#ceritafiksi
Explore tagged Tumblr posts
Text
Metafora #1
Sebuah cerita bersambung tentang #quarterlifecrisis
#1 Banting Tulang
Rupanya senja sudah menyapaku, sinarnya menyirami sepeda motorku yang sedari tadi terparkir di sana. Kukira hari ini bumi lambat berputar, hingga hariku berjalan lebih lama. Harusnya aku sudah tiba di kostku sejak tadi. Meski sebenarnya aku hanya menjalani hari seperti biasa, ditambah melamun di sepanjang jalan, pun mengobrol dengan beberapa teman. Ditambah lagi salah arah jalan, kaukira lampu merah ini cuma satu dan menuntunku ke arah yang hanya itu? Hingga aku harus putar balik sambil meracau hingga lupa diri.
Bagiku menyenangkan sekali bisa meracau sendiri sambil berkendara di jalanan kota besar ini. Tapi ampun, aku masih kalah dengan panas yang disajikannya. Jaket yang kukenakan sepertinya tidak mampu lagi menahan sinar UV yang sepertinya bukan hanya A dan B, tapi sudah sampai Z. Ini panas, bukan hanya dari atas, juga dari bawah! Pun bukan hanya gerah, tapi aku ingin marah.
Kuberhentikan motorku di depan warung makan sederhana ini. Seperti biasa, aku lupa makan. Bukan hanya karena banyak pikiran, tapi selera makanku juga berantakan. Belum lagi berat badan yang mengalami penurunan, bukan mau kurus— ini aku saja yang tidak bisa menggendut! Selalu itu alasanku ketika teman-teman bertanya pola diet yang kujalani. Mungkin salah satu penyebabnya adalah ini yang hampir maghrib aku baru ingat mengisi perut, ini makan siang tau buka puasa?
“Bu, bebek gorengnya satu ya!” Pintaku pada Bu Yanti, langganan makan siangku oh maaf ini sudah sore.
“Oke, mbak.” Tangan bu Yanti langsung cekatan mempersiapkan menu untukku. “Tumben baru datang jam segini mbak? Puasa toh?” Bu Yanti sangat perhatian sampai hapal jadwal makanku.
“Kebetulan lembur bu, sambil tersesat tadi.” Jawabku.
“Bisa tersesat juga ya mbak, kan udah 5 tahun di sini.” Ujarnya lagi.
“Lampu merah bu! Aku salah arah, belum lagi aku sambil melamun.” Tambahku.
“Waduh, mikirin apa mbak? Jodoh?” Tanyanya penasaran.
“Sedikit sih Bu. Banyakan mikirin hari ini aku hidupnya gini-gini aja. Bosen bu.” Akhirnya sepiring bebek sudah di depanku.
“Iya ya mbak. Aku sih juga kadang gitu. Bosen. Tapi kalau mau dituruti bosennya, aku ya nggak bisa hidup juga mbak. Jadi ingat anak di rumah, biar semangat banting tulangnya, biar nggak bosen.” Ujarnya lagi sambil terus menerus menggoreng. Ya, aku hampir tidak pernah menyapanya dalam kegiatan lain, selain menggoreng.
Sambil mencerna bebek di hadapanku, kata-kata bu Yanti pun tercerna dengan perlahan. Jadi, harus punya alasan agar tidak bosan? Harus ada semangat agar kuat banting tulang? Bagaimana jika aku tidak memiliki keduanya?
Dan… sejak kapan bosan bisa membunuh seseorang? Aku tercekat. Jangan-jangan aku sedang di fase ini.
Bersambung.....
9 notes
·
View notes
Text
langkah kakiku perlahan menuju ke sudut meja yang salah satu kursinya sudah diduduki oleh wanita yang telah aku kenal hampir setahun lamanya.
“udah cape banget ya? mukanya sampai lemes gitu?”, candaku kepadanya sambil menyodorkan kebab yang baru saja aku beli.
“aku masih kepikiran koper yang tadi, tapi masih ragu mau dibeli atau nggak.”, ucapnya.
“kenapa ragu? kan ukurannya sudah sesuai, bisa dibawa kemana-mana kalau mau bepergian dengan pesawat.”
“iya, sudah sesuai. tapi masih mau cari lagi yang lebih cocok.”
“ya sudah, tapi nanti gak bisa ditemenin lagi.”
Setelah jawabanku itu, kami memilih diam dan menikmati kebab sambil memperhatikan hiruk pikuk jalanan di depan kami.
“abang gojeknya sudah sampai”, ucapnya memecah keheningan sambil menunjuk ke salah satu motor yang mulai mendekati kami.
“aku pamit ya. assalamualaikum.”
“waalaikumsalam.”
Aku melambaikan tangan, melepas kepergiannya. Mataku tak lepas dari punggungnya hingga perlahan menghilang ditutup padatnya kendaraan. Aku sadar bahwa ni adalah saat terakhir bagiku untuk melihat wanitaku itu, karena kata “pamit” yang tadi diucapkan adalah salam perpisahan diantara kami berdua.
3 notes
·
View notes
Text
Jeda
isi kepalaku beberapa kali terjeda, sesekali meratapi semesta. ada yang berangsur berubah katanya. nyatanya hanya mengikuti alur semesta. isi kepalaku berkali-kali terjeda, ingatan sedikit demi sedikit memuai namun bukan melewati kata. pada prasangka-prasangka di kepala yang tak usai jua.
kata mereka aku banyak bermuram durja, menurutku mereka tak paham menjeda kepala. diam tanpa banyak berkata-kata. aku perlu jeda dari hiruk pikuk isi kepala, menanggalkan ribuan bahasa membiarkan ribuan kata berlalu begitu saja. sepi, kepalaku tenang rasanya berhenti tahu segala yang tidak aku perlu. aku tidak perlu tahu yang bukan kebutuhanku.
1 note
·
View note
Text
2023 sudah berlalu. Tahun yang indah bagi sebagian orang, namun tidak untuk ratna. Ya, bagi ratna tahun 2023 adalah salah satu tahun terberat dalam hidupnya.
Kehadiran pihak ketiga dalam rumah tangga nya membuat sang anak hampir kehilangan keutuhan sebuah keluarga. Ratna, yang teringat dengan sang anak yang masih balita mengurungkan niatnya untuk bercerai dengan sang suami, tentunya dengan perjanjian yang sudah disepakati oleh keduanya.
Dengan membawa harapan agar rumah tangganya harmonis, dan berharap agar kebahagiaan selalu menyertainya dimanapun dia berada.
@30haribercerita
#30hbc24
#ceritafiksi
#tidaknyata
0 notes
Text
Last Good Bye
(Pov 2)
Setelah sekian lama, kenapa kita bertemu?. Apakah ini adalah jawaban keresahanku yang ingin tahu tentang kabarmu?. Kamu terlihat lebih baik, apakah kamu lebih bahagia setelah kita berpisah?. Dan apakah kamu semakin senang melihatku yang lusuh seperti ini. Aku ingin pergi tapi rasanya berat untuk melangkahkan kaki menjauh darimu sekarang.
