#fiksi.
Explore tagged Tumblr posts
aquariumsirena · 5 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Fiction. (2008, Indonesia) - Mouly Surya
7 notes · View notes
esbatubulet · 2 months ago
Text
Bagaimana mau melawan kerasnya dunia, kalau sama pikiran sendiri saja aku sudah kalah?
32 notes · View notes
andromedanisa · 7 months ago
Text
RUANG KOSONG - Tak pernah tinggal..
bagaimana caranya agar aku bisa menjadi salah satu penghuni di hatimu? kau, ingin aku melakukan apa? kau, ingin aku menjadi seperti apa? akan ku lakukan segala cara agar aku bisa menjadi bagian yang tinggal dan menetap selamanya di hatimu.
sejauh ini, selama apapun aku berjalan beriringan denganmu bersama. rupanya aku berjalan sendiri saja. aku tak pernah benar-benar bisa membersamai langkahmu. aku, bahkan tak pernah paham setiap kali apa yang kamu katakan kepadaku.
kau seperti langit untukku, tinggi dan begitu jauh. sementara aku merasa seperti sumur yang bahkan tak pernah berani untuk sekadar menggapaimu. kamu terlalu indah dan sangat tinggi.
katakan kepadaku bagaimana aku bisa menuju kepadamu. apakah aku harus terus berjalan beriringan bersamamu? atau aku cukup diam ditempatku saja dan hanya melihatmu bersinar tanpa melakukan apapun upaya. kau, ingin aku melakukan apa? perlukah aku berlari sampai dekat tenagaku? atau aku cukup berjalan saja agar semuanya tetap ditempatnya?
mengapa aku merasa berada di ruang kosong ya. aku merasa jatuh cinta sendiri, berupaya sendiri, melakukan yang terbaik sendiri, dan kesepian sendiri. kau seperti sedang menghukumku dengan dalih menjagaku dengan baik. kau membiarkanku sendiri, tanpa bertanya kabarku, bertanya aku ingin apa, bertanya aku mau apa, bertanya kesibukkanku apa saja. kau membiarkanku sendiri, hingga aku merasa sesak sekali.
lalu aku harus bagaimana agar kau melihatku kembali? aku begitu bersedih sebegitu menyakitkan kala ku temukan aku tak menjadi salah satu prioritas untukmu. aku yang seharusnya menjadi orang pertama yang kau bela dan lindungi, rupanya aku menemukanmu memperlakukanku seperti orang lain. apakah ini hukuman untukku? maka katakan padaku.
ruang kosong itu bernama kesepian. ruang kosong itu tak pernah kau tinggali. aku marah, sedih dan tersenyum sendiri. sebegitu bertanya ya kesepian itu. namun kau terus saja mengabaikanku.
ruang kosong itu rupanya kau tak pernah tinggal. dan ku lihat kau menangis menyesali kepergianku yang meninggalkanmu selama-lamanya. haruskah aku juga menangis?
Allaah, tolong aku. tolong jangan uji aku dengan sepi. sedari kecil aku membenci sendirian, sedari kecil aku tak pernah suka dengan sepi. maka Allaah, tolong. jangan uji aku dengan rasa sepi. aku tak menyukainya, aku melalui hari-hatiku dengan kedua kelopak mata yang lelah.
49 notes · View notes
nurunala · 4 months ago
Text
Novel Terbaru: Janji untuk Ayah
Akhirnya, setelah tiga tahun, novel ini selesai dan akan segera terbit.
Tumblr media
Momen kehilangan segalanya, sering kali menjadi momen untuk menemukan diri sendiri.
Setelah kematian ibu, Elang tinggal sebatang kara dan kehilangan alasan untuk hidup.
Hari-harinya berjalan tanpa tujuan hingga datang kabar mengejutkan tentang keberadaan ayah yang tidak pernah ia kenal.
Bermodalkan sebuah alamat, Elang memulai perjalanan tak terduga. Rintangan demi rintangan menghadang, namun tekadnya tak tergoyahkan.
Ia telah berjanji akan menemukan ayahnya.
Kisah petualangan yang mendebarkan sekaligus menghangatkan hati dari penulis novel best-seller Seribu Wajah Ayah.
