Tumgik
#Menghargai diri
aisndry · 5 months
Text
Lisan sebagai Penjaga Diri
Ada pepatah yg mengatakan "Apa yg kamu konsumsi nanti itulah yg menjadikan diri kamu menjadi seperti apa"
Sering kali kata yg kita keluarkan malah merendahkan diri sendiri atas ketidakmampuan karena membandingkan dengan hasil orang lain. Pada nyatanya, input-process-output tiap manusia berbeda-beda.
Ketika manusia memberikan afirmasi positif pada dirinya sendiri sebagai langkah awal penghargaan diri dalam membentenginya, maka ia punya visi dan misi dalam diri untuk menjadi seperti apa dalam memberikan dampak bagi dirinya dan orang sekitarnya. Kalau diri sendiri sudah dihargai maka ia pun dapat dengan mudah memberikan penghargaan secara positif terhadap lingkungannya.
16 notes · View notes
diksifaa · 5 months
Text
Aku Ada
Jutaan tanya dalam benak kerap muncul menanyai nurani, "Mengapa aku ada?" ia selalu muncul saat beban-beban berkumpul memenuhi ruang otak dan membuat raga menjadi lelah.
Namun semesta selalu baik, saat itu juga memberikan jawaban atas keraguan-keraguan yang ada. Entah itu berupa hal indah yang membuat tak bisa berkata-kata atau bahasa kerennya takjub, atau berupa perlakuan yang sangat dibutuhkan saat itu juga dari orang sekitar yang berdampak bahagia pada jiwa.
Dan kesadaran selalu datang setelah jawaban diatas hadir. "Ternyata aku punya peran ya, ternyata ada yang melihat dan memperhatikanku ya, ternyata aku harus semangat untuk orang tuaku ya", dan ternyata2 lainnya. Standar sekali memang, namun ini hal klasik yang penting untuk menjaga kewarasan.
Mungkin sedikit terdengar kurang baik, bahwa hal-hal seperti itulah yang banyak menyadarkan tentang arti diri, artinya ada, artinya aku.
Namun ini hanya salah satu memori. Sungguh momen momen bahagia yang Allah hadirkan banyak sekali yang membuat kita sangat berterima kasih pada diri kita sendiri, dan kita sangat menghargai diri.
Tapi, bagiku yang paling berkesan dan menyadarkan adalah momen adanya pelangi setelah badai.
Seperti melihat dunia baru, dan semangat baru, dan lebih mencintai diri setelah momen-momen seperti itu.
Semoga setelah ini apapun tantangan kehidupannya yang akan dilalui, kita selalu sadar untuk mencintai, menghargai, dan memberikan yang terbaik untuk diri sendiri.
Aku adalah aku. Dan semesta mengetahui itu
Terima kasih Allah, Aku Ada
~Faa
8 notes · View notes
yonarida · 3 months
Text
Tanda Seseorang Sudah Selesai dengan Dirinya Sendiri (Self Acceptance)
Apa itu self acceptance/ selesai dengan diri sendiri? Self-acceptance, atau penerimaan diri, adalah sikap menerima dan mengakui segala aspek dari diri sendiri, termasuk kekurangan, kekuatan, kelemahan, dan keunikan tanpa menghakimi atau merasa perlu mengubah diri untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Beberapa poin yang menjelaskan konsep self-acceptance:
Menerima Diri Apa Adanya: Self-acceptance berarti menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Ini termasuk menerima penampilan fisik, kepribadian, emosi, dan pengalaman hidup tanpa merasa malu atau bersalah.
Mengakui Kekurangan: Mengakui bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan itu adalah bagian dari menjadi manusia. Self-acceptance berarti tidak merasa minder atau rendah diri karena kekurangan tersebut, melainkan menerima dan berusaha memperbaikinya dengan bijak.
Tidak Menghakimi Diri Sendiri: Berhenti menghakimi diri sendiri secara negatif atau keras. Seseorang yang menerima diri sendiri akan berbicara kepada dirinya sendiri dengan cara yang penuh kasih dan pengertian, sama seperti berbicara kepada teman baik.
Menghargai Diri Sendiri: Menghargai diri sendiri atas siapa diri kita, bukan hanya atas apa yang kita capai. Ini berarti menghargai nilai-nilai, prinsip, dan keberadaan diri sendiri.
