#ceritaseharihari
Explore tagged Tumblr posts
Text
Asy raqol badru alaina… Terbitlah purnama di atas kita. Fakhtafat minhul buduru… Tertutuplah karenanya, purnama-purnama.
Misla husnik ma ra aina… Keelokan sepertimu, tiada kami pernah melihatnya. Qottu ya wajha as sururi… Wahai engkau, si paras berseri.
Anta syamsun… engkaulah mentari. Anta badrun… engkaulah purnama. Anta nuurun… engkaulah cahaya. Fauqo nuri… di atas cahaya.
Anta Iksiru wa gholli… engkaulah eliksir yang amat berharga. Anta misbakhus suduri… engkaulah pelita setiap jiwa.
Ya khabibi… wahai kekasihku, Ya Muhammad… wahai Muhammad. Ya ‘arusal khofiqoini… wahai yang menjadi pusat perhatian di timur dan barat.
Ya muay yad… wahai yang dikuatkan. Ya mumaj jad.. Wahai yang diagungkan. Ya imamal kiblataini… wahai pemimpin dua kiblat.
Hatiku selalu bergetar setiap mendengar dan setiap mendendangkan syair Barzanji Nazhm ini. Hatiku jadi penuh dengan rindu kepada sang kekasih, Sang Sulthonul Anbiya. Setiap Rabu malam, kami mendendangkan sayir ini… dan sekarang menjadi lebih sering, setiap malam di 12 hari pertama bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran dan bulan wafatnya beliau Rosulullah Saw.
Muslim di seluruh dunia tahu, syair tadi dilagukan ketika Mahalul Qiyam, posisi berdiri. Itu adalah sebuah isyarat bagi kami bahwa kami sedang menantikan beliau. Kami sedang merasakan beliau hadir di tengah-tengah kami. Kerinduan menjadi begitu membuncah… karena kami mengerti betul makna dari syair ini.
“Eh…” Aku menyenggol teman SMP ku sebut saja namanya Zakiyah, “Sudah lama sekali aku tidak membaca Thola’al badru…” kataku padanya malam itu ketika kegiatan Diba-an selesai.
“Iya aku juga.” Sahut teman lama yang sekarang jadi Guru Sejarah Islam di suatu madrasah. “Itu kan lagu yang didendangkan perempuan-perempuan Yastrib ketika Nabi tiba dari Mekkah.”
“Ah kamu ngarang…”
Zakiyah menatapku dengan pandangan yang aneh. Dia kaget. Tentu saja dia kaget. Dia guru Sejarah Kebudayaan Islam, bertahun-tahun meyakini bahwa lagu yang kami singgung tadi adalah sebuah syair yang didendangkan ketika Rosulullah Sholallahu alaihi wa alaihi wasalam dalam peristiwa hijrah dari Kota Makkah menuju Kota Yastrib yang kemudian berubah menjadi Madinatul Munawaroh, Kota Nabi.
Yang sering kudengar juga sama. Seperti itu lah kisah yang kami dengar. 13 tahun yang lalu kami berada di sekolah yang sama.
Zakiyah adalah guru yang cerdas dan pintar. Dia pencerita yang cakap. Penyampai pesan yang ulung. Suaranya lembut dan enak didengarkan. Semua orang terpana jika menyimak dia berbicara. Dan dia juga… well, seorang ahli debat yang hebat. Tetapi dia hanya terpana melihatku ketika aku menyinggung dan mengatakan kepadanya kalau dia ngarang soal peristiwa yang terjadi dalam syair ‘Thola’al Badru…’ itu.
Zakiyah tahu aku tidak asal bicara ketika mengatakan bahwa Zakiyah ngarang soal itu. Kalau bukan aku yang mengatakannya, besar sekali kemungkinannya dia akan merepet menjelaskan kronologinya dari awal sampai akhir. Besar sekali kemungkinannya dia akan sangat cerewet lempar sana lempar sini, seperti yang sering terjadi. Masalahnya aku yang mengatakannya… dia tak pernah menduga, aku akan sekejam itu.
Zakiyah diam saja. Ia sudah pulih dari kekagetannya, mungkin. Zakiyah kulihat kemudian, tampak menikmati hidangan berupa snack ringan yang dibawa jamaah, yang digilir semalam 4 orang. Ia mengabaikan aku secara total.
“Ah tak ada diskusi malam ini…” kataku lirih kepada diri sendiri.
Aku pun lalu teralihkan dan terhanyut dalam suasana kegembiraan dan kemesraan. Menikmati hidangan snack ringan sambil ngobrol ngalor ngidul dengan orang yang berada di dekatku. Meskipun di kepalaku masih, tak berhenti, terus terngiang-ngiang sebuah syair:
Thola’al badru alaina… terbitlah purnama di atas kita. Min Tsaniyyatil Wada…* dari Tsaniyyat Al Wada.
Wajaba sukru ‘alaina… wajiblah bersyukur atas kita. Mada’a lillahi da’… ketika seorang penyeru, menyeru (mengajak) kepada Allah.
Ayyuhal mab’usu fina… wahai yang diutus kepada kami. Ji` ta bil amril mutho’… engkau datang dengan perintah yang ditaati.
Anta Ghousuna Jami’a… engkaulah pelindung kami semua. Ya mujammalal tiba’… wahai yang elok budinya.
“Jelaskan buku apa yang kamu baca itu…” Kata Zakiyah dingin. Sementara kakinya bergerak menyingkarkan sandal milikku tepat ketika aku ingin memakainya setelah acara Diba malam itu selesai.
“Ha?”
