#branding diri
Explore tagged Tumblr posts
Text
Komitmen
Photo by Cytonn Photography on Unsplash
Saya tidak tahu apakah pembaca sekalian pernah mengalami kondisi dimana tekanan dalam pekerjaan seakan bertubi-tubi dan kondisi kantor sepertinya sedang tidak baik-baik saja, tetapi opsi untuk meninggalkan pekerjaan menjadi opsi paling terakhir karena kita memiliki "Komitmen" dengan klien atau user atau dengan pekerjaan itu sendiri, melalui tulisan saya kali ini saya ingin sedikit membahas komitmen. Kalau dalam tulisan sebelumnya saya mereview buku tentang marketing, di buku tersebut disebutkan bahwa suatu brand adalah janji, saya ingin mengubah sedikit konteksnya dalam tulisan kali ini, diri kita adalah janji atau komitmen. Mungkin kita pernah mendengar jangan terlalu loyal terhadap perusahaan, loyal lah terhadap pekerjaan kita, disini terlihat ada dua hal yang sepertinya sama, tetapi sebenarnya berbeda, perusahaan adalah tempat bernaung, pekerjaan adalah hasil karya kita, sebagai individu kita bisa terus berpindah tempat, tetapi diri kita inilah komitmen atau janji yang kita tawarkan ke perusahaan tempat kita bernaung ataupun klien atau user kita, sebagai jaminan bahwa pekerjaan kita akan ter-deliver dengan standard yang sudah disepakati (saya tidak bisa bilang standard tinggi, karena kan setiap orang dan perusahaan punya standard yang berbeda).
Berbicara tentang janji atau komitmen ini sendiri, kalau konteksnya adalah diri kita sendiri, sering, berjalannya waktu dan durasi kita bekerja di suatu tempat, membuat janji atau komitmen ini pudar, karena ada banyak pengaruh dari luar yang membuat kita menjadi kurang puas dengan apa yang kita dapatkan dan memudarkan "Komitmen" yang sudah kita tawarkan di waktu awal kita mendapatkan pekerjaan tersebut. Sering setelah berjalan beberapa tahun, karyawan senior iri melihat karyawan yang baru mendapatkan kompensasi yang lebih baik atau fasilitas yang lebih baik atau posisi yang lebih baik, tapi kita sering lupa apakah "Komitmen" yang kita berikan di awal tadi masih kita berikan sesuai perjanjian awal atau tidak? Kalau orang baru join perusahaan pasti semangatnya menggebu-gebu untuk bisa show off segala hal yang kita tawarkan pada saat proses rekrutmen, namun ketika hasil yang kita "Janjikan" tidak terdeliver dengan baik, kita tidak pernah mau terbuka dengan ide baru atau tidak pernah mau belajar, siapapun pemberi kerja kita pasti akan mempertanyakan, dan jangan berharap kita bisa mendapatkan imbalan yang kita inginkan, misal Promosi jabatan, Deal-deal besar ataupun berbagai macam kesempatan yang lainnya.
Sehingga apabila saat ini kita sedang mengalami stuck dalam posisi kita, entah bisnis tidak berjalan dengan baik, karir begini-begini saja, mungkin saat ini kita perlu melakukan refleksi, apakah ada komitmen kita yang belum berhasil terdeliver atau terlaksana dengan sebagaimana mestinya? Karena seperti suatu brand memiliki janji dibelakangnya, diri kita juga memiliki janji atau komitmen yang diharapkan dari orang lain untuk memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang lain, sehingga ketika kita gagal memenuhi komitmen tersebut, orang lain biasanya akan menjadi ragu untuk memberikan hal lain yang lebih besar. Seperti ada kisah mengenai talenta (kalau teman-teman tahu bisa mengikuti saja ya), Alkisah ada seorang saudagar kaya yang ingin menitipkan harta yang dimilikinya ke 3 orang kepercayaannya, karena dia mau pergi ke tempat yang jauh, yang pertama dapat 5 talenta (Talenta disini diceritakan sebagai Mata uang), kedua dapat 2 talenta dan yang ketiga mendapatkan 1 talenta, kemudian si Saudagar pergi. Sekembalinya, si Saudagar mengumpulkan kembali ketiga orang tersebut, yang pertama berhasil memutar uangnya dari 5 menjadi 10, yang kedua berhasil memutar 2 talenta menjadi 4, namun yang terakhir, dengan berbagai alasan, menyalahkan keadaan lah, menyalahkan si tuannya lah, dia mengembalikan talentanya secara utuh sebanyak 1 talenta saja, akhirnya si Saudagar murka terhadap si orang ketiga karena dia malas dan menyianyiakan kesempatan yang diberikan, dan memberikan berbagai macam tanggung jawab yang lebih besar kepada kedua orang sebelumnya. Dari kisah tersebut, kita bisa melihat, bahwa kita tidak bisa menyalahkan keadaan kalau saat ini kita stuck di keadaan yang kurang menyenangkan, jikalau kita stuck, kita harus refleksi, apakah selama ini kita sudah memberikan hasil sesuai dengan komitmen kita ? Jikalau belum, saatnya bagi kita untuk memperbaiki diri kita. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita bersama, semoga Bermanfaat!
#komitmen#renungan#pengembangan diri#tips#kehidupan#janji#branding diri#karir#bisnis#talenta#refleksi
0 notes
Text
Personal Branding: Cara Membangun Citra Diri Profesional
Di dunia yang semakin kompetitif ini, memiliki citra diri yang kuat dan autentik sangat penting untuk meraih kesuksesan, baik dalam karier maupun kehidupan profesional. Inilah yang dikenal dengan istilah personal branding—yaitu upaya untuk membangun dan memelihara citra diri yang positif di mata orang lain. Personal branding bukan hanya tentang bagaimana kamu ingin dilihat oleh orang lain, tetapi…
0 notes
Text
Istri Freelancer
Menekuni hadiah peran sebagai ibu-ibu dharmawanita freelancer selama hampir 9 tahun membuatku sudah terbiasa di kondisi nggak tentu secara finansial.
Mungkin nggak cuma freelancer ya, pengusaha juga demikian. Beda sama yang memang terbiasa dapat gaji bulanan.
Hikmahnya, terus memupuk rasa percaya bahwa rezeki sudah Allah jamin. Apalagi buat kita yang berusaha.
Hikmah kedua, terbiasa dengan gaya hidup yang itu-itu aja. Gini-gini aja. Karena selama gaya hidup kita masih bisa kita kontrol, mau naik ataupun turun insyaAllah nggak akan stress. Kami jarang ada melekat banget sama brand. Sering makan di rumah dan bisa dihitung jari dalam setahun makan fancy atau bahkan belum tentu setahun sekali??
