#Merantau
Explore tagged Tumblr posts
Text
Iko Uwais - Merantau (2009)
#iko uwais#merantau#gareth evans#indonesian cinema#indonesian action#action cinema#action choreography#fight scenes
38 notes
·
View notes
Text
18 ke 18
18 Mei menjadi tanggal baru yang masuk ke dalam daftar pengingat. Konon katanya angka 1 dan 8 pada angka 18 memiliki makna menjadi satu selamanya, sehingga dipilih sebagai tanggal sakral dimana ijab dan kabul diucapkan dalam hari pernikahan. Sebut saja pemaknaan barusan berasal dari si ahli cocoklogi, tiga detik yang lalu sambil membuat tulisan ini.
Dalam waktu 31 hari, 18 Mei ke 18 Juni tahun ini berjalan dengan mode ultra cepat. Saking cepatnya, cukup sulit untuk menjalani setiap momen dengan penuh kesadaran hingga menyelami rasa dan emosi yang muncul. Sampai ke tanggal 18 Mei saja rasanya surreal, apalagi sampai ke 18 Juni yang tiba-tiba sudah berbeda 11 jam lamanya dengan rumah sehari-hari.
Kalau ditanya apa rasanya, cuma bisa bilang alhamdulillah kayak mimpi. Nggak pernah terbayang ternyata pengalaman merantau pertamaku langsung mode ekstrem ke belahan dunia yang jarang sekali tersebut dalam daftar melancong impianku, apalagi menetap walau sementara.
Rasanya kemarin masih duduk bernafas sejenak sambil memandang lapangan timur Masjid Salman, jajan baso tahu bersama teman-teman di seberang kantor, mencoba gerakan pose pilates ala-ala bersama guru pilates yang empat tahun lebih muda, jalan kaki bersama ibu di kompleks sebelah, ketiduran di mobil ketika dijemput bapak malam-malam, membantu enin troubleshooting HP yang katanya error padahal kepencet, menyapa kucing kuning (menolak memanggil dengan kucing oren) di jalanan rumah yang awalnya dikira hanya satu ternyata ada empat, dan momen tak terhingga lainnya bersama familiar faces yang sekarang sedang berjauhan.
Kota tempat aku tinggal saat ini terbilang sepi, katanya karena penduduknya banyak mahasiswa dan sekarang sedang libur musim panas. Menurut suami, kota ini less entertaining jika dibandingkan Bandung atau Jakarta, domisili asal kami. Menurut temannya yang dulu berkuliah di ITB Jatinangor, kota ini seperti Jatinangor, tapi masih lebih ramai Jatinangor. Tentu saja lebih ramai Jatinangor, di area yang sangat padat terdapat tiga (atau lebih?) perguruan tinggi. Pusat perbelanjaan dulu hanya ada satu (Jatos), sekarang sudah ada waralaba-waralaba ibukota yang jumlahnya satu-satu, kebayang kan kemana-mana sepertinya ketemu orang yang kenal. Ini semi-semi hiperbola, sebenarnya kotanya ramai-ramai saja lho.
Dibekali dengan diri yang masih minim riset namun bermental letsgo dulu weh, ternyata Ann Arbor (yak ini dia namanya) memiliki daya tarik tersendiri untuk orang yang tidak suka ramai-ramai sepertiku. Meskipun datang bukan sebagai mahasiswa, setiap kali diajak eksplor kampus rasanya ingin ikut membaca, menulis, belajar hal-hal yang sudah lama tertunda, laptopan, drafting ide-ide yang muncul di kepala.
Perpustakaan kampus ada berbagai macam dengan arsitekturnya yang menarik mata dan boleh dimasuki oleh siapa saja, belum lagi district library yang jumlahnya ada lima dalam satu kota. Di area downtown, terdapat toko buku bernama Literati yang sangat bikin betah dan berbagai toko buku bekas yang belum aku jelajahi semuanya. Dulu sering ngebatin pengen deh di kota tempat tinggal ada lebih banyak tempat umum buat baca atau ber-produktif-ria, dengan fasilitas yang nyaman dan bisa diakses seluruh warga kota. Alhamdulillah di sini diberikan rezeki itu, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Ayo gunakan kesempatannya buat banyak baca dan dalami ilmu-ilmu yang ingin dipelajari, Shab!
Masih banyak aspek kota yang belum dieksplor, tapi insya Allah akan menyenangkan untuk disinggahi satu per satu. Sekilas cari-cari di Instagram dan juga pamflet yang ditempel di sudut-sudut kota, ada banyak komunitas dan kegiatan kerelawanan yang bisa diikuti, salah satu yang menarik adalah relawan taman kota. Bagi yang suka blusukan, banyak sudut kecil di jalanan tempat para seniman mural berkarya. Selain itu banyak sekali event lokal yang dibangun dengan semangat komunal, yang tidak harus ramai-ramai dan tetap disyukuri berapapun peserta yang akan hadir.
