Text
Menjadi Peneliti
Dua tahun lebih saya mencari peluang S3 dan pekerjaan di luar negeri. DUA TAHUN LEBIH. Menyedihkannya, selama dua tahun itu saya sama sekali tidak pernah mencapai tahap interview. Selalu ditolak, dikabari kalau tidak terpilih, atau dikabari lolos tapi tidak pernah sampai dipanggil wawancara. Apakah saya sedih dan galau? Tentu. Apakah saya menyerah? Tidak pernah.
Kalau dihitung-hitung, saya sudah apply program S3 di lebih dari 20 universitas. Kirim email dan proposal penelitian ke lebih dari 25 professor. Total Apply pekerjaan, lebih dari 30 juga. Dari semua itu, tidak ada satupun yang berhasil.
Tidak ada satu pun dari total sekitar 75 aplikasi.
Let that sink in, please.
Berkali-kali saya merasa stress, bodoh, dan gagal. Seperti memang tidak punya kemampuan untuk meraih masa depan yang saya dambakan. Rasa frustrasi berkepanjangan ini membuat saya sering merasa kehilangan arah.
Walau jadi cengeng, saya tak mau putus asa. Berhenti berusaha adalah mati, dan saya tak mau mati atau stagnan. Memang saya sangat mengamini pepatah yang berkata, 'Don't stop when you're tired. Stop when you're done.'
Puncaknya, beberapa bulan lalu saya merasa sangat terpuruk. Rasanya betul-betul ingin menyerah dan pasrah pada keadaan.
Lalu satu hal aneh terjadi. Saya ingat betul, hari itu saya melihat-lihat lowongan pekerjaan yang disarankan secara otomatis oleh LinkedIn. Kemudian saya Apply ke salah satu universitas swasta di Singapura. Tentu tanpa ekspektasi apapun karena saya sudah sangat terbiasa gagal. Lebih baik tidak berharap ketimbang terlalu kecewa.
Lucunya, tak genap 24 jam, saya mendapatkan email. Professor dari universitas tersebut kontak dan meminta ijazah serta transkrip nilai. Tentu saya excited, tetapi saya redam supaya jangan terlalu bahagia di tahap seawal ini. Keesokan harinya, saya mendapatkan email singkat berikut.
Batin saya sudah berisik sekali. OMG OMG OMG OMG. Interview?? Di universitas level dunia itu?? Saya buru-buru mengecek QS ranking karena tak percaya. Ranking 15!! Saya sungguh tak percaya karena selama ini selalu ditolak ketika melamar di universitas-universitas lain (Eropa, Australia, dan Asia) yang memiliki ranking jaauhhh di bawah universitas ini. Bahkan bermimpi pun saya tak pernah karena merasa terlalu tinggi. Bagaimana bisa saya justru dipanggil di sini?
Singkat cerita, saya mendapat email susulan terkait waktu wawancara, tepat satu minggu setelah saya apply. Sesuatu yang menurut saya sangat wow karena prosesnya begitu cepat dan terasa mudah. Padahal, saya terbiasa menunggu jawaban aplikasi hingga tiga minggu lebih (dan berakhir dengan kegagalan). Kali ini, apakah dewi fortuna memang sedang mampir?
Di hari interview, saya sudah mempersiapkan berbagai jawaban pertanyaan. Tentu saya mencari dahulu di internet, kira-kira pertanyaan macam apa yang akan muncul. Saya pun membuat catatan dan mengingat-ingat beberapa poin tertentu yang saya duga akan ditanyakan. Pokoknya, saya harus siap! Wawancara pertama setelah mencari dan berjuang dua tahun lebih, siapa yang tidak grogi?
Ternyata wawancara berjalan dengan sangat singkat, tak genap 30 menit. Selain dikonfirmasi mengenai kemampuan dan pengalaman, mereka juga terdengar sangat tertarik pada satu hal: mengapa saya mau meninggalkan posisi yang mentereng demi menjadi seorang akademika?
Salah satu profesor pewawancara rupanya dari bidang ilmu bisnis. Dia bertanya dengan heran, "Are you okay to leave your current job? Don't you think it will affect your career in the long run?" Saya justru tersenyum sumringah kemudian mengucapkan terima kasih. Seorang profesor mengkhawatirkan pilihan hidup saya yang ingin menjadi peneliti! Anda mau tahu jawaban saya?
"I really don't mind. I think it's much more important for me to develop as a lecturer and researcher rather than just keeping that job title. It will be such an amazing opportunity to work with the great minds there."
...and I knew that I nailed the interview when all of them smiled ;)
Kalian tahu kapan saya diberi tahu hasilnya? THE VERY NEXT DAY. Not even a full 24 hours after the interview.
Reaksi pertama: diam. Saya mencoba benar-benar meresapi pengalaman ini.
Total hanya 9 hari, sejak saya apply, interview, sampai dikabari diterima. SEMBILAN HARI.
Kalau boleh teriak, saya ingin memekik sekencang-kencangnya, "HOREEE AKU JADI PENELITI!!!" Terima kasih Tuhan :')
Fun fact, waktu pertama kali masuk S1, saya pernah mengikuti semacam tes minat bakat. Waktu itu, saya masih sangat ingin menjadi jurnalis. Ketika melihat hasilnya, saya tertawa tidak percaya. Di urutan pertama: PENELITI. Saya ingat sekali waktu itu berpikir, "Haaa? Tesnya aneh banget! Emang siapa yang suka neliti? Mikir mau jadi peneliti aja ga pernah!"
Mungkin kalau tes itu bisa mengejek, hari ini dia akan ngakak sekencang-kencangnya, "HAHAHA!! I told you so!"
Setelah mendapatkan berita itu, saya menikmati dan meresapinya seorang diri seharian tanpa mengabari siapapun. Saya berdoa, bersyukur, mewek, dan memikirkan berbagai hal yang akan terjadi setelah ini.
Baru di keesokan harinya, saya memberi kabar pada keluarga dan orang-orang terdekat. Membiarkan mereka ikut berbahagia dengan kabar tersebut. Rasanya aneh. Seperti menonton ending film yang tak terduga. Menyenangkan, tapi mengejutkan dan tak wajar. Masih ada begitu banyak pertanyaan yang tersisa. Bagaimana bisa saya malah diterima di universitas yang sangat bagus ini? Padahal bertahun-tahun, saya apply di berbagai universitas lain yang secara ranking sangat jauh di bawahnya. Ketika apply untuk universitas yang ranking 200-300 saja saya sering merasa minder. Tapi kemudian saya diterima di universitas ranking 15? Tuhan terlalu baik :')
Masih penasaran dengan nasib baik tadi, akhirnya saya membaca lebih lanjut tentang school tersebut. Ternyata fakultas itu ranking 4 dunia untuk bidang Communication and Media Studies. Mengalahkan nama-nama besar lain seperti Harvard, Stanford, dan Cambridge. Lebih ngerinya lagi, ternyata profesor yang mewawancarai dan akan menjadi direct supervisor saya adalah dekan fakultas tersebut :'') Saya sampai tidak tahu harus berkata apa :'')
Saya tetiba ingat cerita ini. Mungkin Anda juga sudah pernah baca. Intinya adalah soal bagaimana seseorang tak akan bisa dihargai bila berada di tempat yang salah. Tuhan seakan menunjukkan bahwa selama ini saya masih diasah dan dipersiapkan untuk diangkat ke tempat yang lebih tinggi. Jauuuhh lebih tinggi dari impian dan harapan terliar saya. Matur nuwun Gusti.
Kejadian ini pada akhirnya mengajari saya makna bekerja keras dan berserah. Saya bekerja sekeras mungkin dan mengusahakan segala sesuatu dengan takaran saya sebagai manusia. Namun, sisanya perlu percaya pada apa yang direncanakan Tuhan. Ia memiliki waktu dan cara tersendiri. Memang sering tidak sesuai dengan standar manusia karena Ia melihat segalanya sebagai satu perjalanan hidup yang utuh.
Seandainya saya punya iman yang kuat, tentu tak perlu ada stress dan kekhawatiran berlebih tentang dengan segala sesuatu dalam hidup. Proses penerimaan kerja yang begitu cepat ini seakan menampar keras di pipi. Saya membayangkan Tuhan berkata,
"Hei kamu yang kurang percaya. Dalam waktu 9 hari Aku bisa mengubah seluruh hidupmu. Semudah itu. Buat apa semua risau dan sedihmu itu?"
Dua ayat ini kemudian membuat air mata saya merebak lagi.
Sesakit dan selama apapun, perjuangan kita tak akan sia-sia. Selama kita berusaha dengan cara dan tujuan yang baik, akan tiba waktunya untuk menuai hasil. Terima kasih Tuhan. Ampunilah saya yang kurang percaya ini. Waktu dan rancangan-Mu memang selalu yang terbaik. God is good, all the time.
3 notes
·
View notes
Text
Anthropomorphism
Pernah merasa sayang atau suka pada binatang karena tingkahnya yang konyol? Apalagi ketika mereka mulai bertingkah manja dan menggemaskan seperti bayi yang polos? Itulah antropomorfisme. Kecenderungan kita melekatkan emosi pada spesies atau benda lain yang bukan manusia.
Pada awalnya konsep ini mungkin terkesan sederhana dan tidak melukai siapapun. Saat anak kecil memukul atau menindih hewan peliharaan, orang tua sering berkomentar, "Jangan, adik kalau dipukul kan juga sakit!" Anak-anak kemudian belajar bahwa hewan sama seperti manusia. Mereka kemudian belajar bahwa hewan bisa merasa senang, marah, dan bosan seperti manusia. Sayangnya, ada hal penting yang luput dari proses pembelajaran ini. Manusia dan hewan tidak berpikir dan berproses dengan cara serupa. Pemaksaan untuk melekatkan sifat-sifat manusiawi pada hewan adalah sesuatu yang berbahaya.
Contoh sederhananya, kita sering menilai tingkah tertentu hewan sebagai 'bahagia' atau 'tersenyum', padahal nyatanya mereka sedang marah atau takut. Beberapa contoh yang pernah viral di internet misalnya tentang beluga yang dikira sedang 'bermain' tetapi ternyata marah pada anak-anak (bisa dibaca di sini) atau kungkang yang terlihat imut karena mengangkat tangannya padahal itu merupakan postur defensif (video singkat bisa dilihat di bawah). Mungkin ada banyak contoh lain yang belum saya ketahui, tapi pesannya sama; kita tidak bisa menerapkan standar manusia pada spesies lain.