Waktu itu, aku sadar harus melepasmu. Melihatmu yang berdiri di sebrang sana saat itu membuatku sadar untuk tidak lagi mengenggamu. Sudah cukup dan rasanya aku sudah merelakanmu tapi ternyata setelah itu aku semakin menderita.
Perpisahan yang kita lakukan tanpa adanya kata pisah lebih melelahkan dibanding aku yang mengikutimu kemana pun kamu ingin.
Aku ingin membencimu tapi tak bisa ku lakukan. Kenangan-kenangan itu sering menyiksa dengan rindu yang tak bisa ku tunaikan. Rindu yang harus ku pendam dalam-dalam dan ku tahan. Kini melihatmu rasanya rindu itu sudah terbayar walaupun masih ku tahan untuk senang.
Kenapa kamu berjalan ke arahku? Apa yang sedang kamu cari?. Aku sudah bertekad untuk melepasmu, entah apa yang kamu cari dariku aku akan melepasmu dan mengatakan selamat tinggal yang benar-benar terakhir untukmu. Ya, aku sudah membulatkan tekad, kemarilah aku akan mengatakannya dengan jelas.
Terinspirasi dari Last Goodbye Woonpil Day6
#fiksi #fiksimini #ceritafiksi #tulisan #cerbung
1 note
·
View note
Text
Sebuah Ketenangan
Ayam berkokok di pagi hari, diiringi dengan munculnya sinar matahari sedikit demi sedikit, aku suka memandangnya, bagiku itu sebuah healing dari rutinitas yang menjenuhkan, ya melihat sunrise di sebuah pegunungan adalah caraku untuk healing agar jiwa ini tetap waras dalam bekerja dan menjalani kehidupan.
Namun kali ini berbeda, bukan karena kejenuhan bekerja, melainkan masalah hati yang rasa-rasanya menyesakkan dadaku, aku butuh ketenangan, aku butuh itu untuk meredakan sejenak rasa sesak yang aku rasa.
Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar itu, bagai tersambar petir di siang bolong. Aku terkejut, sangat. Tidak ku sangka akan secepat ini dia dapat melupakan aku dan segera bersanding dengan yang lain. Padahal beberapa bulan terakhir ini rasa-rasanya aku seperti orang gila, suasana hati tak karuan, kerjaan berantakan, kehidupan juga menjadi berantakan akibat putus dalam hubungan asmara dengannya yang ku jalin bertahun-tahun lamanya.
Kalau ditanya aku bahagia mendengarnya atau tidak? Aku sulit menjawab, karena hatiku terpaut terlalu dalam untuknya, aku sedang berusaha untuk bangkit dan tidak ingin bersikap menye-menye seperti ini lagi, seperti bukan diriku.
Walaupun rasanya tak rela, tapi ia sudah memutuskan akan dengan laki-laki seperti apa yang akan menjaganya, aku hanya berharap kebaikan untuknya, dan semoga hatiku segera bisa melupakan dirinya.
Ini juga sebagai pembelajaran buat ku, ya mungkin ini jalan "pahit" yang harus aku lalui, aku harus segera membuka hati, dan menutup rapat-rapat masa lalu itu, cukup itu sebagai kenangan yang dulu, sebagai pembelajaran yang lalu. Rasa khawatir kadang memang ada, khawatir tidak mendapatkan pasangan yang seperti dia, ah sudahlah! Buat apa diingat-ingat. Toh aku juga punya kriteria sendiri.
Healing ditempat ini, rasanya cukup untuk sedikit menguraikan benang kusut yang ada dipikiranku. Yah, walaupun ini akan membutuhkan waktu, but aku tidak akan terpuruk dalam kesedihan lama-lama. Life must go on, right?
#5CC #5CCday5 #CeritaFiksi
0 notes
Text
Yang Terlewatkan
Aku memunguti sampah bekas makanan ringan, mi instan, plastik-plastik yang beraneka warna sambil mengawasi langkah sepasang kaki kecil yang tengah berkecipak riang dengan air laut. Sesekali telingaku menangkap panggilan darinya. "Ummiiii..."
Aku pun membalas dengan lambaian tangan.
Aku mengeluh panjang pendek karena merasa sampah tidak ada habisnya sambil memandang jauh hamparan pasir putih.
"Miii..." Sayup terdengar lagi teriakan anak lelakiku yang seolah bersahutan dengan debur ombak.
"Miii... " Kini suaranya makin terdengar jelas dan dekat.
"Eh, kenapa?" tanyaku. "Jangan dekat-dekat Ummi. Nanti baju Ummi basah."
"Ummi aneh deh. Ke pantai tapi gak mau nyebur. Masa Ahmad cuma main sama abi doang..." Protesnya.
Aku hanya nyengir sambil mengelus rambutnya yang lepek.
"Ummi ngumpulin sampah?"
Aku mengangguk sambil terus jalan menunduk, mataku berkeliling mencari benda-benda berserakan yang seharusnya tidak berada di sini.
"Kenapa orang-orang buang sampah sembarangan? 'Kan disediakan tempat sampah."
Aku mengedikkan bahu. Bukan tak paham. Hanya saja, pikiranku sedang tak ingin banyak merangkai kata untuk menjelaskan kepada bocah lelaki yang sejak tadi mengiringi langkahku.
"Ya udah, Ahmad main sama Abi dulu ya, Mi. Dadah, Ummiiii." Ucapnya seraya berlari menjauh.
Aku kembali menekuni pekerjaanku sejak lima belas menit lalu. Bukan tak ingin bergabung dengan Ahmad dan Abinya. Hanya saja, tempat untuk bilas dan ganti baju di pantai ini sungguh tidak membuatku nyaman dan aman.
Kuseka peluh yang mulai menetes di dahi. Ujung gamis dan kaus kaki mulai membasah. Aku berbalik badan. Memandangi jejak langkah yang telah kutempuh --meski sebagian besar telah tersapu ombak. Aku pun menjinjing 'harta karun' hasil bertualang menyusuri bibir pantai dan meletakkannya di tempat yang memang seharusnya.
Selesai menepuk-nepuk gamis cokelatku yang terkena pasir di bagian kaki, aku duduk di pondokan tempat kami meletakkan tas, lalu mengambil sebotol minuman. Sesekali aku melihat Ahmad melambaikan tangannya ke arahku.
Aku mengambil ponsel dari ransel hitam yang sejak tadi kucangklong di punggung. Ada beberapa notifikasi masuk dari aplikasi chat berwarna hijau. Lagi-lagi pesan singkat yang membuat hatiku terasa berat sejak kemarin, kembali masuk. Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat.
Tawaran pekerjaan yang membuatku ingin sekali menerimanya, tapi di satu sisi ada Ahmad yang masih butuh banyak bimbingan dariku. Apakah jika tidak menerima tawaran itu, gelar sarjanaku menjadi sia-sia dan tak bermanfaat bagi banyak orang?
