Tumgik
#buyaprofdrasmaarifma
buyaprofdrhasmaarifma · 2 months
Text
0 notes
buyaprofdrhasmaarifma · 4 months
Text
Azyumardi Azra: Buya Syafii Maarif
Buya Syafii Maarif dan Minang
Buya Syafii Maarif dan Minang
Azyumardi Azra, CBE
(Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tidak ragu lagi, Buya Maarif—nama yang selalu dia pakai dalam komunikasi dengan saya lewat media sosial—adalah pecinta Minangkabau, yang secara administratif sejak masa NKRI menjadi Provinsi Sumatera Barat. Kendati Profesor Maarif sudah puluhan tahun atau sebagian besar usianya dihabiskan di perantauan Yogyakarta, tanah Jawa, cintanya pada Sumpur Kudus, Bukittinggi, Padang, Sumbar atau ranah Minang idak pernah surut. Kecintaan itu menyatu (embedded) dalam berbagai aspek kehidupannya: sejak dari cara pandang dunia, nalar berpikir, bertingkah laku sampai berucap yang tak jarang disertai aksen dan diksi Minang yang khas.
Akan tetapi, cintanya Buya bukanlah ‘cinta buta’—cinta tanpa reserve yang hanya melihat segala sesuatu penuh romantisme, keindahan, dan kesempurnaan. Sebaliknya, kecintaan Buya Maarif sering diungkapkannya dengan sikap kritis, keterusterangan yang bercampur dengan rasa pilu dan pedih tanpa kehilangan kebanggaan dan optimismenya.
Karena sikap kritis dan lugasnya, Buya Maarif sering menjadi sasaran cimeeh dan bully dari kalangan Minang yang merasa tidak nyaman. Buya cenderung di-exclude daripada di-include sebagai bagian integral Minang. Gejala ini dialami bukan hanya oleh Buya Maarif, tapi juga banyak warga atau keturunan Minang lain, khususnya di rantau.
Minang: Masalah Psikologi
Buya Maarif dalam karya ini mengungkapkan banyak masalah yang dihadapi masyarakat Minang di ranah Sumatera Barat pasca-Kemerdekaan. Masalah-masalah itu terlihat sangat kompleks dan berjalin berkelindan sejak dari yang terkait dengan masalah agama, adat dan tradisi, sosial-budaya, ekonomi, politik sampai pendidikan. Belum juga ada tanda meyakinkan bahwa masalah-masalah itu bisa teratasi sekarang dan dalam waktu dekat di masa datang.
Salah satu inti masalah (core of the problem) adalah kesenjangan di antara cita ideal dan pengalaman historis suku Minang yang membanggakan di masa silam hingga awal 1960-an dengan realitas lingkungan yang terus berubah secara cepat, baik di lingkungan lokal Sumatera Barat atau di tingkat nasional dan bahkan internasional. Dalam perubahan cepat dan berjangka panjang yang disruptif itu, sebagian orang Minang sampai sekarang masih saja terjebak romantisme yang berkombinasi menumbuhkan ‘psikologi pecundang’ (psychology of the losers) yang tumpang-tindih pula dengan ‘mentalitas dalam kepungan’ (under siege mentality).
Dalam konteks itu, sering diulang-ulang ‘cerita lama’ tentang banyak figur dan tokoh asal Minang yang menonjol sejak awal abad 20 dalam dunia kepujanggaraan, pergerakan nasional, dan kemerdekaan RI. Tapi sering dilupakan, prominensi itu disebabkan orang Minang memiliki headstart karena kesediaan menerima pendidikan Belanda yang ditolak warga pribumi di Semarang dan Batavia (Elizabeth E. Graves, 1983). Genarasi muda Minang waktu itu menjadi kelompok terpelajar pertama di Hindia Belanda yang disebut Taufik Abdullah sebagai ‘sangat bersemangat memasuki Alam Kemajuan’ (1967, edisi Indonesia 2021). Hasilnya, seperti argumen Deliar Noer (1973), ‘ketika banyak daerah lain masih dalam kejumudan, Sumatera Barat telah menjadi pusat modernisme Islam’.
Sejak masa kemerdekaan 1945, daerah-daerah lain mulai bergerak, khususnya dalam pendidikan. Sementara itu Sumatera Barat terjebak dalam pergumulan dan pergolakan politik, yang berpuncak dengan munculnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (1958-1961). Berakhirnya PRRI merupakan awal dari kenestapaan sosio-psikologis banyak warga Minang, yang membuat mereka secara psike berada dalam ‘batang tarandam’.
Penulis prolog ini, seperti juga Buya Maarif tidak percaya bahwa orang Minang dalam masa enam dasawarsa terakhir sejak 1960-an terpuruk atau tenggelam seperti ‘batang tarandam’. Mempercayai ungkapan ini hanya memperkuat ‘psikologi pecundang’. Sebaliknya, masih banyak orang Minang atau keturunan Minang yang cukup menonjol dalam bidang masing-masing, di tengah persaingan yang semakin ketat dengan warga Indonesia dari suku lain yang juga terus mengalami kemajuan signifikan dalam waktu lebih dari setengah abad terakhir.
Minang: Perubahan
Sejak masa pembangunan Orde Baru yang menemukan momentum pada 1970-an, sampai sekarang, infrastruktur fisik Sumatera Barat tidak terlalu banyak berubah. Contoh sederhana saja, tidak banyak jalan baru atau pelebaran jalan; dalam soal ini Provinsi Sumatera Barat jauh tertinggal dibandingkan banyak provinsi lebih muda yang terus berkembang infrastruktur fisik yang mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.
Tetapi pada pihak lain, pembangunan nasional mengakibatkan masyarakat Minang mengalami perubahan yang berdampak luas dan berjangkauan panjang. Sebagian dampak itu tidak diinginkan (unintended) yang menyasar berbagai institusi yang mapan sebelumnya. Fenomena ini terlihat jelas dalam bidang kehidupan agama, adat, sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Mengubah Provinsi Sumbar menjadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM)—seperti diulas Buya Maarif—tidak menyelesaikan masalah karena intinya bukan di situ.
Salah satu dampak utama perubahan politik dan pembangunan sosial-ekonomi adalah urbanisasi. Berkombinasi dengan tradisi merantau, urbanisasi mengakibatkan perubahan kehidupan sosial-keagamaan. Bentuk keluarga makin berubah dari paguyuban menjadi patembayan. Dengan keluarga batih (keluarga nuklir) ayah—bukan mamak—kini memikul tanggung jawab penuh atas anaknya.
Akibat lebih jauh, kamar di rumah tidak lagi hanya untuk anak perempuan, tetapi juga untuk anak laki-laki sehingga mereka tidak lagi tidur di surau. Dengan meningkatnya masalah sosial semacam kenakalan remaja dan narkoba, anak lelaki lebih aman diam di rumah orang tua. Akan tetapi, dengan tidak lagi tidur di surau, anak lelaki bukan hanya kehilangan ritus peralihan (rite de passage), tetapi juga kesempatan belajar mengaji, mempelajari adat istiadat, berlatih silat dan menimba pengalaman ‘urang dagang’ dalam dagang babelok dan merantau.
Perubahan inilah yang membuat niat ‘kembali ke surau’ yang populer sejak 1990-an sulit terwujud. Begitu juga semangat membangkitkan dan merevitalisasi ABS-SBK juga tidak atau belum kesampaian juga. Sekali lagi, penyebab sederhananya, keinginan dan semangat berbenturan dengan realitas sosial-budaya dan fenomena keagamaan yang berkembang. Fenomena inilah yang disebut Buya Maarif dalam buku ini sebagai ‘kebanggaan semu’. Semua fenomena ini bukan tidak mungkin menimbulkan ‘bencana budaya’, kata Buya Maarif.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab—apalagi lewat prolog singkat ini. Perlu kajian dan pembahasan khusus nan mendalam tentang langkah yang harus dilakukan sejak sekarang dan ke depan. Akan tetapi, satu hal agaknya pasti: warga Minang harus membuang jauh-jauh ‘psikologi pecundang’ dan ‘mentalitas terkepung’. Sebaliknya, mengembangkan ‘psikologi pemenang’ (psychology of the winners), dengan kepercayaan diri—tidak lagi meratapi ‘batang tarandam’.
Untuk itu, warga Minang perlu membangkitkan kembali ‘kosmopolitanisme’ yang dulu membuat orang Minang percaya diri, terbuka, dan dapat melakukan pertukaran ilmu dan sosial-budaya dengan warga suku dan ras lain. Hanya dengan kosmopolitanisme, warga Minang dapat bersaing dan kompetitif di tengah arus perubahan yang terus berlanjut.
Tags: Azyumardi Azra Minang
Sumber:
0 notes
buyaprofdrhasmaarifma · 9 months
Text
Mestika Zed: ASM & ”TEORI BELAH BAMBU”
Tumblr media
©MTZ-II-13-08
ASM & ”TEORI BELAH BAMBU”
Oleh Mestika Zed
Kenapa meneer X, sesoedah promosi di negeri Belanda tak pernah membikin publikasi (penjelidikan wetenschappelijk) seoemoer hidoepnja lagi? Lantaran soedah berpangkat, tidak ada tempoh, banjak kerdja, banjak anak, besar tanggoengan, digoda oleh chef, selaloe dipindahkan oleh papa gouvernement, dipergantoengi oleh kaoem famili segerobak...? Amboi, kenapa orang Barat sesoedah ia berpromosi dan berdiploma baroe moelai hidoep, madjoe, menjelidiki, mengeloearkan publikasi tiap tahoen dan lain-lain, walaupoen banjak poela rintangan dari loear jang diderita mereka. Apakah kaoem kita oemoemnja beloem dihinggapi oleh djin (demon) penjelidikan, beloem bernafsoe membikin (scheppen), baroe toekang tiroe mengamin sadja? Atau nafsoe ini bangkit apabila ia hidoep dalam masjarakat sendiri jang tidak biasa structuurnja? Wallahoealam. [cetak miring dai penulis, MTZ].