Menerima Masa Lalu: Self-acceptance juga melibatkan menerima masa lalu, termasuk kesalahan dan kegagalan, sebagai bagian dari perjalanan hidup yang membentuk siapa kita saat ini.
Memiliki Pandangan Positif Tentang Diri: Membangun pandangan positif tentang diri sendiri, di mana seseorang melihat dirinya secara seimbang, menghargai kekuatan dan berkomitmen untuk memperbaiki kelemahan.
Mengurangi Perbandingan Sosial: Tidak terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Self-acceptance berarti memahami bahwa setiap orang unik dan perjalanan hidup masing-masing berbeda.
Ketenangan Batin: Dengan menerima diri sendiri, seseorang akan merasa lebih tenang dan damai secara batin, karena tidak lagi berjuang melawan diri sendiri atau mencoba menjadi orang lain.
Self-acceptance adalah dasar dari kesehatan mental dan emosional yang baik. Dengan menerima diri sendiri, seseorang bisa hidup lebih autentik, menjalani hidup dengan lebih bahagia, dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
Tanda Seseorang Sudah Selesai Dengan Dirinya Sendiri Tanda seseorang sudah selesai dengan dirinya sendiri (self-acceptance) dapat terlihat dari berbagai aspek, antara lain:
Penerimaan Diri: Mereka menerima diri mereka sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihan tanpa merasa perlu menyembunyikan atau mengubah siapa mereka untuk menyenangkan orang lain. Meski begitu, tetap butuh untuk instropeksi dan mengembangkan diri bagi perbaikan dan kebaikan.
Ketenangan Batin: Mereka memiliki ketenangan batin dan tidak mudah terganggu oleh kritik atau pendapat negatif dari orang lain.
Mandiri Emosional: Mereka tidak bergantung pada orang lain untuk merasa bahagia atau berharga. Kebahagiaan dan rasa harga diri mereka berasal dari dalam diri.
Tujuan Hidup yang Jelas: Mereka memiliki tujuan hidup yang jelas dan bekerja menuju tujuan tersebut tanpa merasa tertekan oleh ekspektasi eksternal.
Keberanian Mengambil Keputusan: Mereka berani mengambil keputusan yang sesuai dengan nilai dan keyakinan mereka, meskipun keputusan tersebut tidak populer atau didukung oleh orang lain.
Relasi yang Sehat: Mereka memiliki hubungan yang sehat dengan orang lain, dimana mereka bisa memberi dan menerima dengan tulus tanpa merasa terbebani.
Kepercayaan Diri: Mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan yakin akan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan hidup.
Tidak Membandingkan Diri dengan Orang Lain: Mereka tidak merasa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain dan fokus pada perjalanan hidup mereka sendiri.
Kemampuan Menghadapi Kegagalan: Mereka melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar dan tumbuh, bukan sebagai cerminan dari nilai diri mereka.
Keseimbangan Hidup: Mereka mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan waktu untuk diri sendiri, serta mengelola stres dengan baik.
Jika seseorang menunjukkan tanda-tanda ini, bisa dikatakan bahwa mereka telah selesai dengan diri mereka sendiri dan mencapai tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang tinggi.
491 notes · View notes
ajinurafifah · 1 month
Text
Sumber Kebahagiaanku Nggak Cuma Dia
Sekalipun kamu sudah menikah, jangan menggantungkan kebahagian sepenuhnya kepada pasanganmu. Kalau kita gantungkan semuanya sama dia, sepertinya terlalu berat beban "perahu" ini. Dayungnya nggak kuat...
Coba punya hobi atau rutinitas sendiri, sekalipun kita cuma ibu rumah tangga. Milikilah rutinitas, ikutlah komunitas. Supaya kebahagiaanmu nggak cuma berputar di dia.
Kita nggak akan mudah bosan, nggak terus-terusan nunggu dia untuk mewujudkan beberapa hal yang kita inginkan. Maksudku... bisa saja mimpi A diwujudkan bareng pasangan, tapi mimpi B nggak harus menunggu dia. Kita bisa mewujudkannya sendiri!
Andai kata suami lagi sibuk sekali dan berkurang waktunya untuk kita, sambil nunggu dia kembali ke ritmenya lagi--kita bisa mencari kesenangan sendiri.
