fitryharahap
fitryharahap
nulisbiargakpapa
230 posts
hal-hal indah tidak meminta diperhatikan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
fitryharahap · 15 days ago
Text
Yang Ingin Tumbuh, Harus Siap Robek dari Dalam
Kalau kamu sungguh ingin tumbuh, kamu harus berani mencoba. Lebih dari itu, kamu harus berani melawan sesuatu dalam dirimu sendiri.
Kadang, bukan dunia yang menghalangi. Tapi keyakinanmu yang sudah usang, rasa aman palsu dari pola lama, dan suara dalam kepala yang bilang, "jangan berubah, di sini saja."
Padahal, tumbuh artinya menyakiti bagian-bagian lama dalam dirimu. Melepas kenyamanan. Meninggalkan suara yang kini mengurung, meski dulu menolongmu bertahan.
Ada yang harus dikorbankan. Dan sering kali, itu adalah dirimu yang sekarang.
Letakkanlah yang tak lagi berguna. Bukan karena itu buruk, tapi karena fungsinya sudah selesai. Seperti daun yang gugur agar pohon bisa bertunas kembali, ada bagian dari dirimu yang harus kamu relakan demi versi dirimu yang lebih utuh.
Mungkin akan terasa seperti kehilangan. Tapi sebenarnya itu ruang yang dibersihkan untuk sesuatu yang lebih sesuai. Sesuatu yang kamu butuhkan untuk berjalan ke depan.
Tumbuh adalah keputusan berulang: untuk tidak lagi jadi siapa yang kamu tahu, demi menjadi siapa yang kamu bisa.
Beranilah.
Karena kadang, satu-satunya cara untuk menemukan cahaya adalah berani melewati pintu gelap yang kamu hindari terlalu lama.
125 notes · View notes
fitryharahap · 15 days ago
Text
Setelah Patah, Sebelum Pulih
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Setelah 28 hari menulis bersama dan menumpahkan isi hati ke dalam prosa, kini buah dari perjalanan itu telah rampung.
Dengan penuh rasa syukur, kami mempersembahkan “Setelah Patah, Sebelum Pulih”, sebuah eBook yang lahir dari semangat menulis bersama, dan saling bertumbuh dalam kata.
"Setelah Patah, Sebelum Pulih" bukan hanya kumpulan tulisan, ia adalah saksi perjalanan hati para penulisnya, yang selama hampir sebulan penuh menumpahkan jiwa ke dalam kata pada 28 Hari Berprosa, sebuah proyek yang diinisiasi oleh tiga komunitas kepenulisan Tumblr:
@jejaringbiru @komunitaspuanberaksara dan @tadikamesra
Kini, kami menyerahkannya padamu. Untuk kau baca pelan-pelan, atau habiskan dalam sekali duduk. Semoga setiap kata dalam buku ini bisa menjadi teman yang mengerti, pelipur lara, atau sekadar tempatmu bernaung dari riuhnya dunia.
📘 Buku ini kini bisa kamu baca dan miliki secara digital di:
📚 Selamat membaca. Dengan cinta, Jejaring Biru, Puan Beraksara, dan Tadika Mesra.
43 notes · View notes
fitryharahap · 16 days ago
Text
Jupiter
Ada jenis keheningan yang hanya bisa lahir dari yang terlalu letih untuk meledak. Dari yang pernah begitu bising, begitu panas, namun kini hanya mendidih dalam diam.
Keheningan yang bukan hasil dari tiadanya energi, tapi justru karena energi itu terlalu besar untuk diucapkan. Jadi ia menyimpannya. Di dalam. Dalam bentuk badai abadi di tubuhnya.
Jupiter, barangkali, adalah satu dari sedikit yang mencapai fase ini.
Secara teknis, Jupiter adalah yang gagal menjadi bintang. Tapi apa sebenarnya makna kegagalan, jika dalam diamnya ia menyelamatkan?
Menjadi besar, tapi tidak menghancurkan. Memiliki kuasa, tapi tidak memakainya untuk mendominasi. Gagal bersinar, tapi berhasil menjaga.
Jupiter memang tidak menjadi bintang. Tapi tanpanya, kita mungkin tak sempat punya sejarah untuk dituliskan. Tanpa Jupiter, kita mungkin sudah punah berkali-kali.
Ia tidak menyala seperti Matahari. Mungkin tidak menjadi pusat dari sistem seluruh kehidupan. Tapi dalam kehidupan kita, ia menarik serpihan-serpihan angkasa ke tubuhnya yang masif, menyerap potensi kehancuran sebelum kita sempat menyadarinya.
Barangkali, di semesta ini, kekuatan sejati memang tak melulu berbentuk ledakan, tapi daya yang mampu menahan ledakan itu sendiri. Dan barangkali, keheningan adalah suara tertua di alam semesta. Yang hanya bisa dipahami oleh yang telah kenyang bicara.