K
UTIPAN di atas agaknya membingungkan pembaca yang budiman. Tetapi mohon jangan salah faham. Saya mengutipnya sekedar pembuka wacana untuk memahami sekedarnya tentang tempat Pak Ahamd Syafii Maarif  (ASM)  di  antara kaum akademisi Indonesia. Inilah “angle” yang akan saya gunakan untuk berbincang tentang siapa ASM dalam kaca-mata saya. Meskipun saya dapat memastikan sudah mengenal namanya lebih dari dua puluh tahun lalu, tetapi tentu sangat sedikit yang dapat saya ketahui tentang ASM. Terlebih lagi karena perkenalan saya yang agak dekat dengannya baru terjadi belakangan. Rasanya baru sejak pertengahan 1990-an, ketika kami sering bertemu dalam seminar-seminar, forum diskusi Kompas atau sesekali bersua saat beliau “mudik”, pulang kampung ke Sumatera Barat. Kadang beliau juga mengirim “souvenir” kepada saya, yakni berupa buku karya beliau sendiri yang baru diterbitkan. Saya pun demikian, sekali-sekali mengirimkannya juga buku saya. Paling tidak untuk menutup malu agar jangan dicap hanya suka “menerima” melulu, tetapi jarang memberi.
Salah satu buku beliau yang paling berkesan bagi saya ialah berjudul Islam dan Politik. Teori Belah Bambu. Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996). Buku itu berasal dari “tesis MA”-nya (1975-1977) di Ohio State University, AS di bawah bimbingan Prof. Dr. William Frederick, yang sekali waktu juga pernah menjadi guru saya saat kuliah di Kampus Bulaksumur, Yogyakarta. Bedanya, beliau berguru dengannya di Amerika, sementara saya cukup di tanah air saja. Kebetulan Dr. William Frederick menjadi guru besar tamu di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Gadjahmada, tempat di mana saya kuliah di akhir 1970-an. Meskipun kampus kami bertangga -- saya di Bulaksumur dan  ASM di Kampus IKIP Karang Malang, di mana ia mengajar -- kami tak pernah bertemu satu sama lain. Soalnya saya mahasiswa dan beliau sudah menjadi dosen. Meskipun begitu waktu itu saya sudah mengenal namanya. Lain tidak. Tetapi alasan mengapa kami tak pernah berjumpa sebenarnya ialah karena saat itu beliau masih melanjutkan studi ke negera Paman Sam, seperti halnya dengan kolega ASM yang lain: Dr. Amin Rais dan Dr. Kuntowijoyo; yang terakhir ini juga dosen saya di Jurusan Sejarah. Ketiganya kemudian menjadi tokoh yang dikenal luas di kalangan aktivis kampus Yogya. Pada umumnya mahasiswa generasi saya di akhir 1970-an dan sesudahnya mengenal ketiga tokoh ini sebagai sosok yang dihormati. Barangkali karena ketiganya bukanlah termasuk golongan ilmuwan seperti “Meneer X” yang diceritakan dalam kutipan di atas.
* * *
Kutipan di atas aslinya berasal kumpulan karangan Dr. Amir (1900-1949), seorang cendikiawan Minang yang menamatkan studinya di bidang kedokteran di Belanda. Kumpulan karangan itu -- yang ditulis untuk berbagai media antara tahun 1923 sampai 1939, diberi judul Boenga Rampai (terbit tahun 1940). Dengan kutipan di atas, Dr. Amir sebenarnya sedang mengutarakan keprihatinannya terhadap kiprah ilmuwan Indonesia yang menamatkan studinya di luar negeri. Waktu itu jumlah tentu masih amat sedikit. Apalagi yang menamatkan degree doktor masih dapat dihitung dengan bilangan jari sebelah saja. Meskipun demikian gejala yang diamati Dr. Amir pada zaman sebelum perang itu rupanya masih amat kental pada kita masa sekarang. Sebagai salah seorang aktivis nasionalis, Dr. Amir sangat mendambakan agar bangsanya bergiat mengejar ilmu yang saat itu berkembang di Barat (khususnya di Eropa). Ini dikesan pada pembicaraan Amir tentang proefschrift (disertasi) Latumeten dan Todung Sutan Gunung Mulia. Atau apa yang dilakukannya sewaktu ia tinggal di Eropa. Diceritakannya tentang refereeavond ketika mahasiswa dan dosen terbiasa memperdebatkan isi majalah dan buku. Ia juga mendambakan kehidupan kaum ilmuwan Indonesia juga demikian. Ia tak puas dengan hanya melakukan peminjaman ilmu yang intinya sama dengan peminjaman teknologi.
Maka bertanyalah Dr. Amir dalam salah satu tulisannya (bab XXIV: h.215): Kenapa meneer X, sesoedah promosi di negeri Belanda tak pernah membikin publikasi (penjelidikan wetenschappelijk) seoemoer hidoepnja lagi? Lantaran soedah berpangkat, tidak ada tempoh, banjak kerdja, banjak anak, besar tanggoengan, digoda oleh chef[alias mengejar jabatan, MTZ] selaloe dipindahkan oleh papa gouvernement, dipergantoengi oleh kaoem famili segerobak ....?
Pernyataan dan pertanyaan Amir ini ternyata memiliki  implikasi yang luas sebagaimana sudah dikatakan di atas, bahwa gejala itu bukan hanya melulu di masa hidup Amir saja, melainkan juga di masa masa kita kini. Menurutnya gejala itu terjadi karena sejumlah sebab. Tetapi ia percaya akibat lebih dulu daripada sebab. Ini logika yang biasa dikenal di kalangan mereka yang belajar sejarah. Artinya suatu peristiwa menjadi historis [bersejarah] karena akibat yang ditimbulkannya. Jadi sejarah mulai dari akibat. Tanpa mempersoalkan kebenaran sebab yang ditemuinya, sejarawan biasanya mengembangkan semacam hipotesis. Dr Amir menyatakan bahwa sikap kita yang "menimba" ilmu dari Barat ialah menelannya tanpa menggalinya dan mengkritisinya. Ini tentu erat kaitan dengan cara kita berguru dari Barat dan akibatnya kita menjadikan Barat "guru" yang menurut Dr. Amir dapat berarti “bapa rohani” — Amir melekatkan ini untuk Gandhi, tetapi ini juga sikap kita terhadap "guru Barat". Kita mengenal dunia, bahkan diri dan budaya sendiri melalui ajaran "guru Barat". Akibatnya, kita tidak berani menyimpang dari guru dan selalu menanti lampu hijau guru. Kita akan selalu meniru. Jadi “Pak Tiru”. Ini ditambah dengan sikap guru Barat yang menggurui, yang ada kalanya berkeliling menemui para cantriknya dan sekaligus menambah pengetahuan mereka. Ini bisa terjadi karena bagi kebanyakan kita membaca hanya perlu semasa belajar. Kita berhenti membaca begitu tamat, dapat ijazah, juga ijazah doktor. Apalagi bacaan kita batasi kepada yang disarankan guru. Kita jaga tidak perlu membaca sesuatu yang memungkinkan kita berbeda dari guru, apalagi akan berlawanan. Sebagai akibatnya, ilmuwan kita berperan sebagai ”juru bicara” ilmu Barat.
* * *
Dr. Amir menginginkan agar ilmuwan atau kaum akademisi tetap bergerak dalam dunia ilmu, menyumbangkan sesuatu kepada perkembangan teori. Akan tetapi ini tidak mungkin dilakukan dengan hanya meminjam dan memamahbiak apa yang diterima dari sang guru. Perlu keberanian pencarian sendiri. Tetapi itu hanya mungkin dilakukan dengan mempertanyakan apa saja. Dan kalau sarjana Barat merumuskan suatu teori berdasarkan pemikiran budaya mereka, kita dapat melakukan hal yang sama. Merumuskan sesuatu (teori) berdasarkan pemikiran budaya kita. Tapi perlu diingat, sarjana Barat, selalu mengubah teori mereka, antara lain akibat perkenalan dengan dunia luar. Ini terutama di bidang ilmu sosial, termasuk ekonomi. Mereka akan mengubahnya bila dunia berubah. Kehilangan jajahan memaksa mereka mengembangkan teori baru. Sekarang teori pascakolonialisme sedang lagi ”in” di dunia sana dan mulai marak pula dikutip-kutip di sini. Begitulah seterusnya dengan teori-teori yang lain. Dalam hal ini Umar Junus (2000) agaknya benar. Menurutnya ada dua faktor utama: penggalian dan keterbukaan kepada dunia luar. Mungkin kita bisa mulai dengan penggalian sendiri. Tapi kita tidak mungkin menggali lebih dalam tanpa perkenalan dengan dunia luar, yang memperkenalkan kita kepada alat-alat yang menolong kita menggali lebih dalam. Ini termasuk perkenalan dengan teori baru yang berkembang di Barat, yang memungkinkan kita ”memperbarui” pemahaman kita. Bahkan perkenalan dengan teori baru memungkinkan seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang dapat menyumbangkan sesuatu kepada perkembangan teori ilmu. Paling tidak, perkenalan itu membuat ia berani menyatakan sesuatu yang berlainan dari dan bertentangan dengan kebiasaan dan ini memungkinkan penemuan (baru). Sesungguhnya di sinilah, hemat saya, letak arti penting buku ASM tentang ”teori belah bambu” itu.