---------
Kata Mereka, Pembaca Pertama
"Novel ini page turner abis. Alurnya sangat flowly, konfliknya jelas dari A sampai Z, tersusun rapi. Karakter para tokohnya juga balance. Aku paling suka sama Aral dan Lintang, yang mengajarkan bahwa hidup adalah medan petualangan yang sesekali perlu dirayakan. Buku yang unik, keren, mendebarkan, sekaligus menghangatkan hati pembaca. Worth reading and worth buying. Rate: 5/5" - Ahmad (@im.yaannn_)
“Healing fiction ini penuh dengan kritik sosial. Emosinya dapet, rangkaian katanya indah, kental dengan nilai agama. Pembaca bakal dibikin penasaran sama cara Elang menghadapi cobaan yang datang silih berganti. Tapi, seperti yang dibilang sama buku ini: kalau kita fokus sama rasa sakitnya, kita bakalan menderita. Kalau kita fokus sama pembelajarannya, kita bakal bertumbuh.” - Syarif (@menceriakan)
“Novel ini tipis tapi isinya padat banget. Setiap perjalanan ada maknanya. Elang bukan sekedar mencari ayahnya, tapi justru mencari jati dirinya sendiri. Cerita fiksi yang penuh dengan pelajaran hidup, disampaikan dengan sangat halus. A must-read, sih!” - Keiko Siahaan (@keikoas)
"Saya hanyut ke dalam dunia yang diciptakan penulis. Ikut merasakan perjalanan Elang menggunakan motor supra, sampai mendaki gunung. Pesan-pesan inspiratif dan kehangatan hubungan antar tokoh di novel ini precious banget. Buat kamu yang lagi butuh bacaan inspiratif yang mengandung bawang, novel ini salah satu yang terbaik." - Wildan (@welldonemusthofa)
23 notes · View notes
myescape17 · 2 months ago
Text
Ketika kamu percaya bahwa apa yang kamu katakan berulang kali, kini menjadi nyata.
Lalu, mungkinkah harus terus ku sebut nama mu dan membawanya dalam doa supaya nyata?.
Tapi, kamu adalah ketidak mungkinan yang aku memilih untuk tidak memperjuangkannya.
Aku akan bersorak dari sini walaupun kadang aku ingin kamu juga melihatku dan bertukar sapa.
Namun, entahlah mungkin aku hanya sedang kesepian.
#bintang
7 notes · View notes
retorikagatra · 2 months ago
Text
Tumblr media
Ada milyaran kisah cinta yang telah dituliskan Tuhan untuk hamba-Nya, dan cerita cintaku, cerita cintamu—cerita cinta kita—mungkin tak tergolong yang terindah. Namun, memiliki "kamu" dalam narasi hidupku adalah keindahan yang tiada tara.
Teruntuk kamu, yang (nantinya) akan selalu menghiasi sudut-sudut pikiranku, mengisi setiap celah dalam relung hatiku. Terima kasih, ya? Terima kasih karena telah memilihku sebagai Tuan yang bersemayam di hatimu. Ku harap, dalam setiap detik yang kita lewati bersama, aku tidak akan mengecewakanmu atau membiarkan rasa yang kau titipkan sirna tanpa makna. Aku akan berusaha menjaga setiap embun harapan darimu ini agar selamanya amerta.
    
7 notes · View notes
yasmijn · 5 months ago
Text
Terjun bebas (1)
Di umurnya yang hampir 24 tahun, hampir semua keputusan yang Isla ambil didasarkan pada metriks pengambilan keputusan yang rinci dan tegas. Tak terkecuali tentang cinta. Menurutnya, tidak ada sumber daya yang boleh terbuang percuma, termasuk waktu yang akan dihabiskan dalam membangun sebuah hubungan. Jika hubungan itu tidak bisa berlanjut ke jenjang yang lebih serius, maka tidak ada faedahnya untuk dimulai.
Isla punya serenceng syarat. The bare minimum, kalau kata orang. Terlalu ribet, nanti susah nyarinya - itu kata orang lainnya. Practising muslim, nomor satu. Bisa nyambung dan seru kalau diajak ngobrol, nomor dua. Nomor tiga dan seterusnya akan dijawab Isla sesuai mood. Cuma semuanya bisa dirangkum dengan satu kata: sekufu. Isla memutar bola matanya. Cari kandidat yang memenuhi syarat pertama saja susah setengah mati - ternyata kata muslim tidak selalu hadir berdampingan dengan kata 'practising'. Sudah susah-susah ia mencari beasiswa ke luar negeri, berangan bisa cinlok dengan sesama pelajar Indonesia sambil mengejar gelar tambahan - nyatanya ketika sampai di lokasi, demografi suplai dan permintaan saja tidak cocok.