"Miii," Suara Ahmad memecah lamunanku. "Kok bengong? Ahmad baca di buku, kebanyakan ngelamun 'tu gak bagus."
Abi mengambil tempat duduk tepat di sebelah kananku.
"Masih ragu?" tanya Abi.
Aku menjawab pertanyaan abi dengan embusan napas sambil mengerucutkan bibir.
"Ahmad, main pasir di dekat sini aja, ya. Abi mau ngobrol dulu sama ummi. Jangan ke arah laut." Pesan Abi. Kulihat Ahmad sudah mulai asyik merancang bangunan apa yang ingin ia buat. Gayanya seperti seorang arsitek profesional. Aku mengikik pelan.
"Kalau Ummi terima, Abi gak keberatan?" tanyaku kemudian.
"Enggak," jawab Abi. "Tapi pesan Abi, Ummi harus paham apa yang harus diprioritaskan. Konsekuensi-konsekuensi. Masalah-masalah yang sekiranya akan muncul di depan sana dengan solusinya."
Aku tahu Abi bukan bermaksud buruk dengan mengucapkan kata "masalah". Abi bukan ingin menakut-nakuti. Abi sungguh paham bagaimana aku, yang jika sudah sangat lelah fisik dan pikiran, semua menjadi berantakan. Abi lah yang paham bagaimana kondisi terburukku saat aku benar-benar kepayahan. Abi hanya tak ingin, Ahmad menjadi objek pelampiasan kemarahanku yang meledak, kala letih tak terperikan.
"Tapi kadang, Ummi merasa sia-sia. Tidak berguna." Suaraku parau.
"Kata siapa? Lihat Ahmad. Dengan ketelatenan Ummi dan bantuan Allah tentunya, Ahmad tak perlu guru les untuk ngaji, hafalan, membaca dan berhitung seperti anak sebayanya. Lihat Ahmad, karena kerap melihat ummi membaca, dia pun ikut suka membaca."
Aku membisu.
"Tak akan ada yang sia-sia, Mi. Seperti halnya Ummi memungut sampah tadi. Meski terlihat sepele, apa yang Ummi lakukan tetap akan bermanfaat 'kan? Tulisan-tulisan Ummi yang berisi nasihat, tips... ada berapa banyak yang berterima kasih saat membaca tulisan Ummi?"
Mendadak hatiku menjadi biru, layaknya warna langit dan laut yang tengah kupandang lekat-lekat. Sepertinya ada yang kulewatkan begitu saja, tentang hal-hal yang menurutku bukan apa-apa, tapi ternyata memiliki dampak besar bagi sekelilingku. Tentang cara pandangku. Mungkin juga tentang waktu. Tentang tujuan hidup dan mungkin tentang bagaimana cara menerima dengan tulus yang kerap aku lupakan.
***
Pontianak, 14 Juli 2022
10 notes
·
View notes
Text
Cerpen: Sesabar Ayah
***
Aku menaruh sendok, berhenti makan sejenak, menarik nafas dan bertanya:
"Apakah lelaki tersebut akan sesabar Ayah nantinya?"
Ayah tersedak. Lalu meminum air putih. Ia sangat terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba kulemparkan ketika kami sedang sarapan pagi itu.
Pertanyaan tersebut muncul untuk menanggapi cerita Ayah beberapa hari lalu tentang ada seseorang yang datang untuk mempersuntingku. Aku belum tahu siapa orangnya tapi Ayah sudah mengatakan "iya" kepadanya.
Pikiranku terus menduga-duga. Keresahanku tumbuh cepat mengisi hati dan pikiran. Kepalaku penuh dengan pertanyaan tentang bagaimana ia bisa menyakinkan Ayah.
***
Aku adalah anak bungsu yang sangat manja. Belum pernah merantau sama sekali. Tidak tahu arti mandiri yang sesungguhnya.
Terlebih setelah kepergian ibu. Aku kewalahan sendiri dalam belajar banyak hal. Aku lelah tapi Ayah yang selalu membuatku bersemangat. Aku ingin menyerah tapi Ayah selalu membuatku bangkit untuk berjuang.
Ayah selalu bisa menghadapiku dengan sabar. Belum kutemukan lelaki lain yang seperti ini.
Namun hari ini Ayah malah mengatakan bahwa ada lelaki yang akan membawaku pergi jauh dari rumah. Aku takut sekali bila nanti orang ini tidak bisa memahamiku. Bila nanti ia tidak bisa melihat kesedihan di wajahku, seperti yang selalu Ayah lakukan.
***
Lalu suasana hening untuk beberapa saat. Ayah membetulkan posisi duduknya. Memandangiku dengan sepasang mata sendu dan berkata:
"Dari apa yang sudah Ayah lihat dan saksikan sendiri. Lelaki ini akan lebih sabar dari Ayah tentunya.
"Ia paham kamu bukan perempuan mandiri. Tapi ia bisa menilai dari bagaimana caramu menyayangi anak-anak di sekolah dan sikapmu kepada rekan kerja. Ia telah lama menyimpanmu diam-diam hanya saja kamu tidak menyadari"
Aku mengernyitkan dahi, memberi isyarat bahwa masih belum paham dengan apa yang disampaikan oleh Ayah.
"Dia sendiri yang memilihmu. Dan Ayah yakin setelah tahu siapa orangnya, kamu pun akan sangat setuju"
***
Aku tersenyum sendiri. Berkaca-kaca. Aku tahu siapa maksud Ayah. Dia adalah jawaban do'a-do'a panjangku. Lelaki yang sering kuceritakan kepada Ayah. Seorang rekan kerja yang selalu menjauh dari kami para perempuan. Tapi kini dia malah mendatangi Ayahku. Ia benar-benar tahu cara memuliakan seorang perempuan.
5 notes
·
View notes
Text
cuma mimpi
suatu malam, ku tatap lamat-lamat langit kelabu. tidak ada angin juga bintang seperti kemarin. semenit, dua menit. hingga aku menyadari ternyata hadirnya dirimu sekitar pukul dua puluh, langit sepertinya berubah menjadi cerah bertabur cahaya. apakah kamu juga melihatnya? nampaknya tidak. ah, mungkin nanti kamu bisa melihatnya.
lalu diam-diam kamu menghampiriku. atau aku yang sengaja mendekat. entahlah. tiba-tiba saja aku merasakan sekelilingku bergerak mendorongku ke arahmu. perlahan kamu menampakkan wajah menanyaiku, "kamu engga papa?" bukan main senangnya aku mendengar suaramu pertama kali. aku gugup mendapati perasaanku sendiri. badanku terasa panas-dingin, jantungku berdetak lebih cepat.
aku segera menjawab, "aku engga papa, kok," sambil menata langkah yang tadinya sempoyongan. wuutt. tiba-tiba saja aku terasa pusing. bunga artifisial yang ada di pojok rooftop tempat aku menatap langit kini seolah berputar seperti jarum jam. laki-laki yang kedatangannya aku nantikan itu, suaranya semakin lama semakin mengecil dan sunyi. dia juga berputar seperti roda mobil. aku sudah tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya.
bruk.
aku mendapati tubuhku sudah tidak di atas kasur. terbangun dengan sedikit perasaan kecewa karena reka adegan itu cuma mimpi. hadeh.
