#kampus amerika
Explore tagged Tumblr posts
Text
Semakin Berani, Mahasiswa AS Pro-Palestina Mogok Makan
NEW JERSEY (Arrahmah.id) — Demonstrasi para mahasiswa di kampus-kampus Amerika Serikat (AS) semakin berani. Setelah berkemah, para mahasiswa melakukan mogok makan untuk mendesak kampus dan pemerintah memenuhi tuntutan mereka. Aksi mogok makan salah satunya dilakukan sekelompok mahasiswa di Unversitas Princeton, New Jersey. Kampus ini masuk dalam jajaran Ivy League atau delapan kampus elite di AS,…
View On WordPress
#Amerika Serikat#demonstrasi#Headline#Israel#kampus#mahasiswa#mogok makan#Palestina#protes#universitas
0 notes
Text
Catatan Kemenangan : Satu Alasan Bangkit
Kalau seandainya saat ini lelah, carilah satu alasan agar kamu segera bangkit.
Aku sarankan, lihatlah Palestina hari ini, lalu lihatlah kondisi imanmu. Jleb sampai ulu hati.
Di belahan bumi sana, mahasiswa kampus Amerika melakukan protes dilindungi border dosenya. Mereka direpresi pihak keamanan tapi mereka konsisten.
Jujur, hati ini sangat malu. Sekadar aksi Palestina reaktif, akomodir massa, minim followup, lalu kembali ke kos masing-masing.
Tapi diri ini tersadar, sekecil apapun perbuatan kita, lakukan saja, mulai saja. Dengan atau sendirian. Jangan takut atau malu kalau terlihat reaktif. Tak mengapa.
Kejahatan disana terang-terangan, apakah kita hanya diam saja?
Mari bangunkan lagi iman, mari berjamaah di waktu subuh, mari memperdalam ilmu dan adab. Sebentar lagi kita sholat berjamaah di Al-Quds. Baju seperti apa yang hendak kita pakai? Apakah kau tak ingin bersama saudaramu?
Sungguh, kita harus banyak-banyak bersyukur atas kenikmatan yang ada. Kita gunakan itu untuk membantu saudara kita.
Sekali lagi, seandainya kamu sedang lelah hari ini, cari satu alasan untuk segera bangkit, dengan melihat Palestina, seperti mengingatkan kembali manusia atas kelalainya, karena terlalu dekat dengan dunia.
47 notes
·
View notes
Text
Pagi ini pergi ke Camberra untuk conference. This is my very first time travel inter-state. Excited banget tapi agak sedih juga soalnya cuman sendirian gak sama anak / keluarga :”)
Walau emang rasanya seneng juga ada “Me Time” tapi kalau udah berkeluarga tuh rasanya kadang pengen menikmati tempat baru, pengalaman baru dengan mereka :”)
Anyway, Alhamdulillah tsumma alhamdulillah, karena travel interstate kali ini beneran dibayarin pesawatnya dan hotelnya. Dan insyaAllah besok aku akan present lagi tentang hasil literature review-ku tntg breastfeeding impact on environment sustainability. Dan karena ini conference ketiga jadi agak lebih chill, walau ttp abs ini latihan of course.
Sebagai anak yang tidak punya banyak privilage, kebanyakan travel dari satu tempat ke tempat lain tuh ya karena ikutan acara, volunteering, lomba atau pelatihan.
Mulai dari dalam negeri kaya ke Bogor, Bandung, Palu, Balikpapan, Makassar, sampe ke Thailand, Jepang, Vietnam, Belgia dan Amerika! Ya karena ikutan sesuatu, bukan krn orkay liburan ya 😭😂
Kalau dulu S1 banyaknya ikutan training leadership atau hal yang berbau community development atau Social Entrprise. Sekarang mau mulai mencoba hal baru yaitu dunia riset!
Dan setelah ikutan 2 kali conference, satu internal kampus, satu se-Australia raya. I could say, kalau riset itu tujuannya sama persis dengan kita membangun comdev atau socent, yaitu for the public greater good! Sama2 presentasi “temuan”, sama2 presentasi hasil karya.
Terus akutuh jadi berpikir, oh yg membuat aku cocok sama dunia riset itu karena value yang sama dengan membuat comdev/socent, yaitu for the public greater good.
Tapi somehow, aku juga berpikir, kalau orang di third sector (NGO-CSO things) dan akademik ngelakuin buat kebaikan ummat manusia. Kenapa “kebaikan” tersebut gak bisa dicapai? Mungkin jawabannya karena most business not really doing good. Most business lebih banyak yang bertujuan untuk profit untuk para shareholder - gak murni buat kebaikan masyarakat.
Ditambah, our politician juga masih banyak kongkalikong sama businessman instead of researcher dan NGO sector. Jadilah the public greater good-nya gak tercapai.
Huhuhu terus akutuh kaya jadi mikir, aku abis kuliah S2 mau kuliah PhD, ah. Tapi kayanya lebih pengen kerja dulu di UN Body kaya WHO,UNICEF, itulah.
Terus abis PhD mau jadi politician kaya Pak Anies Baswedan atau Bima Arya, hahahaha. Padahal Pak Walkot Depok juga akademisi,loh. Beliau sebelum menjabat jadi wakil walikota 1 periode dan wali kota 2 periode, adalah dekan di FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah, lol. Jadi sebenernya gak aneh para akademisi jadi politician, but in fact, kita ngerasanya ternyata dipimpin sm akademisi gak serta merta jadi membuat wilayah tsb jadi lebih baik juga huhuhu. Jadi bingung.
Ya gitu, kepikiran abis PhD mau jadi politician, entah kapan PhD nyaa, entah kapan jadi politician nyaa hahahaha.
Tadi dpt email ini aja rasanya seneng krn ada yg percaya kalau aku mampu. Semoga, bisa beneran. Entah kapan.
Semoga di waktu yang tepat!
PS : asik bgt nulis ini sambil rendeman di bath tub pake air panas yaAllah 🤣🙏
5 notes
·
View notes
Text
Takut Menjadi Orangtua
(hanya tulisan hasil overthinking seseorang yang masih lajang)
Beberapa hari yang lalu, saya baca sebuah postingan dari akun instagram 'islamfiy' soal kampanye lgbt di london melalui mata pelajaran siswa sd. Disana menampilkan sosok perempuan berhijab bernama Hafsa yang mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang lesbian. Disamping ngeri mengingat bagaimana gencarnya paham liberalisme yang berkembang, saya jadi ovt, saya takut membayangkan anak saya nanti harus berhadapan dengan dunia yang semenyeramkan seperti apa.
Dulu jika berandai soal kehidupan pernikahan, yang ada dalam pikiran saya hanya berputar pada kemandirian finansial dan kematangan psikologis. Tapi semenjak kuliah, saya menemukan lingkungan yang tidak pernah saya rasakan, orang-orang yang jauh berbeda dengan mereka yang selama di pondok selalu membersamai saya, dunia yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Karena itu lah saya semakin fakir ilmu dan malah semakin merasa belum siap untuk membangun rumah tangga. Bukan karena tidak mau, tapi di dunia yang sudah serba gila ini, saya khawatir tidak dapat menjadi ibu yang bertanggungjawab. Banyak pertanyaan yang menghantui saya; Apakah ilmu saya sudah cukup? Apakah saya mampu menjadi madrasatul uula bagi anak saya kelak? Apakah nanti saya bisa dapat menjaga dan mendidik anak-anak saya?
“Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi” (H.R. Muslim).
Buku yang saya baca blm seberapa, kelas-kelas yang saya ikuti masih dapat dihitung jari, lingkarang diskusi yang saya ikut pun masih sangat sedikit. Saya gundah bukan main. Walaupun teori-teori itu sudah pernah saya dapatkan, tapi saya masih sangat takut untuk mempraktikannya langsung. Tapi itu tidak menjadikan saya ingin childfree ya wkwkwkwk toh ketakutan ini juga yang mendorong saya mengikuti kelas-kelas pemikiran dan membaca buku-bukunya, ya karena saya tidak mau buta tentang mana yang haq dan bathil di dunia yang sudah penuh 'keabu-abuan' ini.
Jika hari ini saya dengan mudah dapat menemukan banyak hal menyimpang seperti lgbt yang dinormalisasi dan bahkan menjadi segmen hiburan yang banyak dinikmati, saya jadi berpikiri, di kehidupan anak saya nanti bisa saja sudah tidak ada lagi kampanye soal lgbt, karena bukan tidak mungkin itu sudah menjadi bagian dari masyarakat. Itu baru lgbt. Belum lagi hal-hal lain yang sedang marak di berita belakangan ini seperti perzinahan, kekerasan, dan bahkan pembunuhan yang tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga anak-anak. Yang tentu saja akar dari segala permasalahan tersebut adalah perang pemikiran melalu media apapun itu.
Dewasa ini pemikiran islam malah dianggap kuno dan kaku sedangkan pemikiran islam liberal yang juga banyak dikaji oleh para cendikiawan yang belajar islam di eropa dan amerika malah banyak diminati dan dianggap berkemajuan. Padahal ada orang belajar islam di barat saja rasanya sudah aneh. Belum lagi memakai referensi-referensi orang non islam sebagai bahan belajar. Ya boleh sih, tapi yaa seharusnya tetap dikritisi bukan malah iya-iya saja. Ini malah terbalik, karya tokoh-tokoh muslim dan bahkan al-qur'an yang dikritisi, lagi-lagi dibandingkan dengan ucapan tokoh yang bukan islam pula. Sekalinya pakai referensi orang islam, ternyata tokoh syiah ataupun mu'tazilah dan beranggapan bahwa mereka adalah bagian islam yang tidak sesat. Dan budaya belajar islam liberal seperti ini banyak diajarkan secara tidak langsung dalam jenjang pendidikan, tapi dari ceramah para seniornya, dalam forum kaderisasi, diskusi-diskusi ataupun ya hanya ikut-ikutan karena dianggap keren.
