#tanah nusantara
Explore tagged Tumblr posts
Text
Indonesia is Constructing Nusantara, a $35 billion new capital, As Jakarta sinks.
Indonesia is Constructing Nusantara: Jakarta, the capital and main metropolitan center of Indonesia, is located on the northwest coast of Java, where the Ciliwung River meets the sea. With around 40% of its landmass currently below sea level, Jakarta, home to over 10.6 million people within its city limits and about 30 million in its metropolitan area, is urgently facing the problem of sinking.
Article Source Link
#nusantara#nusantara explained#ikn nusantara#nusantara 2024#ibu kota nusantara#indonesia nusantara#tari nusantara#nusantara 2024 update#nusantara new capital#tari nusantara mix modern#tarian nusantara mix modern#indonesia capital nusantara#nusantara bau#anak nusantara#lagu nusantara#tanah nusantara#artos nusantara#nusantara indah#lirik nusantara#rewind nusantara#cerita nusantara#nusantara project#nusantara history#azzahir nusantara
0 notes
Text
DPP Putra Nusantara Salurkan Bantuan Rp 5 Juta untuk Korban Bencana Tanah di Totogan, Karangsambung
KEBUMEN, Kebumen24.com – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Putra Nusantara memberikan bantuan kepada korban bencana tanah di Desa Totogan, Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen. Bantuan senilai Rp5 juta tersebut telah disalurkan melalui Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kebumen. Continue reading DPP Putra Nusantara Salurkan Bantuan Rp 5 Juta untuk Korban Bencana Tanah di Totogan, Karangsambung
0 notes
Text
Tanah Seluas 56,8 Ha Istana Negara dan Garuda di IKN Resmi Bersertifikat
KALTIM | INTIJATIM.ID – Istana Negara dan Istana Garuda yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia kini resmi bersertipikat. Sertipikat Tanah Elektronik berupa Hak Pakai telah diserahkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kepada Menteri Sekretaris Negara, Pratikno dan disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo…
0 notes
Link
Seiring dengan berjalannya “WikiTrade World Trading Contest 2023”, WikiFX juga akan segera mengadakan acara kompetisi terpisah arau tersendiri yang ditujukan untuk masyarakat Indonesia, tentunya dengan hadiah yang tidak kalah menarik!
#garuda#garuda muda#indonesia#indonesia raya#indonesia jaya#ayo indonesia#nusantara#tanah air#wikitrade#wikifx#wikifx indonesia#constest#competition#race#referral#kontes#kompetisi#perlombaan#pertandingan#jadwal pertandingan
0 notes
Text
Yang Membuat Hidup
Apa yang membuat peradaban hidup? jawabanya adalah Iman.
Kita memahami bahwa Islam itu pasang surut di setiap zamanya. Ketika Islam meredup di suatu tempat, Allah memunculkan suatu kaum untuk menyalakan api dakwah kembali di tempat lain.
Ingatkah kau dengan korupnya Bani Umayyah? dengan kezaliman pemimpin-pemimpin itu, Allah menghadirkan kembali Khalifah yang shaleh dan peduli akan masyarakatnya, Beliau adalah Umar bin Abdul Azis Sang Khulafaurrasyidin ke-5.
Ketika Bani Umayah mulai lalai, munculah Bani Abbasiyah dengan kegemilangn ilmu pengetahuanya. Ketika Abbasiyah sedang lemah karena cinta dunia, munculah Turki Seljuk yang gagah berani dari Asia Tengah untuk menyelamatkan Izzah kaum Muslimin.
Beberapa masa setelahnya, Turki Seljuk dilanda perpecahan, munculah dinasti Zankiyah dilanjutkan dengan Ayyubiyah yang memiliki cita-cita untuk membebaskan Al-Quds kembali.
Bersama dengan itu, Ayyubiyah mulai dilanda perpecahan internal, Turki Rum Seljuk mengambil peran dengan melindungi kaum Muslimin dari arah barat. Kilic Arslan dan Aleadin Keykubad menjadi momok bagi Pasukan Salib yang melewati Anatolia agar tidak terlalu jauh masuk ke bumi Syam.
Di belahan bumi lain, pelarian Bani Umayah, Abdurrahman Ad-Dakhil terpilih menjadi pemimpin Andalusia dan mengembalikan persatuan Umat Islam di sana. Naik turunya peradaban, Andalusia mulai lemah sampai akhirnya muncul Panglima yang bukan dari keturunan dinasti mengambil kepemimpinan, Muhammad bin Abi Amir Al-Mansur atau yang dikenal Alamanzor menyelamatkan muka umat Islam atas serangan Kerajaan Kristen Utara.
Andalusia pecah kembali menjadi kerajaan kecil sampai lemah, akhirnya ditaklukan kembali oleh Bani Murabithun, dilanjutkan Bani Muwahiddun yang menegakan kembali nilai-nilai Islam
Kembali ke Anatolia, Turki Rum Seljuk mulai lemah dengan kedatangan Mongol dan perpecahan suku Turki. Munculah Suku Kayi dengan Suleyman Shah, dilanjutkan Ertugrul Ghazi, lalu besarkan oleh Osman Ghazi yang dikemudian hari membentuk Kesultanan Turki Usmani sampai menaklulan Konstantinopel.
Di Tanah Jawi Nusantara, Malaka di gempur habisan-habisan oleh portugis. Mereka hendak mengobarkan perang Salib atas dasar dendam di Andalusia. Dari Malaka perlawanan berpindah dari Barus, Aceh, Pasai, dan sekitarnya.
Di Jawa, gema jihad terdengar ke telinga Mataram Islam hingga memberangkatkan pasukan untuk menyerang Malaka dan Sunda Kelapa. Bersama koalisi Mataram, Cirebon, dan Banten, Sunda Kelapa ditaklukan yang kemudian hari menjadi Jayakarta.
Berpindah ke tempat lain, ertempuran berkobar di Jazirah Al-Mulk (Maluku). Kaum kafir yang menyebarkan fitnah di jawa dari Mataram Islam ke Giri Kedaton, mulai mengadu domba umat Muslim di Ternate Tidore. Sampai masa kelicikan portugi membunuh Ayah dari Sultan Baabulah, yang akhirnya Sang Sultan mengobarkan Jihad seluruh Maluku, menghancurkan Portugis ke akar-akarnya.
Pertempuran beralih ke Mataram Islam kembali ketika fitnah sudah merajalela. Pertempuran di pimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang mengepung Jenderal De Klerk di Benteng Ungaran sampai mati, kemudian melanjutkan perjuangan dengan mendirikan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai antitesis dari Kesultanan lain yang memilih tunduk kepada Belanda.
Setelah itu, cucunya Pangeran Diponegoro melanjutkan estafet perjuangan dengan menyerukan Perang Sabil gabungan Kaum Ulama, Priyayi, Keraton bersatu padu melawan Penjajah.
Jadi, apa rahasia dari perjuangan setiap zaman itu? apa yang membuatnya perjuangan hidup dari satu tempat ke tempat lain? Jawabanya adalah Iman.
Arsa Coffee Library, 18 Juni 2024
28 notes
·
View notes
Text
Merah Putih di Langit Nusantara
Di bawah langit biru Nusantara, Tertanam cinta di setiap jengkal tanah air, Merah putih berkibar, penuh wibawa, Menggambarkan semangat juang yang tak pernah pudar.
Dari Sabang sampai Merauke, kita bersatu, Dalam satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Kita kenang pahlawan yang gugur dalam perjuangan, Demi Indonesia, tanah air tercinta.
Dengan darah dan air mata mereka menorehkan sejarah, Merdeka atau mati, mereka tegakkan kepala, Kini tugas kita untuk menjaga, Kemerdekaan ini agar tak sia-sia.
Mari kita isi kemerdekaan dengan karya, Dengan cinta dan damai yang selalu ada, Untuk anak cucu kita, generasi penerus bangsa, Agar mereka bangga, Indonesia merdeka.