1 note
·
View note
Photo
Oxford is a place for students. Even in the evening there were not as many cars around because they prefer bicycles. There’s a saying if you want to live in Oxford: Notice that ringing around you, and try to keep walking on the edge, even if you are walking on the sidewalk. #blackandwhite #hitamputih #hitamputihkehidupan #bw #england #vsco #vsco_cam #potd #humanity #ceritafiksi #fiksi #ceritapendek #fiction #instagramfiction #cerita #shortstory #stories #photography #potd #iphonesia #fotohitamputih #1000kata #uktravel #unitedkingdom #uk #britain #london #oxford #oxfordstreet (at Oxford, England - UK) https://www.instagram.com/p/B_SJOOyBbSa/?igshid=i9o9g8pmz3io
#blackandwhite#hitamputih#hitamputihkehidupan#bw#england#vsco#vsco_cam#potd#humanity#ceritafiksi#fiksi#ceritapendek#fiction#instagramfiction#cerita#shortstory#stories#photography#iphonesia#fotohitamputih#1000kata#uktravel#unitedkingdom#uk#britain#london#oxford#oxfordstreet
3 notes
·
View notes
Text
Sebuah Usaha
"Heeyy dari sekolah kita ada yg lolos di ITB" Dino sang ketua kelas berteriak-teriak kegirangan sambil masuk ke ruang kelas membawa surat informasi tersebut.
Anak-anak yang lain pun riuh, penasaran siapa yang lolos ke ITB, pasalnya dari sekolah ku ini belum ada yang pernah lolos ke ITB, dan ini pertama kalinya dalam sejarah SMA, waw, Amazing.
Jeng jeng...
Saat sebuah kertas yang dibawa Dino, seisi kelas serentak mengucapkan.
"HHAAAAH???"
Sungguh mengejutkan informasi ini, Doni seorang anak diam, pemalas, tukang tidur, ia bisa tembus ITB, tidak ada yang menyangka.
Tapi semenjak orangtua Doni mengalami kebangkrutan, aku mengamati banyak perubahan besar dalam diri Doni, menjadi anak yang semangat dalam belajar.
Aku salut padanya, memang terkadang dimana ada kemauan disitu ada jalannya, mungkin itu memang sudah menjadi takdirnya dan rezekinya, tapi tetap ada ikhtiar yang diusahakan.
Sedangkan aku gagal. Aku agak kecewa dengan diriku, aku yang suka overthinking dan membanding-bandingkan diriku dengan orang lain, akhirnya aku gagal. Tidak seharusnya aku seperti itu, lain kali aku harus fokus pada tujuan ku sendiri.
Aku segera mengubah raut sedihku menjadi raut yang sumringah dan gembira. Aku mengucapkan selamat pada Doni dengan Bangga, "Congratss Broo, waah keren banget dah tembus ITB, semoga gue bisa nyusul ya!"
"Makasih ya Bram, berkat bantuan kamu juga udah mau ngajarin aku dengan sabar."
"Its okay bro, seneng denger kabar baik ini."
#5CC #5CCday4 #CeritaFiksi
0 notes
Text
Penerimaan untuk Ketidaksempurnaan
- Hidup ini tidak sempurna, sebab inilah kehidupan. Kesempurnaan adalah keadaan baik setelah kembali pada Tuhan. Kesempurnaan tidak ada di sini, di bumi ini. Jangan dicari, karena tak mungkin akan kau temukan. -
Aku meyakini bahwa di dunia ini, tidak ada satupun manusia yang memiliki cerita hidup yang sempurna. Setiap yang terlihat baik-baik saja, itu hanya karena kepandaiannya menutupi banyak hal yang membuatnya ingin menangis sekencang-kencangnya. Setiap tawa yang dilepaskan, siapa menyangka bahwa jauh di sudut hati lain menyimpan kepedihan yang tak terperikan. Begitulah kehidupan, dilebihkan di satu sisi, dikurangi di sisi yang lain. Diangkat sedemikian tinggi, dan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan ke depan akan ada badai yang menghempas bahkan hingga ke dasar. Itulah kehidupan, tidak sempurna.
Sebagai manusia kita harus menerima ketidaksempurnaan hidup itu sendiri. itulah satu-satunya obat yang akan meredakan sesak di dada kita; penerimaan.
Dan aku ingin kamu menerima.
Menerima bahwa kamu tidak sempurna, begitu juga dengan cerita hidupmu. Sebab memang tidak ada dan tidak akan pernah ada kehidupan yang sempurna, dan mengapa kita harus nelangsa meratapi hidup untuk hal yang sudah kita pahami hakikatnya.
Lalu bila kamu bertanya padaku bagaimana agar bisa menerima sebuah kenyataan yanng terasa pahit sekali untuk ditelan, mulailah dengan tidak mengatakan dalam hatimu kalimat semacam“ah dia saja tidak ada di posisiku, posisiku sangat sulit, dia hanya jago berceramah”, syarat pertama untuk sanggup menerima keadaan adalah menyadari bahwa kesulitan, kegagalan, dan kepahitan hidup yang kamu alami adalah cerita yang Tuhan tuliskan untuk kamu mainkan, bukan orang lain. Lalu bila kamu bahkan bertanya-tanya mengapa Tuhan menuliskan cerita setidak-menyenangkan itu untukmu, yakinilah bahwa Tuhan tidak pernah menuliskan rencana jahat untuk jalan hidupmu.
Tuhan tidak mungkin menciptakanmu tanpa sebuah rencana baik, Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan main-main dan hanya untuk sia-sia belaka. Tidak. Semuanya menjadi tampak seperti iya ketika kamu tidak menerima dirimu dan keadaanmu. Mulai menaruh prasangka buruk kepada yang telah menjadikanmu ada. Mulai menyalahkan diri sendiri, dan parahnya kamu mulai membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain, yang juga sama tidak sempurnanya.
Kamu harus menerima; kamu gagal. kamu kalah, kamu payah, kamu pecundang, dan kamu tidak berarti apa-apa. Terima. Toh itu tidak untuk selamanya. Jika kamu sanggup menerima, baru belajarlah untuk memaafkan dirimu sendiri. Belajarlah merasa nyaman dengan segala keadaan dirimu. Kemudian, belajarlah berproses dengan sisi lebihmu yang lain. Belajar menggapai impian dan rencanamu yang lain. Kamu harus bangkit dan lantang menantang dunia yang sudah meremehkanmu. Kamu sudah semakin kuat sekarang.
2 notes
·
View notes
Text
KAMU
Ahaaa !