Filasafat memang harus dipelajari, tapi dengan panduan yang benar. Bukan sekali dua kali para aktivis islam liberal menganggap islam hanya sebagai produk sejarah. Coba sesekali tanya bagaimana rukun islam mereka. Bahkan dalam tataran kampus, mudah ditemukan para aktivisnya enggan mejalankan kewajiban yang sudah dengan jelas diperintahkan, ada yang memang malas tapi ada juga yang malah dengan berani menggugat otoritas wahyu. Aneh? Ya inilah realitasnya lingkungan yang kita tempati sekarang, mungkin suatu alasan juga mengapa kita umat islam malah ikut terhayut dalam hal-hal yang syubhat dan pada akhirnya keliru membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Lahhh bentar ini jadi kayaknya banyak yang mulai keluar dari judul tulisan wkwkwkwkwk skippp
Jadi, yaa gituuu. Saya dihantui perasaan takut. Di dunia seperti apa nanti anak saya tumbuh. Formulasi apa yang harus saya rumuskan untuk mendidik anak. Sudah siapkah saya menjalani fase tersebut? Sedangkan sebagai anak kecil, mereka pasti akan melihat pada orang tua, karena bagi mereka orang tua adalah ukuran kebenaran. Makanya setiap kali mendapat kabar kawan yang akan menikah, saya kagum bukan main. Keteguhan hati seperti apa yang mereka miliki. Kekuatan besar apa yang sudah mendorong mereka untuk dapat mengambil keputusan yang luar biasa hebat itu. Saya selalu kagum dengan mereka, terutama kami masih di umur belia. Saya tidak bisa membayangkan ujian-ujian apa saja yang sudah mereka lewati sebagai ibu muda yang baru pertama kali memiliki anak.
Namun dengan banyaknya pr serta kekurangan ini, saya tidak ingin menyerah. Saya tetap ingin dapat berkumpul lagi dengan keluarga di surga Allah kelak. Semoga Allah senantiasa mengutkan dan melindungi kita, keluarga kita, dan keturunan-keturunan kita kelak.
🌼 • ┈ ๑ ⋯ ୨ ୧ ⋯ ๑ ┈ • 🌼
Salam sayang, Piwa.
5 notes
·
View notes
Text
"Bagaimana Pendidikan Formal Mulai Mengadopsi Program eSports"
Dunia pendidikan formal kian dinamis, terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Salah satu inovasi menarik adalah pengadopsian program eSports ke dalam kurikulum sekolah dan universitas. Fenomena ini bukan sekadar tren, tetapi respons terhadap perkembangan industri gaming dan eSports yang telah menjadi bagian integral dari budaya populer dan peluang karier modern. Berikut adalah gambaran bagaimana pendidikan formal mengintegrasikan eSports, alasan di baliknya, dan manfaat yang ditawarkan.
1. Mengapa eSports Masuk ke Dunia Pendidikan?
Beberapa alasan utama mendorong institusi pendidikan mengadopsi program eSports:
Industri yang Berkembang Pesat eSports kini bernilai miliaran dolar, dengan pertumbuhan pesat di seluruh dunia. Banyak universitas melihat peluang untuk mempersiapkan siswa menghadapi karier di industri ini, mulai dari pemain profesional, komentator, analis, hingga manajer tim.
Kemampuan Soft Skill yang Diperoleh eSports mengajarkan keterampilan penting seperti kerja tim, komunikasi, manajemen waktu, dan kemampuan problem-solving, yang semuanya relevan di dunia kerja.
Meningkatkan Keterlibatan Siswa Program eSports menarik siswa yang mungkin kurang tertarik dengan kegiatan ekstrakurikuler tradisional, sehingga meningkatkan partisipasi mereka dalam lingkungan sekolah atau kampus.
2. Bagaimana eSports Diintegrasikan?
Institusi pendidikan mengembangkan program eSports dalam beberapa bentuk:
Tim eSports Sekolah Sekolah menengah atas dan universitas membentuk tim eSports yang bersaing dalam turnamen lokal, nasional, atau internasional.
Kurikulum Berbasis eSports Beberapa sekolah dan universitas menawarkan mata pelajaran atau program studi yang fokus pada berbagai aspek eSports, termasuk manajemen tim, pemasaran, desain game, dan analisis data.
Fasilitas dan Infrastruktur Untuk mendukung program ini, sekolah dan universitas membangun arena eSports, ruang latihan, dan laboratorium teknologi canggih yang menunjang kegiatan siswa.
3. Contoh Program eSports di Berbagai Institusi
Amerika Serikat National Association of Collegiate Esports (NACE) menjadi pelopor dalam mendukung tim eSports di universitas. Beberapa institusi bahkan memberikan beasiswa bagi pemain berbakat.
Eropa Universitas di negara seperti Inggris dan Jerman mulai menawarkan gelar sarjana dalam bidang eSports, mencakup topik seperti bisnis, produksi media, dan strategi kompetitif.
Asia Korea Selatan, sebagai pusat eSports global, telah lama memasukkan eSports dalam pendidikan formal. Program ini sering difokuskan pada pengembangan atlet profesional dan teknologi gaming.
4. Manfaat Program eSports dalam Pendidikan
Membangun Keterampilan Teknologi Siswa mempelajari teknologi terkini, yang relevan untuk berbagai karier di era digital.
Kesempatan Karier Baru eSports membuka pintu untuk karier di berbagai bidang, termasuk pengembangan game, produksi media, dan pemasaran digital.
Mendorong Keseimbangan Hidup Melalui pelatihan dan bimbingan, siswa juga diajarkan pentingnya manajemen waktu, menjaga kesehatan fisik, dan keseimbangan antara gaming dan pendidikan.
5. Tantangan dalam Mengadopsi Program eSports
Meskipun manfaatnya besar, pengadopsian program eSports juga menghadapi tantangan:
Stigma terhadap Gaming Masih ada persepsi negatif bahwa gaming hanya membuang waktu, sehingga perlu edukasi lebih lanjut untuk mengubah pandangan ini.
Biaya Tinggi Pengadaan fasilitas dan peralatan gaming memerlukan investasi yang signifikan.
Keseimbangan Akademis Mengintegrasikan eSports tanpa mengorbankan prioritas akademis siswa adalah tantangan lain yang harus diatasi.
Kesimpulan
Pengadopsian program eSports dalam pendidikan formal adalah langkah revolusioner yang mencerminkan kemajuan zaman. Dengan pendekatan yang tepat, program ini tidak hanya memberikan siswa peluang karier yang relevan tetapi juga membentuk generasi yang lebih kompeten dalam keterampilan teknologi, komunikasi, dan kepemimpinan. Melalui eSports, institusi pendidikan membuktikan bahwa belajar bisa dilakukan di arena baru yang menarik, seru, dan penuh potensi.
0 notes
Text
Warganet Soroti Kampus yang Beri Gelar HC ke Raffi Ahmad Biaya S3 Lebih Murah dari Langganan Wifi
Raffi Ahmad saat mendapat gelar doktor HC dari UIPM Thailand. Jakarta (Riaunews.com) – Warganet terus menguliti Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand yang telah memberikan Raffi Ahmad gelar doktor kehormatan atau Doktor Honoris Causa. Salah satu yang disorot warganet adalah terkait biaya kuliah di UIPM. UIPM sendiri diketahui ada di Thailand, Rusia, Amerika dan terakhir…
0 notes
Text
Erina Gudono Diterima di University of Pennsylvania di Tengah Kehamilan
INGATLAH.COM – Di tengah kehamilannya, Erina Gudono mengumumkan kabar gembira bahwa ia diterima kuliah S-2 di beberapa universitas terkemuka di luar negeri. Setelah mempertimbangkan berbagai faktor, istri Kaesang Pangarep memilih University of Pennsylvania di Amerika Serikat. Erina mengungkapkan bahwa kampus tersebut memberikan beasiswa untuk program S2-nya. Kabar ini mengejutkan publik. Dalam…
0 notes
Text
Mahasiswa Untirta Dipersiapkan Belajar ke Amerika
SERANG – Unit Penunjang Akademik (UPA) Bahasa dan Internasionalisasi Untirta bekerjasama dengan tim dari USAID TEMAN LPDP Jakarta menyelenggarakan kegiatan bersama dengan tema “Strategies to Apply to U.S Universities with IISMA” pada hari Rabu 7 Februari 2024. Kegiatan ini merupakan persiapan mahasiswa Untirta dalam proses aplikasi program IISMA tahun 2024 ke kampus-kampus di wilayah Amerika…
View On WordPress
0 notes
Text
Growth Mindset 101 untuk Mahasiswa
Rahasia sukses di kampus dan tetap menikmati kehidupan kampus
Halo, mahasiswa!
Bagaimana perasaanmu saat pertama kali diterima di perguruan tinggi? Sebagian mahasiswa mungkin excited dengan lembaran baru di kehidupannya. Gak sabar buat explore pengalaman baru, ketemu teman baru, atau mungkin pengen cepat-cepat lulus biar bisa langsung terjun ke karir yang diimpikan.
Sayangnya, kehidupan kampus gak semulus itu. Setelah satu semester, kamu mulai merasakan roller coaster kehidupan kampus. Mulai dari beban akademis, tanggung jawab non-akademis, masalah sosial, belum lagi kalau ada masalah finansial. Semuanya bikin life-balance kacau. Ada mahasiswa yang akhirnya bisa tetap berprestasi di kampus, ada pula yang hampir tidak bisa survive. Kenapa bisa begitu ya?
Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan mahasiswa. Banyak yang berpikir bahwa tingkat kesuksesan seseorang tergantung pada bakat, kecerdasan, dan usahanya. Namun, psikolog Carol S. Dweck mengemukakan bahwa ada faktor yang jauh lebih penting, yaitu pola pikir atau mindset seseorang.
Daftar Isi: Mengenal Mindset fixed mindset vs growth mindset Apa itu fixed mindset? Apa itu growth mindset? Perbedaan mendasar Growth dan fixed mindset 1. Seberapa berharga usaha menurut kita 2. Peluang vs kegagalan 3. Progress vs perfect Mengapa growth mindset penting bagi mahasiswa? Cara menanamkan growth mindset Miskonsepsi terhadap growth mindset
Mengenal Mindset
Psikolog asal Amerika Carol S. Dweck pernah mengadakan penelitian terhadap siswa kelas lima dan enam SD yang tingkat kecerdasannya relatif sama. Mereka diberikan soal-soal yang satu level lebih sulit untuk anak-anak seusia mereka. Anak-anak ini memberikan respon yang berbeda terhadap kesulitan yang mereka hadapi.
