#Daun Bahagia
Explore tagged Tumblr posts
Text
Tanpa Sinar Matahari, 22 Tanaman ini Ternyata Masih Bisa Hidup lho
Pemahaman jika tanaman membutuhkan cahaya matahari memang tidak salah. Tetapi, sebenarnya ada sejumlah tanaman yang tahan tanpa sinar matahari, atau lebih tepatnya tidak membutuhkan cahaya secara langsung.
Sadamantra – Pemahaman jika tanaman membutuhkan cahaya matahari memang tidak salah. Tetapi, sebenarnya ada sejumlah tanaman yang tahan tanpa sinar matahari, atau lebih tepatnya tidak membutuhkan cahaya secara langsung. Hal ini pun menguntungkan bagi mereka yang ingin menghadirkan tanaman hias di ruangan yang minim cahaya, misalnya saja di ruang tamu, kamar mandi, kamar tidur, atau bahkan…
View On WordPress
#Aglaonema#Bambu Keberuntungan#Bambu Rejeki#Bromelia#Cast Iron Plant#Daftar Tanaman Hias#Daun Bahagia#Dekorasi Tanaman Hias#Devil’s Ivy#Kalatea#Kucai Mini#Lidah Buaya#Lili Paris#Lili Perdamaian#Lucky Bamboo#Maranta leuconeura#Merawat Tanaman Hias#Paku Tanduk Rusa#Palem Parlor#Peperomia#Philodendron#Pohon Dolar#Rumput Payung#Sansevieria#Sri Gading#Sri Rejeki#Sword fern#tanaman#Tanaman Hias#Tanaman Hias Bunga
0 notes
Text
Katarsis Part 1, 2024 :')
So, I dont know where to start basically. Udah agak lama ga nulis di Tumblr karena beberapa bulan terakhir sebenernya perasaannya content sekali. Malem ini, memberanikan nulis lagi sekalian buat release perasaan negatif.
Beberapa bulan terakhir ini aku menjalani hidup dengan menyenangkan, bersama seseorang yang sangat menyenangkan yang bersamanya aku merasa banyak bahagia. Kamu tau lagu Nadin Amizah di albumnya yang baru yang "Untuk Dunia, Cinta, dan Kotornya"? semua perasaanku seperti itu, diterima, dirayakan, dijaga, dan disembuhkan.
Kita sebut namanya dengan lelaki bulan November.
Oke, aku mengenalnya cukup lama. Dia adalah kawan dekat Tuan yang Namanya Tidak Boleh Disebut. (pembaca Tumblr lamaku pasti mengenal beliau). Singkat cerita, kami baru mulai dekat Agustus tahun lalu to the point where apa-apaan ini bercanda sampe malem, ngobrol terus, pagi nyapa, kalau hilang dicari.
Bulan Oktober, dia mengatakan bahwa ada aku di dalam rencana masa depannya. Kami akhirnya sama sama berencana untuk menikah tahun ini.
Sekian bulan bersamanya, semuanya terasa manis. Tidak ada satupun hal yang menyedihkan bersamanya. Kamu tau lagu Nadhif? Ya, persis. Aku menyimpan memorinya di lagu Nadhif, karena sungguh bersamanya semua terasa indah. Gundah gulana hatiku tlah hancur sirna.
Bersamanya juga, aku merasa diterima. Besar kecilku. Badai sepoiku. Panas dinginku. Teduh terikku. Kesemuanya. Bersamanya, aku yang kecil ini menjadi besar, dirayakan. Bersamanya aku tumbuh. Diterima. Didukung.
Tapi, entah bagaimana ceritanya, entah apa salahku, dia berhenti tidak lagi menghubungiku. Dia tidak lagi menjawab pesanku. Tiba-tiba berhenti. Sudah terhitung 2 pekan sampai hari ini.
Pusing? Iya. Sakit? Sekaliiiii. Kamu tau rasanya kamu bergantung sebgitu hebatnya ke seseorang lalu dia tiba-tiba berhenti. Kamu tau lagunya Daun Jatuh yang Resah Jadi Luka? "Tapi mengapa tiba-tiba seakan kau pergiiii, melepas rangkulanmu dan berhenti melindungiku tanpa sebab" Rasanya seperti itu. Hampa. Kosong. Aku bertanya tanya di mana salahnya. Apa salahku? Apa kurangku? Dan banyak hal lainnya.
Aku berkali-kali meminta penjelasan darinya. Berkali-kali mengechatnya dengan paragraph yang panjang. Tapi dia tak sekalipun menghiraukanku. Tidak sepatah katapun.
Aku? Menangis sejadinya. Berhari-hari. Kami sudah merencakan banyak hal bersama. Sakit rasanya. Kok bisa yaa tiba-tiba dia lupa dengan segala ucapannya.
Tapi gapapa, Allah saves me from something I know nothing about. Aku cuma belum tau apa.
Tapi, akan kutagih semua janjinya nanti di akhirat kelak :)
Bandung, 15 Februari 2024 saat benar benar memutuskan untuk tidak lagi mengejar lelaki bulan Novemberku.
19 notes
·
View notes
Text
Bumi berputar, daun-daun berguguran, semua atas izin Allah. Manusia punya rencana, manusia berusaha, manusia membuat langkah-langkah dan strategi, namun Allah juga punya rencana, dan sebaik-baiknya Pembuat Rencana.
Bisa jadi kita sebagai manusia terlalu mendikte Tuhan, melihat segala sesuatu tanpa cacat ketika sudah dibutakan oleh Api Asmara—yang memaksa Pencipta untuk mengikuti kemauannya. Padahal, sejatinya mereka terlalu memuja makhluk, lalu tenggelam dalam pengharapannya.
Takdir akan terus berjalan seiring usaha manusia dan rencana-rencananya, entah sesuai yang diharapkan atau tidak. Manusia akan terkejut dan tidak akan menyangka, ia akan sedih atau bahagia, bagaimana hatinya bisa menjadi seluas samudera ketika ridho akan setiap kemungkinan yang terjadi di dunia.
Satu hal yang pasti, tentang angan dan mimpinya di bumi, akan ada masa dimana ia dikubur di dalam tanah—untuk menyadarkannya bahwa bumi adalah tempat tinggal sementara, dan masih ada alam-alam selanjutnya; proses panjang untuk mengabadikan diri di akhirat—entah menjadi bahan bakar neraka atau berlarian di taman-taman surga.
