#muhammadiyahsb
Explore tagged Tumblr posts
Text
Abdul Mu'ti: Deep Learning Bukan Kurikulum Pendidikan
TRIBUNJABAR.ID - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti sempat mengatakan akan menggagas Kurikulum Deep Learning sebagai pengganti Kurikulum Meredeka Belajar.
Mu'ti menyatakan Kurikulum Deep Learning sebagai pengganti Kurikulum Merdeka Belajar dalam sebuah kegiatan.
Pernyataan itu kemudian direkam hingga dibagikan ke media sosial.
Menurutnya, deel learning memiliki tujuan untuk memberikan pengalaman belajar lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa.
Ada tiga elemen yang utama, yaitu Mindfull Learning, Meaningfull Leraning, dan Joyfull Learning.
Baca juga: Komisi V DPRD Jabar Setuju Ujian Nasional Kembali Diterapkan, Namun dengan Syarat Ini
Mindfull Learning: menyadari keadaan murid berbeda-beda
Meaningfull Learning: mendorong murid berpikir dan terlibat dalam proses belajar
Joyfull Learning: mengedepankan kepuasan dan pemahaman mendalam.
Lantas, apa itu deep learning yang disebut akan menggantikan Kurikulum Merdeka Belajar?
Deep Learning sebagai pendekatan belajar
Abdul Mu'ti mengungkapkan, istilah deep learning atau pembelajaran mendalam adalah pendekatan belajar untuk meningkatkan kapasitas siswa.
Namun, dia membantah deep learning dianggap sebagai sebuah kurikulum pendidikan.
"Deep learning itu bukan kurikulum. Itu pendekatan belajar," ujarnya usai acara "Pak Menteri Ngariung" di halaman Kantor Badan Bahasa, Jakarta, Sabtu (9/11/2024), dikutip dari Kompas.com.
Mu'ti menegaskan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kini masih mengkaji kurikulum pendidikan yang akan diterapkan di Indonesia.
Meski begitu, dia memastikan Kemendikdasmen belum memutuskan untuk mengganti Kurikulum Merdeka Belajar yang diterapkan pada masa jabatan Mendikbudristek Nadiem Makarim.
"Belum ada keputusan soal itu, yang saya sampaikan itu soal pendekatan belajarnya," tegas Mu'ti.
Baca juga: Sosok Abdul Muti Jadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prabowo, Dulu Tolak Jadi Wamen Jokowi
Di sisi lain, Mu'ti menyatakan pihaknya akan mengkaji materi-materi, uruta, serta bobot untuk pembelajaran sehingga tidak membebani murid dan guru.
0 notes
Text
0 notes
Text
Literasi Sejarah Lokal Muhammadiyah: Obituari Buya Abi, Konsisten Quran dan Sunnah
Buya Drs. H. Abizar Lubis, M.Ag. (1950-2020) 3 dari kanan bersama Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag (22 Sep 1956-2 Jan 2020) Ketua PP Muhammadiyah , dalam satu acara di PDM Padang Panjang. (Foto. Dok Pri)
Literasi Sejarah Lokal Muhammadiyah: Obituari Buya Abi,
Konsisten Quran dan Sunnah
Oleh Shofwan Karim
Setiap acara Muhammadiyah, apabila tidak terlalu formal, Drs. H. Abizar Lubis, M.Ag (lh 5 April 1950 wafat 9 Agustus 2020) dengan panggilan akrab Buya Abi, selalu berkata begini. “Apabila memulai pidato atau sambutan, biasakanlah membaca kalimat tahmid yang sesuai dengan Hadis saw. Supaya menjadi bernilai ibadah”.
“Rasulullah biasanya membaca kalimat tahmid seperti ini”, ujarnya.
إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه
“Bacaan ini terdapat di dalam hadis riwayat Muslim, Abu Daud dan Imam Ahmad. Menurut sebagian ulama, lebih baik kita membaca tahmid yang sesuai dengan hadis draipada kita buat dan kita susun sendiri,” sambung Buya.
Menyebut “sebagian ulama” itu, Buya Abi sebenarnya tidak membatalkan pengucapan tahmid dengan cara yang lain. Buya lebih kepada anjuran. Anjuran ini selalu diulang-ulangnya. Jupaghni di dalam blog https://jupagni.gurusiana.id/profile mengutip lagi testimoni Buya Abi ini. Bahkan di situ Jupaghni menyambungna, bagaimana Buya Abi memberi taushiyah atas wafatnya seseorang pada suatu waktu.
Buya Abi (tengah) . Foto: Dok/RI Minangkabau News)
Tentu saja testimoni Buya Abi tidak hanya itu. Menurut seorang pengamat, Eska, Buya ini hebat. Di dalam imajinasi Eska, mungkin Buya Abi menyebutnya begini. Boleh pula tahmid awal pembukaan sambutan atau pidato pada iftitah mengutip Quran, seperti antara lain As-Saff, 61: 9 dan ayat pada surat lainnya.
Beberapa hari lalu dari WA Buya Hamidi tertulis, Buya Abi di rawat di RS Stroke Bukittinggi. Konfirmasi langsung dilakukan Eska. Indra Madi, Sekretaris PDM Padang Panjang Batipuh X Koto (Pabasko) membenarkan. Pada chatting berikut di berbagai grup WA keadaan Buya Abi sudah viral. Pada chat berikutnya, Mantan Ketua DPRD Padang Panjang tadi menayangkan foto di tempat perawatan Buya Abi.
Tiba-tiba kemarin (9/8/2020) Eska tersadar. Calling dari Indra Madi menyentaknya. Buya Abi sudah mendahului kita semua. Innalillahi wa inna iliahio rajiun. Beliau wafat di Rumah Sakit pukul 11.00 Wib. Ini bulan duka. Sebelumnya Buya Zamzainir Ketua PDM Pessel wafat. https://www.kompasiana.com/shofwankarim/5f243697097f3654af7e5132/literasi-sejarah-lokal-muhammadiyah-obituari-h-zamzaini-s-h
Prosesi jenazah dilanjutkan di kediamanya, Kampung Manggis Padang Panjang. Dilepas oleh Walikota Padang Panjang, H. Fadly Amran. Dilepas oleh Ketua PDM Pabasko sebelum Buya Abi, Buya Drs. H. Mirdas Ilyas. Ramai tokoh masyarakat dan warga serta tokoh Muhammadiyah Padang Panjang dan Sumbar hadir. Pemakaman selesai sesudah waktu Asar pada hari yang sama.
Pada waktu tak lama, masuk lagi WA. Umi Rahana (93th), isteri lamarhum Buya Hasan Bayk, dipangil pula keharibaan-Nya. Umi berjasa mendampingi Buya sepanjang hidup dalam pengabdian kepada umat melalui persyarikatan Muhammadiyah. Bahkan rela tinggal di lantai 2 rukonya Jl Yamin, demi supaya dekat berulang jalan kaki ke Masjid Raya Muhammadiyah Pasar Raya Padang.
Kembali ke Buya Abi. Eska meminta Indra Madi mengirim data Buya seperti tertayang di lembaran ini. Di situ tertulis biodata dan sosdik singkat. Merasa perlu melengkapi itu, Eska susun berikutnya tayangan pergaulan sosial dan intelektual dengan beliau. Hal yang sama sudah Eska tulis untuk beberapa tokoh lain sebelum ini. Baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
Kembali ke Buya Abi. Eska mengenal tokoh kita ini pada perkisaran 69-70-an. Ketika Buya sekolah di Thawalib Padang Panjang. Waktu itu Eska di Sekolah Persiapan IAIN IB Padang Panjang. Beliau lebih senior dari Eska. Dunia pendidikan madrasah di Padang Panjang masa itu mempunyai tradisi “Muhadarah”. Setiap siswa, atau sekarang istilahnya santri, wajib latihan pidato dan ceramah. Mungkin skarang disebut program eks-skul.
Latihan mengasah olah fikir, otak dan retorika. Latihan tampil dan bicara di depan publik. Melatih lafal dan hafalan ayat, hadis, (mahfuzat) kalimat ahlul hikmah, syair serta pepatah Bahasa Arab, Indonesia dan Minang. Gaya di mimbar. Mimikri gerak wajah. Gesture, atau gerak tangan, tubuh dan mata. Vokal, atau kualifikasi volume suara dan intonasinya.
Ini semua penting. Masa itu, kalau libur, terutama bulan Ramadhan wajib pulang kampung. Sebagian besar siswa yang belajar di Padang Panjang, baik tingkat Tsanawiyah atau Aliah (sekarang) adalah mereka yang dari rantau atau luar Padang Panjang. Lebih banyak lagi yang dari luar Sumbar. Di kampung, masa libur puasa itu mereka wajib menjadi muballigh atau da’i. Kala itu kurang sekali acara pengajian dengan cara tabligh di luar Minangkabau.