Banyak orang merasa bisa 'melindungi' dan memberikan hidup yang baik pada hewan-hewan liar dengan standar yang kita terapkan pada hewan peliharaan atau diri sendiri. Padahal, masalahnya tidak sesederhana itu. Setiap hewan memiliki kecerdasan yang berbeda. Mereka berpikir dan berkomunikasi dengan cara unik. Salah satu informasi yang bisa menyadarkan kita adalah bagaimana paus berbicara dengan dialek serta aksen khas.
Paus adalah mamalia laut yang sangat cerdas. Penelitian bertahun-tahun menunjukkan bahwa kelompok paus yang hidup di daerah tertentu berbicara dengan dialek yang sama. Jadi, kita bisa menerka paus ini berasal dari mana berdasarkan caranya bernyanyi. Lebih gilanya lagi, orca atau paus pembunuh bahkan bisa belajar dan meniru bahasa lumba-lumba! Tetapi masih banyak orang yang merasa mereka hanya sekumpulan ikan besar yang sekadar hidup untuk makan dan berenang!? (Saya sisipkan satu video keren mengenai hal ini).
youtube
Bila kita menangkarkan binatang-binatang sosial yang cerdas ini dalam sebuah kolam kecil, bayangkan betapa depresinya mereka. Hewan sepintar ini dikurung dalam ruangan kecil tanpa stimulasi? Bagaimana kalau manusia yang dipaksa hidup dalam satu ruangan kecil seumur hidupnya? Apakah itu yang dimaksud dengan melindungi?
Saya bisa menceritakan berbagai macam hal menakjubkan lain tentang hewan-hewan di sekitar kita. Bukan hanya itu, tanaman pun menyimpan sejuta cerita yang tak kalah mengagumkan. Saya akan beri tahu satu yang paling keren. Tanaman tomat bisa berkomunikasi satu sama lain. Ketika ada beberapa tanaman yang diserang hama, tanaman-tanaman tomat lain di ladang yang sama akan memproduksi zat yang menangkal hama tersebut!? Dan kita manusia menganggap mereka hanya dedaunan yang tak bisa apa-apa!? (salah satu jurnal yang membahas tentang hal ini bisa di baca di sini).
Pengetahuan semacam ini seharusnya membuka mata kita. Makhluk hidup lain, entah hewan maupun tanaman, masing-masing memiliki hidup-kecerdasan-kemampuan yang unik. Walau bagi kita mereka mungkin hanya binatang atau pohon yang remeh, sangat mungkin mereka memiliki kemampuan yang terasa seperti superpower bagi manusia.
Sedikit bergeser sudut pandang, antropomorfisme juga boleh dibilang merupakan salah satu alasan kuat mengapa manusia lebih peduli dengan binatang peliharaan dibandingkan hewan liar. Kita merasa hewan bermata besar, berbulu halus, dan berkelakuan sesuai kemauan adalah jenis peliharaan ideal. Jika binatang ini berlaku 'nakal' atau 'jahat', berarti mereka bukan 'teman' yang baik. Menurut saya pemikiran ini absurd, memang mereka berevolusi untuk hidup berdampingan dengan manusia. Namun, sungguh aneh kalau kita memaksakan seluruh standar manusia kita untuk mereka. Lebih jahatnya lagi, kita hanya peduli pada hewan yang sesuai dengan standar itu. Jika ada hewan buas menakutkan, dibunuh tidak apa-apa. Tetapi kalau ada anjing atau kucing terluka, semua orang berbondong-bondong fundraising. Bukan hanya pada manusia lain, ternyata pada spesies lain pun kita juga rasis (speciesism lebih tepatnya).
Mungkin orang kemudian berargumen, ada juga lho orang yang suka memelihara hewan liar. Kan itu bukti bahwa hewan tidak harus imut? Anda perlu mempertanyakan ulang motif dan pola pikir manusia. Kebanyakan orang yang suka hewan liar cenderung merasa berkuasa atau dominan jika bisa menangkap/membunuh/menjinakkan hewan-hewan tersebut. Jadi, ini adalah upaya menundukkan spesies lain, satu hal yang berbeda dengan topik utama kita. Dari sudut pandang antropomorfisme, manusia justru melakukan hal ini karena hewan-hewan liar tidak terlihat seperti kita. Manusia merasa perlu menaklukkan makhluk eksotis untuk menunjukkan dominasi tanpa merasa bersalah atau kasihan. Itu juga sebabnya kita merasa lebih iba pada orangutan dibandingkan macan atau badak yang hendak punah, bukan?
Saya tidak menyangkal bahwa secara naluri, manusia memang lebih tertarik pada hewan yang lucu. Namun, memahami 'kelemahan' ini seharusnya membuat kita lebih bijak dalam menjalin hubungan dengan berbagai spesies lain di bumi ini. Masih ada terlalu banyak hal yang misterius dan hebat tentang mereka. Ironisnya, kita lebih sering mencoba melekatkan dengan paksa segala hal yang 'manusiawi' pada binatang. Sampai kapan kita hendak memaksakan standar bodoh itu pada berbagai macam keunikan mereka? Bukankah katanya kita adalah spesies yang paling pintar?
15 notes
·
View notes
Text
Rasa dalam Kata
Saya selalu terpesona dengan kata. Rangkaian huruf yang perlu dirangkai dengan sedemikian rupa agar menjadi sebuah pesan. Kemudian perlu juga dimaknai seperti sedang memecah sandi.
Pernahkah Anda berpikir seperti ini: kata-kata sebetulnya adalah deretan kode rahasia. Beruntunglah kita yang sejak kecil diajari untuk memahami pola-pola sandi tersebut. Kita yang bisa membaca sebetulnya merupakan encoder dan decoder pesan-pesan rahasia. Apa yang kita baca dalam keseharian sebetulnya merupakan kesepakatan sekelompok manusia dalam memahami lambang-lambang acak. Keren, kan?
Mempelajari bahasa lain sama saja dengan mengetahui lebih banyak sandi rahasia. Pemahaman ini membuat kita memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengerti informasi mendalam tentang hal-hal lain di dunia. Tentu pengetahuan terdalam tentang budaya lain hanya bisa kita dapatkan melalui sandi yang digunakan oleh masyarakat tersebut. Jika direnungkan seperti ini, bukankah kemampuan literasi terlihat sungguh berharga?
Hidup di dunia serba teknologi seperti sekarang membuat kita sering terlena. Merasa segala sesuatu bisa digantikan oleh pesan visual dan audiovisual. Padahal, salah satu dasar yang penting adalah bagaimana kita harus menjadi pemecah sandi literasi.
Ah, mungkin saya terlampau tradisional. Mungkin kaum muda akan berpikir, untuk apa memahami sesuatu yang usang? Tapi saya masih yakin bahwa sesuatu yang lambat dan membutuhkan proses akan menempa dengan lebih baik ketimbang sesuatu yang disodorkan secara instan di depan hidung kita.
Tahukah Anda mengapa menulis itu hal yang sulit? Karena sejatinya menulis adalah memampatkan konsep yang begitu luas, liar, dan tak terbatas ke dalam kata-kata, kalimat, paragraf. Ribuan hal yang ingin kita sampaikan harus diterjemahkan dalam pilihan kata. Tak heran, orang bilang kata adalah senjata. Jika senjata kita tak lengkap, bagaimana bisa kita berperang melalui tulisan?
Sebagai pembaca, kita juga merupakan orang-orang hebat. Kita adalah orang yang mau berusaha untuk mendapatkan kesenangan. Kok bisa? Foto dan video bisa secara langsung menunjukkan suatu hal. Tulisan? Kita yang harus menerjemahkan dan mengimajinasikan sendiri. Apalagi kalian yang membaca tulisan fiksi, benak selalu dilatih untuk berkelana dengan berbagai perspektif. Terkadang bahkan sudut pandang dari benda mati atau makhluk aneh dari dunia fantasi. Hebat, bukan? Percayalah, Anda sudah cukup langka di dunia :)
Orang boleh bilang, manusia berbeda dengan spesies lain karena punya hati nurani atau kecerdasan tinggi. Tidak juga. Menurut saya, makhluk hidup lain juga punya kasih sayang dan intelektualitas yang luar biasa. Namun, siapa yang menulis syair tentang patahnya hati? Siapa yang berkisah tentang petualangan musafir di padang gurun? Siapa yang mencatat ajaran agama dalam kitab-kitab? Saya belum pernah tahu ada tikus, gurita, sapi, atau elang menulis. Hanya manusia saja yang memiliki budaya literasi.
Sepenting itulah budaya menulis. Budaya yang memampukan manusia mewariskan hal-hal terpenting di seluruh dunia. Pengetahuan, teknologi, budaya, bahasa, apapun itu. Semua tersimpan rapi dalam sandi literasi.
Terlebih dari fakta yang bersifat eksak, saya percaya dalam kata juga tersimpan rasa yang tak bisa ditakar. Kadang, jumlahnya tak terhingga. Apalagi bila diutarakan oleh mereka yang hemat bicara.
"Jangan pulang malam-malam."
"Jangan lupa istirahat cukup."
"Mau dimasakkan apa?"
Sesuatu yang begitu sederhana, tetapi menyingkap isi hati terdalam. Saya yakin Anda juga bisa merasakan cinta yang terselip di balik kata-kata itu.
Perkataan adalah wujud buah pikiran, ide, emosi, dan segala hal yang ada. Kata-kata menyimpan beribu makna mendalam. Memang tak selalu diterima dan dipahami dengan baik. Namun, akan selamanya ada; menunggu pemecah sandi yang cakap dan cermat untuk mengungkap rahasianya.
6 notes
·
View notes
Text
Bertukar Peran
Sebagai anak yang selalu merantau, saya bersyukur belakangan bisa banyak menghabiskan waktu di rumah. Dahulu, saya hampir tak pernah menyadari orang tua menua. Sekarang, saya melihat bagaimana peran yang kami jalankan perlahan mulai bertukar.
Sepanjang hidup, saya melihat ayah sebagai sosok yang selalu mandiri. Terlampau mandiri. Semua ia selesaikan, bahkan permasalahan orang lain. Ia bisa melakukan segalanya dan selalu ada untuk kami semua. Namun, belakangan saya mulai melihat perubahan yang awalnya samar tapi perlahan makin kentara.
Jarang-jarang mulai datang permintaan tolong kecil. Terasa begitu aneh karena dahulu tak pernah terucap kata tolong dari bibirnya. Anak-anaklah yang selalu merepotkan dan membutuhkan bantuan, bukan sebaliknya.