Zakiyah memunggungiku. Ia menyingkirkan sandalku semakin menjauh dariku dengan kakinya.
“Woi, Koplak! Kembalikan sandalku!”
Ingin sekali kulempar dia dengan apa saja. Tapi sial tak ada apa-apa, cuma buku Diba yang berada di tanganku.
Zakiyah menoleh, “Janji…”
“Hah janji?” aku tak paham, “Janji apa maksudmu?”
“Kamu akan mengatakan semua yang kamu ketahui…” Zakiyah mebalikkan badan mentapku lurus dan dingin, “Soal syair yang katamu… aku ngarang itu.”
Aku melihat kakinya sudah siap-siap menendang sepasang sandalku keluar dari arena masjid menuju selokan air di bawah sana. Aku terpana melihat sorot matanya yang… seperti orang yang sedang penuh dengan amarah, tatapan mata yang penuh benci. Sangat mengancam.
Aku menelan ludah.
“Tendang aja kalau…”
Dengan sekuat tenaga, dua kali Zakiyah menendang sandalku kuat-kuat. Satu sandalku masuk ke dalam got, yang lain terlempar ke jalanan jauh sekali.
“Ha matek aku…” aku benar-benar tak menduganya.
“Apa!” Lengking Zakiya. Kemudian ia berlalu begitu saja
Tapi sebelum berlalu aku sempat menangkap kilasan yang membingungkan. Samar-samar kulihat… mungkin perasaanku saja… Zakiyah tersenyum. Tipis sekali dan sekejap saja. Aku terpana. Aku penasaran, senyum itu… sebentar… apakah dia tersenyum padaku?
*Note:
Menurut Quraish Shihab perlu bagi kita untuk meninjau ulang kebenaran kisah Thola’al Badru ini apakah benar didendangkan saat Nabi tiba di Madinah dalam peristiwa Hijrah yang terkenal itu. Sebab menurut Ibnu al-Qoyyim, sebagaimana yang juga dikutip oleh Pak Quraish Shihab dalam bukunya: Membaca Sirah Nabi Muhammad, terbitan Lentera Hati, bahwa Ibnu al-Qayyim tidak sependapat dengan yang menyatakan bahwa syair-syair di atas (syair Thola’al badru…) didendangkan ketika menyambut Nabi dari Makkah, karena pendatang dari Makkah tidak melalui Tsaniyat Al Wada’. Syair tersebut, menurut beliau, didendangkan ketika Nabi kembali dari Tabuk, karena yang datang dari sanalah yang melalui lokasi Tsaniyyat Al Wada’.
2 notes
·
View notes
Text
Bayanganmu
Bulan purnama menjadi pemandangan untukku dan dia, tanpa sadar sentuhan bibirnya mendarat dengan lembut dibibirku. Kami berdansa dibawah cahaya bulan dan tentu saja lampu rumah kami juga. Dia menatap lembut diriku dengan senyuman kecil manisnya. Kenangan yang tidak akan terlupakan bukan? Kini aku hanya bisa terdiam dan menangis, karena itu adalah kenangan kita kemarin bukan? disaat kamu masih…
View On WordPress
#cerita#ceritacerita#ceritacinta#ceritapendek#ceritapendekindonesia#ceritaseharihari#cerpenindonesia#tulisan
0 notes
Text
Terserah kamu mau kemana, jika itu buatmu nyaman & senang pertahankan..
Jasak
0 notes
Text
Saya selalu merasa aneh. Ada segelintir remaja yang sekolah di kota besar, tetapi berperilaku dan bertutur kata yang sangat kurang ajar. Bergurau tidak pantas, dengan secara langsung menghina suku atau ras tertentu. "Apakah pendidikan di kota Besar sudah mendekati kata "sukses"?" Pikirku. Sedangkan orang-orang yang berada di kota-kota yang berkembang (atau bahkan terpencil) bisa jadi, lebih beradab dalam bertingkah laku dan bertutur kata. "Ah, itu hanya bias. Mungkin orang tua mereka lupa mengajarkan kesantunan dalam berkehidupan". #ceritaseharihari
1 note
·
View note
Photo
[Page 217 of 366] weekend should come with a pause button ● 5 Agustus 2016 Ps: Kerjaan kalau diturutin nggak ada habisnya #fujifilmxa2_id #fujifilm_id #gofujifilm #standingsolo #instagramstory #ceritaseharihari #blogger #ootd #ootdindohijabers
#instagramstory#gofujifilm#ootdindohijabers#blogger#ceritaseharihari#standingsolo#ootd#fujifilmxa2_id#fujifilm_id
1 note
·
View note
Text
Kebalikan
Ketika ada yang datang pasti akan ada yang pergi. Begitu pun sebaliknya. Bumi ini berputar, yang ada di samping kita tidak akan tetap selamanya akan berada menemani kita. Orangtua, keluarga, sahabat, teman, semuanya yang dekat dengan kita pasti akan pergi sewaktu-waktu. Nah, jika sebelumnya aku diperlihatkan kuasa-Nya dengan dibalikkan sifat seseorang yang semula sehangat mentari menjadi sedingin es, kali ini aku diperlihatkan kebalikannya. Subhanalloh, membuat diri ini merinding sekali mengalaminya sendiri.