Aku suka nulis, aku suka nonton film, aku suka berkomunitas. Ini caraku supaya nggak bosan. Masing-masing dari kita punya ruang. Hidup bersama bukan berarti terus menerus bersama, kita juga punya ruang untuk diri. Tinggal bagaimana sama-sama mengerti, menghargai, dan mendukung satu sama lain. Nah perasaan saling ini, juga nantinya bisa menghadirkan kebahagiaan yang lain.
Selamat meniti bahagia, jalannya ternyata banyak! Selamat menata 'ruang' untuk diri!
329 notes · View notes
kafabillahisyahida · 2 months
Text
Pengen jadi orang yang suksesnya ga dimanfaatin gagalnya ga diketawain. Aibnya ga dicari-cari. Amalnya ga dipuji-puji. Enak dan Ga malu makan dipinggir jalan, pakai baju, kendaraan untuk dimanfaatin fungsinya bukan untuk dipamerin bagus /mereknya. Kalo post cari rejeki, bagi inspirasi bukan pamer kehidupan pribadi.
Ga keras lagi pada diri sendiri, ga berambisi pada mimpi, ga ada rasa ingin membuktikan ke orang lain yang meremehkan, ga pengen menunjukkan bahwa aku ada dan layak diperhatikan.
Ingin jadi orang biasa
Yang bahagianya tak terusik orang yang sirik. Yang dukanya tak jadi sorotan dan bahan gunjingan.
Yang tenang dan benar-benar menikmati hidup, bila ada gak kelihatan,bila ga ada ga dicari. Bila perlu biar Orang lupa nama atau lupa wajah. Namun manfaat dan karyanya dirasakan sebanyak-banyaknya, ga peduli walau ga dihargai. Masa bodoh dengan harga diri, harga diri itu hanya Allah yang layak memberi dan menghargai.
222 notes · View notes
taufikaulia · 7 months
Text
Apa yang Kamu Rasakan Saat Pasanganmu Bilang ‘Sama, Aku Juga Capek’ Saat Kamu Mengeluh Capek?
Salah satu pendewasaan yang saya sadari setelah menikah adalah menahan diri untuk tidak bilang ‘sama, aku juga’ saat pasangan sedang mengeluh seperti capek, kurang tidur, atau kerjaan kantor banyak sekali.
Saya orangnya jarang-jarang mengeluh, tapi sekalinya mengeluh ya cuma sekadar ingin mengeluh saja, bukan kode untuk diserve ini dan itu oleh pasangan.
Pernah beberapa kali pasangan saya spontan merespon begini, “Sama, aku juga capek.” Mungkin dia tidak ada maksud apa-apa, sama seperti saya yang sekadar bercerita saja. Tapi rasanya yang tadinya saya harapkan bisa plong kok malah jadi sesak ya. Saya tidak merespon apa-apa lagi.
Sekali, dua kali, tiga kali, terus terulang seperti itu. Dan rasanya masih sama. Sepertinya bukan respon seperti ini yang saya inginkan.
Lama saya merenung kenapa saya kurang suka dengan respon seperti itu. Ternyata kemudian saya sadari bahwa saya terbiasa mendengarkan keluhan dan saya jarang mengeluh. Saat pasangan saya mengeluh, saya berusaha mendengar tanpa menimpali dan mencoba mencarikan solusi bila diperlukan.
Lalu saat saya mengeluh dan mendapat respon ‘sama, aku juga’ itu rasanya seperti saya ini tidak boleh mengeluh. Padahal niat saya mengeluh hanya sekadar mengeluh saja biar plong, bukan untuk membandingkan siapa yang lebih capek.
Sekali lagi, mungkin maksud pasangan saya bukan seperti itu. Hanya saja yang namanya komunikasi itu kan dua arah, ada potensi lain maksud lain juga penerimaannya. Dan dalam pernikahan, baik suami atau istri, adalah sama-sama subjek. Maka, menurut saya, saya perlu untuk menyampaikan ketidaksukaan saya atas respon seperti itu. Biar sama-sama senang dan sama-sama belajar.
Komunikasi yang baik antara suami dan istri itu komunikasi yang setara, yang bisa didengarkan dan mendengarkan satu sama lain, yang mau saling menghargai dan saling memberi ruang untuk berekspresi.
Saya gak sadar bahwa kalimat pendek ‘sama, aku juga’ itu bisa bikin kesal. Awalnya saya kira biasa saja, lama-lama kesal juga hehehe. Tapi inilah yang namanya pendewasaan. Pasangan saya tidak benar-benar salah, dan saya juga tidak sepenuhnya benar. Ini hanya soalan pola komunikasi yang berbeda dan perlu disinkronkan. Itu saja. Semoga saja.