Jalan dua minggu di sini aku masih harus bekerja ngalong, alias bekerja dengan jam kebalik karena mengikuti WIB. Alhasil jalan-jalan di waktu "normal" dengan tenang baru bisa dilakukan Mulai dari Jumat sampai Minggu. Berhubung judul tulisan ini adalah review perubahan secepat kilat dari tanggal 18 ke 18 lainnya, adaptasi adalah hal yang sedang diupayakan sebaik-baiknya. Bukan hanya pindah domisili, tapi juga pindah kartu keluarga yang mana sekarang ada peran baru sebagai istri dalam rumah tangga.
Buat seseorang yang selama 28 tahun hidupnya tinggal bersama keluarga di rumah, mengurus rumah tangga sendiri rasanya seruuu sekali (dalam arti yang sebenar-benarnya). Rasanya tiap hal kecil, tiap aktivitas, tiap hari ada aja hal baru yang perlu dipelajari dan dievaluasi. Sangat rawan jadi overwhelming, tapi bismillah tarik napas ayo ingat jalani semuanya satu per satu. Gapapa kalau masih melakukan kecerobohan-kecerobohan lucu, yang penting tahu berikutnya agar lebih hati-hati lagi.
---
Dengan ini mari kita akhiri dulu tulisan pertama dari Ann Arbor! Satu bulan lebih sembilan hari sudah dilewati, semoga hari-hari yang akan datang bisa dijalani dengan lebih berkesadaran, juga diisi dengan mencari berkah dan menemukan makna.
Have a good day!
7 notes
·
View notes
Text
Wahai jiwa dan ragaku...
maaf ya... aku terus menerus memaksamu untuk kuat, terus menerus mengajakmu untuk berlelah-lelah, aku tahu kamu sudah sangat lelah
Namun, kamu masih muda... semangat ya... cari bekal untuk masa depanmu, untuk anakmu, untuk mewujudkan harapan harapan kecilmu...
kamu kuat kok, dua tahun itu tidak lama...
kamu pasti bisa...
Saat kamu ingin menyerah, Ingatlah.... bagaimana kamu selalu mengunci pintu dan mengajak anakku bermain hanya didalam rumah, karena takut ada pedagang yang lewat sedangkan kamu rak memegang uang sepeserpun...
Ingat juga, bagaimana kamu selalu kehujanan dan kepanasan saat mencuci piring karena diluar rumah dan belum punya dapur
ingat juga, bagaimana masa kecilmu banyak buku di Bazar sekolah yang ingin kamu miliki namun tak satupun yang bisa kamu beli
Ingat juga, lisan-lisan manusia yang selalu merendahkanmu karena kemiskinan kamu
Dan ingat pula... orang-orang baik disekitarmu yang selalu memberi sesuatu yang amat sangat berarti bagimu, yang selalu membantu meringankan urusanmu..
kamu boleh berdo'a agar Allah melimpah kan rezeki yang banyak dan berkah, kamu boleh minta ingin jadi orang yang kaya supaya mudah untuk bersedekah, supaya mudah membantu orang, juga supaya ibadahmu lebih dipermudah...
Semangatlah wahai diri...
(HongKong, 15mei 2024) mata lagi sakit, pusing, sakit gigi, capek, gemeter, abis lembur... pingin tidur
#jemarimenari#memelukhati#jemarimenari93#mencaricelahuntukbersyukur#keluarga#quote#mentalhealth#positive energy#positive mindset#tumblr milestone#sabar#syukur#merantau#anakrantau#lelah#lillah#berjuang#mautdalane#pejuangdollar#tki#tkw#hongkong#semangat#tulisanmalam
10 notes
·
View notes
Text
Beruntunglah Pernah Melewati Masa Sulit
Hampir 6 bulan pasca pulang dari (tinggal selama 2 tahun tanpa mudik sama sekali) Newcastle, terkadang masih membuatku tak menyangka bahwa episode kehidupanku di sana sudah terlewati. Mungkin karna itu adalah salah satu wishlist ku saat masih gadis dulu; tinggal dan hidup berkeluarga di Inggris, membesarkan anak di sana, sudah dikabulkan olehNya? jadi rasanya seperti "masih mimpi" kalau itu sudah terlewati.