Manusia mengagumi matahari—karena ia hangat, terang. Berpuisi tentang bulan—karena ia romantis, penuh misteri, bisa berubah-ubah dan tetap cantik. Lalu menamakan bayi dengan bintang. Tapi Jupiter? Ia tidak cukup terang untuk romantisme. Ia tidak cukup liar untuk mitos. Tidak memiliki fase, tidak bisa dijadikan simbol pasang surut perasaan.
Dunia ini terbiasa mendekap benderang dalam syair. Bisa menciptakan banyak metafora tentang terang, nyala, sinar, pencerahan, matahari, bintang. Tapi seringkali berakhir mendekap gravitasi dalam metafora cinta yang posesif.
Jupiter. Dengan medan gravitasinya, menelan reruntuhan kosmik yang melesat, tanpa suara. Menyerap kekacauan sebelum kekacauan itu mencapai kita. Tidak peduli disembah atau tidak, tak peduli ditulis dalam kitab atau dijadikan lambang harapan. Ia hanya menjaga dari kejauhan, tanpa mengklaim apa yang dilindunginya sebagai miliknnya.
Aku tidak tahu apakah cinta bisa sebesar itu?
Kadang, aku membayangkan Jupiter sebagai ayah yang tidak banyak bicara. Yang tidak memeluk terlalu sering, tapi berdiri diam di depan pintu ketika malam terasa terlalu panjang. Ayah yang tidak bilang “aku mencintaimu,” tapi memeriksa pintu berkali-kali sebelum tidur.
Ada kehadiran yang tidak dirayakan, tapi justru menjadi pondasi dari segalanya. Ia tidak mengeluh. Hanya bergemuruh dari dalam—dengan badai abadi yang tak pernah kita lihat langsung, tapi tercatat dalam sejarah angkasa.
Dan barangkali, menjadi seperti Jupiter adalah satu-satunya bentuk maskulinitas yang masih bisa diselamatkan.
41 notes · View notes
fitryharahap · 20 days ago
Text
Pilih yang Done Sama Permainan Manipulatif
Minggu lalu, di antara dua gelas kopi dan satu piring kentang goreng yang tak kunjung tandas, seseorang berkata padaku, dengan suara tenang seolah ia baru saja membacakan ayat dari Injil pribadinya: "Pilih yang done sama permainan manipulatif."
Aku tidak langsung menjawab. Aku hanya diam. Kalimat itu seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Tidak deras memang, tapi cukup untuk membuat tanah kering kerontang di dalam kepalaku membuka celah-celah retaknya, untuk menelan air sampai ke akar luka.
Memilih yang lebih mahir memutar lidah, bersembunyi di balik aku cuma bercanda, dan membuatku mempertanyakan realitasku sendiri, aku pernah. Bersama yang tak berkata jujur dan pandai memelintir kebenaran agar tampak seperti cinta, yang bilang kamu terlalu sensitif setiap kali aku menunjukkan luka, yang hanya hadir ketika aku hampir menyerah, yang mendekat saat aku hendak pergi, dan pergi saat aku mulai percaya, aku pernah. Yang tak benar-benar mencintaiku, tapi mencintai sensasi dikasihi olehku—aku pun pernah. Dan aku—ah, aku bodoh, tapi bukan karena tidak tahu. Aku hanya terlalu ingin jadi yang dimenangkan, meski dalam permainan yang aturannya bahkan tak kumengerti.
Pilih yang done sama permainan manipulatif. Seseorang itu menyampaikannya tanpa pretensi. Seolah itu semacam kebijaksanaan yang datang setelah banyak kalah dan terlalu sering jatuh cinta kepada ilusi dalam hampir tiga puluh tahun kehidupannya.
“Pilih yang done sama permainan manipulatif." Bukan yang belum pernah memainkannya. Karena yang belum pernah, bisa jadi hanya belum dapat giliran atau kesempatan. Tapi yang done—yang tahu betapa busuknya permainan itu, yang tak lagi tertarik untuk menang dengan cara mengerdilkan orang lain. Yang tak akan pura-pura sibuk agar kau merasa kecil. Yang tak akan sengaja lambat membalas pesan hanya agar hatimu jungkir balik dan egomu terpukul." "Yang done itu bukan yang sempurna. Tapi yang lelah. Yang tahu bahwa cinta seharusnya meneduhkan, bukan membakar pelan-pelan. Yang sadar bahwa jika harus membuatmu cemas agar merasa penting, maka ia tak layak berada di hidupmu."
Barangkali, kita semua harus sampai pada titik itu: lelah. Lelah jadi pion, lelah ditebak-tebak, lelah mencintai orang yang merasa nyaman memegang kendali. Cinta, sesungguhnya, semestinya, bukan soal siapa yang lebih bisa mengendalikan. Tapi siapa yang berani hadir tanpa topeng.