Di bawah kibaran sang saka merah putih, Kita bersumpah setia, untuk negara tercinta, Bersama kita hadapi tantangan masa depan, Dengan semangat juang, untuk Indonesia jaya
2 notes
·
View notes
Photo
Minangkabau Untuk Indonesia Tanpa mengecilkan dukungan dan sokongan beragam suku bangsa yang kemudian membentuk Indonesia hingga kini, agaknya kita perlu sebuah apresiasi yang tinggi bagi tanah Minangkabau atas kontribusinya sebagai modal pergerakan bangsa. Sejak dahulu saya penasaran kenapa banyak tokoh pergerakan dan bahkan 4 serangkai pembentuk Republik yang disusun oleh Tempo dalam Serial Bapak Bangsa, 3 tokohnya berasal dari tanah Minangkabau, sebut saja Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Hatta. Ketiganya mewakili ideologi yang berbeda, namun memperkaya bagaimana bangsa ini dibentuk. Belum lagi ada Mohammad Yamin dan KH. Agus Salim yang punya nama asli: Masyhudul Haq. Tidak cukup disitu, ada pula tokoh mosi integral yang melahirkan NKRI setelah KMB, dialah Natsir. Di abad 19 akhir bahkan salah satu imam dan guru di Masjidil Haram adalah tokoh ulama besar asal Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang kemudian memiliki murid yang menjadi pendiri 3 gerakan dakwah besar di Nusantara: Nahdatul Ulama: KH. Hasyim Asyhari, Muhammadiyah: KH. Ahmad Dahlan, dan Sulaiman Ar Rasuli pendiri Persatuan Tarbiyah Indonesia. Bagaimana tanah di tengah pegunungan Barisan di pesisir Barat Sumatera ini bisa jadi "power house" yang menelurkan tokoh pembaharuan di zamannya? Maka jika menelisik di banyak literatur dan bahkan sejarah dunia pers Minangkabau agaknya pengaruh semangat pan-Islamisme (mengacu pada definisi dari Anthony Reid) yang kemudian mempengaruhi gerakan Padri, interfensi dan modernisasi ala Eropa yang di bawa oleh kolonial Belanda telah mampu memberi inspirasi yang tumbuh deras bersama budaya yang kuat dipegang teguh (salah satunya budaya rantau), telah membawa orang-orang Minangkabau lebih egaliter, terbuka dan progresif. Sementara tanah Jawa di sekitar abad 19, sebelum dan pasca Perang Diponegoro masih dilingkupi feodalisme dan takzim di bawah kekuasaan bangsawan dan kaum ningratnya yang tak sedikit justru kerap menggunting di dalam lipatan bersaing pengaruh satu sama lain hingga dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang memusatkan pengaruh politiknya yang saling bersilangan. #sejarah #history #book #sketchnotes #coretanrifki https://www.instagram.com/p/CpZhmNZrP77/?igshid=NGJjMDIxMWI=
18 notes
·
View notes
Text
10 wangsit dari tepi sungai Cileuleuy
Diyakini sebagai salah satu agama asli masyarakat di tatar Sunda, para penghayat kepercayaan Budi Daya mengharapkan perlakuan yang setara dengan para penganut agama lain di Indonesia.
Sejak Nusantara terbentuk dan berpenghuni berabad-abad silam, para penghayat kepercayaan Budi Daya di Kampung Cicalung, Lembang, Jawa Barat, meyakini nenek moyang mereka yang mendiami tatar Sunda telah mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan tersebut bisa dilacak dalam penyebutan Tuhan melalui penggunaan bahasa Sunda kuno dari era pra-Hindu, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab, dan bahasa-bahasa asing lainnya.
Beberapa sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Hyang Manon (Yang Maha Tunggal), Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa), dan Si Ijunajati Nistemen (Maha Pencipta).
Karenanya, Engkus Ruswana (62) selaku Ketua Organisasi Penghayat Budi Daya menolak tegas jika mereka dianggap sebagai penganut animisme dan dinamisme.
"Istilah itu sebenarnya didengungkan oleh para antropolog Barat untuk melecehkan agama nenek moyang kita. Karena mereka tidak memahami upacara ritual yang dilakukan, dipikirnya itu upacara menyembah roh halus dan kekuatan gaib," kata Engkus.
Keyakinan yang sempat terkikis dan menghilang tersebut kemudian diwartakan kembali oleh Mei Kartawinata setelah menerima Dasa Wasita atau 10 Wangsit. Kejadian turunnya wangsit berlangsung di tepi Sungai Cileuleuy, Kampung Cimerta, Subang, pada 17 September 1927.
Mei Kartawinata (1 Mei 1897 - 11 Februari 1967) menyebut hasil penggaliannya terhadap ajaran leluhur di Bumi Parahyangan dengan istilah pamendak alias temuan terhadap kepercayaan para leluhur.
Walaupun menolak disebut sebagai sinkritisme, Engkus tidak menampik jika ajaran Budi Daya banyak bersinggungan dengan budaya dan tradisi masyarakat Sunda.
Ini terlihat dari inti ajaran Budi Daya yang mengajarkan konsep cara pandang hidup orang Sunda bernama "Tri Tangtu". Isinya tentang wawasan atau tuntunan menyangkut diri manusia sebagai makhluk pribadi, sosial bermasyarakat, dan ber-Tuhan.
Ada banyak nama yang disematkan untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), Agama Perjalanan, dan Agama Buhun, orang-orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai, atau Jawa-Jawi Mulya.
Mereka yang hendak melecehkannya cukup menyebutnya "Agama Kuring".
Dalam bahasa Indonesia, Kuring adalah kosakata untuk "Aku" atau "Saya". Prosekusi label "Agama Kuring" mengarah pada usaha mendiskreditkan pemeluk agama ini sebagai penganut agama semau gue.
Agama-agama leluhur orang Sunda sangat menghormati alam sebagai pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.
Bagi para penghayat, alam semesta adalah tempat belajar dan menghayati segala keteraturan. Gunung, lembah, air, api, tanah, angin, dan segala mahluk hidup menjalankan kodratnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
Karenanya, Mei Kartawinata meletakkan alam sebagai "kitab suci". Alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.
Dalam prosesnya, Mei Kartawinata mendirikan wadah untuk menampung para pengikut atau penghayat ajarannya yang namanya kerap berubah-ubah.
Pertama membentuk Perhimpunan Rakyat Indonesia Kemanusia'an sehingga ajarannya disebut Kemanusa'an. Setelah Indonesia merdeka dan bersiap melangsungkan pemilihan umum pertama, Mei ikut mendirikan Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai).
Usai pelaksanaan Pemilu 1955, nama tersebut berubah menjadi Organisasi Perjalanan alias Lalampahan.
Sepeninggal Mei Kartawinata, terjadi konflik internal yang membuat anggota terpecah menjadi beberapa organisasi yang melahirkan AKP, Budi Daya, dan Aji Dipa. Tidak ada perbedaan esensial antar tiga organisasi ini karena sumber ajarannya sama.
Menurut keterangan Engkus, Budi Daya sebagai organisasi terbentuk sejak 1980. "Pada era 1950-an ketika ramai pemberontakan DI/TII, kami juga disebut Agama Buhun, Agama Pancasila, dan Agama Kuring," imbuh Engkus.
Pertemuan kami dengan Engkus yang selalu terlihat mengenakan totopong (ikat kepala khas Sunda) berlangsung di Bale Pasekawan Waruga Jati, Kampung Cicalung, Lembang, Jawa Barat (3/3/2018).
Rute menuju kampung tersebut adalah jalan selebar tiga meter yang diwarnai tanjakan dan turunan. Sejauh mata memandang, terlihat bebukitan dan hamparan tanah yang ditanami beragam jenis sayur-sayuran, seperti terong ungu, brokoli, cabe rawit dan kriting, sawi putih, buncis, labu, timun, dan selada.
Bagi warga penghayat di Kampung Cicalung yang berjumlah 78 orang, Bale Pasekawan bukanlah rumah ibadah, tapi tempat pertemuan atau berkumpul alias ngariung dalam bahasa Sunda.
Tempat yang jadi pusat kegiatan para penghayat Budi Daya ini diresmikan pada 17 Mei 2012 oleh Bupati Bandung Barat H. Abubakar.
Luas Bale Pasewakan 1.400 meter persegi yang terdiri dari dua bangunan utama. Ada aula seluas 9 x 11 meter persegi dan panggung seluas 48 meter persegi.
Selain jadi tempat mengajarkan pelajaran Budi Daya sebagai pengganti pelajaran agama di sekolah bagi siswa SD, SMP, dan SMA penghayat kepercayaan, gedung ini kerap pula menampilkan pentas kesenian, seperti degung, jaipongan, salendroan, dan wayang.
Tidak heran jika terdapat alat musik tradisional seperti gendang, gong, dan gamelan di dalam Bale. Mereka yang ingin memanfaatkan Bale tidak harus para penghayat Budi Daya.
"Asal kegiatannya untuk kemaslahatan warga desa. Bukan kegiatan untuk politik praktis macam kampanye," tutur Ondo (52), salah satu penghayat saat kami temui di Kampung Cibedug yang berjarak sekitar 6,9 kilometer dari Cicalung.