Dalam sebuah kelompok cukup besar mengharuskan kami untuk bersama-sama dalam waktu yang cukup lama. Namun, di dalam kelompok itu aku tidak terlalu bisa berbaur dengan keseluruhan anggotanya. Entahlah. Mungkin karena aku aneh atau aku terlalu istimewa? Hehe. Hanya beberapa saja yang dekat dengan aku. Aku sering memperhatikan anggota kelompok lainnya. Memahami tiap-tiap karakter dalam diam. Hal ini membuatku asyik sendiri, seperti sedang bermain tebak-tebakan. Hingga tiba pada suatu hari, salah satu dari mereka (perempuan) menegurku. Ah bukan, sepertinya ini lebih dari menegur, dia mengajakku berbicara. Aku merasa aneh. Karena meurut pengamatan dalam diamku, dia orangnya memang baik hanya saja terlalu pemilih untuk siapa-siapa saja yang bisa dijadikan temannya. Dan seingatku, kita ini tidak pernah melakukan percakapan walaupun sedang terlibat dalam satu proyek tugas. Dan hari itu dia mengajakku berbicara lebih dari tiga kali. Tidak ada yang spesial, hanya saja aku sempat berfikir mungkin selama aku berada dalam kelompok ini tidak mungkin aku berbicara dengan dia. Tapi ternyata salah, buktinya hari ini kita berbicara. Tentu saja atas kehendak-Nya ^^
Sungguh memang hanya Dia yang Maha segalanya dan hanya Dia-lah penulis cerita skenario terapik, sang sutradara terbaik bagi kehidupan kita. Subhanalloh. Alhamdulillah. Laa Illaha Illalloh. Allohu Akbar.
0 notes
Conversation
Lapor SPT OP
Obrolan random ditengah chat tentang pelaporan SPT
X : Kita berarti 1770SS yak? wqwq
Y : Iya. Disitu kadang saya merasa sedih.
X : BARU NGEH DEEEH GA BOONG. RESOLUSI TAHUN DEPAN 1770 S. WQWQWQ. TAHUN DEPANNYA LAGI 1770 BIASAA ~~~~~AHAHAHA
Y : RESOLUSI TAHUN DEPAN : SPT GABUNG SAMA SUAMI. Buahaha
X : OIYAK LEBI HKETJEEEHHH. ga kepikiran.berarti resolusi tahun depan hapus NPWP karena gabung sama suamiiiii. HAGHAGHAGGG
Maklumin aja, namanya juga anak pajak, jomblo pula. Eh single. :D
3 notes
·
View notes
Text
Pagi itu aku melihatnya sedang menyapu daun-daun mangga yang berserakan di halaman rumahnya ketika aku dan Kliwon tiba. Terakhir kali aku mampir ke rumah itu tiga tahun yang lalu, dan suasananya masih sama, sejuk. Ia tak meyadari kedatanganku sampai aku dan Kliwon mengetuk-ketuk teralis besi pagar rumah dengan arsitektur modern itu. Ia menoleh ke arah kami dengan pandangan bertanya-tanya, menyipitkan mata dan kedua alisnya mengerut berkumpul di dahinya. Karena sadar mungkin saja dia pangling setelah sekian lama tak bertemu, aku melepas helm dan kaca mata minusku dan melempar senyum semanis mungkin kepadanya.
“Ah Andi…” teriaknya setelah hampir 10 detik mengamati. Ia bergegas membuka pagar besi yang cuma setinggi dada.
“Hai Kristin! Kukira tadi aku salah orang atau kamu sudah sepenuhnya amnesia. Aku begitu cemas.” Aku menyalaminya.
Ia tertawa, “70 persen, amnesia.”
Lesung di kedua pipi Kristin kini tampak begitu nyata. Kesan terkuat yang teringat olehku tentang Kristin… ya lesung indah itu. Kini tidak samar-samar lagi setelah mengendap begitu lama dalam bayang-bayang.
Aku dan Kliwon kemudian menikmati suguhan secangkir kopi dan camilan biskuit. Duduk mengobrol di beranda rumah. Berkali-kali nostalgia dan bertukar kabar. Lalu tiba pada satu momen ketika semuanya menjadi hening. Senyap dan menegangkan.
“Sudah setengah tahun ini…” Kata Kristin lirih. Matanya menerawang jauh ke atas seakan-akan mampu menembus awan, “Aku tidak pernah mendengar kabar apapun tentang Albar…”
Hening menyergapku. Sebetulnya aku menanti-nantikan momen ini, tetapi ketika momen itu tiba, entah bagaimana sekujur tubuhku tiba-tiba dilanda hawa yang begitu dingin, darahku seperti membeku. Aku masih menunggu. Kristin mengerlingkan matanya kepadaku.
“Ada apa dengan dia?”
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku, sebagai jawaban aku mengeluarkan sesuatu untuk dia dari dalam tasku.
Mata Kristin terbelalak melihatnya.
***
Di tempat lain di timeline yang berbeda, di sebuah ruang keluarga, hening bergelayut merambati malam. Sebuah asbak tergeletak sedih di atas meja, ia menampung abu lama yang telah mengeras, dan segunung abu baru yang pucat. Kopi-kopi tinggal setengah dalam gelas, menampakkan lingkaran hitam yang tingginya nyaris sama persis satu sama lain. Satu dua semut berlarian di meja yang lengket oleh lingkaran-lingkaran bekas kopi.
“Semalam kami sempat berdiskusi dengan Pak Haji Salim…”
“Aku tak paham maksudnya, Pak Dhe?” Albar merebahkan punggunya di senderan sofa di samping ibunya.
Orang yang duduk di seberang Albar dan di sapa dengan Pak Dhe itu mengerlingkan matanya ke arah Bu Aisyah, Ibu Albar, di depannya dan kepada Ayah Albar di sampingnya. Semua orang diam.