Sebagai uji coba kemampuan, guru akan menugaskan siswa menjadi muballigh pengganti. Eska pertama kali menggantikan atau istilah “krennya” diutus gurunya. Mulai dari Syamsul Bahri Khatib, BA ( belakangan Prof. Dr. Drs. H. BA, MA) dan Dekan FU IAIN IB, Ketua MUI Sumbar dan Ketua Baznas Sumbar. Sampai membawa nama guru kesayangan berikutnya H. Djamaan Karim Jum’ah, MA., Sudirman, (H. Drs., M.Ag ) dan lainnya. Buya Mirdas Ilyas, yang hadir tadi adalah teman sekelas dan setempat kost di Padang Panjang. Buya Mirdas terkenal di samping Muballigh adalah Ustazd didikan subuh yang handal di peralihan tahun 69/70 tadi. Guru Qura yang fasih ini dan enak mendengarnhya menjadi Imam sampai kuliah Jursan Bahasa Arab sampai Drs di IAN IB Padang bersama Eska. Buya Mirdas mewakili Eska dan semua koleg yang yang sempat hadir melepas Buya Abi kemarin.
Di masa yang diaparkan ini, Abizar Lubis juga aktif di Masjid dan Musalla di Padang Panjang menjadi asisten para muballigh guru Tahwalib. Eska sering bertemu senja atau malam hari sesudah”malenseng” itu. Malenseng, istilah ringan untuk mereka yang berpidato tingkat pemula di Masjid dan Musalla Padang Panjang, tahun 69/70-an itu.
Ada kenangan Eska di masa orang menyebut Padang Panjang sebagai kota dingin itu. Meresap di dalam genetika intelektual, guru di empat Madrasah dan sekolah: Tawalib, Diniyah Putri, Kuliyatul Muballighin Kauman dan SP-IAIN banyak yang duplikasi alias sama. Mereka mengajar di dua atau 3 bahkan ada yang pada keempat madrasah itu sekaligus.
Tentu untuk mata pelajaran yang sama. Maka tidak salah kalau abiturien (alumni) keempat madrasah dan sekolah itu dalam penguasaan dan pemahan studi agama dan keislaman serta karakter ilmu mereka mirip dan mungkin rata-rata air adalah sama. Begitu pula kemampuan “malenseng” ada miripnya. Selain itu, para siswa di ke empat madrasah dan sekolah itu juga banyak yang saling pindah. Tentu dengan berbagai alasan.
Di dalam pergaulan Eska, terasa Buya Abi sejak muda lebih dominan penguasaan quran dan hadis serta dalil-dalil agama tekstual yang mendukung. Lebih mengena kepada inti. Kurang “galomok”. Tetapi sekali keluar, “garah”-nya, para jamaah saling pandang dan tersipu, rasa ditikam ulu hati masing-masing.
Pantas saja di dalam muzakarah dan mujadalah beliau banyak menguasai forum. Untuk yang satu ini, Eska ingat Ketua MTT PWM Sumbar sekarang, Dr. H. Zulkarnaini, M.Ag. Mereka sama-sama mendalam sauk ilmu fikih, tafsir, hadis dan mantiq . Begitu pula penguasaan teks dan dalil agama yang relevan. Dan Buya Abi pernah pula menjadi Ketua MTT PWM Sumbar 2000-2005.
Sebagai Ketua PDM meski masanya 2015-2020, tetapi karena Muktamar belum terlaksana, Buya masih Ketua. Muktamar yang tertunda akibat Pandemik Covid-19 merembes ke bawah. Muswil, Musda, Musca dan Musra (Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting) tertunda pula.
Buya selama 5 tahun ini ditopang oleh pimpinan daerah, majelis dan amal usaha yang handal di Padang Panjang. Ada beberapa tokoh yang menjadi sahabat beliau di Padang Panjang yang bertungkus lumus menggerakkaan amal usaha dan kegiatan PDM yang bepusat di Kauman Padang Panjang.
Sejauh ini, tanpa mengurangi jasa beliau dan tokoh Muhammadiyah Pabasko lainnya, paling mononjol adalah Madarasah Aliah KMM Kauman. Yang lain tetap terpelihara tetapi yang satu ini sangat berkilau. Berikutnya Masjid Raya Taqwa Muhamadiyah, Kauman Padang Panjang. Pusat Pertokoan dan Hotel H Muin Sidi yang diresmikan sebagai Kawasan Bisnis Muhammadiyah Padang Panjang pada 15 Maret 2020 lalu.
Bila KMM dimotori oleh Umi Derliana, MA dengan Guru-guru dan Mejelis Pendidikan PDM serta tokoh Muhammadiyah lain, maka yang kedua, Masjid Raya Kawasan Bisnis dimotori oleh Buya Ali Usman Syuib, SE. Hubungan Buya Abi dengan Buya Ali membawa berkah. Sarjana Ekonomi yang alumni Tawalib Padang Panjang itu tampak besahabat kental. Boleh jadi kareana sesama alumni Tawalib. Mungkin pula karena yang disebut belakangan tadi wiraswastawan yang berjiwa dan bersemangat tinggi membangun pendidikan agama.
Buya Ali adalah pemasar utama produk material bangunan dan besi yang berlabel Toko Al-Hidayah di Padang Panjang. Untuk ukuran Sumbar, Al Hidayah amat besar. Ali mendirikan Yayasan Wakaf Hikmah pada 2 Agusutu 2002. Kegiatan awal Yayasan ini pengajian, pengkajian islam dan bimbingan ibadah haji. Boleh jadi Buya Abi adalah tokoh utama mendampingi Buya Ali sebagai pendiri dan kemudian pemimpin Yayasan inin
Pada tahun 2008 Yayasan Hikmah mendirikan Perguruan Islam Darul Hikmah. Pimpinan Darul Hikmah dipegang oleh Drs. H. Abizar Lubis, M.Ag. Deangn sistem sekolah Islam berasrama, sekolah tingka SMP ini cukup maju sekarang. Sarana dan prasarana serta fasilitasnya cukup lengkap. Bahkan untuk Padang Panjang adalah sekolah swasta islam terbaik berakreditasi A.
Sekarang sekolah itu dimpin oleh yang lain. Buya Abi menjadi Ketua Yayasan Wakaf Hikmah tadi. SMP Darul Hikmah punya keunggulan “pendidikan islam go global” . Bahasa unggulan di sini Arab, Inggris dan Mandarin. Dalam setiap tahun santri atau siswa magang di Tiongkok selama 1,5 bulan. Kecuali sekarang karena Pandemik Covid-19 itu ditangguhkan.
Perpaduan ulama dan praktisi ekonomi antara Buya Abi dan Buya Ali sangat sinkron. Apalagi komunikasi dan silaturrahim kreatif kedua orang itu dengan para usahawan sangat elok. Banyak tokoh di Padang Panjang yang bershaf dan berbaris dalam amal usaha keumatan. Khusus untuk Masjid Raya Taqwa dan Kawasan Bisnis Muhammadiyah ini, semua komponen, pihak dan tokoh dapat dirangkul oleh kedua tokoh ini.
Para usahawan, wiraswastawan, pedagang, tokoh emas, tokoh masyaakat dan pemerintah, Wali Kota H.Fadly Amran ada di samping mereka. Rentetetannya Wali Kota bergelar suku ibu Datuak Paduko Malano itu menghibahkan tanah Pemko 5,5 hektar kepada Rektor Universitas Muhammadiyah (UMSB) pengembangan PTMA di Padang Panjang. Wako alumnus Universiatas Settle AS itu tinggi perhatian kepada Muhammadiyah.
Begitu pula penguasaha nasional Founder dan Presiden Komisaris PT Paragon Technology & Innovation (PTI), pemilik Kosmetik Wardah Dr. HC. Dra Hj Nurhayati Subakat. Beliau menjadi tiang utama kemajuan Muhammadiyah di Pabasko. Nama ayah Ibu Nurhayati H. Abdul Muin Saidi diabadikan menjadi nama hotel di Kawasan bisnis ini. Abdul Muin Saidi semasa hidup menjadi Ketua PDM Padang Panjang antara 1962-1966.