Jadi sejak malam itu, aku tak hanya berdoa agar bertemu seseorang yang jatuh cinta padaku. Aku juga ingin bertemu seseorang yang sudah selesai bermain.
Tapi di sela-selanya, aku menoleh jejakku jauh ke belakang. Apakah aku juga pernah bermain? Apakah aku kini sudah sampai pada titik itu—lelah?
Karena jika bukan lawanku, itu bisa saja dilakukan olehku.
Dan, iya. Mungkin aku juga pernah membalas pesan terlambat hanya untuk terlihat tak terlalu ingin. Atau sengaja menahan kata sayang, agar tak terlihat lemah. Atau pura-pura cuek, berharap ia akan lebih mengejar.
Karena permainan ini tak lahir dari ruang kosong. Ia diwariskan. Ditiru. Dipelajari dari mereka yang lebih dulu mengubah cinta jadi ajang pembuktian. Dan mungkin, yang membuatku lelah bukan hanya mereka yang memainkannya padaku. Tapi diriku sendiri—yang pernah ikut terlibat, meski aku tahu, itu bukan aku.
Jadi ya, kupikir aku setuju dengan seseorang itu. Pilih yang done sama permainan manipulatif. Sekaligus jadi seseorang yang done. Yang tak lagi mau mencintai dengan strategi, tapi dengan ketelanjangan. Yang tak lagi takut kalah, karena tahu bahwa cinta sejati tidak pernah tentang menang.
19 notes · View notes
fitryharahap · 22 days ago
Text
Saring traumamu. Jangan Jadikan Standar Menilai Dunia
Penafian: aku pernah bilang padamu, tidak semua tulisan untuk semua orang. Kenali level luka dan medan emosionalmu. Jika tidak sesuai, berpindahlah ke tulisan lain yang mungkin lebih bisa memelukmu.
Di antara luka-luka yang tidak pernah kita minta, tumbuh semacam keyakinan bahwa dunia ini tidak lagi netral.
Kita menatap orang lain seakan-akan mereka menyimpan motif tersembunyi yang akan merusak kita. Kita mencium niat busuk bahkan dari tangan yang menawarkan roti. Karena pengalaman mengajarkan bahwa kasih bisa menjelma jebakan, dan janji bisa menjadi preambul dari penindasan.
Tetapi, apakah adil jika kita mengangkat trauma sebagai tongkat pengukur seluruh umat manusia?
Trauma adalah bekas luka dari percakapan yang tidak selesai. Ia membentuk pola pikir, cara menakar bahaya, dan memilih siapa yang boleh mendekat. Tetapi, tidak semua orang datang untuk menusuk. Beberapa hanya ingin duduk di sebelah kita, tanpa kata-kata, dengan mata yang jujur dan tangan kosong. Dan kita, karena terbiasa membaca dunia dengan skenario perang, menolak mereka masuk. Kita menjadikan trauma sebagai algoritma utama: jika dia begini, maka dia pasti akan begitu. Jika mereka memakai kata “sayang”, maka mereka pasti akan pergi. Jika dunia terlihat cerah, maka badai pasti di depan mata. Begitu seterusnya.
Trauma yang tidak disaring akan menjelma menjadi ideologi. Ia memberi kita rasa kuasa untuk menilai sebelum mengenal, membenci sebelum disentuh. Ia membuat kita merasa benar karena kita pernah salah. Membuat kita merasa bijak karena kita pernah disakiti. Tapi itu bukan kebijaksanaan. Itu adalah mekanisme bertahan hidup yang belum sempat dipertanyakan. Kita hidup dari luka, dan diam-diam membangun kekuasaan moral darinya.
Seorang penulis pernah menggugat kepalsuan dalam konsep ‘kesucian’. Menolak menjadikan perempuan sebagai lambang penderitaan suci yang pasif. Ia menulis perempuan bukan sebagai luka yang harus dikenang, tapi sebagai tubuh yang berpikir—penuh hasrat, logika, dan pilihan. Itu mengingatkanku bahwa kita tak harus terus-menerus hidup dari luka.
Kalau aku boleh menambahkan: kita boleh pernah disakiti, kita boleh membawa luka, tetapi jangan membuatnya menjadi dalih untuk menyalahkan dunia yang belum kita kenal. Jangan jadikan luka sebagai lensa satu-satunya. Dunia mungkin tidak didesain untuk mengobati kita. Tapi dunia menyediakan kemungkinan untuk sembuh, jika kita mau menenun luka itu dengan benang yang baru
Saring trauma itu, bukan untuk menghapusnya, tapi untuk memastikan ia tidak memutuskan semua jalur komunikasi. Dunia tidak akan mengecil demi luka kita. Tetapi kita bisa membesarkan jiwa kita agar tak merasa sesak di dalamnya.