Yasudahlah. Toh ternyata kuliah yang sistemnya kuartalan ini memang tidak memberinya banyak ruang untuk sibuk cari jodoh. Pilihannya cuma dua: lulus tahun pertama atau pulang karena visa tak diperpanjang.
Sampai akhirnya Isla bertemu dengan Johan. Waktu pertama kali berkenalan sambil lalu di perpustakaan, Isla sudah mencoretnya dari shortlist kandidat percintaan. Johan, paling nama panjangnya Johannes. Pasti bukan muslim. Isla menatap sepasang mata sipit Johan dan menghela nafas dalam hati. Bentengnya dobel-dobel.
Lalu tiba-tiba ada ajakan roadtrip ke Selatan Perancis menjelang liburan musim panas. Hanya ada satu slot yang ditawarkan oleh Dana, dan Isla yang tak punya rencana dengan semangat langsung mengajukan diri untuk bergabung. Dua hari sebelum keberangkatan, Isla baru sadar bahwa grup ini adalah grup yang aneh - Dana si cowo Batak, ibunya Dana, dirinya, dan Johan. Isla sendiri baru pernah ngobrol 1-2 kali dengan Dana karena mereka satu apartemen beda lantai, dan Johan yang baru berkenalan tak lebih dari seminggu. Lebih-lebih lagi ketika Isla tersadar bahwa agenda utama mereka roadtrip adalah untuk ziarah Katolik ke Lourdes.
Begitu sampai di lokasi, Isla baru tahu bahwa Johan - meskipun sama-sama Katolik seperti Dana - terlihat sangat antipati dengan ritual dan agama secara umum. Ajakan misa dari Dana dan ibunya ia tolak dengan wajah tidak enak. Isla yang awalnya penasaran ingin hadir ke misa sebagai pengamat, akhirnya menghabiskan waktu satu jam lebih berkeliling kompleks suci sambil mendengarkan Johan berbicara.
Menurutnya, agama itu tidak penting. Ritual itu tak ada artinya. Petinggi-petinggi agama banyak yang busuk dan hanya ingin memperkaya dirinya sendiri. Isla manggut-manggut, teringat film Spotlight yang dulu ia tonton di bioskop. Sambil bertanya-tanya dalam hati, apa saja sih yang dia alami sampai bisa memandang agama seperti itu?
Matahari siang itu berkilau keemasan, dan tiba-tiba Isla merasa bahwa Johan di hadapannya, yang tiba-tiba ikut berpendar terkena sinar matahari, adalah salah satu manusia paling menarik dan penuh tanda tanya yang pernah ia temui. Yang jelas, semua pemikiran Johan tentang agama, pilar nomor 1 penyokong kehidupan, bertolak 180 derajat dengan miliknya. Dan Isla ingin tahu pendapat Johan mengenai beragam topik lainnya. Antitesis dari pemikirannya.
Sepanjang jalan pulang di mobil kembali ke Belanda, Isla tak henti berpikir. Menimbang-nimbang. Dan memutuskan. Bahwa untuk kali ini, ia ingin mencoba dengan seseorang tanpa banyak tanya, tanpa banyak syarat, dan tanpa banyak pikir.
8 notes · View notes
segudangpikiran · 5 months ago
Text
Baca buku fiksi sejarah itu sangat mengasyikkan, tetapi masyarakat awam sering juga mendapatkan pemahaman yang salah dikarenakan buku ini. Saya sering bertemu orang yang mengambil pemahaman sejarah melalui buku fiksi sejarah yang sebetulnya lebih mengarah ke novel. Tentu untuk memahami nilai kesejarahan yang valid dalam sebuah buku fiksi sejarah, harus melalui riset yang mendalam.
Salah satu pendapat seseorang dalam suatu komunitas mengenai buku fiksi sejarah.
8 notes · View notes
amelyaseptiana · 5 months ago
Text
Ruangaksara #226
Elegan
Siapa yang bilang aku melupa?