@taufikaulia
316 notes · View notes
ulvafdillah · 1 year
Text
Karena menikah adalah tentang mengubah kebiasaan.
Menikah bukan hanya menyoal menyatukan persepsi. Atau membangun komunikasi.
Bukan pula menyoal maklum-memaklumi. Atau menerima segalanya dengan besar hati.
Menikah adalah perihal nafkah lahir dan batin yang diberikan oleh suami kepada istri. Juga perihal pengabdian dan ketaatan dari istri untuk suami.
Menikah adalah tentang mengubah kebiasaan, mengatur waktu, merencanakan masa depan, mengolah finansial, pun mengambil peran dalam pengasuhan.
Jika segala urusan rumah diberikan sepenuhnya kepada istri, maka bukan penampakan baru lagi. Jika di kemudian hari kita mendapatkan para istri yang hidupnya penuh dengan tekanan, penuh dengan derai air mata, penuh pembangkangan dan penolakan.
Sebab mentalnya rusak, fisiknya lemah akibat dari pekerjaan rumah yang dianggap - oleh hampir keseluruhan manusia - adalah tanggung jawabnya.
Padahal rumah adalah tentang bersama. Pekerjaan yang melingkupi di dalamnya adalah tanggung jawab anggota keluarga.
Pun sama ketika seorang suami hanya memposisikan diri sebagai tulang punggung keluarga, sebagai sumber dana, sebagai pencari nafkah. Sehingga mindset yang tertata hanyalah menyoal uang. Untuk kemudian lahirlah sifat dan sikap yang menggurat luka di dalam diri sang istri.
Tidak ingin berperan dalam urusan rumah dan mendidik anak. Tidak ingin meringankan beban istri, tidak ingin berusaha lebih untuk menyenangkan hati istri.
Karena tidak selalu perihal uang yang membuat seorang istri bahagia.
Adakalanya pelukan hangat, bantuan mengurus rumah dan menjaga anak, waktu-waktu yang dihabiskan berdua, janji-janji yang ditunaikan, perasaan-perasaan yang dihargai; adalah bentuk bahagia yang lain.
Karena menikah adalah upaya mengubah kebiasaan. Mengubah semua hal-hal yang pernah dilakukan seorang diri, menjadi kebiasaan yang harus dilakukan berdua bersama pasangan.
Karena menikah adalah upaya memberikan lebih banyak waktu kepada keluarga. Menomorsatukan mereka, menjadi peka terhadap perasaannya.
Karena menikah adalah perihal saling; saling meringankan beban pekerjaan rumah; saling menghargai dalam setiap keputusan; saling menghormati dalam berbagai keadaan.
Karena menikah adalah tentang mengubah kebiasaan. Menjadi tahu dan paham bahwa begitu banyak kebiasaan yang mesti diubah jika telah hidup berkeluarga.
Bukan malah berlaku seenaknya hanya karena dia adalah kepala rumah tangga. Dan bukan pula bertingkah semaunya hanya karena dia adalah seorang wanita yang mesti dimuliakan oleh suaminya.
Karena sungguh, menikah adalan tentang kesadaran untuk mengubah kebiasaan.
Kesadaran untuk mau memahami bahwa sebaik-baik waktu yang dihabiskan seorang laki-laki adalah bersama keluarga dan istri.
Kesadaran untuk mau mengerti bahwa sebaik-baik ketaatan yang mesti dilakukan oleh seorang perempuan adalah ketaatan kepada suami.
06.13 a.m || 13 Juni 2023
955 notes · View notes
ffahraa · 3 months
Text
117
Kalau kamu nemuin tulisan ini,
"Semangat ya...boleh menyesal karena tidak melakukan sesuatu yang baik itu sejak dulu, tapi menyesalnya jangan lama-lama. Kata temanku, nggak ada kata terlambat untuk memulai, kok.
Garis waktu setiap orang itu berbeda. Nggak usah bandingin diri kita sama yang lain. Kita lahir di tanggal yang berbeda. Kalaupun tanggalnya sama, tempatnya-nya berbeda. Saudara kembar pun lahir di waktu yang berbeda, kan? Kata Ayah, se-enggak beruntungnya kita, masih ada yang lebih enggak beruntung lagi.