Sebagian siswa merasa tes ini untuk menguji cerdas atau tidaknya mereka. Ketika gagal, mereka merasa itu tandanya mereka tidak cerdas. Mereka jadi sangat malu dan kecewa. Sebaliknya, sebagian lainnya merasa tertantang dengan soal-soal sulit yang diberikan. Saat gagal, mereka antusias untuk mencoba lagi atau berharap bisa belajar sesuatu dari kesalahannya.
Dari penelitian ini, Dweck melahirkan dua konsep mengenai mindset, yaitu growth mindset dan fixed mindset.
Fixed mindset vs growth mindset
Apa itu fixed mindset?
Pola pikir tetap atau fixed mindset adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan kita, seperti bakat atau kecerdasan, adalah sesuatu yang tetap, bawaan dari lahir, dan sulit berubah. Orang yang memiliki fixed mindset, cenderung untuk melabeli seseorang berdasarkan kemampuannya. Seperti, si A pintar, si C bodoh, si Z lamban, dan sebagainya.
Misalnya, Anton bisa mendapatkan nilai A hanya dengan belajar satu jam sebelum ujian. Sedangkan Bimo, meskipun sudah belajar sejak seminggu sebelum ujian, hanya berhasil mendapatkan B. Orang yang memiliki fixed mindset akan berpikir bahwa Bimo mendapatkan nilai B karena memang tidak sepintar Anton. Seberapa besar pun Bimo berusaha, ia tidak akan bisa mengalahkan Anton.
Apa itu growth mindset?
Berbeda dengan fixed mindset, orang yang memiliki growth mindset tidak peduli dengan label pintar, hebat, dan sebagainya. Orang dengan growth mindset percaya bahwa kemampuan seseorang akan selalu bisa berkembang asalkan mau belajar dan mengerahkan usaha terbaik.
Meskipun setiap orang memiliki bakat alamiahnya masing-masing, bukan berarti hanya orang yang berbakat sejak lahir yang bisa berkembang. Misalnya, Tasya adalah keturunan musisi, ia sudah bisa bermain piano sejak usia lima tahun. Tina, di lain sisi, baru belajar piano di usia 8 tahun dan butuh waktu lebih lama untuk menguasai dasar-dasarnya. Meskipun begitu, dengan growth mindset, Tina percaya bahwa ia akan bisa jadi pianis profesional jika ia terus belajar dan menemukan gaya musikalnya sendiri.
Perbedaan mendasar Growth dan fixed mindset
Perbedaan utama dari growth dan fixed mindset terletak pada bagaimana kita menilai usaha, bagaimana kita melihat kegagalan, dan seberapa penting kualitas dari hasil usaha menurut kita.
Seberapa berharga usaha menurut kita
Bagi orang yang memiliki fixed mindset, semakin besar usaha yang dikerahkan, berarti semakin lemah seseorang. Bagi mereka, usaha yang besar menandakan bahwa seseorang kurang kompeten untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, orang dengan fixed mindset takut dengan tantangan dan enggan mencoba sesuatu yang baru. Mereka takut jika mereka terlihat kesulitan melakukan sesuatu, mereka akan dianggap rendah.
Sebaliknya, bagi orang yang memiliki growth mindset, usaha adalah faktor yang penting untuk mencapai kesuksesan. Bagaimana kita bisa menjadi lebih baik kalau tidak berusaha? Karena lebih mementingkan perkembangan dirinya sendiri, orang dengan growth mindset tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka percaya, semua orang punya pace-nya masing-masing.
2. Peluang vs kegagalan
Bagaimana respon kamu saat menghadapi kegagalan?
Orang yang memiliki fixed mindset menganggap bahwa kegagalan dan keberhasilan menggambarkan kemampuan seseorang yang sebenarnya. Saat menghadapi kegagalan, mereka mereka merasa lemah.
Daripada mencari cara untuk bangkit, mereka cenderung menyalahkan keadaan. Biasanya kata-kata yang terlontar seperti “Ah, dia mah memang pintar, kalau aku ngga,”, ��Ini emang bukan keahlianku,”, dan sebagainya.
Sedangkan bagi orang dengan growth mindset, kegagalan adalah batu loncatan menuju keberhasilan. Seperti kata Confucius, “Kejayaan terbesar kita bukanlah karena tidak pernah gagal, namun karena bangkit setiap kali kita gagal.”
3. Progress vs perfect
Fixed mindset cenderung membuat kamu malu terhadap kekurangan. Orang dengan fixed mindset takut dianggap tidak kompeten jika pekerjaannya tidak sempurna. Akibatnya, banyak orang dengan fixed mindset menunda-nunda pekerjaan karena standar sempurna yang ada di pikirannya tidak sejalan dengan kapasitas yang ia miliki saat ini.
Karena berorientasi pada perkembangan, bagi orang dengan growth mindset, progress kecil tetaplah progress. Tidak apa-apa jelek dulu, yang penting sudah dicoba. Semua orang pasti harus mulai dari level terendah dulu sebelum jadi sempurna. Faktanya, bahkan tidak ada seorang pun yang sempurna di dunia.
Mengapa growth mindset penting bagi mahasiswa?
Fixed mindset membuat mahasiswa cenderung hitam-putih terhadap kualitas diri yang dimilikinya. Hal ini dapat menghambat perkembangan diri dan beresiko mengganggu kualitas hidup mahasiswa.
Riset membuktikan bahwa memiliki growth mindset dapat membantu mahasiswa mencapai potensinya dan menghadapi tantangan. Beberapa manfaat dari growth mindset bagi mahasiswa adalah:
Meningkatkan motivasi dan resiliensi
Mahasiswa dengan growth mindset cenderung untuk menyukai tantangan dan belajar dari kesalahan. Mereka tidak sungkan untuk meminta masukan dari orang lain. Meskipun menghadapi kesulitan, mereka tidak mudah untuk menyerah. Mereka melihat kesulitan dan kegagalan sebagai peluang untuk bertumbuh, bukan ancaman terhadap harga dirinya.
2. Meningkatkan kemampuan dan hasil belajar
Mahasiswa dengan growth mindset cenderung memiliki strategi belajar yang lebih efektif dan efisien, sehingga lebih memungkinkan mereka untuk memiliki pencapaian akademik yang baik. Pola pikir yang berfokus pada perkembangan memicu mahasiswa untuk mengatasi kelemahan dengan memaksimalkan kelebihan yang mereka miliki.
3. Meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan mahasiswa
Growth mindset membantu mahasiswa untuk merasakan emosi positif, seperti rasa ingin tahu, ketertarikan untuk belajar, dan semangat. Mahasiswa dengan growth mindset juga cenderung memiliki kepercayaan diri, self-efficacy, dan self-compassion yang lebih tinggi.
Cara menanamkan growth mindset
Setelah mengetahui manfaat dari growth mindset, sekarang saatnya untuk mengaplikasikannya ke dirimu sendiri.
Sadari mindset yang kamu miliki saat ini
Langkah pertama yang perlu kamu lakukan adalah mengetahui di mana posisi kamu saat ini. Apakah kamu lebih cenderung memiliki fixed mindset atau growth mindset?
Perlu diketahui bahwa growth mindset bukanlah sesuatu yang tetap. Artinya, kamu bisa saja memiliki karakter growth dan fixed mindset sekaligus, namun dengan kecenderungan yang berbeda.
Selanjutnya, yang perlu kamu lakukan adalah pelan-pelan mengubah karakter fixed mindset yang kamu miliki menjadi karakter growth mindset.
2. Sadari keterbatasan dan peluang yang kamu miliki
Tidak ada manusia yang sempurna. Jadi, kamu tidak perlu sedih dengan keterbatasan yang kamu miliki. Dengan menyadari dan mengakui keterbatasan yang dimiliki, kamu bisa lebih fokus terhadap kelebihanmu. Syukuri dan apresiasi setiap peluang yang datang ke kehidupanmu.
3. Ubah cara pandang terhadap kegagalan
Lebih baik gagal daripada tidak pernah mencoba. Merasa sedih ketika hasil yang kamu dapatkan tidak sesuai harapan sangatlah normal. Namun, itu bukanlah akhir dari segalanya.
Coba cari tahu, kira-kira apa yang bisa kamu tingkatkan dari usaha kamu sebelumnya? Apa keterbatasan yang menghambatmu? Bagaimana kamu bisa menanggulanginya? Kegagalan adalah satu langkah menuju kesuksesan.
4. Latih resiliensi/ketangguhan diri
Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dari kesulitan, tragedi, dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya. Memiliki resiliensi bukan berarti kamu tidak boleh merasa sedih atau kecewa. Kamu bisa rehat secukupnya, kemudian bangkit lagi lebih kuat.
Membangun resiliensi membutuhkan waktu dan kesengajaan. Jadi, beranikan diri untuk mengambil tantangan. Jangan takut untuk jatuh dan membuat kesalahan. Kamu akan mencapai tujuanmu jika kamu terus mencoba.
5. Terbuka pada masukan
Terkadang, kritik terasa mengerikan karena bisa melukai perasaan. Namun, jangan takut. Kamu tidak perlu ambil perasaan terhadap semua kritik yang kamu terima. Coba lihat sisi konstruktif yang bisa kamu ambil.
Kamu juga harus berani untuk meminta masukan kepada orang lain. Dengan masukan dari orang lain, kamu menemukan celah yang kamu sendiri tidak sadari sebelumnya.
6. Miliki circle growth mindset
Teman dan lingkungan sekitar bisa menjadi pengaruh yang kuat terhadap dirimu. Kelilingilah dirimu dengan orang-orang yang berorientasi pada perkembangan. Cari role model yang memiliki growth mindset. Kalau kamu mampu, kamu juga bisa mewarnai orang-orang disekitarmu agar memiliki growth mindset.