Entah mengapa, saya merasa pilu. Baru kini merasa ayah yang serba bisa mulai menua. Mungkin semua orang memang menghadapi fase ini. Herannya, peralihan kecil ini sangat berdampak bagi saya.
Begitu juga dengan ibu. Makin bergantung pada anak-anak, obat-obat, serta alat-alat lain yang identik dengan konsep sakit dan tua. Ibu yang dulu selalu aktif bersepeda hingga berjam-jam kini melangkah perlahan sembari menahan linu.
Ibu yang senang bepergian dan punya banyak kemauan kini harus berkompromi dengan tubuh dan keterbatasan kondisi. Masih punya banyak harapan dan tujuan, tapi dihalangi oleh sakit yang selalu menghantui. Seandainya saja kami anak-anak bisa membantu mengurangi semua rasa nyeri.
Dengan segala ego orang tua, mereka masih kerap menolak. Tak mau dibantu bila tak benar-benar perlu. Terkadang kami pun kurang tanggap. Tidak tahu bahwa di balik kata 'tidak usah' sebetulnya mereka butuh. Tidak tahu bahwa apa yang bisa kami selesaikan dalam sekejap adalah sesuatu yang sulit bagi mereka. Apalagi jika menyangkut teknologi yang memang kian lama makin memusingkan. Kita saja terkadang ngos-ngosan mengejar ketinggalan dari anak-anak kecil yang digital natives, bagaimana dengan mereka?
Memang hidup selalu penuh dengan perubahan. Di usia kepala tiga ini, saya merasa seperti 'baru lahir' dan harus belajar lagi memahami posisi seorang anak. Mencoba mengerti pergeseran peran dan relasi dengan orang tua. Peka adalah kuncinya. Sisanya akan berjalan baik selama ada kepedulian dan rasa cinta.
Mungkin inilah gelisah yang dirasakan para anak saat melihat orangtuanya merapuh. Selain membantu, hanya doa yang makin sering terucap. Sehat selalu, papa dan mama. Mulai kini, biarkan kami yang mengambil peranmu.
20 notes
·
View notes
Text
Iri tanpa Lupa Diri
Memang manusiawi bila terkadang (atau sering?) kita merasa iri. Mungkin orang lain lebih sukses, bahagia, dan punya hidup sempurna. Bagaimana mengelola emosi semacam ini?
Zaman ini memang penuh dengan 'pupuk' yang membuat rasa iri tumbuh subur. Media sosial menunjukkan semua sisi terbaik orang-orang di sekitar kita. Wajah cantik, baju dan sepatu bermerek, liburan impian, pasangan ideal, dsb dsb dsb. Semuanya bertebaran dan menghantui kita pagi-siang-malam. Sulit bagi kita untuk menutup mata dari semua konten itu.
Kesuksesan dan kebahagiaan hidup orang lain sering membuat kita merasa kecil. Merasa ingin juga memiliki semua itu. Saya kira keinginan itu tidak salah. Tentu semua orang punya harapan untuk sesuatu yang lebih baik.
Sayangnya, seringkali kita melampiaskan perasaan itu secara negatif. Ada orang yang iri kemudian memanifestasikan lewat kebencian. Orang tidak salah apa-apa, digosipkan yang tidak benar. Orang tidak melakukan apa-apa, dijutekin tanpa alasan jelas. Rasa iri memang kerap mengubah perilaku. Kadang kita juga suudzon menganggap orang itu hanya bisa sukses karena KKN, lewat jalur belakang, menyuap, atau dugaan-dugaan buruk lain. Lepas dari bagaimana cara mereka mencapai suatu hal, fenomenanya sebenarnya sama: ingin sesuatu yang tidak terjadi dalam hidup kita.
Hal ini kemudian menggerogoti diri sendiri. Mungkin dalam bentuk memaksakan diri membeli barang yang sebetulnya di luar budget. Menggunakan uang secara berlebihan untuk liburan padahal ada kebutuhan lain yang diabaikan. Meminta uang pada orang tua atau sahabat lalu 'lupa' mengembalikan. Bentuk iri yang seperti ini tentu sangat merugikan. Sudah buruk emosinya, lebih buruk lagi dampak jangka panjangnya.
Setiap kali merasa iri, saya mencoba tak lupa diri. Mengawali refleksi dengan bertanya pada diri. Mengapa kamu ingin seperti itu? Bisakah kamu mencapai hal itu? Jika hal itu positif dan bisa dicapai, go for it! Contoh, teman mendapatkan beasiswa studi lanjut di luar negeri. Berarti kita perlu banyak belajar dan mencari tips-tips menulis motivation letter. Sedangkan untuk hal negatif atau di luar jangkauan, berarti tidak perlu dituruti. Contoh, saudara rajin flexing benda-benda branded dengan harga selangit. Buat apa diikuti? Toh banyak benda tidak bermerek yang fungsinya sama.
Dengan mengkategorikan rasa iri ke dalam kutub positif dan negatif, kita menciptakan filter yang aplikatif untuk berbagai terpaan konten di media sosial. Mana yang perlu dan tidak perlu untuk di-iri-kan. Apakah filter ini membuat proses pencernaan rasa iri menjadi lebih mudah? Tentu tidak langsung. Emosi kita jelas masih meronta-ronta minta didengarkan. Bedanya, kali ini kita bisa berteriak balik, "Kalau mau begitu ya usaha lah! Jangan sirik doang!" Setelah itu kita baru bisa memikirkan langkah-langkah riil untuk mencapai apa yang tadinya kita iri-kan :)
Yah, begitulah sehari-hari isi otak dan percakapan saya dengan diri sendiri. Terkadang iri, tapi segera saya atasi sebelum menggerogoti. Yuk sama-sama berjuang memproses emosi ini tanpa lupa diri.
9 notes
·
View notes
Text
Sandal Sempurna
Punya sifat perfeksionis dan idealis membuat saya cenderung mengejar kesempurnaan dalam banyak hal. Pencapaian, pekerjaan, harapan, hingga benda-benda kepemilikan. Namun, belakangan dorongan ini semakin memudar. Mengapa?
Lila 5 tahun yang lalu adalah pembeli yang paling teliti dan mungkin pasti mengesalkan bagi sebagian besar penjual. Setiap membeli benda apapun, saya selalu meneliti sesuatu dengan seksama. Apakah ada lecet? Apakah sisi kanan dan kiri presisi? Apakah bungkusnya rapi atau ada yang terbuka? Saya selalu memastikan segala sesuatu sempurna sebelum membayar ke kasir.
Karena tabiat itu, beberapa kali saya mengembalikan barang yang saya beli secara daring di lokapasar (marketplace). Pernah ada cetakan cokelat yang bergelombang, kantong kain yang jahitannya tidak lurus, juga pakaian yang ukuran atau motifnya tidak sesuai deskripsi. Kalau dipikir-pikir, mungkin para penjual itu bukannya sengaja mengirimkan barang jelek, melainkan mereka sendiri tidak sadar akan ketidaksempurnaan yang kecil.
Cacat kecil kerap sekali mengganggu batin saya. Terkadang, barang yang lecet sedikit saja bisa membuat saya kepikiran selama beberapa hari atau minggu. Sungguh mengganggu. Bisa Anda bayangkan kejengkelan saya akan baret samar di sebuah benda? Mungkin terasa tidak masuk akal bagi sebagian besar orang, tapi nyatanya begitu yang terasa.
Untung saja, belakangan ini saya bisa menerima kekurangan-kekurangan kecil dengan mudah. Bagaimana ceritanya?
Semua berawal dari sepasang sandal Swallow berwarna pink. Saya membeli sandal seharga 16 ribu rupiah dari toko orange dan mendapati bahwa warna mereka berdua tidak sama. Satu lebih seperti magenta, satu lagi memang merah muda. Saya merasa sangat terganggu dengan perbedaan warna sandal itu. Saya merasa, ini salah produksi.
Sebagai pembenci notifikasi, biasanya saya selalu segera menyelesaikan order jika tidak ada kendala apapun pada barang. Kali itu, saya menunggu 2 hari penuh untuk merenungkan si sandal pink.
Haruskah saya mengembalikannya? Haruskah saya menerima cacat itu? Pikiran saya bergulat sendiri. Apakah saya harus mengembalikan sandal 16 ribu itu demi ketenangan batin? Bagi Anda mungkin kegalauan ini konyol, tapi saya sungguh berpikir lama tentang pink tua dan pink muda ini. Urusan perbedaan warna saja sungguh mengganggu!
Saya iseng mengolok-olok diri sendiri. Ya ampun Lila, itu lho sandal cuma 16 ribu. Kamu mau protes gimana? Lagian setelah beberapa minggu kamu pasti udah lupa kalo itu warnanya beda! Tapi lubuk hati berbisik, saya pasti akan sadar bahwa warna kedua sandal itu berbeda tiap kali melihatnya.
Setelah menimbang-nimbang selama 48 jam, akhirnya dengan sedikit berat hati saya menyelesaikan pesanan. Tanpa protes, tanpa permintaan pengembalian dana. Saya menerima sandal pink itu dengan legowo, dengan semua kekurangan dan kelebihannya.
Selama berhari-hari, bahkan beberapa minggu setelahnya, saya masih terus melihat cacat itu. Di mata saya, sandal pink itu merupakan ketidaksempurnaan yang mengganggu. Tapi setelah saya mulai disibukkan dengan banyak hal (dan sandal itu semakin kotor karena sudah dipakai), saya makin lupa dengan kekurangan tersebut.
Sekarang, 7 bulan sejak sandal itu saya beli dan pakai, saya sudah lupa bahwa ia pernah tidak sempurna. Di mata saya, dia adalah sandal pink yang berfungsi dengan baik. Ia tidak berubah, tapi penerimaan saya yang berubah.
Sejak awal, saya tahu bahwa lama-kelamaan saya tidak akan mempersoalkan warna yang berbeda itu (apalagi setelah dekil dan warnanya memang tidak terlalu pink lagi 😛). Seiring dengan berjalannya waktu, sandal ini justru menjadi memorabilia. Kenang-kenangan pertama kali Lila menerima ketidaksempurnaan.
Implikasi dari tindakan kecil ini ternyata meluas. Dengan menerima cacat-cacat kecil dalam kehidupan sehari-hari, saya menjadi lebih bahagia. Hal-hal remeh yang dulu sangat mengganggu, perlahan bisa saya terima dengan baik. Saya jadi lebih nrimo ketika membeli barang dan menemukan beberapa goresan atau lekukan yang semestinya tidak ada.