Nikmati prosesnya, sakitnya, jatuhnya, dan hal-hal nggak enak di tengah dunia yang hanya menghargai hasil dan pencapaian. Kata Ibu, semua kesulitan itu pasti mengajarkan kita pada sesuatu. Apapun itu.
Nggak papa kalau nggak sempurna. Karena memang ngga ada yang sempurna di dunia ini, kan?"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apa urusanku dengan dunia ini?! Tidaklah aku di dunia melainkan ibarat pejalan kaki yang berlindung di bawah naungan sebatang pohon, istirahat, lalu pergi meninggalkannya.’’(HR. Tirmidzi).
@ffahraa
91 notes · View notes
jejaringbiru · 10 months
Text
Tumblr media
Seringkali kita belajar pada hal-hal yang sebenarnya kita sudah mengetahuinya. Tanpa belajar dari seorang gurupun ilmu itu tersebar dimana-dimana. Bahkan terkadang kita meremehkan. Mengapa saya harus memperhatikan saat pembelajaran dikelas sedangkan di internet pengetahuan tersebut dapat dengan mudah ditemukan.
Sebenarnya bukan itu esensi dari belajar. Jika belajar hanya untuk menumbuhkan pengetahuan saja, tak perlu ada sentuhan seorang guru. Belajar saja kita di dunia maya karna pengetahuan ada dimana-mana. Esensi dari ilmu adalah adab. Menghargai mereka yang menyampaikan meskipun mungkin saja membosankan. Tulus mencurahkan waktu untuk belajar, mengalahkan ego sendiri bahwa diri lebih baik dari yang lain. Juga upaya mencintai orang yang berilmu.
Guru adalah pelita. Seburuk apapun mereka pasti ada cahaya yang dibawa. Darinya kita belajar ketulusan meskipun seringkali kita acuhkan. Kadang kita hanya menyerap pengetahuan bukan kebaikan. Seringkali pula kita hanya fokus mengasah isi kepala bukan merawat hati agar tetap tumbuh baiknya. Bagaimana mungkin ilmu itu menyerap ke hati seorang pembelajar sedangkan pada gurunya saja "kurang ajar".
Ketahuilah bahwa ilmu itu melahirkan adab yang baik, bukan kata yang menghardik. Ketahuilah pula keridhoan seorang guru ialah menghasilkan keberkahan ilmu. Tandanya apa? Ia berguna bagi orang disekelilingnya, tutur katanya terjaga dan ia menghargai sesama dengan tindakan bukan sekedar perkataan. Bahkan seringkali tanda keberkahan ilmu adalah ketenangan hati dan jiwa bukan pada riuhnya isi kepala. Keberkahan ilmu itu bukan pada besaran nilai IPK, bukan pula pada luasnya pengetahuan, atau prestasi yang membanggakan. Jikapun itu ada pada diri kita, anggap saja itu bonus. Jangan jumawa apalagi sampai melupakan jasa-jasa mereka. Barangkali sukses yang kita nikmati hari ini adalah bagian dari doa-doa panjang mereka.
✍🏻 : @yurikoprastiyo 🎨 : @padangboelan
209 notes · View notes
aisndry · 4 months
Text
Bodo Amat
Aku ini adalah penganut ketidakpastian. Aku kurang setuju dengan mereka yang sering berkata kalau hidupmu pasti akan seperti ini atau seperti itu, kamu kejam, kamu jahat. Jujur saja, penilaian dan validasi mereka bukan menjadi label bagi dirimu.
Bingung? Merasa bahwa aku ini Egois? Ya, bukankah seperti inilah manusia mencari kepastian di tengah ego mereka. Lalu, bagaimana kamu percaya dengan perkataan mereka? Pasti kamu berusaha untuk mengelak, entah berusaha meragukan perkataan mereka, menuduhnya pembohong. Hingga mencari validasi perkataan mereka tentang dirimu kepada orang lain. Dan akhirnya mengurung diri di kamar agar terhindar dari kejadian buruk.
Selama ini kita akan merasa senang jika ada orang yang memuji kita pintar, dan kita pun pasti akan berkata bahwa dia pintar. Tapi bagaimana jika ada orang yang mengatai bodoh. Wah umpatan pun akan keluar dari mulut kita. Terkadang kita ini memang lucu, seperti burung beo.