7. Rayakan kemenangan kecil
Progress satu persen lebih baik daripada tidak sama sekali. Terkadang, kamu batal menyelesaikan sesuatu yang sudah kamu targetkan karena terlalu stress dengan kesempurnaan yang kamu harapkan. Pola pikir all-or-nothing ini berbahaya untuk perkembanganmu.
Daripada menunggu sempurna, lebih baik selesaikan semampumu dulu. Reward dirimu sendiri dengan pujian karena sudah menghasilkan sesuatu hari ini, sekecil apa pun itu. Kemudian, motivasi dirimu untuk tidak berhenti mengembangkan diri.
“Kerja bagus hari ini! Besok kamu bisa lebih baik dari hari ini!”
8. Nikmati prosesnya
Menanamkan growth mindset adalah proses yang berkelanjutan. Kamu bisa melacak perkembanganmu dengan menulis jurnal. Ceritakan perilaku growth mindset apa saja yang sudah kamu lakukan, karakter fixed mindset apa yang kamu sadari, dan target yang ingin kamu capai selanjutnya. Jangan lupa untuk mempertahankan karakter growth mindset yang sudah kamu punya!
Miskonsepsi terhadap growth mindset
Growth mindset bisa sangat bermanfaat bagi perkembangan diri seseorang jika diintegrasikan dengan berbagai aspek lainnya dalam kehidupan. Namun, banyak yang salah kaprah dalam memaknai growth mindset. Berikut ini beberapa miskonsepsi yang umum ditemukan mengenai growth mindset.
Growth mindset bukan hanya tentang memuji usaha
Usaha tentu saja penting. Namun, terus berusaha saja tidak cukup untuk mencapai perkembangan. Kamu juga perlu untuk menggunakan strategi yang efektif, meminta masukan, dan belajar dari kesalahan.
Memuji usaha saja tanpa mempertimbangkan hasil bisa membuat kamu merasa cukup dengan keadaan yang sekarang. Jadi, kamu merasa tidak perlu untuk menjadi lebih baik lagi. Berusaha tanpa memikirkan cara terbaik untuk mencapai hasil yang diinginkan juga bisa menyebabkan frustrasi dan putus asa.
2. Growth mindset bukanlah karakter yang hitam putih
Orang yang memiliki growth mindset belum tentu tidak memiliki fixed mindset sama sekali. Semua orang bisa saja memiliki pola pikir yang berbeda di bidang dan situasi yang berbeda.
Misalnya, seseorang punya growth mindset tentang matematika, namun memiliki fixed mindset tentang seni. Pola pikir seseorang juga bisa berubah dari waktu ke waktu dan ketika merespon situmulus yang berbeda.
3. Growth mindset tidak sama dengan bersikap positif atau berpikir positif
Memiliki growth mindset bukan berarti seseorang akan terus optimis, percaya dirim atau bahagia. Memiliki growth mindset berarti seseorang mau untuk menghadapi tantangan, menerima kegagalan, dan belajar dari hal itu.
Growth mindset tidak menolak kenyataan bahwa kita memiliki kesulitan dan keterbatasan. Namun, kesulitan dan keterbatasan itu dipandang sebagai peluang untuk perkembangan.
4. Growth mindset bukan jaminan kesuksesan
Memiliki growth mindset saja tidak menjamin kamu bisa meraih segala hal. Masih ada faktor lain yang mempengaruhi hasil yang didapatkan, seperti minat, bakat, sumber daya, dan terkadang juga keberuntungan. Growth mindset tidak mengabaikan faktor-faktor yang lain, namun lebih memfokuskan pada apa yang bisa dikontrol dan ditingkatkan seseorang.
----------
Pada dasarnya, kita semua memiliki potensi untuk bertumbuh. Dengan mengadopsi growth mindset, kita membuka keran potensi tersebut sehingga bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana denganmu? Apakah kamu sudah memaksimalkan potensi yang kamu punya? Kalau belum, ini saatnya untuk mulai perjalanan berkembangmu dengan growth mindset!
----------
-Grizz, zona amanmu untuk jatuh dan berkembang
Rizz up your mind, glow up your future!
1 note
·
View note
Text
Tak Kurang 2.200 Mahasiswa AS Ditangkap Selama Unjuk Rasa Pro-Palestina
WASHINGTON (Arrahmah.id) — Total hampir 2.200 orang ditangkap polisi selama unjuk rasa pro-Palestina yang digelar di kampus-kampus di seluruh wilayah Amerika Serikat (AS) dalam beberapa pekan terakhir. Dalam aksinya, para demonstran yang kebanyakan mahasiswa itu mendirikan kemah dan menduduki bangunan di kampus mereka. Dilansir Associated Press (3/5/2024), para personel kepolisian di berbagai…
View On WordPress
0 notes
Text
156)
🚨Muallimin vs YPIA.
Mungkin kampus pusatnya sepertinya, terletak antara Çarşamba and Balat. YPIA jago desain grafisnya. *Sepertinya besok dakwah Salafy pusatnya di Palembang, hanya terkaan opini
youtube
youtube
Çarşamba and Balat.
Eh, saya itu, kan kemarin ke kampung kelahirannya Letkol Untung.
Nah saya lewat Jl. Daendels yang buatan August. Itu dari semakin mendekati YIA dari Jl. Wates, rasanya makin bersahabat sampai YIA. Terutama sehabis patung Nyi Ageng Serang. Kayak.
Mau cari jawaban tapi bingung. Tapi sungguh-sungguh sekali.
Sama jalannya bagus sekali, tapi hotelnya kok sepi? Jadi saya lihat ada toko Bakpia bukan Batik. Sama hotel Dafam ok lah. Tapi toh saya ga pinter MTK, tapi kayak iki ayo bismillah, kerjone medeni, thur salah manual opo piye ndak tahu saya🙏.
Pas sebelum masuk Jl. Daendels Selatan, itu saya nyium bau tekstil PAS seperti bau tekstil ambil pakaian kelas 1 MTs. Muallimin. Setelah masuk Jl. Daendels Selatan, saya ke Kebumen, minus orang yang acuh, yang baik ada. Itu kayak Hindia Belanda rasanya. Dari jalan datar sederhana sepi Ontowiryo lalu kayak Selokan Mataram sehabis masuk Kebumen tapi airnya penuh sampai jalan tipis beda dengan selokan dekat rumah, dengan sebelumnya sawahnya banyak pohon palem angin sepoi ga sanggup foto, lalu bangunan SDN Bojongsari 3, Seruni, Kebumen, jangan di Incheon-kan. Dedengkot PKI e. Ini juga ga kuat moto takut mbalik. Bukan mbalik gaharnya tapi mbalik lokasi mixed signals. (*Itu Tugu Congot, visual saya belum pernah lihat secara langsung bangunan jaman 60an itu kalau catnya baru seperti apa. Kemarin di perempatan Jakal ada tulisan "Ganjar Presidenku" jadi di baliho setengaj tulisan setengah foto, itu tadi saya ke sana sudah diganti GKR Hemas, itu tulisannya kayak demonstran tahun 1955). Orang di desa ini kayak ling-lung ngelihat saya. Kayak mau gimana tapi gimana tapi kuat sekali.
Sama Godean itu, jalan nadinya, bukan jalan utama. Kalau jalan rayanya rame.
*Tulisan "Ganjar Presidenku" ala demonstran tahun 1955 mungkin seperti ini. Tulisan pindah depan Siomay Kang Cepot Jakal Jogja. Tadi saya muter SIBER lalu Jl. Palagan lalu Bunderan UGM lalu Nologaten. Belum ketemu. 66)
Ada yang datang dan pergi. Tapi ada yang tetap. 🏞️⭐🇮🇩.
🇳🇱🇹🇷🇯🇵➡️🇸🇦Daniel Caesar➡️🇰🇷🇯🇵. 🇻🇳? *Arsenal
Habis saya sejarah masih panjaaang. Saya cuma 🕳️existence 1x/selamanya. Tapi masih panjaaang nggak ada namanya langsung kiamat.
youtube
Sekarang. Vs antaranya. Teladan Prom Parte vs Pesulap Merah-Gus Samsudin.
Ini Pak Ganjar font-nya, tapi dibuat agak stroke cat tukang bangunan gitu? *Lihat Kang Cepot di atas. Dulu Bapak Asuh saya punya buku komik Perjuangan Kemerdekaan, itu tulisannya dasar bentuk hurufnya seperti itu, tapi ya itu, ada kayak elemen dicat tukang. Warna merah.
Oh ya, Jawa. Kalau mencontoh para Pahlawan awal bangsa, itu. Tapi fokus, nggak spreading. Jadikan 00s-10s itu sebagai Orbanya.
Ini kan, kalau kanda dan nyonya kisanak mulai belajar seluruh kultur Nusantara, nanti seperti Amerika, versi pulau. Tapi tetap lihat Prambanan & Borobudur itu ada. Shiva Plateau itu ada. Gunung Penanggungan itu ada, Candi Majapahit itu ada. Ibaratnya Philadelphia, dilihat dari negara bagian di Barat. Tapi jangan di Detroit-ken. Saudi & Korsel ga punya bangunan Mandala gedhe gitu yang dianggap bukan anugerah.
youtube
0 notes
Text
Not an academically excellent
Akutuh pernah blg sm kak @asrisgratitudejournal kalau aku kepikiran pengen kuliah sampe PhD tapi jiper karena akutuh bukan org yg akademis banget gitu. IP ku pas S1 jauhhh dari kata Cum Laude (boro-boro!) cuman 3.23. Tapi ya seengganya masih masuk treshold minimum masuk Unimelb krn UI masih masuk kampus Tier 1 😂
Terus pas menjalani kehidupan disini, pun, temenku ada yg pernah stres lebay gitu katanya nilainya “cuman 80” aku diem aja, karena nilaiku sendiri saat itu cuman 60 😂 dan nilai 60 itu bukan hanya sekali tapiiii… 3 dari 4 assignment ku nilainya 60 🤣😂. Awal2 aku stres, lama2 aku bodo amat. Toh circumstances si temenku dan aku itu berbeda. Para single-single masih bs ambi mencari nilai bagus ya karena belajar memang prioritas dan kegiatan utama paling utama mereka disini kan. Sedangkan aku si mamak-mamak ini blm drama menghadapi anak sakit gak bisa masuk, waktu itu anak blm di childcare jadi ya gak bs disamain circumstances-nya.