Tokoh berikut H Arnis Saleh Dt Malano Nan Jabang . Pengusaha dan Toko Emas Murni di Sumbar dan restoran, toko emas serta Money Changer di Jakarta telah menjadi pilar utama pula. Pada setiap pembangunan yang ada di bawah kepimpinan Buya Abi, Angku Nan Jabang ini memberikan perhatian luar biasa. Di samping berbentuk dana, beliau menyediakan karpet seluruh lantai Masjid Raya Taqwa kualitas terbaik masa ini.
Tokoh dan usahawan di Padang Panjang sselanjutnya, puluhan orang menyandang berbagai beban pembiayaan. Belum lagi bantuan material dari tokoh yang tak mau disebutkan nama jumlah nilai finansialnya, kecuali di dalam buku laporan panitia. Maka berdirilah Msjid Raya dan Kawasan Bisnis itu. Menurut laporan biaya pembangunan Kawasan ini sekitar 9 milyar. Menurut perkiraan Eska lebih besar dari itu.
Semuanya ini adalah berkat kharisma dan kepemimpinan Buya Abi bersama Sekretaris PDM yang berusia muda Indra Madi, S.Ag., M.Ag yang cekatan. Bersama dengan semua PDM, Majelis, PCM dan PRM serta Amal Usaha terutama yang berbabasis di Kauman, bersatu padu di bawah kepemipinan Buya Abi. Hampir semua hal-hal yang berhubungan dengan manajemen praktis dan administrasi PDM ditangani oleh Indra Madi. Tentu semua atas arahan , wibawa dan mantagi Buya. ***
3 notes
·
View notes
Text
Ibrahim dan Pemuda Yahudi
Ibrahim dan Jad, Pemuda Yahudi
Kisah nyata, inspiratif dan telah difilemkan di Perancis, semoga filemnya cepat juga beredar di Indonesia, semoga...
KISAH JAD, SI ANAK YAHUDI
Jad, adalah seorang bocah berusia 7 tahun di era tahun 40-an. Tinggal bersama keluarganya di salah satu apartemen pada sebuah kota di Prancis. Ia terlahir dari keluarga Yahudi yang taat dan berpendidikan tinggi. Ibunya salah seorang professor di universitas terkemuka di Perancis kala itu.
Di salah satu sudut lantai dasar apartemen tersebut, ada sebuah toko kecil "serba ada" yang menjadi tempat bagi warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan se hari-hari mereka, termasuk keluarga Jad. Toko itu milik seorang berkebangsaan Turki, Ibrahim, 67 tahun. Seorang yang sangat sederhana, bukan dari kalangan berpendidikan tinggi.
Jad kecil hampir setiap hari berbelanja di toko ini. Bila berbelanja, selalu, tanpa sepengetahuan Ibrahim, setidaknya begitu persangkaannya , diam-diam ia mengambil sebuah permen coklat. Sampai suatu hari ia lupa mengambil ( maaf : mencuri ) coklat tersebut.
Ketika melangkah meninggalkan toko, Ibrahim memanggilnya dan berkata, "Jad, kamu lupa sesuatu, Nak." Jad kecil memeriksa belanjaannya. Tetapi, tidak menemukan sesuatu yg terlupakan.
"Bukan itu," kata Ibrahim. "Ini." Sambil memegang coklat yang biasa diambil Jad. Tentu saja Jad kaget dan ketakutan. Takut bila Ibrahim menyampaikan 'hal memalukan' tersebut ke orang tuanya. Reaksinya, bengong dan pucat..
"Tidak apa-apa, Nak,.. Mulai hari ini kau boleh mengambil sebuah coklat gratis setiap berbelanja sebagai hadiah. Tapi, berjanjilah untuk jujur mengatakannya," kata Ibrahim sambil tersenyum.
Sejak hari itu, Jad menjadi sahabat Ibrahim. Ia tidak hanya datang menjumpai Ibrahim untuk berbelanja, tetapi juga menjadi tempat bercerita dan menumpahkan keluh kesahnya.
Bila menghadapi suatu masalah, Ibrahim adalah orang yg pertama diajaknya berbicara. Dan, bila itu terjadi, Ibrahim tidak pernah langsung mnjawabnya, namun selalu menyuruh Jad untuk membuka halaman sebuah buku tebal yg tersimpan di sebuah kotak kayu. Ibrahim akan membaca dua halaman tersebut tanpa suara, kemudian menjelaskan jawaban dari masalah yang dihadapi Jad.
Hal tersebut berlangsung selama lebih kurang 17 tahun. Sampai satu ketika salah seorang anak Ibrahim mendatangi Jad dan memberikan kotak tersebut kepadanya sembari membawa berita yang sangat menyedihkan Jad yang saat itu telah menjadi pemuda. Ibrahim, sahabat sejatinya telah berpulang. Wafat.
Kotak berisi kitab itu diterimanya penuh haru. Jad memperlaku-kannya dengan takzim sebagai representasi Ibrahim.
Satu ketika, saat ia berhadapan dengan satu masalah pelik, ia mengambil kotak dan membuka kitab yang ada di dalamnya, sebagaimana yg sering ia lakukan dengan Ibrahim. Ternyata kitab itu bertuliskan huruf arab. Ia pun memohon kepada temannya yang berkebangsaan Tunisia untuk menjelaskan makna dari 2 halaman yang dipilihnya secara acak.
Sang teman ini pun kemudian membacakan makna tulisan itu. Sungguh, apa yang disampaikan sahabatnya, seakan bagai jawaban khusus bagi masalah yang sedang ia hadapi.... Jad lalu bertanya kepada sahabatnya: "Ini kitab apa..?"
"Al-Qur'an, kitab suci Umat Islam."
Kaget dan takjub Jad mendengar hal tersebut, Ia langsung bertanya bagaimana syarat utk menjadi seorang Muslim.
Dijawab oleh Si Tunisia : "Mudah, Syahadat dan berusaha menjalankan Syariah."
Hari itu Jad masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Jadullah Al-Qurani. Dia berjanji untuk mempelajari Al-Quran dengan se baik-baik dan semampunya.
Tentu saja keluarganya yang beragama Yahudi, terutama Ibunya yang profesor,sulit menerima hal tersebut dan berusaha untuk mengembalikan Jad kepada keyakinannya semula. Sang Ibu berjuang dengan berbagai cara bahkan mengajak teman-teman dari kalangan intelektual Yahudi untuk memberi pengertian pada Jad. Ini berlangsung selama 30 tahun, tetapi tidak berhasil.
"Pengaruh Ibrahim yang bersahaja, ternyata mengalahkan semua orang-orang pintar di sekitar Jad."
Jadullah pernah berkata:
"Saya menjadi Muslim di tangan seorang lelaki yg justru tidak pernah berbicara tentang agama".. "Tak pernah berkata" :
"kamu Yahudi!!" "kamu Kafir!" "belajarlah agama!" "jadilah muslim!"
Tapi, ia menyentuh saya dengan "akhlak", sebaik-baiknya perilaku. Memperkenalkan kepada saya sebaik-baiknya kitab, Al-Qur'an"
Jadullah mempelajari Al-Qur’an serta memahami isinya, kemudian ia berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.
Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :
((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ…!!))
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!…” (QS. An-Nahl; 125)
Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.
Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang diantaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zolo, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.
Jadullah Al-Qur'ani meninggal di tahun 2003, dlm perjalanan hidupnya sebagai seorang Muslim ... 30 tahun lebih ia telah meng Islamkan lebih dari 6 juta orang di Afrika..
Sementara Ibunya masuk Islam di tahun 2005, di usia 78 tahun, dua tahun setelah meninggalnya sang anak, Jadullah Al-Qur'ani.
Di sebagian fragmen cerita nyata ini, akhirnya menginspirasi sineas Perancis untuk memfilmkannya dengan judul, “MONSIEUR IBRAHIM et Les Fleurs du Coran‘ (Ibrahim dan Bunga-Bunga Quran) yang disutradarai Francois Dupeyron. Film ini dibintangi aktor legendaris mesir Omar Sharif (sebagai Uncle Ibrahim) dan aktor muda berbakat Perancis Pierre Boulanger (sebagai Jad, pemuda Yahudi).
Saudaraku ... Ini kisah nyata luar biasa yg sangat inspiratif, terutama bagi para juru Dakwah.
Subhanallah ... Allahumma Sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala Aalihi Washohbihi Wabarik Wassalim..
Semoga kita termasuk muslim yg kaffah..
Semoga bermanfaat
0 notes
Text
Konsep Sekolah Keluarga: Pesantren Muallimin Muhammadiyah Sawah Dangka Agam
Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Sawah Dangka Akan Terapkan Konsep Sekolah Keluarga.