Jika orang lain menyebutmu bodoh, jelek, gendut, kejam, tidak menarik, pemalas, teledor maka acuhkan saja. Terserah mereka mau berkata apa.
Tapi satu hal yang perlu kamu tau. Seburuk, sebodoh, atau sejelek apapun seseorang, dia tetap memiliki hak untuk sukses. Hak untuk tidak diremehkan. Hak untuk mencapai tujuan tertinggi dalam hidupnya. Hakmu tidak ditentukan oleh kekuranganmu.
Terlebih lagi, hak yang kamu miliki tidak ditentukan oleh kegagalan yang sebelumnya kamu alami.
1 note · View note
terusberanjak · 8 months
Text
Semoga setiap diri sadar bahwa badai datang bukan untuk memporak-porandakan, tapi untuk membentuk diri jadi lebih kuat, pandai menghargai orang lain, dan mampu bersyukur terhadap hal-hal kecil. Bukankah untuk mendapatkan hal besar, kita harus mampu mensyukuri hal-hal yang terlihat kecil dahulu?
@terusberanjak
156 notes · View notes
langitawaan · 3 months
Text
190.
Kalau kamu mundur setelah banyaknya kesabaran kamu sebenarnya sudah menang.
Kalau kamu menyerah setelah berulang kali memberi kesempatan untuk berbenah kamu pun sudah benar.
Nggak semua orang bisa dikasih kesempatan ketiga, keempat dan seterusnya.
Nggak semua orang bisa menghargai kebaikan kamu untuk memaafkan.
Dan kamu berhak tegas sama perasaan dan kebahagiaan diri sendiri karena mempertahankan yang jelas salah itu salah.
Hujan, 19.26 | 03 Juli 2024.
135 notes · View notes
ajinurafifah · 5 days
Text
Memakai ART Di Rumah Bukanlah Aib
Dulu aku sempat berpikir, memiliki asisten rumah tangga (ART) di rumah adalah sebuah kekurangan sebagai istri. Aku merasa bukan istri yang satset dan telaten. Di berbagai konten sosial media, banyak yang memuji ibu-ibu tanpa ART sebagai ibu yang hebat seakan-akan yang menggunakan ART menjadi berbeda nilainya..
Nasihat Rasulullah pada anaknya, Fatimah menjadi penyemangatku saat benar-benar keteteran.
“Wahai Fatimah, tiada istri yang menggiling tepung untuk suami dan anaknya kecuali Allah mencatatkan kebaikan baginya pada setiap biji dari gandum, meleburkan dosa-nya, dan meninggikan derajat-nya.”
Di tahun-tahun pertama pernikahan aku stress dengan segala beban kerja domestik ditambah aku sedang hamil anak kedua. Sesuatu yang menjadi pengalaman pertama bagiku karena dari aku kecil, ayahku selalu menyediakan ART untuk ibu di rumah.
Baik orangtua maupun mertua menyarankan untuk mempekerjakan ART di rumah. Tapi aku masih keukeuh untuk menggarap semuanya sendiri, karena standar ibu yang keren bagiku masih ibu-ibu yang mengurus rumahnya sendiri tanpa ART. Sebenarnya aku nggak sesendirian itu mengerjakan pekerjaan rumah karena suami selalu terlibat. Suamiku yang mencuci dan menjemur baju, sering juga ikut mencuci piring. Cuma bagiku, semuanya tetap tanggung jawab istri. HAHAHA definisi mempersulit diri sendiri.
Sampai satu ketika aku sudah kewalahan dan berimbas ke emosi yang tidak stabil ke anak maupun suamiku. Kamipun sepakat mempekerjakan ART di rumah, dan berkali-kali suamiku menekankan bahwa ini bukan sebuah dosa, bukan sebuah kekurangan, toh kita juga malah membantu ART untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Terlalu lama di stereotype bahwa semua tugas domestik rumah tangga adalah tanggungjawab istri, membentuk pikiranku jadi seperti ini. Padahal yang diajarkan Rasulullah berbeda. Rasulullah sangat suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Rasulullah bahkan tidak membebankan pekerjaan rumah tangga kepada istrinya.
Dalam sebuah hadits, Aisyah Ra. pernah ditanya, "Apakah yang dilakukan Rasulullah SAW di rumah?"