Bolehkah malam ini kita main sejenak?
Biar kutebak, dengan perhitungan paling tidak eksak yang pernah ada.
Ah! Sepertinya ini adalah satu banding satujuta peluang yang pernah ada dalam semesta
Siapa bilang tidak mungkin?
Oh iya memang benar tidak mungkin sih..
Hahaha!
Tapi setidaknya satu adalah dua karena sa dengan tu adalah dua walaupun dua juga adalah dua karena du a
Lalu peluang ini menjadi dua banding satu juta kemungkinan yang pernah ada.
Wow menarik !! Ayo Jangan putus asa !
Walaupun dua sudah menjadi dua setidaknya satu adalah one sehingga satu adalah satu
Hah?!! tenang tenang! Semua peluang ini masih ada!
Tarik lah dulu nafasmu dengan benar.
Mari kita berhitung lagi,
Jika satu adalah dua dan dua adalah dua sedangkan one adalah satu,
Oh baiklah peluang ini menjadi tiga banding satujuta.
Oh oh oh sebentar !! Aku semakin dekaaat !
Lalu ibu guru bilang
Bahwa satu tetaplah satu, begitupun dua, juga tiga.
Baik bu jadi apa jawabannya ?
Satu banding seratus juta.
Oh baiklah.
Rumit,
Kusut,
Bercecer dan Berantakan.........
AWALDANAKHIR AKHIRDANAWAL
ATASDANBAWAH BAWAHDANATAS
Adalah Bagaimana sinkronisasi ini bekerja
Dan bagaimana gelombang otak ku bekerja.
Pusing?
Biar ku pijat.
#combine#judul#ending#storytelling#puisiindonesia#indonesia#mbeeer#phoem#sajakliar#puisiituindah#sajakpatah#sastra#liar#ceritafiksi#ruangseni#artword#correlation#story#imajinasi#sci fi & fantasy#karya tulis#combine the title with end of story
2 notes
·
View notes
Text
Lelah setelah berlayar, tak ada lagi alasan untuk tidak menepi.
Kenapa kadang kita menyia-nyiakan apa yang sebelumnya kita usahakan?
Kondisi kafe itu cukup bising dan penuh akan polusi suara. Harum kopi menyerbak bersamaan dengan bau keringat orang-orang. Cukup menyebalkan memang. Padahal pendingin ruangan yang tersebar di segala penjuru sudah bekerja keras untuk mengeluarkan udara sejuk. Hanya manusianya saja yang suka bertindak semau mereka, contohnya membiarkan pintu depan terbuka lebar yang notabenenya adalah ruangan ber-AC tanpa inisiatif untuk menutupnya.
Mensinyalirkan betapa tidak peduli dan borosnya manusia di kehidupan yang sementara ini.
Begitu mungkin sambatan gadis yang duduk di sana di hadapan layar laptop dan serakan kertas di mejanya. Ia kembali mengunyah es batu entah untuk keberapa kalinya. Tatapannya menatap nanar layar di hadapannya. Sesekali mengembuskan napas kasar sebagai pelampiasan keluhannya.
Menjadi mahasiswa baru yang mulai menghadapi keras nan pahitnya realita. Tidak ada acara santai-santai di hari libur, tidak ada tidur tepat waktu, tidak ada canda tawa dengan teman, tidak ada yang namanya pacar.
Ups, pengecualian untuk yang satu itu karena realitanya, faktanya, menakjubkannya ia punya.
Jangan tanya bagaimana, tapi setelah malam kelulusan itu berakhir, berakhir pula debu yang menghiasi chatroomnya. Kini bukan hanya orang tuanya atau temannya saja yang muncul di percakapan teratas. Bahkan kini, percakapan paling atas selalu didominasi oleh sebuah kontak dengan nama *piip* lalu emoji love di sebelahnya.
Hari demi hari, menit demi menit, detik demi detik. Tidak ada lagi bermain ponsel yang hanya menggulir beranda sosial media dari atas hingga paling bawah. Pasalnya, sekarang sudah ada yang menunggu balasan darinya, ada yang membangunkannya di pagi buta untuk mengajaknya melakukan kewajiban, ada yang memarahinya karena tidak makan demi tugas yang menumpuk.
“Udah lama?”
Suara berat terbawa angin hingga sampai ke telinga gadis itu. Sontak ia mengangkat kepala, untuk mendapati sosok yang sejak setahun terakhir bersemayam di hatinya maupun benaknya. Salah satu sudut bibirnya terangkat kecil selagi ia menggeleng.
Lelaki itu menarik kursi sebelum akhirnya duduk dan mengeluarkan ponselnya. Sedetik kemudian, tidak ada lagi suara antara keduanya kecuali suara ketikan yang ditimbulkan jari-jarinya di atas keyboard dan suara permainan dari ponsel si lelaki.
Sebulan ini memang rasanya ada yang ganjal. Entah itu tak ada lagi semprotan dosennya yang tak pernah puas dengan hasil tugasnya atau mungkin karena berkurangnya frekuensi bertatap muka dua insan ini. Mungkin keduanya memang satu universitas, tapi berada dalam fakultas dan jurusan yang berbeda serta jauhnya bagaikan Sabang hingga Merauke.
Frekuensi kecepatan si gadis dalam membalas pesan dari lelaki itu juga mulai berkurang dan kini ia malah lebih tertarik membaca buku-buku (bahkan jurnal) atau menghabiskan hari luang untuk berbaring di atas kasur. Padahal biasanya ia akan mengajak pacarnya untuk berkeliling kota atau kemana saja asal dirinya terbebas dari kamar kosnya.
“Sesibuk itu?”
Entah sejak kapan, cowok itu sudah menggeletakkan ponselnya yang menampilkan kekalahan dalam permainannya. Raut wajahnya tegas, jelas menuntut sesuatu untuk dikatakan gadis di hadapannya.
“Hmmm.”
“Ini pertama kali akhirnya kita ketemu lagi sejak sebulan dan yang kamu mau dari aku cuman ngelihatin kamu nugas?”
Jari-jari gadis itu berhenti menari di atas keyboard.
“Memangnya aku maksa kamu buat ketemu?”
Surai hitam lelaki itu yang tadinya rapi kini sudah rusak sebab ia usak-usak. Helaan napas gusar terembus begitu saja darinya sebelum ia lanjut berbicara.
“Udah bosen?”
Gadis itu menutup laptopnya kasar dengan wajah memerah ingin menangis. “Kamu sebenarnya mau ngomongin apa sih? Aku ini lagi banyak pikiran juga!”
“Aku mau ngomongin kita yang udah ngalor ngidul nggak jelas gini, Ki! Kamu pikir kamu doang yang banyak pikiran? Kamu tau nggak kalau aku juga lagi banyak deadline? Kamu ngerti nggak kalau aku juga lagi capek? Nyatanya kamu nggak peduli aku, kamu cuman peduli sama dirimu sendiri!”
Lelaki itu berusaha menetralkan amarahnya. Menjalin hubungan bahkan tak pernah semudah memainkan game survival.