* * *
ASM sedikit banyak berhasil menggunakan metafora ”belah bambu” untuk teorinya tentang kebijakan rejim penguasa terhadap Islam di masa ”Demokrasi terpimpin” (1959-1965). Ia mengambil sebuah metafora dari budaya petani yang bekerja di sawah ladang, di mana mereka akrab dengan bambu. Karena semua dikerja dengan manual maka untuk membelahnya, sisi yang satu diinjak dan yang satu lagi diangkat untuk mencapai tujuan; yakni untuk tujuan yang berguna bagi yang empunya kerja. Misalnya bagi petani untuk membuat pondok atau pagar sawah ladang mereka. Toeretisi Barat mungkin bingung menangkapnya karena gagasan teoretisnya diambilkan dari budaya Indonesia. Dengan kata lain ia sangat dekat dengan lingkungan emperik kita dan mudah dimengerti.
Meskipun ASM dalam bukunya itu tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana konstruksi teorinya dibangun, terutama kerangka konseptual yang melandasinya kebenaran empirik dari temuannya itu memang didukung oleh bukti-bukti empirik, bahwa telah terjadi sikap berat-sebelah rejim terhadap partai-partai Islam yang berkembang pada masa itu. Partai-partai Islam (seperti PSII, NU dan Masyumi) yang telah memberikan andil dalam merintis perjuangan kemerdekaan jauh sebelum proklamasi 1945, seakan-akan dikucilkan setelah merdeka. Sejumlah pemimpin mereka ditangkapi, partai dihapuskan dan medianya dibrangus. Sebaliknya partai komunis (PKI) semakin berkibar dan menjadi ”anak emas” yang mesra dengan rejim.
Namun jika dikaji lebih jauh, teori itu tidak hanya cocok untuk menjelaskan hubungan negara dan partai pada masa demokrasi terpimpin; ia tentu juga relevan untuk rejim ”Demokrasi Pancasila” Orde Baru kemudian. Orang akan ingat bagaimana, misalnya, Golkar (waktu itu enggan disebut partai)  menjadi besar dan sangat berkuasa, seperti halnya PKI di zaman Orde Lama. Orang akan ingat betapa tak terlindungnya – kalau bukannya teraniaya -- kelompok umat Islam di masa lalu. Anak-anak muda, terutama kaum perempuan yang ingin melamar bekerja sebagai calon pegawai atau karyawan suatu lembaga bisnis suasta tidak diizinkan memakai ”jilbab” dalam wawancara dan dokumen foto lamaran mereka. Tetapi kebanyakan pemimpin Islam waktu diam saja, kecuali beberapa orang kelompok kritis yang tidak mau ”tiarap” begitu saja. ASM  jelas salah seorang dari sedikit tokoh yang tidak mudah “tiarap”.
Di era reformasi dewasa ini, di kala usianya sudah berangkat sore (73), ia masih tetap ASM yang dulu, tokoh yang kritis dan tetap lantang, tetapi ”tanpa kemarahan dan sikap berat sebelah” – Sine Ira et Studio – meminjam semboyan sejarawan Romawi, Tacitus. Baru-baru ini ia mengeluarkan pernyataan ”buka kulit tampak isi”. Katanya ”peradaban politik kita masih rendah dan kumuh. Kotor. Ya politik uang, ya moral.” Setelah reformasi, kendati dipuji-puji dunia, kualitas demokrasi kita sebenarnya di bawah stándar karena berada di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab dan berwawasan picik. Bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan karena, menurutnya, politik gandrung menjadi ajang kompetisi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, bukan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat, seperti dicita-citakan para pendiri negeri ini. Komitmen ini pula yang memperkokoh dirinya sebagai salah seorang dari sedikit kaum intelektual Indonesia yang konsisten dengan perjuangan menegakkan “perdamaian” dalam kebhinekaan. Istilah kerennya  moderasi, inklusivitas dan pluralisme. Saya tak begitu paham dengan jargon ini. Tetapi untunglah dalam keterangan persnya ia pernah menyatakan philosopi hidupnya yang sangat sederhana, “bahwa tidak hanya orang beriman (believers) saja yang berhak hidup di muka bumi ini tapi juga orang yang tidak beriman (non-believers) bahkan ateis sekalipun. Tentu dengan satu syarat bahwa semuanya sepakat untuk hidup berdampingan dengan saling menghargai dan menghormati secara damai.
Tak syak lagi bahwa komitmen perjuangan ini pula yang membawa reputasinya sebagai tokoh Indonesia kedua yang dianugerahi penghargaan internasional “Magsaysay Award” untuk kategori Perdamaian dan Pemahaman Internasional tangal 31 Juli 2008 lalu. Sebelumnya, tahun 1978 penghargaan yang sama pernah diterima oleh Soedjatmoko (1922-1989), tokoh intelektual dengan reputasi dunia.
ASM hemat saya bukan hanya seorang ilmuwan yang menekuni ilmu dan melahirkan teori ilmiah bagi dunia ilmu pengetahuan yang digelutinya, tetapi sekaligus juga seorang tokoh intelektual Indonesia yang menyadari nasib bangsanya. Sebagai ilmuwan ia tidak seperti pohon pisang yang berbuah sekali. Begitulah metafora yang digunakan Prof. Sartono Kartodirdjo untuk mereka yang setelah menulis disertasi, seperti ”Menerer X”  dalam kutipan di atas, lalu tergoda mengejar jabatan, sehingga tak ada lagi karya keluar dari tangannya. Tetapi dari tangan ASM, banyak karyanya diterbitkan dan ia juga menulis dalam media publik. Dalam dunia ilmu pengetahuan berlaku semacam adagium berikut: The more one doing research the more one is able to deviate himself from the discipline. Teori “belah bambu” ASM, saya kira, juga mangkus untuk menjelaskan fenomena kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan silogisme post hoc proter hoc. Artinya harga minyak ”terpaksa” dinaikkan pemerintah guna menutup defisit anggaran negara akibat naiknya harga minyak dunia. Bila pemerintah menaikkan harga minyak karena alasan kenaikan harga BBM dunia, tetapi mengapa ketika harga minyak dunia sekarang sudah turun lebih 50% dari harga dunia sebelumnya harga BBM dalam negeri lantas tidak turun-turun? Barangkali teori belah bambu bisa menjawabnya.  Sebagai intelektual ASM  sedikit banyak mewarisi tradisi berfikir “the founding fathers”.
Memang semua tokoh “the founding fathers”. (Bapak Bangsa), tanpa kecuali, adalah unik pada dirinya, tetapi sekaligus memiliki kesamaan. Persamaan di antara para Bapak Bangsa terutama ialah: (i). intelektualisme dan (iii) keteguhan dalam memegang prinsip altruisme.Dengan intelektualisme maksudnya ialah mereka yang memiliki kelebihan sebagai insan pemikir visioner, dalam arti memiliki kemampuan dan visi untuk ‘membaca’ tanda-tanda zaman. Fikiran-fikrian mereka menjadi suluh yang menerangi kondisi sezaman dan menawarkan jalan keluar yang harus ditempuh ke depan.  Julukan “Buya” untuk dirinya juga mengidikasikan peran ini. Intelektualisme pastilah menuntut setidaknya dua hal: kecerdasan dan berfikir kritis di satu pihak dan keterlibatan di lain phak.
Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan, para Bapak Bangsa di masa lalu mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi mereka tidak hanya dalam arti membaca teks (buku dan sejenisnya), melainkan membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Dalam istilah mufasir ”ayat-ayat ”kauniyah”. Dalam hal ini para Bapak Bangsa umumnya pemimpin yang mampu menulis. Intelektualisme selanjutnya menuntut keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan. Pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita lalu berjumpa dengan aspek kedua, yaitu keyakinan altruistik, melakukan perbuatan terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya. Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”.
Rumah kaum intelektual”, kata Jaques Barzun dalam bukunya The House of Intellect (1959) “ialah seluas jagad semesta”, tetapi tetap berurat berakar dalam tradisi dan sejarahnya sendiri. Ia adalah telaga yang tak pernah kering mengalirkan gagasan-gagasan bening, orisinil dan keterlibatan mereka yang intens dalam mendobrak sejarah zamannya. Di masa lalu para “bapak bangsa” telah melahirklan Republik ini, tetapi kiprah mereka mereka seharusnya sumber inspirasi generasi masa kini tentang bagaimana negeri ini harus dikelola. Dan tak syak lagi ASM adalah salah seorang dari sedikit kaum intelektual Indonesia yang telah mewarisi tradisi yang telah dibangun oleh the founding fathers lebih setengah abad lalu itu. * * *
Mestika Zed, menamatkan M.A. dan Ph.D-nya di Vrije Universiteit, Amsteram, Belanda (1991)   
dan sekarang di samping mengajar ia juga menjadi Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang.
Tulisan ini berdasarkan Seminar tentang ASM 30 April 2008 di Padang oleh PWM Sumbar-UMSB.