tapi sesungguhnya yang seringkali menjadi trigger adalah ketika aku lagi merasa lelaaah sekali saat menjalani episode kehidupanku yang sekarang: di Bandung. Seperti sekarang saat aku menulis ini, aku habis bepergian seharian bersama keluarga kecilku, alhamdulillaah hati rasanya senang sekali dan pergi ke luar benar-benar menjadi hiburan untukku, tapi ternyata kesudahannya aku capeeek bahkan sampai migrain, laluuuu terbayanglah hari-hari beratku saat di Newcastle dulu yang kalau aku bayangkan sekarang, pasti aku berkata dalam hati "dulu kok aku kuat yaaa berjalan kiloan meter, belasan ribu langkah sambil gendong Hamnah yg saat itu sudah belasan kilogram?" "dulu kok aku kuat yaa dorong stroller jalan jauuuh banget dan beratnya minta ampun karna bawa belanjaan dan juga ada Hamnah di dalamnya?" "dulu kok aku kuat yaa jalan nanjak menerabas angin super dingin kadang tangan sampai beku demi untuk belajar di kelas gratis yg durasinya cuma 1,5 jam itu? dan tentu sambil bawa anakku" hingga episode kehamilan pun tiba, gong!!rasanya klo dipikir-pikir lagi sekarang kayak "kok dulu aku kuat yaa?" dan dulu itu semua menjadi hal yang biasa. maa syaa Allah nangissss banget kalau mengingat masa-masa ituuu. Sungguh aku tau bahwa Allah-lah yang telah menguatkankuuu T__T Aku bersyukur padaNya yang telah mengabulkan doaku untuk merasakan berbagai kenikmatan sekaligus "tempaan" hidup di sana dan juga kekuatan yang selalu dan selaluuu Dia berikan. Sehinggaa ketika saat ini aku lagi merasa lelah padahal aku sedang di negara sendiri yang jauhhh lebih banyak kemudahan di dalamnya, berbagai memori tersebut langsung jadi penguatku lagi dan pada akhirnya aku memilih untuk jeda-rehat agar kembali kuat: meniatkan semua untuk IBADAH.
Buatku yang terpenting adalah agar Allah selalu dan selalu menemaniku di manapun aku beserta anak dan suamiku berada, karena gak kebayang kalau menjalani hidup tanpa kasih sayang dari Allah. Huhuhuhu takuuuut :(
4 notes
·
View notes
Text
Iko Uwais
Workout with Chicco Jerikho (November 2022)
#iko uwais#say hello to one of my fave indo dilf#usersam#dilfgifs#mancandykings#dilfsource#indonesian dilfs#actiongifs#workoutgifs#filmgifs#expendables#the raid#merantau#mile 22#triple threat#snake eyes#g i joe#martial arts#stuntman#workoutwithCJ#uwais qomy
38 notes
·
View notes
Text
MERANTAU, CARA TUHAN MENJAWAB DO’A – DO’AKU
Merantau, sebuah keputusan yang cukup berat karena harus meninggalkan keluarga. Berjuang sendiri di daerah yang berbeda adat budaya, hingga bahasa sehari-harinya. Tapi percayalah, dengan merantau, Allah akan membuka mata kita, memperluas wawasan dan pergaulan kita.
Saya sendiri mulai merasakan merantau sejak lulus SMA. Saya terlahir di keluarga yang ekonominya menengah ke bawah, keinginan untuk kuliah harus dihadapkan dengan kemampuan ekonomi yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagai anak sulung, mau tak mau harus berpikir keras bagaimana bisa kuliah, tapi tidak menjadi beban bagi orang tua. Saya mulai mencari informasi kampus – kampus yang membebaskan biaya kuliah. Berkali – kali mencoba jalur Beasiswa untuk siswa dari keluarga yang tidak mampu pun gagal.
Dari kegagalan itu orang tua memberi nasihat yang sangat menenangkan bagiku “Khusnudzon saja, berarti Allah tidak menganggap kita sebagai keluarga yang tidak mampu.. ”
Aku pun menjawab, “Nggih ya bu, Aamiin”
Toh mampu atau tidak, tak selalu diukur dari banyaknya harta yang kita miliki, masih ada Allah yang akan memberi jalan bagi hamba-hambaNya yang tidak pernah menyerah.
Dalam masa pencarian itu, aku teringat pesan guruku “Mintalah sama Allah, Yang Maha Kaya dan Maha Memberi. Mintanya yang sungguh – sungguh, kalau perlu secara spesifik juga boleh”.
Sejak saat itu, dalam setiap sujud, tak lupa ku sampaikan keinginanku sama Allah, terkadang sampai tak terasa meneteskan air mata. Alhamdulillah, Allah memberikan ku rejeki untuk kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Kedinasan, sudah bebas biaya kuliah, dapat uang saku juga tiap bulan, lulus langsung diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara. Namun disitu juga, aku diharuskan merantau, karena kampus tersebut berada di Jakarta Selatan, sedangkan orang tua di Sidoarjo.
Di awal perantauanku, beratnya ospek, lingkungan yang juga asing, membuatku ingin pulang saja. Tapi ketika ku ingat-ingat lagi janjiku “Aku sudah sejauh ini, kalau aku tak bisa membawa kesuksesan, malu rasanya untuk ketemu keluarga”. Dari situ aku bertekad sungguh-sungguh menjalani semua ini.
Meski berat diawal, ternyata selama masa perantauanku, Allah juga menjawab do’a – do’aku yang lain. Dulu punya keinginan untuk berkeliling ke beberapa wilayah di Indonesia, Allah pun menjawabnya dengan cara memberikanku penempatan ke wilayah NTT dan sekarang ke Bali.