Mata Jurnalist 08 Sep, 2024
Agam Matajurnalist.com_ Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Sawah Dangka, salah satu pondok ternama di Sumatera Barat, berencana mengimplementasikan konsep pesantren berbasis sekolah keluarga. Hal ini disampaikan oleh Utama Wardi, Pimpinan Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah, saat melakukan silaturahmi dengan orang tua murid kelas 7 dan 10 di Kampus 4, Jalan Raya Bukittinggi-Payakumbuh, Parit Putus, Kabupaten Agam, pada hari Minggu (8/9/2024).
Baca juga:
Saat ini, Pondok Pesantren Muallimin Sawah Dangka memiliki empat kampus, diantaranya Kampus I dan III di Sawah Dangka, Kampus II di Ranah Garegeh, dan Kampus IV di Parit Putus, Kabupaten Agam.
Pumpinan Pondok, Utama Wardi menjelaskan bahwa ke depan, pondok pesantren ini akan bertransformasi menjadi sekolah keluarga yang ramah dan sehat, ucapnya di depan para orang tua santri.
"Kami ingin menciptakan suasana pesantren yang lebih dekat dengan konsep keluarga, di mana orang tua dapat langsung terlibat dan mengamati kehidupan pendidikan santri di pondok," ungkapnya.
Kemudian, Ia menambahkan bahwa pondok pesantren ini akan menyediakan kesempatan bagi orang tua untuk melihat langsung aktivitas dan kehidupan santri di kampus. Orang tua akan memiliki kesempatan untuk menginap di kampus sesuai dengan lokasi anak mereka, dan pertemuan ini akan dilakukan secara berkala, setidaknya sekali dalam tiga bulan, dengan harapan bisa dilakukan lebih sering, satu kali dalam sebulan, ujarnya.
Konsep ini bertujuan untuk menciptakan suasana seperti di rumah sendiri, di mana orang tua merasa nyaman dan bahagia, serta anak-anak merasa lebih dekat dengan keluarga mereka.
Selain itu, pondok pesantren ini juga akan fokus pada pengembangan diri santri dengan mendeteksi bakat mereka sejak awal dan memberikan pelatihan sesuai minat masing-masing. Ini termasuk memberikan kesempatan kepada santri untuk terlibat dalam berbagai usaha produktif dan kegiatan sesuai bakat mereka, seperti di swalayan, perkantoran, atau humas pondok pesantren.
"Pesantren ini akan menjadi tempat yang ramah, sehat, dan terasa seperti rumah sendiri. Kami ingin menjadikan pondok pesantren ini sebagai tempat di mana orang tua dan santri merasa seperti keluarga besar, membangun sinergi untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik," pungkas Utama Wardi.***
Pewarta : sutan mudo
Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Sawah Dangka Akan Terapkan Konsep Sekolah Keluarga
Agam Matajurnaliat.com_ Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah Sawah Dangka, salah satu pondok ternama di Sumatera Barat, berencana mengimplementasikan konsep pesantren berbasis sekolah keluarga. Hal ini disampaikan oleh Utama Wardi, Pimpinan Pondok Pesantren Muallimin Muhammadiyah, saat melakukan silaturahmi dengan orang tua murid kelas 7 dan 10 di Kampus 4, Jalan Raya Bukittinggi-Payakumbuh, Parit Putus, Kabupaten Agam, pada hari Minggu (8/9/2024).
Baca selengkapnya! https://www.matajurnalist.com/2024/09/pondok-pesantren-muallimin-muhammadiyah.html
0 notes
Text
youtube
0 notes
Text
Mestika Zed: ASM & ”TEORI BELAH BAMBU”
©MTZ-II-13-08
ASM & ”TEORI BELAH BAMBU”
Oleh Mestika Zed
Kenapa meneer X, sesoedah promosi di negeri Belanda tak pernah membikin publikasi (penjelidikan wetenschappelijk) seoemoer hidoepnja lagi? Lantaran soedah berpangkat, tidak ada tempoh, banjak kerdja, banjak anak, besar tanggoengan, digoda oleh chef, selaloe dipindahkan oleh papa gouvernement, dipergantoengi oleh kaoem famili segerobak...? Amboi, kenapa orang Barat sesoedah ia berpromosi dan berdiploma baroe moelai hidoep, madjoe, menjelidiki, mengeloearkan publikasi tiap tahoen dan lain-lain, walaupoen banjak poela rintangan dari loear jang diderita mereka. Apakah kaoem kita oemoemnja beloem dihinggapi oleh djin (demon) penjelidikan, beloem bernafsoe membikin (scheppen), baroe toekang tiroe mengamin sadja? Atau nafsoe ini bangkit apabila ia hidoep dalam masjarakat sendiri jang tidak biasa structuurnja? Wallahoealam. [cetak miring dai penulis, MTZ].
K
UTIPAN di atas agaknya membingungkan pembaca yang budiman. Tetapi mohon jangan salah faham. Saya mengutipnya sekedar pembuka wacana untuk memahami sekedarnya tentang tempat Pak Ahamd Syafii Maarif (ASM) di antara kaum akademisi Indonesia. Inilah “angle” yang akan saya gunakan untuk berbincang tentang siapa ASM dalam kaca-mata saya. Meskipun saya dapat memastikan sudah mengenal namanya lebih dari dua puluh tahun lalu, tetapi tentu sangat sedikit yang dapat saya ketahui tentang ASM. Terlebih lagi karena perkenalan saya yang agak dekat dengannya baru terjadi belakangan. Rasanya baru sejak pertengahan 1990-an, ketika kami sering bertemu dalam seminar-seminar, forum diskusi Kompas atau sesekali bersua saat beliau “mudik”, pulang kampung ke Sumatera Barat. Kadang beliau juga mengirim “souvenir” kepada saya, yakni berupa buku karya beliau sendiri yang baru diterbitkan. Saya pun demikian, sekali-sekali mengirimkannya juga buku saya. Paling tidak untuk menutup malu agar jangan dicap hanya suka “menerima” melulu, tetapi jarang memberi.
Salah satu buku beliau yang paling berkesan bagi saya ialah berjudul Islam dan Politik. Teori Belah Bambu. Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996). Buku itu berasal dari “tesis MA”-nya (1975-1977) di Ohio State University, AS di bawah bimbingan Prof. Dr. William Frederick, yang sekali waktu juga pernah menjadi guru saya saat kuliah di Kampus Bulaksumur, Yogyakarta. Bedanya, beliau berguru dengannya di Amerika, sementara saya cukup di tanah air saja. Kebetulan Dr. William Frederick menjadi guru besar tamu di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Gadjahmada, tempat di mana saya kuliah di akhir 1970-an. Meskipun kampus kami bertangga -- saya di Bulaksumur dan ASM di Kampus IKIP Karang Malang, di mana ia mengajar -- kami tak pernah bertemu satu sama lain. Soalnya saya mahasiswa dan beliau sudah menjadi dosen. Meskipun begitu waktu itu saya sudah mengenal namanya. Lain tidak. Tetapi alasan mengapa kami tak pernah berjumpa sebenarnya ialah karena saat itu beliau masih melanjutkan studi ke negera Paman Sam, seperti halnya dengan kolega ASM yang lain: Dr. Amin Rais dan Dr. Kuntowijoyo; yang terakhir ini juga dosen saya di Jurusan Sejarah. Ketiganya kemudian menjadi tokoh yang dikenal luas di kalangan aktivis kampus Yogya. Pada umumnya mahasiswa generasi saya di akhir 1970-an dan sesudahnya mengenal ketiga tokoh ini sebagai sosok yang dihormati. Barangkali karena ketiganya bukanlah termasuk golongan ilmuwan seperti “Meneer X” yang diceritakan dalam kutipan di atas.
* * *
Kutipan di atas aslinya berasal kumpulan karangan Dr. Amir (1900-1949), seorang cendikiawan Minang yang menamatkan studinya di bidang kedokteran di Belanda. Kumpulan karangan itu -- yang ditulis untuk berbagai media antara tahun 1923 sampai 1939, diberi judul Boenga Rampai (terbit tahun 1940). Dengan kutipan di atas, Dr. Amir sebenarnya sedang mengutarakan keprihatinannya terhadap kiprah ilmuwan Indonesia yang menamatkan studinya di luar negeri. Waktu itu jumlah tentu masih amat sedikit. Apalagi yang menamatkan degree doktor masih dapat dihitung dengan bilangan jari sebelah saja. Meskipun demikian gejala yang diamati Dr. Amir pada zaman sebelum perang itu rupanya masih amat kental pada kita masa sekarang. Sebagai salah seorang aktivis nasionalis, Dr. Amir sangat mendambakan agar bangsanya bergiat mengejar ilmu yang saat itu berkembang di Barat (khususnya di Eropa). Ini dikesan pada pembicaraan Amir tentang proefschrift (disertasi) Latumeten dan Todung Sutan Gunung Mulia. Atau apa yang dilakukannya sewaktu ia tinggal di Eropa. Diceritakannya tentang refereeavond ketika mahasiswa dan dosen terbiasa memperdebatkan isi majalah dan buku. Ia juga mendambakan kehidupan kaum ilmuwan Indonesia juga demikian. Ia tak puas dengan hanya melakukan peminjaman ilmu yang intinya sama dengan peminjaman teknologi.