Aku bahkan masih sangat hafal detailnya.
Hanya saja, kini aku bisa mengingat dengan cara yang lebih elegan dari sebelumnya.
8 notes · View notes
pemintalkata · 1 year ago
Text
Bandung dan Kenangan
Stasiun Bandung hari ini dan 5 tahun yang lalu tidak banyak berubah.
Setelah 5 tahun, akhirnya aku berani menginjakkan kaki di bumi pasundan ini. Bumi yang katanya lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.
Masih pagi saat aku turun dari kereta keberangkatanku. Aku memutuskan untuk cari sarapan dulu sebelum nanti siang check in hotel.
Pilihanku jatuh pada bubur ayam. Ah 5 tahun yang lalu juga sama, sarapan bubur ayam juga saat tiba di Bandung. Bedanya ada yang jemput dan menemani. Sedangkan kali ini harus bisa sendiri.
Tidak ada agenda khusus terkait keberangkatanku ke Bandung kali ini. Hanya kangen saja. Sembari mencoba apakah aku sudah mampu kembali berjalan di Jalan Braga tanpa genggaman tangannya.
Haha, agaknya dari sini kalian sudah tahu bahwa cerita kali ini penuh dengan kepedihan.
Setelah selesai sarapan, aku memutuskan untuk pergi ke Masjid Raya Bandung. Mau menumpang mandi dan duduk-duduk sebelum pukul 12 nanti beranjak untuk ke hotel.
Tidak ada itenerary yang aku siapkan. Karena seperti kataku tadi, perjalananku ke Bandung kali ini hanya sekadar untuk mengenang. Mengenang kenangan yang entah benar-benar harus disimpan atau sebetulnya lebih baik direlakan.
Aku tiba di hotel tempatku menginap tepat pukul satu siang. Aku memutuskan untuk tidur sampai sore datang.
Kalau dibilang tanpa tujuan sama sekali, mungkin kelihatannya aku sedikit berbohong. Karena ada satu tempat yang ingin aku kunjungi meski hanya sebentar. Braga adalah satu-satunya tempat yang ingin aku kunjungi kali ini. Kopi Toko Djawa lebih tepatnya. Tempat yang terlalu mainstream tapi aku selalu kangen tempat yang satu itu.
Siapa lagi yang mengajakku ke sana kalau bukan dia yang sempat hidup di masa lalu? Haha, selalu begitu. Selalu ada satu kenangan yang paling dominan saat selesai dengan suatu hubungan.
Sayangnya, Kopi Toko Djawa memang memiliki tempat tersendiri di hidupku. Bagaimana tidak, dulu di salah satu tempat duduknya, ada aku dan dia yang saling bertukar cerita dengan raut wajah berbinar setelah berbulan-bulan terpisahkan ratusan kilometer jauhnya. Selalu seperti itu setiap bertemu. Lalu bagaimana aku bisa lupa?
Setelah puas menikmati suasana dan kudapannya, aku pun beranjak dari tempat dudukku. Aku keluar dari Kopi Toko Djawa tepat saat gerimis turun. Untunglah aku belum memesan taksi online. Jadi kuputuskan untuk masuk kembali ke dalam sembari menikmati hujan yang membasahi jalanan Braga.
Tidak ada harapan aku akan bertemu dengan laki-laki yang pernah aku panggil "Mas", karena saat ini aku tahu sudah ada perempuan yang ia panggil "Neng" dengan begitu mesranya.
Setelah hujan berhenti, aku segera memesan taksi online. Seharusnya bisa sejak tadi, toh naik taksi, tidak akan kehujanan. Tapi aku masih mau berlama-lama di toko ini, sebelum esok aku kembali ke kotaku.
Aku sampai di kamar hotel dan membantingkan tubuhku ke atas kasur. Bandung mulai dingin. Aku meraih handphone-ku dan melihat deretan instragram story yang silih berganti. Hingga akhirnya aku tiba pada story miliknya. Iya, milik laki-laki pertama dan mungkin terakhir yang mengajakku ke Kopi Toko Djawa.
Aku dan dia memang sama-sama memilih untuk tidak saling unfollow ataupun block. Kami mengakhiri hubungan kami secara benar, jadi tidak ada yang perlu saling menyingkirkan.