Hikmah ketiga, terbiasa punya goals keuangan. Karena project ga tentu, kita usahain ada goals yang mau dicapai supaya tercapai dulu, sisanya kita bisa adjust lebih kurangnya. Kalau lebih bisa buat beli yang lain, kalau kurang sadar diri kudu nambah waktu dan usaha lagi buat mencapainya. Misal mau naik haji tahun sekian, mau beli mobil, mau renov rumah, nabung sekian juta buat pendidikan anak. Sekalian yang gede biar sadar ga boleh banyak boros.
Hikmah keempat apa ya? Wkwkwk.
Mungkin ada yang mau nambahin?🤣
Oh, meski pendapatan ga tentu, kita terbiasa set nominal spending. Misal sebulan sekian juta yaa buat kebutuhan. Kaya...menggaji diri sendiri dan nominalnya sama terus segitu-segitu aja. Sisanya kemana? Masuk tabungan karena kehidupan freelancer banyak makan tabungan juga hahaha
Semangat gaissss, tugas kita sebagai manusia gampang banget, usaha. Tugas tambahan istri : mendukung suami supaya ga ada pikiran buat cari duit ga halal...
Semoga kita dijauhkan dari kemalasan, kekufuran, kefakiran, dan kekafiran. Amin!
154 notes
·
View notes
Text
Menarik Diri dari Kehidupan
Akhir-akhir ini merasa lebih tenang, memang masih ada gelisahnya tapi tidak secemas sebelumnya. Mulai merasa nyaman dengan tidak banyak berinteraksi dengan gawai, tidak cek sosial media, dan fokus dengan alam pikiran dan diri. Di tengah-tengah arus setiap orang ingin mengenalkan dirinya ke publik dengan berbagai macam branding. Justru mulai merasa nyaman ketika tidak dikenal siapapun. Proses ini memberikan refleksi yang sangat banyak. Bahkan saat tulisan ini ditulisa di jam 2 pagi, hikmah itu masih belum berhenti mengalir rasanya. Di saat arus kehidupan seolah menuntut kita untuk dikenal dengan ini dan itu, di saat yang sama banyak sekali kehidupan yang berjalan di tempat-tempat yang jauh yang tak kita kenal, di desa, di dalam gang, di tumpukan gedung-gedung, di jalanan, dan lain-lain. Orang-orang yang bekerja untuk kehidupannya, tidak dikenal siapapun, tapi hati mereka dicukupkan dengan ketenangan, mereka tidak takut miskin, mereka tidak dikhawatirkan dengan hujan yang deras diperjalanan karena tidak memiliki mobil, tidak bingung dengan AC yang mati karena mereka memiliki rumah untuk berteduh. Hati mereka dilapangkan dengan rasa cukup. Sementara sebagian kita gelisah dengan gaji yang cukup besar, apakah nanti cukup untuk ini dan itu. Bahkan di alam bawah sadar kita, kita dihantui ketakutan akan kemiskinan dan terus merasa kurang.
Di saat kita berpikir bahwa kita harus terus menerus bekerja untuk bisa menumpuk harta, memiliki uang yang cukup, kemudian nanti bisa memiliki lebih banyak kesempatan dan waktu luang. Ada orang-orang yang ditempat jauh dan tidak kita kenal. Di sebuah desa, di dalam kontakan, di pesisir pantai. Mereka yang memilih jalan untuk mengabdikan dirinya, memilih jalan yang tidak ada gegap gempita dan hitungan uang yang bisa membuat mereka kaya raya seperti tujuan yang sedang ingin kita capai. Mereka memilih jalan untuk mengajarkan ayat-ayat Tuhan di surau-surau yang lapuk, mereka membantu orang-orang yang tidak mereka kenal, dan banyak lainnya.
Di saat kita merasa bahwa kita harus sangat keras dengan diri kita sendiri agar kita bisa mencapai mimpi-mimpi, membuktikan diri ke orang lain yang meremehkan, menunjukkan bahwa kita ada dan layak diperhatikan. Kita lupa bahwa akhirnya tidak ada orang yang lembut dengan diri kita, karena satu-satunya orang yang kita harapkan bisa bersikap lembut ternyata sama kerasnya, ialah diri kita sendiri. Hingga akhirnya diri kita pun menjadi orang yang sama kerasnya ke orang lain, menjadi lingkaran setan yang tak berujung.
Kini kita sama-sama dewasa, melalui jalan yang kita pilih sendiri-sendiri. Tapi, apakah kita mau berpikir sejenak pada apa yang sedang kita jalani? Apakah benar tidak ada hal yang harus dikoreksi? Jika jalan ini sangat menggelisahkan, apakah kita mau menjalaninya seumur hidup? Sepenting apakah tujuanmu sehingga di saat ini, bahkan kamu tidak pernah bersikap lembut ke dirimu sendiri? Apakah kamu yakin bakal ada umur untuk sampai ke tujuanmu? Kapan terakhir kamu berwelas asih sama diri sendiri? Orang yang selama ini hidupnya begitu keras.
430 notes
·
View notes
Text
sukses versi siapa?
sekolah yang baik ya nak, supaya nanti kalau udah besar bisa sukses.
kalau kamu kerja lebih keras pasti akan sukses.
Lahir dan tumbuh besar dalam keluarga yang serba pas-pasan, orang-orang di sekelilingku tak henti-hentinya memerintahku untuk berusaha lebih banyak agar kelak aku bisa sukses, katanya mereka.
tapi satu hal yang lupa untuk mereka jelaskan adalah, definsi sukses seperti apa yang harus kucapai?
apakah sukses itu saat aku sudah punya penghasilan sekian M sebulan, dikenal banyak orang, punya kendaraan mewah, rumah bertingkat, jalan-jalan keluar negeri setiap bulan, atau bisa beli barang-barang bermerek?
jika itu semua adalah standar yang harus kumiliki, baru bisa dikatakan kehidupan yang kujalani adalah kehidupan yang berhasil, dengan jujur aku akui..., sampai mati pun, aku mungkin tidak akan mencapai itu semua.
ini bukan tentang sikap pesimis, apalagi merasa terlalu malas untuk berusaha lebih banyak. Tapi dengan berat hati aku mengakui, aku tak terlalu berambisi menginginkan itu semua. juga aku semakin sadar, mau sekeras apa pun kita berusaha, ada banyak hal yang tidak akan mampu kita miliki karena faktor privelege atau keberutungan tiap orang itu berbeda. makanya gak semua orang punya keadaan atau kehidupan yang sama. kalau kata seseorang yang pernah kudengar, hidup ini adil karena tidak adil bagi semua orang.