Maka bertanyalah Dr. Amir dalam salah satu tulisannya (bab XXIV: h.215): Kenapa meneer X, sesoedah promosi di negeri Belanda tak pernah membikin publikasi (penjelidikan wetenschappelijk) seoemoer hidoepnja lagi? Lantaran soedah berpangkat, tidak ada tempoh, banjak kerdja, banjak anak, besar tanggoengan, digoda oleh chef[alias mengejar jabatan, MTZ] selaloe dipindahkan oleh papa gouvernement, dipergantoengi oleh kaoem famili segerobak ....?
Pernyataan dan pertanyaan Amir ini ternyata memiliki implikasi yang luas sebagaimana sudah dikatakan di atas, bahwa gejala itu bukan hanya melulu di masa hidup Amir saja, melainkan juga di masa masa kita kini. Menurutnya gejala itu terjadi karena sejumlah sebab. Tetapi ia percaya akibat lebih dulu daripada sebab. Ini logika yang biasa dikenal di kalangan mereka yang belajar sejarah. Artinya suatu peristiwa menjadi historis [bersejarah] karena akibat yang ditimbulkannya. Jadi sejarah mulai dari akibat. Tanpa mempersoalkan kebenaran sebab yang ditemuinya, sejarawan biasanya mengembangkan semacam hipotesis. Dr Amir menyatakan bahwa sikap kita yang "menimba" ilmu dari Barat ialah menelannya tanpa menggalinya dan mengkritisinya. Ini tentu erat kaitan dengan cara kita berguru dari Barat dan akibatnya kita menjadikan Barat "guru" yang menurut Dr. Amir dapat berarti “bapa rohani” — Amir melekatkan ini untuk Gandhi, tetapi ini juga sikap kita terhadap "guru Barat". Kita mengenal dunia, bahkan diri dan budaya sendiri melalui ajaran "guru Barat". Akibatnya, kita tidak berani menyimpang dari guru dan selalu menanti lampu hijau guru. Kita akan selalu meniru. Jadi “Pak Tiru”. Ini ditambah dengan sikap guru Barat yang menggurui, yang ada kalanya berkeliling menemui para cantriknya dan sekaligus menambah pengetahuan mereka. Ini bisa terjadi karena bagi kebanyakan kita membaca hanya perlu semasa belajar. Kita berhenti membaca begitu tamat, dapat ijazah, juga ijazah doktor. Apalagi bacaan kita batasi kepada yang disarankan guru. Kita jaga tidak perlu membaca sesuatu yang memungkinkan kita berbeda dari guru, apalagi akan berlawanan. Sebagai akibatnya, ilmuwan kita berperan sebagai ”juru bicara” ilmu Barat.
* * *
Dr. Amir menginginkan agar ilmuwan atau kaum akademisi tetap bergerak dalam dunia ilmu, menyumbangkan sesuatu kepada perkembangan teori. Akan tetapi ini tidak mungkin dilakukan dengan hanya meminjam dan memamahbiak apa yang diterima dari sang guru. Perlu keberanian pencarian sendiri. Tetapi itu hanya mungkin dilakukan dengan mempertanyakan apa saja. Dan kalau sarjana Barat merumuskan suatu teori berdasarkan pemikiran budaya mereka, kita dapat melakukan hal yang sama. Merumuskan sesuatu (teori) berdasarkan pemikiran budaya kita. Tapi perlu diingat, sarjana Barat, selalu mengubah teori mereka, antara lain akibat perkenalan dengan dunia luar. Ini terutama di bidang ilmu sosial, termasuk ekonomi. Mereka akan mengubahnya bila dunia berubah. Kehilangan jajahan memaksa mereka mengembangkan teori baru. Sekarang teori pascakolonialisme sedang lagi ”in” di dunia sana dan mulai marak pula dikutip-kutip di sini. Begitulah seterusnya dengan teori-teori yang lain. Dalam hal ini Umar Junus (2000) agaknya benar. Menurutnya ada dua faktor utama: penggalian dan keterbukaan kepada dunia luar. Mungkin kita bisa mulai dengan penggalian sendiri. Tapi kita tidak mungkin menggali lebih dalam tanpa perkenalan dengan dunia luar, yang memperkenalkan kita kepada alat-alat yang menolong kita menggali lebih dalam. Ini termasuk perkenalan dengan teori baru yang berkembang di Barat, yang memungkinkan kita ”memperbarui” pemahaman kita. Bahkan perkenalan dengan teori baru memungkinkan seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang dapat menyumbangkan sesuatu kepada perkembangan teori ilmu. Paling tidak, perkenalan itu membuat ia berani menyatakan sesuatu yang berlainan dari dan bertentangan dengan kebiasaan dan ini memungkinkan penemuan (baru). Sesungguhnya di sinilah, hemat saya, letak arti penting buku ASM tentang ”teori belah bambu” itu.
* * *
ASM sedikit banyak berhasil menggunakan metafora ”belah bambu” untuk teorinya tentang kebijakan rejim penguasa terhadap Islam di masa ”Demokrasi terpimpin” (1959-1965). Ia mengambil sebuah metafora dari budaya petani yang bekerja di sawah ladang, di mana mereka akrab dengan bambu. Karena semua dikerja dengan manual maka untuk membelahnya, sisi yang satu diinjak dan yang satu lagi diangkat untuk mencapai tujuan; yakni untuk tujuan yang berguna bagi yang empunya kerja. Misalnya bagi petani untuk membuat pondok atau pagar sawah ladang mereka. Toeretisi Barat mungkin bingung menangkapnya karena gagasan teoretisnya diambilkan dari budaya Indonesia. Dengan kata lain ia sangat dekat dengan lingkungan emperik kita dan mudah dimengerti.
Meskipun ASM dalam bukunya itu tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana konstruksi teorinya dibangun, terutama kerangka konseptual yang melandasinya kebenaran empirik dari temuannya itu memang didukung oleh bukti-bukti empirik, bahwa telah terjadi sikap berat-sebelah rejim terhadap partai-partai Islam yang berkembang pada masa itu. Partai-partai Islam (seperti PSII, NU dan Masyumi) yang telah memberikan andil dalam merintis perjuangan kemerdekaan jauh sebelum proklamasi 1945, seakan-akan dikucilkan setelah merdeka. Sejumlah pemimpin mereka ditangkapi, partai dihapuskan dan medianya dibrangus. Sebaliknya partai komunis (PKI) semakin berkibar dan menjadi ”anak emas” yang mesra dengan rejim.
Namun jika dikaji lebih jauh, teori itu tidak hanya cocok untuk menjelaskan hubungan negara dan partai pada masa demokrasi terpimpin; ia tentu juga relevan untuk rejim ”Demokrasi Pancasila” Orde Baru kemudian. Orang akan ingat bagaimana, misalnya, Golkar (waktu itu enggan disebut partai) menjadi besar dan sangat berkuasa, seperti halnya PKI di zaman Orde Lama. Orang akan ingat betapa tak terlindungnya – kalau bukannya teraniaya -- kelompok umat Islam di masa lalu. Anak-anak muda, terutama kaum perempuan yang ingin melamar bekerja sebagai calon pegawai atau karyawan suatu lembaga bisnis suasta tidak diizinkan memakai ”jilbab” dalam wawancara dan dokumen foto lamaran mereka. Tetapi kebanyakan pemimpin Islam waktu diam saja, kecuali beberapa orang kelompok kritis yang tidak mau ”tiarap” begitu saja. ASM jelas salah seorang dari sedikit tokoh yang tidak mudah “tiarap”.
