#langit ungu
Explore tagged Tumblr posts
Text
Petualangan Abimantrana di Dunia Misterius
Dengan seberkas cahaya yang tersisa, Abimantrana melompati bidang ini dan menapak di atas sebuah garis-garis matriks yang jelas. Kemudian ia melangkah beberapa kali, mendongakkan kepala untuk melihat sekeliling. “Ini ada di mana?” gumamnya dengan penuh keheranan. Yang diketahui Abimantrana adalah portal telah membawanya ke sebuah dunia yang tidak diketahui keberadaannya. Sekilas ingatan muncul…
#Abimantrana#ancaman#awan merah darah#bidang#buku#cahaya#dunia#dunia asal#garis-garis matriks#kekosongan#langit ungu#makhluk aneh#misteri#perpustakaan rahasia#petualangan#petunjuk#portal#portal aktif menyala#rahasia#tanah hitam#tekad#tubuh#vanquiser
0 notes
Text
Senja Hari Ini
Langit merendah di ujung senja, jingga meresap di sela-sela awan kelabu dan gerimis. Semesta mendadak sibuk melukis sesuatu.
Aku memandangnya, langit merentang dengan warna yang tak biasa, cahaya yang mulai lelah meniti cakrawala, menyusuri milyaran partikel udara. Biru perlahan hilang, ungu pun ikut menguap, lepas, meninggalkan merah dan jingga yang menyebar, menari, menutupi luka-luka langit.
Ada keindahan dari perpisahan hari, hari ini. Dimana gerimis menggiring malam dengan lembut, dan jingga menjelma janji, bahwa esok masih akan ada.
9 notes
·
View notes
Text
Adarusa : orang yg meminjam sesuatu (uang atau barang) tapi ga ada kemauan buat ngembaliinin.
Adikara : Berkuasa, berwibawa
Adiwarna : Indah sekali, Bagus sekali
Adiwidia : pengetahuan yang paling tinggi.
Afsun : pesona
Akaid : kepercayaan yang telah pasti dan tidak boleh dipersoalkan lagi; ilmu tentang kepercayaan.
Aklimatisasi : penyesuaian (diri) dengan iklim, lingkungan, kondisi, atau suasana baru.
Aksa : jauh.
Alimun : golongan pekerja yang sudah tidak produktif.
Amarta : kehidupan
Ambivalen : bercabang dua yang saling bertentangan (seperti mencintai dan membenci sekaligus terhadap orang yang sama).
Amerta : tidak dapat mati, abadi.
Anca : rintangan, kerugian
Ancala : gunung
Anindita : sempurna
Anindya : cantik jelita
Arca : patung dari batu
Arumi : harum, wangi
Arunika : cahaya matahari pagi sesudah terbit.
Asa : harapan.
Asmaradana : cinta yg menyala- nyala.
Asmaraloka : memiliki arti dunia (alam) cinta kasih.
Asrar : rahasia
Bagaskara : matahari
Baka : abadi, kekal, langgeng
Baskara : matahari
Baswara : bercahaya.
Bena : ombak; banjir.
Bentala : bumi
Bestari : berpendidikan.
Bianglala : pelangi
Binar : sinar.
Buana : dunia
Bumantara : angkasa.
Cakrawala : horizon, kaki langit.
Candala : rendah diri
Candramawa : hitam bercampur putih (tentang bulu kucing).
Cengkerama : senda gurau
Cerpelai : musang, yang suka sekali memakan ular.
Chandra : rembulan
Dahriah : orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, ateis.
Dekap : peluk, lekap, rangkul
Derana : tidak lekas patah hati, tahan dan tabah menderita sesuatu.
Dersik : Desir angin
Dewana : tergila-gila
Dikara : indah, mulia.
Diranda : pemberani
Dirgantara : ruang angkasa
Dwilogi : dua hal yang bertaut
Ejawantah : menjelma; menjadi berwujud.
Ekskursi : perjalanan untuk bersenang-senang; piknik; darmawisata.
Elegi : syair ratapan dukacita
Embara : berkelana
Esa : satu; tunggal.
Eunoia : pemikiran yang indah, pikiran yang baik.
Fadihat : kejelekan; keaiban; kenistaan.
Gahara : keturunan raja yang tulen (ayah ibunya anak raja-raja).
Gamang : takut, khawatir
Gandrung : sangat rindu.
Gemintang : rasi bintang.
Gempita : meriah
Genta : lonceng besar.
Gulita : gelap, pekat
Gurindam : sajak petuah
Hanca : pekerjaan yang tertunda.
Harsa : kegembiraan
Ina : matahari pagi
Insinuasi : tuduhan tersembunyi, tidak terang-terangan/tidak langsung; sindiran.
Jatmika : sopan
Jatukrama : sepasang kekasih
Jenggala : hutan.
Jentera : alat yang berputar
Jumantara : langit, udara.
Kalis : suci, bersih, murni.
Kama : cinta, asmara.
Kanagara : bunga matahari
Kanaya : bahagia, sempurna
Kanigara : bermakna bunga matahari.
Karsa : kehendak, niat.
Kartika : bintang
Katastrofe : bencana yang datang tiba-tiba.
Kelindan : benang yang berpilin, penggulung benang.
Kidung : nyanyian, puisi.
Kirana : sinar, cantik
Kirmizi : warna merah keunguan.
Klandestin : Kegiatan yang dilakukan secara rahasia / diam diam
Kulacino : bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah.
Lazuardi : permata berwarna biru kemerahan, warna biru muda langit.
Lembayung : Warna merah bercampur ungu
Lengkara : mustahil, beduk, tabuh, nekara.
Lindap : redup, mendung, teduh.
Litani : doa yang diucapkan bersama-sama.
Lokananta : gamelan di kayangan yang bisa berbunyi sendiri.
Maharani : permaisuri.
Mahligai : tempat / kediaman keluarga raja.
Mangata : bayangan bulan di air yang terbentuk seperti jalan.
Maya : semu, sementara
Mayapada : bumi, dunia
Mega : awan
Menjura : membungkuk dengan menangkupkan kedua tangan (dengan maksud menghormat).
Meraki : Melakukan sesuatu dengan Jiwa, Kreativitas, dan Cinta
Mudita : Perasaan bahagia melihat kebahagiaan dan kesuksesan orang lain
Nabastala : langit
Nata : raja, baginda
Nayanika : mata yang indah.
Nelangsa : sedih
Neraca : timbangan
Nestapa : sedih sekali, susah hati.
Netra : mata, penglihatan
Nirmala : Suci / tidak berdosa
Nirwana : ketentraman
Niskala : abstrak. kokoh dalam bahasa Sansekerta dan bermakna kemenangan manusia dalam bahasa Yunani.
Nuraga : rasa simpati pada sesama.
Pancaroba : pergantian musim.
Pancarona : bermacam macam warna
Payoda : awan (yang menghasilkan air)
Petrikor : Aroma harum tanah kering terkena air hujan
Pitarah : nenek moyang.
Puspas : campur aduk.
Rahara : gadis yang sudah dewasa.
Rahsa : rasa terdalam
Ranum : matang.