aku gak terlalu suka belanja, karena merasa gak butuh begitu banyak barang, lalu buat apa punya penghasilan sampai bermilyar-milyar? aku gak terlalu suka berinteraksi dengan orang-orang yang gak aku kenal, lalu buat apa sampai harus terkenal? rumah bertingkat butuh banyak dana di dalamnya: asisten rumah tangga, tukang bersih-bersih, belum lagi buat perbaikannya. lagian buat apa punya rumah besar kalau tetap saja tak mampu melindungi kita dari rasa kesepian? jalan-jalan keluar negeri? hmm aku pengen sih, tapi mikirinnya persiapannya, aku malas ribet deh. lebih enakkan lagi di rumah. punya barang-barang bermerek? kalau ada barang yang lebih terjangkau dengan fungsi yang sama, ngapain beli yang lebih mahal jika menang di nama brand aja?
semakin hari semakin berkurang juga keinginan akan hal duniawi. mungkin karena makin sadar di hidup yang singkat dengan pertanggungjawaban yang panjang ini, ngapain sih numpuk banyak hal yang kelak hanya buat nyusahin aja di akhirat?
sekarang, definsi sukses di dunia yang sedang kuusahakan adalah: hidup tanpa hutang, selalu merasa cukup, hidup independen tanpa tergantung lagi dengan pertolongan orang lain, serta bisa membantu sesama tanpa sempat memikirkan diri sendiri.
hal-hal tersebut belum ada yang kucapai saat ini.
aku masih punya banyak hutang karena ketidakcukupan penghasilan yang didapat untuk menopang kebutuhan hidup yang makin hari makin berusaha dipangkas.
perasaan merasa cukup juga belum mampu diimplementasikan pada banyak hal. Karena di beberapa keadaan, dengan jujur aku akui masih sering muncul perasaan hasad akan nikmat orang lain.
hidup independen tanpa bantuan orang lain juga masih sulit di keadaanku yang sekarang. apalagi bila kaitannya soal uang.
terakhir, masih sering muncul perasaan ragu untuk menolong atau berbuat baik ke orang lain, karena harus mikirin diri sendiri. Dalam artian keinginan untuk berbuat baik dihadapkan dengan realitas keadaan diri sendiri yang juga masih susah.
kalau semua hal tadi bisa kupenuhi, rasanya aku udah nggak pengen apa-apa lagi di dunia ini. tinggal nunggu waktu aja kapan Allah panggil pulang.
kalau sukses versi akhirat kayaknya semua orang khususnya muslim sama aja cita-citanya, yaitu bisa selamat di akhirat dan juga masuk surga. itu udah impian yang umum banget.
tapi yang sulitnya tuh, membicarakan perihal definisi sukses kita dengan milik orang tua. kita bisa aja punya nilai yang berbeda dalam memandang kesuksesan, tapi yang namanya hidup bersama orang lain, kita tentu tidak bisa menghindari ekspetasi-ekspetasi tertentu. macam tentang definisi sukses itu sendiri. apalagi ekspetasi itu datang dari orang-orang yang kita anggap penting.
kita baru dianggap berhasil dalam hidup saat udah punya beberapa hal, dan juga sampai pada beberapa taraf kehidupan. jika kita tak mampu melewatinya, mau setidakpenting apa pun hal-hal tersebut buat diri kita pribadi, tetap saja kita dianggap sebagai orang yang gagal.
miris, karena terkadang kita berjuang sampai mengorbankan banyak hal penting hingga mengorbankan diri kita sendiri hanya untuk sebuah pengakuan untuk dianggap layak sebagai manusia. kita yang hidup di dalamnya, tetapi orang lain yang punya kendali mengatur apa yang baik dan buruk dalam hidup kita.
aku juga selalu berpikir, emang sukses itu penting atau harus ya?
apakah bertahan untuk terus hidup sampai mati itu juga bukan bagian dari sukses?
apakah jadi orang yang biasa-biasa saja itu salah?
jika semua standar sukses banyak orang itu berhasil kita penuhi, lalu setelah itu apa?
apakah hidup memang hanya tentang berpindah-pindah untuk memenuhi satu ekspetasi ke ekspetasi yang lain?
apakah kita gak bisa punya standar kesuksesan bagi diri kita sendiri, yang ingin kita perjuangkan, yang mungkin saja tak istimewa bagi orang lain tapi hal itu amat berharga bagi diri kita sendiri?
kapan ya hidup kendali sepenuhnya ada di tangan kita sendiri?
17 notes
·
View notes
Text
بسْـــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Ternyata euforia membeli baju dan mengenakan baju baru dari salah satu brand yang menjadi incaran kita atau yang kita sukai karena alasan bahan yang berkualitas, harga yang menunjukan kualitas brand tersebut, atau karena ‘brand’ nya sudah mempunyai nama itu hanya sesaat.
Sejatinya senang dan kesedihan itu hanya sementara. Kebanggaan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi itu hanya sementara. Dan yang paling gong nya berbangga perihal duniawi tidak membuat kita bahagia. Bukan bahagia yang abadi. Laa … 🥀
Seketika ada rasa malu pada diri saat melihat tumpukan baju di almari yang tidak sebanding dengan ilmu agama dan pengamalannya yang belum sepadan dengan tumpukan baju di almari. Masih jauh dari istiqomah. 🥀 الله المستعان
بَارَكَ اللّهُ فِيْكُمْ
11 notes
·
View notes
Text
2024
Asli baru bisa punya waktu lagi di hari ke-4 Januari 2025 karena kemiskoman w dengan bibi baru membuatnya pulang dari Selasa-Jumat, meninggalkan w dengan Mama bersama dua bayi 10 minggu yang gabisa ditinggal-tinggal ;~; jadi walaupun udah masuk tahun 2025 mari aku tuliskan sepatah-dua patah tulisan refleksi diri mengenai tahun 2024.
2024 tema besarnya emang hamil dan melahirkan, sih. Diawali dengan testpack positif bulan Maret, USG pertama di bulan April dan mendapatkan berita mengejutkan bahwa kehamilan pertama w adalah kehamilan kembar, lanjut 7 bulan hamil sendirian karena S2-nya Gio baru beres akhir Agustus. Bersyukur banget sih walaupun w hamil kembar yang menurut netizen dan Google biasanya berkali-kali lipat lebih berat, bahkan banyak juga yang harus resign, mengurangi aktivitas signifikan, sampai bedrest total - kehamilan w berjalan dengan alhamdulillah cukup lancar kecuali waktu pendarahan di minggu ke-16.