Kebiasaan ini akhirnya juga perlahan saya terapkan ke diri sendiri dan orang lain. Jika dahulu saya keras pada setiap keputusan dan situasi, sekarang kesalahan kecil dan perubahan rencana bisa saya terima dengan lebih mudah. Segala sesuatu memang tak selalu sempurna, lalu mengapa? Toh hidup tetap baik-baik saja. Tidak perlu terlalu dipersoalkan. Justru ketidaksempurnaan biasanya membuat pengalaman ataupun benda-benda menjadi unik.
Perkara remeh soal sandal ini akhirnya justru membawa perubahan baik dalam hidup. Terima kasih sandal Swallow selen, saya belajar banyak darimu 🩴🩴
2 notes
·
View notes
Text
Buat apa Hemat?
Hemat waktu, hemat uang, hemat tenaga. Kita selalu diimbau untuk berhemat. Apakah memang penting?
Pola pikir berhemat biasanya sudah ditanamkan sejak dini pada anak. Jangan boros ya, ayo nabung. Jangan tidur terlalu malam ya, nanti kecapekan. Jangan menunda-nunda pekerjaan, hasilnya tidak akan maksimal. Secara logika, kita tahu bahwa menghemat waktu, tenaga, dan pikiran adalah hal yang logis dan baik untuk dilakukan.
Lantas, ketika sudah punya waktu luang, tabungan yang cukup, energi yang banyak, apa yang ingin Anda lakukan? Lucu bahwa kita selalu dianjurkan untuk melakukan penghematan tapi tidak diajari tentang menggunakan dengan bijak.
Ada yang punya banyak uang lalu tidak tahu bagaimana menggunakannya dengan baik. Shopping baju sebanyak mungkin, beli makanan enak, liburan ke tempat-tempat mahal, apapun itu untuk memuaskan keinginan. Anehnya, menuruti keinginan itu tidak membawa kebahagiaan juga. Mengapa masih terasa kosong dan kurang?
Ada yang punya banyak energi tapi tidak tahu mau diapakan. Akhinya disalurkan untuk kegiatan yang tidak baik, merugikan orang lain, bahkan melanggar hukum. Orang berkomentar, "Ya begitu kalau orang tidak punya kerjaan!" Mungkin sebetulnya punya, tapi ia tidak pernah diajari menggunakan energinya untuk hal-hal yang positif.
Ada orang yang punya banyak waktu luang kemudian malah bingung. Mau ngapain ya? Karena tidak ada kegiatan, akhirnya ia mindlessly scrolling media sosial. Hal yang seakan-akan tidak buruk, tapi tiba-tiba sudah 1 jam lebih terbuang. Setelah itu baru menyesal, aku ngapain sih sejam ini?
Seperti biasa, saya iseng berdialog dengan diri. Apa sebetulnya yang bisa kita lakukan setelah menjalankan semua upaya penghematan?
Sepertinya kita perlu mencari tahu apa yang benar-benar memberi makna dalam hidup. Berhemat jelas perlu, tetapi bagaimana kita menggunakan uang-waktu-pikiran juga tak kalah penting. Rencanakan kesenangan apa yang positif dan rewarding untuk diri sendiri. Setiap orang tentu berbeda, tergantung kesenangan dan preferensi masing-masing.
Salah satu contohnya, alih-alih membeli (lagi) benda-benda yang sudah dimiliki atau kurang penting, coba alihkan pengeluaran untuk hobi dan pengalaman. Kurangi beli baju/sepatu/tas, gunakan uang untuk mengasah skill tertentu, mencoba hobi baru, atau melakukan olahraga untuk kebugaran. Daripada makan segala macam junk food secara berlebihan karena mengikuti nafsu, gunakan uang untuk beli makanan yang lebih mahal tapi bergizi.
Dalam kegiatan menghemat - menggunakan, kita juga perlu berhenti berpikir secara biner atau ekstrem. Hidup sangat jauh dari situasi hitam-putih, kebanyakan berada di ranah abu-abu.
Berhemat bukan berarti tidak menggunakan uang sepeser pun, tapi bukan juga menghambur-hamburkan tabungan untuk kesenangan duniawi. Sesekali memanjakan diri boleh, tapi jangan terbawa arus budaya konsumtif dengan dalih self reward. Bekerja jangan terlalu serius hingga tak pernah mengambil cuti untuk menunjukkan dedikasi, tetapi jangan juga mencuri-curi kesempatan untuk mangkir dari jam kerja. Temukan keseimbangan di antara keduanya. Ada waktu untuk mencintai diri, ada juga waktu untuk menahan diri.
Mungkin anjuran berhemat sebetulnya mencoba mengajak kita menjadi sosok yang lebih baik. Manusia bukan sekadar seonggok daging yang selalu disetir oleh nafsu akan kekayaan, kelezatan, atau kenikmatan lain yang bersifat duniawi. Di sisi lain, menggunakan juga merupakan seni yang perlu dipelajari setiap hari. Kita pasti akan menjadi orang yang lebih baik jika tahu bagaimana menghemat dan menggunakan dengan bijak.
9 notes
·
View notes
Text
Filosofi Candy Crush
Anda tidak salah baca, tulisan ini akan mengulas berbagai macam kegalauan yang muncul di kepala saya ketika bermain Candy Crush. Permainan sederhana menggeser-geser permen ini telah sukses membuat saya banyak merenung.
Lama tak login di permainan ini, baru-baru ini saya install ulang Candy Crush karena sedang banyak diet media sosial. Ketika mulai bermain lagi setelah bertahun-tahun, ternyata sudah terjadi banyak perubahan di dunia permen ini. Untuk mempermudah pembaca, saya akan pisahkan pemikiran saya dalam poin-poin berikut.
Kesenjangan sosial
Saat mulai relogin, saya sama sekali tidak mempunyai gold bar dan free items yang disediakan oleh Candy Crush. Ketika masuk ke level yang susah, saya harus mengulang lebih dari 10 kali untuk bisa melewatinya. Di saat yang sama, seorang teman yang sudah memiliki banyak 'persenjataan' bisa melewati level itu dengan begitu mudah.
Saya jadi merasa, dalam game saja seakan ada kaum borjuis dan proletar. Jika kita tidak memiliki resources yang cukup, hidup akan menjadi susah. Terbersit juga tentang priviledge. Orang boleh bilang, "Kita kan sama-sama berjuang melewati level yang sama!" Tapi perjuangan yang dihadapi sangat berbeda karena saya sama sekali tak punya apa-apa dan dia punya berbagai macam kemudahan. Apakah itu bisa dikategorikan sebagai perjuangan yang sama?
2. Kapitalisme
Dalam dunia Candy Crush yang ceria, saya merasa masuk dalam lingkaran setan. Makin banyak bermain, makin banyak pula hadiah yang ditawarkan. Jika saya bermain lebih cepat dan menyelesaikan lebih banyak level, ada berbagai macam bonus yang bisa dikumpulkan; tentunya agar lebih efektif dan efisien untuk menyelesaikan lebih banyak level lagi. Tuntutan untuk terus bermain ini sangat kuat. Tanpa disadari, tiba-tiba sudah setengah jam lebih kita berkutat dengan permen-permen.
Makin parahnya lagi, dalam versi terbaru, terdapat opsi menonton iklan untuk mendapatkan extra move atau item bantuan lain. Saya merasa seperti masuk perangkap. Makin susah levelnya, makin banyak pula kesempatan mereka menawarkan ads pada pemain. Tentu pemain akan melakukan segala hal demi menyelesaikan level yang 'hampir' selesai.
Sistem ini sangat cerdik, pemain merasa senang karena bisa melalui level dengan gratis, pengembang game juga bahagia karena mendapatkan uang dari ads. Win-win-solution bukan? Mungkin iya, tetapi saya merasa getir tiap kali menonton ads dan menjadi bagian dalam kapitalisme ini. Mereka makin kaya, pemain makin terjerat dalam lingkaran tiada akhir..
3. Kompetisi
Berbagai macam kompetisi diadakan, mulai dari yang periode tiga hari, seminggu, hingga tematik (Halloween, Natal, dan lain-lain). Kompetisi ini menjanjikan hadiah-hadiah yang menggiurkan dan memaksa kita berjuang mengalahkan lawan. Akhirnya, kita 'terpaksa' main lagi dan lagi demi mencapai target. Permainan ini bukan lagi untuk sekadar menghabiskan waktu luang, melainkan memaksa kita menggunakan seluruh waktu luang.
Sistem kompetisi ini juga membuat kita selalu dikejar waktu. Jika tidak main sekarang, maka waktu akan habis. Begitu juga dengan daily freebies yang ditawarkan. Kombinasi maut ini benar-benar memaksa kita untuk selalu login setiap saat agar tidak kehilangan kesempatan mendapatkan reward maksimal.
4. Candu
Anda tahu rasanya kecanduan? Ketika setiap saat Anda memikirkan sesuatu? Bisa jadi ini rokok, makanan manis, media sosial, atau candy crush. Ada masa-masa tertentu di mana gim ini benar-benar menjadi candu. Mungkin ketika Anda mengejar goal tertentu, atau ketika life sebanyak lima jantung hati itu habis dan kita perlu menunggu 30 menit.
Bisa saja awalnya Anda sekadar iseng, install untuk menghabiskan waktu singkat ketika menunggu dokter, bosan, atau menemani jam makan siang. Namun, lama kelamaan Anda memilih main candy daripada mengobrol dengan teman, cuek saat acara keluarga, bahkan mengabaikan pacar untuk menyelesaikan misi. Sudahkah Anda menjadi pecandu?
Jangan bilang Anda bisa tenang dan lega ketika sudah 'tamat' karena Candy Crush selalu meluncurkan level baru. Berdasarkan data hasil Googling, saat ini sudah ada 15.620 level. Anda yakin mau menuntaskan semuanya? Seumur hidup pun tak akan cukup untuk menuntaskan semua level tersebut!
5. Data
Awalnya, ide tulisan ini muncul karena iseng. Saya sebetulnya tak pernah ambil pusing dan berpikir terlalu jauh tentang gim yang saya mainkan. Namun, perjalanan menulis mempertemukan saya dengan data-data yang mengejutkan. Di tahun 2018, tiga gim keluaran King menduduki top 10 apps dengan pengguna terbanyak di dunia. Tiga gim tadi adalah Candy Crush, Candy Crush Soda Saga, dan Farm Heroes Saga. Memang saya tidak mempunyai data terbaru, tapi tabel dari sumber ini seharusnya cukup membuat kita tercengang. Percayakah Anda ternyata lebih banyak orang yang aktif bermain Candy Crush dibanding nonton YouTube dan mencari jodoh di Tinder??