Renjana : rindu yang dalam
Rinai : gerimis, hujan rintik-rintik
Risak : mengusik atau mengganggu.
Sabana : padang rumput
Sabitah : bintang yang posisinya tetap berada di langit.
Samsara : terlahir kembali
Sandyakala : cahaya merah saat senja.
Sanubari : hati, nurani, perasaan.
Saujana : sejauh mata memandang
Segara : laut
Selia : rapi, elok.
Seloka : larik puisi
Semenjana : tengah, sedang.
Senandika : firasat, konflik batin yang paling dalam, wacana dengan diri sendiri dalam drama untuk mengungkapkan perasaan.
Singgasana : kursi raja / penguasa
Sorai : teriakan kebahagiaan
Sporadis : kadang-kadang, tidak tentu
Suaka : tempat berlindung
Sumarah : keadaan pasrah
Suryakanta : kaca pembesar.
Swafoto : potret diri sendiri, selfie
Swasmita : Pemandangan indah saat matahari terbenam
Swastamita : pemandangan indah saat matahari terbenam.
Syahda : elok, cantik.
Taklif : penyerahan beban (pekerjaan, tugas, dan sebagainya) yang berat (kepada seseorang).
Taksa : ambigu, memiliki dua atau lebih arti.
Telaga : danau di pegunungan
Temaram : remang-remang
Terambau : terjatuh
Trengginas : lincah dan terampil.
Tuna : kehilangan
Ugahari : sederhana.
Undagi : tenaga ahli.
Wanodya : gadis remaja.
Widya : pengetahuan
Wira : pahlawan, laki-laki
Wiyata : pelajaran / pengajaran
6 agustus 2024
8 notes
·
View notes
Text
Morphine
04/06/2024
Perayaan Mati Rasa
Tentang rasa yang tak lagi terasa, tentang bahagia yang tak lagi menyenangkan, tentang sedih yang tak lagi memilukan. Ternyata mati rasa itu ada.
Hari ini langit sore berwarna biru orange, persis seperti warna langit favoritmu. Hanya ada satu bintang redup tertutup awan abu. Saat menulis ini, aku di atas rooftop kos sahabatku, menikmati angin malam dan sautan adzan isya. Tuhan sangat baik, menyambut malam dengan sapaan ke seluruh mahkluk-Nya.
“Kamu mau tau ga salah satu mimpi aku yang belum terwujud?”
“Belum tau, apa memangnya?”
“Aku ingin sekali mandi hujan di malam hari. sepertinya seru dan tenang kan?!”
“Boleh saja. Tapi beresiko, nanti pusing dan sakit kepala”
“Yahh sekali saja tidak apa-apa kan? hehe”
“Oke, besok kalo hujan malam aku jemput, kita hujan-hujanan, asalkan jangan sampai sakit”
“Yeayy!! okee!”
Malam bukanlah hal yang menakutkan. Bukan juga hal yang harusnya dihindari. Kebanyakan kita menganggap malam adalah waktu yang menyeramkan dan mencekam, tapi tidak dengan orang yang mencari ketenangan di malam hari. Malam bukan lagi tentang tenang dan sunyi, tetapi lebih dari itu, tempat kembali. Kembali mengingat kejadian hari ini. Kembali merenung takdir diri. Kembali istirahat dengan hati dan kepala yang penuh terisi. Tempat kembali setelah berusaha mencari jati diri namun hampir mati.
Hujan juga bukan sekedar berjuta kubik air dari langit. Hujan tak selamanya pedih. Hujan akan menjadi tempat kembali untuk jiwa yang tak mau terlihat rapuh. Menyembunyikan tangis dibalik derai hujan. Menyamarkan teriakan ditengah rintik agar tak terdengar sekitar. Memang terdengar sedikit dramatis, namun benar-benar tragis.
Lalu bagaimana pedih dan hancurnya jiwa yang mencari hujan di malam hari?
Aku yakin, ia hanya ingin malam menghilangkan ingatannya dan hujan menghapus lukanya.
~
Mencintai bukan perkara kebal. Bukan perkara sekedar menemani. Mencintai adalah pengorbanan dan kehilangan. Seberapa banyak pengorbanan yang mengatas namakan cinta? Sudah berapa banyak kehilangan yang disebabkan oleh cinta?.
Setelah mengenal cinta, pilihanmu hanya dua. Perjuangkan atau kehilangan.
Masih teringat jelas desir ombak malam itu. Angin malam di tepi pantai menemani dua jiwa yang berkelahi dengan pikiran mereka tentang arti cinta. Keduanya sama-sama terbunuh oleh masa lalu yang pilu.
“ Menurutmu kenapa orang takut memulai hubungan dengan orang baru ya setelah putus? apa patah hati membuat orang benar-benar tidak percaya lagi dengan cinta?” tanyaku dengan penuh harap mendapat jawaban yang ku inginkan.
“ Tidak juga. Cinta tak pernah habis, hanya saja butuh waktu untuk memulai kisah dan pandangan baru mengenai cinta. Tak perlu buru-buru, cinta tumbuh dengan sendirinya”. jawabnya jujur, dengan pandangan lurus kedepan menatap cahaya bulan di ujung pantai.
Aku tersenyum canggung mendengar jawabannya. Dalam hatiku berkata masih ada keraguan dalam dirinya. Namun di sisi lain aku masih bisa menerima jawabannya, karena aku pernah merasakan fase seperti itu. Tapi semenjak itu, selalu timbul dalam benakku “Kalau dia ragu, kenapa dia mendekatiku? aneh”.
~
I love watching the sunset, but it would be much prettier if I saw it from the reflection of your eyes.
“kamu suka lihat sunset warna apa?”
“aku suka langitnya yang warna biru orange gitu sih”
Mendengar jawabnya aku sedikit kecewa. Ternyata kesukaan warna sunset kita berbeda. Aku suka warna sunset saat berwarna ungu dan pink. Namun, saat mendengar itu darinya, sepertinya aku mulai suka warna itu. Bukan karena tertarik, hanya saja akan lebih cantik jika aku melihat dari refleksi bola matanya.
Untuk pertama kali, pantai menjelang malam terasa sangat menenangkan, bahkan hingga pertegahan malamnya. Untuk pertama kali, duduk di tepi pantai beralaskan pasir lembab dan langit gelap terasa sangat menyenangkan. Untuk pertama kali, duduk berjam-jam dengan angin pantai di malam hari tak terasa menakutkan. Hanya karena, Dia.
Sudah lama sekali perasaan ini tidak menggebu-gebu. Sudah lama sekali perasaan ini tidak diyakinkan. sampai akhirnya, Dia datang dengan beribu alasan untuk tetap tinggal. Sejak saat itu, semua terasa mudah dan indah. Aku kembali jatuh hati.
Aku ceritakan saja singkatnya, dunia harus tau Dia ada.
~
Aku menyebutnya Morphine. Tak banyak yang tau, bahkan dia sendiri tak bertanya apa itu Morphine. Dan mengapa aku meyebut dirinya Morphine. Sederhana, dia sakit yang candu.