Sebagai orang yang ngga pernah ke dokter dan jarang ke RS, 2024 isinya adalah hospital visits 🤣 Mulai dari 2x seminggu pas awal, jadi sebulan sekali, terus 2 minggu sekali, terus seminggu sekali pas udah deket HPL - mengunjungi banyak dokter di Bandung, Jakarta, dan BSD, dan akhirnya balik ke Bandung waktu hamil udah masuk 34w karena takut keburu lahiran di BSD 😢 I wanna be home.
Kerjaan-wise, bagi w sekarang masih berada di kondisi limbo karena masih juga belum punya head of investment 😭 terus ya emang ga terlalu fokus juga sama kerjaan karena banyak yang w pikirin terutama tentang kehamilan dan persalinan wkwk maafkan aku kantor.
Tahun ini merasakan betapa beruntungnya w yang kantornya ngasih fasilitas asuransi kesehatan yang tahun polisnya mulai bulan Agustus jadi technically selama hamil dan lahiran w dapetin 2x plafon hhuw zuzur mahal sih perkontrolan dan pervitaminan bumil ini.... terus lahiran yang jadinya sesar pun bisa tercover lumayan dari asuransi kantor - cuma nambah buat bill bayi 1. Bayi 2 aku udah urusin asuransi kantornya jadi bisa di-reimburse. Mayan bu, sembilan juta karena masuk NICU 4 hari :(
W juga jadi banyak reach out ke fellow ibu-ibu hamil dan ibu-ibu in general untuk benchmarking, terutama ke kakak kelas yang punya anak kembar juga karena gimana sih cara navigasi kehidupan yang tidak disangka-sangka ini? Btw alhamdulillah banget dapet banyak bantuan secara finansial dan juga berbagai macam kado buat menyambut bayi-bayi ini hhu makasi ol semoga dibalas Allah dengan rizki berlipat ganda.
Gio pulang awal September, sempet sebulan break dulu aja sambil menemani w hamil, bayi lahir, terus alhamdulillah dia keterima kerja dong di dunia kerja yang lagi sulit ini😭 Memang rizkinya Lumi dan Isla aja hhuh karena jujur salah satu kekhawatiran w dikasih anak kembar adalah mengenai.... biaya. Mungkin ini ya hikmah menikah dan punya anak di umur matang (nikah umur 28 mepet 29 dan melahirkan di umur 30) karena mikirnya tuh jadi jauhhh ke depan, jadi lebih dewasa sih.
Dua bulan terakhir 2024 isinya cuma Isla sama Lumi aja sih. Menggegerkan hidup ya emang punya bayi tuh, apalagi langsung dapet dua. Wkwkkwkw.
Oh iya, di akhir 2024 ini pun akhirnya w bikin TikTok dengan ambisi untuk mendapatkan secondary income dan barang gratisan WQWQ cukup bangga dengan achievement bisa dapet hampir 100k likes dalam durasi sebulan lebih aja🤣 🤣 Udah dapet 3 produk gratisan dituker VT dan MoU endorse nanoinfluencer sama brand ASI booster wkwkwk plis gapapa aku jadi IRT ngurus bayi asal ada ART 2 biji. Tanggal 3 Februari aku balik kerja, sekarang lagi nabung ASIP di freezer mama karena nanti mereka harus minum ASI... mellow deh meninggalkan dua bayi lucu di rumah, semoga aku bisa jadi ibu yang baik walau di jam kerja aku nggak bersama mereka 😭 😭
Emang aku ada ambisi pribadi ingin jadi ibu bekerja sih karena itu yang aku nggak punya. Dulu mamaku sempet kerja pas punya anak tapi cuma tiga tahun doang, dan aku merasa kondisi ini tuh mempengaruhi persepsiku tentang peran perempuan dan laki-laki, dan aku tuh sebenernya orang yang gak pede banget buat apply-apply kerja karena selalu mikir bisa ga ya? Aku mau jadi role model buat anak-anak perempuanku, bahwa kita harus jadi perempuan berdaya!!
Yah pokoknya bismillah aja deh untuk semuanya!! Mohon maaf tulisan 2024 kayak gini aja, ditulis apa adanya tapi emang kalau ditanya 2024 kaya apa w gabisa jawab detil juga sih, it went by in a flash.
17 notes
·
View notes
Text
Ingin Berperan
Banyak hal yang selalu terlintas, dari banyaknya informasi yang kudapat aku menyaring segala hal yang menurutku penting untuk kehidupanku.
Dari itu pula aku menyadari sesuatu.
Dulu, aku pernah berangan untuk menjadi orang terpandang, menonjol, dikagumi, juga dihormati. Tapi hal itu sekarang terlalu rumit untukku, terlalu sombong juga sepertinya, ketika yang kita inginkan hanya sebatas pengakuan dari orang lain. Sebab pada akhirnya banyak hal yang akan tertinggal, memaksakan dan tak memenuhi standar. Rumit bukan ? Tapi ternyata pikiranku lebih rumit lagi…
Karena pada dasarnya ada hal baik dalam diri ini ingin merasa hidup, aku ingin berperan sebab aku mencari makna kebermanfaatanku hidup di dunia ini.
Pada akhirnya aku selalu berharap bahwa apa yang keluar dari diriku adalah hal-hal yang baik. Aku mengusahakan itu untuk diriku sendiri. Aku berusaha mengalih fokuskan energiku pada semua hal yang pulang dalam tujuan kebaikan.
Aku baru tahu.. ternyata banyak peran yang bisa kita lakukan untuk hidup lebih baik.
Hal kecilnya dari pakaian yang kita pakai. Berapa kali dalam setahun kamu membeli pakaian untuk dirimu sendiri? Kamu tahu darimanakah pakaian yang kamu beli? Dan bagaimana mereka meproduksi pakaian tersebut. Aku baru tahu adanya bahanya fast fashion. Mungkin sederhananya yang banyak orang tahu hanya tentang perkara, pencemaran lingkungan, olahan produksi yang terlalu over, sisa bahan yang banyak menjadi limbah, sampah yang tidak bisa didaur instan dan fakta mengerikan lainnya adalah bagaimana fast fashion ini juga lahir dari penjiplakan designer yang dibayar murah atau copy paste dari fashion week, disisi lain memperkerjakan orang secara murah bahkan meperkerjakan anak kecil dari pekerja tanpa dibayar. Dan pekerjaan mereka lebih dari 15-20 jam dalam satu hari. Kamu tahu brand fashion yang ramai di gandrungi Kaya ZARA,UNICLO, H&M, itu 3 besar yang paling mengotori bumi loh .dll belum lagi dampak penggunaan kimia dalam bahannya yang bisa dibuang ke laut dan mencemarkan. Separah itu untuk kehidupan banyak orang, tapi beberapa kita menikmatinya. Dan yang paling parahnya pelaku produksi fast fashion jika tidak masuk targetnya dalam penjualan dia akan memberi kawasan untuk membuang limbahnya, yang mana penguraiannya paling lambat itu 50 tahun. Limbah fashion itu paling besar no 2 didunia. Aku merasa menjadi pelaku kejahatan jika harus membeli barang dari mereka, jadinya pengetahuan ini mengantarkanku juga pada banyak sekali local brand yang layak dibeli, dan kesyukuranku karena tengah menyukai trifhting atau membeli pakaian bekas, ternyata aku sudah mulai berperan baik setidaknya dalam menyadari apa yang aku pakai tidak dari tempat yang mana aku menyakiti banyak orang.