Lebih hebatnya lagi, sumber lain menyatakan bahwa rata-rata pengguna harian tiga gim tadi mencapai 20 juta. Saya ulangi, DUA PULUH JUTA dalam sehari. Sebagai gambaran, penduduk seluruh Jawa Timur sekitar 40 juta jiwa. Jadi bayangkan 1 dari 2 orang di seluruh Jawa Timur setiap hari bermain Candy Crush. Orang sebanyak itu hanya bermain menggeser-geser permen!
Menyedihkannya, sebuah artikel dari Majalah TIME melaporkan bahwa 32% pemain Candy Crush mengabaikan keluarga dan teman-temannya untuk main game, 30% mengaku kecanduan, 28% bermain ketika bekerja, dan 10% bahkan bertengkar dengan orang terdekatnya gegara terlalu lama bermain. Lagi-lagi, ini bukan data terbaru karena artikel dipublikasikan pada tahun 2013. Namun dengan semua fitur-fitur baru yang muncul, saya cukup yakin angka ini masih relevan untuk diperhatikan dengan seksama. Saya justru khawatir saat ini kondisinya lebih parah karena adanya tambahan berbagai elemen yang adiktif.
Bagaimanapun juga, kita bicara tentang gim paling terkenal sepanjang masa di sistem Android. Dari data terbaru yang bisa saya temukan, keuntungan King mencapai 1,5 milyar USD di tahun 2018 atau sekitar 23,5 triliun rupiah. Sebuah angka yang sangat fantastis dari permainan 'sederhana' seperti Candy Crush.
***
Perjalanan penulisan artikel ini sungguh liar. Berawal dari unek-unek berlebihan Lila menjadi penemuan fakta-fakta yang cukup 'mengerikan' tentang Candy Crush. Jadi.. mau berteman di Candy Crush supaya bisa saling kirim life? 😂🍬
3 notes
·
View notes
Text
Mengapa Alam?
Ke alam adalah pulang. Memperkuat relasi dengan seluruh bumi dan juga diri. Merasakan dan merenungkan segala hal yang biasanya tenggelam atau terlupakan dalam kesibukan sehari-hari. Apakah harus alam? Ya.
Pergi ke alam bukanlah sekadar melepaskan penat dan menghibur mata dengan yang ijo-ijo. Mendaki gunung dan berenang di lautan adalah menemukan ketenangan dan berbincang dengan diri sendiri. Dalam perjumpaan dengan alam, kita diingatkan kembali tentang betapa lemahnya manusia. Kalau Anda mencoba mengalahkan hujan badai di pegunungan atau arus lautan yang dasyat, bagaimana rasanya? Kita kerap merasa begitu hebat dan penting. Namun, di hadapan alam yang berkekuatan besar, kita hanya menjadi satu bagian mungil.
Salah satu hal favorit saya di alam adalah menjadi pendengar. Ketika menyelami lautan dan memasuki hutan, saya senang mencoba menerka dari mana datangnya suara-suara unik. Sering sekali saya salah, apa yang saya kira burung ternyata serangga atau bahkan kera. Begitu juga dengan suara-suara laut. Tahukah Anda suara terumbu karang? Kertak (crackle) dan kersak (rustle) yang khas, sangat sulit dideskripsikan. Suara yang mungkin terdengar seperti audio rusak bagi kebanyakan orang, namun menunjukkan betapa lively kehidupan hewan-hewan di terumbu karang (kalau Anda sama sekali tak bisa membayangkannya, mungkin video ini dapat membantu ☺️).
youtube
Betapa banyaknya hal yang perlu kita pelajari untuk memahami alam ini. Betapa jauhnya kita mencoba memetakan tata surya yang luas, padahal Bumi saja belum diselami seutuhnya.
Di alam, kita juga menjadi versi diri yang lebih tulus. Perbincangan terjadi tanpa beban. Saling bantu dilakukan tanpa banyak pertimbangan. Tempat ini seakan secara instan mengubah kita menjadi orang yang lebih baik. Rasakanlah sendiri naik gunung dan bertemu pendaki lain. Bisakah sebuah percakapan acak dengan orang asing terjadi semudah itu jika tidak di gunung? Tak peduli apa merek pakaian atau latar belakangmu, semua di gunung adalah teman seperjalanan. Sama-sama mendaki menuju puncak yang sama.
Pergi ke alam juga mengajari kita untuk dekat dengan makhluk hidup lain. Masuk ke ‘rumah’ yang berbeda dengan segala aturan yang harus dihormati. Perjumpaan dengan hewan-hewan lain, sekecil atau sebesar apapun, seharusnya mengingatkan kita bahwa manusia hanyalah satu spesies di bumi. Relasi yang hendaknya kita bangun bukan didasari rasa ingin menguasai atau mendominasi, melainkan saling menghargai. Di teritori mereka, kita mungkin merasa rapuh dan lemah. Terkadang bahkan merasa tidak aman. Pernahkah Anda mencoba berpikir, seperti itu jugakah yang dirasakan hewan-hewan di Bumi yang kian hari makin tak ramah bagi mereka? Seperti itukah rasanya masuk ke tempat yang asing dan penuh dengan hal-hal yang tidak kita ketahui?
Segala hal di alam merupakan guru yang tidak mengajari dengan teori, tetapi praktik yang perlu kita telaah dan resapi dengan perlahan. Seperti cerita-cerita di film jadul, seorang murid harus mengikuti gurunya 24 jam sehari dan melihat bagaimana cara melakukan berbagai hal. Begitu juga dengan alam. Makin banyak kita melihat lebih dekat, makin banyak pula petuah yang ia berikan.
Nilai-nilai moral bertebaran di setiap lengkung akar dan buih air. Kita belajar bahwa segala sesuatu ada masanya dari buah yang berproses dengan sabar dari sebutir biji hingga ranum. Kita belajar bahwa badai sebesar apapun akan berlalu dan berganti dengan hangat pijar matahari. Kita belajar bahwa tanaman tak saling iri dengan bunga lain, justru keberagaman menjadikan semua indah. Setiap jengkal alam mengajarkan nilai-nilai yang baik bagi siapapun yang peka dalam mengindra.
Melupakan alam sama dengan membuang kulit kita. Identitas dan dasar keberadaan kita.
Bila Anda merindu alam, sudah sewajarnya.
Dekapannya memang selalu memanggil kita pulang.
11 notes
·
View notes
Text
Perihal Pemilu
Tenang, saya tidak akan mengkampanyekan salah satu calon. Saya hanya ingin membagikan pendapat tentang mengapa Anda tidak boleh golput, terutama pada pemilu kali ini.
(Salah satu karya di Fest Mural Competition, Magelang, Nov 2023)
Saya tahu ada begitu banyak orang yang apatis jika sudah bicara tentang politik. Saya pun sama. Seumur hidup, saya tak pernah suka dengan politik Indonesia. Tak perlu saya jelaskan alasannya, Anda pasti sudah paham. Semua orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan moral, pasti geram melihat kondisi negara ini.
Walau begitu, tidak suka ≠ tidak tahu. Saya tetap (memaksa diri) membaca berita politik dan sebisa mungkin mengikuti kiprah manusia-manusia yang (sebagian besar) menjengkelkan tersebut. Bukan karena ingin, melainkan saya tidak mau dibohongi. Saya tidak suka dikelabui dan dicurangi terus.
Anda mungkin berargumen, percuma kita mencoblos. Siapapun presidennya, hidup tetap begini-begini saja, kebijakan tetap tidak pro rakyat, masalah tetap tidak selesai. Saya tahu kita semua mungkin sudah berada di tahap putus asa. Semua orang mengecewakan, semua orang tidak bisa diharapkan. Buat apa sih mencoblos?
Saya akan gunakan analogi sederhana.
Bayangkan Anda punya tiga calon pacar. Setelah sering mengobrol, Anda ternyata tidak sreg dengan tiga-tiganya. Semuanya ga bagus! Si X kurang perhatian, Si Y kurang baik, Si Z enggak cocok juga.. Enggak jadi aja deh! Dalam kasus ini, Anda menang. Dengan tidak memilih, Anda bisa mencari dan mendapatkan pacar yang sesuai dengan kriteria.
Sayangnya, pemimpin negara kita bukan pacar Anda. Bayangkan ketika Anda tidak mau memilih; tiba-tiba keluarga, teman, dan tetangga voting lalu sosok X langsung sah jadi suami/istri Anda. Wuuaa, gimana perasaan Anda? Yakin tidak menyesal ketika Anda - sosok yang punya kepentingan - tidak ikut sumbang suara dalam keputusan ini?
Saya tahu analogi ini sangat menyederhanakan dan tidak menggambarkan kondisi pemilu secara menyeluruh. Tetapi penekanan saya adalah, suka tidak suka - mau tidak mau - akan ada presiden yang terpilih untuk memimpin Indonesia. Saya tahu semua calon memiliki kekurangan dan Anda tidak merasa cukup yakin dengan salah satu, tapi ini bukan perihal memilih yang sempurna. Situasi sekarang lebih cocok digambarkan sebagai memilih yang terbaik di antara yang tersedia.
Sepanjang hidup, saya paling tidak suka bicara tentang topik yang sensitif seperti SARA dan politik. Namun, kali ini saya merasa perlu mencoba mengetuk hati kalian yang golput. Mengapa? Karena kali ini saya merasa nasib kita sedang di ujung tanduk.
Saya mohon, bukalah hati dan pikiran kalian. Coba kalian lihat track record, persona, dan kinerja masing-masing calon. Lihatlah segala macam keburukan dan kebaikan yang pernah mereka lakukan. Pertimbangkan semua hal-hal tersebut dari ketiga calon. Lalu, tanyalah pada diri sendiri, maukah Anda punya pemimpin seperti itu? Siapkah Anda diwakili oleh presiden seperti itu? Jangan termakan gimmick atau cara kampanye tertentu. Mereka ini nantinya akan jadi presiden, bukan standup comedian atau aktor, jangan pilih yang menghibur tapi yang mementingkan masyarakat luas.