"Beliau ialah seorang manusia biasa. Beliau menambal pakaian sendiri, memerah susu, dan melayani diri beliau sendiri," jawab Aisyah Ra. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Mayoritas ulama sepakat bahwa mengerjakan pekerjaan rumah termasuk kewajiban suami. Empat mazhab besar termasuk yang berpendapat demikian. Ulama dari empat mazhab besar, yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan ditambah Mazhab Adz-Dzahihiri, semua sepakat mengatakan bahwa para istri sebenarnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. Kewajiban istri lebih dibebankan kepada melayani suaminya dalam urusan 'ranjang'.
Jadi, secara umum jumhur ulama cenderung sepakat bahwa tugas istri bukan mengerjakan urusan rumah tangga. Kalau pun ingin dikerjakan sendiri, maka itu menjadi sebuah ibadah sunah yang akan menambah nilai pahala bagi istri.
Sebuah plot twist yang kemudian banyak menyadarkanku. Tapi ini nggak menjadikan kita sebagai istri berhak semena-mena ke suami. Jadi validasi supaya bisa malas-malasan di rumah. Lebih kepada, rumah tangga ini sebaiknya dibangun atas dasar saling menghargai dan saling cinta...
If we love some one, we could do anything for him/her, ya nggak sih? wkwk. Saling bantu membantu, saling backup, akan sangat menambah rasa cinta kita kepada pasangan.
Jadi casenya, buat istri yang disediakan ART oleh suaminya, jadi makin cinta karena suami melakukan kewajibannya..
Istri yang nggak ada ART, tapi suaminya terlibat dalam domestik , dan saling bantu, jadi semakin cinta karena kerja sama tim yang luar biasa.
Suami yang istrinya sanggup mengerjakan kerjaan domestik, jadi makin cinta karena kewajibannya sudah dibantu diringankan oleh istrinya.
Suami yang tidak sanggup menyediakan ART untuk istrinya, secara sadar menunaikan kewajibannya mengurus rumah tangga, dan sangat berterimakasih kepada istrinya karena sudah mau membantu meringankan pundaknya.
Suami yang sibuk bekerja, dan tidak banyak mengerjakan domestik, sangat menyayangi dan menghormati istrinya karena sudah banyak dibantu. Sehingga, dia memuliakan istrinya dengan cara yang lain, yang dia bisa.
Alhamdulillah, alhamdulillaaah..
Islam begitu indah mengaturnya :)
67 notes · View notes
kurniawangunadi · 10 months
Text
33 Tahun : Dinamika, Kestabilan, dan Tujuan
Alhamdulillah tiba masanya di usia 33 tahun. Sepuluh tahun yang lalu aku masih menjadi mahasiswa yang baru akan sidang tugas akhir, menggendong segudang pertanyaan akan ke mana setelah lulus nanti. Pertanyaan yang akhirnya telah kujalani jawabannya dalam 10 tahun terakhir.
Dinamika di usia ini berbeda, dulu kupikir kalau sudah melewati fase Quarter Life Crisis di rentang usia 20-30, berikutnya akan baik segala sesuatunya. Ternyata tidak gais! Ada fase krisisnya sendiri, bahkan ketika memiliki pekerjaan - masih mempertanyaan apakah diri ini akan menjalaninya seumur hidup, apakah akan selamanya bekerja ini sampai nanti di tepian liang lahat?
Belum lagi urusan pertemanan yang semakin selektif. Lebih cenderung mencari teman-teman sefrekeuensi di urusan-urusan dunia dan akhirat. Menghindari orang-orang yang rumit bin ruwet. Memilih untuk memperkecil lingkaran orang-orang dekat, tapi kebutuhan untuk meluaskan jejaring untuk membangun privilage untuk anak-anak tetap diperlukan. Semacam kontradiktif memang, tapi menjadi orang tua - mulai bisa merasakan apa yang diupayakan orang tua dulu, berusaha untuk memudahkan jalan anak-anaknya.
Di tengah pekerjaan yang sangat dinamis, ternyata menjalani hidup di usia ini cenderung untuk mencari kestabilan. Baik itu secara emosi, finansial, relasi, dan hal-hal lainnya. Kalau bisa tidak perlu bermasalah dengan orang lain atau apapun agar tidak mengganggu kestabilan ini. Jiwa-jiwa petualang terasa berbeda sekali, apalagi saat anak-anak mulai masuk usia sekolah. Penyesuaian terhadap waktu mereka, kebiasaan, dan hal-hal baru yang baru mereka temukan pertama kali dalam hidup sehingga tidak ada habisnya pertanyaan baru setiap hari atas rasa ingin tahunya yang membuncah, sudah cukup untuk menjadi tantangan hari demi hari.