Sekarang masalah skincare. Waktu itu perkara tiktokshop yang ditutup juga mengantarkan aku pada kesadaran bahwa banyak produk skincare, lahir dari brand produksi china. Yang mana sama, mereka juga menggunakan pergerakan yang fast. Selain itu pergerakan mereka yang soft selling dalam branding menggunakan influencers Indonesia dan menjadi brand no 1 favorit Indonesia. Sebagai kaum mendang mending. Pastinya setelah belajar tentang ingredient yang cocok buat kulit sendiri aku bisa memilih skincare yang murah tapi cukup untuk kebutuhan kulit. Karena rasa inginku dalam berperan untuk memajukan ekonomi Indonesia pun aku belajar untuk meninggalkan mereka. Padahal harga cukup jauh dan cukup untuk ditabung hal lainnya. Tapi karena perasaan itu juga aku jadi banyak belajar dan masuk dalam berbagai macam ranah. Aku tahu ternyata ada juga bahaya tentang fast skincare yang memproduksi banyak agar barang lebih murah diedarkan. Selain itu itu juga jadi tau liciknya china buat memperkaya diri di Indonesia dengan menyeludupkan banyak hal dan dengan berbagai caranya. Apalagi kalau ada dari kalian lihat bagaimana mereka memperkerjakan orang dengan tidak manusiawi dan bagaimana mereka menjualkan barang barang yang kamu tahu kalau made in china selalu cepat rusak itu karena pembuatan mereka yang selalu mengutamakan yang penting cepat, dan terjual. Disisi lain juga banyak penjualan terpisah dari bahan bahan yang kita butuhkan membuat kita perlu membeli lebih banyak dengan membuat banyak sekali sampah yang menumpuk jika diteruskan. Dari sana aku tahu aku juga harus berbelanja kebutuhanku dengan baik. Aku tahu aku masih membutuhkannya, aku bisa mengendalikan diriku agar apa yang aku beli juga baik untukku dan berdampak baik pada dampaknya.
Dan ternyata fakta menyedihkan lainnya 78% orang Indonesia tidak peduli Lingkungan. Dari aku yang sedang belajar sedih mendengarnya karena faktanya banyak orang hidup mencari makna dan peran dalam dunia maya tapi tidak memulai untuk berdaya pada hal kecil di sekelilingnya.
Sebenarnya masih panjang dan rumit pikiranku karena banyaknya informasi itu… tapi yang ini dulu yang mau aku sampaikan..
Ketika membahas lingkungan aku juga merenungkan satu hal. Dari pembahsan fiqih dasar utama yang kita sering pelajari adalah Bab taharah, dari sini juga aku merenungkan diri, apakah aku sudah suci dari apa yang aku pakai, apakah aku sudah mengamalkan, dan menjalankan, yah kita selalu dengan kebersihan sebagian dari Iman tapi dalam kenyataanya kita masih selalu abai. Ternyata memang! Iman kita masih kalah jauh dari mereka yang bahkan tidak percaya Tuhan dan mengamalkan juga menjalankan diri memawas diri untuk hidup yang baik untuk diri sendiri bahkan lingkungan.
Kembali lagi pada inginku pada perasaan berperan, ternyata berperan tidak harus menjadi terkenal, aku bisa memulai hal-hal yang berpengaruh besar tanpa harus dikenal banyak orang. Berdampak baik untukku juga sebagian manusia yang tinggal.
Ah udahlah selamat tidur dari kairo
30 notes
·
View notes
Text
Tehdin
Dulu banget, aku terobsesi dipanggil "teteh", karna di rumah, cuma tetehku yang berhak dipanggil "kakak perempuan" tsb, ya karna aku bungsu.
Ya, pas SMA sempet sih dipanggil teteh, ya sama adik kelas Rohis. Tapi kan bukan "branding" yang melekat yah. Terus pas kuliah, gak ada sama sekali. Pas S2 sih paling, dipanggil "mbakdin" sama tim penelitian di Malang.
Lalu di 2021, dalam suatu kelas online yang ku ikuti, iseng lah membranding diri "tehdin". Enak aja gitu dengernya. Itu juga buat membedakan antara Dini ABCD, iya, nama pasaran itu.
Sampai sekarang, jadinya para followers juga manggilnya tehdin wkwkkwk. Iya, si teteh-teteh sunda yang hobi cakcokcakcok goblog kalo dah misuh soal mulyono n the gank.
2 Oktober 2024
13 notes
·
View notes
Text
Iri tanpa Lupa Diri
Memang manusiawi bila terkadang (atau sering?) kita merasa iri. Mungkin orang lain lebih sukses, bahagia, dan punya hidup sempurna. Bagaimana mengelola emosi semacam ini?
Zaman ini memang penuh dengan 'pupuk' yang membuat rasa iri tumbuh subur. Media sosial menunjukkan semua sisi terbaik orang-orang di sekitar kita. Wajah cantik, baju dan sepatu bermerek, liburan impian, pasangan ideal, dsb dsb dsb. Semuanya bertebaran dan menghantui kita pagi-siang-malam. Sulit bagi kita untuk menutup mata dari semua konten itu.
Kesuksesan dan kebahagiaan hidup orang lain sering membuat kita merasa kecil. Merasa ingin juga memiliki semua itu. Saya kira keinginan itu tidak salah. Tentu semua orang punya harapan untuk sesuatu yang lebih baik.
Sayangnya, seringkali kita melampiaskan perasaan itu secara negatif. Ada orang yang iri kemudian memanifestasikan lewat kebencian. Orang tidak salah apa-apa, digosipkan yang tidak benar. Orang tidak melakukan apa-apa, dijutekin tanpa alasan jelas. Rasa iri memang kerap mengubah perilaku. Kadang kita juga suudzon menganggap orang itu hanya bisa sukses karena KKN, lewat jalur belakang, menyuap, atau dugaan-dugaan buruk lain. Lepas dari bagaimana cara mereka mencapai suatu hal, fenomenanya sebenarnya sama: ingin sesuatu yang tidak terjadi dalam hidup kita.