#motivasi islam#motivasi hidup#motivasi#self reminder#self development#self improvement#quotes#puisi#takdir#jodoh#maut#kematian
18 notes
·
View notes
Text
Aku Ingin Pulang
Lama aku pandangi komputer, tanpa melakukan apa-apa. Kepalaku kosong sejenak sebelum akhirnya diserang ribuan pemikiran yang bersimpul satu, aku seharusnya tidak di sini.
Sejenak aku membayangkan hamparan biru laut, gelombang pasang datang bergulung, aroma asinnya menusuk hidung. Di kejauhan sana aku melihat perahu nelayan, saat aku mendekat ke bibir pantai padina, gracilaria, caulerpa, halophila, merambat di antara jari jemariku.
Tapi aku masih di sini, ruangan berpendingin yang barangkali diimpikan banyak orang, membuka lembar demi lembar dan mengoreksi satu demi satu.
Aku sudah ada di ambang batas itu.
Aku jenuh.
Ketika aku pejamkan mata, aku bisa mendengar suara jangkrik malam hari, kodok yang bersahutan, lolongan anjing, juga hening yang panjang. Aku merasakan kamar kecilku di kampung yang tak pernah terusik dengan deru kendaraan yang bersahutan.
Hanya butuh sedetik kemudian aku merasakan tanganku meraih ranting pohon rambutan, memetiknya dengan wajah berseri dan hati membuncah. Tak berapa lama aku sudah berdiri di tepian danau, menelanjangi diriku dan membiarkan air danau membelainya.
Aku rindu, alam.
Melebihi aku merindukan semua afeksi yang kuidamkan, dari orang tersayang atau adam yang kuimpikan.
Aku bisa merasakan dauan-daun yang kutemui sekarang sedang menatapku kasihan, karena tanganku lebih suka bermain di papan tuts demi lembaran rupiah, padahal mereka tahu aku selalu bahagia saat seluruh tubuhku merebah di tanah.
Adakah yang telah hilang dari apa yang kupahami tentang kehidupan? Sebenarnya kepada siapa aku mengorbankan semuanya jika Ayah saja tak pernah meminta melebihi aku bahagia?
Apa yang kucari di sini? Pundi-pundi untuk mampu membeli buku, ya barangkali. Tapi di selanya, aku menikmati menjadi perempuan kota yang mengasingkan diri ke bioskop, ke tempat-tempat bagus, pusat perbelanjaan, makanan mahal yang tak menyisakan apa selain pengalaman, baju baru agar layak di antara dunia sosial, lalu hingga akhirnya berlomba sekali lagi demi uang yang lebih banyak.
Mau sampai kapan?
Aku tak seharusnya di sini. Aku tak seharusnya mati di ruangan ini. Aku ingin melihat lebih banyak kehidupan yang hening, bising terlalu menciptakan aku yang berkomentar seperti orang sinting.
Aku harus pergi, apapun yang terjadi kemudian hari, aku harus pergi. Tapi mulai dari mana aku melangkah?
Rumah, ya barangkali aku hanya butuh rumahku yang dikelilingi pohon kapuk menjulang. Yang kala bulan purnama menampilkan langit paling indah di Sumatera Utara. Ya, aku harus pulang.
Alam memanggilku pulang, dan kota seperti penjara yang menjadikanku penjahat. Aku harus pulang, sebelum aku kehilangan kesadaran untuk kembali ke rahim alam.
49 notes
·
View notes
Text
Berjihad
"Nggak papa, Haya. Ayah tuh pergi berjihad, mencari nafkah biar kita bisa sekolah", hibur Rafika kala Haya menangis karena ingin tidur bersama Ayah
Beberapa waktu terakhir Ayah sedang banyak jaga malam sehingga tidak tidur bersama kami. Karena sebelumnya selalu tidur bersama Ayah, anak-anak jadi merasa kehilangan Ayah kali ini. Tidak jarang mereka menangis karena kangen Ayah. Terlebih Haya, yang lebih dekat dengan Ayah dibanding kakaknya. Atas pertolongan Allah, Alhamdulillaah, Kakak bisa banget menghibur Haya dengan kata-kata di atas :")
Saya jadi banyak merenung. Terlebih hari-hari kemarin ketika saya menyiapkan presentasi tentang Perang Uhud untuk sebuah Halaqah Sirah. Kata-kata dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syaikh Mubarakfury berubah jadi scene-scene menggetarkan jiwa dalam benak saya.
Terbayangkan dengan jelas betapa para sahabat amat merindukan panggilan jihad dan amat bahagia ketika panggilan itu akhirnya datang. Di medan jihad pun mereka begitu all out mengerahkan seluruh kemampuannya. Bahkan disebutkan pedang Hamzah bin Abdul Muthallib mampu membuat musuh berguguran bagai daun-daun kering yang berguguran. Az-Zubair bin Al-Awwam melompat bagai singa dan langsung dapat membuat Thalhah bin Abu Thalhah terbunuh dalam sekali tebas. Mush'ab terus saja mengangkat bendera meski dengan leher dadanya karena kedua tangannya telah putus.
It brings me to a deep reflection. Kalau dulu para sahabat berjihad dengan pedang, para laki-laki hari ini berjihad dengan pengetahuan dan skill di dunia kerja. Dan seperti juga dulu para sahabat menghadapi musuh, yang laki-laki hadapi pun tidak ringan. Tuntutan pekerjaan, drama dengan teman kerja, tuntutan kebutuhan rumah tangga, target kenaikan jabatan, perjalanan pergi dan pulang di jalanan yang macet, dan tentu masih banyak tantangan lain yang para suami ini alami dalam jihadnya.
Kalau perginya laki-laki untuk mencari nafkah untuk keluarganya adalah jihad, maka ketika melepas suaminya bekerja, mestinya seorang istri selayaknya melepas suaminya berjihad di medan perang. Ia akan menyiapkan perbekalan paling baik dengan penuh cinta. Hatinya mesti penuh dengan keikhlasan dan tawakkal. Lisannya akan terus basah oleh doa dan dzikir. Karena bisa jadi, saat seorang istri melepas suaminya bekerja adalah saat terakhir perjumpaan keduanya.