Di era reformasi dewasa ini, di kala usianya sudah berangkat sore (73), ia masih tetap ASM yang dulu, tokoh yang kritis dan tetap lantang, tetapi ”tanpa kemarahan dan sikap berat sebelah” – Sine Ira et Studio – meminjam semboyan sejarawan Romawi, Tacitus. Baru-baru ini ia mengeluarkan pernyataan ”buka kulit tampak isi”. Katanya ”peradaban politik kita masih rendah dan kumuh. Kotor. Ya politik uang, ya moral.” Setelah reformasi, kendati dipuji-puji dunia, kualitas demokrasi kita sebenarnya di bawah stándar karena berada di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab dan berwawasan picik. Bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan karena, menurutnya, politik gandrung menjadi ajang kompetisi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, bukan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat, seperti dicita-citakan para pendiri negeri ini. Komitmen ini pula yang memperkokoh dirinya sebagai salah seorang dari sedikit kaum intelektual Indonesia yang konsisten dengan perjuangan menegakkan “perdamaian” dalam kebhinekaan. Istilah kerennya moderasi, inklusivitas dan pluralisme. Saya tak begitu paham dengan jargon ini. Tetapi untunglah dalam keterangan persnya ia pernah menyatakan philosopi hidupnya yang sangat sederhana, “bahwa tidak hanya orang beriman (believers) saja yang berhak hidup di muka bumi ini tapi juga orang yang tidak beriman (non-believers) bahkan ateis sekalipun. Tentu dengan satu syarat bahwa semuanya sepakat untuk hidup berdampingan dengan saling menghargai dan menghormati secara damai.
Tak syak lagi bahwa komitmen perjuangan ini pula yang membawa reputasinya sebagai tokoh Indonesia kedua yang dianugerahi penghargaan internasional “Magsaysay Award” untuk kategori Perdamaian dan Pemahaman Internasional tangal 31 Juli 2008 lalu. Sebelumnya, tahun 1978 penghargaan yang sama pernah diterima oleh Soedjatmoko (1922-1989), tokoh intelektual dengan reputasi dunia.
ASM hemat saya bukan hanya seorang ilmuwan yang menekuni ilmu dan melahirkan teori ilmiah bagi dunia ilmu pengetahuan yang digelutinya, tetapi sekaligus juga seorang tokoh intelektual Indonesia yang menyadari nasib bangsanya. Sebagai ilmuwan ia tidak seperti pohon pisang yang berbuah sekali. Begitulah metafora yang digunakan Prof. Sartono Kartodirdjo untuk mereka yang setelah menulis disertasi, seperti ”Menerer X” dalam kutipan di atas, lalu tergoda mengejar jabatan, sehingga tak ada lagi karya keluar dari tangannya. Tetapi dari tangan ASM, banyak karyanya diterbitkan dan ia juga menulis dalam media publik. Dalam dunia ilmu pengetahuan berlaku semacam adagium berikut: The more one doing research the more one is able to deviate himself from the discipline. Teori “belah bambu” ASM, saya kira, juga mangkus untuk menjelaskan fenomena kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan silogisme post hoc proter hoc. Artinya harga minyak ”terpaksa” dinaikkan pemerintah guna menutup defisit anggaran negara akibat naiknya harga minyak dunia. Bila pemerintah menaikkan harga minyak karena alasan kenaikan harga BBM dunia, tetapi mengapa ketika harga minyak dunia sekarang sudah turun lebih 50% dari harga dunia sebelumnya harga BBM dalam negeri lantas tidak turun-turun? Barangkali teori belah bambu bisa menjawabnya. Sebagai intelektual ASM sedikit banyak mewarisi tradisi berfikir “the founding fathers”.
Memang semua tokoh “the founding fathers”. (Bapak Bangsa), tanpa kecuali, adalah unik pada dirinya, tetapi sekaligus memiliki kesamaan. Persamaan di antara para Bapak Bangsa terutama ialah: (i). intelektualisme dan (iii) keteguhan dalam memegang prinsip altruisme.Dengan intelektualisme maksudnya ialah mereka yang memiliki kelebihan sebagai insan pemikir visioner, dalam arti memiliki kemampuan dan visi untuk ‘membaca’ tanda-tanda zaman. Fikiran-fikrian mereka menjadi suluh yang menerangi kondisi sezaman dan menawarkan jalan keluar yang harus ditempuh ke depan. Julukan “Buya” untuk dirinya juga mengidikasikan peran ini. Intelektualisme pastilah menuntut setidaknya dua hal: kecerdasan dan berfikir kritis di satu pihak dan keterlibatan di lain phak.
Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan, para Bapak Bangsa di masa lalu mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi mereka tidak hanya dalam arti membaca teks (buku dan sejenisnya), melainkan membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Dalam istilah mufasir ”ayat-ayat ”kauniyah”. Dalam hal ini para Bapak Bangsa umumnya pemimpin yang mampu menulis. Intelektualisme selanjutnya menuntut keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan. Pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita lalu berjumpa dengan aspek kedua, yaitu keyakinan altruistik, melakukan perbuatan terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya. Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”.
Rumah kaum intelektual”, kata Jaques Barzun dalam bukunya The House of Intellect (1959) “ialah seluas jagad semesta”, tetapi tetap berurat berakar dalam tradisi dan sejarahnya sendiri. Ia adalah telaga yang tak pernah kering mengalirkan gagasan-gagasan bening, orisinil dan keterlibatan mereka yang intens dalam mendobrak sejarah zamannya. Di masa lalu para “bapak bangsa” telah melahirklan Republik ini, tetapi kiprah mereka mereka seharusnya sumber inspirasi generasi masa kini tentang bagaimana negeri ini harus dikelola. Dan tak syak lagi ASM adalah salah seorang dari sedikit kaum intelektual Indonesia yang telah mewarisi tradisi yang telah dibangun oleh the founding fathers lebih setengah abad lalu itu. * * *
Mestika Zed, menamatkan M.A. dan Ph.D-nya di Vrije Universiteit, Amsteram, Belanda (1991)
dan sekarang di samping mengajar ia juga menjadi Direktur Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang.
Tulisan ini berdasarkan Seminar tentang ASM 30 April 2008 di Padang oleh PWM Sumbar-UMSB.
0 notes
Text
Pada bulan April 2023 yll saya dimintai.izin oleh Maarif Institute untuk memasukkan tulisan saya "Takziah Obituari atas Meninggalknya Buya Prof. Ahmad Syafii Maarif". Tulisan tersbut saya buat dalam bentuk cerita, yg saya post di FB saya. Jadi tulisan saya datar saja
Saya mengenal Pak Syafii sejak pertengahan th 1960-an, sebagai mahasiswa IKIP Karangmalang, asal dari Padang, yang kost/mondok di dalemnya Mbah Kiai Amir, Pak Denya Kang Charris Zubair; dan Mbah Kiai Ahmad, Mbahnya Lik Darwis Khudlori, Selokraman, Kotagede, Yogya, yg sekarang mengajar di Le Havre Universite, Perancis. Orangnya ramah dan rajin mengikuti.kegiatan kampung, yg menurut cerita Kang Jamhani Hamim , suka ikut impleng/ronda, setiap.malam Rabu.
Pada saat itu Bapak.saya.yang.menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Kotagede, dari menjelang Gestapu, sampai setelah Gestapu, sering minta tolong kepada Pak Syafii untuk dibuatkan.pidato dalam bahasa Melayu (Bahasa Indonesia). Karena Pak Syafii sering menulis di koran Mercu Suar, yg kemudian menjadi Masa Kini.
Ada beberapa moment kebersamaan saya dengan Pak Syafii, yang saya ingat.
Ketika Pak Syafii akan kembali ke Chicago setelah berlibur di Indonesia, pada akhir th 1970-an, saya menemani Pak Syafii Maarif berpamitan kepada Menko Kesra.
Ketika Prof. Fazlurrahman, gurunya sewaktu kuliah di Chicago, penulis buku "the Major Themes of Al Qur'an", bersama isterinya datang ke Jakarta, menghadiri "International Conference on the New Approach to Islamic Research" di LIPI, Jakarta, pada th 1987, saya diajak oleh Pak Syafii untuk menemuinya. Saya masih menyimpan foto dokumentasi kami berempat. Hadir juga pada waktu itu Prof. Dr. Mahmoud Ayyoub dari Temple University, Philadelphia; Prof. Dale Eickelman, dari University of New York, Dr. Surin Pitsuwan yg waktu itu menjadi dosen di Thammasat University, Bangkok, sebelum menjadi Menlu Thailand dan Sek Jen ASEAN, dll.
Ketika saya mengemukakan bahwa tajdid Muhammadiyah saat itu dilakukan oleh masyarakat basis dalam kelompok Jamaah dan Dakwah Jamaah, dengan berbagai inisiatif gerakan sosial di tingkat basis dengan menerapkan teologi almaun; saya kemudian diwawancarai oleh Prof. Dale Eickelman, yang pakar anthropologi. Dia meminta tulisan-2 saya, yang akan diterjemahkan oleh mahasiswanya yang berasal dari Indonesia. Dia menyebut nama Yusron Asrofie, asal Kotagede, yg sedang mengambil program MA di NYU. Saya sendiri baru berkunjung ke NYU, di New York, pada musim panas 1990.