Anda boleh bilang, 'Semua calon jelek!', atau 'Saya tidak mau dikecewakan lagi!', tapi di antara tiga calon, pasti ada yang menurut Anda paling buruk atau paling mending? Tolong gunakan logika Anda atau tanya pada orang yang Anda anggap lebih tahu. Boleh juga baca media independen yang menganalisis setiap calon (jangan baca media atau tokoh publik yang disponsori oleh partai politik). Ingat, kalaupun Anda tidak memilih, akan ada orang yang terpilih.
Nanti pasti akan ada banyak orang yang mengolok-olok, 'Tuh lihat pilihanmu, ternyata ga bener kan kerjanya? Dibilang juga apa!'
Memang melempar tanggung jawab itu enak. Karena tidak ikut memilih, kaum golput merasa sudah cuci tangan dari masalah ini. Kalau negara kacau, bukan salah mereka. Kalau negara maju, mereka ikut menikmati hasilnya. Gampang, ya?
Saya menduga para golput sebetulnya takut. Tidak mau mengambil risiko, tidak mau disalahkan kalau ternyata pilihannya salah. Tetapi hidup juga seperti itu, selalu penuh pilihan sulit. Kalau Anda tidak pernah berani mengambil pilihan, seumur hidup Anda tak akan dewasa. Dalam hidup di sistem demokrasi, menggunakan hak pilih adalah bukti kedewasaan (karena itu hak pilih hanya diberikan pada mereka yang berusia di atas 17 tahun).
Kalau sampai di titik ini Anda masih takut untuk memilih, coba lihat diri sendiri. Ketika dulu Anda merasa tak yakin dalam memilih mau kuliah atau menggeluti profesi apa, solusinya adalah bertanya dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Cari tahu sebanyak mungkin sampai merasa mantap ketika mengambil pilihan. Tidak mungkin Anda memilih tidak kuliah atau tidak bekerja, kan? (Kalaupun ya, menyesal atau tidak sekarang?).
Saya tahu pilihan ini berat. Saya tahu kita juga bisa merasa salah pilih ketika sudah percaya pada satu orang tapi kemudian dikecewakan. Namun, itu semua masih jauh lebih baik daripada golput. Dengan tidak memilih, surat suara kita mungkin disalahgunakan. Suara kita yang punya hati nurani dan kemampuan berpikir kritis juga mungkin akan dikalahkan oleh para pencoblos bayaran. Saya tidak rela kalau kita yang punya pemikiran mendalam dan hati bersih dikalahkan oleh kroni-kroni partai politik yang bermain kotor.
Semoga kita yang punya hati dan harapan baik untuk Indonesia mau meluangkan waktu di 14 Februari 2024. Gunakan suaramu, pilih dengan bijak.
5 notes
·
View notes
Text
Sihir Buku
Ada banyak berkat yang saya rasakan dalam hidup. Salah satu yang paling saya syukuri adalah orang tua yang memperkenalkan dunia imajinasi dan sihir buku sedari dini.
Salah satu kenangan masa kecil yang paling membekas adalah bagaimana setiap bulan kami pergi ke Gramedia. Di toko buku itu, papa dan mama akan membiarkan saya memilih satu buku favorit untuk dibeli. Bayangkan seorang bocah cilik yang asik menjelajahi rak-rak tinggi dengan jajaran buku dongeng. Bagi saya, 'menara' buku berwarna-warni itu sama menariknya dengan es krim dan permen. Kami selalu menghabiskan waktu berjam-jam di sana, menikmati kebersamaan walau terpisah di lorong kesukaan masing-masing. Saya selalu ndlosor di lantai bagian buku-buku anak, membaca sebanyak mungkin sebelum memilih satu yang layak dibawa pulang. Kala itu, membeli buku sebulan sekali adalah sebuah kemewahan yang sangat dinanti-nanti.
Sedikit dewasa, buku-buku yang saya baca semakin tebal. Dari puluhan halaman bergambar menjadi ratusan lembar penuh tulisan. Dari dongeng di negeri fauna menuju kisah perjalanan penyihir, penunggang naga, dan kisah romantis remaja. Harga buku kesukaan pun semakin tak murah. Berkali-kali saya takut membawa buku yang mahal ke hadapan orang tua saya. Namun, respon mereka selalu sama, "Buat buku, tidak apa-apa!" Pola pikir ini kemudian saya terima sebagai warisan yang sakral. Untuk ilmu pengetahuan, imajinasi, dan wawasan, tidak ada kata mahal.
Suatu ketika di bangku SMA, saya pergi ke mall dengan beberapa teman perempuan. Mereka asik membeli jepit rambut, bando, dan aksesori wanita. Saya hanya melihat-lihat sambil berpikir, sayang ya beli begini kalau jarang dipakai. Tak sabar menunggu mereka, saya bergeser ke toko buku yang berada tak jauh dari situ. Setelah memilih beberapa novel, saya membayar dan kebetulan teman-teman yang sudah selesai dari toko aksesori bergabung di kasir. Salah satu mendekat dan berkata dengan kaget, "Ya ampun! Lila, kamu belanja buku banyak banget! Mahal ya sampai ratusan ribu!"
Memori itu terpatri jelas sekali di benak saya. Betul juga ya? Mau beli jepit kurang dari 20 ribu saja saya sayang. Namun kemudian saya pergi ke toko buku dan menghabiskan uang hampir 10x lipat untuk tiga buah buku :)) Di kala itu saya sadar betul bahwa papa mama telah sukses meracuni anaknya dengan dunia literasi.
Layaknya sebuah kisah cinta, perjalanan saya dengan buku tak selalu berjalan mulus. Usai lulus kuliah, saya merasa sangat jauh dari buku. Saya masih suka menulis dan membaca artikel-artikel pendek, tetapi sangat jarang membaca novel dan karya sastra panjang. Berbagai alasan saya bisikkan ke diri sendiri, kamu sudah bekerja, sekarang kamu perlu membaca report - bukan novel, kamu sibuk aktivitas lain sehingga tak ada waktu. Dari beberapa novel sebulan menjadi satu novel per bulan, lalu beberapa novel per tahun.
Entah mulai kapan, membaca menjadi sesuatu yang hanya bisa dilakukan di waktu-waktu spesial. Saya tak lagi mencari waktu untuk membaca, tapi membaca ketika ada waktu. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun, dan saya selalu kesulitan untuk kembali menumbuhkan rasa cinta tersebut.
Belakangan, saya mencoba menjauhkan diri dari media sosial. Platform ini memunculkan banyak dampak negatif dan menyerap terlalu banyak energi serta emosi (saya membuat tulisan tentang media sosial di sini jika Anda tertarik membaca). Perlahan-lahan, saya memaksa diri membaca buku.
Rasanya ternyata sangat emosional. Saya menemui buku pertama yang membuat saya menangis dalam lima tahun terakhir. Buku pertama yang membuat mata saya pedas karena begadang - terlalu penasaran dengan akhir cerita. Buku pertama yang membuat saya tak sabar membaca seri kedua dan ketiganya. Buku-buku lanjutan dari kisah-kisah masa kecil yang dulu begitu saya cintai. Saya merasa seperti orang yang menemukan kembali cinta pertamanya. Sesuatu yang terasa begitu melegakan, menenangkan, dan menggembirakan. Nyaman.
Saya kemudian juga memahami bahwa rating buku sangatlah penting. Hal ini sangat terasa ketika membaca ulang buku-buku dengan target pembaca dewasa yang dulu saya lahap ketika masih SD atau SMP. Ternyata, buku-buku itu memberikan warna dan makna yang begitu berbeda. Apa yang dulu membingungkan atau terasa begitu abstrak, sekarang dapat saya maknai dengan jelas. Kutipan yang berkata 'You never read the same book twice' memang benar adanya. Membaca karya apik memang terkadang butuh lebih dari sekali agar tak ada inti sari yang terlewat.
Seorang dosen sekaligus sahabat saya pernah berkata, "Membaca itu bukan hobby tapi habbit". Ada masanya membaca memang perlu dibiasakan sebelum lama-lama menjadi suatu hal yang akan kita rindukan ketika tidak dilakukan. Saya begitu bersyukur bahwa orangtua saya memperkenalkan pada dunia sejuta warna ini. Tanpa mereka, tak mungkin saya menjadi seorang pembaca seperti hari ini.
Di dunia yang serba cepat dan instan, membaca adalah salah satu jalan keluar untuk kembali mendapatkan kenikmatan yang meresap secara perlahan. Suaka nyaman untuk melangkah di trotoar kata-kata menuju dunia imajinasi.
7 notes
·
View notes
Text
Tiga Dasawarsa
Lewat masa remaja, saya sudah tak pernah menunggu-nunggu momen ulang tahun. Logis saja, pertambahan usia sebetulnya terjadi setiap hari, mengapa harus dirayakan pada satu tanggal tertentu? Namun, khusus hari ini, saya ingin mengajak kalian semua merayakan ulang tahun saya yang ketiga puluh. Perayaan ala Lila, alias merayakan dengan tulisan.
Sejak awal tahun 2023, entah mengapa saya sudah merasa sangat tidak sabar menunggu datangnya tanggal 7 November. Draft tulisan ini bahkan mulai pertama kali saya buat di bulan Maret! Saya sampai geli sendiri. Mungkin karena ini akan menjadi sebuah babak baru hidup saya sebagai manusia berkepala tiga.
Sebelum Anda semua mengucapkan selamat, sepanjang tahun ini saya sudah banyak mengapresiasi diri sendiri. Saya lihat, Lila sudah tumbuh menjadi orang yang lebih kuat. Dengan segala tantangan hidup yang menerpa, saya selalu memilih untuk menjadi diri sendiri. Walau berkali-kali gagal dan jatuh, saya selalu bangkit dan melangkah lagi. Tentu tak lepas dari uluran tangan keluarga dan teman-teman yang ikut meminjamkan bahu serta mengusap air mata.
Mungkin seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan makin banyak merenung. Sepanjang tahun ini, saya kerap memikirkan target-target yang meleset, impian yang belum tercapai, dan kejutan-kejutan lain dalam hidup. Hari ini, saat ini, saya berada di satu kondisi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Jauh lebih baik dari apa yang pernah saya doakan, tapi juga jauh dari kata selesai.
Perjalanan hidup mempertemukan saya pada berbagai jenis orang. Boleh dibilang, saya sudah berjumpa dengan orang yang sangat tulus dan sangat jahanam :)) Di dunia profesional maupun pertemanan, saya sudah memperoleh banyak kebaikan, ketulusan, kejahatan, pelajaran, dan kenangan tak terlupakan. Semua itu memperkaya dan membentuk diri seorang Lila.