Jangan jadikan trauma sebagai satu-satunya tafsir. Karena jika hidup hanya dibaca lewat trauma, maka harapan akan selalu tampak seperti ilusi.
39 notes · View notes
fitryharahap · 25 days ago
Text
Bukan Pusat Semesta
Tumblr media
Aku pernah berpikir dunia berputar karena langkahku. Karena aku bernapas, lalu pagi datang. Karena aku menulis, lalu waktu melunak jadi puisi. Dulu aku percaya penderitaanku cukup agung untuk menggerakkan cuaca. Kalau aku patah hati, langit harus gelap. Kalau aku disakiti, burung-burung tak boleh bersiul. Aku menyangka semesta ini punya kamera tersembunyi yang selalu menyorotku, bahkan ketika aku tidak bicara apa-apa.
Ternyata tidak.
Aku bukan pusat semesta. Dan pengakuan ini bukan kalimat rendah hati. Ini bukan kebajikan. Ini bahkan bukan kesadaran spiritual yang menyelamatkan. Ini kesadaran telanjang. Kesadaran yang datang seperti tamparan keras dari orang yang tidak mencintaiku.
Aku bukan pusat semesta. Tidak ketika aku merasa paling benar. Tidak ketika aku merasa paling terluka. Tidak ketika aku merasa hidupku adalah sandiwara besar yang harus disaksikan orang lain. Bahkan tidak ketika aku merasa telah mencapai puncak gunung eksistensi dan ingin berteriak, “Lihat aku!”
Tidak ada yang melihat.
Orang-orang sibuk menjadi pusat semestanya sendiri. Mereka punya badai masing-masing. Ada yang kehilangan anak dalam diam, ada yang menahan lapar sambil tertawa. Ada yang mencintai tanpa dibalas dan tetap menyiram taman setiap pagi. Semua orang merasa sedang berdiri di tengah-tengah panggung. Dan aku? Aku hanya figuran dalam panggung mereka. Terkadang bahkan tidak. Terkadang aku hanya bayangan yang lewat, tidak cukup penting untuk diingat. Iya, orang-orang sibuk menjadi pusat semestanya sendiri.
Dulu aku menyalahkan dunia. Kenapa tidak adil? Kenapa tidak mendengar? Tapi sekarang aku tahu, dunia tidak tuli. Dunia hanya tidak wajib mendengarkan. Ia tidak punya kontrak moral untuk membuatku nyaman. Ia tidak punya kewajiban untuk melambat demi aku bisa berjalan lebih pelan.
Di kelas filsafat, kami pernah membicarakan heliosentrisme. Tentang bagaimana Copernicus mengguncang dunia dengan satu teori, bahwa bumi bukan pusat alam semesta. Tapi siapa sangka, lima abad kemudian, manusia masih terus hidup dalam ilusi geosentris. Bahkan lebih sempit lagi—egosentris. Bahwa segala hal yang terjadi di luar sana pasti ada hubungannya dengan dirinya. Padahal hujan turun bukan untuk mendramatisasi harinya. Bencana tidak datang untuk memberinya pelajaran hidup. Dan langit yang biru tidak sedang mencoba menghiburnya.
Aku belajar berhenti mencari pesan tersembunyi dalam tiap peristiwa. Tidak semua kepergian mengandung makna. Tidak semua luka membawa hikmah. Kadang orang jahat hanya jahat, dan hidup memang tidak adil. Menerima kenyataan ini bukan berarti menjadi pahit. Justru di sanalah ruang lahirnya kelegaan. Saat aku berhenti menuntut dunia untuk berputar menurut orbitku, aku mulai bisa melihat bahwa aku adalah bagian kecil dari tarian yang jauh lebih luas, lebih rumit, lebih agung.
Dan saat aku sadar bahwa aku bukan pusat semesta, tiba-tiba aku merasa ringan. Tidak ada yang harus kubuktikan. Tidak ada spotlight yang harus kupertahankan. Aku bisa jatuh dan tidak ada yang peduli. Aku bisa bangkit tanpa beban mata orang lain. Aku bisa gagal tanpa perlu menjadikannya tragedi Yunani. Aku bisa berjalan pelan tanpa merasa kalah.
Menjadi bukan pusat semesta membuatku melihat dunia lebih jernih. Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil. Bau tanah setelah hujan. Daun yang gugur tanpa suara. Senyum perempuan tua di warung langgananku. Semua itu bukan tentang aku. Tapi semuanya indah.
Mungkin hidup bukan soal menjadi penting. Tapi soal menjadi bagian. Bagian dari sesuatu yang tak perlu dijelaskan, tak perlu dimenangkan. Hanya dirasakan.