Aku mengenalnya di salah satu organisasi kampus kita. Tak sengaja, namun aku tau itu pertanda. Dia salah satu yang aktif di organisasi kampus. Suatu hari aku pernah bertanya “Apa kamu tidak lelah terlalu banyak kegiatan?” dan jawabnya “Anggap saja ini hobi”. Ah, yang benar saja, orang mana yang menjadikan organisasi hobi? Dia-lah salah satunya.
Aku adalah salah satu orang yang percaya cinta itu tumbuh karna terbiasa. Terbiasa bersama, terbiasa menerima, terbiasa bercerita, terbiasa melihat, bahkan terbiasa mendengar. Aku terbiasa mendengar dia bercerita, terbiasa melihat dia tersenyum, dan terbiasa menerima kebaikan darinya.
Masih terasa bagaimana canggungnya saat Dia membelikan nasi goreng pertamanya untukku saat kegiatan organisasi kami. Masih terasa degup jantungku saat pertama kali memberanikan diri menatap matanya. Tenang. Hanya itu yang ku rasakan. Tanpa adanya pikiran Dia yang akan menjadi alasan mati rasa ini dirayakan.
“Kamu kenapa bisa suka sama aku?”. Tanyaku padanya di atas motor saat kita keliling kota malam itu.
“Karena kamu cantik dan baik”. Jawabnya sambil tersenyum tipis. Aku bisa melihatnya dari spion motor.
“Ah klasik! Jawab yang bener dari hati kamu.” Ujarku kesal mendengar jawabannya yang tidak berpendirian itu.
“Sederhana, hanya karna aku menjadi diriku sendiri kalau sama kamu”. Jelasnya sambil mengelus tanganku yang dingin terkena angin malam.
Jujur saja, aku tersenyum malu saat itu, tapi aku menyembunyikannya dan membuang muka ke jalanan agar tak terlihat senyum dari spion. Haha, gengsi sekali. Sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang banyak hal, perasaan maupun pengalaman. Entah mengapa, perjalanan itu terasa sangat singkat, padahal kami menelusuri puluhan kilometer.
Jika kamu tau perpisahan adalah akhir dari ceritamu, apakah kamu akan melepaskan disaat semua masih terasa indah?
~
”Kamu tau ga aku ibaratkan kamu seperti apa?” tanyaku padanya.
“Apa memangnya?” jawabnya penasaran.
“Aku ibaratkan kamu seperti tengah malam.” Aku yakin dia sangat penasaran menunggu penjelasanku selanjutnya.
“Tengah malam?”
“Kamu seperti tengah malam yang tenang, namun mencekam. Kepala kamu berisik tapi tidak mengusik. Orang menganggap malam itu menakutkan, tapi di malam hari ada bintang, ada bulan dan ada tenang. Hanya orang yang berani terjaga yang bisa merasakannya.” Jelasku berharap ia mengerti arti yang tersirat di dalam kalimat itu.
“Keren. Aku tidak pernah terpikirkan filosofi itu sebelumnya”. Ujarnya.
Aku bukan tanpa alasan mengibaratkan Dia sebagai tengah malam. Dia lebih tenang dari malam. Aku pernah duduk di taman kampus, memperhatikannya dari jauh. Aku tau dia sedang tidak baik-baik saja. Di sebrang sana, dia duduk dengan tenang, bahkan sorot matanya tidak menunjukkan sedikitpun keresahan. Aku iri. Aku iri bagaimana bisa Dia terlihat tenang saat pikirannya berantakan? Bagaimana bisa saat Dia hancur, Dia selalu menghibur?
Aku selalu suka mendengar dia bercerita, aku selalu menjadi rumah untuknya, begitupun sebaliknya. Aku tau beban yang ia pikul, walaupun dia tak bercerita jika Dia bisa menyelesaikannya sendiri. Baik sekali, tak mau membebani pikiran wanitanya.
Aku pernah beberapi kali menangis hanya karna melihat pundaknya. Ya, pundak yang penuh beban itu. Aku selalu mencium pundaknya di atas motor, sebagai doa agar Dia dikuatkan. Tak mudah memang menemani masa sulit seseorang, namun aku bertekad menemaninya sampai saatnya aku atau dia yang memilih pergi.
Dia adalah orang yang selalu mengusahakan kebahagiaanku, entah dengan cara apapun itu. Dia selalu takut dan berpikir aku tak bahagia bersamanya, hanya karna cara dia mencintaiku sederhana. Menurutnya itu sederhana, tapi bagiku adalah segalanya.
Dia pernah bilang “Aku lebih takut kamu tidak bahagia bersamaku daripada kehilangan kamu”. Pertama kali aku mendengar kalimat itu, aku menganggap Dia egois. Mengapa dia tak takut kehilanganku? Namun, seiring berjalannya waktu, akhirnya aku mengerti.
Kita gagal memahami bahwa kebahagiaan dalam hubungan itu diciptakan, bukan dicari.
~
Aku dan dia adalah dua orang berkepala batu. Dia dengan egonya yang tinggi dan aku dengan emosi yang tidak stabil. Kami sering berbeda pendapat, namun lebih sering memgungkapkan pendapat. Awalnya, aku mengira komunikasi adalah kunci dari hubungan, ternyata salah, saling mengerti adalah jawaban yang tepat. Komunikasi akan sia-sia jika tak mengerti satu sama lain. Apa yang akan kamu komunikasikan jika tidak bisa mengerti maksud satu sama lain?
Kami terbiasa menyelesaikan masalah dengan bertemu. Kami rasa, dengan bertemu kami lebih mengerti dan lebih leluasa menyalurkan pikiran. Aku selalu kagum dengan cara Dia berpikir, selalu bisa meyakinkan hal yang meragukan. Aku selalu jatuh cinta dengan cara dia menyampaikan pendapatnya tanpa melukai hati sedikitpun. Aku selalu suka saat kami mengakhiri perdebatan dengan pelukan panjang. Aku rasa, selagi ada dia, aku akan baik-baik saja.
Setiap pagi aku akan tersenyum melihat pesannya mengucapkan selamat pagi. Di kampus, kami sering bertemu dan duduk di taman atau kursi panjang. Jika luang, kami selalu makan bareng di warung belakang kampus. Aku suka rutinitas itu, kami tak pernah ragu dan tak pernah berpikir akan bertemu hari itu. Hari di mana kampus terasa mencekam untuk pertama kalinya.
Mencintai bukan sekedar memberikan cinta, mencintai juga menerima. Menerima kenyataan bahwa hanya karena kamu tidak dicintai dengan cara yang kamu inginkan, bukan berarti dia tidak mencintaimu.
Mencintai juga perkara cukup. Itu yang gagal kami pahami. Aku dan Dia.
Aku bahagia, tak pernah sebahagia ini. Being love by someone that you love.
Setiap sudut kampus adalah kita, setiap sudut kota adalah kita. Masih terbayang sambaran kilat saat kita terjebak hujan sehabis dari pantai. Kita duduk menikmati mie ayam grobakan sembari menunggu hujan yang tak kunjung reda.
“Hujannya ga akan reda, udah malem banget, mau trobos aja?” tanya dia sembari masih memperhatikan hujan.
“Aku kan suka hujan ayo trobos aja!” jawabku bersemangat.