Pak Dhe menghisap rokok kreteknya dan perlahan-lahan mengepulkan asap dari bibirnya yang berkumis keperakan. Ia menjentikkan jarinya di atas asbak lalu menatap Albar dengan penuh perhatian.
“Kamu mengenal putrinya…” Kata Pak Dhe akhirnya dengan sangat hati-hati memecah kebisuan.
“Annisa.” Alis Albar terangkat.
“Kamu akan menikah dengannya.”
Bagai tersengat listrik, mata Albar terbelalak. Ia terhenyak di kursinya dan dunianya tiba-tiba goyah. Ia kaget setengah mati.
“Kami mendiskusikan ini, karena kami beberapa kali mendapati kalian sering jalan-jalan bersama. Kami mendapati kalian sering tersenyum satu sama lain. Kalian sudah menjadi buah bibir tetangga. Dan kami setuju untuk menikahkan kalian berdua. Kalian sungguh serasi. Annisa cantik, pinter, rajin mengaji, berbakti dengan orang tuanya. Ia juga sangat sopan terhadapan tetangga-tetangganya.” Jelas Ayah Albar. Ia seorang pendiam dan tak terbiasa berbicara panjang lebar, tetapi untuk Albar ia melakukannya.
“Lagi pula hasil hitungan weton kalian…. sempurna.” Pak Dhe menambahkan.
“Tidak. Aku telah memutuskan akan menikah dengan seseorang,” Albar menoleh kepada Ibunya, ia menatap lekat-lekat ke dalam mata ibunya, lalu katanya dengan lirih “Kristin.”
“Kristin?!” Bu Aisyah tersentak tak kalah kaget dan langsung muntab tak karu-karuan “Kristin seorang Kristen itu? Tidak Albar! Tidak!”
“Ibu tahu ia seorang Kristen?”
Kedua mata anak beranak itu saling bersitatap, membaca ke dalam pikiran satu sama lain. Lapisan-lapisan ingatan yang telah mengendap kini mengapung kembali. Setengah tahun yang lalu Albar mengajak teman-temannya dalam rombongan untuk mendaki gunung. Dalam perjalanan itu mereka singgah ke rumah Albar. Kristin ikut dalam rombongan itu.
“Ibu perkenalkan temen-temen Albar…” Albar menunjuk satu persatu teman-temannya “Ini Satria, Maulana, Ridho, Idris, Farisa, Laksmi, Nina…” mereka bersalaman berganti-gantian, “… dan ini… Kristin.” Albar tersenyum begitu pula Kristin.
“Kristin?” ulang Ibu Albar lirih.
Kristin tersenyum bersalaman dan mencium tangan Bu Aisyah.
“Ibu?” Albar memanggil. Menyadarkan ibunya dari lamunan.
“Kristen, Budha Hindu… Kamu tidak akan menikah dengan orang-orang ini. Kamu seorang Muslim, Albar! Ibu tidak akan pernah merestui kamu menikah dengan perempuan bernama Kristin ini!”
“Tapi, Bu!”
“Tidak!!!” tegas Bu Aisyah “Kamu seorang Muslim! Kamu tidak akan pernah menikah dengan seorang Kristen atau orang beragama apapun lainnya. Kalau kamu melakukannya… kamu tidak akan lagi menjadi anggota keluarga ini, namamu akan di hapuskan dari daftar keluarga. Nasab dan cabang keluargamu akan diputuskan. Kamu akan diasingkan dan tidak diterima lagi di kampung halaman ini! Paham?!!”
Albar mengepalkan tangannya, mengeraskannya. Bulir-bulir keringat jatuh dari pelipisnya. Tubuhnya tegang. Tulang-tulang rahangnya menonjol. Albar melenggang pergi meninggalkan Ibunya, Pak Dhe dan… dan ayahnya yang diam seribu bahasa mengamati ketegangan itu.
Albar mengemasi barang-barangnya. Apapun dijejalkan dengan marah kedalam keril peralatan mendaki gunungnya. Albar terhenyak dan frustasi.
***
Sebulan yang lalu, bulan Mei, di suatu stasiun. Kristin memeluk Albar begitu erat. Ia tak peduli dengan orang yang sedang berlalu lalang di sekitarnya. Pegangan tangannya begitu kuat dan tak ingin terlepaskan. Kristin tak rela melepas kepergian Albar sore itu.
“Aku pulang dulu…” ungkap Albar lirih namun oleh Kristin hanya disambut dengan genangan air mata yang meleleh di pipinya. Ia menggeleng-geleng.
“Kristin…” Albar mengelus pipi Kristin dengan tangan kanannya. Sementara tagan kirinya tak dibiarkan sekejap pun oleh Kristin lepas dari genggamannya yang erat. “Kristin, apakah sesuatu telah terjadi?” Albar menghapus air mata yang terus bercucuran di pipi Kristin. “Aku hanya pulang sebentar seperti yang selalu terjadi. Pulang dan kembali lagi ke sini. Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?”
Kristin menggeleng.
Albar meraih pinggang Kristin, menariknya kedalam pelukan dan mendekapnya dengan penuh kasih sayang.
Kristin menangis, wajahnya ia benamkan di dada Albar.
Peluit meraung-raung.
Sekali lagi Albar memberikan pelukan terhangatnya. Lalu ia mencium kening Kristin. Dengan rasa berat perlahan-lahan Kristin melepaskan pengangan tangannya.
Sepasang kekasih itu saling melambaikan tangan. Dan mereka berpisah.
Itu adalah kenangan terakhir Albar kepada Kristin. Lambaian tangan itu. Dan tangis yang masih bercucuran di pipi indahnya.