Di kampung itu, terdapat Bale Pasewakan Rasa Jati yang usianya lebih tua karena berdiri sejak 1951. "Dulu bentuknya hanya gubuk bambu. Lama-kelamaan menjadi bangunan permanen seperti sekarang," jelas Ondo.
Adapun kegiatan yang sering berlangsung di Bale Pasewakan, antara lain peringatan turunnya wangsit kepada Mei Kartawinata pada 17 September, tahun baru dalam sistem kalender Jawa (1 Sura), dan renungan malam 1 Juni yang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Menganut kepercayaan yang diyakini milik nenek moyang di negeri ini ternyata tak semudah membalik telapak tangan.
Berbagai perlakuan diskriminasi dari masyarakat telah mereka rasakan. Apesnya lagi, negara turut melanggengkannya melalui berbagai peraturan yang mengikat secara yuridis, alih-alih memenuhi hak para penghayat kepercayaan sebagai sesama warga negara.
Misalnya kejadian yang dialami Asep Setia Pujanegara (47) ketika menikahi Rela Susanti (41) pada 23 Agustus 2001.
Kukuh ingin melaksanakan pernikahan seturut keyakinan penghayat, pernikahan mereka tidak mengantongi Akta Pernikahan dari Kantor Catatan Sipil.
Merasa haknya sebagai warga negara tidak dipenuhi, Asep mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Gugatan pasutri ini kemudian disetujui PTUN tertanggal 25 April 2002. Perkawinan yang dilangsungkan dengan cara adat Sunda itu dapat dicatatkan di Kantor Badan Kependudukan dan Catatan Sipil (BKCS) Kabupaten Bandung.
Pun demikian, Mahkamah Agung tetap bergeming. Asep bersama istri harus menunggu hingga terbitnya Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Hal itu membuat akta kelahiran anak pertama mereka hanya bisa mencantumkan nama ibu dan tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ayahnya. Dengan demikian, buah cinta pasangan ini dianggap sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Pada saat UU Adminduk disahkan, terjadi lagi problem teknis dalam pelaksanaan. Nama ayah hanya ditambahkan dalam catatan pinggir yang dituliskan di bagian belakang alih-alih pembaruan akta lahir.
"Alasannya menurut saya sih tidak masuk akal. Karena masalah nomor registrasi tidak boleh ganda," ujar Asep yang menjabat sebagai penanggung jawab pendidikan bagi warga penghayat kepercayaan Budi Daya.
Padahal menurut Engkus, nomor registrasi tak perlu diperbarui. "Cukup lembaran blangko akta kelahirannya saja yang dibuat baru dengan menambahkan nama ayah bersanding dengan ibu."
Engkus juga pernah jadi korban diskriminasi saat ibundanya meninggal di Desa Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Warga sekitar menolak jenazah almarhumah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) karena dianggap tidak beragama.
"Kata mereka, 'Ini khusus kuburan orang beragama, yang tidak beragama tidak boleh.' Setelah melalui rapat desa, diputuskan jenazah harus disalatkan, baru boleh dikuburkan," kenangnya.
Diskriminasi di sektor pendidikan berlangsung lebih lama lagi. Keturunan para penghayat kepercayaan dipaksa memilih pelajaran agama yang diakui negara.
Regenerasi penghayat jadi terhambat karena kebanyakan anak-anak tidak mengikuti penghayat kepercayaan orang tuanya.
Siswa penghayat kepercayaan juga kerap menjadi sasaran perundungan di sekolah dalam bentuk verbal. Akibatnya siswa bersangkutan meminta pindah sekolah karena tidak tahan jadi sasaran bully.
Setelah sekian lama berjuang, mulai 2016 keluar keputusan Kemdikbud yang menyatakan bahwa murid-murid penghayat kepercayaan mendapatkan pelajaran rohani sesuai kepercayaannya.
Berhubung tidak semua sekolah memiliki guru agama dari kalangan penghayat --karena teknis dan kurikulumnya masih dibahas, beberapa siswa dikembalikan ke organisasi atau komunitas penghayat kepercayaan untuk mendapatkan pelajaran keagamaan.
Asep salah satu yang mengabdikan diri sebagai guru pengajar penghayat kepercayaan. "Untuk sementara saya mengajarkan mata pelajaran untuk semua jenjang pendidikan dari SD hingga SMA. Pelajaran biasanya berlangsung setiap hari Minggu di Bale ini. Panduannya sudah ada. Sisanya saya gabung dengan buku-buku karya Pak Mei Kartawinata."
Seiring dikabulkannya gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan perihal Penganut Kepercayaan oleh Mahkamah Konsitusi (7/11/2017), Engkus berharap tidak lagi ada perbedaan dan diskriminasi terhadap warga penghayat kepercayaan.
"Kita semua punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Selama ini penghayat kepercayaan selalu dianggap lebih rendah. Hak-hak pelayanan sosial untuk kami selalu terkebiri," katanya.
Padahal, kata Engkus, jika berkaca pada sejarah, perlakuan semacam itu sebenarnya dilakukan oleh penjajah untuk merendahkan bangsa kita.
#penghayat kepercayaan#agama#budaya#agama nusantara#budi daya#buhun#jawa barat#mei kartawinata#engkus ruswana#subang#Sungai Cileuleuy#diskriminasi#Lalampahan#Aji Dipa#Sunda#UU Adminduk
2 notes
·
View notes
Text
ULasan: Pulang
Judul Buku: Pulang Genre Buku: Fiksi Sejarah dan Fiksi Politik Penulis Buku: Leila S. Chudori Bahasa: Indonesia Penerbit Buku: Kepustakaan Populer Gramedia Rating Goodreads: 4.3/5 Rating Pribadi: 4.5/5
Novel dengan tebal 474 halaman ini akan mengantarkan pembaca ke setidaknya tiga latar masa lalu dalam ritme yang cepat. Pertama September 1965, di Indonesia. Kedua Mei 1968 di Perancis dan Mei 1998 di Indonesia. Novel ini dibagi menjadi tiga bagian dengan alur maju-mundur. Tiga bagian yang ada masing-masing memuat sudut pandang orang pertama dari point of view tiga tokoh utama (multiple POVs) dan dua tokoh pendukung. Walau memiliki pergantian point of view dan plot campuran, penulis menjahit masing-masing bagian cerita dengan sangat apik sehingga masing-masing cerita saling melengkapi "kekosongan" pada cerita lainnya. Setiap konflik dan penggalan kisah memunculkan rasa penasaran dari pembaca dan membuat pembaca semakin tertarik untuk melanjutkan perjalanan membacanya.
Pada bagian satu, novel ini berkisah tentang empat eksil politik Indonesia yang menjadi pendiri Restoran Tanah Air di Paris: Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna (Tjai Sin Soe). Kecuali Tjai, mereka berempat merupakan wartawan di Kantor Berita Nusantara sebelum Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Hananto Prawiro, pimipinan kantor Berita Nusantara adalah seorang jurnalis berpengalaman ekstrim kiri. Walau beberapa jurnalis dan karyawan lainnya cenderung netral dan bahkan memiliki sikap politik yang berlawanan, tetap saja eksistensi Hananto cukup untuk menjadikan Kantor Berita Nusantara dianggap sebagai gudang antek dan simpatisan PKI.
Menjelang Peristiwa 30 September 1965 terjadi, Dimas Suryo dan Nugroho menghadiri Konferensi International Organization of Journalists di Santiago, Chile. Sedangkan Risjaf menghadiri “agenda” lain di Havana, Kuba. Sementara Tjai meninggalkan Indonesia menuju Singapura sesaat setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Sadar bahwa situasi politik di Indonesia pasca 30 September 1965 tidak berpihak dan sangat berbahaya bagi siapapun yang dengan mudah bisa dikait-kaitkan dengan PKI, maka Dimas Suryo, Nugroho dan Risjaf tidak berani untuk pulang. Selain itu, situasi membuat mereka memang tidak mungkin bisa pulang karena paspor mereka dicabut. Mereka kemudian pergi ke Peking dan bertemu dengan banyak eksil politik lain. Dari Peking mereka berkelana ke beberapa negara dan berakhir dengan pertemuan kembali di Paris kemudian mendirikan Restoran Tanah Air.