0 notes
buyaprofdrhasmaarifma · 11 months
Text
Pada bulan April 2023 yll saya dimintai.izin oleh Maarif Institute untuk memasukkan tulisan saya "Takziah Obituari atas Meninggalknya Buya Prof. Ahmad Syafii Maarif". Tulisan tersbut saya buat dalam bentuk cerita, yg saya post di FB saya. Jadi tulisan saya datar saja
Tumblr media
Saya mengenal Pak Syafii sejak pertengahan th 1960-an, sebagai mahasiswa IKIP Karangmalang, asal dari Padang, yang kost/mondok di dalemnya Mbah Kiai Amir, Pak Denya Kang Charris Zubair; dan Mbah Kiai Ahmad, Mbahnya Lik Darwis Khudlori, Selokraman, Kotagede, Yogya, yg sekarang mengajar di Le Havre Universite, Perancis. Orangnya ramah dan rajin mengikuti.kegiatan kampung, yg menurut cerita Kang Jamhani Hamim , suka ikut impleng/ronda, setiap.malam Rabu.
Pada saat itu Bapak.saya.yang.menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Kotagede, dari menjelang Gestapu, sampai setelah Gestapu, sering minta tolong kepada Pak Syafii untuk dibuatkan.pidato dalam bahasa Melayu (Bahasa Indonesia). Karena Pak Syafii sering menulis di koran Mercu Suar, yg kemudian menjadi Masa Kini.
Ada beberapa moment kebersamaan saya dengan Pak Syafii, yang saya ingat.
Ketika Pak Syafii akan kembali ke Chicago setelah berlibur di Indonesia, pada akhir th 1970-an, saya menemani Pak Syafii Maarif berpamitan kepada Menko Kesra.
Ketika Prof. Fazlurrahman, gurunya sewaktu kuliah di Chicago, penulis buku "the Major Themes of Al Qur'an", bersama isterinya datang ke Jakarta, menghadiri "International Conference on the New Approach to Islamic Research" di LIPI, Jakarta, pada th 1987, saya diajak oleh Pak Syafii untuk menemuinya. Saya masih menyimpan foto dokumentasi kami berempat. Hadir juga pada waktu itu Prof. Dr. Mahmoud Ayyoub dari Temple University, Philadelphia; Prof. Dale Eickelman, dari University of New York, Dr. Surin Pitsuwan yg waktu itu menjadi dosen di Thammasat University, Bangkok, sebelum menjadi Menlu Thailand dan Sek Jen ASEAN, dll.
Ketika saya mengemukakan bahwa tajdid Muhammadiyah saat itu dilakukan oleh masyarakat basis dalam kelompok Jamaah dan Dakwah Jamaah, dengan berbagai inisiatif gerakan sosial di tingkat basis dengan menerapkan teologi almaun; saya kemudian diwawancarai oleh Prof. Dale Eickelman, yang pakar anthropologi. Dia meminta tulisan-2 saya, yang akan diterjemahkan oleh mahasiswanya yang berasal dari Indonesia. Dia menyebut nama Yusron Asrofie, asal Kotagede, yg sedang mengambil program MA di NYU. Saya sendiri baru berkunjung ke NYU, di New York, pada musim panas 1990.
Ada peristiwa mengesankan, ketika selama tiga hari tiga malam saya bersama Buya Syafii tinggal sekamar di sebuah hotel di atas Kuala Lumpur, menghadiri World Dialog ttg Globalisasi, Agama-agama dan Perdamain, yang digelar oleh "Just " (International Movement for the Just World) yg dipimpin oleh sahabat lama Prof. Dr. Chandra Muzaffar, yg pernah berkunjung ke rumah kami di Jkt. Hadir para tokoh perdamaian dan agama-2 seperti Richard Falk dari Princeton; Paul F Knitter dari Xavier Univ, Cincinati; Mahmoud Ayyoub, dari Tempel U Philadelphia; Justice Baghwati, hakim agung dari India; Swami Agnivesh, mantan Menteri Pendidikan India, yg pernah menginap di rumah kami di Jkt; Ajarn Sulak Sivaraksa, pendiri INEB, tokoh Gerakan Indeks Kebahagiaan Nasional Bangkok, yg pernah berkunjung ke rumah kami dua kali; Chawiwat Sattha Anand, tokoh stud perdamaian dari Thammasat U, Bangkok; Tansri Razali, perwakilan Malaysia di PBB; Ghazali Basri, Rektor Darul Hikmah, Kajang, Malaysia; dll.
Dari Indonesia hadir kami bertiga; Buya Syafi'ie Maarif, Kang Prof. Dr. Cecep Syarifuddin, putra Abah Falak Pagentongan Bogor, menantu KH Anwar Musaddad, Garut dari PB NU. Richard Falk, Mahmoud Ayyoub dan saya adalah anggota International Advisory Panel dari "Just", International Movement for the Just World, seumur hidup (for life).
Buya Syafii bersama saya juga diundang Round Table bersama Prof. Dr. Syed Hossein Al Attas, tokoh ilmuwan Malaysia, penulis buku "The Sociology of Corruption", "the Mith of the Lazy Native" pada th 1970-an, mantan Vice Chancellor (Rektor), Universiti Malaya, bersama Paul Knitter di lembaga pendidikan dinas luar negeri Malaysia.
Pada Milad 100 th Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta, 18 Desember 2018, saya sempat mendampingi Buya Syafii bersama Mbak Dr. Noordjannah Djohantini, Ketua PP 'Aisyiyah, yg juga alumni Muallimat. Ibu saya tammat dari Muallimat Muhammadiyah Yogya, pada th 1942. Adik kelasnya Bu Sa'adah istri Prof. HM Rasyidi.
Buya Syafii di pergaulan antar bangsa dan kalangan diplomat.
Buya Syafii Maarif juga dihormati di pergaulan antar bangsa dan di kalangan diplomat. Ada kenangan bersama Buya Syafii, diundang oleh Duta Besar Australia, Richard Campbell Smith, untuk pertemuan dengan Perdana Menteri Australia John W. Howard, sambil makan siang di sebuah hotel di Jkt, bersama mantan Menteri Luar Negeri RI, Ali Alattas, mantas Dubes RI untuk Amerika, Amb Dr. Arifin Siregar dll, pada th 2002.
Pada th 2003 atau 2004, Buya Syafii bersama saya juga diundang pertemuan dan makan siang bersama Jaksa Agung Australia Daryl Robert William, di sebuah hotel di Jkt. Pada th 2005 saya bersama Mas Rozie Munir, mantan menteri BUMN, pertemuan dg Jaksa Agung Australia, Phillip Maxwell Ruddock di konperensi MRA (Moral Rearmament) di Queensland University, Brisbane , karena di masa mudanya, Pak Phillip.Ruddock, pernah aktif di MRA. Saya sendiri bersama Mas Rozie Munir, sebagai penasehat MRA, Indonesia, yg kemudian menjadi IofC (Initiative of Change).
Di akhir hayat Buya Syafii, saya bbrp kali bersama dalam pertemuan Panitia Pembangunan Kampus Terpadu Muallimin Muhammadiyah dengan BPH Muallimin dan Muallimat. Buya Syafii sangat besar jasanya dalam merenovasi gedung Muallimin di Jalan S Parman dan dalam pembangunan Kampus Terpadu Muallimin di Sedayu, Yogya barat, dengan masjidnya yang indah dan megah. Sebagai alumni Muallimin, Buya Syafii telah memberikan keteladanan sebagai kader persyarikatan, kader ummat, kader bangsa dan kade kemanusiaan.
Buya telah kembali ke haribaanNya Yang Maha Pengasih, tetapi jasa-jasa dan keteladanannya akan tetap kita kenang. Dan akan menjadi warisan bagi ummat, bangsa dan kemanusiaan yang abadi. (Mas Habib M Chirzin)
Tumblr media Tumblr media
0 notes
Text
Buya Syafii Maarif Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional
Tumblr media
suaramuhammadiyah.id
Buya Syafii Maarif Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional
Suara Muhammadiyah
4–5 minutes
SIJUNJUNG, Suara Muhammadiyah-Pemerintah Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat berencana mengusulkan guru bangsa dan Ketua PP Muhammadiyah 1998-2002, Buya Ahmad Syafii Maarif sebagai pahlawan nasional. Usulan tersebut didasarkan pada jasa-jasa dan kontribusi besar yang telah ditorehkan oleh Buya Ahmad Syafii Maarif dalam memajukan bangsa dan negara, serta dalam berbagai kiprahnya di bidang keagamaan dan kemanusiaan universal.
Dalam rangka pengusulan almarhum Prof Dr Ahmad Syafii Maarif sebagai Calon Pahlawan Nasional, Pemerintah Kabupaten Sijunjung melaksanakan Seminar Nasional dan Diskusi Aktual tentang riwayat hidup dan perjuangan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif (14/2/2023). Seminar ini menghadirkan narasumber: Anwar Abbas, Ketua PP Muhammadiyah; Arif Nahari, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Sosial; Ashabul Kahfi, Ketua Komisi VIII DPR RI; Siti Fatimah, Dekan FIS Universitas Negeri Padang; Shofwan Karim Elha, Ketua Dewan Pakar Pusat Studi Islam dan Minangkabau UMSB.
Anwar Abbas menyebut bahwa Buya Syafii merupakan sosok yang sangat layak untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional. Menurut Anwar, orang tua Buya Syafii tampaknya telah menyiapkan anaknya untuk menjadi orang besar, bahkan sejak pemberian nama. “Di dalam nama itu ada doa. Doa yang dipanjatkan oleh kedua orang tua Buya Syafii itulah yang menginginkan beliau menjadi orang yang baik. Ahmad itu sudah nama Nabi, Syafii itu nama ulama besar. Tambahan lagi, Maarif, supaya menjadi arif dan bijaksana. Saya rasa, doa itu diijabah oleh Allah,” katanya.
