#penghayat kepercayaan
Explore tagged Tumblr posts
Text
10 wangsit dari tepi sungai Cileuleuy
Diyakini sebagai salah satu agama asli masyarakat di tatar Sunda, para penghayat kepercayaan Budi Daya mengharapkan perlakuan yang setara dengan para penganut agama lain di Indonesia.
Sejak Nusantara terbentuk dan berpenghuni berabad-abad silam, para penghayat kepercayaan Budi Daya di Kampung Cicalung, Lembang, Jawa Barat, meyakini nenek moyang mereka yang mendiami tatar Sunda telah mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan tersebut bisa dilacak dalam penyebutan Tuhan melalui penggunaan bahasa Sunda kuno dari era pra-Hindu, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab, dan bahasa-bahasa asing lainnya.
Beberapa sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Hyang Manon (Yang Maha Tunggal), Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa), dan Si Ijunajati Nistemen (Maha Pencipta).
Karenanya, Engkus Ruswana (62) selaku Ketua Organisasi Penghayat Budi Daya menolak tegas jika mereka dianggap sebagai penganut animisme dan dinamisme.
"Istilah itu sebenarnya didengungkan oleh para antropolog Barat untuk melecehkan agama nenek moyang kita. Karena mereka tidak memahami upacara ritual yang dilakukan, dipikirnya itu upacara menyembah roh halus dan kekuatan gaib," kata Engkus.
Keyakinan yang sempat terkikis dan menghilang tersebut kemudian diwartakan kembali oleh Mei Kartawinata setelah menerima Dasa Wasita atau 10 Wangsit. Kejadian turunnya wangsit berlangsung di tepi Sungai Cileuleuy, Kampung Cimerta, Subang, pada 17 September 1927.
Mei Kartawinata (1 Mei 1897 - 11 Februari 1967) menyebut hasil penggaliannya terhadap ajaran leluhur di Bumi Parahyangan dengan istilah pamendak alias temuan terhadap kepercayaan para leluhur.
Walaupun menolak disebut sebagai sinkritisme, Engkus tidak menampik jika ajaran Budi Daya banyak bersinggungan dengan budaya dan tradisi masyarakat Sunda.
Ini terlihat dari inti ajaran Budi Daya yang mengajarkan konsep cara pandang hidup orang Sunda bernama "Tri Tangtu". Isinya tentang wawasan atau tuntunan menyangkut diri manusia sebagai makhluk pribadi, sosial bermasyarakat, dan ber-Tuhan.
Ada banyak nama yang disematkan untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), Agama Perjalanan, dan Agama Buhun, orang-orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai, atau Jawa-Jawi Mulya.
Mereka yang hendak melecehkannya cukup menyebutnya "Agama Kuring".
Dalam bahasa Indonesia, Kuring adalah kosakata untuk "Aku" atau "Saya". Prosekusi label "Agama Kuring" mengarah pada usaha mendiskreditkan pemeluk agama ini sebagai penganut agama semau gue.
Agama-agama leluhur orang Sunda sangat menghormati alam sebagai pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.
Bagi para penghayat, alam semesta adalah tempat belajar dan menghayati segala keteraturan. Gunung, lembah, air, api, tanah, angin, dan segala mahluk hidup menjalankan kodratnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
Karenanya, Mei Kartawinata meletakkan alam sebagai "kitab suci". Alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.
Dalam prosesnya, Mei Kartawinata mendirikan wadah untuk menampung para pengikut atau penghayat ajarannya yang namanya kerap berubah-ubah.
Pertama membentuk Perhimpunan Rakyat Indonesia Kemanusia'an sehingga ajarannya disebut Kemanusa'an. Setelah Indonesia merdeka dan bersiap melangsungkan pemilihan umum pertama, Mei ikut mendirikan Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai).
Usai pelaksanaan Pemilu 1955, nama tersebut berubah menjadi Organisasi Perjalanan alias Lalampahan.
Sepeninggal Mei Kartawinata, terjadi konflik internal yang membuat anggota terpecah menjadi beberapa organisasi yang melahirkan AKP, Budi Daya, dan Aji Dipa. Tidak ada perbedaan esensial antar tiga organisasi ini karena sumber ajarannya sama.
Menurut keterangan Engkus, Budi Daya sebagai organisasi terbentuk sejak 1980. "Pada era 1950-an ketika ramai pemberontakan DI/TII, kami juga disebut Agama Buhun, Agama Pancasila, dan Agama Kuring," imbuh Engkus.