Dan, kalau di medan jihad para sahabat berjihad dengan demikian kerasnya maka tentu mereka membutuhkan kelembutan dan ketenangan ketika pulang ke rumahnya. Sambutan hangat, senyuman, pelukan, makanan yang telah siap saji, dan cerita penuh kesyukuran kiranya adalah yang laki-laki perlukan setelah berpeluh di dunia yang keras. Bukan istri yang cemberut, suka mengomel, suka mengeluh dan banyak menuntut yang ia inginkan.
Menulis ini sebenarnya adalah tamparan keras untuk diri sendiri. Ternyata selama ini masih belum menyadari hakikat tugas mencari nafkah-nya suami. Yang mana bukan sekedar rutinitas atau formalitas, melainkan bisa menjadi persembahan terbaik untuk Rabb yang telah memberi segalanya. Masih jauhhhhhh sekali untuk menjadi istri seperti di atas :")
Istighfar banyak-banyak.
11 notes
·
View notes
Text
Pohon Rindang Didepan Jendela
Pagi dengan langit mendung yang menyapa. Kaca jendela yang setengah terbuka, desiran angin mengajak daun-daun kekuningan menyambut sepasang retina.
Sekali lagi bangun dari mimpi yang remang-remang akan keberadaannya.
Sekali lagi menjalani hari yang tak pasti ujung perjalanannya.
Berdiri didepan jendela, menatap linglung pada sebatang pohon yang begitu setia menyapa setiap paginya.
Diantara rasa sepi ia bertanya-tanya, akankah hari ini ia mampu menepikan duka, akankah hari ini ia berhasil memeluk bahagia.
Diantara kegelisahan atas ketidakpastian pada masa yang akan datang. Diantara kekhawatiran atas harapan yang belum juga berhasil terbang.
Diantara ketenangan yang begitu sulit untuk didapatkan. Diantara ketidakmampuan yang cangkang kerasnya begitu sulit untuk dipecahkan.
Do'a dilantunkan, do'a disenandungkan. Membersamai derak cabang pohon yang tengah asik menari, mengiringi deru angin yang sedang asik bernyanyi.
Berharap dapat segera terbangun dari rasa rendah diri yang tak hentinya membayangi. Berharap dapat memperkuat semangat juang atas ketidakpercayaan diri yang gemar menyertai.
Layaknya pohon rindang yang hingga kini masih kokoh berdiri. Yang terus bertahan dari pergantian musim yang menyerangnya silih berganti.
Ia pun mencoba untuk terus berjuang, untuk terus menghadapi. Atas ketidakpastian yang mengendalikan hidup ini. Atas ketidakpastian yang mengendalikan masa depan dikemudian hari.
Oleh: @melodirinai
Di sebuah kota kecil di Pulau Sumatera | April 8, 2024.
10 notes
·
View notes
Text
Pada malam itu, Lagi-lagi aku terluka.
Parah sekali! Hingga sesaknya menyeka air mataku keluar;
Berulang keputusan berpisah harus ku telan tanpa jawaban atas pertanyaan, kamu kenapa?
Bukankah memang tak semua tanya, berujung jawab.
Kadang ia menjadi pikiran yang terus terngiang-ngiang di kepala; damainya hanya dengan waktu, bukan jawaban!
Esoknya aku menanyai lagi diriku, harus apa sekarang?
Dan lagi-lagi aku tak menemukan jawaban.
Sesekali hanya air mata yang membantu melegakan sesak yang sudah lama tertahan ini.
Beberapa kali aku terdiam dengan tatapan kosong! namun sering juga harus memaksa diri memakai topeng bahagia didepan orang-orang, padahal hati babak belur lukanya; begitu aku melewati hari demi hari sambil terus menanyai diriku, harus apa Sekarang?
Kini, Aku seperti daun yang jatuh dari ranting yang rapuh ke aliran sungai yang keruh.. Hanya Berpasrah kepada arusnya, kemana air akan membawa..
Ntahlah, berulang kali aku mengatakan; aku lelah, namun arus ini terus membawa ku ntah kemana :(
2 notes
·
View notes
Text
Siapakah Aku
Merah-oranye-kuning menyala Indah membingkai pinggiran sungai yang tenang Indah birunya bagai cermin yang memancarkan sang langit Merah-oranye-kuning tertiup angin Lembut menari-nari bak lidah api Kontras warnanya menghiasi birunya sekitar Begitu indah begitu menenangkan
Puluhan --mungkin ratusan turis datang Berfoto berlatar pepohonan dengan daun gradasi merah-kuning yang menyala Tersenyum bahagia Orang tua mengenalkan autumn colors pada anak-anaknya Menggunakan baju coklat senada Mata berbinar terpesona
Dengan mereka terdengar tawa Dengan mereka terbawa keriuhan riang Keceriaan dan kebahagiaan Atas syukur dan keindahan Musim gugur yang tidak akan bertahan lama Sebelum datangnya dingin selanjutnya
Dengan mereka terdengar suara Keriangan bocah-bocah berlarian Saling goda pertemanan Benih-benih cinta yang sedang berbunga-bunga Kaki-kaki mereka menginjak rata Dedaunan yang kurang indah
Dedaunan yang tidak dipuji dengan tatapan berbinar Dedaunan yang bernasib untuk menjadi bantalan jatuh sang bocah Dedaunan yang dewasa sebelum waktunya Dedaunan yang jauh sebelum sempat menunjukan merahnya Dedaunan yang tidak sempat bersinar di galeri foto mereka Dedaunan yang selalu ada Dedaunan yang tidak diberi kesempatan untuk membingkai birunya Dedaunan yang bahkan tidak lewat sedikit pun di benak para manusia yang sedang sibuk mengabadikan saudaranya
Musim gugur musim semi bagi hangat sang merah Musim gugur musim kesempatan bagi kuningnya Musim gugur musim kesempurnaan bagi coklat oranyenya Musim gugur musim penuh penginjakan bagi mereka yang telah gugur sebelum waktunya
Apakah merahku tak sama? Apakah merahku tak seindah yang di dahan? Apakah kuningku lusuh dan mengganggu pemandangan? Apakah oranyeku terlalu gelap hingga mengobarkan kepedihan yang susah payah kau kubur dalam-dalam jiwamu yang lelah?