“Aku bakal peduli sama kamu seandainya kamu sadar sama tingkahmu sendiri ke cewek lain! Oke, aku nggak peduli kalau mereka cuman temen atau apamu lah, fakta kalau aku pacarmu juga nggak bakal ngaruh apa-apa, kan? Apalagi sama gamemu itu!”
“...tapi kamu ngehindarin aku bahkan di saat-saat terendahku di mana aku butuh kamu tapi kamu nggak ada! Di sini kamu yang jenuh, Bin!”
Air matanya yang sudah ia bendung tak lama lagi akan mengucur mulus di atas pipinya. Ia berusaha menahan mati-matian tangisnya karena sungguh tiada gunanya menangisi cowok di hadapannya ini.
“Terus mau kamu gimana?”
Gadis itu mengusap sudut matanya yang mulai mengeluarkan air mata. Sedangkan lelaki di hadapannya berusaha kuat untuk menenangkan dirinya.
“Nggak tau.”
“But I think we need a break, Ki.”
“I do think so.”
“Untuk berapa lama?”
“Sampai kita sembuh, Bin.”
Keduanya menahan amarah. Keduanya menahan tangis. Keduanya menahan rasa ingin kembali.
“Seberapa lama sampai kita sembuh?”
“Selamanya bahkan kurasa tidak cukup, bukan?”
“Kuharap ini bukan yang terakhir kalinya, Ki.”
Tapi, keduanya tetap menolak meski hati mereka berkata tidak. Mereka berdua saling bertatapan nanar dengan senyum tanpa perasaan yang mengembang.
“Tidak ada yang ingin berharap begitu.”
“Jangan menangis. Apalagi karena aku. Nggak guna.”
Gadis itu mengangguk. Meski begitu, jari-jemarinya tetap mengusap matanya yang memerah. Sengguk tangis tertahan kian terdengar. Ia kehilangan dan kehilangan ini terdengar seperti keinginannya.
Lelaki itu tetap melanjutkan bicara dengan suara bergetar.
“Aku lebih milih kamu bahagia, meski alasan senyummu bukan lagi aku.”
“You too. Your idiot smile, I will miss it, I guess?”
Keduanya berusaha saling melempar senyum, tanpa tau kondisi hati mereka sebenarnya.
“Mau aku anter pulang?”
“Iya, ayo.”
“Nggak usah, Bin. Aku masih lama di sini.”
Harusnya hari ini kamu mendukungku, menyemangatiku karena aku butuh itu. Kurasa kamu pun juga membutuhkannya. Hanya saja gengsi kita yang terlalu besar sukses menghalang segalanya. Kita kalah. Kita berdua.
Lelah setelah berlayar, kini tak ada lagi alasan untuk tidak menepi. Tapi kuharap hatimu tetap tak jatuh, pada yang lain. Setidaknya sampai aku benar-benar berhasil menepi, berhasil tidak mencintaimu lagi.
2 notes
·
View notes
Text
“Keramahan adalah Make-up Terbaik,” katanya.
Entah dari mana aku mulai bercerita tentang laki-laki itu. Pagi itu tepat di jantung bandara suasana kacau. Pesawat menuju Palembang delay. Orang-orang ramai sibuk bertanya sebab dan kapan pesawat kami akan diberangkatkan. Banyak penumpang berkerumun di meja petugas. Sedangkan aku? Aku hanya duduk diam, gelisah, risau, ketakutan sambil memegang gawai kecil, dan memandangi dokumen tender yang harus aku submit sebelum pukul 14.00 hari itu. Ingin sekali mengeluh dan marah tapi rasanya tak guna.
Saat itu aku bingung harus bagaimana. Aku takut karena aku bertanggung jawab atas dokumen tender itu. Aku ingin sekali tenang dan berpikir apa yang harus kulakukan. Tapi di telingaku begitu ramai. Suara orang marah-marah, mengeluh, dan helaan pasrah beberapa penumpang. Termasuk aku salah satunya. Huft…
Tiba-tiba ada suara seorang laki-laki, “Senyum dan keramahan seorang perempuan adalah make up terbaik menurutku.” Aku refleks mencari sumber suara itu. Apakah itu tertuju untukku atau bukan. Aku tengok ke kanan kiri, ternyata dia ada di belakangku. Tidak banyak yang aku lakukan setelah melihatnya, hanya tersenyum kecil dan kembali menghadap depan seperti posisiku semula.
Tak lama, dia pindah tempat duduk di sebelahku. Kemudian kami terlibat percakapan. Dia tanya, “Kenapa kamu cuma duduk diam, tidak mencari tahu sebab pesawatmu delay atau estimasi keterlambatan?” Kujawab, “Aku bingung, aku takut. Ini adalah perjalanan pertamaku untuk mengurus dokumen tender. Aku bertanggung jawab atas project ini. Paling lambat pukul 14.00. Sedangkan aku masih harus menempuh perjalanan darat dari Bandara ke Plaju kurang lebih 1 jam.“
Dia bicara lagi, “Oke, aku beritahu ya. Pesawat kita delay karena Palembang hujan sangat deras dan jarak pandang terbatas. Sehingga pihak maskapai mengambil keputusan untuk menunda keberangkatan pesawat. Saya pun juga belum dapat kepastian kapan pesawat akan diberangkatkan.” Belum sempat kuberi respon, dia melanjutkan lagi, “Oiya, saranku kabari kantormu tentang keadaan di sini. Semoga mereka mengerti dan memberimu dispensasi.”
Aku sedang tidak ingin bicara banyak. Tapi rasanya kalau aku diam atas respon kabar dan saran yang dia berikan, angkuh sekali aku jadi manusia. Kujawab dengan sedikit senyum, “Terima kasih atas info dan sarannya yaa. Maaf belum bisa bicara banyak karena masih bingung, takut iya, kesal iya, marah iya.”
Dia jawab lagi, “Its okay. Take your time. Anyway, aku suka caramu meredam kesal dan marah dengan diam.” Kubalas dengan senyum.
Sejak saat itu kami saling diam. Sampai pesawat diumumkan bisa terbang 2 jam kemudian dan kami berpisah. Andai kami bertemu di waktu yang tepat mungkin tak kubiarkan ‘diam’ menjadi jarak di antara kami. Aku suka caranya menyadarkan diamku. Aku suka kalimat ini, “Senyum dan keramahan seorang perempuan adalah make up terbaik.” Ahh andai saja Tuhan berbaik hati, tolong pertemukan kami lagi yaa.
2 notes
·
View notes
Text
Pagi itu aku melihatnya sedang menyapu daun-daun mangga yang berserakan di halaman rumahnya ketika aku dan Kliwon tiba. Terakhir kali aku mampir ke rumah itu tiga tahun yang lalu, dan suasananya masih sama, sejuk. Ia tak meyadari kedatanganku sampai aku dan Kliwon mengetuk-ketuk teralis besi pagar rumah dengan arsitektur modern itu. Ia menoleh ke arah kami dengan pandangan bertanya-tanya, menyipitkan mata dan kedua alisnya mengerut berkumpul di dahinya. Karena sadar mungkin saja dia pangling setelah sekian lama tak bertemu, aku melepas helm dan kaca mata minusku dan melempar senyum semanis mungkin kepadanya.