“Oke kita trobos tapi kamu harus pakai jas hujan, tidak ada penolakan.” Tegasnya sambil memasangkan jas hujannya di badanku.
Aku tak bisa menolak, perintah dari dia akan selalu aku turuti. Kami pun menerobos hujan lebat ditengah-tengah kota. Dia basah kuyup karena tidak memakai jas hujan. Tapi kita masih bisa mengobrol dan bernyanyi sepanjang jalan.
jApakah penjual di pantai yang sering kita kunjungi heran kenapa kita tidak pernah ke pantai lagi? Apakah pak de penjual mie ayam langganan kita tidak menunggu kita datang lagi setiap tanggal 22?. Aku yakin mereka rindu. Aku juga begitu.
~
Menyerah bukan perkara mudah. Ada banyak alasan untuk tetap bertahan, tapi akan kalah dengan satu alasan, masa yang habis. Menyerah pada orang yang kamu cintai adalah seburuk-buruknya rasa. Di mana kamu akan tau semuanya akan berakhir, bukan karna kamu ingin, tapi karna kamu harus. Tak ada yang lebih menyakitkan dari saling melepaskan karena tak bisa saling menguatkan. Tak ada yang lebih menyedihkan dari pelukan dan ciuman terakhir sebelum benar-benar merelakan.
Malam itu, tak pernah ada di bayanganku, aku rasa dibayangannya pun tak ada. Malam di mana aku adalah aku dan kamu adalah kamu yang sebenarnya. Selama ini kita hanya sembunyi di balik kata cinta, tanpa kita sadari kita hanyalah dua orang yang saling menyakiti.
Permintaan terakhirku ke pantai bukan tanpa alasan. Aku ingin perpisahan kita juga indah seperti bagaimana kita memulainya. Meski saat itu, untuk pertama kalinya aku benci mendengar suara ombak. Untuk pertama kalinya pantai tidak menenangkan. Dan untuk pertama kalinya aku menatap lautan dengan tatapan pasrah.
Aku tidak memandang perpisahan itu buruk, tak membenci alasan kami berpisah. Aku hanya bertanya mengapa masa kita hanya sementara?
Setiap hari aku meyakinkan diriku bahwa aku bisa bahagia, seperti katamu. Aku percaya itu, karna kamu yang mengatakannya. Aku akan tetap menjadi aku yang dulu, selalu pesan es teh, selalu cemil es batu, selalu suka Taehyung, dan selalu menangisi video tiktok sedih yang aku kirim ke kamu .
300 hari bukan waktu yang sebentar. Bukan waktu yang mudah untuk melupakan.
Aku dan Dia bukan sekedar hubungan, tapi perjalanan.
Aku tak masalah Dia bukan milikku lagi, asalkan dia masih di Bumi.
Perihal mati rasa ini, biarlah aku sendiri yang merayakan.
Pulanglah suatu hari nanti, bawa kabar baik tentang mimpi-mimpi yang kamu ceritakan dulu. Kembali bercerita di tepi pantai. Walaupun tidak sebagai sepasang kekasih lagi, tapi kenanglah kita pernah saling mengisi.
My prayers are with you every step of the way. The time you need my hug, turn around, I'm right behind you.
H
12 notes
·
View notes
Text
Seirama
Awan, apa yang bisa membuatmu begitu tentram? Padahal hidupmu tak nyaman, kadang kau berjejal2, kadang habis terhempas angin, kadang kau bergemuruh, meledak-ledak, kelabu, sering pula kau menangis hebat.
Langit, apa yang membuatmu bisa begitu tentram? Padahal hidupmu tak selalu benderang, kadang biru, ungu, merah, hingga gelap gulita. Namun bagaimanapun kondisimu, kau tetap terlihat menawan.
Laut, apa yang membuatmu bisa begitu tentram? Padahal kau penuh dengan gejolak gelombang yang tak pernah usai. Jauh di kedalaman yang gelap, kau simpan rahasia sendirian. Hidupmu pun penuh tekanan tak tertahan.
Gunung, apa yang membuatmu bisa begitu tentram? Padahal hidupmu tak mudah, kadang kau tersengat matahari, diterpa kencangnya angin gunung, di dalam dirimu penuh gemuruh magma panas yang selalu bergejolak.
Semuanya menjawab sama, "karena kami seirama dengan seluruh kerajaan bumi dan langit."
Hati, seiramalah dengan seluruh semesta, bertasbihlah, sujudlah dalam-dalam pada Sang Maha Raja. Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.
-Bertemu Dewasa-Farah Qoonita-
4 notes
·
View notes
Text
"Eksplorasi Kuliner dan Keindahan Alam di Geblek Pari"
Di Kulon Progo, terdapat sebuah tempat wisata yang menakjubkan bernama Geblek Pari. Terletak di tengah sawah yang menghijau, tempat ini menawarkan keindahan alam yang memikat serta budaya lokal yang kaya. Saat memasuki Geblek Pari, pengunjung disambut oleh hamparan padi yang menguning, dikelilingi oleh pegunungan yang menjulang tinggi. Suara gemericik air dari sungai kecil menambah suasana damai. Di sini, pengunjung bisa menikmati udara segar sambil berjalan di sepanjang jalan setapak yang dikelilingi pepohonan. Keunikan Geblek Pari terletak pada produksi geblek, makanan tradisional khas daerah tersebut. Setelah berkeliling, pengunjung bisa menikmati pemandangan dari gardu pandang. Dari sini, panorama sawah dan pegunungan terlihat begitu indah, terutama saat matahari terbenam. Langit yang berwarna oranye dan ungu menciptakan suasana yang tak terlupakan.
4 notes
·
View notes
Text
WARNA
Warna-warni bersemi rasa Dari hati kita bersapa Lewat kanvas kita bicara Saling mengerti dalam harmoni yang nyata
Merah sehangat taman bunga yang terbentang Mengalirkan cinta yang takkan hilang Kuning secerah mentari di pagi terang Membangkitkan harapan dalam perjalanan panjang
Hijau seteduh pepohonan yang menari Menenangkan hati membawa damai dalam diri Biru sebening langit yang lapang Melukis tawa yang terus gemilang
Ungu seindah kelopak lavender yang menawan Menyiratkan rindu dan harapan yang bertahan Warna-warna itu bersatu di kita Mencipta cinta yang takkan sirna
2 notes
·
View notes
Text
Aku melihat ragamu, tapi tidak jiwamu. Apakah kamu telah sampai di ujung sana?. Di tempat yang dirindukan semua orang di dunia.
Biya, aku pernah memimpikan satu hari ketika aku bisa bercerita tentang malam pertamamu di bumi. Kapan waktu ketika bulan berfase penuh menyinari bumi dengan caranya.
Biya, aku pernah memimpikan satu hari ketika aku bisa bercerita tentang fajar keduamu di bumi. Kapan waktu ketika langit menyambut mentari dengan warna ungu jingga.
Biya, aku pernah memimpikan satu hari di mana aku bisa bercerita tentang perempuan hebat di bumi. Kapan hari ketika ia datang sendiri dengan beraninya ke ladang penuh coba.