Di Prancis, Dimas Suryo menikah Vivienne Deveraux dan punya satu orang anak perempuan yang bernama Lintang Utara. Singkat cerita, Lintang dewasa pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan tugas akhirnya di universitas Sorbonne, yaitu membuat film dokumenter yang berisi wawancara dengan para eks-tapol Peristiwa 1965 beserta keluarga. Lintang pergi ke Jakarta pada bulan Mei 1998 dan bertemu dengan Segara Alam putra Hananto Prawiro dan Bimo putra Nugroho.
Setidaknya ada dua premis besar dalam novel ini, yang pertama tentang bagaimana kehidupan para eksil politik yang terpaksa berpetualang dari negara satu ke negara lain dan kemudian menjalani kehidupan sebagai warga negara Perancis di Paris, ribuan kilometer dari tanah air yang sangat mereka rindukan. Kemudian premis utama ini memunculkan premis baru tentang kehidupan anak-anak para eksil politik di luar negeri dan juga di Indonesia menghadapi situasi politik yang kembali memanas di tanah air, tiga puluh tiga tahun pasca pemberontakan PKI.
Keunggulan novel ini adalah penulis dapat menyajikan kisah sejarah kelam Indonesia dengan alur cerita yang menarik. Pembaca seolah dapat “menyaksikan” apa yang terjadi selama dua masa kelam perpolitikan Indonesia lewat rincinya penggambaran cerita yang disajikan melalui sudut pandang karakter utama. Sementara kekurangannya adalah karena tema dan pembahasan dalam cerita, novel ini memiliki segmentasi pembaca yang cenderung khusus yaitu dewasa di atas 17 tahun dengan minat bacaan fiksi-sejarah fiksi-politik.
12 notes
·
View notes
Text
DUPA TANAH TENGGARA
Pijar magma bumi bermuara memuncaki kawah-kawah tanah berapi rajin menyiangi kebun dan taman bunga tebar hara ke penjuru daratan Nusantara menuang kesuburan negeri agraris menumbuh hutan-hutan tropis bau madu kayu keras menguar mendendang keramahan
Aroma Jawa Dwipa mengudara menguapkan dupa ke kota-kota menyemangati anak-anak zaman mengaum di keluasan bahari dan tanam benih rerimbunan rimba raya
Surabaya, November 2023
Logo 'Pusaka Trisula' - Dusun Karang Kenik ['KK 26'], Desa Olean, Situbondo, Jawa Timur. Foto: KhoHand, 23L27
2 notes
·
View notes
Text
PERWUJUDAN RAJA KERTANEGARA
Menurut legenda patung ini dibuat pada tahun 1211 Caka atau tahun 1289 Masehi di pemakaman Wurarare (Lemahtulis) kediaman Mpu Bharadah atau desa Kedungwulan dekat Nganjuk Jawa Timur. Patung tersebut dibuat untuk menghormati Kertanegara Putra Wisnu Wardhana sebagai raja Singosari pada masa itu. Beliau terkenal karena kebijaksanaannya, pengetahuannya yang luas dalam bidang hukum dan ketaatannya pada agama Budha serta cita-citanya yang ingin mempersatukan wilayah Nusantara.
Legenda lain menyebutkan bahwa Kertanegara membangun patung untuk menghilangkan kutukan Mpu Bharadah yang dapat menggagalkan usahanya mempersatukan kerajaan - kerajaan yang terpisah - pisah pada saat itu. Menurut keterangan Bupati Surabaya (Regent), patung Joko Dolog berasal dari kandang gajah.
Pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu dibawah Residen De Salls memindahkan patung tersebut ke Surabaya dan ditempatkan di Taman Apsari, seringkali dikunjungi orang untuk memberi penghormatan dan mengekspresikan harapan mereka. Berlokasi di jalan Taman Apsari - Surabaya Pusat, bebas dikunjungi dan memiliki areal parkir yang memadai untuk segala kendaraan.
Kertanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu sebagai Aksobhya dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri. Raut mukanya teduh dan tangannya membentuk sikap bhumisparsamudra atau telapak tangan kiri tertutup dan seolah ingin menyentuh bumi. Sedangkan dalam Pararaton dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha, dimana dalam kitab Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka. Pada batur alas sandarannya terdapat serangkaian tulisan Jawa kuno yang disebut prasasti yang disebut Wurare. Prasasti berangka tahun 1211 C atau 1289 M itu memuat beberapa fakta sejarah di jaman kerajaan Singosari. Inti prasasti tersebut adalah :
1 Dahulu kala tanah Jawa dibagi 2 oleh Arrya Bharada dinamakan dengan Jenggala dan Panjalu.
2.Namun pada jaman raja Wisnuwardhana, kedua daerah terpecah itu berhasil disatukan kembali.
3.Raja yang memerintahkan pembuatan prasasti ditasbihkan sebagai Cri Jnanjaciwabajra dan perwujudannya sebagai Jina Mahasobya.
4.Prosesi pentasbihan tersebut di kburan Wurare. Dalam waktu singkat sang raja berhasil menyatukan daerah-daerah yang terpecah belah.
5.Nada adalah nama pembuat prasasti tersebut.
Dari data-data tersebut terlihat jelas kaitannya dengan proses sejarah Jawa Timur jaman dulu. Raja kerajaan Kahuripan bernama Airlangga memutuskan membagi kerajaannya menjadi 2 bagian untuk kedua anaknya supaya tidak terjadi perang saudara. Bagian timur disebut Jenggala dan bagian barat disebut Panjalu. Tugas tersebut dilakukan oleh Mpu Barada.
Oleh raja Wisnuwardhana dari kerajaan Singosari beberapa abad selanjutnya, kedua wilayah berseberangan tersebut berhasil disatukan kembali. Dia juga melakukan perkawinan politik dengan mengawinkan anaknya Turuk Bali dengan raja Kediri Jayakatwang untuk menghindari perebutan kekuasaan. Usaha perkawinan politik tersebut dilanjutkan oleh penerus raja Wisnuwardhana, Kertanegara, dengan mengawinkan anaknya dengan anak Jayakatwang yang bernama Ardharaja. Selain itu Kertanegara juga berusaha mengesahkan status ke-raja-annya dengan menyebut sebagai anak dari Cri Jayawisnuwarddhana dan Crijayawardhani. Dia juga mengkukuhkan diri sebagai Jina Mahasobhya dengan gelar Crijnanjaciwabajra. Tujuannya adalah untuk menunjukan kekuasan dan kebesaran dirinya.
Disamping itu gelar tersebut juga ternyata mempunyai latar belakang politik karena dia sedang bertikai dengan raja Mongol Kubilai Khan karena menghina utusannya tahun 1211 C / 1289 M. Raja Mongol tersebut dikukuhkan sebagai Jina Mahamitha. Dengan gelar Jina Mahasobhya, Kertanegara ingin disejajarkan dengan raja Mongol. Mahasobhya adalah dewa penguasa angina timur, sedangkan mahamitha adalah Jina penguasa angina barat. Dengan demikian Kertanegara mengkukuhkan diri sebagai penguasa wilayah timur.
Dengan data-data tersebut nampak bahwa arca Mahasobya ini merupakan peruwujudan Kertanegara sendiri. Dan prasasti Wurare merupakan bukti keberanian bangsa kita yang tidak ingin dijajah oleh bangsa lain manapun. Atau mungkin juga sudah semestinya letaknya di Surabaya yang penduduknya terkenal dengan keberanian dan sifat-sifat kepahlawanannya. Demikianlah penggalan kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
2 notes
·
View notes
Text
Perjalanan Perdanaku Bersamanya
Catatan hari ini hanya sekedar kisah sederhana yang akan ku abadikan. Kisah di mana diri ini baru pertama kali bepergian bersamanya menuju kampung halaman. Ya... mengajaknya bertemu keluarga di rumah.
Sore ini ku pamit sama teman-teman yang ku jumpai, mengharap doa keselamatan dari mereka. Dengar-dengar kita gak tau dari lisan siapa doa kita terkabul, mungkin saja teman-teman ku ini termasuk yang diijabah doanya.
Setibanya kami di stasiun, tangan ku begitu erat menggenggamnya; berharap tidak terjadi apa-apa seperti diculik orang misalnya. Kiranya hanya sehelai kain saja yang memisahkan kita.
Tak lama kereta tiba, kami pun bergegas memasukinya bersama mencari kursi kosong untuk duduk bersebelahan. Yes, tuhan berhendak demikian, kami dapat duduk dengan tenang.
Namun kondisi berubah saat kami memasuki stasiun Tanah Abang, kami terpaksa berdiri karena ada seorang ibu yang sudah berusia yang layak untuk menempati posisi tersebut. Kiranya setengah jam lebih kami berdiri sambil berhimpitan-himpitan.