Tidak ada satupun yang saya sesali, semua pilihan dan keputusan membentuk saya menjadi pribadi yang seperti ini. Saya bersyukur bahwa dengan semua ujian yang ada, selalu ada orang-orang yang berdiri di samping saya. Sesulit apapun cobaan yang datang, pasti ada keluarga dan sahabat yang merangkul dan berkata, “Lila, kamu bisa.” Itulah yang saya pegang. Ketika dunia terasa begitu kejam, ada orang-orang yang percaya dan tahu semua niat serta isi hati terdalam.
Di usia 30 ini, saya justru merasa hidup masih begitu panjang. Ada sangat banyak hal yang masih ingin saya pelajari. Begitu banyak buku yang ingin saya baca. Berbagai macam budaya yang ingin saya resapi. Saya siap menjalani sebuah babak baru dalam hidup.
Di tahun ini saya juga mulai melihat hidup dengan cara yang sedikit berbeda. Dulu, saya banyak menunda bila merasa satu hal bisa dijalankan di masa depan. Sekarang, saya lebih suka melakukan sesuatu sesegera mungkin selama masih bisa (baik itu tentang pekerjaan, impian, hobi, hingga pertimbangan pilihan-pilihan sulit). Hidup sering mengingatkan bahwa sebuah momen tidak akan datang dua kali. Jika bisa sekarang, mengapa harus nanti? Carpe diem.
Refleksi ini sebetulnya teruntuk saya sendiri, tapi semoga menggema juga di hati. Semoga menjadi afirmasi untuk semua usahamu.
Kamu hebat.
Semua upayamu tak akan sia-sia.
Selamat!
29 notes
·
View notes
Text
Kawan dan Lawan
Bukannya mendoakan, tapi saya tahu pasti bahwa di satu titik kehidupan, kita akan bertemu orang-orang jahat, licik, manipulatif, rakus, dan sebagainya. Bagaimana cara menyikapinya?
Reaksi pertama kita mungkin emosi, ingin memaki, membalas, bahkan melakukan segala hal terjahat yang bisa dibayangkan. Kita mungkin mendoakan lawan untuk mendapatkan ganjaran setimpan dari apa yang mereka perbuat. Dalam doa, kita menuntut keadilan.
Namun, hati kecil saya kerap berbisik,
Siap enggak kalau kamu juga diadili setimpal dengan perbuatanmu?
Saya selalu merasa telah hidup dengan baik. Tentu punya dosa, tapi tidak keterlaluan. Kalaupun berdosa, saya tidak melakukannya secara sengaja. Bukankah itu berarti saya orang baik?
Kalau saya berpikir begitu, mungkin orang lain juga punya pendapat yang sama. Jangan-jangan mereka pun merasa punya justifikasi tertentu dalam melakukan ‘kejahatan’. Terlebih lagi, ‘kejahatan’ memiliki dua sisi. Apakah suatu perilaku betul-betul jahat atau kita labeli ‘jahat’ karena merugikan diri sendiri?
Salah satu masalah utama pengkategorian teman atau lawan adalah penentuan baik dan jahat. Keputusan ini dilakukan secara subjektif oleh setiap orang dengan latar belakang, opini, kepentingan, perasaan, dan berbagai hal lainnya. Penjahat mungkin tidak merasa jahat di antara lingkungan pertemanannya. Ia justru memusuhi orang-orang baik. Pernah enggak berpikir, jangan-jangan selama ini kita dilabeli jahat oleh orang-orang di sekitar? Jangan-jangan secara tak sadar kita adalah duri dalam daging di komunitas?
Pemikiran ini membuat saya lebih sering memeriksa batin dan mencoba melihat suatu hal dari berbagai sisi. Hidup jauh lebih kompleks dari sekadar label jahat dan baik. Sebelum menilai dan membenci, coba pertimbangkan dulu berbagai hal. Kira-kira, apa yang menjadi alasan seseorang melakukan hal yang menurut saya tidak baik itu? Apakah hal tersebut benar-benar jahat atau hanya tidak menguntungkan saya?
Pertimbangan ini tidak serta-merta melenyapkan semua kejahatan yang kita lihat atau alami dalam kehidupan sehari-hari. Namun, saya jadi merasa lebih mudah menerima keadaan. Ada orang yang tidak baik? Yah, mungkin dia melakukannya karena kepepet atau ditekan oleh pihak lain. Mungkin juga orang lain punya tujuan mulia yang belum kita pahami saat ini. Bukan berarti segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauan kita bisa langsung dilabeli jahat.
Dunia ini sangat jauh dari kata ideal. Jika kita terus berharap dan memaksa semua kondisi dapat sesuai dengan ekspektasi, yang didapat justru hanya kecewa dan sakit hati. Jangan mencoba mengatur hal-hal di luar kekuasaan kita. Satu hal yang bisa dikendalikan adalah cara kita mengambil perspektif. Tak perlu segala hal dibedakan menjadi hitam dan putih. Jika menerima yang abu-abu dalam hidup bisa memberi sedikit ketenangan batin, mengapa tidak?
9 notes
·
View notes
Text
Tidak Tahu
Mungkin karena di zaman ini informasi begitu mudah didapatkan, orang jadi kian enggan untuk berkata tidak tahu. Mereka kira, segala hal bisa dipelajari dari internet.
Di zaman dulu, mencari ilmu dan informasi adalah hal yang sangat sulit. Orang rela mengorbankan banyak hal untuk bisa mendapatkan pengetahuan yang berharga. Ketika sekarang segala sesuatu bisa didapatkan dengan mudah, kita berbalik menjadi manusia yang congkak.
Dengan internet, kita merasa sudah menjadi si mahatahu. Segala macam penyakit bisa kita diagnosis sendiri. Segala macam teori bisa kita cari sendiri. Segala macam histori dan aib orang bisa kita telusuri.
Di era semacam ini, tantangannya justru merendah dan mengakui bahwa kita tetap tidak mungkin menjadi pakar dari segalanya.
Betapa kerdilnya makna pendidikan jika kita kira hasil Google seach mampu menggantikan dokter yang sekolah bertahun-tahun. Betapa congkaknya kita merasa bisa menggantikan content writer andal dengan ChatGPT. Betapa bodohnya manusia jika merasa kenal seseorang luar dalam dari hasil penelusuran internet.
Tak salah kalau orang-orang bilang ini zaman edan. Baca sedikit artikel di media sosial lalu mengaku pakar di bidang X. Lihat artikel Wikipedia lalu merasa sudah paling ahli. Follow Lambe Turah lalu merasa boleh menghakimi kehidupan orang lain. Itukah yang dibangga-banggakan dari kemajuan teknologi?
Mungkin titel-titel yang begitu mudah ditempelkan di poster acara membuat kita menjadi pongah. Merasa sudah menjadi pakar. Merasa layak dipanggil ahli. Nyatanya, pengetahuan kita masih sebutir pasir kecil dibandingkan luasnya samudera.
Inilah penyakit yang makin mewabah: sedikit tahu namun banyak bicara. Ironisnya, penderita sakit ini justru kerap diberi panggung. Orang-orang pendiam dan pemikir dianggap aneh karena tak mau cepat menjawab atau mengambil keputusan gegabah. Mereka justru dilabeli nyeleneh atau anti kemajuan. Adakah yang salah dengan melakukan observasi dan berhati-hati?
Di zaman ini, semua orang merasa pintar. Dalam situasi apapun selalu beropini dan mempersuasi. Makin sulit menemukan yang bisa mengaku, "Maaf, saya tidak tahu, perlu belajar dulu.."
4 notes
·
View notes
Text
Ular Tangga Hidup
Pernah main ular tangga? Sebuah permainan klasik dengan dadu di mana kita harus melewati berbagai rintangan untuk mencapai tujuan. Ketika bermain dan berulang kali terkena ular, apakah Anda termasuk tipe yang santai atau gampang ngambek?
Manusia biasanya senang berencana dan berangan. Sebelum umur 30, aku ingin... Sebelum umur 40, aku ingin... Kalimat-kalimat ini sangat lazim dalam sebuah rencana masa depan. Namun, realita sering menyuguhkan hal yang berbeda. Apa yang kita tata dan usahakan dengan sedemikian rupa seringkali berujung kecewa.
Saya setuju bahwa hidup itu serius, pilihan dan keputusan yang perlu diambil juga sulit. Tapi mungkin kita terlalu keras. Gagal beberapa kali, penghakiman yang kejam datang dari sekitar dan juga diri sendiri: Kamu kalah! Memalukan! Tidak pelu mencoba lagi!
Padahal, kadang-kadang merencanakan masa depan itu seperti bermain ular tangga. Ada pemain yang ingin buru-buru menang, sukses mencapai finish. Biasanya ia tipe yang mudah jengkel ketika berkali-kali terkena ular. Apalagi kalau ditertawakan dan diejek teman-temannya, pasti bete dan tidak mau main lagi. Tapi ada juga yang santai. Melorot terus, tapi tetap tersenyum sambil optimis memberi jampi-jampi pada dadu agar pas mendapatkan tangga.
Sekarang coba tengok rencana masa depan masing-masing. Ada berapa banyak hal yang belum tercapai? Lalu, apa yang terjadi?
Tidak ada.
Kita sebetulnya tidak kenapa-kenapa. Mungkin belum sukses menurut takaran kita, tapi baik-baik saja. Masih hidup, bernapas, dan bisa berjuang terus. Lalu kenapa harus sekeras itu pada diri sendiri?
Mungkin kita belum beruntung dalam melempar dadu.
Mungkin kita perlu melihat hidup dengan sedikit lebih santai dan bercanda.
Tentu bedanya dalam permainan ini nasib kita ditentukan dadu, sedangkan di kehidupan sungguhan selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari semua 'ular' yang pernah menjatuhkan.
Hidup selalu datang dengan kejutan. Mungkin bisnis kita tiba-tiba mandek, pasangan selingkuh, pekerjaan tidak sesuai harapan, orang terkasih meninggal, apapun bisa terjadi. Sudah melangkah hati-hati sekalipun, kita bisa terjatuh.
Jika saat ini Anda merasa gagal, stuck, atau tidak tahu harus melakukan apa, mungkin Anda sedang jatuh terkena ular. Ketika orang-orang di sekitar sukses dan Anda masih gitu-gitu aja, mungkin di ronde ini mereka yang sedang mendekati finish. Peran Anda sekarang adalah bertepuk tangan, ikut merayakan kesuksesan dan kebahagiaan orang lain. Saat tiba-tiba Anda mendapatkan bantuan tak terduga, mungkin itu adalah tangga keberuntungan. Roda terus berputar, kesempatan kita akan datang pada waktunya.