Tetapi Biya, bumi langit mu yang di sana tentu jauh lebih indah, bukan?.
Sebab, langit yang mengantarmu pulang begitu indah ketika kusaksikan. Padahal, indah yang itu adalah bagian kecil dari keindahan yang telah Tuhan sediakan.
Sebab, bumi yang menerima raga kecilmu pun tiba-tiba diguyur hujan. Padahal, berhari-hari bumi sedang merasa kekeringan.
Mungkinkah hujan adalah air mata langit karena kesedihannya akanmu berpulang?. Ataukah cara langit membuka pintu dalam menyambutmu pulang. Apapun itu, Biya sayang. Semoga engkau tenang.
Kompilasi Langit
4 notes
·
View notes
Text
Cerpen : Bulatnya Rembulan Menemani Pasangan Manusia yang Tengah Memadu Kasih
Bulannya lagi cantik dan ada pasar malam di sana. Kita ke sana dengan harapan bahwa pasar malam tidak terlalu ramai. Karena ini hari kerja dan tanggal tua
Angin membawa doamu menuju langit dan Tuhan mengizinkan pengabulannya. Pasar malam hanya berisikan segelintir orang yang mungkin bukan pegawai. Beberapanya mungkin pegawai, tetapi memaksakan diri karena anak mereka yang cengeng tidak akan tidur nyenyak jika belum puas rasa penasarannya
Wahana pertama yang minta kamu datangi adalah penjual kembang gula. Lebih tepat dibilang pedagang dibanding wahana. Kembang gula terasa begitu manis. Mari kita nikmati sebelum nanti menua dan apa-apa harus pakai stevia
Berikutnya kamu memilih untuk mewarnai. Aku hanya menonton karena berurusan dengan hal itu adalah makananku sehari-hari. Kamu pulaskan warna biru di salopette, merah di baju dan hitam di kumis. Diam-diam kemudian muncul kemerahan di pipimu. Katamu karakter marionya lucu seperti aku. Padahal tebalku bukan di kumis, melainkan di dompet, penuh berisikan kertas catatan dan sketch ide-ide harian
Angin mengembus kencang menggandeng awan pelan-pelan. Hujan gerimis datang menambah kemewahan. Kita beranjak pergi sebelum penuh kebasahan. Teh hangat sudah menunggu untuk diseruput sepulang nanti
Bulannya cantik tertutup kabut. Wajahmu cantik tertutup cemberut. Lukisan mario setengah jadi tadi lupa diselamatkan. Mungkin beberapa tetes air hujan sudah menggangu warnanya. Perpaduan merah dan biru bercampur jadi ungu. Mario dilukis lebam-lebam
Bulan yang cantik, pasar malam, kembang gula, dan lukisan murah mungkin terasa sederhana. Tapi aku ingin otak kecil yang pelupa ini selalu mengingatnya
3 notes
·
View notes
Text
Dalam kepompong sutra, aku merindukan angin yang membelai menenangkan. Namun, aku tahu bahwa kebebasan sejati dimulai dari kegelapan.
Terbungkus dalam keheningan, dunia luar bagaikan mimpi samar yang kutinggalkan jauh di belakang. Dulu, aku adalah noktah kecil yang merayap di lembaran kehidupan. Kini, aku terkurung dalam kepompong sutra yang kubentuk sendiri. Di dalam sini, hanya ada gelap yang nyaman, juga sunyi yang mendekap.
Sudah berapa lama aku tertidur di sini? Aku merindukan hembusan angin yang membawa aroma dedaunan, dan suara gemericik air embun. Dulu, aku bersama dengan teman-temanku, selalu bermain bersama, tertawa riang di bawah sinar mentari. Mengingatnya membuatku mulai merindukan mereka.
'Di mana kamu, sahabatku?'
Gumamku lirih, berharap suara kecilmu akan membalas. Sayangnya, yang kudapati hanyalah kesunyian.
Dalam kedalaman mimpi, aku melayang di antara awan kapas. Di kejauhan, siluet-siluet indah menari di langit biru. Mereka memancarkan cahaya lembut, seakan terbuat dari mimpi. Siapakah mereka, para penjaga rahasia langit? Atau mungkin, mereka adalah cerminan dari jiwa yang tersembunyi di dalam diriku?
Pagi hari ketika terbangun, aku merasakan sebuah panas yang lembut membakar dari dalam, mencairkan sekujur tubuhku. Aku merasakan diriku berubah, perlahan tapi pasti.
'Apakah ini sudah saatnya?'
Kulitku yang mulanya lentur kini mengeras, seperti patung yang sedang diukir. Sebuah tekanan lembut namun membuncah terasa di punggungku, seolah ada sesuatu yang mendesak untuk keluar. Dan akhirnya, dari balik kegelapan, sepasang permata ungu mulai mengintip, menandakan dimulainya babak baru dalam hidupku.
'Inikah yang mereka sebut sayap? Sangat indah, aku tidak bisa berhenti mengaguminya. Masih terasa tidak nyata, kini aku punya sayap'
Sayapku masih lembap, seperti kelopak bunga yang baru mekar. Aku berusaha menggerakkannya, perlahan-lahan. Setiap gerakan terasa begitu baru dan menyenangkan. Ketika akhirnya berhasil terbang, dunia terasa begitu luas dan indah. Aku melayang di antara bunga-bunga, merasakan hembusan angin yang lembut membelai tubuhku. Aku adalah kupu-kupu bersayap ungu.
Kupu-kupu dengan sayap warna-warni yang ku lihat di malam itu dalam benakku, baru ku sadari adalah Lumiéres dan Fluture, sahabatku. Kita tumbuh bersama, berbagi suka dan duka. Bahkan kini saat kita sudah menjadi kupu-kupu, kita tetap terbang beriringan, aku merasa begitu lengkap dengan kehadiran mereka.
Annaira.
3 notes
·
View notes
Text
Senja hari ini menyapa dengan lembut, langit berhias warna ungu dan jingga yang menawan. Awan-awan berarak perlahan, seperti lukisan alam yang tak ternilai. Sinar mentari yang mulai meredup, memancarkan cahaya hangat yang menenangkan hati. Di ujung jalan, siluet pohon-pohon menari-nari seiring hembusan angin, seolah menyambut kedatangan malam.
Senja, waktu di mana hari berganti malam, membawa ketenangan dan keindahan yang tak terlupakan.
5 notes
·
View notes
Text
Blue Colored Forget-Me-Nots
Jika aku dapat dilahirkan kembali, aku ingin menjadi bunga di pekarangan depan rumahmu. Dua menit yang lalu aku berpikir menjadi Morning Glory berwarna ungu sepertinya menyenangkan, namun aku merubah pikiran sekarang— aku mau menjadi Forget Me Not berwarna biru di sana.
(Agar kau tidak melupakanku)
Aku sudah menumbuhkan dua kuncup bunga saat kau berumur tiga tahun. Aku ingin ada disana; melihatmu bertumbuh. Aku ingin melihat Ibumu menguncir rambut hitam yang sangat lembut itu ke bekalang, lalu sandal karet yang bersuara 'cit! cit!' setiap kau menapakkan kakimu itu terdengar, langkahmu terasa baru bahkan untuk dirimu.