28 notes · View notes
fitryharahap · 25 days ago
Text
Kugenggam satu tanya yang tak henti kuulang.
Dendam yang kita balaskan hari ini, akan membawa kita sampai ke titik yang mana?
Apakah sungguh kita akan tiba di titik lega yang kita harapkan?
Dendam itu memabukkan. Ia janji palsu yang menawarkan kelegaan, padahal hanya menuntun kita pada labirin emosi baru—amarah lain, luka lain, dan kadang penyesalan yang tak punya pintu keluar.
Lalu, apa gunanya menang kalau damai tak ikut pulang?
57 notes · View notes
fitryharahap · 26 days ago
Text
Berserah Atau Sedang Bertransaksi
Kurasa, semesta lebih sering bicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. Kadang-kadang, ia bicara dengan bahasa keheningan.
Dan manusia, dalam kekurangannya yang paling murni, sering membalas keheningan itu dengan kebisingan. Dengan doa-doa yang lebih mirip desakan. Dengan kata-kata yang makin puitis makin menyakitkan. Seolah jika kita cukup fasih menderita, semesta akan merasa kasihan.
Padahal mungkin, semesta sedang menunggu kita duduk diam, karena jawabannya terlalu halus untuk ditemukan dalam keramaian kepala kita.
Semesta bicara tanpa bersuara. Semesta, ia kadang buta aksara.
Itu adalah penggalan lagu favoritku sepanjang tahun 2015. Tiba-tiba teringat dan terasa relateable dengan hal yang menyambangi pikirkanku saat bangun pagi tadi, saat menemukan seseorang yang jatuh cinta pada kejatuhannya sendiri. Kadang-kadang bahkan seseorang itu adalah diriku sendiri.
Kita memandangi dan memanggil semesta seolah semesta adalah kekasih yang bisa kita goda dan paksa. Kita menulis surat terbuka dan menagih ia tunaikan janji atas kesabaran kita atas segala derita yang kita terima, seperti anak manja yang merasa sudah cukup bersakit-sakit untuk dapat hadiah ulang tahun yang tertunda. Seolah penderitaan kita adalah mata uang sah, dan semesta harus menyusun hadiah sebagai kembaliannya.
Tapi itu bukan berarti kita gila. Kita, hanya terlalu sadar akan rasa. Terlalu gemar menandai titik-titik jatuh sebagai momen pencerahan atau transformasi diri.
Aku tak ingin mengolok-olok penderitaan. Aku hanya ingin tahu, apakah kita melakukannya karena benar-benar ingin sembuh, atau kita hanya ingin semua yang kita alami dibungkus rapi dalam cerita yang bisa kita kisahkan ke siapa pun, dan ingin terlihat telah terluka dengan cara yang indah?
Kita bilang semua remuk sudah kita taklukkan, dan sekarang kita siap. Tapi bukankan siap itu bukan kata kerja? Siap itu keputusan. Dan keputusan sejati tak butuh deklarasi.
Kita begitu sibuk meyakinkan langit bahwa kita sudah siap, sehingga lupa memeriksa apakah kita memang telah membuka pintu ke dalam rumah kita sendiri. Kita lupa bahwa keajaiban jarang datang lewat jendela yang dijaga ketat oleh ekspektasi.
Mungkin, di suatu sudut, semesta mendengarnya. Tapi semesta tidak bekerja seperti penyair yang merasa harus membalas puisi dengan puisi. Semesta adalah ibu tua yang sedang menjemur pakaian, yang mendengar anak-anaknya berteriak, tapi tak menoleh karena tahu, anak yang paling keras memanggil, belum tentu anak yang paling haus.
Kurasa semesta memang menjawab. Ia bicara, tapi tidak seperti guru TK yang sabar menyuapi satu persatu abjad ke dalam mulut kecil kita. Ia bicara seperti kakek tua yang pernah mencintai terlalu banyak hal, dan kini memilih diam karena tahu tak semua yang indah harus dijelaskan.
Semesta bicara. Mungkin lewat bahasa yang tak punya padanan kata di kepala manusia. Mungkin lewat kucing yang mendadak menatap kita lama sekali tanpa alasan. Lewat kopi yang tak lagi pahit di pagi ketiga kita putus asa. Lewat hujan yang jatuh di tengah pertanyaan, dan berhenti sebelum jawabannya datang. Lewat lagu yang tiba-tiba kita dengar, tapi liriknya seolah diketik dari napas kita sendiri.
Atau mungkin, kita hanya perlu tidak ingin tahu apa yang akan terjadi setelah ini, karena apa pun yang terjadi akan tetap terjadi.
48 notes · View notes
fitryharahap · 30 days ago
Text
The one thing can't be defeated is love. You can conquer hate by ignoring it. You can destroy it by loving the person next to you.