Anwar mengaku salut dengan sikap pribadi Buya Syafii yang tulus dan punya prinsip moral yang teguh. Buya diakui sebagai tokoh yang banyak berjasa pada negeri ini. “Beliau juga sosok yang menarik. Menarik karena beliau ini mengenal dunia tetapi tidak mudah tergoda. Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang sangat anti terhadap korupsi. Meskipun itu teman dekatnya atau sahabat karibnya, tetapi jika sudah melakukan hal-hal yang tidak terpuji, dia akan sangat marah.”
Dalam diri Buya Syafii, ada banyak pelajaran yang dapat dipetik. Mengapa Buya Syafii bisa sukses dan menjadi tokoh besar? Anwar Abbas memberi jawaban, “Beliau melakukan sesuatu yang dilakukan oleh Nabi, hijrah. Buya Syafii hijrah dari Sijunjung ke Jawa. Hijrah dari negeri yang belum maju ke negeri yang maju. Meskipun nanti perlu pulang kembali untuk membangun. Kita harus bersentuhan dengan daerah-daerah yang menjadi pusat peradaban. Beliau ke Yogyakarta, tetapi tidak berhenti di sana. Beliau juga pergi ke Chichago dan berguru kepada seorang guru yang sangat dihargai.”
Petualangan Buya Syafii yang menjelajah dunia itu dilandasi oleh spirit untuk menuntut ilmu. Jiwa kecintaan kepada ilmu itu ditularkan ke Muhammadiyah. “Di tahun 1970-an, saya mendengar satu kata dari beliau, Muhammadiyah tidak hanya sebagai gerakan Islam, gerakan tajdid, gerakan dakwah amar makruf nahi munkar. Tetapi Muhammadiyah itu harus menjadi gerakan ilmu. Sebagai gerakan ilmu, ia menjadi pusat dari kebenaran. Isi ilmu itu kebenaran. Tugas kita mencari kebenaran dan memperjuangkan kebenaran.”
Bupati Sijunjung, Benny Dwifa Yuswir mengatakan bahwa Ahmad Syafii Maarif telah memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa dan pembangunan daerah serta turut mengatasi berbagai masalah bangsa dan daerah. Menurutnya, pengusulan gelar pahlawan nasional ini juga sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi atas dedikasi dan perjuangan beliau selama ini.
Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Riki Sahputra menyatakan bahwa UMSB telah menempatkan mahasiswa KKN di Kabupaten Sijunjung, tempat kelahiran Buya Syafii. KKN yang didukung Pemerintah Kabupaten Sijunjung ini telah menjalankan banyak program, termasuk melahirkan museum rumah kecil Buya Syafii. “Secara khusus, UMSB berpartner dengan Pemerintah Sinjunjung untuk menyiapkan naskah akademik pengusulan Ahmad Syafii Maarif menjadi salah satu pahlawan nasional,” ujarnya. (Ribas)
https://suaramuhammadiyah.id/2023/02/14/buya-syafii-maarif-diusulkan-menjadi-pahlawan-nasional/
0 notes
Text
youtube
1 note · View note
Text
Tumblr media
0 notes
Text
Tumblr media
Prof H Ganefri, Drs., M.Pd., Ph.D Rektor UNP menyerahkan cendra hati kepada Prof Dr. Buya H Ahmad Syafi’i Maarif, M.A setelah Kuliah Umum di UNP 2019. (Dok Gan)
0 notes
Text
Obituary (1) Buya Syafii Maarif
oleh Habib Chirzin
Tumblr media
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un
Ta'ziyah, obituary atas meninggalnya Buya Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif.
Kita kehilangan lagi seorang cendekiawan yang alim, bersahaja, tidak mengenal lelah bekerja untuk kepentingan orang banyak. Keteladanan Buya Syafii menjadi legacy bagi ummat dan bangsa di dalam kecendekiawanan, integritas dan semangat pengabdian, sejak masa mudanya.
Saya mengenal Buya Syafii Maarif sejak masih kuliah di IKIP Negeri Karang Malang, pada pertengahan th 1960-an. Sering naik sepeda dari Selokraman, melewati kampung Samakan, tempat tinggal Mbah Mulyodiwarno ,orang tua Lik Murdiyo, kawan sekelas Buya Syafii ketika sekolah di Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Dan bersama tammat pada th 1953. Buya Syafii kemudian dibenum ke Lombok Timur, Lik Murdiyo dibenum ke Donggala, yg kemudian disusul oleh Ustadz Suprapto Ibnu Juraimi.
Ketika kuliah di IKIP, Buya Syafii pernah tinggal di rumah Kyai Amir dan Mbah Haji Ahmad, Selokraman, kakeknya Lik Darwis Khudlori, yg sekarang tinggal di Paris, mengajar di Le Havre Universite. Juga mengaji di Pondok Kiyai Amir, pendiri sekolah Ma'had Islami, Kotagede, Pak De-nya Kang Achmad Charris Zubair.
Waktu itu Bapak saya, Muhammad Chirzin, menjadi ketua pimpnan cabang Muhammadiyah, Kotagede. Bapak sering meminta tolong Pak Syafii untuk untuk menulis pidato atau khutbah Jum'at, yg waktu itu disebut dengan "cara Melayu" (Bahasa Indonesia). Karena Pak Syafii sering menulis di koran Mercu Suar, yg kemudian menjadi Masa Kini.
Ada beberapa moment kebersamaan saya dengan Pak Syafii, yang saya ingat.
Ketika Pak Syafii akan kembali ke Chicago setelah berlibur di Indonesia, pada akhir th 1970-an, saya menemani Pak Syafii berpamitan kepada Menko Kesra. Sekembali Pak Syafii dari studi di Chicago pada th 1983, saya sering mengundangnya untuk mengajar di PKMS (Pendidikan Kader Masjid Syuhada) Yogya, yg waktu itu saya sebagai direkturnya, bersama Mas Chumaidi Syarief Romas, dg mata kajian "Tema-tema besar Al Qur'an", sesuai dg judul buku karya Prof. Dr. Fazlurrahman, gurunya di Chicago, "the Major Themes of Al Qur'an". Waktu itu Pak Syafii sering berbicara tentang Prof. Fazlurrahman sebagai juru bicara dunia Islam yang sangat bertanggung jawab, di dunia Barat.
Ketika Prof. Fazlurrahman bersama isterinya datang ke Jakarta, menghadiri "International Conference on the New Approach to Islamic Research" di LIPI, Jakarta, pada th 1987, saya diajak oleh Pak Syafii untuk menemuinya. Saya masih menyimpan foto dokumentasi kami berempat. Hadir juga pada waktu itu Prof. Dr. Mahmoud Ayyoub dari Temple University, Philadelphia; Prof. Dale Eickelman, dari University of New York, Dr. Surin Pitsuwan yg waktu itu menjadi dosen di Thammasat University, Bangkok, sebelum menjadi Menlu Thailand dan Sek Jen ASEAN, dll.
Ketika saya mengemukakan bahwa tajdid Muhammadiyah saat itu dilakukan oleh masyarakat basis dalam kelompok Jamaah dan Dakwah Jamaah, dengan berbagai inisiatif gerakan sosial di tingkat basis dengan menerapkan teologi almaun; saya kemudian diwawancarai oleh Prof. Dale Eickelman, yang pakar anthropologi. Dia meminta tulisan-2 saya, yang akan diterjemahkan oleh mahasiswanya yang berasal dari Indonesia. Dia menyebut nama Yusron Asrofie, asal Kotagede, yg sedang mengambil program MA di NYU. Saya sendiri baru berkunjung ke NYU, di New York, pada musim panas th 1990.
Pak Syafii pernah bersama Mas Kunto Wijoyo, Affan Gaffar dan saya, menjadi penasehat majalah Himmah, majalah mahasiswa UII, yg dikelola oleh Hamid Basyaib, AE Priyono dan kawan-2. Sebenarnya kami berempat ini bukan dosen UII, tetapi dekat dengan kawan-2 UII. Saya sendiri beberapa kali membawa kawan dari LN untuk berdiskusi di kampus UII, antara lain, Dr. Randy David, direktur Third World Studies Center, the University of the Philippines, Diliman Campus; Dr. Karina David, yg kemudian menjadi Menteri Sosial pada pemerintahan Cory Aquino; Aurea Teves, dari SEARICE, Manila; Jun Atienza dari Agricultural mission Inc, New York, tamu-2 dari Belanda dll.
Pak Syafii pernah diundang ke UII, bersama Cak Noer, Noercholish Madjid yang sama-sama alumni Chicago, dan Fachri Aly dari Jakarta, untuk diskusi. Oleh panitia saya diminta menjadi moderatornya. Mungkin karena mereka tahu bahwa saya kenal dengan ketiganya. Pada keesokan harinya diadakan dialog lagi dengan Cak Noer di Hotel Sri Manganti, Jl Solo. Saya terlambat datang dari rumah di Wijilan. Saya dengar diskusinya cukup seru. Hanya yang saya ingat, ketika akan check out, Cak Noer mengatakan kepada receptionist : "This hotel is cozy.....". Kemudian receptionistnya menjawab : "Thank you Cak Noer...". Cak Noer terkejut dengan jawaban yg menyebut namanya "Cak Noer". "Kalau begitu ini keluarga sendiri" kata Cak Noer. Suasana menjadi lebih cair dan bersahabat. Saya kemudian melepas Cak Noer dari lobby hotel, untuk kembali ke Jakarta.