“Ah Andi…” teriaknya setelah hampir 10 detik mengamati. Ia bergegas membuka pagar besi yang cuma setinggi dada.
“Hai Kristin! Kukira tadi aku salah orang atau kamu sudah sepenuhnya amnesia. Aku begitu cemas.” Aku menyalaminya.
Ia tertawa, “70 persen, amnesia.”
Lesung di kedua pipi Kristin kini tampak begitu nyata. Kesan terkuat yang teringat olehku tentang Kristin… ya lesung indah itu. Kini tidak samar-samar lagi setelah mengendap begitu lama dalam bayang-bayang.
Aku dan Kliwon kemudian menikmati suguhan secangkir kopi dan camilan biskuit. Duduk mengobrol di beranda rumah. Berkali-kali nostalgia dan bertukar kabar. Lalu tiba pada satu momen ketika semuanya menjadi hening. Senyap dan menegangkan.
“Sudah setengah tahun ini…” Kata Kristin lirih. Matanya menerawang jauh ke atas seakan-akan mampu menembus awan, “Aku tidak pernah mendengar kabar apapun tentang Albar…”
Hening menyergapku. Sebetulnya aku menanti-nantikan momen ini, tetapi ketika momen itu tiba, entah bagaimana sekujur tubuhku tiba-tiba dilanda hawa yang begitu dingin, darahku seperti membeku. Aku masih menunggu. Kristin mengerlingkan matanya kepadaku.
“Ada apa dengan dia?”
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku, sebagai jawaban aku mengeluarkan sesuatu untuk dia dari dalam tasku.
Mata Kristin terbelalak melihatnya.
***
Di tempat lain di timeline yang berbeda, di sebuah ruang keluarga, hening bergelayut merambati malam. Sebuah asbak tergeletak sedih di atas meja, ia menampung abu lama yang telah mengeras, dan segunung abu baru yang pucat. Kopi-kopi tinggal setengah dalam gelas, menampakkan lingkaran hitam yang tingginya nyaris sama persis satu sama lain. Satu dua semut berlarian di meja yang lengket oleh lingkaran-lingkaran bekas kopi.
“Semalam kami sempat berdiskusi dengan Pak Haji Salim…”
“Aku tak paham maksudnya, Pak Dhe?” Albar merebahkan punggunya di senderan sofa di samping ibunya.
Orang yang duduk di seberang Albar dan di sapa dengan Pak Dhe itu mengerlingkan matanya ke arah Bu Aisyah, Ibu Albar, di depannya dan kepada Ayah Albar di sampingnya. Semua orang diam.
Pak Dhe menghisap rokok kreteknya dan perlahan-lahan mengepulkan asap dari bibirnya yang berkumis keperakan. Ia menjentikkan jarinya di atas asbak lalu menatap Albar dengan penuh perhatian.
“Kamu mengenal putrinya…” Kata Pak Dhe akhirnya dengan sangat hati-hati memecah kebisuan.
“Annisa.” Alis Albar terangkat.
“Kamu akan menikah dengannya.”
Bagai tersengat listrik, mata Albar terbelalak. Ia terhenyak di kursinya dan dunianya tiba-tiba goyah. Ia kaget setengah mati.
“Kami mendiskusikan ini, karena kami beberapa kali mendapati kalian sering jalan-jalan bersama. Kami mendapati kalian sering tersenyum satu sama lain. Kalian sudah menjadi buah bibir tetangga. Dan kami setuju untuk menikahkan kalian berdua. Kalian sungguh serasi. Annisa cantik, pinter, rajin mengaji, berbakti dengan orang tuanya. Ia juga sangat sopan terhadapan tetangga-tetangganya.” Jelas Ayah Albar. Ia seorang pendiam dan tak terbiasa berbicara panjang lebar, tetapi untuk Albar ia melakukannya.
“Lagi pula hasil hitungan weton kalian…. sempurna.” Pak Dhe menambahkan.
“Tidak. Aku telah memutuskan akan menikah dengan seseorang,” Albar menoleh kepada Ibunya, ia menatap lekat-lekat ke dalam mata ibunya, lalu katanya dengan lirih “Kristin.”
“Kristin?!” Bu Aisyah tersentak tak kalah kaget dan langsung muntab tak karu-karuan “Kristin seorang Kristen itu? Tidak Albar! Tidak!”
“Ibu tahu ia seorang Kristen?”
Kedua mata anak beranak itu saling bersitatap, membaca ke dalam pikiran satu sama lain. Lapisan-lapisan ingatan yang telah mengendap kini mengapung kembali. Setengah tahun yang lalu Albar mengajak teman-temannya dalam rombongan untuk mendaki gunung. Dalam perjalanan itu mereka singgah ke rumah Albar. Kristin ikut dalam rombongan itu.
“Ibu perkenalkan temen-temen Albar…” Albar menunjuk satu persatu teman-temannya “Ini Satria, Maulana, Ridho, Idris, Farisa, Laksmi, Nina…” mereka bersalaman berganti-gantian, “… dan ini… Kristin.” Albar tersenyum begitu pula Kristin.
“Kristin?” ulang Ibu Albar lirih.
Kristin tersenyum bersalaman dan mencium tangan Bu Aisyah.
“Ibu?” Albar memanggil. Menyadarkan ibunya dari lamunan.
“Kristen, Budha Hindu… Kamu tidak akan menikah dengan orang-orang ini. Kamu seorang Muslim, Albar! Ibu tidak akan pernah merestui kamu menikah dengan perempuan bernama Kristin ini!”
“Tapi, Bu!”
“Tidak!!!” tegas Bu Aisyah “Kamu seorang Muslim! Kamu tidak akan pernah menikah dengan seorang Kristen atau orang beragama apapun lainnya. Kalau kamu melakukannya… kamu tidak akan lagi menjadi anggota keluarga ini, namamu akan di hapuskan dari daftar keluarga. Nasab dan cabang keluargamu akan diputuskan. Kamu akan diasingkan dan tidak diterima lagi di kampung halaman ini! Paham?!!”
Albar mengepalkan tangannya, mengeraskannya. Bulir-bulir keringat jatuh dari pelipisnya. Tubuhnya tegang. Tulang-tulang rahangnya menonjol. Albar melenggang pergi meninggalkan Ibunya, Pak Dhe dan… dan ayahnya yang diam seribu bahasa mengamati ketegangan itu.
Albar mengemasi barang-barangnya. Apapun dijejalkan dengan marah kedalam keril peralatan mendaki gunungnya. Albar terhenyak dan frustasi.