Ada peristiwa mengesankan, ketika selama tiga hari tiga malam saya bersama Buya Syafii tinggal sekamar di sebuah hotel di atas Kuala Lumpur, menghadiri World Dialog ttg Globalisasi, Agama-agama dan Perdamain, yang digelar oleh "Just " (International Movement for the Just World) yg dipimpin oleh sahabat lama Prof. Dr. Chandra Muzaffar, yg pernah berkunjung ke rumah kami di Jkt. Hadir para tokoh perdamaian dan agama-2 seperti Richard Falk dari Princeton; Paul F Knitter dari Xavier Univ, Cincinati; Mahmoud Ayyoub, dari Tempel U Philadelphia; Justice Baghwati, hakim agung dari India; Swami Agnivesh, mantan Menteri Pendidikan India, yg pernah menginap di rumah kami di Jkt; Ajarn Sulak Sivaraksa, pendiri INEB, tokoh Gerakan Indeks Kebahagiaan Nasional Bangkok, yg pernah berkunjung ke rumah kami dua kali; Chawiwat Sattha Anand, tokoh stud perdamaian dari Thammasat U, Bangkok; Tansri Razali, perwakilan Malaysia di PBB; Ghazali Basri, Rektor Darul Hikmah, Kajang, Malaysia; dll.
Dari Indonesia hadir kami bertiga; Buya Syafi'ie Maarif, Kang Prof. Dr. Cecep Syarifuddin, putra Abah Falak Pagentongan Bogor, menantu KH Anwar Musaddad, Garut dari PB NU. Richard Falk, Mahmoud Ayyoub dan saya adalah anggota International Advisory Panel dari "Just", International Movement for the Just World, seumur hidup (for life).
Buya Syafii bersama saya juga diundang Round Table bersama Prof. Dr. Syed Hossein Al Attas, tokoh ilmuwan Malaysia, penulis buku "The Sociology of Corruption", "the Mith of the Lazy Native" pada th 1970-an, mantan Vice Chancellor (Rektor), Universiti Malaya, bersama Paul Knitter di lembaga pendidikan dinas luar negeri Malaysia.
Pada Milad 100 th Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta, 18 Desember 2018, saya sempat mendampingi Buya Syafii bersama Mbak Dr. Noordjannah Djohantini, Ketua PP 'Aisyiyah, yg juga alumni Muallimat. Ibu saya tammat dari Muallimat Muhammadiyah Yogya, pada th 1942. Adik kelasnya Bu Sa'adah istri Prof. HM Rasyidi.
Buya Syafii di pergaulan antar bangsa dan kalangan diplomat.
Buya Syafii Maarif juga dihormati di pergaulan antar bangsa dan di kalangan diplomat. Ada kenangan bersama Buya Syafii, diundang oleh Duta Besar Australia, Richard Campbell Smith, untuk pertemuan dengan Perdana Menteri Australia John W. Howard, sambil makan siang di sebuah hotel di Jkt, bersama mantan Menteri Luar Negeri RI, Ali Alattas, mantas Dubes RI untuk Amerika, Amb Dr. Arifin Siregar dll, pada th 2002.
Pada th 2003 atau 2004, Buya Syafii bersama saya juga diundang pertemuan dan makan siang bersama Jaksa Agung Australia Daryl Robert William, di sebuah hotel di Jkt. Pada th 2005 saya bersama Mas Rozie Munir, mantan menteri BUMN, pertemuan dg Jaksa Agung Australia, Phillip Maxwell Ruddock di konperensi MRA (Moral Rearmament) di Queensland University, Brisbane , karena di masa mudanya, Pak Phillip.Ruddock, pernah aktif di MRA. Saya sendiri bersama Mas Rozie Munir, sebagai penasehat MRA, Indonesia, yg kemudian menjadi IofC (Initiative of Change).
Di akhir hayat Buya Syafii, saya bbrp kali bersama dalam pertemuan Panitia Pembangunan Kampus Terpadu Muallimin Muhammadiyah dengan BPH Muallimin dan Muallimat. Buya Syafii sangat besar jasanya dalam merenovasi gedung Muallimin di Jalan S Parman dan dalam pembangunan Kampus Terpadu Muallimin di Sedayu, Yogya barat, dengan masjidnya yang indah dan megah. Sebagai alumni Muallimin, Buya Syafii telah memberikan keteladanan sebagai kader persyarikatan, kader ummat, kader bangsa dan kade kemanusiaan.
Buya telah kembali ke haribaanNya Yang Maha Pengasih, tetapi jasa-jasa dan keteladanannya akan tetap kita kenang. Dan akan menjadi warisan bagi ummat, bangsa dan kemanusiaan yang abadi. (Mas Habib M Chirzin)
0 notes
Text
youtube
1 note
·
View note
Text
#UCAPAN TERIMAKASIH#
Aslmkum Wr.Wb.
Kpd Yth.Bapak/Ibu Semua.
Kami atas nama Keluarga Besar Pondok Pesantren Modern Al Kautsar Muhammadiyah Harau Kab.50 Kota Ingin mengucapkan Terimakasih yang sebesar2nya atas Dukungan, Bimbingan, Arahan serta Bantuannya baik moril maupun materil dalam Acara Pengukuhan Badan Pembina Pesantren ( BPP) sehingga berjalan dengan sukses dan lancar. Acaranya juga sangat meriah. Di tambah dengan adanya dukungan karangan bunga dari bapak ibu semua.
Wabil khusus ucapan terimakasih kami ucapkan kepada
1. Ketua dan Jajaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar Beserta Majelis dan Lembaga.
2. Bupati Lima Puluh Kota Bapak Safaruddin Dt Bandaro Rajo SH Beserta Asisten 3 Bapak Prama Putra.
3. Anggota DPRD Kab.Lima Puluh Kota Bapak Marsanova Andesra dan Bapak Mulyadi
4. Bapak Kapolres 50 Kota Bapak Richardo Condrat Yusuf Beserta Bapak Kapolsek Harau.
5. Dandin 0306/50 kota Letkol Inf.Muchammad Denny Nurcahyono, SH, M.han
6. Dekan Fakuktas Pertanian UM.Sumbar dan Dekan Fakultas Hukum UM Sumbar Dr.Wendra, SH, MH
7. Buya Dr.H.Shofwan Karim, MA.
8. Kepala Kantor Kemenag Lima Puluh kota Bapak H.Irwan, M.Ag beserta bapak2 kasi/keluarga besar kemenag.
9. FORKOPIMDA Lima Puluh Kota
10. Ketua PDM Lima Puluh Kota Periode 2015-2022 Ust Nurul Hadi beserta seluruh pengurus. Dan Ketua PDM Periode 2022-2027 beserta seluruh tim Formatur.
11. Ketua Baznas Ust Dr.H.Yulius MA.
12. Bapak Camat Harau, Kapolsek Harau, KUA Harau Walinagari Sarilamak, Kepala Jorong sarilamak dan Purwaya.
13. Kantor Advokat Penyeimbang Kakanda Desembri Chan.SH.MH, dkk
14. Ketua dan Jajaran Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pyk Beserat Majelis dan Lembaga
15. Pak Roy Somel dan kel. Besar Syahira Mart Tanjung Pati
16. Ketua IPHI Lima Puluh Kota
17. Ketua MUI Lima Puluh Kota Biya Dr.H.Asrat Chan, M.Pd
18. BSI KCP Pangkalan Tanjung Pati
19. Bank Mega Syariah Padang
20. Mantan Mudir Al Kautsar Buya Ali Amran, Buya Alwizar, Dan Buya Yuzetril, S.Pd.MA.
21. Para Tokoh dan Sesepuh Muhammadiyah, Buya Abdul Malik Djamil, H Amzanur, Buya H.Suhaimi Biran, Buya H. Asril Syamsu, ust Hendra Bakti, Ust. Wengki P Chaniago, Buya Nasrul Rasyid, Ust Iswandi, Ust Mitra, S.Ag, Buya Jayusman, Ust Soni Sandra
Dan semua pihak yg tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Semoga Allah Membalasi setiap amal kebaikan kita dengan pahala berlipat ganda. Aamiin. Wassalam. Mudir.