Hal ini kemudian menggerogoti diri sendiri. Mungkin dalam bentuk memaksakan diri membeli barang yang sebetulnya di luar budget. Menggunakan uang secara berlebihan untuk liburan padahal ada kebutuhan lain yang diabaikan. Meminta uang pada orang tua atau sahabat lalu 'lupa' mengembalikan. Bentuk iri yang seperti ini tentu sangat merugikan. Sudah buruk emosinya, lebih buruk lagi dampak jangka panjangnya.
Setiap kali merasa iri, saya mencoba tak lupa diri. Mengawali refleksi dengan bertanya pada diri. Mengapa kamu ingin seperti itu? Bisakah kamu mencapai hal itu? Jika hal itu positif dan bisa dicapai, go for it! Contoh, teman mendapatkan beasiswa studi lanjut di luar negeri. Berarti kita perlu banyak belajar dan mencari tips-tips menulis motivation letter. Sedangkan untuk hal negatif atau di luar jangkauan, berarti tidak perlu dituruti. Contoh, saudara rajin flexing benda-benda branded dengan harga selangit. Buat apa diikuti? Toh banyak benda tidak bermerek yang fungsinya sama.
Dengan mengkategorikan rasa iri ke dalam kutub positif dan negatif, kita menciptakan filter yang aplikatif untuk berbagai terpaan konten di media sosial. Mana yang perlu dan tidak perlu untuk di-iri-kan. Apakah filter ini membuat proses pencernaan rasa iri menjadi lebih mudah? Tentu tidak langsung. Emosi kita jelas masih meronta-ronta minta didengarkan. Bedanya, kali ini kita bisa berteriak balik, "Kalau mau begitu ya usaha lah! Jangan sirik doang!" Setelah itu kita baru bisa memikirkan langkah-langkah riil untuk mencapai apa yang tadinya kita iri-kan :)
Yah, begitulah sehari-hari isi otak dan percakapan saya dengan diri sendiri. Terkadang iri, tapi segera saya atasi sebelum menggerogoti. Yuk sama-sama berjuang memproses emosi ini tanpa lupa diri.
12 notes
·
View notes
Text
Terima kasih.. adakah ini adalah jawapan bagi segala persoalan yang menakluki fikiran ku selama ini? Jika YA, Alhamdulillah. Jika TIDAK, semoga baik-baik saja.
Apabila cinta terbalas, ianya diluar jangkaan kita. Aturan Dia terlalu indah tanpa diduga, tanpa dirintih, tanpa diminta.
Jika Dia berkehendak, siapalah kita.
Tidak ada yang mudah, semuanya perlu lalui liku-liku kehidupan. Dunia ini tempat diuji. Cuma persinggahan sebelum kita lebih jauh menjelajah alam yang kekal abadi.
Cantik. Comel. Simple.
Lumrah seseorang wanita, walaupun ianya tidak mahal, tidak branded tapi sangat bermakna bagi dirinya.
Jangan pernah menghina diri sendiri, jangan pernah meletakkan diri sendiri terlalu bawah dalam hidup. Sayangi diri kita tanpa batasan, kelak pasti ada saja pelangi yang mewarnai.
Permulaan tahun masihi yang baharu, permulaan bulan mulia yang baharu, permulaan langkah yang baharu, permulaan sebuah perhubungan yang baharu.
🌹
#original#cerita#luahan#perasaan#curahanhati#cinta#relationship#comel#cantik#love#kasih#sayang#terima kasih#love quotes#i miss you#memories#mental health#harapan#rindu#penghargaan
4 notes
·
View notes
Text
Pelajaran dari podcast - The Power of Emotional Branding for Your Brands
Mungkin kita bisa melihat di sekitar kita, terkadang ada beberapa merek yang memiliki penggemar berat nya, kapanpun brand tersebut hadir (membuka cabang, mengeluarkan produk baru, dll), produk atau layanannya selalu diserbu oleh pelanggannya, hal itu jugalah yang mendorong saya untuk mendengarkan podcast di platform Inspigo yang berjudul "The Power of Emotional Branding for Your Brands" ini yang dibawakan oleh Irfan "Fanbul" Prabowo ini. Podcastnya sendiri cukup pendek, tidak sampai satu jam tapi dengan ilmu yang padat, terkait dengan Branding yang memantik "Emosi". Saya tidak akan membahas secara lengkap isi podcast-nya, tapi saya akan mengambil beberapa poin yang penting (menurut saya) dan menambahkan beberapa poin dari pandangan saya pribadi, karena menurut saya, Emotional Branding ini sebetulnya bisa diterapkan tidak hanya untuk bisnis atau perusahaan, tetapi bisa juga diterapkan dalam personal branding.
Dalam emotional branding menurut mas Fanbul, sebuah brand wajib memiliki mission statement atau misi yang ingin dicapai, dan ini tidak bisa digunakan untuk menghajar market yang populis, karena tentunya semakin besar market yang diincar, karakter setiap individunyya pasti beragam dan berbeda-beda, sehingga akan lebih efektif pasar yang niche, salah satu brand yang sukses adalah Nike. Nike memberikan dukungan ke atlit NFL, Colin Kaepernick, yang ketika itu "memprotes" peristiwa pembunuhan George Floyd, dengan mendukung atlit tersebut, Nike mendapatkan efek yang luar biasa, ada yang menjadi sangat benci dengan Nike, tapi di satu sisi, komunitas yang merasa terwakilkan oleh semangat Nike dan Colin tersebut, menjadikan Nike dan produknya sebagai identitas diri dan kelompoknya dan dengan menggunakan produk Nike, mereka menyatakan mendukung sebuah pergerakan, Nike sudah menjelma dari sebuah brand, menjadi identitas dari suatu pergerakan.