Namanya manusia, keinginan terus ada, pernah punya keinginan untuk tinggal di lingkungan yang religius, karena terakhir belajar Ngaji itu jaman SD, Allah memberikanku lingkungan kampus yang sangat peduli dengan hal-hal religius, mempunyai teman-teman yang sangat peduli tentang hal ini.
Kini aku tahu, mungkin jika dulu aku tidak berani mengambil resiko mengambil kampus yang jauh dari rumah, ku tak akan bisa seperti ini. Manusia paling berpengaruh dan paling mulia bagi umat muslim (Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam) pun, kesuksesannya diraih setelah beliau hijrah ke Madinah. Bahkan Imam Syafi’I rela merantau, berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah dan Madinah seorang diri, karena ingin menuntut ilmu. Dampaknya, sekarang ilmu beliau sangat bermanfaat untuk kita.
Teringat salah satu pesan Imam Syafi’I :
“Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang
Merantaulah…
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan)…. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
Kini aku mengetahui maksud perkataan itu, Jangan jadikan dirimu bagaikan Katak dalam tempurung, yang membatasi dirinya untuk berkembang. Namun terbanglah layaknya burung yang bisa menikmati luasnya Bumi Allah, yang mensyukuri Nikmat-Nya, Maka kelak Allah pasti akan membalas do’a bagi hamba – hambaNya yang mau bersungguh – sungguh dan selalu Khusnudzon kepadaNya. Dan satu lagi yang pasti, mintalah do’a restu langsung dari Orang Tua, Insya Allah semuanya akan dimudahkan.
(C) Fajar R. Priyambada
12 notes
·
View notes
Text
Thinking about being elsewhere.
2 notes
·
View notes
Text
[Santai] From East to West: A Glimpse of My Life
Marie was originally from WP Labuan. She first moved to West Malaysia to pursue her tertiary education, back in 2010. Follow her journey as she shares her observations and experiences.
Living in Nilai as a student.
When she first arrived in West Malaysia on her own, she was more nervous than excited. A bit worried as well, since it was her first time away from her family. Coming from a diverse and integrated ethnicity in East Malaysia, the first thing she noticed during her first month in Nilai(Negeri Sembilan), was that people here tend to stay within the group of their race. It was a bit awkward for her to make new friends. She doesn’t feel quite fit into any specific groups due to her Sino-Kadazan background. Then, she observed, that when it comes to food and drinks, there are differences in terminologies. For example; “ais kosong” is “air sejuk”, and “Wantan Mee” is known as “Kon Loo Mee” in Sabah.
Months passed, and she settled down. She no longer feels out of place. In her words, “I'm happy to learn new things and culture. All my university friends are friendly. I mingled with locals & internationals. So, learning about their food and culture was quite exciting! Since I am food-motivated. Haha~” Today, whenever she reflected on her days in Nilai, her fondest memories revolved around the joy of forming meaningful friendships. She said, “I'm grateful for the friend I met, who is now one of my trusted people in life. She would stay by my side through thick and thin. However, the Organic Chemistry class is another story. I was frustrated, despite my best efforts, I still didn't understand anything. That was a first for me.”
On one fine day, she went out to Kuala Lumpur with her friends. It was completely different from Nilai. She was surprised! Her first impression was,
“There are so many people and cars! Nilai, back in the day, was a small town. We only have “Giant” with “Sushi King” and “Tutti Frutti” to look forward to. One day, my friends and I decided to go to Berjaya Times Square. Imagine how shocked I was, to see a theme park in a mall! Wow!”
Internship in Melaka
Fast-forward to 2012, Marie did her “hospital placement”(Industrial Training) in Melaka for a few months. She rented a place in Rembia, with two of her close friends. She visited many historical places in Melaka. She also learnt to tolerate spicy food even better. Of course generally, for a Sabahan palate, cuisines in West Malaysia are always spicier in comparison to the ones in East Malaysia. But, in Melaka, it was on another level. In every eatery she visited, it was always at least, slightly peppery. However, although she often needs to wait in a queue to dine in, it is worth the time. She said, “The food, anywhere in Melaka, is amazing!”
Interning in a government hospital, she interacted more closely with the locals from different walks of life here. According to Marie, people in Melaka are very friendly, if you are an introvert, you can be intimidated at first. After some time, she noticed that the people here(not limited to Melaka but she first experienced this in Melaka) do not know much about Sabah, except for Kota Kinabalu. She said,
“You can see their faces light up when they find out you are from Sabah. They will approach you randomly to learn more about Sabah. Some older generation would ask you, “Dah berapa lama datang Malaysia?” (How long have you been in Malaysia?) And in my head, I was like, “Ain’t Sabah also Malaysia?”” She then added, “Haha… But, it’s all good, that was just a linguistic issue, the generation gap. You must understand that people are generally insensitive because they don’t know. So, we shouldn’t be too sensitive, and address their curiosity happily.”
Working in the Klang Valley
Following her 2013 Diploma Graduation Ceremony, Marie moved overseas to further her studies and returned to Malaysia in 2018. Then, since 2019, she has been residing in the Klang Valley area, where she now serves as a clinic manager in the private sector.