Buya Syafii juga pernah menjadi pengajar di Institut Pengembangan Masyarakat (IPM), Pondok Pabelan, bersama Arief Budiman, Kunto Wijoyo, Dawam Rahardjo, Aldy Anwar, Affan Gafar dll. Ketika dilakukan acara peringatan Milad 70 KH Hammam Djakfar, di Pondok Pabelan, Buya Syafii hadir sebagai pembicara, bersama KH Mahrus Amin, Pimpinan Pesantren Darunnajah dan saya, sebagai anggota Yayasan Badan Wakaf Pondok Pabelan.
Ada peristiwa yang tak terlupakan ketika selama tiga hari tiga malam saya bersama Buya Syafii tinggal sekamar di sebuah hotel di atas Kuala Lumpur, menghadiri World Dialog ttg Globalisasi, Agama-agama dan Perdamain, yang digelar oleh "Just " (International Movement for the Just World) yg dipimpin oleh sahabat lama Prof. Dr. Chandra Muzaffar, yg pernah berkunjung ke rumah kami di Jkt. Hadir para tokoh perdamaian dan agama-2 seperti Richard Falk dari Princeton; Paul F Knitter dari Xavier Univ, Cincinati; Mahmoud Ayyoub, dari Tempel U Philadelphia; Justice Baghwati, hakim agung dari India; Swami Agnivesh, mantan Menteri Pendidikan India, yg pernah menginap di rumah kami di Jkt; Ajarn Sulak Sivaraksa, pendiri INEB, tokoh Gerakan Indeks Kebahagiaan Nasional Bangkok, yg pernah berkunjung ke rumah kami dua kali; Chawiwat Sattha Anand, tokoh stud perdamaian dari Thammasat U, Bangkok; Tansri Razali, perwakilan Malaysia di PBB; Ghazali Basri, Rektor Darul Hikmah, Kajang, Malaysia; dll. Dari Indonesia hadir kami bertiga; Buya Syafi'ie Maarif, Kang Prof. dari PB NU. Richard Falk dan Mahmoud Ayyoub adalah anggota International Advisory Panel dari "Just", International Movement for the Just World, seumur hidup (for life).
Buya Syafii bersama saya juga diundang Round Table bersama Prof. Dr. Syed Hossein Al Attas, tokoh ilmuwan Malaysia, penulis buku "The Sociology of Corruption", "the Mith of the Lazy Native" pada th 1970-an, mantan Vice Chancellor (Rektor), Universiti Malaya, bersama Paul Knitter di lembaga pendidikan dinas luar negeri Malaysia.
Pada Milad 100 th Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta, 18 Desember 2018, saya sempat mendampingi Buya Syafii bersama Mbak Dr. Noordjannah Djohantini, Ketua PP 'Aisyiyah, yang juga alumni Muallimat. Ibu saya sendiri tammat dari Muallimat pada th 1942, ketika dipimpin oleh KHR Hadjid. Sebelum memberikan taushiyah, Buya Syafii sempat menyapa Lik Murdiyo, kawan sekelasnya di Muallimin dan bapak-bapak alumni lainnya.
Menjelang acara puncak Milad 100 Muallimin, saya pernah diundang bersama Buya Syafii berpanel di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, karena Rektor UMB dan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Dr. Dahsan dan Dr. Saifullah, kedua-duanya alumni Muallimin.
Di akhir hayat Buya Syafii, saya bbrp kali bersama dalam pertemuan Panitia Pembangunan Kampus Terpadu Muallimin Muhammadiyah dengan BPH Muallimin dan Muallimat. Buya Syafii sangat besar jasanya dalam merenovasi gedung Muallimin di Jalan S Parman dan dalam pembangunan Kampus Terpadu Muallimin di Sedayu, Yogya barat, dengan masjidnya yang indah dan megah. Sebagai alumni Muallimin, Buya Syafii telah memberikan keteladanan sebagai kader persyarikatan, kader ummat, kader bangsa dan kade kemanusiaan.
Buya telah kembali ke haribaanNya Yang Maha Pengasih, tetapi jasa-jasa dan keteladanannya akan tetap kita kenang. Dan akan menjadi warisan bagi ummat, bangsa dan kemanusiaan yang abadi.
Obituary (2)
Buya Syafii Maarif dalam pergaulan antar bangsa dan di kalangan diplomat.
Buya Syafii Maarif juga dihormati di pergaulan antar bangsa dan di kalangan diplomat. Ada kenangan bersama Buya Syafii, diundang oleh Duta Besar Australia, Richard Campbell Smith, untuk pertemuan dengan Perdana Menteri Australia John W. Howard, sambil makan siang di hotel Arya Duta, bersama mantan Menteri Luar Negeri RI, Ali Alattas, mantas Dubes RI untuk Amerika, Amb Dr. Arifin Siregar dll, pada th 2002.
Pada th 2003 atau 2004, Buya Syafii bersama saya juga diundang pertemuan dan makan siang bersama Jaksa Agung Australia Daryl Robert William, di sebuah hotel di Jkt. Pada th 2005 saya bersama Mas Rozie Munir, mantan menteri BUMN, pertemuan dg Jaksa Agung Australia, Phillip Maxwell Ruddock di konperensi MRA (Moral Rearmament) di Queensland, karena di masa mudanya, Pak Phillip.Ruddock, pernah aktif di MRA, saya sendiri bersama Mas Rozie Munir, sebagai penasehat MRA/IOFC Indonesia, yg kemudian menjadi IofC (Initiative of Change).
Pada th 2005 saya bbrp.kali diundang oleh Dubes Australia, Bill Farmer, di kediaman resminya di Menteng, bersama Amb Dr. Arifin Siregar, Amb. Jakfar H. Assegaf dan beberapa mantan Dubes RI (Ambassadors forum), antara lain ttg kerja sama dan pertukaran pemuda Islam Indonesia dan Australia, yang terus berlangsung sampai saat ini. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu dekat dg Australia, kecuali, adik bungsu saya, Atun, Siti Syamsiyatun, pernah belajar dan memperoleh gelar doktor dari Monash University. Pada th 1978 saya pernah memperoleh dukungan dari FFHC/FAO (Freedom from Hunger Campaign), Australia, untuk Development Worker Program (DWP), Asian Cultural Forum on Development (ACFOD) di Bangkok, Manila, Kuala Lumpur, Jakarta, Dhacca, Colombo dan Kathmandu.
Perjalanan panjang dari Pondok Kiai Amir, Selokraman, Kotagede, sampai pada th 1960-an, Pengajar di IPM Institute Pengembangan Masyarakat Pondok Pabelan 1985-an, Masjid Syuhada 1993-an, Institut Pengembangan Masyarakat IPM 1985-an, Milad Pondok Pabelan 2010-an, sampai ke Team Pembangunan dan BPH Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta 2022.
Semoga bermanfaat dan barakah.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
Text
Buya Syafii dan Muhammadiyah Sumpur Kudus
Buya Syafii dan Muhammadiyah Sumpur Kudus
Sidiq Wahyu Oktavianto Selasa, 31-5-2022 | - Dilihat: 188
Tumblr media
banner
Oleh: Sidiq Wahyu Oktavianto
Setelah hampir sebulan di Yogya, saatnya kembali ke Sumpur Kudus. Rabu, 15 Mei 2022 pukul 09.00, bersama dengan uda Asmul Khairi, ust Ikhwan Ahada, Ust Alfian, pak Anas, dan bang Yuda dari Payakumbuh, kami berkesempatan menjenguk Buya di RS PKU Muhammadiyah Gamping, sekaligus saya berpamitan kepada Buya untuk kembali ke Sumpur Kudus via darat.
Pagi itu rasanya keadaan Buya semakin membaik. Sebelumnya senin, 16 Mei 2022, saya bersama mas Erik Tauvani dan mas Ridha Basri juga menjenguk Buya, dua hari setelah Buya masuk rumah sakit. Saat itu Buya untuk bernafas saja agak sulit, masih belum normal.
Obrolan pagi itu ternyata tidak berbeda jauh dengan pertemuan saya sebelumnya dengan Buya. kalau sebelumnya kita membahasa tentang Muhamamdiyah Sumpur Kudus secara historis. pagi itu kami mengobrol tentang bagaimana Muhammadiyah Sumpur Kudus ini tetap bisa hidup.
Buya meminta kami untuk mendata segala aset dan AUM yang ada di Sumpur Kudus. Cabang Muhammadiyah Sumpur Kudus sendiri memiliki 3 TK Aisyiyah, 1 Panti Asuhan, 1 Masjid, dan beberapa petak sawah serta sebidang kebun karet yang baru saja dibelikan Buya untuk Muhamamdiyah Sumpur Kudus.
PCM Sumpur Kudus memang bukan PCM Besar, bahkan bisa dikatakan kecil. Muhammadiyah Sumpur Kudus menurut Buya baru bangkit sekitar tahun 2000. Namun setelah lebih dari 20 tahun Muhammadiyah Sumpur Kudus bangkit, belum juga ada tanda-tanda kemajuan. Muhammadiyah Sumpur kudus ini kecil namun memiliki aset yang potensial.
Di akhir hayatnya pun Buya masih memikirkan Muhammadiyah tingkat cabang. sebelum Buya sakit pada Maret lalu, Buya sering menyampaikan kepada kami bahwa akan ada agen LPG di Sumpur Kudus. Keuntungannya nanti juga akan dibagi kepada PCM Sumpur Kudus sebagai sumber pemasukan.
Kehadiran Bang Yuda yang mengurus agen LPG wilayah Sijunjung dan sekitarnya itu menegaskan bahwa keuntungannya akan dibagi dengan cabang Muhammadiyah Sumpur Kudus. Agen LPG ini, dengan bantuan Buya, adalah satu-satunya yang ada di Sumpur Kudus.