Yang lucu, even aku terseok-seok dengan akademikku, akutuh selalu berusaha untuk mengkompensasi dengan hal lain, dari dulu. I am not academically outstanding, again. But i can be shine in another way, hopefully! Kegiatan ekstra-kampus itu sangat menyenangkan buatku.
Waktu S1 banyak ikut kegiatan social enterprise, bikin yayasan, ikut pelatihan, sehingga knowledge aku gak “cuman” di bidang keperawatan aja, atau bahkan sebenernya krn aku gak tll suka sm jurusanku, aku jadi mencari hal lain yg lebih seru 😝
Pun ternyata sama dengan di Unimelb ini. Ya pasti pada taulah betapa ku nanges2 ya menghadapi tuntutan akademik Unimelb ini, tp somehow aku ttp bs melakukan beberapa hal di luar akademik seperti :
1. Ikut seleksi training dari Mc Kinsey sampe tahap akhir. Jadi tahu seleksi Mc Kinsey tuh kaya gimana walau nggak keterima
2. Apply conference local di Victoria dari tugas assignment Nutrition Policy and Politics tntg Industri Susu Formula di Indonesia (belum ada hasilnya, semoga lolos aamiiinn)
3. Apply grant dari Australia Awards. Grant yanv dibuat untuk mahasiswa on-going master ini kubuat bareng sama tim Lab Belajar Ibu. Ini juga blm ada pengumumannya, semoga bisa lolos dan aku bs pulang ke Indonesia walau cm sebentar :”) huhuhuhu aamiin
4. Daftar jadi peserta lomba Geneva Challenge. Ya kaya macem bikin paper yang nantinya akan dpt pendanaan utk convert it into proposal project gitu. Tapi ini belum dikerjain nih, masih ada deadline sampe tgl 14 juli. Timnya ada anak Public Health, Marketing dan Law. Bismillah semoga penulisannya lancar :)
5. Minggu lalu kudaftar juga jadi peserta simulasi sisang PBB gitu untuk ngobrolin tntg climate change. Nah, karena penyelenggaranya adalah climate catch Lab yg emg concern sm kesehatan dan dampak perubahan iklim, ku jaid tertarik bgt buat ikutan, karena topik ini - planetary health - jadi topik yg aku dalamin juga sekarang. Dan ternyata…
Huhuhhuhu alhamdulillah keterima 😭🙏 insyaAllah akan mewakili Unimelb beserta 11 orang lainnya untuk ikutan simulasi sidang PBB. Sebenernya hal yg udh pernah aku ikutin pas YSEALI di Amerika th 2018. Makanya aku beraniin diri ikut krn sedikit banyak udh tau formatnya gmn. Cumann.. waktu itu acaranya internal ajaa, cuman kita2 doang sesama YSEALI Fellows yg lagi belajar di University of Montana, gak sama banyak org lain. Agak deg2an juga krn yg ini ternyata beneran akan jadi semacam delegates dari masing2 Uni gitu huhuhuhu bismillah!
Somehow ku merasa emang ternyata kupunya “attachment” sm lingkungan. Waktu YSEALI beberapa tahun lalu, akutuh kan nyoba smp 5x ya. Percobaan 1-4 tuh aku pake calir community engagement sama economic empowerment kan, gak lolos! Pas nyoba lewat jalur environment langsung keterima pada percobaan pertama! Wah! Makanya since then kumerasa kaya “Lingkungan is also my thing” gitu.
Bismillahi tawakaltu allawllah, laa hawlaa walla quwwata illa billah. Semoga Allah mudahkan langkah2 kedepannya :)
4 notes
·
View notes
Text
The Old Man and the Sea oleh Ernest Hemingway: Ulasan Buku
2011
Senang bisa baca novel tipis ini. Meski bentuk fisik bukunya ringan, tapi ceritanya nggak seringan seperti yang terlihat. Konfliknya nggak bisa dibilang sederhana, tapi perjuangan (dan konflik batin) tokoh utamanya ini emang complicated banget. Gue suka novel Hemingway yang ini. Gue nggak heran deh, bisa dapet Nobel Sastra. Kudos!
Tapi, maap maap ya, kalau gue me-review-nya kurang bagus untuk karya sekelas Nobel kayak begini. Buku ini gue baca pas masih jadi mahasiswa semester... aduh, lupa. Pokoknya tahun 2011. Review-nya pun udah gue tulis di note FB saat itu ( https://www.facebook.com/notes/naufal-rm/novel-of-the-day-the-old-man-and-the-sea-belajar-kehidupan-dari-lelaki-tua-yang-/10150294058284554 ). Well, inilah review gue...
Novel of The Day: The Old Man and The Sea, Belajar Kehidupan dari Lelaki Tua yang Mencari Ikan di Laut
Selasa, 10 mei 2011
Review kali ini masih membahas buku—tepatnya novel. Kalau edisi terdahulu membahas tentang novel sastra (kontroversial pula), sekarang gue juga meresensi novel ber-gendre sastra (sok iye ya, gue? berat amat bahasannya sastra aja. hahaha). Tapi, novel yang satu ini nggak sembarang novel, loh. Karena eh, karena banyak mendapatkan banyak penghargaan bergengsi dunia. Asik, dah.
Kali ini, gue bakal me-review The Old Man and the Sea-nya Ernest Hemingway (btw, kita singkat TOMATS aja, ya. biar hemat kata. lagian unyu juga kan, singkatannya? hehehe). Yeah, ada yang udah tau?
Sebenernya, banyak kalangan sastra yang berpendapat, kalau bukunya yang satu ini nggak sepenuhnya bisa diklasifikasi sebagai novel karena masalah jumlah halaman. Boleh percaya atau nggak, buku ini tebalnya "cuma" 148 halaman. Untuk jumlah halaman sebanyak itu emang susah banget menyebut karya kesembilannya ini sebagai novel. Ada juga kalangan yang beropini, kalau karya Hemingway yang satu ini cocoknya dibilang sebagai novela alias novel pendek. Namun, dalam penulisan ceritanya, penulis yang juga merupakan wartawan di Amerika ini menuangkannya seperti bentuk cerita pendek namun ditulis panjang. So, ada juga yang bilang, TOMATS ini sebagai cerpen panjang. Agak pusing ya, karena banyak penyebutannya? Ahey. Tetap semangat, malih!
Novel terbitan Serambi ini kurang lebih menceritakan perjuangan seorang lelaki tua yang berusaha untuk mendapatkan ikan di laut lepas. Tentu aja hal ini nggak mudah. Banyak halangan dan rintangan. Buat ukuran nelayan kayak tokoh utama di novel ini aja, mencari ikan di laut itu masih sulit. Apalagi buat kita yang masih awam banget masalah tangkap-menangkap ikan. Dijamin jiper kalo diajak ke tengah laut buat nangkep ikan. Hehehe.
Novel best seller ini intinya mengisahkan lelaki tua bernama Santiago yang bersahabat baik dengan remaja lelaki bernama Manolin. Sebagai seorang nelayan, Santiago emang udah dianggap sepuh oleh orang-orang di sebuah perkampungan nelayan di salah satu pinggir pantai Kuba. Yap, setting cerita di sini emang ada di Kuba yang kebetulan juga tempat di mana penulisnya menghabiskan waktu untuk menuliskan kisah ini.
Kemudian, Santiago juga banyak diejek oleh rekan nelayan lainnya di tempat tinggalnya itu karena kerap tak pernah membawa hasil ikan dari setiap usaha penangkapan ikannya di laut. Ya, Santiago kerap gagal menangkap ikan selama 84 hari berturut-turut sebelum penangkapan besarnya untuk mencari ikan raksasa. Lelaki tua itu memang terobsesi sekali untuk memburu Ikan Marlin Raksasa (ehem, nama ikannya mengingatkan gue sama salah seorang temen gue di kampus juga, nih). Di saat nelayan seusiannya yang udah sangat tua memutuskan untuk pensiun dan tidak melaut lagi, Santiago justru tetap melaut dan berusaha mencari ikan (walaupun jarang dapat). Sudah tua, namun masih saja macam-macam dalam berlaut. Untungnya, ada Manolin yang setia menyemangatinya dan sering membantunya melaut (meskipun anak muda ini jarang ikut Santiago melaut bersama. hanya sesekali di awal-awal dan itu pun langsung terhenti karena orangtuanya tidak mengizinkannya untuk berlayar kembali bersama lelaki tua itu agar tidak ketularan sial).
Nah, perjuangan luar biasa lelaki tua itu dalam usaha menangkap ikan raksasa tersebut lah yang menjadi main story di buku ini. Masalahnya, doi berusaha seorang diri loh, dalam menangkap ikan tersebut di laut lepas.
Gue kagum dengan novel ini karena emang cara bertuturnya yang enak dan mudah dipahami. Mengalir dan seolah kita yang membaca diajak untuk tenggelam dalam kisahnya. Memukau dan penuh optimisme. Bahkan, jangan heran kalau kita seolah turut merasakan hawa asinnya pantai Kuba dan ikut terombang-ambing di kapal kecilnya Santiago. Ya, Hemingway memang juara sekali dalam membuat narasi yang melenakan dan memudahkan imajinasi pembaca mengikuti adegan demi adegan yang terjalin di cerita ini.
Banyak pakar sastra yang mengklaim bahwa ini adalah karya terbaik Hemingway semasa hidupnya. Yap, gue setuju banget. Penulis legendaris asal Amerika ini terbukti menyabet Hadiah Nobel Sastra 1954. TOMATS yang terbit pada 1953 itu emang memiliki keistimewaan tersendiri sehingga banyak yang memuja. Salah satunya lewat penuturan naratifnya yang keren banget. Hal ini membuat cerita yang satu ini nggak bosen untuk diikuti sebelum selesai dan menutup buku. Gue aja nggak butuh waktu lama untuk melahap cerita amazing ini. Sehari juga cukup. Believe it or not, nggak ada bab di buku ini (seperti yang lazim ditemui di novel-novel seperti biasanya). Gaya berceritanya beneran kayak cerpen. Langsung. Bahkan, nggak ada tuh, penanda yang menunjukkan pemotongan alur yang kerap menggunakan tanda bintang (*). Makanya, kisahnya emang nggak bakal bisa lepas sejak pertama kali baca sampai ending-nya. Seru banget, sih.