Pertemuan kami dengan Engkus yang selalu terlihat mengenakan totopong (ikat kepala khas Sunda) berlangsung di Bale Pasekawan Waruga Jati, Kampung Cicalung, Lembang, Jawa Barat (3/3/2018).
Rute menuju kampung tersebut adalah jalan selebar tiga meter yang diwarnai tanjakan dan turunan. Sejauh mata memandang, terlihat bebukitan dan hamparan tanah yang ditanami beragam jenis sayur-sayuran, seperti terong ungu, brokoli, cabe rawit dan kriting, sawi putih, buncis, labu, timun, dan selada.
Bagi warga penghayat di Kampung Cicalung yang berjumlah 78 orang, Bale Pasekawan bukanlah rumah ibadah, tapi tempat pertemuan atau berkumpul alias ngariung dalam bahasa Sunda.
Tempat yang jadi pusat kegiatan para penghayat Budi Daya ini diresmikan pada 17 Mei 2012 oleh Bupati Bandung Barat H. Abubakar.
Luas Bale Pasewakan 1.400 meter persegi yang terdiri dari dua bangunan utama. Ada aula seluas 9 x 11 meter persegi dan panggung seluas 48 meter persegi.
Selain jadi tempat mengajarkan pelajaran Budi Daya sebagai pengganti pelajaran agama di sekolah bagi siswa SD, SMP, dan SMA penghayat kepercayaan, gedung ini kerap pula menampilkan pentas kesenian, seperti degung, jaipongan, salendroan, dan wayang.
Tidak heran jika terdapat alat musik tradisional seperti gendang, gong, dan gamelan di dalam Bale. Mereka yang ingin memanfaatkan Bale tidak harus para penghayat Budi Daya.
"Asal kegiatannya untuk kemaslahatan warga desa. Bukan kegiatan untuk politik praktis macam kampanye," tutur Ondo (52), salah satu penghayat saat kami temui di Kampung Cibedug yang berjarak sekitar 6,9 kilometer dari Cicalung.
Di kampung itu, terdapat Bale Pasewakan Rasa Jati yang usianya lebih tua karena berdiri sejak 1951. "Dulu bentuknya hanya gubuk bambu. Lama-kelamaan menjadi bangunan permanen seperti sekarang," jelas Ondo.
Adapun kegiatan yang sering berlangsung di Bale Pasewakan, antara lain peringatan turunnya wangsit kepada Mei Kartawinata pada 17 September, tahun baru dalam sistem kalender Jawa (1 Sura), dan renungan malam 1 Juni yang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Menganut kepercayaan yang diyakini milik nenek moyang di negeri ini ternyata tak semudah membalik telapak tangan.
Berbagai perlakuan diskriminasi dari masyarakat telah mereka rasakan. Apesnya lagi, negara turut melanggengkannya melalui berbagai peraturan yang mengikat secara yuridis, alih-alih memenuhi hak para penghayat kepercayaan sebagai sesama warga negara.
Misalnya kejadian yang dialami Asep Setia Pujanegara (47) ketika menikahi Rela Susanti (41) pada 23 Agustus 2001.
Kukuh ingin melaksanakan pernikahan seturut keyakinan penghayat, pernikahan mereka tidak mengantongi Akta Pernikahan dari Kantor Catatan Sipil.
Merasa haknya sebagai warga negara tidak dipenuhi, Asep mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Gugatan pasutri ini kemudian disetujui PTUN tertanggal 25 April 2002. Perkawinan yang dilangsungkan dengan cara adat Sunda itu dapat dicatatkan di Kantor Badan Kependudukan dan Catatan Sipil (BKCS) Kabupaten Bandung.
Pun demikian, Mahkamah Agung tetap bergeming. Asep bersama istri harus menunggu hingga terbitnya Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Hal itu membuat akta kelahiran anak pertama mereka hanya bisa mencantumkan nama ibu dan tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ayahnya. Dengan demikian, buah cinta pasangan ini dianggap sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Pada saat UU Adminduk disahkan, terjadi lagi problem teknis dalam pelaksanaan. Nama ayah hanya ditambahkan dalam catatan pinggir yang dituliskan di bagian belakang alih-alih pembaruan akta lahir.
"Alasannya menurut saya sih tidak masuk akal. Karena masalah nomor registrasi tidak boleh ganda," ujar Asep yang menjabat sebagai penanggung jawab pendidikan bagi warga penghayat kepercayaan Budi Daya.