Meskipun raga Buya sudah tidak bersama kita lagi. Namun Buya masih saja menghidupi Muhammadiyah. Ketika Buya ditawarkan untuk dirawat di salah satu rumah sakit terkemuka di Jakarta, Buya tetap memilih di PKU Muhammadiyah Gamping. Bahkan beliau minta dimakamkan di pemakaman husnul Khatimah Milik Muhammadiyah.
Sepeninggalan Buya, PCM Sumpur Kudus memiliki PR besar untuk memajukan Muhamamdiyah. Mari kita sebagai anak, ponakan, serta masyarakat Sumpur Kudus untuk saling bahu membahu untuk memajukan Muhammadiyah Sumpur Kudus sehingga Kehadiran Muhammadiyah Sumpur KudusbBisa dirasakan manfaatnya oleh masyrakat.
Buya berpesan kepada kita, "Mengurus Muhammadiyah tidak akan menjadikan orang Miskin". Buya juga pernah mengatakan, "Mengurus Muhammadiyah memang melelahkan, tetapi jika niatnya tulus pasti membahagiakan."
Artikel terkait:
Buya Syafii, Kampung Halaman, dan Muhammadiyah
Nyala Muhammadiyah Hingga Akhir Hayat
Percakapan Terakhir dengan Buya Syafii
https://anakpanah.id/post/Buya-Syafii-dan-Muhammadiyah-Sumpur-Kudus
0 notes
Text
Tumblr media
Muhammadiyah Sumbar: Buya Syafii Tokoh Umat dan Tokoh Bangsa
Jumat , 27 May 2022, 15:16 WIB
Buya Syafii aktif di Muhammadiyah sejak muda.
Muhammadiyah Sumbar: Buya Syafii Tokoh Umat dan Tokoh Bangsa. Foto: Buya Syafii Maarif
ANTARA/Fanny Octavianus
Muhammadiyah Sumbar: Buya Syafii Tokoh Umat dan Tokoh Bangsa. Foto: Buya Syafii Maarif
Rep: Febrian Fachri Red: Muhammad Hafil
REPUBLIKA.CO.ID,PADANG- -Ketua Muhammadiyah Sumatra Barat, Showan Karim merasa berduka yang sangat dalam begitu mendengar kabar Tokoh Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif meninggal dunia. Buya Syafii meninggal hari ini Jumat (27/5/2022).
Baca Juga
Palestina: Shireen Abu Akleh Jadi Target Penembak Israel
Manfaat Program Ramadan Bakrie Amanah Jangkau 29 Provinsi dan 28 Ribu Penerima
Polda Aceh dan Balai Gakkum KLHK Sita Kulit Harimau
Menurut Shofwan meninggalnya Buya Syafii merupakan sebuah kehilangan besar bagi Indonesia.
“Kita kehilangan seorang tokoh besar yang lahir dari Ranah Minang. Beliau itu tokoh umat dan tokoh bangsa Indonesia. Lebih-lebih bagi Muhammadiyah. Beliau adalah tokoh yang berada dalam deretah teratas sesudah Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh lainnya abad ini,” kata Shofwan Karim.
Shofwan mengatakan Buya Syafii adalah organic structural Muhammadiyah yang berada di Muhammadiyah sejak muda.
Anggota Muhammadiyah menurut dia hingga kini terus mengambil pelajaran yang sangat besar dari Buya Syafii yang bisa merangkul semua unsur bangsa Indonesia.
“Beliau adalah pejuang Islam yang berdasarkan kemanusiaan,” ujar Shofwan.
Buya Syafii Maarif lahir dan dibesarkan di Sumpur Kudus, sebuah kampung di Kabupaten Sijunjung Sumatera Barat. Ketokohannya telah membuat nama Sumpur Kudus dikenal luas. Ia juga terus membangun kampung halamannya.
https://m.republika.co.id/amp/rcj8bp430
muhammadiyah
buya ahmad syafii maarif meninggal
buya syafii maarif
muhammadiyah sumbar
mantan ketua umum muhammadiyah
buya ahmad syafii maarif
buya syafii meninggal
0 notes
Text
Cerita Ketua Muhammadiyah Sumbar Selama Bergaul dengan Buya Syafii
Ia menilai, Buya Syafii Maarif adalah tokoh berpengaruh bagi agama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tumblr media
Jum'at, 27 Mei 2022 | 16:12 WIB
Cerita Ketua Muhammadiyah Sumbar Selama Bergaul dengan Buya Syafii
SuaraSumbar.id - Ketua Muhammadiyah Sumatera Barat (Sumbar), Shofwan Karim mengaku merasa kehilangan dengan meninggalnya Ahmad Syafii Maarif.
Ia menilai, Buya Syafii Maarif adalah tokoh berpengaruh bagi agama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dirinya telah mengenal Buya Syafii sejak tahun 1978, ketika ia pulang dari Amerika. Ada beberapa hal yang berkesan selama dirinya bergaul dengan tokoh yang menjadi panutan itu.
"Ada dua hal yang berkesesan selama saya bergaul dengan beliau. Yakni ia selalu merasa bahagia dalam mengerjakan kegiatan sosial dan dia adalah orang yang sangat rendah hati," katanya, Jumat (27/5/2022).
Tumblr media
Baca Juga: Grup SPD Sampai Hati Bawa Perantau Minang 'Bagoyang' Gamaik di Gelora Bung Karno, Ketua DPRD Sumbar Ikut Bernyanyi
Sofwan mencontohkan, bentuk kerendahan hati Buya Syafii tidak mau merepotkan orang lain. Itu dirasakannya pada saat penyambuhan kedatangan Buya Syafii ke Sumbar.
"Ketika kita ingin mengambil tas nya di pintu airport. Dia bilang (buya Syafii) saya kan masih punya tangan dan tidak usah dibantu. Itu adalah contoh kecil kerendahan hari beliau," tuturnya.
Menurut Sofwan, hanya dua hal yang menjadi inti pemikiran Buya Syafii, yakni ketuhanan yang masa dan kemanusiaan. Dengan kedua kedua pemikiran itu, ia tidak lagi mengindahkan level sosial suku bangsa dan agama.
"Pelajaran-pelajaran soal ketuhanan dan kemanusiaan yang dimiliki buya Syafii menjadi pelajaran bagi saya pribadi dan tentu juga bagi yang lain-lain," katanya.
"Kemudian hal lain berkesan bagi saya adalah, Buya Syafii merupakan sosok yang kritis berlandaskan ketuhanaan dan kemanusiaan tersebut," tutupnya.
Baca Juga: Belum Sempat Siaran, Gofar Hilman Pilih Mundur dari Radio Prambors
Diketahui, Buya Syafii meninggal dunia di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Jenazah dimakamkan di Kulon Progo.
https://sumbar.suara.com/amp/read/2022/05/27/161205/cerita-ketua-muhammadiyah-sumbar-selama-bergaul-dengan-buya-syafii
0 notes
Text
Tumblr media
*Tulang Punggung Prof Syafi'i Ma'arif*
(Zen RS: Jurnalis Tirto.Id)
Setelah beradu argumen soal komunisme di sesi perkuliahan, saya mensejajari langkah Prof. Syafi'i Ma'arif yang sedang berjalan menuju ruangan dosen. "Saya mau ke tempatnya Nursam. Mau nagih royalti buku," katanya dengan langkah bergegas.
Nursam adalah pemilik Penerbit Ombak, penerbit di Yogyakarta yang getol menerbitkan buku-buku sejarah. Memoar yang ditulis sendiri oleh Prof. Syafi'i, yang ia beri judul Titik-Titik Kisar di Perjalananku, diterbitkan oleh Ombak. Judul itu dipilih karena, sepengakuannya di depan kelas, terinspirasi dari judul memoar Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
Saya tak pernah mau menerima tawaran menjadi komisaris BUMN. Tapi royalti buku itu lain. Walau hanya sejuta dua juta harus ditagih. Itu kebahagiaan terbesar seorang penulis," tambahnya dengan nada yang begitu yakin. Saya mencoba sedikit berbasa-basi dengan menawarkan diri membawa segepok makalah mahasiswa, di dalamnya ada makalah saya tentang Iwan Simatupang.
Ya, basa-basi. Saya tahu ia akan menampik. Saya pernah melihat sendiri seorang mahasiswa yang ingin membantunya membawakan tas berisi tumpukan kertas (isinya mungkin makalah) ditolak. Ia berkata: "Anda pikir saya sudah terlalu tua sampai tidak kuat untuk membawa tas?" Saat itu ia baru saja mengajar Filsafat Sejarah di ruang kelas yang sempit, pengap, yang lebih mirip gudang. Kelas itu berada di sebuah gedung yang terpisah dari kompleks utama Fakultas Ilmu Sosial. Kami biasa menyebutnya sebagai "Gedung Merah".
Anak-anak Ilmu Sejarah biasa berkuliah di sana, terasing dari kebanyakan jurusan yang lain. Sesi kuliah itu diwarnai perdebatan kecil tentang komunisme. Prof. Syafi'i menganggap komunisme sudah usang. Ia cukup sering mengatakan (saya ingat benar diksinya): komunisme sudah berada di tiang gantung sejarah. Saya membantahnya. Saat itu Prof. Syafi'i, seperti banyak orang lain, mencampur-adukkan komunisme dan marxisme sebagai ideologi dengan praktiknya sebagai partai, terutama di Sovyet.