Musim gugur. Merah-oranye-kuning dimana-mana
sebuah puisi spontan di ombang-ambing malam penuh tugas sthlm, tjugosjätte april tusentjugofyra
3 notes
·
View notes
Text
Takdir Terindah ***
Kehidupan akan selalu meninggalkan banyak cerita yang berwarna. Seperti sebuah lukisan di kertas canvas yang semula putih, semakin hari ia akan terisi dengan coretan-coretan yang beragam warna. Mulai dari sanalah keindahan akan tercipta. Beragam warna akan menjadi sebuah cerita, mengabarkan setiap makna didalamnya. Menciptakan sebuah seni dalam hidup yang indah untuk dilihat mata. Meninggalkan memori yang akan dikenang nantinya.
Jangan berharap canvasmu hanya putih atau hitam saja. Itu bisa jadi pertanda kehidupanmu tidak baik-baik saja. Setelah satu warna kau goreskan dengan kuas dicanvasmu, lalu tanya pada dirimu, warna apalagi yang akan kamu goreskan selanjutnya. Kadang kala pun, kita perlu beranjak keluar untuk mencari warna baru yang bisa memenuhi canvasmu. Lukislah canvasmu seindah mungkin. Semakin berwarna, semakin rumit warna yang tercipta, menandakan banyak pengalaman yang telah kau goreskan didalamnya.
Segala sesuatu di dunia juga datang dan pergi. Bermula dengan pertemuan, berakhir dengan perpisahan. Kita tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal. Kita pun tak bisa memintanya untuk membawa kisah bahagia saja. Karena yang datang bisa membawa tawa, dan ada yang meninggalkan luka. Disanalah letak cerita yang berwarna berada. Meninggalkan potongan-potongan memori yang akan kita kenang selamanya.
Seperti Daun di dahan itu, tidak selamanya hijau dirantingnya. Ada masa dimana angin akan menerbangkannya, ada saat dimana ia jatuh menguning ke tanah pada akhirnya. Ada waktu ia kembali tumbuh menghijau, mengganti daun lama menjadi yang baru. Ada saat dimana bunga juga akan mekar nantinya, menebar keharuman pada sekitar kita. Dan yang terindah adalah saat pohon itu bisa berbuah disana, sebuah hasil yang tercipta dari serangkain alur kehidupan yang telah diatur oleh yang Maha Pencipta.
Perihal takdir tidak perlu terlalu kita cemaskan. Setiap kejadian telah ditulis dengan rapi oleh yang Maha Kuasa. Takdir terindah telah tercatat di sisi-Nya. Akan selalu ada hal baik dari setiap hal yang telah Allah takdirkan. Tugasmu hanya perlu menjemputnya dengan doa dan usaha yang kamu bisa. Nasibmu telah ditulis dengan tinta cinta-Nya. Kemudian disegel dengan rahmat-Nya. Maka, tak perlu takut, percayakanlah dirimu kepada-Nya dan berharaplah pada segala ketetapan-Nya.
Namun ingat, takdir itu milik Allah, tapi usaha dan doa adalah milik kita. Maka berusaha dan berdoalah agar kamu menemukan takdir terindah. Dan yakinlah setiap yang tertakar tidak akan pernah tertukar. Segala apa yang menjadi takdirmu akan mencari jalan untuk menemuimu. Segala apa yang menjadi milikmu tidak akan pernah meninggalkanmu.
Teruslah melangkah, memang jalan yang akan dilalui tidak selamanya lurus dan mulus. Akan selalu ada kerikir bebatuan, lubang yang menghadang untuk sampai tujuan. Ketahuilah, hasil yang indah tidak terlahir dari langkah yang mudah. Dan jangan lupa selalu mensyukuri setiap episode hidup yang kamu lalui. Agar engkau senantiasa memiliki hidup yang diberkahi. Dan semoga nikmat-Nya selalu tercurah untuk setiap hamba yang diridhoi.
Semoga apa yang kamu inginkan, bukan semata-mata hanya tentang dunia yang ingin dikejar, tapi sebagai perantara meraih akhirat sebagai akhir tujuan. Selamat menjemput takdir terindahmu. Selamat melukis canvas hidupmu seindah yang kamu mampu. Semoga Allah selalu membersamai setiap langkahmu.
Yakinlah, takdir Allah itu indah, karena DIA Maha Indah dan menyukai keindahan.
🌾T.W || 30.03.24 || 21.12🌾
3 notes
·
View notes
Text
POHON TEDUH & LELAKI BERWAJAH SEDIH
Setiap hari aku melihat dari kejauhan pohon itu berdiri tegak sendirian di tengah padang rerumputan. Daun-daunnya yang luar biasa rimbun akan bergoyang ringan diterpa bisik-bisik angin. Ketika badai datang, beberapa helainya akan berguguran. Ranting-ranting kecilnya beterbangan meliuk-liuk sebelum jatuh menyentuh akar-akarnya. Bahkan saat kegersangan melingkupi, hal itu hanya akan meranggas sebagian dirinya saja. Pohon itu tak tergoyahkan, Ia terus meneguhkan diri.
Aku menamainya pohon teduh.
Pohon teduh itu bukanlah pohon tercantik yang pernah aku lihat seumur aku hidup di dunia ini. Di sisi lain padang rerumputan ini, berbagai jenis bunga berwarna-warni menghiasi. Paduan hijau daun dan merah merekah sungguh menggoda hati. Tetapi entah mengapa ada sesuatu dari pohon teduh yang menentramkan jiwa. Sekedar mengamatinya saja aku seolah bisa mencium aroma masakan ibu yang jauh disana atau aku serasa tengah dipeluk erat ayah di masa kecilku dulu itu.
Aku merasakan kedamaian tak terperi, ibaratnya aku tengah pulang di rumah yang selalu aku rindukan.