Padahal menurut Engkus, nomor registrasi tak perlu diperbarui. "Cukup lembaran blangko akta kelahirannya saja yang dibuat baru dengan menambahkan nama ayah bersanding dengan ibu."
Engkus juga pernah jadi korban diskriminasi saat ibundanya meninggal di Desa Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Warga sekitar menolak jenazah almarhumah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) karena dianggap tidak beragama.
"Kata mereka, 'Ini khusus kuburan orang beragama, yang tidak beragama tidak boleh.' Setelah melalui rapat desa, diputuskan jenazah harus disalatkan, baru boleh dikuburkan," kenangnya.
Diskriminasi di sektor pendidikan berlangsung lebih lama lagi. Keturunan para penghayat kepercayaan dipaksa memilih pelajaran agama yang diakui negara.
Regenerasi penghayat jadi terhambat karena kebanyakan anak-anak tidak mengikuti penghayat kepercayaan orang tuanya.
Siswa penghayat kepercayaan juga kerap menjadi sasaran perundungan di sekolah dalam bentuk verbal. Akibatnya siswa bersangkutan meminta pindah sekolah karena tidak tahan jadi sasaran bully.
Setelah sekian lama berjuang, mulai 2016 keluar keputusan Kemdikbud yang menyatakan bahwa murid-murid penghayat kepercayaan mendapatkan pelajaran rohani sesuai kepercayaannya.
Berhubung tidak semua sekolah memiliki guru agama dari kalangan penghayat --karena teknis dan kurikulumnya masih dibahas, beberapa siswa dikembalikan ke organisasi atau komunitas penghayat kepercayaan untuk mendapatkan pelajaran keagamaan.
Asep salah satu yang mengabdikan diri sebagai guru pengajar penghayat kepercayaan. "Untuk sementara saya mengajarkan mata pelajaran untuk semua jenjang pendidikan dari SD hingga SMA. Pelajaran biasanya berlangsung setiap hari Minggu di Bale ini. Panduannya sudah ada. Sisanya saya gabung dengan buku-buku karya Pak Mei Kartawinata."
Seiring dikabulkannya gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan perihal Penganut Kepercayaan oleh Mahkamah Konsitusi (7/11/2017), Engkus berharap tidak lagi ada perbedaan dan diskriminasi terhadap warga penghayat kepercayaan.
"Kita semua punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Selama ini penghayat kepercayaan selalu dianggap lebih rendah. Hak-hak pelayanan sosial untuk kami selalu terkebiri," katanya.
Padahal, kata Engkus, jika berkaca pada sejarah, perlakuan semacam itu sebenarnya dilakukan oleh penjajah untuk merendahkan bangsa kita.
#penghayat kepercayaan#agama#budaya#agama nusantara#budi daya#buhun#jawa barat#mei kartawinata#engkus ruswana#subang#Sungai Cileuleuy#diskriminasi#Lalampahan#Aji Dipa#Sunda#UU Adminduk
2 notes
·
View notes
Text
Babinsa Tegalsari (Peltu Wantono) monitor kegiatan *Pengukuhan dan Penguatan Generasi Muda Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Indonesia (Gema Pakti) DMD Kota Semarang bertempat di Gedung Ki Narto Sabdo Komplek TBRS (Taman Budaya Raden Saleh) Kel. Tegalsari Kec. Candisari Semarang.
https://www.instagram.com/p/C_1_QRpvUb93f-dYE9iBmauiNYrLA7y9x34z340/?igsh=bDVmc29mbzZjc3V3
0 notes
Text
Silahturahmi Polda Bali Dengan Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Di Propinsi Bali
Bali – Pada hari Kamis, 22 Agustus 2024 bertempat di Renoma Cafe Denpasar Timur telah berlangsung Silahturahmi Polda Bali dengan Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Provinsi Bali. Dengan tema “Himpunan Penghayat Kepercayaan Menjaga Toleransi di Tengah Keberagaman”. Hadir dalam kegiatan tersebut yaitu Kasubdit 3 Ditintelkam Polda Bali yang diwakili oleh Panit 5, Iptu Nyoman Yasa, S.H., Ketua DPD…
View On WordPress
0 notes
Text
Penganut Ajaran Penghayat Kepercayaan Kejawen Maneges Langsungkan Wisuda Pawiwahan
Slawiraya.com ( Slawi ) Penganut ajaran Penghayat Kepercayaan Kejawen Meneges yang berpusat di Kabupaten Tegal, siang tadi Sabtu ( 07/10/2023 ) menyelenggarakan pernikahan dengan cara adat jawa. Dari undangan yang diterima redaksi, penganut paham kepercayaan Kejawen Maneges melangsungkan tradisi perkawinan jawa atau wisuda Pawiwahan. Baca Juga…
View On WordPress
#Desa Penusupan#Kabupaten Tegal#Kecamatan Pangkah#Kejawen#Maneges#Megawati#PAW#Pawiwahan#Soekarno#Wisuda
0 notes
Text
19/9/3023
Kuliah kelas mas anto mata kuliah penghayat kepercayaan
0 notes
Photo
Pertama di Bandung, Kepercayaan Penghayat Tertulis di e-KTP!