~~Dermaga saksi bisu, waktu ku kecup keningmu// perlahan kau lepaskan pegangan tanganku// aku lihat kau menangis//~~
~~Lambaian tanganmu masih ku ingat selalu// itu yang terakhir ku melihat dirimu//~~ (Bukan aku Tak Cinta: Iklim)
Terasa sesak dan begitu sebah di dada mengenang kisah cinta dan jalinan asmara yang sudah dijalani bersama-sama selama 5 tahun itu. Kisah cinta yang saling memahami, saling menjaga dan tak pernah mempertanyakan ataupun mempersoalkan tentang keyakinan beragamanya satu sama lain. Mereka begitu toleran. Bahkan terlalu sering dan teramat sering Kristin mengantar dan menanti ketika Albar hendak menjalankan ibadah sholat Jum’at. Begitu pula Albar berulang kali mengantar atau menjemput Kristin di Gereja pada Kebaktian di hari Minggu.
***
Tak pernah terbayangkan oleh Kristin, ia akan menerima surat undangan dari Albar. Tak pernah sekejap saja—sekalipun hanya dalam angan-angan—Kristin pernah membayangkan akan menerima undangan pernikahan dari lelaki bernama Albar, kekasihnya. Dan sangat sulit bagi Kristin untuk mempercayainya; sangat tidak mudah baginya untuk menerima kenyataan bahwa undangan itu benar-benar dari Albar dan dikirimkan khusus kepadanya setelah apa yang mereka jalani bertahun-tahun di tanah perantauan.
Cinta dan realita memang terkadang sangat aneh. Cinta tak pernah bisa dilogika, dan realita sekalipun sangat nyata seringkali tak mudah untuk diterima. Bagaimana tidak aneh, Albar sangat mencintai Kristin begitu juga sebaliknya, Kristin sangat mencintai Albar bahkan Kristin sangat yakin, dunia tidak akan pernah ada tanpa Albar. Namun bila dihadapkan dengan realita, cinta, hanya sekedar cinta saja, ia tak cukup untuk menyatukan dua hati manusia dalam ikatan suci pernikahan. Maka sungguh sangat naif, mereka yang memandang cinta adalah segala-galanya. Sungguh naif apalagi jika dihadapkan dengan keabadian, cinta dua orang manusia adalah fana belaka.
~~Lalu kucoba bertanya untuk apa cinta kita// sekian lama kita bina hanya berbuah derita// Oh Sheila tabahkanlan suratan di dirimu// Oh Sheila relakanlah kita harus berpisah//~~ (Sheila: Iklim)
Malam telah larut. Melalui jendela Kristin melihat jalanan telah sepi. Pohon mangga di halaman bergoyang-goyang tertiup angin, beberapa daun jatuh. Garis-garis gerimis yang lembut terlihat begitu jelas di bawah bohlam lampu jalanan. Garis-garisnya yang serupa jarum menambah pedih yang menusuk-nusuk dada Kristin.
Kristin memandangi bayangan dirinya yang jatuh dalam cermin meja riasanya. Rambutnya berantakan awut-awutan. Bekas air mata yang telah mengering begitu jelas di bawah matanya yang sembab. Di genggaman tangannya ia memegang surat undangan pernikahan Albar yang dititipkan kepada sahabatnya.
“Dak dak dak…”
Kristin sadar dari lamunanya.
“Dak dak dak…” Seseorang mengetuk kaca di jendela kamarnya.
“Dak dak dak…” terdengar lagi ketukan itu, lebih keras.
Kristin membuka jendela kamarnya yang berada di lantai dua.
“Al… Al… Albar?” seru Kristin kaget bukan kepalang.
Albar tak peduli. Ia membuka lebar jendela itu dan masuk ke dalam kamar Kristin dan langsung memeluknya. Erat sekali pelukannya. Kristin terbujur kaku. Kaget dan tak percaya. Ia begitu shock hingga tak sanggup membalas pelukannya.
Bermenit-menit lamanya sepasang kekasih itu berpelukan. Memadu rindu yang tak karuan. Keduanya memejamkan matanya. Melepaskan beban dan resah yang seakan-akan tak bisa mereka tanggungkan.
“Albar…” bisik Kristin.
Albar membalas dengan memeluknya lebih erat.
“Kenapa kau ada di sini? Bukankah esok kamu akan melaksanakan akad yang suci itu?”
“Diam, Kristin!” geram Albar.
Kristin akhirnya membalas pelukan Albar setelah sekian lama, sejak terakhir kali di stasiun.
“Jelaskan padaku, Al.” Kata Kristin tenang.
“Aku mencintaimu, Kristin.” Jawab Albar.
Kristin menggeleng dalam pelukan Albar.
“Apa artinya ini?” Kristin mengisyartkan akan undangan itu, “Aku tidak ingin menjalani kehidupan yang seperti ini, Al”
Mereka kemudian saling melepas pelukannya. Mata sepasang kekasih itu saling bersitatap.
“Semoga engkau bahagia, Al.” Mata Kristin yang telah mengering itu meneteskan air mata cintanya sekali lagi dan membasahi Undangan Pernikahan itu.
