#Risma
Explore tagged Tumblr posts
Text
Analisis Kemenangan Risma-Gus Hans di Kota Surabaya pada Pilgub Jatim 2024: Sebuah Anomali dan Efek Keberpihakan Eri Cahyadi
Oleh : Willy H (Aktivis Demokrasi) RASIOO.id – Gelaran Pilgub Jatim, sudah memasuki rekapitulasi berjenjang. Tentu melalui quick count dan mesin sirekap KPU (berdasarkan C1 Plano) kita sudah bisa mengetahui paslon yang memenangkan Pilgub Jatim 2024. Lembaga survei Poltracking merilis hasil hitung cepat (quick count) untuk Pilkada Jawa Timur (Jatim) 2024. Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil…
0 notes
Text
Ianthe Tridentarius, woman that you are, they could never make me hate you
#art#the locked tomb#tlt#ianthe tridentarius#no one is trying to make me hate you but even if they were#i love you for your gross sickliness and also because you are actually a really cool character with a lot of depth and cringe-risma#also i hit massive art block can you tell (solution is nasty wife)
2K notes
·
View notes
Text
Rozi Mantan Suami Norma Risma Terpidana Perzinahan dengan Mertua di Serang Bebas
SERANG – Rozy Zay Hakiki, mantan suami Norma Risma yang sempat viral karena berselingkuh dengan mertuanya, Rihanah, saat ini sudah dibebaskan dari Lapas Kelas IIA Serang. Rozy menghirup udara bebas setelah sebelumnya divonis 9 bulan penjara. Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Lapas Kelas IIA Serang, Elieser Indra mengonfirmasi hal tersebut. Katanya, Rozy dibebaskan pada hari…
0 notes
Text
Ayah Dokter Aulia Risma Lestari Korban Bullying PPDS Undip Meninggal Dunia
Alm dr. Aulia Risma Lestari. Jakarta (Riaunews.com) – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membenarkan ayah dari dokter Aulia Risma Lestari meninggal dunia pada Selasa (27/8/2024). Adapun dokter Aulia merupakan mahasiswi PPDS anestesi Universitas Diponegoro (Undip) yang diduga bunuh diri akibat perundungan. “Karena memang kondisinya berat. Jadi tadi malam sekitar jam 01.00 WIB wafat,”…
0 notes
Text
anyway oc art jumpscare
#fabthememesatan#ibispaintx#art#my art#my oc art#oc art#sarabi raelee#sarah flynn#alvoz and risma#im only tagging them cause of the speech bubble but ye
1 note
·
View note
Text
21-22 ottobre, roma: finis terrae fest
Quanti immaginari ha l’Antropocene? È questa la domanda che sta al centro dell’edizione 0 di FINIS TERRAE, una non-partenza, un calcolo a somma nulla che tenta di mostrare gli scenari speculativi di cui dobbiamo attrezzarci per elaborare il termine della storia, l’epoca della catastrofe e forse la fine del capitalismo – forse. A farlo con noi e per noi un’orda di autrici e autori, dal cinema e…
View On WordPress
#Antropocene#art#arte#Finis Terrae Fest#immaginari#Pasto Nudo#Reeks Tv#Risma Bookshop#Trenta Formiche
1 note
·
View note
Text
Saatnya Milenial Bergerak Menyampaikan Pesan Perubahan
JAKARTA | KBA – Wulandari Risma, milenial berusia 25 tahun, mengatakan sudah saatnya kaum milenial bergerak menyampaikan pesan untuk meraih perubahan yang lebih baik di masa mendatang. “Paling menarik dari kaum milenial adalah mereka bukan hanya menyampaikan tentang dirinya, tetapi tentang masyarakat dan seorang pemimpin seperti Anies Baswedan,” kata Wulandari kepada KBA News di sela acara Suara…
View On WordPress
0 notes
Text
being a fuori sede be like:
stampare a casa la qualunque che viene in mente prima di partire perché se no lasci un rene al tizio sotto casa and in this economy non possiamo permettercelo
i soldi che ricevo dai miei vanno solo in cibo sto cazzo che ne spendo pure in stampare
#me#che poi gli stronzi ti fanno pagare venti euro a foglio praticamente#ma ammazzatevi tutti#una risma da 500 non costa più di 5€ e l'inchiostro a foglio sicuro non è caro#quindi fottetevi
0 notes
Text
listening to Insanely Charismatic can turn me insane
1 note
·
View note
Text
Cerpen: Hujan atau Cinta
Mungkin, memang sudah seharusnya aku berterima kasih kepada hujan. Rintik-rintik kenangan yang menahan kita tetap di sini. Mendengarkan cerita satu sama lain.