Suatu hari saat kemarau menjelang, datanglah seorang lelaki yang rautnya penuh misteri. Bahu lelaki itu diliputi kelamnya beban-beban hidup. Ada banyak kesedihan yang Ia pendam tanpa ingin Ia ungkapkan. Ia menyembunyikan di balik ulas-ulas senyum kecilnya. Begitu berada di bawah pohon teduh sesegera lelaki itu menyandarkan resahnya. Sesering-seringnya Ia menghela nafas panjang, seolah hal itu akan menjeda lelah dunianya. Aku memperhatikan Ia selalu membawa sebotol penuh kopi hitam. Ia akan menuangkan kopi pada tutup botol yang menyerupai cangkir. Ia kemudian menyesapnya dalam diam, terkadang Ia membaginya dengan pohon teduh.
Aku menyebutnya lelaki berwajah sedih.
Setelahnya, dari waktu ke waktu lelaki itu mengunjungi pohon teduh ketika dunianya teramat terik. Lelaki itu akan duduk bersila dan berharap pohon teduh untuk terus seperti itu saja; tak mempertanyakan dan tak menuntut. Pohon teduh tak boleh bergerak dan harus berdiri dengan letak yang sama, dengan begitu Ia bisa merawat pohon itu semampu Ia. Lelaki berwajah sedih senantiasa berupaya sekuat tenaga untuk menenangkan dan memberi pohon teduh sentuhan-sentuhan penuh cinta.
Kala senja datang dan matahari menghilang, lelaki itu harus pulang sebab dirasanya terik sudah pergi. Setiap saat itu tiba, pohon teduh akan melambai-lambaikan dahan-dahannya melepas kepergian lelaki berwajah sedih. Lelaki itu pun pasti menoleh dua kali untuk meyakinkan diri bahwa pohon teduh akan baik-baik saja sepeninggalnya. Akan tetapi hanya lelaki itu yang mengetahui kapan Ia akan datang dan kapan Ia akan pergi lagi.
Sesungguhnya sebelum lelaki itu hadir, aku melihat pohon teduh tengah dilanda penat dan jengah berkepanjangan. Aku bisa mengerti pohon teduh merasa kesepian meski Ia nyaman saja sendirian. Kini seringnya pohon teduh dijerat rindu akan hadir lelaki itu. Akan tetapi pohon teduh menyadari lelaki itu tak harus selalu ada. Hanya saja setiap kali lelaki itu berbagi kopi dan membiarkan pohon teduh mencicipinya, pohon teduh merasa lega.
Aku melihat meski pohon teduh sedikit bersukacita, terkadang pohon teduh merasa ragu untuk meminum kopi hitam lelaki itu banyak-banyak. Pohon teduh tahu, kopi milik lelaki itu bukan hal yang baik bagi keberlangsungan hidupnya. Dulu sekali pohon teduh pernah sangat terluka saat meneguk cairan yang sama untuk waktu yang sangat lama.
Sesungguhnya pohon teduh ingin lelaki itu membagi air saja, tapi apa yang dibawa lelaki itu bukan air sebab ia tak leluasa bebas mengalir.
Masa demi masa terlalui. Aku akhirnya menyaksikan pohon teduh kembali sendirian. Ia masih berdiri tegak menaungi sekelilingnya. Lelaki itu tak pernah kembali datang. Dalam hati aku berdoa saja semoga keduanya memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari apa yang tengah menyakiti dan bisa lebih banyak berbagi dalam keberuntungan yang bahagia.
Yogyakarta, 24 Februari 2024
(Co-writing: Aril "Candrasangkala")
5 notes
·
View notes
Video
youtube
Hidup adalah doa yang panjang
Semua hal yang ada di dunia ini memiliki relevansi terhadap waktu, “kita abadi yang fana itu waktu”. Lagunya begini nadanya begitu, pengennya kaya gini tapi ya gitu. Barangkali hidup adalah doa yang panjang karena jawabannya memang ga ada yang tau.
Walaupun tidak ngopi dan tidak banyak turun hujan di bulan Juni, ternyata setengah tahun telah terlewati. Sedikit menangis menerka gerimis, tapi semoga selanjutnya terukir manis. Beberapa kali coba memikirkan maksud takdir, apa daya takdir begitu keras kepala. Kupasrahkan saja, sebab Tuhan akan merawat dan menunjukkan jalannya.
Kadang hati juga seperti selembar daun, terombang-ambing terserah angin akan membawanya ke mana. Belum lagi semesta suka bercanda. Kenyataan tak sesuai rencana, sudah biasa. Hanya mampu melangitkan doa-doa panjang dengan segala upaya yang bisa dicoba. Waktu hanyalah irama dan kita akan terus berjalan di atasnya.
Semoga selalu sehat, dibahagiakan, diberi umur yang berkah nan panjang serta senantiasa dilindungi dalam penjagaan terbaik-Nya.
22:27 | Bertepatan malam Idul Adha, semoga pengorbanan yang kita berikan di tahun ini menjadi amalan ibadah yang ikhlas serta membawa damai dan bahagia
8 notes
·
View notes
Text
Terhitung berapa waktu yang sudah berlalu ya hingga akhirnya aku benar-benar bisa mengambil banyak hikmah sambil tersenyum dan tertawa setiap kali mengingatnya.
Saat itu kamu tahu gak sih gimana tercekatnya aku waktu baca sebuah berita kamu mau nikah? Haha. Aku inget banget bahkan sampai saat ini masih jelas rasanya gimana tubuh dan pikiranku beku sesaat saat itu. Padahal aku udah berspekulasi loh kalo kemungkinan besar kita gak akan bersama sih. Tapi meskipun sudah memikirkan kemungkinan itu, tetep aja sakit ya pas tau kenyataannya memang terjadi.
Bahkan pertemuan beberapa minggu setelah kamu nikah aja aku bisa bersikap biasa aja seakan-akan ya emang kita gak pernah ada apa-apa. Eh malah kamu yang mancing, ngomongin soal nyesel lah gak nembak istri kamu dari tahun lalu. Dan bisa-bisanya saat itu aku jalan bertiga sama kamu dan istri kamu. Sumpah sih disitu berasa kambing congek diantara penganten baru wkwkwk. Tapi begitu sampe rumah aku berpikir ulang, kok aku bisa sih kayak gitu, menyakitkan banget tau. Udah sholat isya cuma bisa nangis sambil menertawakan kebodohan diri ini. Tapi kamu harus tau aku bangga sama diri aku karena aku berhasil gak keliatan galau depan kamu yang kayaknya sengaja mau manas manasin aku ya hahaha.