Mataku terbelalak saat aku tahu dia menampilkan potret berdua dengan kekasihnya di Kopi Toko Djawa. Haha, semesta tidak merestui aku dan dia berjumpa rupanya.
Tapi setidaknya malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak. Selain bisa menginjakkan kaki lagi ke Bandung, selain karena sudah ke Kopi Toko Djawa, dan selain karena Bandung dingin malam ini, aku tahu satu hal lagi. Iya, ternyata tempat favoritnya masih sama. Masih Kopi Toko Djawa, meski yang ia gandeng berbeda. Semoga perempuan itu tidak pernah tahu bahwa kekasihnya pernah sesering itu mengajak perempuan di masa lalunya ke kedai kopi yang sama.
Dan doaku, semoga perempuan itu tidak bernasib sama dengan aku. Yang pernah diajak ke Kopi Toko Djawa dan dilepaskan di stasiun Bandung dengan derai air mata.
52 notes · View notes
aquariumsirena · 5 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Fiction. (2008, Indonesia) - Mouly Surya
2 notes · View notes
dreamlikepoetica · 5 months ago
Text
sederhana
saat tumbuh dewasa
sebenarnya bahagia itu kecil-kecilan
seperti misalnya
berak tepat waktu saat sudah kebelet
indah rasanya
7 notes · View notes
tulisanmimi · 1 year ago
Text
"Kamu tahu apa kalimat yang paling bullshit untuk kondisi kita saat ini?"
Keheningan menyelinap diantara pembicaraan kami.
"Waktu akan menyembuhkan luka."
"Bukankah itu memang benar Ka?" Jawabku.
"Waktu tidak pernah benar-benar menyelesaikan dan menyembuhkan Din. Kita hanya terbiasa dengan rasa sakitnya sampai waktu berlalu dan tidak merasakannya lagi. Tapi, jika ini tentang impian. Waktu hanya membuatmu terlupa sesaat dan impian itu akan hadir lagi di kemudian hari entah sebagai penyesalan karena kamu ga pernah mencoba dan mengusahakan atau dia akan hadir membawa hikmah terlepas apapun hasilnya."
23 notes · View notes
kayyeshhaa · 20 days ago
Text
Tumblr media
Memori, 3 November 2024
Aku bertemu dengannya pertama kali di sore itu. Tampangnya yang mengesalkan dibalut dengan kaos sablon anime yang terlalu besar di dadanya begitu membekas di benakku. Wajahnya tak beraturan, senyumnya sarkastik, namun kini justru itulah yang kurindukan. Pertemuan kami yang awalnya tak menyenangkan, kini menjadi salah satu hari terindah yang pernah ada—hari di mana aku pertama kali diizinkan Tuhan untuk menatap netranya, mata yang hangat, penuh mimpi, seolah ia bisa menantang dunia dengan sepenuh hati.
Sore itu, angin membawa namanya kepadaku—Sangga. Ia hadir dengan setiap gesturnya yang polos sekaligus sombong, tiap helai rambutnya yang beterbangan karena angin sore itu, bercerita lebih banyak dari kata-katanya yang penuh canda. Seperti senja yang menua di atas langit Bandung, Sangga membuatku jatuh sedikit demi sedikit, tak terduga namun nyata.
Hubungan kami berkembang dengan cara yang halus dan perlahan; tiap pertemuan seolah merajut benang di antara kami, satu per satu, seperti … “satu-satu anak tangga yang tak mungkin kita daki berbalik, hanya terus mendaki ke puncak tertinggi.” Entah kapan, aku sadar aku mulai mengenalnya bukan hanya sebagai Sangga, tapi sebagai bagian dari diriku sendiri, seolah takdir sudah mengikat kami dalam ikatan yang tak bisa kuurai lagi.
Jika aku bisa mengulang waktu—kembali ke sore di tahun 2017 itu—aku akan memeluknya erat, tanpa ragu, dan langsung mengatakan, “Aku mencintaimu. Ayo hidup lebih lama lagi bersamaku.” Aku ingin membisikkan kalimat itu, tak peduli seberapa nyaring suara dunia yang mungkin menghalangi. Seandainya aku bisa, aku ingin mengajaknya lari, menuju dunia mimpi yang tak berujung, dunia di mana hanya ada kami berdua, tanpa takdir yang datang untuk memisahkan. Dunia di mana senyumnya takkan pernah pudar, di mana aku bisa mencintainya tanpa takut hari esok.