Selain itu, novel yang juga memenangkan Pulitzer Prize 1953 untuk kategori fiksi dan Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters ini emang diunggulkan karena kelihaian Hemingway dalam seni bercerita. Kelebihan lain dari TOMATS adalah filosofi di balik ceritanya. Perjuangan yang pantang menyerah dalam mencapai tujuannya itulah yang mengajarkan kita betapa kesabaran, ketabahan, dan kegigihan dalam mengarungi cobaan hidup tak akan berakhir sia-sia.
Well, seolah penulis yang juga pernah menjadi tentara saat Perang Dunia Pertama ini ingin mengungkapkan bahwa kita tidak boleh menyerah dalam menjalani hidup. Jangan cepat putus asa dalam menghadapi cobaan yang menimpa kita. Karena segalanya bisa kita lalui jika kita menghadapinya. Jika kita mau berjuang melawannya. Kemudian, penulis juga ingin berpesan, jangan pernah give up dalam berusaha mewujudkan impian dan cita-cita. Sebesar apa pun cobaan mengadang dalam pencapaian untuk menggapai impian tersebut, kita tidak boleh menyerah.
Bahkan, setelah kita mendapatkan impian kita. Ternyata mempertahankannya sangatlah sulit dan tidaklah mudah. Semua hal ini tergambar jelas dalam novel ini. Makanya, gue memberi perumpamaan bahwa novel ini emang sebagai contoh dari kehidupan kita. Perjuangan lelaki tua dalam mencapai tujuannya menangkap ikan raksasa yang penuh rintangan seakan-akan menggambarkan juga kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya, bahwa hidup ini memang seperti laut nan luas. Tak selalu tenang. Tapi, juga ada terpaan ombak cobaan yang senantiasa menemani. Kita sebagai manusia atau pelaut yang mengarungi lautan kehidupan harus siap menghadapinya. Dan, jangan juga menyerah karena sulitnya meraih ikan impian kita. Sesulit apapun mendapatkannya, yakinlah segala halangan tersebut bisa kita lalui dengan usaha keras. Meskipun tak selalu tercapai, yang terpenting kita sudah berusaha. Ya, hidup memang ada bukan untuk menyerah begitu saja. Tapi, untuk tetap diarungi dan tetap berusaha. Kira-kira, seperti itulah filosofi atau cerminan dari kisah di buku ini dengan kehidupan sehari-hari kita. Sungguh sangat bijak, ya?
Well, pada penasaran kan, apakah si lelaki tua berhasil mendapatkan Ikan Marlin Raksasa? Makanya, pada baca, deh. Hehehe. Sekali lagi, buat anak Untirta yang penasaran, bisa nih, dipinjam di perpus pusat kampus kita.
Dan, untuk menutupi review ini, seperti biasa gue memberikan penilaian menggunakan bintang. Yap, dari lima bintang, gue menilai The Old Man and The Sea layak mendapatkan empat bintang. Nilai yang nyaris sempurna ini karena kekuatan narasinya yang keren. Mantep, deh. Buktikan sendiri. Hemingway emang cihuy.
Selamat membaca, teman-teman!
nb.
sebenernya, gue fobia banget sama laut, hiu, dan paus. makanya, selama baca novel ini, gue kadang bergidik sendiri karena banyak alur yang sedikit-banyak menceritakan hewan-hewan laut. padahal, gue nggak lagi ada di kapal atau even di deket pantai. tapi, gue hampir mabok laut sendiri karena mengikuti cerita ini. untung narasinya bagus. jadi, fobia gue pun gue tahan-tahan. hehehe.
0 notes
Text
Mestika Zed: ASM & ”TEORI BELAH BAMBU”
©MTZ-II-13-08
ASM & ”TEORI BELAH BAMBU”
Oleh Mestika Zed
Kenapa meneer X, sesoedah promosi di negeri Belanda tak pernah membikin publikasi (penjelidikan wetenschappelijk) seoemoer hidoepnja lagi? Lantaran soedah berpangkat, tidak ada tempoh, banjak kerdja, banjak anak, besar tanggoengan, digoda oleh chef, selaloe dipindahkan oleh papa gouvernement, dipergantoengi oleh kaoem famili segerobak...? Amboi, kenapa orang Barat sesoedah ia berpromosi dan berdiploma baroe moelai hidoep, madjoe, menjelidiki, mengeloearkan publikasi tiap tahoen dan lain-lain, walaupoen banjak poela rintangan dari loear jang diderita mereka. Apakah kaoem kita oemoemnja beloem dihinggapi oleh djin (demon) penjelidikan, beloem bernafsoe membikin (scheppen), baroe toekang tiroe mengamin sadja? Atau nafsoe ini bangkit apabila ia hidoep dalam masjarakat sendiri jang tidak biasa structuurnja? Wallahoealam. [cetak miring dai penulis, MTZ].
K
UTIPAN di atas agaknya membingungkan pembaca yang budiman. Tetapi mohon jangan salah faham. Saya mengutipnya sekedar pembuka wacana untuk memahami sekedarnya tentang tempat Pak Ahamd Syafii Maarif (ASM) di antara kaum akademisi Indonesia. Inilah “angle” yang akan saya gunakan untuk berbincang tentang siapa ASM dalam kaca-mata saya. Meskipun saya dapat memastikan sudah mengenal namanya lebih dari dua puluh tahun lalu, tetapi tentu sangat sedikit yang dapat saya ketahui tentang ASM. Terlebih lagi karena perkenalan saya yang agak dekat dengannya baru terjadi belakangan. Rasanya baru sejak pertengahan 1990-an, ketika kami sering bertemu dalam seminar-seminar, forum diskusi Kompas atau sesekali bersua saat beliau “mudik”, pulang kampung ke Sumatera Barat. Kadang beliau juga mengirim “souvenir” kepada saya, yakni berupa buku karya beliau sendiri yang baru diterbitkan. Saya pun demikian, sekali-sekali mengirimkannya juga buku saya. Paling tidak untuk menutup malu agar jangan dicap hanya suka “menerima” melulu, tetapi jarang memberi.
Salah satu buku beliau yang paling berkesan bagi saya ialah berjudul Islam dan Politik. Teori Belah Bambu. Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996). Buku itu berasal dari “tesis MA”-nya (1975-1977) di Ohio State University, AS di bawah bimbingan Prof. Dr. William Frederick, yang sekali waktu juga pernah menjadi guru saya saat kuliah di Kampus Bulaksumur, Yogyakarta. Bedanya, beliau berguru dengannya di Amerika, sementara saya cukup di tanah air saja. Kebetulan Dr. William Frederick menjadi guru besar tamu di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Gadjahmada, tempat di mana saya kuliah di akhir 1970-an. Meskipun kampus kami bertangga -- saya di Bulaksumur dan ASM di Kampus IKIP Karang Malang, di mana ia mengajar -- kami tak pernah bertemu satu sama lain. Soalnya saya mahasiswa dan beliau sudah menjadi dosen. Meskipun begitu waktu itu saya sudah mengenal namanya. Lain tidak. Tetapi alasan mengapa kami tak pernah berjumpa sebenarnya ialah karena saat itu beliau masih melanjutkan studi ke negera Paman Sam, seperti halnya dengan kolega ASM yang lain: Dr. Amin Rais dan Dr. Kuntowijoyo; yang terakhir ini juga dosen saya di Jurusan Sejarah. Ketiganya kemudian menjadi tokoh yang dikenal luas di kalangan aktivis kampus Yogya. Pada umumnya mahasiswa generasi saya di akhir 1970-an dan sesudahnya mengenal ketiga tokoh ini sebagai sosok yang dihormati. Barangkali karena ketiganya bukanlah termasuk golongan ilmuwan seperti “Meneer X” yang diceritakan dalam kutipan di atas.
* * *
Kutipan di atas aslinya berasal kumpulan karangan Dr. Amir (1900-1949), seorang cendikiawan Minang yang menamatkan studinya di bidang kedokteran di Belanda. Kumpulan karangan itu -- yang ditulis untuk berbagai media antara tahun 1923 sampai 1939, diberi judul Boenga Rampai (terbit tahun 1940). Dengan kutipan di atas, Dr. Amir sebenarnya sedang mengutarakan keprihatinannya terhadap kiprah ilmuwan Indonesia yang menamatkan studinya di luar negeri. Waktu itu jumlah tentu masih amat sedikit. Apalagi yang menamatkan degree doktor masih dapat dihitung dengan bilangan jari sebelah saja. Meskipun demikian gejala yang diamati Dr. Amir pada zaman sebelum perang itu rupanya masih amat kental pada kita masa sekarang. Sebagai salah seorang aktivis nasionalis, Dr. Amir sangat mendambakan agar bangsanya bergiat mengejar ilmu yang saat itu berkembang di Barat (khususnya di Eropa). Ini dikesan pada pembicaraan Amir tentang proefschrift (disertasi) Latumeten dan Todung Sutan Gunung Mulia. Atau apa yang dilakukannya sewaktu ia tinggal di Eropa. Diceritakannya tentang refereeavond ketika mahasiswa dan dosen terbiasa memperdebatkan isi majalah dan buku. Ia juga mendambakan kehidupan kaum ilmuwan Indonesia juga demikian. Ia tak puas dengan hanya melakukan peminjaman ilmu yang intinya sama dengan peminjaman teknologi.
Maka bertanyalah Dr. Amir dalam salah satu tulisannya (bab XXIV: h.215): Kenapa meneer X, sesoedah promosi di negeri Belanda tak pernah membikin publikasi (penjelidikan wetenschappelijk) seoemoer hidoepnja lagi? Lantaran soedah berpangkat, tidak ada tempoh, banjak kerdja, banjak anak, besar tanggoengan, digoda oleh chef[alias mengejar jabatan, MTZ] selaloe dipindahkan oleh papa gouvernement, dipergantoengi oleh kaoem famili segerobak ....?