~~Surat undanganmu pernikahan itu kugenggam erat di tanganku// hanya do’a restu yang kupersembahkan semoga engkau bahagia//~~ (Surat Undangan: Poppy Mercury)
Naifnya Cinta © Andy Riyan | 2019
1 note
·
View note
Text
Suasana
Jatuh cinta dan menyukai seseorang, mungkin semua orang akan merasakan atau sedang dalam suasana itu? atau mungkin sudah pernah melaluinya. membuat dunia lebih berwarna bukan? Mungkin dengan melihat pepohonan dari jendela kamarmu akan menjadi lebih indah, walau sebelumnya setiap hari pemandangan itu tetap seperti itu. Merasakan hembusan angin seperti sentuhan lembut darinya, walau sebelumnya…
View On WordPress
0 notes
Text
Kopi Gunung Padang
Assalamualakum, hai hai.. gimana nih kabarnya? semoga selalu dalam keadaan baik yah aamiin, jadi gini saya mau cerita nih pengalaman saya waktu pergi ke Gunung Padang yang di Cianjur Jadi saya tuh sebelumnya memang suka dengan kopi tapi cuman sekedar suka aja gak harus kopi hitam, mau kopi kemasanpun sebenarnya tidak masalah buat saya. Nah, karena saya suka dengan kopi saya jadi penasaran dengan…
View On WordPress
#cerita#ceritacerita#ceritapendek#ceritaseharihari#cerpen#cerpenindonesia#cianjurpunya#kuliner#kulinercianjur#kulinerindonesia#minuman#story#tulisan
0 notes
Text
Ini Ceritanya
Hanya ada aku dan bunyi denting jam disaat aku membuka mata, aku berada di kamarku yang ada dilantai dua dan aku melihat sekelilingku. Aneh, apa ini benar rumahku? perasaan itu muncul begitu saja, aku terbangun dan keluar dari ranjangku, membuka pintu kamar dan mulai menelusuri rumahku. Mulai dari kamar orang tuaku yang berada sama di lantai dua lalu lanjut menuruni tangga untuk melihat sekitar…
View On WordPress
0 notes
Text
Menuju Awal Baru
Hai.. Assalamualaikum gimana kabarnya untuk kalian semua? semoga kalian selalu dalam keadaan baik – baik saja jiwa raga dan pikiran. hari ini aku mau nulis cerita pendek yang judulnya sudah aku pasang di atas hehehe, kalau gitu yuk mulai ceritanya. Tanggal 1 Januari sudah berada di depan mata dan hanya tinggal menghitung hari, yah malah hanya tinggal menghitung jam. Tapi bagaimana perjalanan…
View On WordPress
0 notes
Photo
[Page 216 of 366] One-to-one conversations with the people they manage, so that these kinds of issues can be discused naturally. ● 4 Agustus 2016 Ps: now, i know what to do on my age #silouette #fujifilmxa2_id #fujifilm_id #terfujilah #ceritaseharihari #gunungsalak
1 note
·
View note
Text
Cerita Sehari-hari
Hari ini kembali aku ditunjukkan bahwa Dia-lah yang Maha Segalanya, termasuk Yang Maha Membolak balikan hati manusia..
Dulu aku dipertemukan seseorang, perempuan.. Dia baik, pintar dan orangnya sangat aktif dibidang akademik maupun non-akademik. Saking aktifnya diorganisasi sana sini tak jarang dia keteteran mengurus semua jadwalnya. Singkat cerita, aku dan dia ini berada didalam satu kepanitiaan sebuah acara dan ada dalam satu divisi, Dari sana aku mulai memahami karakternya dia seperti apa, tentu saja versi aku. Dia kesulitan, aku bantu. Bagian pekerjaanku terlalu banyak, dia bantu. Seperti itu seterusnya hingga acara berjalan hingga selesai. Oh iya, kita ini berada dalam dua organisasi yang sama, sebut saja X dan Y. Tapi, aku memilih berhenti diorganisasi X karena beberapa alasan. Sekilas dari gambaran tadi, dapat sedikit terlintas hubungan kita ini bisa dikatakan cukup baikbukan? bahkan mungkin beberapa mengatakan baik. Ya. Karena itulah memang yang sebenar-benarnya terjadi.
Tapi ya memang, Alloh itu Maha Segalanya. Tidak lama semenjak aku berhenti dari organisasi X, semuanya berubah. Termasuk teman perempuan itu. Hari ini kita tidak sengaja bertemu dan dia hanya melihat ke arahku, tanpa menyapa, tanpa senyum apalagi berjabat tangan seperti biasanya. Aku yang melihat dia jelas saja spontan aku menyebut namanya. Dijawab? Tidak ~
Sungguh Demi Alloh aku tidak bermaksud membicarakan kejelekannya. Dari kejadian ini aku jadi mengerti bahwa semua sangatlah mudah bagi-Nya untuk merubah apapun termasuk hati manusia, membolak-balikan perasaan manusia. Semoga temanku satu ini selalu ada dalam lindungan-Nya.. Aamiin..
4 notes
·
View notes
Text
Kilas Balik 2014 (20 tahun)
Dalam beberapa jam kedepan usia saya akan segera bertambah, memasuki kepada dua dengan imbuhan angka satu dibelakangnya. Sedari pagi saya bangun bayangan 20 tahun yang sudah saya lewati muncul satu persatu, bagaimana masa kecil saya, hingga bagaimana saya menghabiskan usia 20 saya. Kalau ditanya bagaimana 20 mu? Usia 20 itu rasanya terlalu nano-nano. Ya, rame rasanya. Saya sendiri bingung menggambarkannya. Usia 20 kemarin atau bahkan hingga hari ini adalah masa-masa transisi saya, masa transisi dari dari mahasiswa jadi anak magang yang kemudian melewati probation dan akhirnya menjadi pegawai tetap, masa transisi dari full time student menjadi part time student and worker, masa transisi menyelesaikan kepengurusan yayasan, hingga masa transisi saya meninggalkan Depok dan memilih Kelapa Gading.