Misi tersebut juga tidak bisa hanya sebatas tertulis, itu harus benar-benar bisa dijalankan oleh semua bagian dari organisasi dan cara termudah untuk menyampaikan sebuah misi adalah melalui cerita, suatu brand yang bisa bercerita mengenai dirinya dan apa yang ingin dicapai, biasanya akan jauh lebih mudah melekat kepada setiap orang yang melihat brand tersebut, untuk ini saya ingin mengambil cerita dari perusahaan "The Body Shop", kebetulan di koran Kontan edisi Mingguan (11 - 17 Maret 2024), pada artikel tulisan Ekuslie Gustiandi yang berjudul "Hilangnya Roh Pendiri", secara khusus membahas mengenai naik turun bisnis "The Body Shop" atau TBS. Jika hari ini kita berjalan-jalan di pusat perbelanjaan dan kebetulan melihat toko TBS, kita bisa melihat sebuah toko yang "Hijau", tidak hanya karena brand TBS sendiri menggunakan warna hijau dominan, tetapi di setiap sudut toko kita bisa melihat bagaimana ada pesan-pesan tertulis yang memberitahu bahwa TBS demikian serius menjalankan misinya untuk memberikan produk perawaran yang berkelanjutan, dalam hal ini mereka tidak menyediakan kantong plastik, menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan dan juga memberikan opsi pengembalian kemasan produknya yang sudah habis untuk didaur ulang menjadi produk baru, misi mereka untuk menyelamatkan planet bumi ataupun untuk memberikan produk yang berkelanjutan bisa dirasakan oleh pembeli secara langsung ataupun karyawannya. Misi TBS untuk "Cruelty Free" yang etis dan tidak menghancurkan linkungan dan mengeksploitasi manusia tersebut juga sudah berhasil diteruskan ke pemilik barunya dari waktu ke waktu, siapa yang disini tahu bahwa TBS sempat dijual ke L'Oreal dan kemudian sudah beberapa kali berganti kepemilikan?
Dilain pihak, brand yang tidak benar-benar menjiwai misi nya, akan menghancurkan brand itu sendiri, karena dalam dunia yang sudah sangat terkoneksi seperti hari ini, kesalahan kecil, ketidaksinambungan antara apa yang diucapkan dan dilakukan, akan sangat mudah viral dan menyebar, sehingga perlu kesungguh-sungguhan dalam menghidupi misi, dengan misi yang jelas dan sinkron dengan tindakan, para penggunanya akan merasakan keterhubungan dan bahkan bisa menjadikan brand sebagai identitas dirinya, tidak sulit kita melihat contohnya, Apple adalah salah satu brand yang sangat sukses menjadikan dirinya Identitas dari para penggunanya, sampai muncul istilah Fanboy, yang siap melawan siapapun yang menjelekkan brand Apple.
Dalam konteks personal branding, kita bisa mengambil beberapa hal, tentu misi adalah bagian terpentingnya, kita ingin dikenal sebagai persona yang seperti apa? adakah misi sosial yang kita perjuangkan? dan lainnya, dan tentunya harus diikuti dengan tindakan real, kalau kita ingin menyampaikan diri kita bertanggung jawab, tetapi dalam pekerjaan sehari-hari kita sering kabur-kaburan dan mungkin sering tidak mengerjakan tugas, tentu orang tidak akan percaya, sehingga kesungguhan diri untuk menghidupi misi dalam tindakan sehari-hari kita, menjadi sangat penting, karena seperti brand besar, saat para penggunanya percaya, mereka bisa menjadi advokat, begitu juga, ketika rekan kerja atau atasan atau klien kita percaya terhadap diri kita, mereka juga bisa menjadi advokat bagi diri kita di tengah dunia yang semakin terhubung ini. Semoga bermanfaat!
0 notes
Text
Sedang berada dititik dimana buat update di sosmed kaya udah males gitu. Sebenenernya Kontennya ada dan sudah di edit kaya (Foto/video random, kegiatan sehari², quotes dll).
Tapi
keburu mikir pantes ga ya update ini atau kek nya orang lain ga boleh deh liat aku galau, sedih, ovt atau lagi bahagia²nya. Kaya cukup diri sendiri yang tau. Disisi lain kadang kepikiran juga kok bisa ya orang lain sebebas itu mengekspresikan diri di sosmed.
Apa aku terlalu private untuk mereka yang uptodate ?? :"
(Tapi aku paham betul bahwa branding itu perlu).
Apa karena ini aku belum menemukan dan ditemukan dengan jodoh hikssss
9 notes
·
View notes
Text
Mengurangi Dengki
Lalu lintas kehidupan yang serba terbuka di dunia maya akan sangat mudah menjadikan manusia memiliki perasaan dengki.
Di tulisan sebelumnya, aku mengibaratkan orang yang baru hijrah atau puber intelektual selayaknya orang yang baru ikut eskul bela diri, rasanya ingin berkelahi dengan semua orang berbekal ilmu yang ia dapat.
Level selanjutnya, dari merasa yang lebih tahu, saat orang lain tidak sependapat dengan dirinya, secara alamiah akan muncul perasaan dengki dalam hati.
Aktivis dakwah kok menye-menye. Isinya romantisasi dakwah aja.
Ini narsis banget jadi orang, mau dakwah atau branding diri? NPD ya?
Aktivis kok minim literasi. Dakwah itu harus dibangun dari pemahaman yang dalam. Jangan hanya ikut tren.
Aktivis sekarang tidak seperti dulu. Banyak ngeluhnya.
Namanya juga manusia. Akupun pernah merasa seperti itu.
Memang benar, semakin lama kita berkecimpung dalam dakwah, sudah sepantasnya kita dewasa dalam menghadapi dinamika di dalamnya.
Ada sebuah nasihat yang begitu dalam yang dulu pernah kudapatkan :
Boleh jadi perasaan dengki yang kita rasakan, itu muncul karena kurangnya kita mengenal saudara sendiri, kurangnya ilmu dalam menyikapi, yang selalu mengedepankan suuzon di atas husnudzhon. Kita sebagai seorang muslim harus menyadari setiap orang memiliki fase-fasenya dalam bertumbuh. Boleh jadi ia baru mengenal dakwah, membagikan cerita-cerita yang dijalani. Itu lebih mending daripada berbagi kemaksiatan. Soal ilmu, kita ajak orang itu untuk mendalami tanpa perlu merasa lebih tahu. Bukankah adab lebih penting dari ilmu? Soal eksis atau narsis, kita tak pernah tahu isi niat orang. Melabeli NPD itu kelewatan, kita tak punya kapasitas itu memberikan penilaian. Memang menjadi terkenal itu ujian. Kita cukup doakan saja agar ia terhindar dari fitnah. Soal iri dengki, kita perbanyak istigfar terlebih dahulu. Selanjutnya perlu untuk menyediakan ruang-ruang hudznuzon kepada saudara kita. Memang berat tapi bukan berarti tidak bisa.
Dalam proses hijrah, wajar kalau kita masih dihinggapi perasaan atau perilaku buruk di masa lalu. Kuncinya kembali ke kita untuk mau berbenah atau tidak, seminimalnya dengan mengurangi kebiasaan buruk dan menambahnya dengan satu amalan baik yang istiqomah.