After many years of living away from Labuan and spending most of her adult life in West Malaysia, she saw a few changes in herself and her perspectives on life. The most mature thing she needs to master is the art of managing personal finances. Two years back, she bought her first car. Initially, she underestimated how much the expenses were for the fuel and touch N go. Since she now
commutes to work daily by car, she tried to be as frugal as she could. Because the highways with tolls are a very foreign concept in Sabah!
Her messages to those who are about to embark on a new journey or path:
Differences are inevitable in any new environment. Adapt while staying true to your identity, and maintain a positive outlook by focusing on the good rather than anticipating the worst.
---
Photos credited to: Malaysia Asia , ExpatGo , Elvisitsan.
0 notes
Text
Merantau dari Jakarta ke Yogyakarta (UGM)
0 notes
Text
Realita...
#cewek#cowok#memes#meme#merantau#tki#buruh#hari buruh#karyawan#pekerjaan#kerja#workers#indonesia#memesdaily#ngakak#lucu#dagelan#funny#fun#lol#mlao#haha#haha oops#wkwkwkw#pekerja migran indonesia#tkw#hedon#hedonisme#lifestyle#gaya hidup
1 note
·
View note
Text
Putri Salju
Dari balik dinding kayu yang mulai lapuk dimakan rayap, aku berdiskusi dengan bapak yang masih mengenakan pakaian dinas, duduk di ruang tamu sempit sebuah rumah kontrakan tua. Malam itu aku bertanya apakah dia mampu jika aku ingin lanjut kuliah. “Terserah mau kuliah di mana. Biaya kuliah itu bukan urusanmu. Tetapi kau harus bertanggung jawab dengan pilihanmu itu”. Kepalaku penuh dengan ketakutan akan dunia luar, tetapi teman- teman sudah mulai meninggalkan kampung halaman, berlomba- lomba keluar kota, ingin lanjut kuliah katanya. Setahun ditinggal kakak ke Bandung, aku berangan- angan segera bisa terbang dengan pesawat dan nongkrong di kedai kopi ternama, seperti yang aku sering lihat di media sosial dan tayangan televisi. Sehari- hari kami bertukar cerita seru dan sedih. Katanya, di Bandung semua ada. Katanya, lebih baik ke Bandung saja, karena Jakarta terlalu keras. “Mau jadi apa, itu urusan belakangan. Sekarang pertanyaannya, mau sekolah atau tidak?”.
Minggu itu adalah minggu tenang,- istilah yang digunakan untuk seminggu penuh hari libur sebelum memasuki masa ujian akhir. Seharian aku sibuk berselancar di Opera Mini, mencari informasi apa saja tentang Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Pada masa SMA aku termasuk siswa yang aktif di kelas, ikut paduan suara, tim basket, napak tilas, gerak jalan, dan lain sebagainya. Tetapi untuk urusan berteman, aku sangat payah. Tidak banyak ngumpul dengan teman- teman sekelas, tidak juga ikut komunitas lain. Tetapi aku ingat, siang itu beberapa teman berkumpul di sudut ruangan, berbicara tentang rencana kuliah mereka. Aku mendengar UPI sering kali disebut. Tidak punya teman untuk berdiskusi, aku memutuskan untuk mencari tahu sendiri saja.
Bukan merupakan siswa cemerlang di sekolah, tetapi aku juga tidak masuk ke dalam kelompok remaja nakal dan bodoh. Masa- masa ujian tidak begitu sulit rasanya, meskipun setelahnya aku tahu UPI bukan lagi sebuah pilihan. Bersama beberapa teman sekelas, kami berdiskusi tentang bimbingan belajar. Bimbel adalah sebuah keharusan, bagi yang mampu, sebagai persiapan selama 3 bulan penuh sebelum memilih universitas impian. Berssykurnya aku, Bapak menyanggupi. Aku dan beberapa teman pun berangkat ke Medan, tidak lama setelah informasi kelulusan diberitahukan.
Sejak lahir tinggal di kampung, mataku terbuka setelah tiba di Medan. Betapa kecilnya kampung halamanku. “Pantas saja banyak teman sekolah yang pindah kemari”, pikirku. Selama bimbingan, aku belajar hidup bersama orang lain (teman- teman semasa sekolah), belajar bergaul, belajar bertanya, belajar menerima realitas, bahwa aku punya banyak sekali kekurangan. Selama tiga bulan di Medan, aku makin memahami kalau kehidupan di Bandung dan di Jakarta akan jauh lebih sulit daripada sekarang, namun di sisi lain aku percaya kehidupan sebenarnya ada di kota- kota besar itu. Aku harus bisa seperti kakakku, meninggalkan kampung halaman dan bersaing dengan orang- orang kota.