— Chester Bennington
6 notes · View notes
fitryharahap · 1 month ago
Text
Di Kepalaku: Senyum yang Mungkin Akan Patah
Membaca senyum mereka seolah membaca kitab suci, yang kutahu isinya, tapi kulangkahi juga ayatnya.
Sore ini, aku menatap sekumpulan anak. Mereka bermain, tertawa, dan tersenyum dengan leluasa.
Senyum anak-anak adalah tempat di mana aku bisa melihat kepercayaan tanpa syarat: percaya bahwa dunia ini tempat yang aman, bahwa orang-orang akan menjaga, bahwa esok pasti lebih baik, bahwa sakit hati masih jauh di luar jangkauan imajinasi mereka. Senyum yang belum sempat kenal patah, putus asa, apalagi kompromi pada getirnya kenyataan.
Melihatnya tak hanya membuatku lega, tapi juga sedih di saat yang sama. Sebab aku pun pernah punya senyum semurni itu, pernah punya hati selapang itu. Tapi entah bagaimana, di perjalanan, aku menukarnya dengan apa saja. Dengan logika, ego, ambisi yang membelenggu—apa saja.
Betapa getir membayangkan tulusnya senyum anak-anak itu, dan yang tumbuh mekar bersamanya hari ini, besok lusa bisa layu. Bahwa senyum semurni itu, sehangat itu, suatu hari bisa padam—bukan karena redup oleh waktu secara alami, tapi karena patah dihantam realitas yang rakus.
Anak-anak yang hari ini kulihat tertawa dan tersenyum tanpa takut, suatu saat akan diajari cara menahan tangis, menekan mimpi, menutup mulut. Tangan-tangan kecil mereka yang hari ini merangkai cita-cita, esok mungkin harus berbelok karena himpitan angka, keadaan, atau putusnya tali dukungan.
Aku ingin menepuk dadaku dan berkata dengan sok bijak, “Hidup memang begitu.” Padahal jauh di dalam, aku tahu—seharusnya tidak begitu.
16 notes · View notes
fitryharahap · 1 month ago
Text
Tumbuh, layu, lalu tumbuh lagi. Karena memang begitulah hidup berdetak.
Ada lembar-lembar rencana yang kautulis di kertas buram, dengan pena yang tintanya sempat habis, tapi kau paksa goresnya agar mimpi-mimpi tetap tercatat. Kau begitu gigih mencatat hal-hal yang bahkan tak pasti akan kaujalani.
Barangkali itu cara kita, manusia, menegosiasi takut pada waktu.
Sebab siapa yang mau hidupnya beku? Siapa yang mau menua tanpa pernah menanam benih, meski tahu tak semua tunas akan berbuah? Kau, aku, kita sama. Kita tulis cita-cita di sudut buku catatan, kita potong fotonya, kita tempel di dinding, lalu kita pasang alarm pukul lima pagi. Berpura-pura sanggup bangkit, meski hanya sekali dari sepuluh kali.
Tak apa kalau satu halaman harus kau coret. Tak apa kalau rencana tanggal sekian jadi tanggal entah. Tak apa kalau bunga yang kau tanam mati di musim pertama. Hidup pun kadang tak menuntut kita rampung, selain ingin kita setia menengok, menyirami sedikit demi sedikit, bahkan pada tunas yang tampaknya kerdil.
Aku percaya, orang-orang yang hatinya mudah layu, biasanya tahu caranya tumbuh. Mereka cuma butuh sedikit hujan, sedikit pujian, sedikit pelukan, atau kadang cukup menatap langit pagi, dan merasa, “Ah, aku masih di sini, ya. Aku masih cukup, meski belum jadi apa-apa.”
Jadi jika suatu hari kau teringat halaman yang tak sempat kau tulis, usah sesali. Buka halaman baru. Tulis lagi, meski tinta penamu terputus-putus.
Karena pada akhirnya, hidup kita bukan kumpulan paragraf yang sempurna, tapi kumpulan kalimat ganjil yang hanya bisa dibaca hati sendiri.
21 notes · View notes
fitryharahap · 1 month ago
Text
Biar Ragu Asal Tak Buta
Ada hari-hari di mana langkahku gemetar.
Bukan karena jalan di depanku curam, tapi karena aku tak tahu apakah yang kutuju benar-benar ada.
Mereka bilang, “Percaya saja, jalani saja.” Tapi mereka tak pernah bercerita bagaimana rasanya tidur dengan dada yang sesak oleh kemungkinan-kemungkinan yang tak kunjung nyata.
Aku pernah merapal mantra, "Kalau hari ini gagal, besok bisa diulang." Tapi siapa yang mau berulang terus di tempat yang sama? Siapa yang tak lelah menukar mimpi dengan napas panjang yang hampa?