Pernyataan dan pertanyaan Amir ini ternyata memiliki implikasi yang luas sebagaimana sudah dikatakan di atas, bahwa gejala itu bukan hanya melulu di masa hidup Amir saja, melainkan juga di masa masa kita kini. Menurutnya gejala itu terjadi karena sejumlah sebab. Tetapi ia percaya akibat lebih dulu daripada sebab. Ini logika yang biasa dikenal di kalangan mereka yang belajar sejarah. Artinya suatu peristiwa menjadi historis [bersejarah] karena akibat yang ditimbulkannya. Jadi sejarah mulai dari akibat. Tanpa mempersoalkan kebenaran sebab yang ditemuinya, sejarawan biasanya mengembangkan semacam hipotesis. Dr Amir menyatakan bahwa sikap kita yang "menimba" ilmu dari Barat ialah menelannya tanpa menggalinya dan mengkritisinya. Ini tentu erat kaitan dengan cara kita berguru dari Barat dan akibatnya kita menjadikan Barat "guru" yang menurut Dr. Amir dapat berarti “bapa rohani” — Amir melekatkan ini untuk Gandhi, tetapi ini juga sikap kita terhadap "guru Barat". Kita mengenal dunia, bahkan diri dan budaya sendiri melalui ajaran "guru Barat". Akibatnya, kita tidak berani menyimpang dari guru dan selalu menanti lampu hijau guru. Kita akan selalu meniru. Jadi “Pak Tiru”. Ini ditambah dengan sikap guru Barat yang menggurui, yang ada kalanya berkeliling menemui para cantriknya dan sekaligus menambah pengetahuan mereka. Ini bisa terjadi karena bagi kebanyakan kita membaca hanya perlu semasa belajar. Kita berhenti membaca begitu tamat, dapat ijazah, juga ijazah doktor. Apalagi bacaan kita batasi kepada yang disarankan guru. Kita jaga tidak perlu membaca sesuatu yang memungkinkan kita berbeda dari guru, apalagi akan berlawanan. Sebagai akibatnya, ilmuwan kita berperan sebagai ”juru bicara” ilmu Barat.
* * *
Dr. Amir menginginkan agar ilmuwan atau kaum akademisi tetap bergerak dalam dunia ilmu, menyumbangkan sesuatu kepada perkembangan teori. Akan tetapi ini tidak mungkin dilakukan dengan hanya meminjam dan memamahbiak apa yang diterima dari sang guru. Perlu keberanian pencarian sendiri. Tetapi itu hanya mungkin dilakukan dengan mempertanyakan apa saja. Dan kalau sarjana Barat merumuskan suatu teori berdasarkan pemikiran budaya mereka, kita dapat melakukan hal yang sama. Merumuskan sesuatu (teori) berdasarkan pemikiran budaya kita. Tapi perlu diingat, sarjana Barat, selalu mengubah teori mereka, antara lain akibat perkenalan dengan dunia luar. Ini terutama di bidang ilmu sosial, termasuk ekonomi. Mereka akan mengubahnya bila dunia berubah. Kehilangan jajahan memaksa mereka mengembangkan teori baru. Sekarang teori pascakolonialisme sedang lagi ”in” di dunia sana dan mulai marak pula dikutip-kutip di sini. Begitulah seterusnya dengan teori-teori yang lain. Dalam hal ini Umar Junus (2000) agaknya benar. Menurutnya ada dua faktor utama: penggalian dan keterbukaan kepada dunia luar. Mungkin kita bisa mulai dengan penggalian sendiri. Tapi kita tidak mungkin menggali lebih dalam tanpa perkenalan dengan dunia luar, yang memperkenalkan kita kepada alat-alat yang menolong kita menggali lebih dalam. Ini termasuk perkenalan dengan teori baru yang berkembang di Barat, yang memungkinkan kita ”memperbarui” pemahaman kita. Bahkan perkenalan dengan teori baru memungkinkan seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang dapat menyumbangkan sesuatu kepada perkembangan teori ilmu. Paling tidak, perkenalan itu membuat ia berani menyatakan sesuatu yang berlainan dari dan bertentangan dengan kebiasaan dan ini memungkinkan penemuan (baru). Sesungguhnya di sinilah, hemat saya, letak arti penting buku ASM tentang ”teori belah bambu” itu.
* * *
ASM sedikit banyak berhasil menggunakan metafora ”belah bambu” untuk teorinya tentang kebijakan rejim penguasa terhadap Islam di masa ”Demokrasi terpimpin” (1959-1965). Ia mengambil sebuah metafora dari budaya petani yang bekerja di sawah ladang, di mana mereka akrab dengan bambu. Karena semua dikerja dengan manual maka untuk membelahnya, sisi yang satu diinjak dan yang satu lagi diangkat untuk mencapai tujuan; yakni untuk tujuan yang berguna bagi yang empunya kerja. Misalnya bagi petani untuk membuat pondok atau pagar sawah ladang mereka. Toeretisi Barat mungkin bingung menangkapnya karena gagasan teoretisnya diambilkan dari budaya Indonesia. Dengan kata lain ia sangat dekat dengan lingkungan emperik kita dan mudah dimengerti.
Meskipun ASM dalam bukunya itu tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana konstruksi teorinya dibangun, terutama kerangka konseptual yang melandasinya kebenaran empirik dari temuannya itu memang didukung oleh bukti-bukti empirik, bahwa telah terjadi sikap berat-sebelah rejim terhadap partai-partai Islam yang berkembang pada masa itu. Partai-partai Islam (seperti PSII, NU dan Masyumi) yang telah memberikan andil dalam merintis perjuangan kemerdekaan jauh sebelum proklamasi 1945, seakan-akan dikucilkan setelah merdeka. Sejumlah pemimpin mereka ditangkapi, partai dihapuskan dan medianya dibrangus. Sebaliknya partai komunis (PKI) semakin berkibar dan menjadi ”anak emas” yang mesra dengan rejim.
Namun jika dikaji lebih jauh, teori itu tidak hanya cocok untuk menjelaskan hubungan negara dan partai pada masa demokrasi terpimpin; ia tentu juga relevan untuk rejim ”Demokrasi Pancasila” Orde Baru kemudian. Orang akan ingat bagaimana, misalnya, Golkar (waktu itu enggan disebut partai) menjadi besar dan sangat berkuasa, seperti halnya PKI di zaman Orde Lama. Orang akan ingat betapa tak terlindungnya – kalau bukannya teraniaya -- kelompok umat Islam di masa lalu. Anak-anak muda, terutama kaum perempuan yang ingin melamar bekerja sebagai calon pegawai atau karyawan suatu lembaga bisnis suasta tidak diizinkan memakai ”jilbab” dalam wawancara dan dokumen foto lamaran mereka. Tetapi kebanyakan pemimpin Islam waktu diam saja, kecuali beberapa orang kelompok kritis yang tidak mau ”tiarap” begitu saja. ASM jelas salah seorang dari sedikit tokoh yang tidak mudah “tiarap”.
Di era reformasi dewasa ini, di kala usianya sudah berangkat sore (73), ia masih tetap ASM yang dulu, tokoh yang kritis dan tetap lantang, tetapi ”tanpa kemarahan dan sikap berat sebelah” – Sine Ira et Studio – meminjam semboyan sejarawan Romawi, Tacitus. Baru-baru ini ia mengeluarkan pernyataan ”buka kulit tampak isi”. Katanya ”peradaban politik kita masih rendah dan kumuh. Kotor. Ya politik uang, ya moral.” Setelah reformasi, kendati dipuji-puji dunia, kualitas demokrasi kita sebenarnya di bawah stándar karena berada di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab dan berwawasan picik. Bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan karena, menurutnya, politik gandrung menjadi ajang kompetisi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, bukan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat, seperti dicita-citakan para pendiri negeri ini. Komitmen ini pula yang memperkokoh dirinya sebagai salah seorang dari sedikit kaum intelektual Indonesia yang konsisten dengan perjuangan menegakkan “perdamaian” dalam kebhinekaan. Istilah kerennya moderasi, inklusivitas dan pluralisme. Saya tak begitu paham dengan jargon ini. Tetapi untunglah dalam keterangan persnya ia pernah menyatakan philosopi hidupnya yang sangat sederhana, “bahwa tidak hanya orang beriman (believers) saja yang berhak hidup di muka bumi ini tapi juga orang yang tidak beriman (non-believers) bahkan ateis sekalipun. Tentu dengan satu syarat bahwa semuanya sepakat untuk hidup berdampingan dengan saling menghargai dan menghormati secara damai.
Tak syak lagi bahwa komitmen perjuangan ini pula yang membawa reputasinya sebagai tokoh Indonesia kedua yang dianugerahi penghargaan internasional “Magsaysay Award” untuk kategori Perdamaian dan Pemahaman Internasional tangal 31 Juli 2008 lalu. Sebelumnya, tahun 1978 penghargaan yang sama pernah diterima oleh Soedjatmoko (1922-1989), tokoh intelektual dengan reputasi dunia.
ASM hemat saya bukan hanya seorang ilmuwan yang menekuni ilmu dan melahirkan teori ilmiah bagi dunia ilmu pengetahuan yang digelutinya, tetapi sekaligus juga seorang tokoh intelektual Indonesia yang menyadari nasib bangsanya. Sebagai ilmuwan ia tidak seperti pohon pisang yang berbuah sekali. Begitulah metafora yang digunakan Prof. Sartono Kartodirdjo untuk mereka yang setelah menulis disertasi, seperti ”Menerer X” dalam kutipan di atas, lalu tergoda mengejar jabatan, sehingga tak ada lagi karya keluar dari tangannya. Tetapi dari tangan ASM, banyak karyanya diterbitkan dan ia juga menulis dalam media publik. Dalam dunia ilmu pengetahuan berlaku semacam adagium berikut: The more one doing research the more one is able to deviate himself from the discipline. Teori “belah bambu” ASM, saya kira, juga mangkus untuk menjelaskan fenomena kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan silogisme post hoc proter hoc. Artinya harga minyak ”terpaksa” dinaikkan pemerintah guna menutup defisit anggaran negara akibat naiknya harga minyak dunia. Bila pemerintah menaikkan harga minyak karena alasan kenaikan harga BBM dunia, tetapi mengapa ketika harga minyak dunia sekarang sudah turun lebih 50% dari harga dunia sebelumnya harga BBM dalam negeri lantas tidak turun-turun? Barangkali teori belah bambu bisa menjawabnya. Sebagai intelektual ASM sedikit banyak mewarisi tradisi berfikir “the founding fathers”.