Tanpa perlu membanding-bandingkan, kita nikmati saja permainan ular tangga kehidupan ini. Syukuri setiap tangga dan ambil hikmah dari setiap ular. Daripada bersungut-sungut, bukankah lebih seru bermain ular tangga sambil tertawa?
5 notes
·
View notes
Text
Ins(t)an
Duduklah diam sejenak tanpa melakukan apapun. Tak perlu lama-lama, mulailah dari 1 menit. Rasakan keheningannya. Bingung? Ingin meraih ponsel? Wajar, mungkin kita semua merasakannya. Betapa insan telah mewujud menjadi instan.
Saat ini, konsep hiburan dan kepuasan begitu dipengaruhi oleh apa yang kita konsumsi di media sosial. Bosan? Lihat medsos. Makan? Sambil nonton YouTube. Acara keluarga? Tetap tidak lepas dari ponsel. Berapa jam dalam sehari kita pakai untuk melihat layar smartphone? Apakah kita sudah begitu kecanduan hingga panik bila ponsel kita tertinggal?
Bukan hanya tentang waktu yang terbuang, hiburan di medsos sendiri sebetulnya tidak sehat. Di dunia maya, kehidupan gemerlap selalu terlihat instan dan mudah. Influencer bisa tiba-tiba terkenal dalam semalam karena konten yang viral. Selebritas pamer wajah sempurna dan barang-barang mewah. Teman-teman rajin liburan ke luar negeri dan punya couple goals. Sementara kita? Terkurung di kamar, tiduran sambil mindlessly scrolling.
Aktivitas ini membuat kita mau tak mau jadi membandingkan. Kapan ya aku bisa begitu? Kapan ya bisa ke sana? Enak ya hidup seperti mereka? Mungkin hal ini sepele bagi orang yang bermental kuat, tapi bisa jadi stressful bagi mereka yang sensitif. Melihat segalanya yang indah di luar sana dapat membuat kita merasa kecil dan buruk.
Konten medsos bukan hanya mencemari generasi muda, namun juga anak-anak. Bandingkan hobi anak zaman dahulu dengan anak zaman sekarang. Di tahun 2000-an awal, mereka main sepak bola atau lompat tali ketika istirahat sekolah, kegiatan yang bagus untuk kebugaran fisik dan menjalin interaksi langsung dengan teman. Sekarang, anak-anak sibuk membuka medsos yang isinya penuh foto-foto artis dengan OOTD keren dan hidup ala kisah film. Pantas saja Gen Z dan Gen Alpha menjadi jauh lebih rentan terkena penyakit mental. Orang dewasa saja kadang bisa kena mental, apalagi mereka yang masih anak-anak dan remaja.
Lebih mirisnya lagi, dulu sifat hiburan tidaklah instan, kita harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan kepuasan. Contoh, kita perlu berolahraga atau bersenda gurau dengan teman-teman untuk mendapatkan kesenangan. Kita perlu membaca buku dan berimajinasi untuk mendapatkan keseruan. Sekarang? Buat apa susah-susah berusaha? Cukup goler-goleran di kamar yang nyaman, hiburan instan langsung didapat dari ponsel.
Kelebihan utama medsos memang juga kengerian utamanya; aksesibilitas. Kita bisa membuka medsos di mana saja, kapan saja. Mulai dari kita membuka mata hingga terlelap dengan ponsel di genggaman. Bisakah kita beristirahat dan melepaskan diri dari kenikmatan yang begitu mudah ini?
Dipikir-pikir lagi, kehidupan dan perilaku manusia sepertinya sudah sepenuhnya disetir oleh media sosial. Di luar kecanduan untuk terus mengonsumsi konten medsos, perilaku kita pun terpusat pada kegiatan 'demi konten' dan eksistensi. Mau makan, jepret. Jalan-jalan, jepret. Olahraga, jepret. Aktivitas apapun seakan perlu diabadikan dan dibagikan ke teman-teman dunia maya yang entah peduli tidak dengan detail terkecil hidup kita.
Renungkan lagi, berapa banyak waktu yang Anda habiskan di medsos untuk mencari hiburan, membaca informasi, dan mempersiapkan serta mengunggah konten terbaik. Bandingkan dengan waktu yang Anda sisihkan untuk ngobrol dengan orang tua, telepon sahabat, membaca buku, melakukan hobi, mengembangkan diri. Mana yang lebih banyak? Sudah idealkah proporsinya?
Pasanglah pengingat untuk diri sendiri: 1. Aku tidak perlu posting untuk membuktikan apapun ke siapapun. Kebahagiaan, kegiatan, percintaan, masalah, opini - semua boleh disimpan sendiri tanpa mengurangi esensi dan signifikansinya.
2. Aku tidak perlu tahu segalanya di media sosial. Tren terbaru, berita terpanas, update teman-teman dan keluarga - tanpa itu semua, hidup akan baik-baik saja. Jangan sampai overwhelmed demi stay up to date.
3. Aku bisa break kapanpun dan mute/unfollow siapapun. Hindari konten dan orang yang membuat frustrasi atau rendah diri. Mungkin kita tak sanggup terus-menerus diterpa konten tertentu dan itulah tandanya untuk berani membuat batasan.
Jika ada anjuran dokter untuk mewaspadai kolesterol, lemak, dan gula, seharusnya ada juga aturan pakai media sosial. Sama-sama berbahaya dan membuat kecanduan, mengapa tidak diperlakukan serupa? Bermain Instagram atau TikTok memang menyenangkan, tapi konsumsi berlebihan akan berdampak buruk untuk kita.
Sesekali, berdirilah dalam diam. Jika perlu, ambil satu langkah ke belakang. Lihatlah bahwa di dunia yang serba cepat dan dinamis ini, kita selalu punya pilihan untuk menarik diri dari kebisingannya.
Tarik napas panjang.
inhale ~ exhale
Kita ini masih insan, jangan melulu mencari yang instan.
5 notes
·
View notes
Text
Berlatih Bahagia
Ada begitu banyak hal yang diinginkan oleh manusia di zaman sekarang. Pekerjaan yang baik, gaji yang besar, sampai pasangan wow yang couple goals. Adakah yang salah dengan hal ini?
Sejak kecil kita sudah dibiasakan mengejar kesuksesan. Anak dipaksa bisa 3 bahasa asing, meraih juara kelas, hingga menjadi atlet yang sukses di cabang olahraga tertentu. Anak yang biasa-biasa saja dianggap low achiever dan tidak bisa membanggakan orang tua. Sebetulnya les yang banyak itu untuk kebaikan anak atau ego orang tua?
Sedikit bertambah usia, anak-anak dipaksa masuk jurusan pilihan ayah ibunya. Mengapa harus kedokteran, hukum, IT? Tidak usah banyak protes, pilihan orang tua jelas yang terbaik. Apakah anak pernah diajak mempertimbangkan profesi yang ingin digeluti? Jangankan tujuan hidup, bisa-bisa sampai lulus, ia tak pernah tahu bidang apa yang ia sukai karena selalu dipaksa menurut.
Saya yakin 100%, setiap orang tua ingin anaknya sukses. Masalahnya, sukses seringkali dinilai hanya mencakup hal duniawi yang kasat mata. Ada yang ingin memiliki uang ratusan milyar dan aset di mana-mana. Ada yang ingin punya jabatan tertinggi di perusahaan multinasional. Ada yang ingin menikah dengan bule dan bisa keliling dunia.
Tiap orang tentu punya target sukses yang berbeda, dan itu sah-sah saja. Tapi kita sering terlena mengejar kesuksesan lalu lupa bahagia. Sudah punya rumah dan mobil mewah, tapi hidup terasa hampa. Sudah punya karier cemerlang, tapi kesepian tanpa teman dan pasangan. Sudah pergi ke puluhan negara, tapi tak pernah puas. Apakah target hidup yang kita dambakan hanya mencakup materi?
Celakanya lagi, manusia sangat mudah beradaptasi. Sesuatu yang baru bisa membuat kita senang dan semangat selama beberapa minggu atau bulan. Setelah itu, kita sudah haus untuk sesuatu yang berbeda. Kalau kita bahagia dengan benda baru untuk selamanya, tentu tidak ada orang yang punya sepatu hingga 20 pasang atau baju selemari penuh.
Mobil baru, pacar baru, baju baru, rumah baru, hobi baru, semuanya akan menjadi lama. Sesuatu yang biasa dan rutin akhirnya tidak lagi membuat kita gembira. Akhirnya, kita terus-menerus mencoba mengejar hal lain. Sudah bisa jadi supervisor, saatnya jadi manager. Sudah jadi CEO, buat perusahaan baru. Sudah punya gaji 10 juta, ingin dapat 20 juta. Sudah pergi ke luar negeri, sekarang mau ke luar planet (eh, ga gitu juga :p). Takaran kesuksesan yang bersifat materi tak pernah ada habisnya.
Kita diminta sukses dan menang - tidak diajari menikmati proses yang sulit namun bermakna.
Kita diminta selalu kuat dan tangguh - tidak diajari boleh menangis sebelum bangkit lagi.
Kita diminta sempurna - tidak diajari menerima diri yang punya kelebihan dan kekurangan.
Kita sering sekali lupa bahwa hidup bukan sekadar mengejar pencapaian demi pencapaian. Hidup bukan melulu tentang tujuan, namun juga perjalanan.
Jangan-jangan kita sibuk mengecek harga saham, lupa berbincang santai dengan keluarga di rumah. Sibuk membandingkan postingan dengan teman di media sosial, lupa menikmati liburan di kampung halaman. Sibuk mengejar posisi tinggi di usia muda, lupa memikirkan perasaan orang yang kita sikut. Sibuk mengejar IPK 4, lupa menikmati proses belajar dan mencari pengalaman. Jangan-jangan kita lupa, bahwa esensi bahagia adalah menikmati setiap berkat kecil dalam keseharian.
Bahagia bukan tentang memiliki segalanya, tapi menerima yang ada.
Menertawakan kegagalan, lalu bangkit lagi.
Menangisi kehilangan, lalu menata kembali.
Mengejar kesuksesan tidak salah, tapi jangan lupa kita juga perlu berlatih hidup bahagia. Semoga makin banyak orang yang ketika ditanya, "Apa cita-citamu?" akan menjawab, "Jadi orang sukses bahagia!"
16 notes
·
View notes