Betapa malangnya diri ini, berdiri di kerumunan perempuan yang mayoritas kaum ibu-ibu. Satu persatu ku lirik wajah mereka, dan kudapati seorang ibu yang membuat ku terkejut sambil berpikiran negatif; karena wajahnya begitu putih bagaikan dilapisi bedak berkali-kali.
"Astaga... ibu ini dandanannya". Ujar ku di dalam hati. Dengan jiwa penasaran, ku lihat lebih lama ibu tadi dan ternyata........... diri ini salah besar dalam memvonis seseorang, ku kira ibu itu memakai bedak berlapis lapis, ternyata itu kelainan yang terjadi pada kulit seseorang; hal ini terlihat dari jidatnya si ibu.
Betapa menyesalnya hamba yaa tuhan, semoga engkau memaafkan hamba, aamiin. Dari sini ku belajar untuk tidak buru-buru memvonis seseorang, karena kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Perjalanan masih terus berlanjut, ia pun masih ku pegangi erat-erat, bahkan sesekali ku peluk; agak sedikit romatis memang. Namun itu kulakukan hanya sebatas menjaga norma terhadapnya.
Padatnya penumpang membuat kami harus berdesak-desakan di dalam gerbong, bau badan pun mulai terasa aromanya meskipun kami memakai masker. Keadaan inilah yang membuat ku berharap segera sampai tujuan, karena sudah tak tahan lagi dengan aroma yang ada, terutama karena posisi berdiri yang tepat di tengah ibu-ibu.
Namun tak lama ada seorang ibu yang mungkin juga mencium aroma tersebut, ia segera mengeluarkan ramuan rahasianya, yang membuat kami merasa sejuk dan lega. Sebut saja ramuan itu "Balsem".
Dan Alhamdulillah, akhirnya perjalanan kami pun selesai. Aku dan dia bertemu keluarga ku di rumah yang sudah siap menyambut kedatangan kami.
Kalian penasaran siapa sosok yang menemaniku selama perjalanan? Baik aku kenali kalian dengannya, ia adalah Bahrul Madzi, sebuah kitab karya ulama nusantara syeikh al-Marbawi, yang berhasil membuatku jatuh cinta padanya terlebih saat fisiknya ku miliki; meskipun hanya satu jilid, tapi aku bersyukur.
Terima kasih sudah membaca catatan sederhana ku
Bekasi, 3 Januari 2023
6 notes
·
View notes
Text
Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
Peninggalan Kerajaan Tarumanegara - Kerajaan Tarumanegara ialah kerajaan tertua kedua di Nusantara sehabis Kerajaan Kutai dengan meninggalkan fakta arkeologi. Kerajaan ini sempat berkuasa di daerah barat Pulau Jawa pada abad ke- 5 hingga abad ke- 7 Masehi. Dikatakan selaku kerajaan Hindu awal di Pulau Jawa. Daerah kekuasaannya meliputi Jakarta, Bogor, Bekasi, Karawang serta Banten. Di bawah ini adalah peninggalan Kerajaan Tarumanegara
Peninggalan Prasasti Kerajaan Tarumanegara
Ada 7 fakta prasasti yang berhubungan dengan kerajaan Tarumanagara ditemui di wilayah Jawa Barat, Jakarta serta Banten. Prasasti tersebut di antara lain:
1. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ialah batu peringatan yang berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara dekat abad V Masehi yang diisyarati dengan wujud tapak kaki Raja Purnawarman. Prasasti Ciaruteun saat ini ditempatkan pada lahan berpagar seluas dekat 1. 000 m2 serta dilengkapi cungkup berdimensi 8 x 8 meter. Prasasti dipahatkan pada sebongkah batu andesit.
2. Prasasti Kebon Kopi I
Prasasti ini ditemui di Kampung Muara semenjak dini abad XIX kala diadakan penebangan hutan buat pembukaan perkebunan kopi. Pemberitaan menimpa prasasti ini awal kali dikemukakan oleh N. W. Hoepermans dalam laporannya yang ditulis pada tahun 1864.
3. Prasasti Jambu
Prasasti Jambu ialah salah satu prasasti dari 7 Prasasti Purnawarman. Prasasti Jambu pula diucap selaku Prasasti Pasir Koleangkak. Prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa serta berbahasa Sanskerta.
4. Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ialah salah satu dari 7 prasasti aset kerajaan tertua di barat Pulau Jawa. Ditemui kali awal oleh seseorang arkeolog asal Belanda, bernama N. W. Hoepermans.
Prasasti ini sudah diresmikan jadi Barang Cagar Budaya peringkat nasional. Berbeda dengan keenam prasasti yang lain yang nyaris sepenuhnya terletak di dekat aliran sungai, posisi prasasti ini malah terletak di perbukitan. Tepatnya di sebelah selatan bukit Pasir Awi(± 559 mdpl) di kawasan hutan di perbukitan Cipamingkis Kabupaten Bogor.
5. Prasasti Muara Cianten di dekat Bogor
Prasasti Muara Cianteun ialah sisa aset Kerajaan Tarumanegara. Prasasti ini ditemui di dekat sungai Cisadane serta berlokasi di Kampung Muara ataupun Pasir Muara, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang telah terdapat semenjak sebagian tahun silam.
Usai Prasasti Cianteun ditemui serta dilaporkan kepada pemerintah setempat pada tahun 1864 silam oleh seorang bernama N. W Hoepermans, laporan menimpa penemuannya pula dilaksanakan pihak lain yang bernama GP Rouffaer tahun 1909, NJ Krom tahun 1915, Centimeter Pleyte tahun 1906, RDM Verbeek tahun 1891 dan JFG Brumund tahun 1868.
6. Prasasti Tugu di Jakarta Utara
Prasasti Tugu ditemui di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu. Saat ini posisi temuan masuk ke dalam daerah Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Kala ditemui prasasti ini terkubur di dasar tanah. Cuma bagian puncak prasasti yang nampak di permukaan tanah setinggi dekat 10 centimeter.
7. Prasasti Cidanghiang di Pandeglang, Banten
Keberadaan Prasasti Cidanghiang awal kali berasal dari laporan kepala Dinas Purbakala Toebagoes Roesjan pada tahun 1947. Pada tahun 1954, pakar epigrafi dari Dinas Purbakala tiba ke tempat prasasti ini ditemui ialah di tepi sungai Cidanghiang, Lebak, Munjul, Pandeglang.
Demikianlah penjelasan tentang Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
2 notes
·
View notes
Text
Raison D’être: Ekonomi Madura dan Bujâ
“a soldier’s salary was cut if he was ‘not worth his salt’”
Dari sekian banyak bumbu yang dihasilkan bumi Nusantara, petis merupakan salah satunya. Tidak banyak literatur menjelaskan bagaimana bumbu satu ini mula-mula diciptakan. Yang pasti, tiap daerah memiliki cara unik meliputi bahan dasar apa saja yang digunakan serta bagaimana proses pembuatannya.
Di Kota Udang, Cirebon, misalnya. Petis dibuat dengan berbahan dasar udang rebon yang mudah sekali ditemukan sepanjang muara sungai Kota Cirebon. Diketahui, tradisi menangkap udang rebon ini sudah ada sejak dahulu kala, dipelopori oleh Cakrabuana, seorang pangeran dari Kerajaan Padjajaran, yang kemudian menjadi mata pencaharian masyarakat kala itu. Tidak hanya berhenti sampai di situ, potensi udang rebon yang kian besar membuat Cakrabuana menginisiasi industri pengolahan udang rebon termasuk di antaranya Petis dan Terasi yang dikemudian hari menyebabkan perekonomian dan jumlah penduduk Cirebon semakin tumbuh dan berkembang pesat. Melalui hikayat singkat ini, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut udang rebon, terasi, dan petis merupakan Raison D’être kota Cirebon yang kita kenal dewasa ini1. Makanan khas daerah seperti petis terkadang dapat menggambarkan bagaimana perekonomian daerah tersebut terbentuk pada saat ini.
Bicara racikan, penggunaan udang rebon menjadikan Petis Cirebon memiliki warna pekat dan cita rasa yang kuat dan tajam. Berbeda dengan petis yang populer di Madura yang umumnya memiliki tekstur kenyal, liat, dan padat serta identik dengan rasa asin2. Orang-orang Madura biasa menyebutnya Pettès Accèn (Petis Asin), alih-alih Petis Madura sebagaimana warga Surabaya dan sekitarnya acap menyebutnya. Petis Madura banyak sekali macamnya, dan Pettès Accèn merupakan avant-garde dari industri Petis Madura secara keseluruhan. Salah satu sentra produksi terbesarnya bertempat di Desa Konang, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, yang secara kebetulan juga merupakan daerah penghasil bujâ (garam). Cita rasa asin yang menjadi ciri khasnya pun disebabkan hal tersebut sehingga proporsi garam yang digunakan selama proses pemindangan lebih banyak dibanding petis pada umumnya.