Kukira aku punya banyak waktu untuk mencintainya. Kukira pertemuan ini adalah awal yang panjang, persis seperti hujan pertama yang membawa harapan. Tapi ternyata semua itu hanya pengandaian yang fana. Aku sadar kini, bahwa tidak setiap perjalanan bisa kita tempuh tanpa akhirnya—aku tahu ini akan usai, cepat atau lambat. Namun, aku hanya ingin, setidaknya, bisa bersamanya sedikit lebih lama. Aku masih ingin mendengar tawanya yang bisa membangkitkan musim semi di hatiku yang gersang. Aku masih ingin ia menyebut namaku, lagi dan lagi, dengan nada yang hanya dimiliki Sangga.
Aku masih ingin berharap banyak hal yang mungkin takkan pernah terwujud—hanya kenangan kecil yang terus bersenandung dalam hatiku, tentang hari itu, saat aku pertama kali menatapnya dengan rasa yang kini tak lagi bisa kugenggam.
4 notes · View notes
retorikagatra · 2 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media
Kala Karma Menyapa : Karl Madhàve
Pagi yang perlahan membuka selimutnya di kota Bandung, dengan embun yang masih bergantung di dedaunan, seolah-olah menyimpan rahasia alam semesta, meneduhkan hati ribuan orang yang sedang bergejolak. Dingin yang merambat perlahan mengingatkan bahwa hari ini, setiap hari sebelumnya, adalah langkah menuju sesuatu yang belum dimengerti. Namaku, Karl Madhàve—sepintas terdengar janggal dan berat di mulut. Ada sesuatu yang kontras antara bunyi nama itu dengan realitas yang kujalani. Karl Madhàve, nama yang seolah tersesat di antara deretan nama-nama yang lebih akrab di telinga nusantara, tak seperti nama-nama lokal Jawa lain yang menggema dengan filosofi dan sejarah panjang.
Namun, di balik nama yang tampak eksentrik itu, mengalir darah Jawa yang kental dalam nadi-nadiku; tak ada campuran lain. Hanya saja, ayahku, seorang pengagum aristokrasi dan sejarah dunia, terlampau terpesona oleh negeri-negeri Eropa, khususnya Prancis, memberi nama itu dengan penuh kebanggaan. Karl, katanya, diambil dari tokoh-tokoh agung yang ia kagumi—pemikir besar, raja-raja di Eropa yang seolah hidup hanya dalam kepala ayahku. Madhàve, nama yang ia dengar dari kisah Hindu kuno, ia kaitkan dengan seorang pejuang suci dalam kitab Sansekerta, meskipun aku tak pernah menemukan riwayat yang sama. Kombinasi itu, meski terdengar eksotis, tak pernah terasa seperti milikku sendiri. Sudah berkali-kali aku mencari maknanya, di buku tua dan di sudut-sudut internet, namun nama itu tetap sunyi, tanpa pesan yang bisa kupegang.
Tapi apa sebenarnya arti dari sebuah nama? Bagiku, itu tak lebih dari rangkaian suara yang menghiasi identitas. Tak ada yang lebih penting dari kenyataan yang kini terbentang di depanku—Bandung, dengan segala pesonanya. Paris van Java, kota dengan kabut tipis yang membelai lembut di pagi hari, dan senja yang seolah-olah menari di langitnya yang jingga. Aku tiba di sini bukan untuk mencari nafkah sebagai pegawai kantoran, bukan pula sebagai akademisi yang sibuk dengan buku-buku tebal. Aku datang sebagai pengembara, seorang penulis cerita tanpa kata—seorang fotografer. Pekerjaan formal mungkin tak menunggu di ujung jalan, tapi aku percaya lensa kameraku bisa menghidupiku, setidaknya cukup untuk makan dan secangkir kopi hitam di pagi hari. Dan di sinilah aku, berjalan di antara gang-gang sempit dan jalan-jalan penuh sejarah, ditemani oleh lensa kameraku yang tak pernah lelah menyapu pemandangan, mencari sepotong kehidupan yang tersembunyi di balik bisingnya kota ini.