Aku ingin ada disana ketika umurmu menginjak enam tahun dan di bagian lengan dari seragam TKmu terkena noda es krim, kau memakannya sembari berjalan masuk ke rumah. Aku bisa mendengar Ibu memanggilmu, "Kanaya, ganti dulu bajunya!". Kekehan darimu terdengar, sehelai daunku menghijau.
Aku ingin ada disana ketika umurmu genap delapan, aku bisa mendengar suaramu berlari dari arah gedung SDmu yang hanya berjarak 10 blok dari jarak rumah. Seringkali kau berdiri di samping tubuhku sambil menopang tubuhmu untuk melepas sepatumu.
Aku ingin ada disana tahun dua ribu dua belas, musim hujan menghentikan permainan petak umpet bersama teman temanmu di sebelah rumah dan kini hanya ada kau di kursi dekat halaman—menghadapku— bajumu senada dengan warna kelopakku tapi kau tak tahu itu, kau hanya ingin hujannya reda, reda, reda!
Aku ingin ada disana saat kau mulai tertarik kepada flora, dipetiknya satu bunga dari tubuhku, lalu dua, tiga.
Kau mulai menyukai jurnaling di notebook lama milikmu. Ditempelkannya bagian diriku di lembaran, setelahnya kau menulis arti dari diriku di bawahnya. Besok kau akan membawa bagian dariku ke kelas dan menunjukkannya ke lingkar pertemananmu dengan bangga.
Aku ingin ada disana saat kau menginjak lima belas di tahun hidupmu, seragammu kini berwarna abu dan putih. Setiap kau pulang dengan sebotol air mineral yang tersisa dari sekolah kau akan menyiramkannya ke arahku. Terimakasih, Kanaya, aku akan tumbuh baik.
Aku ingin ada disana saat kau keluar rumah dengan merah di garis air matamu dan kau menghidupkan motormu tak sabaran, kau bergumam kepada dirimu namun aku tidak dapat mendengarnya. Aku harap Ibu berhenti meneriakimu malam itu, Kanaya.
Aku ingin ada disana saat malam terlalu dingin dan yang dapat kau lakukan untuk membunuh waktu hanya menghirup pod dan menghelanya ke langit.
Aku ingin ada disana untuk kau abadikan, untuk kau pikir cantik, untuk pantas ada di galeri gadgetmu, untuk menjadi latar sesi foto yang akan kau bagikan ke Instagram.
Aku ingin, aku ingin, aku ingin... sekali.
Aku ingin menjadi bagianmu.
Namun di kehidupan yang sekarang aku hanya insan yang jauh jiwa raga darimu.
3 notes
·
View notes
Text
Bertemu kawan baik di Jakarta
Ia menempuh perjalanan selama 40 menit ke tempatku menginap. Ia mengendarai Yamaha Mio yang sama dengan yang ia gunakan di Jogja. Wajah yang familiar. Senyum dan mata yang sama. Terakhir kali kami bertemu di Jogja tahun 2020–tidak lama kemudian pandemi. Lalu kami menjalani hidup masing-masing. Jarang bertukar kabar, hanya sesekali mengomentari unggahan di Instagram Story atau WhatsApp Status, terkadang kami bertukar Reels kucing lucu.
Aku tidak merasa canggung sama sekali, meski sudah (hampir) 4 tahun tidak bertemu. Rasanya seperti hanya tidak ketemu selama beberapa minggu saja. Hal pertama yang ia tanyakan padaku adalah agendaku di Jakarta. Lalu ia menanyakan soal pekerjaan secara singkat. Lalu ia membuka aplikasi Google Maps dan mengetik tujuan kami. Earphone ia pakai di kedua telinganya. Duduk di bangku belakang mengenakan helm yang kacanya sudah kendor, membonceng orang Jakarta yang memiliki mindset naik motor ‘yang penting segera sampai tujuan’, aku sempat bingung mau pegangan apa. Pegangan pinggangnya tidak mungkin karena pasti canggung; akhirnya tiap ia mengerem mendadak aku berpegangan pada behel motornya, dan jaketnya.
Baru setelah kami sampai di warung makan dan duduk tenang, kami bertukar kabar satu sama lain.
"Gimana kabarmu?" tanyanya.
"Ya begini." jawabku sambil membentuk huruf V di bawah dagu dengan kedua tanganku. "Kami gimana?"
"Ya begini-begini aja." jawabnya. Lalu kami tertawa.
Ia mengajakku makan soto betawi. Ia baru pertama kali ke sini, dan katanya banyak yang bilang soto di sini enak. “Aku mau ngajak kamu makan sesuatu yang nggak bisa kamu temui di Jogja.” katanya. DAN, soto betawinya enak. Banget. Kuahnya kental, rasanya gurih dan pas. Tomatnya enak, kentangnya enak. DAGINGnya enak, lembut dan banyak. Harganya 31 ribu.... belum termasuk nasi. Worth it!
Dari warung makan, kami pergi ke kawasan Blok M. Kami parkir di salah satu penyedia parkir (saat akan pulang, waktu menunjukkan pukul 12.15 WIB, dan Kang Parkir bilang, “10 ribu bang. Udah lewat jam 12 soalnya). Kami jalan kaki memutari taman Blok M. Sayang sekali, lampu di area kolam tidak nyala. Kami jadi tidak bisa melihat kolam. Lalu kami jalan di blok Little Tokyo yang penuh dengan restoran dan kafe bertema Jepang.
Kami mampir beli rokok–aku beli rokok yang sama dengannya, Esse. Kami berniat nongkrong di tempat duduk warung itu, namun ternyata sudah mau tutup. “Bang, sorry ya dah mau tutup nih. Kursi sama mejanya mau dirantai, biar gak ilang.” kata penjualnya. Bingung juga aku; tadi di area taman kami diusir dua kali karena sudah malam, duduk di salah satu sudut pertokoan tidak nyaman karena kena lampu sorot yang menyilaukan. Akhirnya kami jalan kaki lagi, dan memutuskan duduk di trotoar, sambil mengamati orang-orang. Ia ahli mengamati orang. Mungkin itu kebiasaannya, mungkin itu adalah kebiasaan yang terbentuk selama kuliah antropologi, mungkin itu adalah karakternya.
Kami mengingat-ingat saat akhir tahun 2019 lalu pergi ke Solo. Naik motorku, Yamaha Mio-GT. Kalau diingat lagi, perjalanan waktu itu termasuk sebagai kemewahan, apalagi buat kami yang masih mahasiswa. Uang bensin, lalu makan tengkleng, beli printilan seperti masker dan rokok, lalu malamnya makan bebek goreng di Klaten. Senangnya, kami bergantian membawa motor. Waktu aku gantian di depan, hari sudah sore dan langit berubah menjadi oranye dan ungu. Aku berkali-kali bilang, “Langitnya cantik!” dan ia menimpali dengan, “Iya tahu, berisik!” Lalu kami tertawa.