Keraguan itu menempel di punggungku. Kadang kubopong, kadang kupeluk, karena kalau kutendang, aku pun kehilangan alasan untuk terus bertanya.
Tapi mungkin keraguan pun tak selalu jadi musuh. Kadang ia penunjuk arah, kadang ia penjara, kadang ia guru yang membisikkan, “Biar lambat, asal kau tak buta.”
Dan malam ini, sebelum mata terpejam, aku ingin bilang pada diriku, "Terima kasih sudah tetap berjalan, meski tak selalu tahu akan sampai di mana."
61 notes · View notes
fitryharahap · 1 month ago
Text
To My Fellows Out There
Percayalah, di mana pun: di luar atau di rimba kepalamu, kodrat badai tak selamanya bergolak. Sewaktu-waktu, ia mereda juga.
23 notes · View notes
fitryharahap · 1 month ago
Text
Yang Kusadari Kembali
Aku suka membayangkan takdir seperti tanda lahir di tengkuk. Sering kulupakan, jarang terlihat, tapi selalu ada di sana. Menempel, menunggu waktu untuk kembali disadari.
Aku pernah mendengar orang berkata, hidupmu di tanganmu. Ah, andai semudah itu. Kalau memang di tanganku, kenapa jantung tetap berdetak tanpa izinku? Kenapa hujan tetap turun meski aku tak butuh ia turun di waktu tertentu? Kenapa luka tetap saja mampir bahkan di jalan lurus yang kukira aman dilalui?
Takdir itu agaknya licin. Jika kupaksakan ia tunduk padaku, ia justru akan merayap lewat celah yang tak kuduga. Seperti sungai yang kubendung, air akan mencari retakan, merembes di antara bebatuan, merusak bentengku sendiri.
Jadi, berjalan, ya berjalan. Berusaha, ya berusaha. Berdoa, ya berdoa. Tanpa menganggap diriku lebih pandai dari peta rahasia bernama takdir yang Tuhan sembunyikan di bawah kulitku sendiri. Jika jalannya terjal, mungkin aku butuh mendengar suaraku sendiri saat terengah-engah. Jika aku disesatkan arah, mungkin agar aku tahu betapa nikmat rasanya pulang. Jika aku dihadapkan pada retak, mungkin agar aku tak jumawa menatap utuh. Meski tak selalu indah, tapi selalu benar pada waktunya.
Di dalam takdir, aku ini mungkin hanya tamu singgah. Aku ini mungkin angin pinjaman, atau mungkin sebutir debu di gelombang galaksi. Tapi punya Tuhan yang sudi menulis ulang aku, setiap kali aku lupa pulang.
Aku perlu hidup dengan hormat pada peta rahasia itu. Bernafas dengan rendah hati pada rancangan yang kukira kebetulan itu. Lalu kalau nanti jalanku buntu, aku tak lagi buru-buru melawan.
Barangkali, peta rahasia cuma ingin aku berhenti. Duduk sebentar. Mengamini patah. Barangkali di situlah doa paling jujurku bisa lahir. Bukan untuk mengubah takdir, tapi agar aku cukup berani menempuhnya. Lagi.
16 notes · View notes
fitryharahap · 1 month ago
Text
Banyak penulis tidak hidup hanya dari cerita-cerita segar. Penulis, di mana pun, adalah penggali. Mereka menimba luka, membongkar ingatan, mengaduk mimpi buruk, lalu menuliskannya agar tidak busuk di kepala. Kadang, kisah yang mereka tulis sudah lama mati, mereka hanya sengaja merawat bangkainya, menaruhnya di halaman, memilah mana belatung, mana pelajaran. Mereka cium busuknya, lalu mereka tulis. Kata-kata yang mereka rajut bukan kubur, melainkan kebun. Siapa tahu dari bangkai itu tumbuh bunga, atau setidaknya rumput, agar tanah mereka tak kering.
Siapa saja boleh menjadi pembacanya. Setiap pembaca bisa memetik makna setebal cara dan kemampuan mereka berpikir. Penulis akan tetap menulis. Untuk dirinya sendiri. Untuk siapapun yang merasa ditemani oleh tulisannya.
Karena menulis adalah seni merawat. Bukan hanya yang segar, bahkan yang mati juga.
29 notes · View notes
fitryharahap · 1 month ago
Text
Yang Dirasa Berulang Tapi Tak Akan Terulang
Mungkin kamu punya satu milikmu. Yang hangat. Yang tinggal di sudut kecil hidupmu. Ulangilah, rasakan ia berulang meski tak bisa dialami ulang.
Ada sudut kecil di hidup saya, tentang sepetak pematang sawah. Di sana, saya pernah berlari, jatuh, tertawa, menangis karena ditempeli pacat tepat di tulang selangka, dan kisah-kisah di gubuk reyot bersama para bibi yang bukan siapa-siapa, tapi rasanya justru seperti bagian dari keluarga.