Memang semua tokoh “the founding fathers”. (Bapak Bangsa), tanpa kecuali, adalah unik pada dirinya, tetapi sekaligus memiliki kesamaan. Persamaan di antara para Bapak Bangsa terutama ialah: (i). intelektualisme dan (iii) keteguhan dalam memegang prinsip altruisme.Dengan intelektualisme maksudnya ialah mereka yang memiliki kelebihan sebagai insan pemikir visioner, dalam arti memiliki kemampuan dan visi untuk ‘membaca’ tanda-tanda zaman. Fikiran-fikrian mereka menjadi suluh yang menerangi kondisi sezaman dan menawarkan jalan keluar yang harus ditempuh ke depan. Julukan “Buya” untuk dirinya juga mengidikasikan peran ini. Intelektualisme pastilah menuntut setidaknya dua hal: kecerdasan dan berfikir kritis di satu pihak dan keterlibatan di lain phak.
Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan, para Bapak Bangsa di masa lalu mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi mereka tidak hanya dalam arti membaca teks (buku dan sejenisnya), melainkan membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Dalam istilah mufasir ”ayat-ayat ”kauniyah”. Dalam hal ini para Bapak Bangsa umumnya pemimpin yang mampu menulis. Intelektualisme selanjutnya menuntut keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan. Pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita lalu berjumpa dengan aspek kedua, yaitu keyakinan altruistik, melakukan perbuatan terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya. Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”.
Rumah kaum intelektual”, kata Jaques Barzun dalam bukunya The House of Intellect (1959) “ialah seluas jagad semesta”, tetapi tetap berurat berakar dalam tradisi dan sejarahnya sendiri. Ia adalah telaga yang tak pernah kering mengalirkan gagasan-gagasan bening, orisinil dan keterlibatan mereka yang intens dalam mendobrak sejarah zamannya. Di masa lalu para “bapak bangsa” telah melahirklan Republik ini, tetapi kiprah mereka mereka seharusnya sumber inspirasi generasi masa kini tentang bagaimana negeri ini harus dikelola. Dan tak syak lagi ASM adalah salah seorang dari sedikit kaum intelektual Indonesia yang telah mewarisi tradisi yang telah dibangun oleh the founding fathers lebih setengah abad lalu itu. * * *
Mestika Zed, menamatkan M.A. dan Ph.D-nya di Vrije Universiteit, Amsteram, Belanda (1991)
dan sekarang di samping mengajar ia juga menjadi Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang.
Tulisan ini berdasarkan Seminar tentang ASM 30 April 2008 di Padang oleh PWM Sumbar-UMSB.
0 notes
Text
Hari ini Menyenangkan!
Hai Dersik, akhirnya aku bisa cerita lagi.
Hari ini menyenangkan, tapi aku nggak tau kenapa. Jadi aku cerita saja untuk mengurai alasan kenapa hari ini menyenangkan.
Dimulai dari bangun agak pagi, aku memulai hari dengan lambat sebelum melesat ke kampus untuk ikut konferensi. Menyimak satu-dua presentasi sebelum tanganku gatal membuka laptop atau--lebih buruk lagi--ngantuk.
Konferensinya lumayan rame. Diikuti akademisi dari berbagai daerah dan negara. Topik-topiknya juga lumayan menarik. Tapi bagiku, ini menarik karena aku nyaris nggak pernah ikut forum keilmuan semacam ini selama S1. Jadi hari ini adalah penebusan dosa, sambil belajar duduk menyimak pembicaraan full berbahasa Inggris.
Di konferensi ini, aku hanya ikut sebagai penulis kedua, membantu Laila yang lebih berpengalaman dan lebih menjiwai urusan akademik. Dan benar saja, saat presentasi Laila sangat memukau. Pemilihan katanya keren dengan bahasa Inggris yang jago banget. Ibu-ibu dari Filipina sampai berulangkali memuji Laila.
Lebih dari itu, aku menghitung-hitung ternyata paperku dan Laila ini adalah paper keduaku tahun ini. Akan bertambah jadi tiga di akhir tahun nanti. Dari sini aku sadar bahwa dengan segala ambyarnya perjalananku tahun ini, masih ada hal positif yang terasa menyenangkan, kalau kita mau merayakan hal-hal positif itu--sekecil apapun.
Setelahnya, aku mampir menyapa teman-teman di PP IPM yang sedang rapat. Sebelum geser ke Couvee untuk ngopi, lalu menghabiskan waktu main FM sampai kafe mau tutup.
Tapi nggak cuma main FM aja. Aku sambil mengendurkan urat syaraf, sedikit berefleksi.
Di sela-sela main game, sempat ada yang menghubungi untuk persiapan interview YSEALI. Setelah Achdan dari Aceh yang baru saja pulang ke tanah air, ada Sarah dari Malang yang mengontak. Terdekat ada satu orang dari Lampung (aku lupa namanya siapa) yang menghubungi untuk minta saran terkait interview, sekaligus mock-interview.
Meskipun bahasa Inggrisku nggak seberapa, aku senang bisa membantu teman-teman yang daftar YSEALI bersiap interview. Semoga mereka semua lolos, deh, ya.
Hari ini juga muncul lagi optimisme untuk bisa mengunjungi New York, entah kapan dan gimana caranya. Juga muncul lagi optimisme untuk cepat garap tesis, lulus, dan nyari beasiswa S3 ke Amerika. Yang penting disebut dulu deh, ya. Terwujud atau enggaknya urusan belakangan.
Oke cukup. Sepertinya mulai terlihat mengapa hari ini menyenangkan buatku. Terima kasih sudah menyimak!
00.06, 9 November 2023 Ternyata sudah berganti hari
1 note
·
View note
Text
Honda Kenalkan Skuter Motocompact Versi Terbaru Yaitu Honda Motocompacto e-Scooter di Amerika Serikat
BALIPORTALNEWS.COM, CALIFORNIA – Honda memperkenalkan versi terbaru dari produk skuter motocompact nya yang diberi nama Honda Motocompacto e-Scooter di Amerika Serikat pada awal Oktober 2023. Honda Motocompacto e-Scooter menawarkan kepraktisan dalam hal mobilitas dimana kendaraan ini berdesain ramping, ultra-compact yang membuatnya dapat dilipat serta rendah emisi. Desain skuter berbasis listrik ini terinspirasi dari model Honda Motocompo yang diluncurkan pada awal tahun 1980-an. Motocompacto dirancang dan dikembangkan oleh para insinyur Honda di Ohio dan California sebagai pendekatan inovatif pada transportasi pribadi berbasis listrik yang telah mendapatkan 32 paten. Kendaraan ini dirancang dengan tujuan untuk mengurangi emisi karbon, disamping itu juga menawarkan kenyamanan dan kemudahan berkendara. Kenyamanan tersebut meliputi kursi yang nyaman, pijakan kaki yang aman, dapat dibawa saat di dalam pesawat, memiliki speedometer digital, pengukur pengisian daya, serta terdapat pegangan jinjing yang nyaman. Kenyamanan dalam penggunaan Motocompacto e-Scooter didukung oleh dimensi kendaraan yang ringkas dengan panjang 38,1 inci, tinggi 35 inci, lebar 17,2 inci, tinggi tempat duduk 24,5 inci serta berat 41,3 pon. Namun saat kendaraan ini dilipat memiliki dimensi panjang 29,2 inci, tinggi 21,1 inci serta lebar kendaraan yang menjadi 3,7 inci. Disamping dimensi kendaraan yang ringkas, skuter listrik ini memiliki kapasitas daya baterai dalam kendaraan ini adalah 6.8Ah dan memiliki waktu pengisian baterai selama 3.5 jam dengan daya 110v. Skuter ini kecepatan maksimum 24 km per jam dengan kapasitas jarak maksimum yang dapat ditempuh sejauh 19 km. Oleh karena itu, Motocompacto sangat cocok digunakan untuk berkeliling kota hingga berkeliling lingkungan kampus. Jane Nakagawa selaku Vice President of the R&D Business Unit American Honda Motor Co., Inc. mengatakan, Motocompacto merupakan salah satu keunikan Honda dalam hal strategi elektrifikasi kami untuk mendukung tujuan netralitas karbon dengan membantu pelanggan dalam transportasi tanpa emisi secara menyeluruh. “Kendaraan ini merupakan sebuah aspek yang menyenangkan, inovatif dan tak terduga,” ujar Jane Nakagawa. Nick Ziraldo selaku Project Lead and Design Engineering Unit Leader at Honda Development and Manufacturing of America menjelaskan, Motocompacto mudah digunakan dan menyenangkan untuk dikendarai, namun juga dirancang dengan mempertimbangkan keselamatan, daya tahan, dan keamanan. “Kendaraan ini menggunakan rangka dan roda aluminium yang diberi perlakuan panas yang kuat, lampu depan dan lampu belakang LED yang terang, reflektor samping, dan lingkaran kunci baja yang dilas pada penyangga yang kompatibel dengan sebagian besar kunci sepeda,” jelas Nick Ziraldo. Honda berupaya mencapai tujuan globalnya yaitu nihil dampak lingkungan pada tahun 2050 melalui pendekatan ‘Triple Action to Zero’, termasuk mencapai netralitas karbon untuk semua produk dan aktivitas perusahaan, pemanfaatan 100% energi terbarukan, dan sirkulasi sumber daya. Honda juga memanfaatkan 100% bahan ramah lingkungan dengan mengolah kembali produk menjadi bahan mentah dan menggunakan kembali bahan tersebut dalam pembuatan produk baru. Untuk mencapai tujuan ini, Honda akan berusaha menjadikan kendaraan listrik baterai-listrik dan sel bahan bakar mewakili 100% penjualan mobil di AS dan global pada tahun 2040.(bpn) Read the full article
0 notes