Saya mengikuti tiga perkuliahan Prof. Syafi'i. Pertama, mata kuliah filsafat sejarah. Kedua, sejarah pemikiran modern. Ketiga, bahasa Inggris. Bahasa Inggris? Ya, pelajaran bahasa Inggris. Saya ingat, pada satu sesi perkuliahan, Prof. Syafi'i kesal dengan para mahasiswa yang dianggap berkemampuan buruk dalam bahasa Inggris. Saat itu ia membagikan copy sebuah artikel yang membahas gagasan Giambatista Vico, filsuf dari Italia.
Tumblr media
Dengan suara yang sedikit meninggi, ia berkata: "Mau jadi sejarawan kok bahasa asingnya kacau. Semester depan saya sendiri yang akan ngajar Bahasa Inggris. Kalian kalau mau ikut silakan masuk." Ia memenuhi janjinya. Semester berikutnya ia mengajar bahasa Inggris. Mengajar hal yang sangat dasar. Saya sudah lulus mata kuliah bahasa Inggris, tapi selalu menyempatkan diri hadir karena dia yang mengajar. Ia bahkan sempat mengajar tentang "to be". Semua itu terjadi saat ia masih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Ini posisi yang prestisius, strategis, membuatnya leluasa bergerak dan bertemu siapa saja. Ia sudah menjadi tokoh nasional. Kesibukannya luar biasa. Pergi ke berbagai daerah, hingga ke luar negeri. Namun komitmennya kepada tugas mengajar tak pernah hilang.
Jangankan menjadi pemimpin organisasi sebesar PP Muhammadiyah, menjadi seorang rektor pun kadang sudah cukup membuat seseorang menjadi ogah-ogahan mengajar S-1. Maunya mengajar pasca-sarjana. Tapi tidak dengan Prof. Syafi'i. Bahkan mau-maunya ia meluangkan waktu untuk mengajar bahasa Inggris! Ia kesal dengan kemampuan bahasa Inggris para mahasiswa, dan ia sendiri yang kemudian mengajar. Tidak memerintahkan siapa pun. Komitmen sebagai pengajar itu juga terlihat dalam menilai makalah-makalah yang dikumpulkan mahasiswa.
Tumblr media
Saya pernah mengalami makalah saya dikomentari dengan tulisan tangan. Makalah yang mengulas buku "Sosialisme Indonesia dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya" karya D.N. Aidit dikomentari di halaman terakhir. Saya sudah lupa komentar persisnya. Tapi seingat saya Prof. Syafi’i mengomentari makalah saya yang, katanya, tidak cukup kritis menilai pikiran-pikiran Aidit dan tidak berani menguji pikiran-pikiran itu dalam praksis politik Aidit sebagai Ketua CC PKI. Ia memang punya kecenderungan anti-komunis.
Dan ia tidak pernah menyembunyikan kecenderungan itu. Kami pernah berdebat sampai akhirnya saya tahu ini soal titik pijak ideologis. Namun ia tak pernah mengharamkan mahasiswanya membaca dan mempelajari marxisme dan komunisme. Ia bahkan mendorong mahasiswanya untuk membaca tema itu. Salah satu sesi perkuliahan filsafat sejarah diisi dengan mendiskusikan teks Manifesto Komunis. "Bagi saya sudah jelas, komunisme sudah bangkrut. Tapi kalian harus membacanya karena bagaimana mau setuju atau tidak setuju kalau tidak pernah dipelajari?" katanya.
Itulah sebabnya ia menawarkan diri menjadi pembimbing skripsi saat saya mengajukan rencana mengerjakan tugas akhir dengan tema "sosialisme ala Aidit", yang kira-kira ingin menguji pikiran-pikiran Aidit yang dibukukan dalam Sosialisme Indonesia dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya dalam praksis politik PKI. Ia memberikan nomer kontak Rewang, salah satu anggota politbiro CC PKI yang saat itu masih hidup. Agaknya, di tengah kesibukan yang super sebagai Ketua PP Muhammadiyah, yang tidak bisa tidak memungkinkannya ada di tengah pusaran politik, ia tetap memeriksa makalah-makalah mahasiswa S-1.
Tumblr media
Seberantakan apa pun, seacak-acak apa pun, makalah-makalah itu ia periksa dengan telaten. Pada 2001 atau 2002, Prof. Syafi’i mengeluarkan bertumpuk-tumpuk makalah mahasiswa dari dalam tasnya. Ia memperlihatkan coretan-coretan yang dibuatnya pada beberapa makalah. Lalu ia berkata: “Minggu lalu saya ke Amerika. Makalah kalian saya periksa di dalam pesawat. Jadi tolong jangan sia-siakan waktu saya dengan membuat makalah yang jelek.” Baginya, tidak ada yang istimewa memeriksa tugas-tugas mahasiswa. Itu sudah menjadi kewajibannya sebagai dosen.
Namun tindakan-tindakan kecil itu terasa istimewa di tengah iklim akademik yang sering tidak serius memperlakukan karya-karya mahasiswa. Sangat biasa seorang dosen tidak “mengapa-apakan” makalah mahasiswanya. Mahasiswa tidak tahu kesalahannya di mana, mengapa dan harus bagaimana memperbaikinya. Tahu-tahu nilai sudah keluar saja di akhir semester. Koreksi dosen paling banter terjadi saat mengerjakan tugas akhir (skripsi).
Tentu saja di tengah kesibukannya yang sangat padat, Prof. Syafi’i kadang tidak masuk di jam mengajar. Seingat saya, jika itu terjadi, ia akan mengganti di hari yang lain. Hari Sabtu cukup sering menjadi hari yang dipakai untuk mengganti perkuliahan yang dilewatkannya. Ia tidak pernah mengabsen mahasiswa, sehingga mahasiswa yang absensinya kurang dari 75% masih bisa tetap mengikuti ujian akhir, namun ia sendiri selalu memenuhi kuota 75% mengajar di tiap semester. Jangankan jumlah kuota minimal mengajar atau memeriksa makalah, bahkan menggandakan materi kuliah pun ia lakukan sendiri.
Salah satu ciri khas Prof. Syafii sebagai dosen adalah membagikan bahan bacaan untuk dibahas. Macam-macam yang dibagikan. Kadang tulisannya sendiri, kadang artikel orang lain, kadang petikan sebuah buku. Ia sendiri yang memilih, menyiapkan dan menggandakan. Saya pernah menyaksikan ia sedang berdiri di warung-warung fotocopy di seberang kampus sedang menggandakan bahan ajar untuk mahasiswanya. Bukan hanya soal urusan membawa tas, saya pernah melihatnya turun dari mobil (seumur-umur di kampus, saya tak pernah melihat ia disopiri orang lain) dan membuka salah satu pintu gerbang, alih-alih memencet tombol klakson berkali-kali untuk memanggil satpam. Padahal ia bisa meminta tolong, atau memberi perintah, dari level satpam sampai rektor, sebab ia memang punya privilege yang luar biasa besar di kampus.
Di luar negeri mungkin biasa saja polah Prof. Syafi'i macam itu. Tapi dalam suasana feodalistik yang masih merajalela di mana-mana, jadi juragan sedikit saja maunya tas dibawakan orang lain, jadi rektor doang sudah emoh mengajar S-1, baru jadi dekan mengajar saja sudah doyan diwakilkan pada asisten dosen, jadi ngetop dikit saja sudah nyuruh ini itu, maka apa yang dilakukan Prof. Syafi'i dalam statusnya sebagai dosen itu istimewa. Apa yang dapat ia kerjakan sendiri, akan ia kerjakan sendiri. Ia tak suka menyuruh-nyuruh, tak senang memerintah-merintah.
Saya tak heran jika ia tak sudi diatur-atur, diperintah-perintah. Saya ingat kata-kata yang sering diucapkan Prof. Syafi’i tentang Tan Malaka, kata-kata yang saya tahu berasal dari Bung Hatta: “Tulang punggungnya terlalu keras untuk membungkuk di hadapan siapa pun.” Saya kira Prof. Syafi’i sedang bicara tentang dirinya sendiri.
0 notes
Text
Ketum MPP ICMI Mengenang Tiga Teladan dari Buya Syafii Maarif
Tumblr media
Ketum ICMI mengenang tiga teladan dari Buya Syafii Maarif
Sabtu, 28 Mei 2022 21:43 WIB
Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia Arif Satria (ANTARA/Linna Susanti)
Kota Bogor (ANTARA) - Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Arif Satria menyampaikan  tiga teladan yang bisa dikenang dan dituruti dari Buya Syafii Maarif saat maaih hidup, untuk bangsa Indonesia dan umat Islam.
"Kepergian Buya Syafii Maarif adalah kehilangan besar bagi bangsa Indonesia dan umat Islam," ujarnya kepada ANTARA di Kota Bogor, Sabtu.
Arif menuturkan tauladan Buya Syafii Maarif yang pertama ialah menjadi pemimpin yang penuh gagasan inspiratif melalui buku dan karya tulis yang sangat mencerahkan. Kemudian yang kedua adalah kesederhanaannya dalam hidup dan ketiga tokoh bangsa yang merawat semangat kebangsaan dan kebinekaan.
"ICMI menyampaikan rasa duka yang mendalam teriring doa semoga beliau husnul khotimah dan terus mengalir pahalanya. Semoga spirit dan pemikirannya tetap hidup mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Arif.
Pada Jumat (27/5) pukul 10.15 cendekiawan muslim yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr H. Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii Maarif meninggal dunia  WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii dikabarkan dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Kabupaten Sleman sejak 14 Mei 2022.
Direktur RS PKU Muhammadiyah Gamping dr Ahmad Faesol saat itu mengatakan bahwa Buya Syafii sempat mengeluhkan sesak napas.
0 notes