Yah setelah beberapa bulan berlalu, jatuh, patah, sakit dan menyesal sudah aku lalui, akhirnya aku menyadari beberapa hal, kenapa ya skenario Allah gini banget? kita yang satu almet tapi gak pernah ketemu karena beda angkatannya lumayan bisa dipertemukan di tempat yang sangat gak terduga, latar belakang kita yang mirip-mirip, treat dari kamu yang beda dan bikin kita sering banget diceng-cengin satu grup, aku yang dibuat kerja deket tempat kamu tinggal dan banyak hal lain yang kayaknya kalo main cocoklogi tuh kita cocok deh.
Tapi ternyata aku ada untuk jadi pelajaran buatmu dan kamu ada untuk jadi pelajaran buatku. Pertemuan kita hanya untuk saling mengajarkan. Bahwa jangan buat pilihan dengan awalan yang gak jelas. Karena ketidakjelasanmu itu cuma mengundang tanya. Pada akhirnya kamu akan membuang banyak waktu untuk mempertimbangkan pilihanmu sendiri. Padahal akhirnya kamu tetap pada pilihan yang pertama kan?
Dan buatku, kamu itu pelajaran berharga yang berhasil menyadarkan aku kalau nanti di depan aku berjumpa lagi dengan sosok macam kamu lagi yang gak bisa to the point, yang ngedeketin aja tanpa ngasih kejelasan di saat aku masih punya keinginan berpetualang, aku harus berani nanya, maksud kamu apa? Kamu punya tujuan apa memperlakukan aku kayak gini? Aku punya banyak hal yang masih ingin dilalui, kamu mau nemenin aku gak?
Kalau seandainya kamu gak bisa ya kita cut aja dari sekarang, supaya aku gak ngerasa digantung dengan harapan yang sebenarnya cuma bayangan aja, dan kamu gak dibuat menunggu sama pilihan kamu yang gak pernah dikasih kejelasan.
Jadi kalau kata Bernadya "Sinyal-sinyal darimu tak jelas, atau mungkin aku kurang cerdas"
Terus kalau kata Tulus "Ku kira kita akan bersama, begitu banyak yang sama latarmu dan latarku. Ku kira tak akan ada kendala, kukira ini kan mudah, kau aku jadi kita. Kau melanjutkan perjalananmu, ku melanjutkan perjalananku"
Kata Juicy Luicy " Kata kau utara kan berbeda dengan laju kapalku yang mengarah tenggara"
Satu lagi yang relate dari Daun Jatuh "Tapi setidaknya kau telah mengubahku dari resah menjadi luka"
Lalu pada akhirnya kalau kata Hal "Terima kasih atas segala rasa, pada hari itupun aku turut bahagia"
Tapi kalau kata aku " Terima kasih atas segala tanya, pada hari itu teka-tekiku terjawab"
HAHAHA
Ketika kisahnya udah bisa ditertawakan dan diceritakan seperti lelucon itu tanda aku sudah baik-baik saja. dah~
Waterenough, 23 Agustus 2023
1 minggu menjelang resign kerja
6 notes
·
View notes
Text
Tuan Topi.
Enak sekali.
Aku menyesap lagi teh vanilla buatanku untuk kedua kalinya. Aku memejamkan mataku saat rasa hangat menjalar masuk ke tenggorokanku. Teh vanilla dengan poffertjes adalah perpaduan yang pas untuk sarapan.
Mataku terkunci pada bunga-bunga yang menghiasi teras rumahku, kebun kecil-kecilan yang ku buat satu tahun lalu. Aku memilih bunga matahari untuk ku tanam dan ku urus bak buah hati sendiri.
Ternyata, melihat mereka tumbuh sebesar dan seindah ini, membuatku tenang. Ah, rasanya aku betah berlama-lama memandangi bunga-bungaku tanpa melakukan apapun.
Aku berjalan mendekati mereka, ku hirup aroma tubuhnya yang menenangkan, ku bersihkan pelan-pelan dari kotoran atau sekadar daun-daun yang berjatuhan di sekitar bunga-bungaku.
Sembari membersihkan buah hati, pikiranku melayang ke memori satu tahun silam, tepat hari ini, adalah satu tahun aku bertemu sekaligus berpisah dengan seseorang yang masih terus saja ada di ingatanku.
Pertemuan singkat yang sangat berkesan— dan yang paling membuatku bahagia, sepanjang aku menghirup udara gratis di dunia ini. Pertemuan dengan Tuan Topi, sesungguhnya aku tidak tahu siapa namanya, namun wajah dan postur tubuhnya masih teringat jelas. Aku memanggilnya Tuan Topi, karena ketika kami bertemu, ia memakai topi berwarna hitam yang basah karena terkena rintik hujan.
Tuan Topi, aku baik-baik saja di sini. Jika kau masih mengingatku— dan mungkin sedikit penasaran dengan kabarku, aku mulai berkebun untuk mengisi waktu luangku yang semakin hari semakin banyak saja, aku tidak lagi berpindah tempat setelah gempa melanda kota Magnolia Springs tahun lalu, rumahku ambruk, hanya menyisakan sedikit barang, itupun barang-barang yang memang kokoh dan padat, sisanya aku tidak tahu di mana, ada yang hilang, ada juga yang hancur tak terbentuk.
Aku menyewa rumah setelah satu bulan mengungsi di balai kota bersama warga lainnya, ketika keadaan dirasa sudah aman, kami diperbolehkan pergi dari pengungsian untuk melanjutkan hidup.
Nasib hidup sendiri dan tak punya sanak saudara, aku kebingungan, kemana lagi aku harus pulang? Tak ada lagi tempat pulang yang biasa ku sebut rumah, ini artinya, aku harus membangun rumah baru, dan ini artinya, aku harus mengocek tabunganku yang harusnya ku pakai untuk berlibur ke negara lain.
Untungnya, ada pemilik rumah berbaik hati yang rela menyewakan rumahnya untukku dengan harga murah sesuai dengan kantong, rumah ini sempit, tapi cukup besar untukku tinggali seorang diri, jika kau belum punya rumah, bolehlah bergabung denganku suatu hari nanti, Tuan Topi. Masih muat untuk tambah satu orang lagi.