***
Sebulan yang lalu, bulan Mei, di suatu stasiun. Kristin memeluk Albar begitu erat. Ia tak peduli dengan orang yang sedang berlalu lalang di sekitarnya. Pegangan tangannya begitu kuat dan tak ingin terlepaskan. Kristin tak rela melepas kepergian Albar sore itu.
“Aku pulang dulu…” ungkap Albar lirih namun oleh Kristin hanya disambut dengan genangan air mata yang meleleh di pipinya. Ia menggeleng-geleng.
“Kristin…” Albar mengelus pipi Kristin dengan tangan kanannya. Sementara tagan kirinya tak dibiarkan sekejap pun oleh Kristin lepas dari genggamannya yang erat. “Kristin, apakah sesuatu telah terjadi?” Albar menghapus air mata yang terus bercucuran di pipi Kristin. “Aku hanya pulang sebentar seperti yang selalu terjadi. Pulang dan kembali lagi ke sini. Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?”
Kristin menggeleng.
Albar meraih pinggang Kristin, menariknya kedalam pelukan dan mendekapnya dengan penuh kasih sayang.
Kristin menangis, wajahnya ia benamkan di dada Albar.
Peluit meraung-raung.
Sekali lagi Albar memberikan pelukan terhangatnya. Lalu ia mencium kening Kristin. Dengan rasa berat perlahan-lahan Kristin melepaskan pengangan tangannya.
Sepasang kekasih itu saling melambaikan tangan. Dan mereka berpisah.
Itu adalah kenangan terakhir Albar kepada Kristin. Lambaian tangan itu. Dan tangis yang masih bercucuran di pipi indahnya.
~~Dermaga saksi bisu, waktu ku kecup keningmu// perlahan kau lepaskan pegangan tanganku// aku lihat kau menangis//~~
~~Lambaian tanganmu masih ku ingat selalu// itu yang terakhir ku melihat dirimu//~~ (Bukan aku Tak Cinta: Iklim)
Terasa sesak dan begitu sebah di dada mengenang kisah cinta dan jalinan asmara yang sudah dijalani bersama-sama selama 5 tahun itu. Kisah cinta yang saling memahami, saling menjaga dan tak pernah mempertanyakan ataupun mempersoalkan tentang keyakinan beragamanya satu sama lain. Mereka begitu toleran. Bahkan terlalu sering dan teramat sering Kristin mengantar dan menanti ketika Albar hendak menjalankan ibadah sholat Jum’at. Begitu pula Albar berulang kali mengantar atau menjemput Kristin di Gereja pada Kebaktian di hari Minggu.
***
Tak pernah terbayangkan oleh Kristin, ia akan menerima surat undangan dari Albar. Tak pernah sekejap saja—sekalipun hanya dalam angan-angan—Kristin pernah membayangkan akan menerima undangan pernikahan dari lelaki bernama Albar, kekasihnya. Dan sangat sulit bagi Kristin untuk mempercayainya; sangat tidak mudah baginya untuk menerima kenyataan bahwa undangan itu benar-benar dari Albar dan dikirimkan khusus kepadanya setelah apa yang mereka jalani bertahun-tahun di tanah perantauan.
Cinta dan realita memang terkadang sangat aneh. Cinta tak pernah bisa dilogika, dan realita sekalipun sangat nyata seringkali tak mudah untuk diterima. Bagaimana tidak aneh, Albar sangat mencintai Kristin begitu juga sebaliknya, Kristin sangat mencintai Albar bahkan Kristin sangat yakin, dunia tidak akan pernah ada tanpa Albar. Namun bila dihadapkan dengan realita, cinta, hanya sekedar cinta saja, ia tak cukup untuk menyatukan dua hati manusia dalam ikatan suci pernikahan. Maka sungguh sangat naif, mereka yang memandang cinta adalah segala-galanya. Sungguh naif apalagi jika dihadapkan dengan keabadian, cinta dua orang manusia adalah fana belaka.
~~Lalu kucoba bertanya untuk apa cinta kita// sekian lama kita bina hanya berbuah derita// Oh Sheila tabahkanlan suratan di dirimu// Oh Sheila relakanlah kita harus berpisah//~~ (Sheila: Iklim)
Malam telah larut. Melalui jendela Kristin melihat jalanan telah sepi. Pohon mangga di halaman bergoyang-goyang tertiup angin, beberapa daun jatuh. Garis-garis gerimis yang lembut terlihat begitu jelas di bawah bohlam lampu jalanan. Garis-garisnya yang serupa jarum menambah pedih yang menusuk-nusuk dada Kristin.
Kristin memandangi bayangan dirinya yang jatuh dalam cermin meja riasanya. Rambutnya berantakan awut-awutan. Bekas air mata yang telah mengering begitu jelas di bawah matanya yang sembab. Di genggaman tangannya ia memegang surat undangan pernikahan Albar yang dititipkan kepada sahabatnya.
“Dak dak dak…”
Kristin sadar dari lamunanya.
“Dak dak dak…” Seseorang mengetuk kaca di jendela kamarnya.
“Dak dak dak…” terdengar lagi ketukan itu, lebih keras.
Kristin membuka jendela kamarnya yang berada di lantai dua.
“Al… Al… Albar?” seru Kristin kaget bukan kepalang.
Albar tak peduli. Ia membuka lebar jendela itu dan masuk ke dalam kamar Kristin dan langsung memeluknya. Erat sekali pelukannya. Kristin terbujur kaku. Kaget dan tak percaya. Ia begitu shock hingga tak sanggup membalas pelukannya.
Bermenit-menit lamanya sepasang kekasih itu berpelukan. Memadu rindu yang tak karuan. Keduanya memejamkan matanya. Melepaskan beban dan resah yang seakan-akan tak bisa mereka tanggungkan.
“Albar…” bisik Kristin.
Albar membalas dengan memeluknya lebih erat.
“Kenapa kau ada di sini? Bukankah esok kamu akan melaksanakan akad yang suci itu?”
“Diam, Kristin!” geram Albar.
Kristin akhirnya membalas pelukan Albar setelah sekian lama, sejak terakhir kali di stasiun.
“Jelaskan padaku, Al.” Kata Kristin tenang.
“Aku mencintaimu, Kristin.” Jawab Albar.
Kristin menggeleng dalam pelukan Albar.
“Apa artinya ini?” Kristin mengisyartkan akan undangan itu, “Aku tidak ingin menjalani kehidupan yang seperti ini, Al”
Mereka kemudian saling melepas pelukannya. Mata sepasang kekasih itu saling bersitatap.
“Semoga engkau bahagia, Al.” Mata Kristin yang telah mengering itu meneteskan air mata cintanya sekali lagi dan membasahi Undangan Pernikahan itu.
~~Surat undanganmu pernikahan itu kugenggam erat di tanganku// hanya do’a restu yang kupersembahkan semoga engkau bahagia//~~ (Surat Undangan: Poppy Mercury)
Naifnya Cinta © Andy Riyan | 2019
1 note
·
View note