Garam akan selamanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Madura. Jika kita mau melihat lebih jauh, Madura merupakan pulau yang mendapat julukan sebagai Pulau Garam. Julukan ini dibuktikan dengan tingkat produksi garam Madura yang bahkan mampu mencapai 35% dari total produksi garam nasional. Banyaknya tingkat produksi garam Madura sebetulnya merupakan hikmah dari tanah Madura yang relatif gersang, memiliki kemarau yang lebih panjang, serta kondisi tanah yang mengandung sedimentasi batuan kapur dan minim lapisan vulkanis, yang secara otomatis, membuat tanahnya tidak begitu subur.
Sektor Pertanian Madura kurang bisa memberikan hasil optimal, sebab hanya tumbuh di tanah aluvial dengan mengandalkan aliran sungai sebagai irigasi alamiah (Kuntowijoyo, 2002:27). Tentu hal ini merupakan trade off, mengingat kondisi geografis tersebut merupakan salah satu faktor terkuat yang menjadikan sebagian besar masyarakat Madura enggan tinggal dan memilih bermigrasi bahkan sejak awal abad 19. Mula-mula sekitaran Jawa Timur. Belakangan, seiring dengan semakin mudah dan meratanya sarana transportasi publik, peta sebaran migrasi masyarakat Madura bisa mencapai ujung pelosok Indonesia hingga luar negeri. Kendati demikian, mayoritas masyarakat Madura yang tinggal masih memilih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan menggunakan pola Pertanian Subsisten. Yang artinya, sebagian besar hasil pertanian cukup sebatas konsumsi keluarga saja (History of Madura, 2019).
Selain disebabkan oleh kondisi tanah yang tandus, budaya merantau masyarakat Madura ini juga cukup dipengaruhi minimnya aneka komoditas menggiurkan yang tereksplorasi secara optimal. Konservatisme juga turut memperburuk keadaan sosial masyarakat. Ini didukung oleh rendahnya tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Madura dibanding kabupaten lain di Jawa Timur khususnya pada tingkat pendidikan menengah atas. Akibatnya, pengolahan komoditas cenderung menggunakan cara-cara lama dan minim inovasi sehingga tidak memberikan timbal balik yang signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat sekitar, khususnya pada produksi garam sebagai komoditas mayor.
Melihat fakta di atas, tidak salah jika kita menyebut beberapa poin tersebut sebagai The inconvenient truth yang menjadikan kabupaten-kabupaten di Madura beberapa kali menempati posisi pucuk dalam rasio penduduk miskin Jawa Timur berdasarkan data BPS beberapa tahun belakangan, setidaknya s.d. 2023.
Gagalnya peran garam sebagai komoditas strategis dalam mempersempit jurang ketimpangan sosial masyarakat Madura merupakan hal yang paradoksal. Berhubung berabad-abad silam, garam sebetulnya sempat menjadi primadona dunia yang sangat berharga. Dahulu, dalam skala rumahan saja garam tidak hanya dijadikan sebagai bumbu penyedap dan pengawet makanan, tetapi juga untuk antiseptik, mumifikasi dan ritual keagamaan. Bahkan dalam cakupan lebih luas, garam sempat dijadikan sebagai mata uang dan memiliki nilai tukar. Sifatnya yang langka dan tingkat permintaannya yang tinggi menjadikan garam sebagai komoditas paling dicari serta diperebutkan pada masa lalu. Tak jarang sengketa atas nama garam sampai menimbulkan perang hingga mencetuskan revolusi.
Ada banyak sekali cerita tentang betapa utamanya industri garam pada masa lalu. Kejayaan Venesia yang kerap diatribusikan dengan rempah-rempah eksotis, memiliki fakta unik di baliknya, dimana mereka sebetulnya mendapatkan rempah-rempah Asia itu dengan cara menukarkannya dengan garam yang mereka miliki. Di sisi lain daratan Italia pada lini masa yang lebih lama, para Pasukan Romawi kerap mengawal iring-iringan pedagang yang membawa garam dari Ostia menuju Sungai Tiber melintasi Via Salaria, rute yang terkenal sebagai jalur perdagangan garam paling sibuk pada masanya. Upah pasukan itu sebagiannya dibayarkan menggunakan garam yang kemudian dikenal dengan istilah “Salarium Argentum” (Time, 1982). Banyak yang meyakini bahwa kata Salary yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin Salarium dan memiliki morfem kata Sal yang berarti garam. Konklusi menarik seperti ini, sayangnya, tidak memiliki historical evidence yang cukup dan perlu kajian lebih lanjut untuk membuktikan kesahihannya.
Banyaknya pasokan garam yang dikirim dari Pelabuhan Ostia ke Roma dengan tanpa pesaing menjadikan pedagang-pedagang garam di Ostia berani mematok harga dengan begitu tinggi. Hal ini membuat pemerintahan melakukan langkah interventif dengan cara mengambil alih industri garam dan melakukan monopoli (Saltwork Consultants, n.d.). Hal yang sama terjadi di sini. Pemerintah Kolonial Belanda pada masa penjajahan mengeluarkan Staatsblad Nomor 73 Tahun 1882 tentang Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie sebagai salah satu legitimasi bagi Belanda untuk dapat mengukuhkan langkah monopolistis terhadap produksi dan distribusi komoditas khususnya garam di Hindia Belanda (Cholil & Jusmadi, 2023). Meski belum diketahui secara pasti kesinambungannya apa, namun secara kronologis penetapan Staatsblad ini dilakukan setelah Pemerintahan Kolonial Belanda mulai menghapuskan sistem kerajaan di Madura serta mengubah bentuk wilayah dan pemerintahan menjadi karesidenan pada tahun 1857 dengan tujuan memperkuat pengaruhnya secara politis pada wilayah Madura. Tidak lama setelah penetapannya, barulah dibangun trayek kereta Kalianget-Kamal di Kawasan Pantai Selatan Madura secara bertahap yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk mengatasi permasalahan logistik komoditas.
Monopoli garam diketahui berakhir sekitar 23 tahun setelah nasionalisasi pengelolaan garam dari Badan Usaha Milik Belanda menjadi milik Indonesia pada tahun 1945. Diawali dengan munculnya tanda-tanda kebangkrutan Perusahaan Garam dan Soda Negeri (PGSN) sebagai Badan Usaha Milik Indonesia (Sanders, 1968:3). Runtuhnya sistem monopoli ini seharusnya menjadi angin segar bagi para Petambak Garam. Yang jadi masalah besarnya adalah, kenapa Petambak Garam khususnya di Madura sebagai penyumbang produksi garam terbesar di Indonesia masih juga jauh dari kategori sejahtera? Untuk menjawab ini, kita perlu melihatnya dari sudut pandang general.
Permintaan garam dewasa ini menjadi semakin tinggi terlebih dengan adanya segmentasi kebutuhan Garam Industri. Di sisi lain, cara produksi tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misri Gozan et al. (2018) menyatakan bahwa Petambak Garam masih mengandalkan panas matahari dalam proses evaporasi, sementara perubahan iklim menjadikan intensitas panas matahari tidak lagi sama. Akibatnya, tingkat produksi garam menjadi inkonsisten. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya kelangkaan ekstrem pasokan garam pada kisaran periode 2016-2017 yang disebabkan adanya fenomena La Nina. Kelangkaan pasokan ini disebabkan oleh banyaknya Petambak Garam yang mengalami gagal panen karena gagalnya proses evaporasi yang disebabkan kondisi alam itu sendiri.
Tidak mampunya Petambak Garam mempertahankan tingkat produksi sekaligus memenuhi kebutuhan garam nasional menjadikan pemerintah kerap mengambil keputusan untuk melakukan impor garam. Sementara itu, garam dalam negeri mempunyai isu serius yang harus segera dituntaskan terkait rendahnya daya saing yang dimiliki. Bukan hanya masalah kuantitas, tapi juga dari segi kualitas garam yang berada di bawah standar Garam Industri sebagai penyokong kebutuhan garam terbesar di Indonesia. Kondisi teknologi serta topografi yang tidak semendukung negara lain sesama produsen garam turut memperparah keadaan. Menjadikan produktifitas garam nasional sangat jauh dari kata efisien sehingga harganya pun tidak lebih murah dari garam impor.