Pernah suatu hari, hujan turun beringas, seolah langit sedang murka. Kami bungkam di gubuk kecil di tepi sawah, menunggunya reda. Petir memekik, angin menampar gubuk yang reyot dari segala arah. Sayang sekali saya tak ingat banyak detailnya. Tapi ingat betul bahkan masih bisa mendengar dengan jelas tawa para bibi itu di kepala saya.
Sesudah hujan, matahari kembali muncul ceria, meneteskan cahaya ke genangan di pematang. Pelangi pun bertengger di ujung langit. Suara tawa para bibi kembali menggelegar, seolah badai tadi tak cukup membuat mereka gentar. Seolah petir hanya bumbu, hujan hanya remah, dan yang abadi hanyalah cara mereka saling menjaga dan bertahan di gubuk reyot itu.
Di mata dunia, mereka mungkin bukan siapa-siapa. Hanya para bibi, tetangga, buruh tani, perempuan-perempuan dengan tapak kaki yang keras karena bertahun-tahun berjalan di galengan sawah.
Sudah puluhan tahun saya tak lagi menjejak pematang itu. Sawahnya entah bagaimana, gubuknya entah masih ada atau sudah rebah dilumat waktu. Tapi… setiap kali mengingatnya, kaki saya rasanya masih dingin oleh lumpur, tangan saya masih bau rerumputan basah, dan hati saya masih dipeluk suara tawa para bibi yang sekarang entah di mana, mungkin di langit, mungkin di pelangi yang dulu pernah muncul setelah hujan deras.
Kami tak pernah benar-benar sempat berpamitan. Saya hanya sempat tumbuh. Tiba-tiba kaki saya tak pernah lagi menginjak lumpur sawah, tangan saya tak lagi dipegang para bibi sambil mengatakan, “tenang ya, nanti reda juga.” atau saat pacat sawah menempel dan menghisap darah saya mereka akan menarik pacat itu dan mengatakan pada saya yang menangis, "Sudah, tidak apa-apa kok. Ini tidak akan sakit, hanya gatal saja."
Kadang saya ingin menepi, kembali ke tempat itu walau sekadar mendengar gumam angin yang menirukan suara orang-orang yang pernah ada di sana. Tapi kalau pun saya datang, mereka sudah pergi. Dan tempat itu hanya akan diam.
Sepertinya, tempat itu, dan orang-orang itu, mereka bersepakat untuk dan hanya menua di kepala saya saja.
11 notes · View notes
fitryharahap · 1 month ago
Text
Manusia dan Kulit Lamanya
Manusia adalah makhluk yang dibentuk oleh luka dan harapan, lalu diukir ulang oleh waktu yang tak pernah kompromi. Kadang, kita berdiri di depan cermin, menatap diri sendiri dengan heran, "siapa orang ini? Kapan aku tumbuh sejauh ini?" Padahal jawabannya sederhana. Kita berubah. Kita memang diciptakan untuk itu.
Lihatlah ular yang berganti kulit. Ia tidak menangisi sisik lamanya, tidak pula meratap di atas cangkang masa lalu. Ia merayap ke depan, memamerkan kulit barunya yang licin, mengilap. Manusia pun, mau tak mau, menanggalkan kulit lama: kepercayaan yang lapuk, pola pikir yang membatu, cinta yang tak lagi tumbuh.
Perubahan sering kali datang diam-diam. Melalui percakapan larut malam, air mata yang jatuh tanpa suara, atau keberanian untuk bilang, aku lelah jadi begini. Lalu kita menggenggam doa, menyiapkan hati. Meski tumbuh artinya melepaskan, walau perih.
Jangan bayangkan perubahan itu seperti keajaiban semalam. Manusia berubah setahap demi setahap. Kita merangkak, jatuh, bangun lagi, lalu merangkak lagi. Kadang, bekas kulit lama kita masih menempel di sudut-sudut hati, berbisik tentang siapa kita dulu. Tapi percayalah, tak apa. Itu pengingat bahwa kita pernah rapuh, kita pernah bodoh, kita pernah jadi versi diri yang tidak akan kita sentuh lagi.
Kita manusia, tapi juga kupu-kupu. Kita manusia, tapi juga ular. Kita manusia, tapi juga tanah yang selalu bisa ditanami mimpi baru. Kita manusia, makhluk yang selalu punya kemungkinan kedua, ketiga, keseratus.
Maka kalau hari ini kau merasa dirimu tak lagi cocok dengan kulit lamamu, tak perlu takut. Robek saja perlahan. Biarkan serpihan masa lalu jatuh ke bumi. Karena sejatinya, kau sedang tumbuh. Kau sedang pulang ke diri yang lebih utuh.
38 notes · View notes