Tuan Topi, aku masih sering menggerakan jemariku di atas piano, memainkan lagi Nocturne Op 9 no 2 yang pernah ku mainkan untukmu. Semua masih sama, yang berbeda tak ada lagi tepukan tangan darimu.
Tuan Topi, aku masih setia membuat susu vanilla hangat untuk menghangatkan tubuh di kala hujan datang, semua masih sama Tuan Topi, yang berbeda tak ada lagi yang berkata bahwa susu vanillaku adalah yang paling enak.
Tuan Topi, semua masih sama, aku masih sendiri dan tak punya suami, mungkinkah kau juga sama? Belum ada perempuan yang mendampingi. Tapi, kalau sudah ada, tidak apa-apa juga, sih. Itu hak mu.
Itu hak mu, tapi hak ku juga bukan, berdoa semoga kau masih sendiri. Maaf ya, aku mungkin sudah mulai gila.
Gila karena rindu.
Tapi, aku ingin berterima kasih kepada Tuhan, sudah memberikanku kesempatan bertemu denganmu walau sangat sebentar, setidaknya, aku diizinkan untuk merasakan kehangatan di dalam hati, Tuhan baik sekali, ya?
Tuan Topi, jika kau masih hidup, ku doakan kau agar selalu sehat dan bahagia, namun jika kau telah mati, ku doakan pula agar kau bisa tenang dan bahagia di kehidupan yang baru. Namun aku yakin, kau masih hidup, setidaknya selalu hidup di dalam pikiranku.
Tuan Topi yang berbahagia, ingatlah aku walau hanya satu detik di setiap waktu yang kau lalui,
kenanglah aku di dalam kotak memorimu yang mungkin mulai memudar karena usiamu tak lagi muda,
pikirkanlah aku di malam sebelum kau masuk ke dalam mimpimu walau sebentar, siapa tahu kita bisa bertemu di sana,
sebutlah aku setidaknya satu kali ketika kau sedang berdialog dengan Tuhanmu, siapa tahu malaikat mendengarnya dan ikut mengaminkan,
Tuan Topi yang berbahagia,
tutuplah rapat kotak kenangan manis kita— setidaknya untukku, simpanlah kotak itu di jiwamu, dan bukalah kembali ketika kita bertemu lagi, jika Tuhan mengizinkan untuk kedua kalinya.
Tuan Topi yang berbahagia,
aku baik-baik saja di sini, dan aku selalu merindukanmu.
9 notes
·
View notes
Text
The sensation of reaching this point in life
Past twenty, not yet thirty, in between, right there When I'm not a kid or an adult, when I’m just me
Waktu aku seusiamu, aku lagi gendong kamu yang usianya sudah 2 tahun. Ya, tidak lama kemudian kamu cerai.
Mana pacarmu? Kok bude nggak pernah lihat. Bukan urusan budhe…
Kapan nikah, keburu tua. A moment of silence for a lack of better words.
Kamu lambat. Orang lain seusiamu sudah banyak yang meraih ini dan itu. Aku suka jalan pelan-pelan.
Habis ini mau kerja di mana? Coba PNS itu, lho, yang kerjanya terjamin. Terima kasih, pakdhe.
S2 di Jakarta atau Jogja saja. Ngapain sekolah kok harus ke luar negeri. Agar jauh darimu.
Tipikal. Stereotype. Sering terdengar di mana-mana.
Hari-hariku satu bulan ke belakang penuh dengan mimpi buruk, kecemasan, tangis, serta sakit kepala akibat memikirkan keputusan-keputusan yang harus aku ambil. Aku benci memilih; namun aku mendamba kebebasan memilih.
Aku mau menghidupi mimpi-mimpiku dengan apa saja yang bisa aku temukan. Ranting pohon. Daun kering. Ilalang. Angin musim kemarau. Hujan bulan Oktober. Catatan yang luntur. Buku. Ingatan yang kusut. Cokelat less sugar. Buket bunga. Cinta.
Aku langganan gagal. Aku masih suka maju, lalu mundur, tidak untuk maju lagi. Aku tidak bisa bertanggung jawab atas diriku sendiri. Aku tidak selalu bisa menyelesaikan apa yang aku mulai. Aku tidak selalu bisa menepati janjiku padamu. Aku jijik melihat isi kepalaku.
Kekuranganku semakin banyak. Kelebihanku semakin tidak ada artinya di hadapan pemberi kerja. Selama aku dapat kerja layak, hidupku akan baik-baik saja. Selama aku bisa pulang ke pelukanmu, hari-hariku akan berakhir baik.
Kemarahanku pada dunia ini tak kunjung reda. Terlalu sering marah itu tidak baik, namun aku tidak ingin berhenti marah. Aku ingin mengubah kemarahanku menjadi bara api, bunga abadi, kasih sayang, teh hangat–untukmu, untuk siapapun.
Kekecewaanku pada dunia ini tak pernah selesai. Satu persatu harapan layu dan tumbang. Mimpi-mimpi tak pernah berhenti jadi angan. Yang terwujud hanyalah mimpi buruk.
Kesedihanku tidak akan pergi. Terlalu banyak hal yang membuatku sedih. Terlalu banyak hal yang ingin aku tangisi. Selama aku masih bisa menangis, aku akan baik-baik saja.
I’m fearless, but I still fear. Aku punya segudang ketakutan. Takut bicara di depan publik. Takut mengutarakan pendapat. Takut menjadi satu-satunya yang salah. Takut kesepian. Takut mengatakan aku takut. Takut mengakui aku takut. Diantara ketakutanku, aku ingin lebih berani.
Aku mau bahagia. Aku mau lebih sering tersenyum dan tertawa. Aku tidak mau terus-menerus khawatir soal produk perawatan kecantikan yang banyak jenisnya itu (aku tetap memikirkannya). Aku mau sehat. Aku mau teman-temanku bahagia, banyak senyum dan tawa, serta sehat.
Aku mau bebas. Aku mau menjadi aku.
Aku ingin berbuat lebih banyak. Aku ingin berhenti jadi tidak berguna. Aku ingin berhenti jadi beban keluarga. Aku nggak mau gagal, argh. Tentu saja aku akan menemui kegagalan. Selama masih hidup, aku akan menemui kegagalan. Selama aku masih bisa belajar, itu artinya aku masih hidup.