Kamu bercerita, aku bercerita—dan entah sudah berapa dusta yang aku cipta.
Hujan menggenang lubang-lubang jalan. Burung-burung berteduh.
Hatiku mengaduh.
Inikah rasanya jatuh, terluka, tapi harus terus berpura-pura?
“Siapa dulu yang ketawa ngakak sampai jatuh dari pohon?”
Dahimu selalu berkerut jika sedang bertanya.
“Amar? Yang celananya sobek?”
“Iya bener, Amar! Celananya sampai sobek ya? Oh iya!”
Kamu tertawa lepas sambil reflek menepuk lengan kiriku.
Aku selalu suka tawa itu. Terutama saat pemicunya adalah aku.
Sejak dulu, aku selalu ingin jadi sumber bahagia dalam hidupmu.
“Kamu, lama di sini?”
Akhirnya, kuberanikan diri bertanya. Mengukur kemungkinan berapa kali lagi kita bisa berjumpa. Untuk sekadar bertukar cerita, bernostalgia, atau … menumbuhkan lagi rasa?
“Besok jam 6 pagi udah ke Jakarta lagi,” jawabmu datar.
Besok pagi? Maksudmu, 14 jam dari sekarang?
“Buru-buru amat. Baru aja sampai tadi pagi.”
Kamu menatap mataku sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan. Seolah mengamati hujan yang belum juga mereda.
“Ayah cuma cuti sehari. Makanya habis resepsi Risma tadi, ayah sama ibu langsung keliling-keliling buat silaturahmi. Udah lama banget gak ke sini. Ada kali ya 5 tahun?”
Tepatnya, 6 tahun 2 bulan.
Hari ini 27 Agustus 2023. Kamu dan keluarga meninggalkan desa ini untuk pindah ke Jakarta sejak 25 Juni 2017. Saat kita mau naik kelas 2 SMA.
Banyak yang bilang aku pelupa. Tapi tentangmu, percayalah: aku pengingat yang baik.
“Iya, sekitar 5 tahunan. Ya, lumayan. Kalau orang, kira-kira umur segitu udah TK lah.”
“Udah bisa maling jambu di kebun Pak Muchtar, ya?”
Pertanyaanmu memanggil kembali ingatan masa kecil kita. Hari-hari di masa lalu ketika kita lebih mudah bahagia karena belum banyak mau.
“Kamu kan yang nyuruh?”
Seperti tak terima dituduh, kamu langsung mengklarifikasi, “Aku gak nyuruh. Aku cuma bilang, aku pengen jambu air.”
Kamu selalu begitu.
Menyembunyikan ego di balik keluguanmu. Itu alasan kita berpisah 6 tahun lalu, kan? Saat kamu bilang, hubungan jarak jauh melelahkan dan enggak akan berhasil.
Tak lama setelah kamu mengatakan itu, kamu mengunggah foto dengan seseorang yang lain–alasan sebenarnya kita berpisah?
Lalu kita berhenti saling mengikuti di media sosial.
Setelah belasan tahun pertemanan …
Setelah setahun saling mengungkap perasaan …
Kita tiba-tiba menjadi dua orang asing.
Aku berusaha melupakanmu dan meneruskan langkah. Aku berusaha untuk baik-baik saja, memajang senyum dan tawa ke mana-mana.
Berusaha percaya pada mereka yang berkata, ‘waktu akan menyembuhkan’. Argumen paling tolol yang pernah aku amini.
Karena, bahkan hingga hari ini, 6 tahun kemudian …
Saat takdir kembali mempertemukan kita di desa ini–tempat segalanya tumbuh dan bersemi, aku sadar: aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu.
Bahwa menghapus ingatan tentangmu, adalah sama dengan menghapus seluruh ingatan di kepalaku.