0 notes
Text
Buya Syafii Maarif Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional
suaramuhammadiyah.id
Buya Syafii Maarif Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional
Suara Muhammadiyah
4–5 minutes
SIJUNJUNG, Suara Muhammadiyah-Pemerintah Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat berencana mengusulkan guru bangsa dan Ketua PP Muhammadiyah 1998-2002, Buya Ahmad Syafii Maarif sebagai pahlawan nasional. Usulan tersebut didasarkan pada jasa-jasa dan kontribusi besar yang telah ditorehkan oleh Buya Ahmad Syafii Maarif dalam memajukan bangsa dan negara, serta dalam berbagai kiprahnya di bidang keagamaan dan kemanusiaan universal.
Dalam rangka pengusulan almarhum Prof Dr Ahmad Syafii Maarif sebagai Calon Pahlawan Nasional, Pemerintah Kabupaten Sijunjung melaksanakan Seminar Nasional dan Diskusi Aktual tentang riwayat hidup dan perjuangan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif (14/2/2023). Seminar ini menghadirkan narasumber: Anwar Abbas, Ketua PP Muhammadiyah; Arif Nahari, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Sosial; Ashabul Kahfi, Ketua Komisi VIII DPR RI; Siti Fatimah, Dekan FIS Universitas Negeri Padang; Shofwan Karim Elha, Ketua Dewan Pakar Pusat Studi Islam dan Minangkabau UMSB.
Anwar Abbas menyebut bahwa Buya Syafii merupakan sosok yang sangat layak untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional. Menurut Anwar, orang tua Buya Syafii tampaknya telah menyiapkan anaknya untuk menjadi orang besar, bahkan sejak pemberian nama. “Di dalam nama itu ada doa. Doa yang dipanjatkan oleh kedua orang tua Buya Syafii itulah yang menginginkan beliau menjadi orang yang baik. Ahmad itu sudah nama Nabi, Syafii itu nama ulama besar. Tambahan lagi, Maarif, supaya menjadi arif dan bijaksana. Saya rasa, doa itu diijabah oleh Allah,” katanya.
Anwar mengaku salut dengan sikap pribadi Buya Syafii yang tulus dan punya prinsip moral yang teguh. Buya diakui sebagai tokoh yang banyak berjasa pada negeri ini. “Beliau juga sosok yang menarik. Menarik karena beliau ini mengenal dunia tetapi tidak mudah tergoda. Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang sangat anti terhadap korupsi. Meskipun itu teman dekatnya atau sahabat karibnya, tetapi jika sudah melakukan hal-hal yang tidak terpuji, dia akan sangat marah.”
Dalam diri Buya Syafii, ada banyak pelajaran yang dapat dipetik. Mengapa Buya Syafii bisa sukses dan menjadi tokoh besar? Anwar Abbas memberi jawaban, “Beliau melakukan sesuatu yang dilakukan oleh Nabi, hijrah. Buya Syafii hijrah dari Sijunjung ke Jawa. Hijrah dari negeri yang belum maju ke negeri yang maju. Meskipun nanti perlu pulang kembali untuk membangun. Kita harus bersentuhan dengan daerah-daerah yang menjadi pusat peradaban. Beliau ke Yogyakarta, tetapi tidak berhenti di sana. Beliau juga pergi ke Chichago dan berguru kepada seorang guru yang sangat dihargai.”
Petualangan Buya Syafii yang menjelajah dunia itu dilandasi oleh spirit untuk menuntut ilmu. Jiwa kecintaan kepada ilmu itu ditularkan ke Muhammadiyah. “Di tahun 1970-an, saya mendengar satu kata dari beliau, Muhammadiyah tidak hanya sebagai gerakan Islam, gerakan tajdid, gerakan dakwah amar makruf nahi munkar. Tetapi Muhammadiyah itu harus menjadi gerakan ilmu. Sebagai gerakan ilmu, ia menjadi pusat dari kebenaran. Isi ilmu itu kebenaran. Tugas kita mencari kebenaran dan memperjuangkan kebenaran.”
Bupati Sijunjung, Benny Dwifa Yuswir mengatakan bahwa Ahmad Syafii Maarif telah memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa dan pembangunan daerah serta turut mengatasi berbagai masalah bangsa dan daerah. Menurutnya, pengusulan gelar pahlawan nasional ini juga sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi atas dedikasi dan perjuangan beliau selama ini.
Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Riki Sahputra menyatakan bahwa UMSB telah menempatkan mahasiswa KKN di Kabupaten Sijunjung, tempat kelahiran Buya Syafii. KKN yang didukung Pemerintah Kabupaten Sijunjung ini telah menjalankan banyak program, termasuk melahirkan museum rumah kecil Buya Syafii. “Secara khusus, UMSB berpartner dengan Pemerintah Sinjunjung untuk menyiapkan naskah akademik pengusulan Ahmad Syafii Maarif menjadi salah satu pahlawan nasional,” ujarnya. (Ribas)
https://suaramuhammadiyah.id/2023/02/14/buya-syafii-maarif-diusulkan-menjadi-pahlawan-nasional/
0 notes
Text
Mu'allimin Mu Yogyakarta
muallimin.sch.id
Sejarah Mu'allimin • Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta – Sekolah Kader 6 tahun
4–5 minutes
Sekolah Calon Ulama, Pendidik, & Pemimpin • Pendidikan 6 Tahun
Apa saja yang bisa membuat orang Islam yang baik, juga bisa membuatnya menjadi warga negara yang baik.
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (selanjutnya disebut Mu’allimin) didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1918 dengan nama “Qismul Arqa” yang kemudian diubah menjadi Pondok Muhammadiyah (tahun 1920), lalu menjadi “Kweekschool Muhammadijah” (1924). Baru pada Kongres Muhammadiyah tahun 1930 di Yogyakarta berubah menjadi “Madrasah Mu’allimin Mu’allimaat Muhammadiyah”. Setahun kemudian madrasah ini dipisah, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah (khusus putra) berlokasi di Ketanggungan, Yogyakarta dan Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah (khusus puteri) berlokasi di Kampung Notoprajan Yogyakarta.
Pada Kongres Muhammadiyah Ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta, ditegaskan bahwa Madrasah Mu’allimin-Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta merupakan Sekolah Kader Persyarikatan Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dalam proses perkembangannya, Mu’allimin senantiasa melakukan penyesuaian program pendidikannya dengan perkembangan zaman. Pada tahun 1980, dilakukan perubahan sistem pendidikan Mu’allimin yang sangat mendasar. Jikalau pada masa sebelumnya maskan atau asrama belum menjadi satu kesatuan sistem dengan madrasah, maka sejak tahun 1980, Mu’allimin mulai menganut sistem “long life education”.
Sistem ini, menegaskan bahwa madrasah/sekolah dan maskan/asrama adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaan program pendidikan. Sistem ini pula yang menjadikan Mu’allimin mendapat pengakuan sebagai Pondok Pesantren dari Departemen Agama RI pada tahun 1984.
Kemudian untuk memperkuat kurikulum pendidikannya, pada tahun 1987 dilakukanlah upaya resistematisasi kurikulum Mu’allimin. Upaya ini bertujuan agar proses pendidikan dan pengajaran dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dalam upaya ini ditetapkan kebijakan untuk menyusun suatu paket terpadu yang menyangkut materi bidang studi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dengan teknik kurikulum silang (crossing curriculum), yakni memadukan materi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Departemen Agama RI dengan materi Mu’allimin yang merujuk kepada referensi “kitab kuning”.
Selanjutnya dengan adanya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dan Permenag No. 2 Tahun 2008 maka Mu’allimin mengacu pada 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan Permenang Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi lulusan dan standar isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, sehingga menjadi begitu banyak jumlah muatan yang harus dipelajari siswa Mu’allimin terlebih dengan muatan kepemimpinan dan kekaderan sebagai sekolah kader persyarikatan, Mu’allimin mengelola melalui berbagai cakupan aktifitas peserta didik yang
terintegrasi, yaitu intrakurikuler, kokurikuler, ektrakurikuler dan aktifitas pembiasaan di asrama dalam kesatuan manajemen. Hal ini dimaksudkan untuk efektifitas dan efisien. Pada sisi lain agar tujuan masing-masing pemangku kepentingan dalam hal ini Pemerintah (Kemendikbud dan Kemenag) dan Persyarikatan bisa tercapai sehingga dengan “Long Life Education” siswa belajar secara formal dan informal dalam satu pengawasan.
Mu’allimin dalam angka
Tahun Berdiri
Pahlawan Nasional
Jumlah Pelajar
Komunitas Siswa
Informasi PPDB Tahun Ajaran 2023/2024
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2023/2024 Gelombang 2 masih dibuka sampai dengan 03 November 2022.
© 2021 Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta
0 notes
Text
0 notes
Text
0 notes
Text
youtube
1 note
·
View note