Mulai memikirkan lebih dalam juga terkait tujuan dari akhir hidup ini. Apa sih yang mau dikejar dengan segala hal yang menyita waktu selama ini? Mulai lebih tenang ketika ada masalah, mulai lebih bijaksana (menurutku) dalam melihat kesempatan, sehingga tidak mudah teralihkan dari tujuan. Mulai menata lagi makna-makna hidup, mulai melihat diri sebagai makhluk yang kecil dan lemah, tidak ada alasan untuk sombong dan merasa paling benar.
Menjalani usia 30an ini benar-benar berbeda.
Pesan yang mungkin bisa kutinggalkan di sini ketika dibaca oleh teman-teman yang masih 20an, coba lakukan assesment ke dalam diri sendiri (bisa dgn bantuan ahli), apakah saat ini secara mental dan emosional ada hal yang perlu dibetulkan atau memang sudah matang. Sehingga jika ada hal di dalam diri yang perlu untuk kita sembuhkan lukanya, traumanya, maka selesaikanlah itu. Kalaupun memakan waktu, ambillah.
Sangat menenangkan bisa mencintai dan menghargai diri sendiri. Sangat menenangkan jika kita bahagia menjalani hidup dengan diri ini, dengan cara berpikirnya, dengan sudut pandangnya, dan juga dengan segala hal yang melekat pada badannya. Kurang dan lebihnya telah diri terima. Dan diri tahu betul, akan ngapain dengan badan dan jiwa ini.
Sampai bertemu di usia 30-an kalian. Nanti kita cerita-cerita lagi :)
174 notes · View notes
hellopersimmonpie · 10 months
Text
Lagi ngedesain game dan kepikiran bahwa dulu pernah dengan naifnya percaya bahwa:
Jika seorang anak dididik dengan benar, mereka nggak perlu menemukan krisis.
Sekarang baru nyadar kalau manusia tidak akan pernah lepas dari krisis karena hidup itu dinamis. Di game, tiap ngenalin behavior baru, kita disarankan untuk mengurangi difficulty level biar player tidak stress.
Hidup selalu mengenalkan kita pada banyak masalah baru. Hanya saja tidak ada jaminan bahwa ketika ada masalah baru, hal-hal di sekitar kita jadi lebih mudah dikendalikan. No. Yang ada malah semua jadi kerasa messy.
Tidak ada model pendidikan seperti apapun yang membebaskan kita dari krisis. Kita hanya selalu dipaksa menjadi resilient oleh keadaan. Kemana pertumbuhan kita dalam resiliensi tersebut? Cara lingkungan memperlakukan kita mungkin bakal sedikit banyak mempengaruhi. Yang diperlakukan dengan manipulatif mungkin akan belajar menjadi manipulatif untuk bertahan. Yang diperlakukan dengan penuh penghargaan ke diri sendiri mungkin akan mampu menghargai diri sendiri dan orang lain. Tapi ini tidak mutlak. Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi.
Adulting is hard. Nurturing is also hard wkwk.
Kadang-kadang, ketimbang preaching orang harus begini ataupun begitu, kita memang perlu belajar humble dan banyak doa semoga kita dikaruniakan akhir hidup yang baik meski pas hidup tuh sering nyasar kemana-mana.
196 notes · View notes
amelianurhabibah · 1 year
Text
Sering kali aku temui, seseorang yang biasa biasa aja. Sederhana, tapi kalau dipandang ia menenangkan, saat berbicara dengannya, yang keluar dari lisannya hanyalah perkataan yang baik, dan ketika bersamanya ia menyejukkan hati.
kucari tau sebabnya. Ternyata kuncinya adalah menghargai diri sendiri. Iya, tidak peduli dengan tanggapan orang lain atas dirinya. Yang dia perdulikan adalah, apakah Allah suka? Atau tidak?, Ia bersikap dan berperilaku apa adanya, jadi diri sendiri.
Ia bersyukur atas semua yang Allah beri untuknya, dan secara otomatis keluar lah positive vibes dari dalam dirinya.
Memang benar adanya, kecantikan wajah hanya akan membuat seseorang menatap. Namun kecantikan hati dan akhlak membuat seseorang menetap.
MasyaAllah Tabarakallah...
975 notes · View notes