Selamat berproses. Jangan malu jadi baik!
Ngawi, 28 Januari 2025 Sedang menasihati diri sendiri
#abamenulis#menyambutkemenangan#mengerikan#seperempadabad#catatankemenangan#pemudaislam#dakwahkampus#ceritabukuaba#monologpemimpin
3 notes
·
View notes
Text
Tulisan Ayah
Bapak saya orangnya emang suka menulis (sepertinya) dan juga sering mengirimkannya ke grup My Family My Team ataupun 2nd room dengan tag saya, kakak, dan adek saya, (tergantung siapa terget pembacanya) sebagai bentuk caranya untuk tetap care dan keep in touch dengan anaknya agar kalau belok, ya antara balik lagi langsung atau besok, gak pernah cuma agar belok ga kejauhan, pasti tujuan akhirnya agar balik lagi, saya yakin.
Setidaknya itu yang saya simpulkan, entah ada maksud lain atau tidak, itulah yang ingin saya simpul dan harapkan. Tapi jujur, kadang saya hanya sekedar scamming atau scanning atau apalah namanya itu, hanya membaca kalimat pertama paragraf awal, tengah, dan akhir, dilanjutkan kirim stiker atau react sebagai lapor sudah baca, atau ya scrol scroll, react :D. Cuma yang akhir ini agak beda,
Bukan isi utama yang saya bahas, tapi lain, tentang ibu yang bersahaja.
Setelah dipikir pikir, walau mungkin beberapa kali sempat jadi ribut ribut di rumah tentang pengelolaan finansial, pada akhirnya Ibu tetap orang yang sederhana.
Ditengah gengsi orang orang di luar sana mengejar barang 'ori' dan tentu 'branded', ibu tanpa ragu tetap memilih apa yang terjangkau dan cukup ia butuhkan.
Ibu jarang atau bahkan ga pernah beli fashion ke Mall ke butik terkenal atau ke distro, Luis Vitton, Zara, Rabbani dan dsb. Atau membeli bahan pangan di Hypermart, Superindo, dsb. Engga, ibu ga pernah punya keinginan muluk yang aneh dan mempersulit diri sendiri, mungkin karena udah kesulitan ngurus 4 orang afk di rumah kali ya.
Ibu lebih memilih ke PGS, ke Beteng, ke temen jahit yang tidak seterkenal butik butik lain atau ke pasar, dan maksimal luwes yang Palur. Tanpa ragu atau bahkan dengan excitement.
Mungkin, ini emang karena ibu tidak dipaparkan dengan lingkungan yang mendorong untuk mengejar rasa gengsi yang berlebihan atau yang tidak diperlukan karena menurutku ibu orangnya suka bersaing atau mengikuti orang orang di sekitarnya. Tapi kalo kenyataan lingkungannya sebenarnya mendorong tapi ibu tetap kekeh, ibu emang luar biasa.
Eh, tapi kayaknya emang kekeh deng, atau? dorongan lingkungannya emang belum cukup adekuat mengintervensi gengsi ibu sampai ke sana. Karena beruntungnya di batas lingkungan terkecilnya ibu punya ayah yang ngirit dan suka membulan bulanankan orang yang beli hoka dan sepatu diatas 1 juta buat lari :)
Dari ayah saya belajar, ungkapan rasa banyak bentuknya, dan dari ibu saya belajar beli ga branded yo gapapa asal tetap masuk nilai dan fungsinya serta didukung pembulanan yang handal
12 notes
·
View notes
Text
Menuju 23 dan hal-hal yang kupelajari darinya:
Memperbaiki hidup selalu dimulai dengan memperbaiki hubungan kepada Allah.
Dulu, aku berpikir dengan bekerja lebih keras, belajar lebih giat, menabung lebih banyak, dan menghabiskan waktu dengan membaca berbagai buku dengan tema yang sama 'bagaimana cara mengubah hidup, bagaimana cara menjadi orang yang sukses, kaya, dll' sudah cukup bagiku untuk mengubah keadaanku saat ini.
Aku memfokuskan diri untuk mempelajari bagaimana seorang manusia bisa mengubah hidupnya. Sayangnya aku lupa, bahwa ikhtiar-ikhtiar untuk bisa mengubah hidup memang sudah menjadi tugas manusia itu sendiri, namun hasil akhir apakah hidup itu akan berubah, hanya Si Pemilik Hidup itu sendiri yang bisa menentukan.
Siapa yang memiliki hidup kita?
Siapa yang berhak mengubahnya?
Siapa yang bisa menentukan apakah hidup kita layak untuk diubah?
Siapa yang mampu membalikkan keadaan kita dalam sekejap?
Kita sendiri sudah tau jawabannya. Namun seringkali kita teralu sombong, menganggap bahwa kita bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan dan campur tangan dari-Nya.
Aku teralu sibuk membuat personal branding yang bagus di media sosial, namun lalai akan ibadahku sendiri yang terbengkalai. Lupa untuk ikut memperbaiki bagaimana citra diriku di hadapan Tuhanku langsung. Sebab apa gunanya prasangka baik manusia kepada kita, tetapi Allah sendiri tak menganggap hal yang sama?
Aku teralu fokus membaca berbagai buku, sedangkan bacaan Al-Qur'anku sendiri bisa dihitung jari.
Aku mengharapkan keadaan yang berubah, tetapi lupa untuk mendekati langsung siapa yang menetapkan takdir hidupku saat ini.
Banyak orang yang semakin umurnya dewasa menjadi lebih alim, atau semakin dekat dengan Allah. Beberapa orang beralasan, 'semakin menua seseorang, maka akan semakin dekat kematian dengannya'. Pernyataan itu benar. Namun aku berpikir berbeda, semakin dewasa seseorang, dan semakin kuat upayanya untuk memperbaiki hubungannya dengan penciptanya, karena dia semakin menyadari bahwa seorang manusia tak bisa apa-apa tanpa adanya pertolongan Allah dalam hidupnya.
Saat ini, ketika lagi menjalani hidup yang serba sulit, dan hati yang tak pernah tenang. Aku tidak lagi seketika melihat apakah usahaku kurang, namun lebih ke, semua kesulitan hidup yang aku hadapi saat ini adalah karena dosa atau kesalahan yang aku lakukan.
Aku berharap aku selalu ingat baik-baik pelajaran ini.
Bahwa jika bingung memperbaiki hidup mulai darimana, hal yang perlu diperbaiki pertama kali dalam hidup kita adalah bagaimana ibadah dan hubungan kita kepada Allah...
16 notes
·
View notes