ampun ada lagu ini versi mbak Seorinaaa :D
4 notes · View notes
hellopersimmonpie · 2 months ago
Text
Let people respect their own choices.
Not everyone takes the brightest road.
Some of us take the quieter one.
The one that doesn’t sparkle,
but holds us gently.
There are no good or bad decisions.
Only the ones we regret,
and the ones we learn to embrace.
Even the hardest path softens
when we walk it with patience.
Not because it gets easier—
but because we stop trying to escape it.
And when we stop asking for permission to belong,
the road becomes ours.
~ Dea, setiap kali pilihan hidupnya dipertanyakan orang lain 🤣
66 notes · View notes
hellopersimmonpie · 3 months ago
Text
Sebelum gue didiagnosa ADHD, gue didiagnosa bipolar disorder. Salah satu gejalanya adalah depresi yang terlihat tiba-tiba datang tanpa penyebab. Lalu diikuti fase-fase hiperaktif yang seperti tidak kenal kata tidur.
Diagnosa ADHD membuat gue punya perspektif yang lebih baik tentang diri sendiri. Sebagian orang dengan ADHD kayak gue sangat butuh ritme yang predictable. Sewaktu gue kecil, jadwal yang dibuat oleh ibu sangat rapi dan tidak banyak bergeser. Ritme ini ngebuat gejala ADHD gue nggak banyak terlihat.
Ketika gue dewasa, gue banyak multitasking, hidup sangat cepat dan dinamis seperti tidak ada ritmenya. Ketiadaan ritme ini ternyata membuat gue constantly fatigue dan ini berkembang jadi chronical fatigue lalu depresi. Ini yang dikira siklus bipolar karena nyatanya setelah lelah gue ilang, gue bisa masuk fase hyperfocus yang gejalanya kayak orang bipolar di fase semangat-semangatnya.
Sekarang setelah gue melakukan pengobatan dan terapi rutin, apakah gue masih mengalami kelelahan kronis?
Masih.
Setiap kali ritme gue bergeser kayak kalo kena long weekend, gue stress. Kebiasaan-kebiasaan baik yang gue bangun sebelumnya jadi rusak lagi. Dan gue kembali bersabar untuk sembuh.
Ada satu hal lagi yang juga baru didiagnosa belakangan. Bahwa gue punya sensory yang jauh lebih aktif dibanding orang biasa.
Jika ini dikombinasikan dengan ADHD, dunia jadi gue berjalan jauh lebih cepat dan jauh lebih berisik dibanding orang neurotypical. Ini yang ngebuat gue jadi memahami kenapa di saat gue lelah, gue jadi tidak nyaman dengan baju bertekstur tertentu, gue jadi nggak nyaman dengan makanan yang ada rasanya. Alhasil gue cuma lontong tanpa lauk dan minum air putih. Gue juga jadi nemu penjelasan kenapa gue kesulitan untuk berbelanja sendiri dengan toko orange wkwkwk.
Lantas bagaimana gue bisa hidup dengan normal?
Pada akhirnya normal gue memang berbeda. Untuk bisa hidup dengan lebih baik, gue memaksakan diri menjadi lambat, tenang dan mindful. Karena dengan memeluk ketenangan dan keheningan, gue nemuin diri sendiri wkwk.
Ini gue cerita apa sih sebenernya? Nggak tahu. Ngalir aja ~XD
Dengan siklus-siklus depresi gue di saat ritme hidup berubah, gue menyadari banget bahwa kata "istiqomah" itu jadi sesuatu yang wah banget. Setiap kali gue merasa lelah dan masuk tanda-tanda depresi, gue doa sama Allah semoga badai ini kalem aja. Semoga setelah badainya lewat, gue bisa balik lagi membangun kebiasaan-kebiasaan baik.
Lalu ketika gue mulai bisa menata barang-barang di kamar gue dengan rapi, hati gue bersyukur banget. Seperti memulai hidup baru. Meskipun hidup barunya udah dimulai berkali-kali ~XD
Kalau dulu gue selalu takut:
"Apakah kebiasaan baik ini bertahan lama? Nanti pasti rusak lagi"
Sekarang self-talk gue udah beda:
"Bismillah. Semoga bisa disiplin memelihara diri biar hidupnya lebih sustain. Semoga kalau kelelahan bisa lebih cepet sembuhnya"
Sekarang gue udah melewati rekor nggak depresi di akhir semester wkwkwk. Meskipun masih serangan panik sampai maag karena banyak kerjaan datang bersamaan. Tapi bouncing back-nya cepet. Dan yang paling menyenangkan adalah gue udah nggak pernah dumb spending. Udah nggak pernah beli barang secara impulsif karena stress.
Gue masih merasakan senangnya ketika gue menghabiskan botol skincare sampai beneran habis. Senengnya menabung di akhir bulan. Senengnya ketika bisa tidur awal waktu.
Semoga bisa hidup dengan baik ya :)
68 notes · View notes
hellopersimmonpie · 4 months ago
Text
youtube
Fix....
Kim Sa-bi fansnya Um Jae Il ~XD
1 note · View note
hellopersimmonpie · 4 months ago
Text
Menurut gue, orang-orang profesional dan bisa kerja harus lebih tegas, bahkan kalau bisa intimidatif, saat kerja bareng orang-orang inkompeten yang ga becus kerjanya.
Pasang sorot mata tajam, muka dingin, tapi tetap berkata-kata yang rasional dan tidak menyerang. Kasih tau mana batasan-batasan yang gak bisa diterima. Buat mereka merasa malu dan sadar akan inkompetensi mereka.
Negara ini udah terlalu rusak gara-gara dipegang orang inkompeten, dari atas hingga bawah. Saatnya yang kompeten agresif masuk dan mengambil kendali.
223 notes · View notes
hellopersimmonpie · 4 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media
Doraemooon 😆
20 notes · View notes