Jika dirangkum 20 tahun atau mungkin 2014 adalah masa di mana, “Decision is never easy”. Tapi kata Patrick Star, “Everything will be okay in the end. If it's not okay, it's not the end.” So 2014 is not the end, it’s a starting. Memulai banyak hal baru.
2014 adalah tahun yang sangat nano-nano, tahun yang luar biasa bagi saya. Tulisan ini akan menggambarkan cerita saya sepanjang 2014.
Januari :
Bulan di mana aktivitas perkuliahan saya berakhir. Saya memasuki semester 6 di mana sudah tidak ada lagi mata kuliah, yang ada hanya magang dan tugas akhir. Tempat magang saya yang pertama adalah kantor ini, MUC, Multi Utama Consultindo. Kantor yang memperkenalkan bagaimana dunia kerja, dan kantor dengan nuansa yang sangat mendekatkan diri pada Allah. Saya berada dibawah tim Dispute yang menangani masalah Pemeriksaan, Keberatan hingga Banding. Januari juga dimulainya dunia per-Swayanaka-an saya dengan amanah baru, Wakadiv PSDM. Kegiatan saya di Swayanaka diawali dengan menjadi Relawan Banjir di Kampung Melayu.
Februari :
Februari 2014 ini adalah bulan kegalauan magang. Perubahan pendelegasian pekerjaan yang tidak mengalami progress. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan MUC dan mencoba tes magang di tempat lain, di divisi yang saya inginkan saat itu, Transfer Pricing DDTC, dan saya diterima. Menandakah babak baru dalam kehidupan saya. Februari juga merubahan bulan special bagi saya, bulan di mana 2 orang terdekat saya berulang tahun, Ibu dan Mas Kiki (adik saya). Tapi Februari 2014 merupakan bulan di mana saya kehilangan Simbok, nenek dari ayah saya. Untuk kedua kalinya saya merasakan rasa kehilangan yang mendalam. Di bulan ini juga untuk pertama kalinya saya involve dalam program hibah riset. Dengan konsep pemberdayaan komunitas, community based, pemberdayaan Perpajakan bagi UMKM. Tapi sayangnya tidak lolos. :D Dunia per-Swayanakan saya? Banyak perubahan, jika sebelumnya saya Wakadiv PSDM, terjadi perubahan posisi yang membuat saya berganti menjadi Kadiv Pendidikan.
Maret :
A new beginning. Saya resmi resign dari MUC dan pindah berkantor di DDTC. Di setiap pilihan selalu ada konsekuensi. Memilih DDTC adalah murni pilihan saya, diterima mungkin pilihan Allah untuk saya. Namun resikonya adalah perpindahan. Ya, karena hidup adalah tentang perpindahan, saya pun menyiapkan perpindahan ini. Letak geografis kantor yang sangat jauh dari domisili saya membuat saya dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit (ini lebay). Saya tinggal di Depok, dan kantor di Kelapa Gading. Semua teman-teman menyarankan untuk segera mencari kost di Kelapa Gading. Tapi, saya dasarnya sulit meninggalkan Depok dan memang kekeuh akhirnya memilih melewati Depok-Kelapa Gading dengan berbagai cara yang saya pilih. Minggu pertama saya PP Depok-Kelapa Gading, naik KRL dan ganti angkot 2X. Rasanya? Badan rontok cyiiiiin, tapi saya masih kuat haha . Minggu kedua saya menginap dirumah teman di Cempaka Putih. Tapi karena tidak enak saya hanya menginap selama 1 minggu. Minggu ketiga, saya memilih tinggal di Halim, dan PP Halim-Kelapa Gading naik busway. Minggu keempat? Jangan ditanya. Setelah semua opsi saya coba saya akhirnya tepar sodara-sodara. Dan langsung memutuskan untuk mencari kost di Kelapa Gading. Kost saya di Depok? Tetap, saya punya 2 kostan saat itu. Saking cintanya sama Depok. Maret, bulan di mana saya menemukan teman-teman di Jakarta Utara. Yeaay! Semuanya kakak-kakak saya disini. Orang-orang yang menjadikan hari-hari saya lebih berwarna saat Kelapa Gading-Depok terasa jauh.
April- Mei :
Saya sangat menikmati masa-masa magang, bisa diibaratkan ekspektasi saya terpenuhi. Saya banyak belajar dan berdiskusi. Ilmu transfer pricing adalah ilmu baru yang tidak saya dalami di kampus. Di bulan April ini, saya nomaden, Kelapa Gading-Depok. Menghabiskan weekdays di Kelapa Gading, dan weekend di Depok. Ya, menikmati pilihan yang sudah saya ambil. Pada bulan ini saya mulai mengerjakan Tugas Akhir (TA) saya dengan kasus yang saya ambil di DDTC. Susah ternyata membagi waktu magang dan mengerjakan TA. Apa kabarnya TA? Masih nangkring tanpa progress. Dikerjakan menjelang deadline.
Juni :
Pada 20 Juni 2014, saya dinyatakan lulus oleh Penguji, Dr.Ning Rahayu. Setelah melewati pengerjaan yang dibarengi dengan magang, ditinggal dosbing ke Singapura hingga harus bimbingan di kantor dosbing saya, di Gedung BEI, akhirnya TA saya dinyatakan lulus uji. Saya adalah mahasiswa terakhir yang dinyatakan lulus di jurusan. Tapi TA hanya salah satu tangga yang telah saya lewati. Tangga lain telah menunggu, Pendaftaran Ekstensi. Jurusan yang saya pilih adalah Manajemen Salemba UI, dengan kemungkinan kombinasi, kerja Kelapa Gading dan kuliah di Salemba. Sebagai cadangan saya juga mendaftar di Akuntansi UNJ.