Awal 2006, aku diterima di Universitas Sumatra Utara untuk program studi S1 Biologi. Tetapi sejak SMA aku gemar belajar bahasa, itu sebabnya memasuki kelas 3 SMA aku memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Bahasa yang kemudian dipindahkan ke Ilmu Pengetahuan Alam oleh pihak sekolah dengan alasan peminat IPB sangat sedikit, hanya ada 11 siswa! Kemudian aku mencoba ujian masuk Universitas Negeri Medan, jurusan Pendidikan Bahasa Asing, program studi Bahasa Jerman. Aku memilih UNIMED, berharap bisa memperdalam pengetahuanku berbahasa.
Masa kuliahku lebih berkesan jika dibandingkan dengan masa SMA. Selama kuliah, aku menjadi mahasiswi yang selalu terdepan, aku aktif di berbagai kelas, memiliki kemampuan akademis yang baik, disenangi teman dan dosen- dosen. Hari- hariku selalu bahagia, karena aku dikelilingi orang baik dan pintar. Aku sangat menikmati kehidupanku di Medan. Jika harus menyesalkan satu hal, aku tidak lulus tepat waktu,- 4 tahun seperti harapanku. Aku menyandang gelar sarjana pendidikan setelah melewati masa 4.5 tahun perkuliahan. Alasannya? Rasanya aku tidak ingin berbagi di tulisan kali ini, yang pasti, aku yakin tidak pernah melakukan kesalahan selama proses bimbingan skripsi. Aku adalah mahasiswa yang patuh terhadap peraturan universitas dan program studi, temasuk juga ketentuan- ketentuan dari dosen pembimbing skripsi dan akademik. Karenanya, menjadi sarjana telat 1 semester bukan menjadi beban dan kedukaan bagiku. Sejak awal aku paham peran dan value-ku sebagai mahasiswa.
“Ke Bandung saja dulu. Sembari istirahat, main, sambil cari kerja dari sini”. Perutku rasanya penuh dengan kupu- kupu terbang ke sana kemari. Akhirnya aku akan ke Bandung! Sekarang aku harus memikirkan cara menyampaikan niatan ini ke Bapak. Ketika itu 2011, adikku masih duduk di kelas 3 SMA dan yang paling bungsu kelas 3 SMP. Ada rasa khawatir aku tidak akan mendapatkan izin pergi, mengingat kami hidup tanpa mamak sejak pertengahan 2006. Segala pekerjaan rumah adalah tanggungjawabku sejak kakak pergi melanjutkan studi ke Bandung. Kalau aku juga pergi, rumah siapa yang mengurus? Adek- adek gimana? Tetapi Bapak bilang aku tidak perlu khawatir, kan? Egoku bilang, aku sudah menyelesaikan kuliah dan menjadi seorang sarjana seperti yang dikehendaki oleh Bapak, sekarang tidak ada alasan baginya untuk menolak keinginanku bertolak ke Bandung. Aku kan ingin kerja. Meski dalam kepala penuh rasa cemas, aku tidak tahu apa yang akan aku hadapi sebentar lagi.
Seperti dapat ditebak, aku sudah di Bandung! Semua hal yang selama ini hanya ada di bayanganku, sekarang nyata di depan mata! Pertama kali memasuki tol Pasteur, dalam hati aku mikir “Sama aja kayaknya sama Medan. Medan justru lebih banyak bangunan tinggi besar. Sebentar aku aku pahami bahwa Medan memang lebih luas dari segi wilayah dibandingkan Bandung, tetapi jumlah populasi Bandung jauh lebih banyak daripada Medan. Begitupun dengan indeks kualitas pendidikan dan pekerjaan, belakangan ku ketahui bahwa Bandung lebih unggul. Itu sebabnya orang- orang kampungku banyak yang memilih Bandung sebagai tempat merantau baru setelah Medan. Sepanjang hari aku tinggal di kamar kost kecil kakakku di daerah Sarijadi. Berjam- jam aku habiskan duduk di depan komputer ditemani suara bising dari CPU di sebelah kanan monitor, sesekali aku mengganti lagu- lagu yang terputar secara acak di Winamp. Tiba- tiba sebuah pesan masuk ke ponselku “Jangan lupa perbaiki CV, sambil- sambil apply”. Aku segera log in ke JobStreet, dan memasukkan kata kunci “Guru Bahasa Jerman” di kolom pencarian. Setelah membaca keterangan di kolom deskripsi pekerjaan dengan sangat hati- hati, aku mengunggah CV, surat lamaran kerja, dan begitu banyak sertifikat. Sambil menunggu feedback dari beberapa perusahaan yang sudah aku lamar, aku iseng mencari “Admin Assistant” di sebuah iklan lowongan kerja yang sudah dipost sejak sebulan sebelumnya. Sore datang, aku bersiap seperti biasa, karena aku akan diajak jalan- jalan oleh kakakku. Setiap kali keluar dari kamar kost, aku merasa sangat bahagia. Banyak sekali hal baru yang bisa ku nikmati termasuk jajanan pinggir jalan yang sulit aku temukan di kampung halamanku. Berpapasan dan berinteraksi dengan orang- orang di Bandung rasanya sungguh jauh berbeda, lembut dan sangat sopan. Bersyukurnya aku bisa menikmati masa- masa itu.