Dalam dunia fotografi, aku bukanlah Karl yang biasa dikenal orang sekelilingku. Di antara komunitas seniman visual Bandung, aku dikenal dengan nama lain—Karma— singkatan dari Karl Madhàve. Sebuah nama yang kupilih sendiri, lahir dari filosofi bahwa apa yang kita tangkap melalui lensa hanyalah pantulan dari apa yang kita bawa dalam diri. Karma, bagiku, bukan hanya nama samaran, tapi juga simbol dari caraku memandang dunia. Setiap jepretan kamera adalah sebuah takdir kecil, yang kuabadikan dalam bingkai, dan kuhadirkan kembali pada dunia dengan perspektif yang telah kuwarnai dengan perasaanku. Nama itu, Karma, terasa lebih cocok—seolah-olah ia mengalir alami, tanpa beban sejarah atau ekspektasi, hanya suara yang sederhana namun sarat makna.
Bandung adalah kanvasku, dan Karma adalah penanya. Setiap sudut jalan Braga yang kulewati menyimpan cerita; bangunan tua yang berdiri kokoh di tengah arus modernisasi ini seakan berbisik padaku. Di antara riuh rendah pejalan kaki yang berlalu-lalang, sibuk dengan dunia mereka. Sama sekali tak peduli pada kehadiranku, namun aku melihat mereka semua— peduli kepada setiap detail yang mereka tinggalkan— tatapan kosong diantara langkah tergesa, tawa kecil dari mereka, atau cahaya yang memantul dari kaca-kaca jendela tua. Aku ingin menangkap mereka semua, bukan hanya sebagai objek visual, tetapi sebagai cerita yang bernafas, yang hidup di setiap celah retak dinding dan di setiap gemuruh redam angin antara persimpangan jalan.
Orang tuaku, meski merestui jalanku, sering bertanya dalam diam di meja makan: kapan anak mereka akan menemukan "pekerjaan sungguhan"? Tapi mereka tak pernah mengerti bahwa bagi seorang seperti aku, seni bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah kehidupan itu sendiri—ini adalah caraku membaca dunia, memahami dan berbicara dengannya. Melalui Karma, aku tak hanya menangkap momen, tapi juga menulis ulang sejarah-sejarah kecil yang mungkin terlupakan. Di jalanan yang ramai ini, aku merasa tak hanya hidup, tapi hadir—seperti halnya embun di pagi hari, tenang namun tak bisa diabaikan.
cr. do not repost or copy paste my ideas.
4 notes · View notes
lilanathania · 11 months ago
Text
Sihir Buku
Ada banyak berkat yang saya rasakan dalam hidup. Salah satu yang paling saya syukuri adalah orang tua yang memperkenalkan dunia imajinasi dan sihir buku sedari dini.
Tumblr media
Salah satu kenangan masa kecil yang paling membekas adalah bagaimana setiap bulan kami pergi ke Gramedia. Di toko buku itu, papa dan mama akan membiarkan saya memilih satu buku favorit untuk dibeli. Bayangkan seorang bocah cilik yang asik menjelajahi rak-rak tinggi dengan jajaran buku dongeng. Bagi saya, 'menara' buku berwarna-warni itu sama menariknya dengan es krim dan permen. Kami selalu menghabiskan waktu berjam-jam di sana, menikmati kebersamaan walau terpisah di lorong kesukaan masing-masing. Saya selalu ndlosor di lantai bagian buku-buku anak, membaca sebanyak mungkin sebelum memilih satu yang layak dibawa pulang. Kala itu, membeli buku sebulan sekali adalah sebuah kemewahan yang sangat dinanti-nanti.
Sedikit dewasa, buku-buku yang saya baca semakin tebal. Dari puluhan halaman bergambar menjadi ratusan lembar penuh tulisan. Dari dongeng di negeri fauna menuju kisah perjalanan penyihir, penunggang naga, dan kisah romantis remaja. Harga buku kesukaan pun semakin tak murah. Berkali-kali saya takut membawa buku yang mahal ke hadapan orang tua saya. Namun, respon mereka selalu sama, "Buat buku, tidak apa-apa!" Pola pikir ini kemudian saya terima sebagai warisan yang sakral. Untuk ilmu pengetahuan, imajinasi, dan wawasan, tidak ada kata mahal.