MALANGTODAY.NET - Penganut aliran kepercayaan penghayat di Bandung kini sudah bisa bernapas lega. Pasalnya, Pemkot Bandung melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) telah mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) dengan kolom agama diganti dengan kolom kepercayaan pada Rabu (20/2/2019). Hal ini menjadi angin segar bagi para penghayat. Sebab sebelumnya, beberapa diantara mereka mengosongi kolom agama yang ada di KTP. Beberapa orang lagi, diharuskan untuk mengisi salah satu agama yang diakui di negara ini walaupun sebenarya mereka tetap penghayat. [irp] “Penulisan kepercayaan di KTP itu pengakuan bahwa kami warga Negara Indonesia,” ujar Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kota Bandung, Bonie Nughraha Permana dilansir dari Tempo.co (21/2/2019). Diketahui, secara de facto ada 150 ribu jiwa yang menjadi pengikut penghayat. Rentang usia penganut bervariasi mulai anak-anak hingga orang tua. Pada penerbitan pertama kemarin, sudah ada enam orang yang resmi berganti identitas di KTP. Dua diantaranya adalah Bonie dan istri serta anaknya yang menganut kepercayaan penghayat Akur Cigugur dan Nanang yang merupakan warga Kecamatan Mandalajati. Pria yang merupakan Pegawai Negeri Sipil ini menuturkan bahwa pencantuman kepercayaan penghayat ini adalah yang pertama di Bandung dan Jawa Barat. Harapannya juga bisa disusul oleh daerah lain. “Untuk di Jawa Barat, ini yang pertama,” tandasnya. [irp] Untuk mengurus penggantian kepercayaan ini, secara umum prosedurnya sama seperti mengajukan e-KTP pada umumnya. Bedanya, pemohon harus melengkapi data yang menerangkan bahwa ia adalah penganut penghayat. “Setiap perubahan komponen elemen KTP itu bisa dimintakan asalkan ada bukti pendukung. Kalau misalnya dari menikah menjadi janda/duda, ada surat cerai. Dari ‘Islam’ menjadi Kepercayaan ada bukti pendukung, apakah dari pimpinan alirannya bahwa dia penganut Kepercayaan,” terang Kepala Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Jawa Barat, Heri Suherman. (AL)
Source : https://malangtoday.net/flash/bandung/pertama-di-bandung-kepercayaan-penghayat-tertulis-di-e-ktp/
MalangTODAY
0 notes
Text
Pesan Ketua Puanhayati Pusat kepada Perempuan Penghayat di Indonesia
Pesan Ketua Puanhayati Pusat kepada Perempuan Penghayat di Indonesia
Pesan Ketua Puanhayati Pusat kepada Perempuan Penghayat di Indonesia dalam acara Doa Bersama & Ruwatan COVID-19 (25 April 2020)
Dian Jennie Cahyawati
Saya memohon kepada seluruh perempuan penghayat kepercayaan yang berada ada di Indonesia supaya kita tetap kuat.
Kita pasti bisa melewati semuanya dengan baik.
Kawan-kawan,
Kita harus yakin karena keyakinan, doa dan kewaspadaan kita. Kemudian…
View On WordPress
#COVID-19#Dian Jennie Cahyawati#Penghayat Kepercayaan#Puanhayati#Rahayu#Ruwatan#SatuNama#Social distancing
0 notes
Text
Disdikpora DIY Sulit Siapkan Guru Penghayat Kepercayaan
Disdikpora DIY Sulit Siapkan Guru Penghayat Kepercayaan
YOGYAKARTA – Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY, mengaku siap memfasilitasi dan memberikan pelayanan pendidikan bagi siswa penghayat kepercayaan yang ada di DIY.