Juli :
Bulan Ramadhan datang. Nuansa yang saya rasakan pun berbeda. Ramadhan pertama yang saya nikmati dengan bekerja. Tapi saya bersyukur kantor memfasilitasi aktivitas yang mendukung, sesi kultum setiap dhuhur, pengajian setiap Jumat dan buka bersama yang hampir setiap hari. Namun di Juli ini saya merasakan di mana menomorsatukan keluarga menjadi hal yang sangat mahal. Berhubung masih dalam masa probation saya tidak mendapatkan cuti, dan hanya bisa menikmati libur Idul Fitri selama 7 hari.
Agustus :
Seminggu setelah pulang adalah momen mendebarkan, ujian SIMAK EKSTENSI. Bermodalkan fotocopyan soal dan info dari berbagai pihak saya berusaha memaksimalkan waktu-waktu belajar saya. Saat itu saya sangat takut seandainya tidak diterima. Ketakutan yang saya ciptakan sendiri. Namun ada Bapak yang menenangkan, “Udah Mbak tenang aja, kalau memang rezekinya kuliah tahun ini Allah pasti memudahkan jalannya. Percaya aja”. Dan saya pun akhirnya melewati ujian tersebut. Selang waktu ujian dan pengumuman hanya berselang 7 hari. Dan surprisingly, saya dinyatakan lulus. Alhamdulilah ala kulli haaal. Di bulan ini, saya resmi lulus dan wisuda dari Kampus Kuning, dan menjadi salah satu alumni yang seminggu kemudian menjadi mahasiswa (lagi).
September-November :
Dua minggu setelah pengumuman atau dua hari setelah wisuda saya kembali menjadi mahasiswa, dan mulai berkuliah di kelas Ekstensi FE UI Salemba. Memulai masa dari full time student menjadi part time student and worker. Mungkin bagian ini akan saya ceritakan sendiri (nanti). Saya sangat bersyukur bisa menikmati saat-saat saya berkuliah selepas kerja, setiap Senin-Jumat yang terkadang bonus asistensi di hari Sabtu. Teman baru, dosen baru, mata kuliah baru, persaingan baru, tempat nongkrong baru, UTS, UAS sampai IPK, semuanya serasa martabak manis.
Desember :
Yap, the end of year. Meskipun telah banyak melewati perubahan, saya merasa stagnan. Tidak ada yang benar-benar berubah dari saya yang dulu hingga sekarang. Profesi&karier, kuliah, kehidupan sosial, semuanya stagnan. Saya seringkali khawatir akan kemungkinan-kemungkinan yang saya pikir akan terjadi, takut mengambil keputusan dan mengulur-ulur waktu. Namun ada sesuatu yang menyadarkan saya yaitu saat kunjungan saya dan teman-teman Swayanaka ke Kandank Jurank Doank. Di sesi diskusinya saya bertanya seperti ini, “Om Dik, bagaimana cara kita yakin atas pilihan yang kita pilih? Kita terkadang merasa lebih baik di A tetapi kondisi membuat kita memilih B”. Apa jawaban Om Dik? Saya benar-benar dibuat tertohok oleh jawaban beliau. “Kita hanya manusia, jangan sesekali merasa takut atas penilaian-penilaian yang kita buat sendiri. Tundukan ego, banyak berserah pada Allah, deketin Allah. Pasti Allah akan menunjukan jalan-Nya melalui cara yang tidak terduga-duga”
Itulah cerita saya sepanjang 2014. Lebih dari segalanya saya berterima kasih kepada Allah atas setiap rencana-Nya dalam hidup saya.
Dan beberapa jam menjelang pertambahan usia saya, saya hanya berdoa semoga Allah menunjukan jalan yang paling baiiiiik. Jalan apa? Jalan ke masa depan. :"""""")))) Amiiiiin, yaa Rabbal Alamiin.
0 notes
Photo
Siang ini disela-sela istirahat saya membuat mailing list untuk seluruh pengurus dan volunteer Duta Cilik Anti Rokok.
Kemudian, saya dikejutkan oleh email dari salah satu volunteer Duta Cilik Anti Rokok. Saya dipanggil "dr" yang secara spontan saya baca sebagai dokter. Setelah membaca email saya hanya tersenyum di depan laptop. Sepertinya volunter yang satu ini terkecoh dengan email saya, [email protected]
Beberapa teman saya memang pernah menanyakan mengenai penamaan user email saya, kenapa harus nurlita.dr. Bebereapa dari mereka menebak "dr" sebagai "dokter". Padahal itu bukan alasan utama dari nurlita. dr.
1) Nama saya Nurlita Dewi Ramadhani, yang bisa disingkat menjadi Nurlita D. R. Nah inilah alasan awal saya menamai nurlita.dr
2) Saya pernah bercita-cita menjadi dokter, sehingga ketika muncul ide nurlita.dr dari singkatan nama saya, langsung "klik" untuk menjadikannya sebagai user email, itung-itung melekatkan memori cita-cita saya dulu. Dan "dr" adalah salah satu cita-cita yang mungkin saya ingin capai di masa depan, bukan "dokter" lho yaa. Lekatlah cita-cita saya di masa lalu dengan cita-cita saya di masa depan dari user email ini. :D
Jadi teman-teman jangan terkecoh dengan email saya yaa, bukan dokter toh "dr" nya di belakang. :""")
1 note
·
View note