Suatu ketika di bangku SMA, saya pergi ke mall dengan beberapa teman perempuan. Mereka asik membeli jepit rambut, bando, dan aksesori wanita. Saya hanya melihat-lihat sambil berpikir, sayang ya beli begini kalau jarang dipakai. Tak sabar menunggu mereka, saya bergeser ke toko buku yang berada tak jauh dari situ. Setelah memilih beberapa novel, saya membayar dan kebetulan teman-teman yang sudah selesai dari toko aksesori bergabung di kasir. Salah satu mendekat dan berkata dengan kaget, "Ya ampun! Lila, kamu belanja buku banyak banget! Mahal ya sampai ratusan ribu!"
Memori itu terpatri jelas sekali di benak saya. Betul juga ya? Mau beli jepit kurang dari 20 ribu saja saya sayang. Namun kemudian saya pergi ke toko buku dan menghabiskan uang hampir 10x lipat untuk tiga buah buku :)) Di kala itu saya sadar betul bahwa papa mama telah sukses meracuni anaknya dengan dunia literasi.
Layaknya sebuah kisah cinta, perjalanan saya dengan buku tak selalu berjalan mulus. Usai lulus kuliah, saya merasa sangat jauh dari buku. Saya masih suka menulis dan membaca artikel-artikel pendek, tetapi sangat jarang membaca novel dan karya sastra panjang. Berbagai alasan saya bisikkan ke diri sendiri, kamu sudah bekerja, sekarang kamu perlu membaca report - bukan novel, kamu sibuk aktivitas lain sehingga tak ada waktu. Dari beberapa novel sebulan menjadi satu novel per bulan, lalu beberapa novel per tahun.
Entah mulai kapan, membaca menjadi sesuatu yang hanya bisa dilakukan di waktu-waktu spesial. Saya tak lagi mencari waktu untuk membaca, tapi membaca ketika ada waktu. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun, dan saya selalu kesulitan untuk kembali menumbuhkan rasa cinta tersebut.
Belakangan, saya mencoba menjauhkan diri dari media sosial. Platform ini memunculkan banyak dampak negatif dan menyerap terlalu banyak energi serta emosi (saya membuat tulisan tentang media sosial di sini jika Anda tertarik membaca). Perlahan-lahan, saya memaksa diri membaca buku.
Rasanya ternyata sangat emosional. Saya menemui buku pertama yang membuat saya menangis dalam lima tahun terakhir. Buku pertama yang membuat mata saya pedas karena begadang - terlalu penasaran dengan akhir cerita. Buku pertama yang membuat saya tak sabar membaca seri kedua dan ketiganya. Buku-buku lanjutan dari kisah-kisah masa kecil yang dulu begitu saya cintai. Saya merasa seperti orang yang menemukan kembali cinta pertamanya. Sesuatu yang terasa begitu melegakan, menenangkan, dan menggembirakan. Nyaman.
Saya kemudian juga memahami bahwa rating buku sangatlah penting. Hal ini sangat terasa ketika membaca ulang buku-buku dengan target pembaca dewasa yang dulu saya lahap ketika masih SD atau SMP. Ternyata, buku-buku itu memberikan warna dan makna yang begitu berbeda. Apa yang dulu membingungkan atau terasa begitu abstrak, sekarang dapat saya maknai dengan jelas. Kutipan yang berkata 'You never read the same book twice' memang benar adanya. Membaca karya apik memang terkadang butuh lebih dari sekali agar tak ada inti sari yang terlewat.
Seorang dosen sekaligus sahabat saya pernah berkata, "Membaca itu bukan hobby tapi habbit". Ada masanya membaca memang perlu dibiasakan sebelum lama-lama menjadi suatu hal yang akan kita rindukan ketika tidak dilakukan. Saya begitu bersyukur bahwa orangtua saya memperkenalkan pada dunia sejuta warna ini. Tanpa mereka, tak mungkin saya menjadi seorang pembaca seperti hari ini.
Di dunia yang serba cepat dan instan, membaca adalah salah satu jalan keluar untuk kembali mendapatkan kenikmatan yang meresap secara perlahan. Suaka nyaman untuk melangkah di trotoar kata-kata menuju dunia imajinasi.
7 notes · View notes