Aku ingat betul hari itu sekitar pkl 2 siang, aku sedang bermalasan di atas kasur tipis di kamar ketika tiba- tiba kakakku menelepon “Ada panggilan interview! Untuk lowongan admin assistant itu. Besok berangkat ya ke Jakarta, jam 4 subuh biar ga terlambat. Nanti aku jelaskan detailnya”. Pada saat apply pekerjaan, nomor yang kami lampirkan di CV adalah nomor kakakku, karena khawatir aku tidak paham cara menjawab panggilan interview. Kepalaku berputar, wajahku panas, dan jantungku berdegup kencang. Interview itu apa? Nanti ditanyain apa? Pekerjaan apa itu admin assistant? Hari rasanya berlalu sangat lambat, aku menunggu kakakku pulang kerja, meluapkan semua kecemasanku. Sembari menunggu, aku mengambil beberapa pakaian dari almari, aku susun di ranselku dengan semua dokumen penting yang akan kubawa besok ke Jakarta. Terakhir aku ke Jakarta ketika aku duduk di kelas 3 SD, pas usia 8 tahun. Sudah lupa bagaimana rasanya Jakarta seperti apa.
Mengetahui aku akan berangkat sendiri, rasa cemasku makin besar, sambil mandi aku menangis, berusaha mengalahkan rasa takut berlebihan. Kan ini yang aku mau, kerja jauh dari rumah. Kenapa takut? Aku gagal memahami bahwa besok adalah panggilan wawancara, bukan hari pertama bekerja. Rasa takutku mengalahkan akal sehat. Malam itu kami tidak menyusuri jalanan kota Bandung seperti biasa. Kami menghabiskan waktu di dalam kamar sempit itu, berlatih wawancara, mempelajari perusahaan yang aku akan tuju, cara naik travel, cara naik busway, cara bertanya kepada receptionist,cara memperkenalkan diri.
Berhenti di halte Tosari, aku berjalan menuju gedung Sequis, tempat yang aku tuju untuk wawancara pagi itu. Tiba- tiba seorang pria muda menepuk pundakku sambil berkata “Mba, itu ranselnya terbuka”. Sontak aku kaget dan memeriksa ranselku. Ponsel Nokia ku yang sudah tua hilang. Aku bahkan tidak merasa ada yang membuka kantung ranselku. Bodohnya aku, tidak memindahkan ransel ke depan ketika di tengah keramaian. Sambil menahan tangis, aku memasuki gedung tinggi yang berada di kawasan Sudirman itu. Aku dijadwalkan wawancara pkl 8.30 dan aku sudah tiba di lobby kantor jauh lebih awal. Orang pertama yang kutemui adalah perempuan cantik berperawakan sedang, kulit putih bersih, senyum ramah “Mau ketemu siapa Mba?” tanyanya sambil mematikan rokoknya dan meletakkannya di asbak yang terletak di meja receptionist. Setelah aku menjelaskan tujuanku, aku diminta untuk menunggu beberapa saat. Aku bisa merasakan jantungku berdegup sangat kencang. Ditambah rasa sedihku karena baru kehilangan ponsel. Untung aku masih punya ponsel baru satu lagi. Ponsel yang dicuri adalah ponsel tua yang sudah aku ikat dengan karet supaya baterainya tidak lepas.
Ternyata perempuan baik yang menyambutku tadi adalah calon managerku! Aku ingat betul duduk di sebuah ruangan kecil, berhadapan dengan dua orang yang tidak berhenti menanyaiku. “Oh, kamu bisa bahasa Jerman dong! Nanti coba ya ngobrol dengan Pak Andre, beliau dulu lama tinggal di Jerman”. Sebentar kemudian, seorang pria tinggi besar dengan rambut sedikit gondrong memasuki ruangan dan langsung menyalamiku. “Orang Batak jago nyanyi ya, coba kamu nyanyi deh”. Tidak terlintas sedikit pun di benakku bahwa pria ini adalah seorang warga negara Malaysia, karena tidak terdengat logat Melayu kental seperti pada umumnya. Wawancara pertamaku sangat berkesan. Semua rasa khawatirku hilang seketika. Ternyata wawancara kerja tidak mengerikan seperti kata orang- orang di media sosial. “Nanti dikabarin lagi ya! Secepatnya kita hubungi kamu lagi”.
Perjalanan pkl 4 subuh dari Bandung untuk wawancara 30 menit. Di depan pintu kantor aku bernapas lega, akhirnya selesai. Segera aku menghubungi seorang teman. Teman sekelas waktu SMA. Dia sudah lebih dahulu diterima bekerja di Jakarta, berbeda denganku yang menghabiskan berminggu- minggu bersantai di Bandung. Temanku bekerja di Gedung BNI 46 dan mengajakku makan siang di Gedung Indofood, masih satu kawasan dengan gedung tempatku berdiri saat itu. Sambil menunggu waktu makan siang, aku memberi tahu kakakku bahwa aku kehilangan ponsel, dan bahwa aku sudah selesai wawancara. “Ok Gapapa. Nanti jangan kesorean pulang biar ga terlalu malam sampai kost”, jawabnya.