Faktor lain yang menyebabkan sulitnya Petambak Garam sejahtera adalah skema pasar yang cenderung Monopsoni/Oligopsoni sehingga tidak berpihak pada Petambak Garam sama sekali. Buruknya Pasar Monopsoni bagi para Petambak Garam dialami juga oleh Petani Tanaman Koka Ilegal pada beberapa negara di Amerika Latin. Sebagaimana kita tahu, bisnis haram seperti narkotika adalah bisnis yang cukup menghasilkan. Namun bukan jaminan seluruh pihak yang terlibat dalam industri tersebut diuntungkan.
Pada beberapa tahun silam, negara-negara seperti Bolivia, Kolombia, dan Peru menerapkan kampanye pemberantasan lahan-lahan Koka ilegal yang salah satu tujuan fundamentalnya adalah menciptakan kelangkaan persediaan Koka, sebagai bahan utama Kokain, dengan harapan membuat harganya meroket di pasaran. Secara otomatis, pemasok ilegal itu dengan segera mengambil langkah restoratif mengingat siklus tanam Tanaman Koka dalam setahun yang relatif singkat. Sayangnya, intensi pemegang otoritas bukan berhenti sampai menciptakan kelangkaan saja, melainkan juga membuat mereka melipatgandakan biaya penanaman ulang atas lahan-lahan liar yang sebelumnya telah dimusnahkan menggunakan weed killer.
Kebijakan ini berbuah manis ketika tingkat konsumsi Kokain di daratan Amerika turun secara drastis. Namun sayangnya terdapat anomali ketika tingkat permintaan pada negara-negara Eropa justru melonjak naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa di tengah upaya-upaya yang dilakukan guna mengurangi jumlah persediaan, tingkat permintaan dan harga Kokain secara agregatif masih berada pada kondisi yang relatif stabil. Lantas, bagaimana itu bisa terjadi?
Pada Narconomics (2016) dijelaskan bahwa terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi stabilnya jumlah permintaan dan harga Kokain di pasaran. Yang pertama, adanya fenomena The “cockroach effect”: Sebanyak apapun upaya pemberantasan lahan Koka ilegal itu diterapkan, para Kartel akan selalu punya cara untuk memaksa petani bekerja pada lahan Koka baru yang mereka buka di tempat lain. Seperti halnya Ketika kita mencoba membasmi kecoa dengan semprotan anti serangga pada satu ruangan di rumah kita, sisa koloni mereka tetap akan muncul pada bagian ruangan lain dalam rumah sebagai upaya bertahan hidup. Skema ini menciptakan peluang untuk menerapkan sistem Cross Subsidization atas segmentasi pasar yang ada sehingga pada akhirnya dapat meredam dampak atas ambivalensi pada tingkat konsumsi di Amerika dan Eropa pada saat yang sama.
Yang kedua adalah skema Pasar Monopsoni. Meskipun ada upaya-upaya untuk mempertahankan tingkat produksi pada saat diterapkannya kampanye pemberantasan Tanaman Koka ilegal, supply shock adalah hal yang pasti terjadi dan memiliki dampak nyata bagi para Kartel sebagai entitas hilir dari industri tersebut. Penanaman Kembali menjadikan biaya produksi para Petani meningkat berkali-kali lipat. Untuk mengakali naiknya harga jual Kokain sebagai dampak dari membengkaknya biaya produksi, para Kartel menetapkan harga beli bahan baku pada level yang sangat rendah. Hal ini jelas membuat petani sangat menderita. Namun kududukan Kartel sebagai corong tunggal dalam alur perdagangan Tanaman Koka Ilegal, menjadikannya adikuasa dalam menentukan harga. Petani Koka pun tak bisa apa-apa.
Petani Koka Ilegal dan Petambak Garam dalam kasus ini memiliki nasib yang sama. Kondisi mereka tidak memungkinkan mereka memiliki gudang penyimpanan yang memadai yang dapat mereka gunakan guna menimbun kelebihan produksi pada saat harganya jatuh. Di sisi lain, mereka tidak memiliki teknologi yang mumpuni untuk menggenjot jumlah produksi pada saat terjadi sesuatu tak diinginkan yang dapat mempengaruhi tingkat produksi. Ditambah lagi, keduanya tidak memiliki derajat yang sama dengan pemegang industri hilir dalam menetapkan harga. Penerapan kebijakan Harga Pembelian Pokok (HPP) pada industri garam juga dinilai tidak efektif. Akibatnya, kesejahteraan bagi mereka tidak lebih dari sekedar utopia belaka. Lebih malang lagi jika ternyata lahan tempat mereka bekerja adalah hasil mereka sewa, sehingga tuan tanahnya lah yang memiliki akses ke tengkulak atau pedagang yang jenjangnya lebih besar. Bertambahnya supply chain dalam skema Pasar Monopsoni hanya akan semakin mempertipis margin keuntungan.
Untuk dapat keluar dari masalah-masalah pelik di atas, upaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi harus dilakukan secara serius dan seksama. Revitalisasi menjadi salah satu opsi optimis yang dilakukan pemerintah di tengah pesimisme program Ekstensifikasi guna menggenjot angka produksi. Banyaknya lahan tambak garam yang beralih fungsi bahkan berubah wujud menjadi properti menjadikan program Ekstensifikasi sulit dilakukan. Namun begitu, pengkajian kembali program Ekstensifikasi sepertinya masih dilakukan sehubungan dengan adanya potensi produksi yang cukup besar, khususnya dalam kasus ini, pada bagian utara Pulau Madura yang sebagiannya masih berupa lahan tidur.
Intensifikasi berupa sofistikasi teknologi merupakan fardhu ‘ain untuk ditempuh seluruh pelaku industri, khususnya Petambak Garam itu sendiri. Program Intensifikasi diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan produksi kita yang banyak tergantung pada kondisi alam. Di samping itu, intervensi pemerintah dalam skema permodalan wajib ada dengan juga menerapkan pembinaan pada industri-industri subsektor tanpa menganaktirikan industri rumahan seperti misalnya, industri pembuatan petis asin.
Naiknya tingkat kuantitas dan kualitas produksi yang diharapkan sebagai akibat dari berhasilnya program-program tersebut di atas, harus dirasakan dan memiliki dampak bagi perekonomian masyarakat sekitar, seperti halnya bertumbuhnya industri pengolahan rebon yang diinisiasi Cakrabuana. Dampak dimaksud bisa dalam bentuk keterserapan tenaga kerja lokal atas merebaknya industri-industri rumahan seperti industri pembuatan petis asin yang dapat meningkatkan value dan menyerap kenaikan jumlah produksi garam domestik. Pada industri pembuatan petis asin pun harus pula kita pikirkan kemana produk-produknya kelak akan dipasarkan. Sebab akan percuma jika kita menyiapkan industri tanpa ada pasar yang bisa menampung produksinya.
Di awal tahun 2000an saya sangat ingat ada banyak sekali cuplikan Drama Korea yang menyisipkan tayangan pemerannya tengah menikmati Kimchi atau sekedar semangkuk mie instan pedas yang merupakan produk asli Negeri Ginseng tersebut. Satu atau dua dekade berikutnya, produk-produk mie instan mereka berhasil memberikan warna atas hegemoni produk mie instan dalam negeri dengan terpampangnya produk mereka pada rak-rak makanan minimarket sekitar. Kimchi juga menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih dengan mulai merebaknya restoran-restoran bernuansa korea hampir di setiap kota. Kita semua tahu ini bukan hal mudah dan perlu kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menuju ke sana. Namun jika berhasil, kita tak perlu lagi pusing-pusing memikirkan kemana produk-produk kita kelak dipasarkan. Terlebih di era teknologi seperti saat ini, bukan zamannya lagi produk mencari pasar, terkadang rasa penasaran pasarlah yang membuat mereka datang sendiri memburu produk.