Bahwa ternyata luka ini, tak pernah benar-benar sembuh.
“Pohon jambunya, masih ada enggak sih?”
Tanyamu sambil melempar pandangan jauh ke sebuah rumah, lalu mengarahkan telunjukmu ke sana.
“Rumahnya yang di situ, kan?”
Aku mengangguk.
“Masih ada, kayaknya. Pohon jambu kan gak bisa tiba-tiba pindah ke Jakarta.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, memicu senyum sinis di wajahmu.
“Imran, si paling jago kalau nyindir orang.”
“Nadia, si paling …”
“Si paling apa?”
Dahimu berkerut lagi.
“Si paling cantik,” ada lengkung senyum di wajahmu sebelum berubah jadi ekspresi kesal saat aku melanjutkan, “di Geng Jambu.”
“Yeeh kan aku emang cewek sendiri. Tapi …”
Ada jeda sebentar sebelum kamu melanjutkan kalimat. Seolah kamu ragu.
“... di ingatan kamu, aku kayak gitu ya? ‘Tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Kayak … seolah-olah itu semua kemauan aku.”
“Aku nggak bilang gitu.”
“Kamu tadi bilang, ‘tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Maksudnya aku, kan?”
“Tiba-tiba atau enggak, di ingatan aku, kamu pergi.”
“Dan di ingatan aku, kamu menghilang.”
“Kamu kan yang minta aku menghilang?” tanyaku tak terima.
“Aku? Aku minta kamu menghilang?” giliran kamu yang tak terima.
“Kamu bilang, kamu capek sama aku.”
Mendengar ucapanku, kamu terdiam sebentar. Seperti menata kata dalam kepala. Lalu serupa hujan yang tiba-tiba menderas, kalimat demi kalimat meluncur dari mulutmu.
“Aku bilang, aku capek, karena kamu terus-terusan mempertanyakan kepergian aku ke Jakarta. Terus-terusan protes sama kita yang harus tiba-tiba pisah. Terus-terusan ngeluh karena kita jadi gak bisa lagi ketemu setiap hari. Aku gak pernah minta kamu menghilang.”
Nada bicaramu tiba-tiba meninggi.
Sementara aku masih memproses kata-katamu, kamu bicara lagi.
“Kamu pikir aku gak sedih kita pisah? Kamu pikir aku gak pernah protes? Kamu pikir aku suka keluar dari zona nyaman aku, harus beradaptasi sama orang-orang kota yang sok tau, dikatain kampungan … Selama ini, kamu mungkin mikir aku egois. Tapi, aku tuh …”
Kalimatmu tertahan di sana. Kamu menghela napas dalam, dan matamu mulai berkaca-kaca.
Hujan di luar sudah hampir reda, hujan di matamu jatuh begitu saja.
“Maaf. Aku yang egois.”
Hanya itu yang bisa kukatakan.
Kamu menyeka air mata dengan jemarimu, lalu memaksa bibirmu untuk tersenyum.
“Aku yang maaf. Kenapa jadi marah-marah gini, ya?”
“Karena aku emang nyebelin?”
“Iya. Nyebelin banget,” ujarmu sambil memanyunkan bibir sedikit. Kebiasaan yang selalu kamu lakukan setiap kesal padaku.
“Eh, udah ah bahas masa lalunya. Udah lewat juga. Bisa tethering bentar gak? Paket dataku abis, mau ngabarin Ayah kalau kita kejebak ujan di sini. Takutnya dia nyariin.”
Aku menghidupkan fitur personal hotspot di ponsel.
“Passwordnya?” tanyamu sambil menunjukkan layar ponsel.
“662016”
“Pelan pelan, dong … Enam .. Enam … apa tadi?”
“Dua Nol Satu Enam.”
“Enam Enam Dua Nol Satu Enam? Eh, ini … ”
Jangan bilang, kamu masih ingat.
“Tanggal jadian kita bukan, sih?” tanyamu singkat dan lugu.
Ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita pilih. Boleh jadi, salah satunya adalah cinta pertama, yang dengan segala kekonyolannya mewarnai masa remaja.
Ketika jerawat pubertas pecah dan hidup tak tentu arah.