“Apa first impression-mu ke aku?” tanyaku. “Cewek pinter.” katanya. “Waw. Kalau aku dulu melihatmu sebagai orang yang brilian; mungkin dari sorot matamu dan caramu ngomong, sih.” kataku.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB lebih. Lama sekali kami mengobrol; soal kabar, soal pekerjaan, soal isu gerakan lingkungan, soal isu agraria, soal bagaimana ia sangat bangga dengan ruang terbuka dan transportasi publik di Jakarta–Jogja mana punya ruang terbuka kaya gini, ujarnya–meski ia ke mana-mana masih naik motor karena menurutnya lebih ekonomis dan efisien, soal sampah, soal hubungan romansa masing-masing, soal ketakutan akan masa depan, soal betapa pahitnya realita pasca kuliah, soal kabar teman-teman yang kami kenal.
Dalam perjalanan pulang, ia tanya apakah aku menganggapnya sebagai teman. Kujawab dengan sebal, "Ya iyalah. Kalau enggak buat apa aku mau ketemu!" Sambil memukul bahunya. Dia lalu lanjut bertanya, memangnya apa kriteria teman bagimu. Kujawab begini. Yang pasti aku tidak melihat kuantitas seperti frekuensi bertemu, hal-hal material seperti memberi hadiah atau mentraktir, sebagai ukuran pertemanan yang dekat. Aku memandang pertemanan melalui kualitasnya. Meski jarang bertemu atau berinteraksi di dunia maya, aku merasa lebih dekat dengan beberapa temanku karena ketika bertemu, rasanya tidak asing, tidak canggung dan tidak merasa seperti bertemu orang asing. Sementara ada beberapa orang yang sering aku jumpai, atau hanya sesekali juga, namun tiap bertemu aku merasa asing.
“Oooh gitu.” jawabnya. Aku lupa bertanya balik padanya, apakah ia juga menganggapku sebagai teman? Aku menjawab sendiri pertanyaanku dengan asumsi. Ya. Kalau tidak dianggap teman, sepertinya ia tidak akan menempuh hampir 2 jam pergi-pulang untuk menjemputku, mentraktir makan dan mengajak keliling jalan kaki. Ah, ya, jalan kaki–hal yang ia sukai.
Obrolan yang hangat. Sehat-sehat selalu. Sampai ketemu lagi, Han.
Jakarta, 16-17 Desember 2023
2 notes
·
View notes
Text
hari-hari yang berbeda
Sudah dua tahun lebih aku mengenalmu
Dua tahun lalu kita masih sedikit nekat keluar dari rombongan dan bersepeda motor berdua menyisir sampai ke Gianyar
Ikut workshop lucu, jalan kaki sore di tengah permadani sawah disertai langit ungu biru dan oranye yang semburatnya lapang tanpa tertutup gedung-gedung tinggi
Masih sedikit malu untuk minta saling difotokan dan sedikit meraba-raba memberi respon yang baik satu sama lain, lalu berburu gelato kesukaanku yang berujung gagal dapat varian rasanya bahkan sampai ke gerai ketiga di hari berikutnya
Lucu banget kalau dipikir-pikir. Semua ketidaksengajaan ini bikin kita akhirnya sangat beririsan satu sama lain, berbagi lingkaran pertemanan yang mendorong untuk saling bertumbuh. Meskipun tetap ada satu dua dalam hitungan jari yang menyebalkan, tapi pahit asam manis ini bikin kita banyak berbagi dan merefleksikan, perihal bagaimana bersikap kepada kehidupan; teman, keluarga, kolega dan orang asing
Setiap bulan yang berganti, senantiasa terasa berbeda
Tahun ini,
sungguh amat berbeda
Banyak kekhawatiran-kekhawatiran di pertengahan tahun yang bikin kita kadang ragu atau menaruh keyakinan penuh, merayakan satu per satu pesta kehidupan yang digadang-gadangkan. Berbagi foto wisuda yang lucu sembari berharap bisa mereplika banyak momen-momen kehidupan di kemudian hari
Tahun ini,
Kita banyak belajar mengutarakan apa yang dirasakan, apa yang masing-masing kita rasa benar, mendengarkan dengan seksama tanpa mencela, menangis dan tertawa sesuka ria,
Serta menebak dan mencoba berbagai formula supaya tetap berjalan bergandengan, menghormati prinsip kehidupan dan cita-cita yang semoga tetap mulia untuk diri sendiri dan sekitar
Aku nggak tau apa yang akan terjadi di depan, yang aku tau juga seperti yang sering kamu katakan; aku bersyukur dengan apa yang sudah aku lalui, dengan apapun perasaan yang aku dapatkan dan semoga terus tumbuh subur dan tegak di tengah terpaan badai kehidupan. Aku mau terus berbagi denganmu tentang kesederhanaan dan belajar memuliakan apapun pemberian Tuhan
Thank you amore, I owe you a lot
Temanggung, 17 Desember 2023
02.05
4 notes
·
View notes
Text
--Dream of Fall; Leviathan.
Bisa kau rasakan embusan angin menerpa kulit pipimu yang tak terlindungi apa pun. Dingin. Dinginnya hampir menyerupai udara di pertengahan musim dingin.
Kau juga bisa merasakan tubuh yang sepenuhnya ringan dan tanpa beban. Serupa bulu burung yang bergoyang-goyang tertiup angin tanpa peganga. Hela-helai rambut melambai-lambai ke arah yang berlawanan dengan gravitasi.
Di saat yang sama, kau mendapati sekitarmu yang gelap, tapi juga terang oleh gemerlap bintang.
Matamu masih terpaku pada butiran kelap-kelip itu, setengah terjaga menyadari beberapa dari mereka--yang ada di atas kepalamu--tertangkap mata bergerak. Cepat. Serupa bintang jatuh. Atau meteor? Bintang-bintang itu terus melaju mendekat ke arahmu.
Semakin dekat, cahaya itu justru semakin meredup. Bintang itu bukan lagi bintang. Kau yakin. Benda itu berwujud sesuatu.
Seseorang.
"TIDAK!"
Kau tersadar sepenuhnya, karena suara lantang yang terbawa angin tak jauh dari tempatmu melayang. Sosok diselimuti kegelapan itu terus berteriak. Mengerang. Suaranya pecah dan serak. Terdengar getir dan sesak.
Kata tidak terus menyerang gendang telinga. Sementara matamu kini membeliak lebar menyadari lelaki berambut ungu penuh luka yang begitu kau kenalilah yang tengah terjun bebas menuju entah-daratan-apa di bawah sana.
"Le-Levi ...!?"
"TIDAK! BUKAN INI AKHIR YANG AKU INGINKAN!" Tangan Levi turulur, seakan tengah berusaha keras menggapai-gapai sesuatu tak kasat mata. Sesuatu di atas sana, yang sudah sangat-sangat-sangat jauh dari tempatnya sekarang.
Mungkin sebuah cahaya.
Mungkin sebuah tempat di balik gumpalan-gumpalan awan selembut kapas yang penuh keindahan dan kedamaian.
Atau mungkin dirinya sendiri.