Penyesalan. Susah sekali dihilangkan. Meski begitu aku bersyukur bisa menyesal. Menyesal adalah caraku memberi ruang dan waktu untuk hal yang tidak terwujud; mimpi, rencana yang sempurna, kisah yang indah.
Usiaku bertambah, begitu pula pilihan-pilihan yang harus aku ambil. Ada pilihan berat yang menunggu di ujung sana. Ada pilihan sulit yang harus segera aku tentukan. Ada pilihan yang…aku tidak sanggup untuk memilih. Aku tidak ingin memilih, tapi pada akhirnya aku akan memilih.
Selamat bertambah usia. Selamat menjalani hari-hari setelah ini. Selamat, dan semoga selalu selamat.
In this ugly world where the color is fading You're beautiful in every color and shade, I Don't know if you drink, But raise a glass to the past in the story of us
6 notes
·
View notes
Text
Sawang Sinawang
Ada yang sudah pernah mendengar “Sawang Sinawang”? Merupakan sebuah ungkapan Jawa mengenai perilaku membanding-bandingkan kehidupan. Mirip dengan: rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Gitu hehe.
Judul tulisan ini sudah lama mendekam dalam draft saya, pemaknaan yang muncul dalam sebuah perjalanan di akhir 2018. Saat itu saya sedang mengambil data penelitian di sebuah desa tertinggi di daerah itu. Letaknya di Dusun Surorowo, Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan. Tempat itu tak jauh dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Warga Surorowo sebagian besar juga bersuku Tengger.
Saya tinggal selama seminggu di rumah Pak Poniran dan Ummi, gratis dengan fasilitas makan. Semoga Allah berkahi kehidupan beliau aamiin. Beliau merupakan salah satu pemilik kebun apel yang mempekerjakan banyak warga di sana. Karena baru dapat mewawancarai warga sepulang bekerja di kebun, saya memutuskan ikut ke kebun setiap harinya :D. Saya jadi belajar proses berbuahnya apel yang selama ini terkenal dengan “apel malang” itu. Ternyata perlu kita petik dulu daun-daun lamanya, lalu kita beri obat pada tunas-tunasnya. Memanjat pohon apel yang tak tinggi itu, seru juga!
Setiap tengah hari, kami akan makan bersama di kebun. Sederhana, namun bersama selalu terasa lebih nikmat. Huhu kangennya :”). Sembari menikmati makanan, mereka sering bertanya tentang kehidupan saya. Dan terkadang menceritakan hal-hal di sekitar mereka. Oh ya, kami bercengkrama dengan bahasa Jawa. PDKT-able untuk native speaker asli Jawa Timur seperti saya :D
Yang saya rasakan? Wah bahagianya! Bisa meninggalkan sejenak kehidupan kampus dan bergabung dalam aktivitas warga. Sejenak terbesit, “Enak yaa. Di daerah dingin, menanam apel, merawatnya, panen, kalau malam buat api unggun..” Ingin rasanya berlama-lama di sana. Seems joyful!
Tapi bagi mereka tentu beda lagi. Suatu waktu di Bromo, seorang warga bertanya, “Mbak.. Kalau habis kuliah nanti, berarti kerjanya di kantoran ya, Mbak? Enak ya..” Saya terdiam sejenak sebelum menjawab ala kadarnya. Lalu membatin, baru saja saya berpikir pekerjaan mereka enak hehe. Tapi bagi masyarakat yang tinggal di pucuk gunung dengan satu SD yang bersiswa bisa dihitung jari, aktivitas belajar kami adalah hal yang mewah. Potensi pekerjaan kantoran, berseragam necis, adalah hal yang warga idam-idamkan.
Saya kemudian merenung. Selalu saja ada masa, di mana kita melihat hidup orang lain lebih menyenangkan dibanding hidup kita. Padahal hidup kita adalah hidup yang mungkin orang lain inginkan juga. Seperti itu dunia berputar, jika hidup kita sawang sinawang.
Angan-angan mendekat dalam bayangan. Syukur menjauh dari hati lapang. Keluh membuncah dari diri yang merasa kurang. Ah betapa tak tenang.
Betapapun gemerlap kehidupan orang selalu terlihat menyilaukan. Cahaya bahagia hanya dapat kita temukan dari apa yang ada dalam genggaman.
Banyakin syukurnya yuk, diri!
-------------------
Jogja lagi, 30/12/2022 | 7:45 WIB
14 notes
·
View notes
Text
Tangis Tak Bersuara
Kisah apa yang tersimpan di balik daun yang gugur, atau seperti siul-siul burung di pagi hari atau juga seperti gemericik air saat menerjang bebatuan di sungai. Aku selalu menerka seperti apa kisah mereka, apakah suka atau duka ?
Seperti kemarin saat ku dapati ibu yang menangis tanpa suara di kamarnya. Ku lihat ia mengadahkan tangan seraya berdoa dengan mukenah lusuh buatan nenek semasih muda.
Apa yang ibu keluhkan pada yang Yang Maha Kuasa ? Ku ingat-ingat lagi memori peristiwa apa saja yang sudah terjadi.
***
Tahun lalu kakak sulungku pergi jauh, merantau bersama suaminya di negeri seberang. Sedari pagi ku lihat ibu sibuk mengepulkan asap dapur, memasak ini itu untuk kakak bawa sebagai bekal. Tak banyak bicara namun tangannya begitu sigap dan cekat.
Hari itu begitu haru biru, karena memang kami tak pernah pergi jauh. Kalapun ada paling lama tiga hari sudah pulang kembali. Tapi kali ini kakak akan menetap diperantauan bersama keluarga barunya. Aku, ayah, ibu, dan adik-adik turut bahagia dengan pernikahannya hanya saja terpisah tak serumah agak asing rasanya.
Aku merasa kakak adalah definisi dari tangis tak bersuara ibu. Mungkin itu rindu. Sejauh manapun sang anak melangkah ternyata doa orang tua selalu turut menyertainya. Tak peduli berapa usia sang anak, meski sudah dewasa dan berumah tangga seseorang tetaplah anak di mata ibu ayahnya.
Rumah, 30 Juli 2023
#tahunlalu #ibu #daun #burung
5 notes
·
View notes