Cinta pertama adalah bunga yang mekar di taman jiwa. Wanginya semerbak membuai dan melalaikan. Ia menghiasi satu-dua musim, lalu seketika layu dan kehilangan pesona.
Tetapi, anehnya, ia tetap di sana.
Menetap dalam ingatan.
Abadi sebagai kenangan.
“Bisa tethering-nya?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Bisa. Bisa. Bentar ya aku chat Ayah dulu …”
“Oke. Jangan download film.”
“Ya kali …”
“Siapa tau …”
“Eh, Ran,” kamu menengok ke arahku sambil tersenyum. “Pertanyaanku belum dijawab tadi. Kamu… masih pakai tanggal jadian kita buat password?”
“Heh? Oh, itu. Males ganti-ganti. Susah tau Nad, ngapalinnya.”
Mendengar jawabanku, kamu mengangguk-angguk kecil.
“Iya sih, setuju. Aku juga …” ada nada ragu di kalimatmu, tapi kamu tetap melanjutkannya, “... masih pake tanggal jadian kita buat passcode handphone, 060616. Dari dulu gak pernah ganti.”
Aku tak tahu harus merespons apa dan bagaimana.
Haruskah terkejut? Haruskah bangga dan terharu? Haruskah jujur saja mengatakan bahwa sebagaimana password di ponselku, perasaan ini juga tak pernah berubah?
“Emang males banget sih ganti-ganti password,” kataku sambil ikut mengangguk-angguk. Aku berusaha mencari cara untuk keluar dari suasana yang terasa semakin canggung.
“Hujannya udah agak reda, Nad. Lanjut, yuk!”
Aku berdiri, bersiap melanjutkan perjalanan.
Tapi, kamu menarik tanganku untuk duduk di sampingmu lagi.
“Sini dulu deh, mager banget. Udah lama juga aku gak mampir ke warung ini. Dulu setiap pulang sekolah, kita selalu ke sini, kan?”
Pertanyaanmu memecah kecanggungan. Mengembalikan kita ke dalam obrolan-obrolan panjang.
Sudah sejak tadi hujan berhenti … dan kita masih di sini.
Ternyata bukan karena hujan kita bertahan.
Tetapi, aku terlalu takut menyebutnya cinta.
...
©nurunala
72 notes
·
View notes
Text
Ritornato in terra straniera, puntuale come una colite post-zuppone, arriva l'appucundria pinodanielesca, che in questi giorni si è sommata ad un resoconto del mio 2024 fatto quasi ogni notte, visto che delle mie 8 ore standard ne dormivo sempre 4.
E' stato un anno un bel po' infame, ad essere sinceri, e mi ha ricordato tanto la pasta e ceci della mamma. Se Gump diceva che la vita è una scatola di cioccolatini, eh, la mia è una pasta e ceci. La pasta e ceci mi fa cagare, e nonostante la mia mamma fosse consapevole e sicura al 100% che non l'avrei mangiata, puntualmente me la faceva, così, pe' cazzimm. Posso dire che quelli del Leone mi stanno abbastanza sul cazzo.
Detta fuori da ogni metafora, mi ha dato tutto quello che non stavo cercando e mi ha tolto tutto quello che volevo avere o conservare. Aver perso una di quelle persone che metti sulle dita di una singola mano ti fa ripensare parecchio a quanto possano essere sinceri i tuoi legami, per poi finire a tirare su talmente la soglia dello sbarramento da non lasciare più passare nessuno, ho perso poi un'altra possibilità che mi ero dato, il bello è che se ne è andata pure affanculo da sola (ma solo ad un coglione della mia risma possono capitare questi lussi), ho perso una opportunità di lavoro che avevo faticosamente costruito, ho perso la mia Meggie (vabbè, questo lo si sapeva già 4 anni fa, ma lo metto comunque perché fa numero), ho perso momenti che, col senno di poi, erano più falsi di una banconota da 30 euro, però se il benzinaio se la piglia è comunque tutto grasso che cola.
E quindi niente, ho provato pure ad incazzarmici, ma non ci sono riuscito, quest'anno ho perso pure la capacità di rimuginare sulle cose. Detta così sembra una cosa positiva, ma per un Cancro vuol dire perdere un pezzo di sé.