Halo yang semula masih bertengger di atas kepala, kini telah sepenuhnya hilang. Berganti sepasang tanduk bercabang mencuat semena-mena di antara rambut yang bergerak-gerak liar oleh angin. Helai kain putih lenyap dimakan warna hitam yang sekarang membalut sekujur badan. Kau juga melihat bagaimana ekor panjang yang biasa merangkulmu hangat, sekarang kemunculannya menghasilkan jerit penuh rasa sakit dari sang lelaki.
"LEVI!" Kau ingin sekali meneriakkan namanya sekencang mungkin. Menghentikan lajunya dengan sihir, atau sekedar bergerak mengejarnya dan merangkulkan diri agar wajah frustasi penuh amarah itu hilang.
Tapi, lidahmu kelu. Tenggorokan tercekat Bak tak memiliki pita suara untuk menghasilkan sedikit pun getaran suara dari sana. Kau hanya bisa mengap-mengap dengan tubuh membeku di tempat.
Selagi, Leviathan terus bergerak menembus dunia di bawah kakimu yang gelap pekat.
"TIDAK!"
"LEVI!"
"Aku tidak pernah mau datang ...
... ke tempat SEPERTI INI!"
"LEVIATHAAN!!!"
Kau membuka mata lebar-lebar. Terasa dahi basah oleh keringat dingin sampai ke leher. Dadamu masih naik turun dengan napas terengah-engah. Tenggorokan juga masih sama keringnya seperti yang kau rasakan tadi.
Sekarang, pemandangan di depan mata telah sepenuhnya berganti. Tak ada lagi langit malam dan bintang, melainkan langit-langit kamar bernuansa biru dari lampu ubur-ubur yang menggantung. Tidak ada pula suara teriakan, selain riak air dari akuarium besar di balik punggung dan dengkuran halus dari seseorang.
Di sana, di dalam bathup yang sama denganmu, terbaring Leviathan yang terlelap. Tidur menyamping menghadapmu. Tiada luka maupun air mata. Tak ada jerit kepedihan dan erang kesakitan. Hanya kedamaian dari sosok yang tengah tenggelam di alam mimpinya.
Dengan tangan yang masih lemas dan sedikit gemetar, kau mengelus pelan pipi Leviathan.
Hangat.
"Mm ... MC ...? Kau bangun?" tanya Levi, setengah membuka mata.
"...um," jawabmu, masih terus mengusap pipi lelaki itu. Kemudian, pucuk kepalanya. Menggosok-gosok helaian rambut yang hampir menutupi mata Leviathan.
Heran, bercampur sipu malu dengan perlakuanmu, lelaki itu memutuskan untuk membuka mata dan mempertanyakan maksud dari perbuatanmu.
Namun, niatnya tak jadi dilakukan, sebab air mata yang telah jatuh membasahi pipimu justru menggantikan protes tersebut dengan kepanikan. Leviathan bangun duduk sambil berseru, "E-Eh!? MC! Ada apa!? Kau tidak apa-apa? Ke-Kenapa menangis--"
Kau turut bangun. Tanpa menjawab dan berkata apa-apa, langsung menghamburkan diri pada Leviathan. Memeluknya erat. Membenamkan wajah pada dada bidangnya, tapi tetap berusaha keras menahan isak yang justru membuat pundaknya semakin bergetar hebat.
"Tidak apa .... Tidak apa, sekarang ada aku yang selalu di sini bersamamu."
"M-MC ...?"
Kau mengencangkan dekapan. "Kumohon, jangan lagi menangis. Kau bisa menceritakan semua rasa sakitmu, semua kepedihanmu, semua lukamu, padaku. Berjanjilah untuk tidak lagi berduka. Karena ada aku di sini."
Hening.
"Berjanjilah, Levi."
Sepasang lengan kemudian terasa melingkari badanmu. Membalas pelukan yang membawa kalian semakin erat. Menghapus sisa-sisa jarak yang ada dan saling berbagi kehangatan tubuh masing-masing.
Dengan suara lembut dan pelan, Leviathan akhirnya membalas, "Aku berjanji, MC."
Inspired by the new Obey Me! Nightbringer website. And this translated line from Japanese ver.
#crying and sobbing hard#solmare why you do this to me and my baby Leviathan#obey me fic#obey me#obey me leviathan#obey me angst#leviathan x mc#leviathan x reader#om x mc#om x reader#indonesian#indonesian story#obey me x reader
9 notes
·
View notes
Text
Paralel Sementara
Dua hari lalu, aku menghabiskan waktu seharian dengan si Sibuk Bankir. Dia mengajakku untuk nonton film bareng, belanja baju dan tas, makan, hingga membahas sampai puas update kisah percintaan. Bahkan dia berhasil memberikan satu pencerahan tentang kebingunganku saat ini.
"Jadi, dia itu nyari istri atau karyawan, Bid?"
Sebuah pertanyaan polos yang terngiang di kepalaku. Ya, benar juga. Akhirnya, aku pun mencoba menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan ke si Beruntung yang kemudian berujung pada anomali matahari terbenam di siang hari. Meskipun kata si Beruntung, alasan utamanya karena langit yang seketika berubah menjadi ungu.
Baik, kembali ke momen dua hari lalu bersama si Sibuk Bankir.
Saat itu, aku dan si Sibuk Bankir tengah asyik duduk-duduk sambil menyeruput teh, dan membahas soal perjodohan. Tiba-tiba, HP-ku menampilkan notifikasi pesan. Sebuah pesan dari seorang teman SD yang sempat kubahas di tulisan berjudul Bantuan Bertubi-tubi. Dia berniat mengenalkanku dengan teman kantornya.
Menarik, bukan?
Ternyata si Sibuk Bankir juga mengenal orang ini. Katanya sih orangnya soleh, "Kalau kamu nyari yang baik-baik, ya sama mas ini, Bid," kata si Sibuk Bankir memberikan dukungan yang tulus. Si Sibuk Bankir juga pernah mau dikenalkan dengan orang ini, tapi belum berlanjut karana sebuah alasan yang tidak bisa aku sebutkan. Aku sebenarnya setuju dengan si Sibuk Bankir, tapi ya, mari kita lihat nanti.
Semakin menarik saja, bukan?
"Jadi aku harus paralel lagi?" begitu pikirku dua hari lalu. Meskipun aku sebenarnya merasa lebih ringan saat hanya berproses dengan satu orang saja. "Baiklah, mari kita jalani," kataku lagi dalam hati.
Tapi, siapa sangka? Ternyata si Beruntung sendiri yang menarik diri dan membuat temannya temanku menjadi kandidat tunggal saat ini. Sepertinya aku perlu membuat julukan baru untuknya demi kemudahan menulis perjalanan proses dengan temannya temanku ini.
Begitulah kisah proses mencari yang ke-12 yang akhir-akhir ini berjalan paralel, kemudian berubah menjadi tidak paralel, lalu menjadi paralel lagi tapi hanya sebentar, lantas detik ini menjadi tidak paralel kembali.
Paralel yang sementara, apakah kondisi tidak paralel ini juga akan sementara? Kita lihat saja.
#menulis#proses#paralel#sementara#temannya teman#calon tunggal#mencariyangke12#belajar#bertumbuh#berbagi#bermanfaat#30dwc#30dwcjilid43#day 26
3 notes
·
View notes