Indonesia sebagai negara yang memiliki rempah melimpah, kaya akan varian masakan, harus pula banyak belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan, Thailand, dan India yang dalam hal ini barangkali tidak lebih kaya dari kita. Kita harus pandai memproyeksi peluang-peluang terlebih atas semakin terbukanya akses digital yang menghilangkan sekat kita dengan dunia luar. Kita harus menyadari keunggulan kita dari sisi demografi serta diversitas budaya merupakan keunikan yang tidak semua negara bisa punya. Kita harus mampu menjadi bangsa yang bisa mendemokratisasi ide dan mafhum atas segala hal yang kita punya sekaligus mampu mengkapitalisasikannya. Thailand dan Korea Selatan telah berhasil mendahului kita mengendus potensi-potensi keuntungan ini lewat apa yang mereka sebut dengan Gastrodiplomasi atau Global Hansik melalui Korean Wave. Sebentar lagi dengan ambisi yang kurang lebih sama mungkin India juga akan menyusulnya, ditandai dengan mulai familiarnya kelakar “apapun masakannya, bumbunya Garam Masala”. Disadari atau tidak, kita telah tertinggal sangat jauh, tapi bukan berarti mustahil mengejar. kita terlalu sering berbusa-busa bicara timah, nikel, batu bara, sawit dan komoditas besar lainnya tanpa sadar bahwa banyak sekali potensi yang belum kita gali. Petis Asin mungkin contoh kecilnya. Jika bumbu rumahan sederhana layaknya petis mampu kita elaborasi bukan tidak mungkin perekonomian Madura yang saat ini tengah mengalami luka menganga, kelak disembuhkan oleh garam. Bukan justru memperperih dan memperparahnya. Pun demikian perekonomian Indonesia.
note:
1) Nama Cirebon terbentuk dari kata Cai yang berarti air dan Rebon yang berarti Udang Rebon. Kedua kata ini merujuk pada air hasil rebusan rebon yang berarti juga petis atau terasi yang merupakan identitas ekonomi masyarakat Cirebon kala itu
2) Di Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan terdapat petis asin bernama Petis Rujuru yang memiliki tekstur encer, warna pekat, dan rasa asin yang sangat kuat
0 notes
Link
0 notes
Text
Mampir ke Solo: Oleh-Oleh, Sejarah, dan Harmoni Singkat
Perjalanan kali ini bermula dari undangan pernikahan teman di Kediri. Setelah menghadiri momen bahagia tersebut, kami memutuskan untuk mampir ke Solo, salah satu kota yang selalu menawarkan pengalaman sederhana namun bermakna. Meski kunjungan ini singkat, Solo memberikan kesan tersendiri :)
Pasar Gede: Surga Oleh-Oleh Tradisional
Destinasi pertama kami di Solo adalah Pasar Gede, pasar legendaris yang kaya akan aroma, warna, dan cita rasa tradisional. Di sini, kami berburu oleh-oleh khas yang sederhana tetapi penuh manfaat. Kami membeli bumbu pecel dengan aroma kacang yang khas, wedang chia seed, dan minuman tradisional serupa wedang uwuh yang bermanfaat untuk menjaga kadar kolesterol.
Pasar ini bukan sekadar tempat belanja, tetapi juga ruang yang memamerkan keberagaman budaya kuliner Solo. Saya juga mencoba sarapan dengan Selat Solo di pasar Gede.
--------
Keraton Solo: Menyusuri Jejak Sejarah
Setelah dari Pasar Gede, kami menuju Keraton Kasunanan Surakarta, tempat yang menjadi simbol penting dalam sejarah dan budaya Jawa. Bangunan-bangunan megah dengan arsitektur khas Jawa langsung menyambut kami, membawa kami masuk ke suasana masa lalu yang sarat nilai tradisi.
Di dalam kompleks keraton, kami mengikuti panduan singkat yang menceritakan sejarah kerajaan, kisah-kisah kehidupan istana, hingga makna di balik berbagai benda bersejarah yang dipamerkan. Tempat ini memberikan wawasan mendalam tentang budaya Solo dan peran penting keraton dalam membentuk identitasnya.
Ditambahkan dari sumber lain dan guide di keraton, berikut ringkasannya;
------
Keraton Surakarta: Perjalanan Kekuasaan Menuju Era Modern
Keraton Kasunanan Surakarta adalah salah satu simbol budaya dan sejarah yang mencerminkan perjalanan panjang kekuasaan di Tanah Jawa. Berdiri pada tahun 1745, keraton ini merupakan hasil dari perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua wilayah: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pemisahan ini tidak hanya mengakhiri konflik internal kerajaan, tetapi juga menandai awal dari kontrol yang lebih besar oleh kolonial Belanda atas politik Jawa.
Hierarki Kekuasaan Keraton
Sebagai pusat kekuasaan, Keraton Surakarta memegang peran penting dalam hierarki tradisional Jawa. Raja atau Sunan adalah penguasa tertinggi yang dianggap sebagai representasi kekuasaan spiritual dan duniawi. Sunan dikelilingi oleh para bangsawan, abdi dalem, dan pejabat yang menjalankan tugas administratif dan ritual.
Namun, posisi keraton dalam hierarki kekuasaan mulai melemah seiring dengan meningkatnya pengaruh kolonial Belanda di Nusantara. Pada abad ke-19, Kasunanan Surakarta menjadi kerajaan bawahan (vassal state) di bawah kontrol pemerintah Hindia Belanda. Meskipun tetap mempertahankan otoritas budaya dan spiritual, kekuasaan politiknya semakin terbatas.
Perubahan di Era Kemerdekaan
Saat Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan tradisional mulai mengalami perubahan drastis. Keraton Surakarta awalnya mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Namun, pada tahun 1946, terjadi pergolakan sosial di Surakarta yang melibatkan gerakan anti-feodalisme. Keraton dianggap sebagai simbol feodalisme oleh beberapa kelompok masyarakat, yang menuntut penghapusan kekuasaan kerajaan tradisional.
Tekanan ini memuncak pada pembubaran status otonomi Kasunanan Surakarta melalui Keputusan Presiden pada tahun 1946. Keraton kemudian kehilangan statusnya sebagai entitas politik dan secara resmi berada di bawah Pemerintah Republik Indonesia.
Keraton di Era Modern
Meskipun tidak lagi memiliki kekuasaan politik, Keraton Surakarta tetap memainkan peran penting sebagai penjaga tradisi dan budaya Jawa. Keraton menjadi pusat upacara adat, pelestarian seni seperti tari, musik gamelan, dan batik, serta tempat pembelajaran tentang sejarah Jawa.
Di era modern, hubungan antara keraton dan pemerintah Indonesia bersifat simbolis dan fungsional. Keraton sering menjadi tuan rumah acara budaya tingkat nasional maupun internasional yang menunjukkan kekayaan budaya Indonesia.
Keraton Surakarta adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan tradisional bisa beradaptasi di bawah struktur pemerintahan modern. Ia tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa, tetapi juga tetap menjadi penjaga nilai-nilai budaya yang menjadi identitas Jawa dan Indonesia secara keseluruhan.
__________
Pasar Klewer: Ramai Meski Hari Minggu
Dari keraton, perjalanan dilanjutkan ke Pasar Klewer, pusat belanja batik yang sangat terkenal. Meskipun kunjungan kami bertepatan dengan hari Minggu dan beberapa toko tutup, suasana pasar tetap ramai. Para pedagang yang masih buka menawarkan beragam kain batik cantik dengan motif khas Solo.
Kami berhasil membeli beberapa batik untuk oleh-oleh. Meski waktu terbatas.
----------
-----------
Lokananta: Harmoni klasik
Perhentian terakhir kami adalah Lokananta, studio rekaman legendaris yang menyimpan sejarah musik Indonesia. Didirikan pada tahun 1956, Lokananta bukan hanya studio rekaman biasa, tetapi juga salah satu simbol penting perjalanan bangsa.
Kontribusi Lokananta terhadap sejarah Indonesia sangatlah besar, termasuk saat awal kemerdekaan. Lokananta menjadi tempat penggandaan rekaman suara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Bung Karno. Salinan rekaman ini kemudian disebarluaskan ke berbagai daerah di Indonesia, memastikan kabar Proklamasi dapat didengar oleh lebih banyak rakyat, bahkan di pelosok negeri.
Selain itu, Lokananta juga menjadi rumah bagi arsip-arsip musik nasional yang bernilai sejarah tinggi, termasuk lagu-lagu tradisional dari berbagai daerah. Mengunjungi Lokananta memberi saya pengalaman emosional, seolah berada di ruang waktu yang menghubungkan masa lalu dan masa kini melalui harmoni musik dan suara perjuangan.
---------
Solo, meski hanya menjadi tempat persinggahan, berhasil memberikan pengalaman yang lengkap—dari belanja oleh-oleh di Pasar Gede, menyusuri sejarah di keraton, berburu batik di Pasar Klewer, hingga mengenang perjuangan di Lokananta. Kota ini mengajarkan bahwa perjalanan singkat pun bisa meninggalkan kesan tersendiri.
0 notes