Oh, mo' questo non c'entra niente, però poi ho pure pensato "ma lo scrivo o non lo scrivo?", è da un po' che non faccio post di questo tipo, dopo anni di blog mi sarei anche un po' rotto di lagnarmi a vuoto e sperare di trovare qui chissà cosa, ma poi ho pensato che, se non le dico qui queste cose, a chi cazz le dico? Per raccontare come mi sento serve che chi mi ascolta abbia un'empatia che ho trovato in una persona sola nella mia vita, e, giusto per non farci mancare nulla, vive a 1500 km da me e, anche con tutta la buona volontà del mondo, il tempo è quello che è, e allora rompo le palle qui, il bello è non sapere mai che faccia state facendo mentre lo leggete e, come diceva quello, l'ignoranza l'ingrediente principale della felicità (non la ciucciaggine, chell è n'ata cos).
40 notes
·
View notes
Text
Le elezioni Leuropee sono l'occasione per dare un lavoro a nullafacenti, mentecatti, ed inimpiegabili di ogni risma.
55 notes
·
View notes
Text
Jokowi Setujui Pengunduran Risma sebagai Menteri Sosial
JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo sudah menyetujui pengunduran diri Tri Rismaharini dari jabatan Menteri Sosial karena yang bersangkutan maju Pilkada 2024. “Sudah … sudah mengajukan pengunduran diri dan sudah saya tanda tangani pengunduran dirinya,” kata Jokowi singkat di sela kunjungan kerja di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/9/2024). Sebelumnya, Risma dikabarkan mengajukan pengunduran diri dari…
#Menteri Sosial RI Tri Rismaharini#Pilkada 2024#Presiden Jokowi#Risma mundur sebagai Mensos#Tri Rismaharini
0 notes
Text
A PROPOSITO DI CHIARA FERRAGNI
Nuova indagine su Chiara Ferragni e in me convivono sensazioni contrastanti di fronte al dibattito sui social network.
Mi torna in mente il film Barbie. È difficile non notare che il film, nel momento in cui critica con intelligenza il patriarcato e mette in luce la tossicità di una società fondata sul machismo, è pur sempre un furbissimo prodotto commerciale che monetizza persino le lotte ("Lotta contro il patriarcato comprando tutti i gadget di Barbie. Avete notato che è uscito il nuovo zainetto?").
Sotto molti aspetti è l'ennesima vittoria del capitalismo.
Però il film ha fatto arrabbiare molte persone che avevano una gigantesca coda di paglia. Queste persone si sono infuriate per motivi sbagliati: non certo per una critica anticapitalista, ma proprio perché erano rappresentanti di quella cultura machista tossica che il film giustamente ha messo alla berlina. E c'erano anche i rossobruni spaventati dall'emancipazione femminile, che disprezzavano pubblicamente il film e tiravano in ballo l'anticapitalismo in modo strumentale per criticare ciò che realmente li infastidiva: la satira contro il patriarcato.
La loro rabbia mi rendeva felice, lo ammetto. Ma mi metteva tristezza l'idea di un capitalismo capace di trasformare le lotte in operazioni commerciali.
Era questo il guazzabuglio dei miei sentimenti quando pensavo al film.
Cosa c'entra Chiara Ferragni? C'entra. Anche Chiara Ferragni si è intestata la causa dell'emancipazione delle donne e della comunità LGBTQIA+. Anche lei queste battaglie le ha monetizzate.
È icona di un capitalismo che riesce a trasformare l'attivismo ostentato in un'occasione di profitto mentre vende prodotti e gadget, mentre si prende tutta la scena e oscura la lotta dal basso.
Ma è pur vero che per anni Chiara Ferragni è stata attaccata ferocemente da machisti, redpillati, seguaci di Pillon e reazionari di ogni risma (a cominciare dal Codacons). Ed è stata attaccata per i motivi sbagliati.
Questi critici ora stanno godendo per i guai di Chiara Ferragni e non parleranno d'altro per giorni, così magari ci dimenticheremo dei deputati che giocano con le pistole a Capodanno.
Il godimento di questa gente mi rende triste, anche se non sopporto i Ferragnez e sono disgustato dalla beneficenza dall'alto che sostituisce la solidarietà e la vera lotta.
[L'Ideota]
57 notes
·
View notes