Meski begitu, Disdikpora mengaku kesulitan jika harus menyediakan guru yang sesuai dengan aliran kepercayaan yang dianut. Selain tidak memiliki data jumlah siswa penghayat kepercayaan, penyediaan guru bagi mereka juga…
View On WordPress
0 notes
Text
Kisah Penggulungan Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai
Salah seorang Sikerei di Dusun Tinambu, pedalaman Siberut, Kepulauan Mentawai, melakukan ‘turuk’, salah satu metode pengobatan tradisional Mentawai. Maturuk adalah salah satu aplikasi dari Arat Sabulungan. (Foto: Yose Hendra)
Padangkita.com – Angin keadilan berhembus dari jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, kala Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan…
View On WordPress
0 notes
Text
Putusan MK: Penghayat Kepercayaan Dapat Dicantumkan di KTP dan KK
Putusan MK: Penghayat Kepercayaan Dapat Dicantumkan di KTP dan KK
JAKARTA – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.
Menurut majelis hakim, hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia…
View On WordPress
0 notes
Text
Penghayat Kepercayaan Distigma Sesat
Penghayat Kepercayaan Distigma Sesat
Penghayat Kepercayaan Distigma Sesat (Tulisan II) ENGKUS Ruswana, 63, penghayat kerpercayaan Budi Daya, Bandung, dan rekan-rekan senasibnya masih meriung di gazebo besar. Setelah mendengar kisah diskriminasi dari teman-temannya, Engkus pun menutur kisah yang tak kalah harunya. ENGKUS Ruswana, penghayat kerpercayaan Budi Daya, yang memperjuangkan hak penganut kepercayaan Engkus masih ingat…
View On WordPress
0 notes
Text
Patung Semar Pesanan Presiden Soeharto Ada Di Warung PO'WE Mbah Woto di Desa Ngemplak
Patung Semar Pesanan Presiden Soeharto Ada Di Warung PO’WE Mbah Woto di Desa Ngemplak
KARTASURA- redaksijateng 81 Eko Suwoto (48) owner warung makan sederhana “PO’WE MBAH WOTO” Desa Wirodigdan Kelurahan Ngemplak Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo didepan rumah yang dijadikan warung terdapat Patung Semar yang menarik sebagian pengunjung terutama kalangan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. “Patung Semar ini punya sejarah dalam kehidupan saya pribadi dan tidak sengaja…
View On WordPress
0 notes
Photo
Status Penghayat Kepercayaan Masuk Kolom Agama di KTP dan KK
MALANGTODAY.NET - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam di kolom agama yang terdapat Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Maka para penghayat kepercayaan tak perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut. MK mengabulkan permohonan gugatan uji materi (judicial review) atas Pasal 61 ayat 1 dan 2 serta Pasal 64 ayat 1 dan 5 Undang-undang (UU) tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang diajukan oleh sejumlah penghayat kepercayaan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," putus Ketua MK Arief Hidayat, di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, seperti dilansir dari detik, Selasa (7/11) Arief berpendapat, pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. "Menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'," ucap Arief. Permohonan uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Menurut Arief, gugatan para pemohon yang terdiri dari para penganut penghayat kepercayaan memiliki landasan hukum. Para pemohon sebelumnya menilai, ketentuan di dalam UU Adminduk tidak mampu memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak yang sama kepada penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau penghayat selaku warga negara. (Ind)
Source : https://malangtoday.net/flash/nasional/penghayat-kepercayaan-masuk-kolom-agama/
MalangTODAY
0 notes
Text
Kajari Batu Ajak Menjaga Nilai Budaya Luhur
Kajari Batu Ajak Menjaga Nilai Budaya Luhur
Kajari Kota Batu Dr Supriyanto menyampaikan pentingnya peran penghayat kepercayaan Tuhan YME menjaga nilai budaya luhur. Batu, Memorandum.co.id – Menjaga ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan Negeri kejari) Batu bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kota Batu menggelar sarasehan budaya bertema ‘Peran Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Menjaga Nilai Nilai Budaya Luhur di…
View On WordPress
0 notes
Text
Penghayat Kepercayaan "Aliran" Belum Ada di Sumbar
Penghayat Kepercayaan “Aliran” Belum Ada di Sumbar
PADANG – Kepala Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sumatera Barat (Sumbar) Nazwir mengatakan, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi sejumlah pasal dalam UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang memperbolehkan penghayat kepercayaan menuliskan aliran mereka di kolom agama e-KTP, ternyata belum ditemukan bagi daerah Sumbar.
Ia…
View On WordPress
0 notes