Pertemuan singkat dengan teman semasa SMA rasanya menyenangkan. Bangga rasanya bisa duduk berdua di kota Jakarta, sama- sama berangkat dari kampung halaman yang berada jauh di pulau seberang. “Semoga diterima ya, Bridz”, katanya saat memberangkatkanku di pool Day Trans sore itu. Jakarta seru juga. Ramai dan semuanya indah di pandang mata. Kiri dan kanan gedung- gedung tinggi. Aku ingin bekerja di gedung yang tinggi, supaya bisa melihat pemandangan kota Jakarta dari meja kerjaku. Aku ingin pakai baju kerja yang bagus seperti orang- orang, ingin makan siang di foodcourt juga, seperti tadi siang. Sepanjang jalan kembali menuju Bandung, mataku tidak bisa terpejam barang sesaat. Aku terlalu bahagia, baru pulang dari Jakarta. Berragam rencana ada di kepalaku. Entah aku akan diterima bekerja atau tidak, urusan belakangan. Sesampainya di kost, aku bercerita tanpa henti, dan dengan bangga aku beritahu, aku bisa menjawab semua pertanyaan dalam bahasa Inggris. Tidak ada pertanyaan yang tidak mampu ku jawab, dan aku menyanggupi dipanggil kapan pun.
Ketika keesokan harinya belum ada kabar, aku risau. Seperti pagi- pagi sebelumnya, aku duduk di depan layar komputer dan kembali mencari- cari pekerjaan lain. Sepertinya karena aku seorang sarjana pendidikan, kurang cocok dengan perusahaan itu. Menjelang sore kakakku menghubungiku “Lolos Mel! Ditanya kapan bisa join! Bentar ya, aku pulang sekarang ke kost”.
Pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah adalah sebagai Junior Executive di Talent Acquisition Department. Ternyata aku tidak akan menjadi seorang guru. Ini berbeda dari yang ada di bayanganku beberapa bulan lalu. Lalu kemampuanku berbahasa Jerman akan aku kemanakan? Apakah bahasa Inggrisku cukup untuk pekerjaan ini? Apa kata teman- teman kampus nanti? Apakah Bapak akan senang? Karena aku senang! Aku senang akan bekerja di Jakarta. Di Jakarta! Gapapa salah jurusan (salju) yang penting aku diterima kerja!
#life#jakarta#menulis#writing#cerita#memoar#merantau#perantau#metropolitan#nonfiction#realstory#mystory#interview#wawancara#loker#lowongankerja
0 notes
Text
Ada tidak yang paling menyesakkan selain tidak pulang dari perantauan di lebaran kali ini, mana takbirannya 2x :')
#idulfitri2023#lebaran2023#mohonmaaflahirdanbathin#kata cinta#merantau#tulisan#hariraya#quoteshariraya
1 note
·
View note
Text
Bagian Sebuah Perjalanan Bagian 5 (Orang Lama)
Disini saya akan bercerita tentang orang lama yang sangat saya cintai di dua waktu yang berbeda. Ya waktu itu di masa sma dan sekarang saya dipertemukan lagi untuk saya cintai lagi. Dia adalah hidayah, dia adalah alasanku semangat untung pulang untuk pertama kalinya saat hidup diperantauan. Dia adalah pendengar yang baik ketika diriku kesepian disini, dia adalah orang yang bisa di andalkan,…
View On WordPress
0 notes
Photo
Dulu . Setiap ditanya . Jawaban pasti: . " Kayak eMas - Pokok'e kayak eMas " . Sekarang, . Setelah eMas kebanggaan nya #merantau ke salah satu padepokan di Jawa Timur sana. . Alhamdulillah, . Dia mulai percaya diri dengan gaya, tipe dan cara-caranya sendiri. . Aamiin 🙏🙏👍 . #koLaseLawas : #cakrawaLa01th #cakrawaLa02th #cakrawaLa03th #cakrawaLa04th #cakrawaLa05th #cakrawaLa06th #cakrawaLa07th #cakrawaLa08th https://www.instagram.com/p/ClZx4DtBYsf/?igshid=NGJjMDIxMWI=
#merantau#kolaselawas#cakrawala01th#cakrawala02th#cakrawala03th#cakrawala04th#cakrawala05th#cakrawala06th#cakrawala07th#cakrawala08th
0 notes
Text
Saat Jadi Gubernur, Anies Tak Larang Warga Merantau ke Jakarta, Ini Alasannya
JAKARTA | KBA – Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono meminta agar masyarakat yang mudik tak kembali membawa teman atau saudara usai Lebaran. Mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah DKI Jakarta itu menginstruksikan agar dinas kependudukan serta Satpol PP turut menyampaikan imbauan tersebut ke seluruh warga Jakarta. “Kalau nanti di dalam proses kembalinya masyarakat ke Jakarta, dari…
View On WordPress
0 notes