#sains dan ateis
Explore tagged Tumblr posts
ceritaberkat · 1 year ago
Text
Kenapa Kamu Memilih Ateis? Beberapa alasan dari mereka adalah.
Sebenarnya apa itu Ateis, Arti Ateis adalah sebuah pandangan filosofi yang percaya tidak adanya keberadaan Tuhan atau entitas ilahi dan dewa-dewi, atau pun penolakan terhadap Teisme (percaya Tuhan) yang di sertai dengan klaim.
Ateis atau disebut Ateisme pastilah tidak sudi untuk memeluk agama atau bergabung dengan aliran kepercayaan apapun.
Jadi, Apa Alasan Mereka Menjadi Ateis
Tumblr media
Seseorang telah memiliki alasan yang cukup kuat untuk memilih keputusannya menjadi seorang Ateis, bahkan mereka yang sudah memiliki keyakinan sebelumnya dan memutuskan untuk meninggalkan keyakinan dan memilih jalan hidup tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan. 
alah satu seseorang menjadi Ateis adalah karena mereka merasa kecewa dengan agama. Bagi beberapa orang, pengalaman tertentu dapat sangat merusak atau menghancurkan keyakinan mereka terhadap agama.
Kekecewaan terhadap agama ini berasal dari pengalaman negatif atau menyaksikan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang mereka anut.
Tidak Percaya Pada Keberadaan Tuhan
Secara umum yang di maksud dengan Ateis adalah ketidakpercayaan pada keberadaan Tuhan, ini menjadi alasan utama mereka memilih menjadi seorang Ateis.
Mereka menganggap argumen dan bukti yang diajukan oleh penganut dan tokoh agama tidak cukup kuat untuk meyakinkan bahwa keberadaan tuhan itu nyata adanya
 Sebagai manusia, kita semua berusaha untuk menemukan kebenaran dan makna dalam kehidupan kita, bagaimana kehidupan mereka dengan kepercayaan yang mereka yakini tyanpa adanya entitas Tuhan, Selengkapnya yuk di rumah Berkat
1 note · View note
ihsnfkri · 2 years ago
Text
Ketika Saya Beragama Saya Juga Bertuhan
Saya pernah ditanya apakah saya percaya Tuhan? dengan sangat simpel dan personal (seperti bagaimana saya mencerminkan diri) saya menjawab: Ya, saya sangat percaya.
Tapi dibalik itu ada proses panjang yang saya lalui untuk menjelaskannya sesingkat mungkin.
Semua itu berawal dari latar belakang saya sebagai anak dari keluarga muslim taat yang moderat. Yang secara fundamental ternyata membuat saya menjadi muslim yang mengikuti perkembangan zaman, anehnya orang-orang malah menyebut saya liberal.
Tumbuh tanpa ayah, membuat saya banyak menunduk dan kehilangan kepercayaan diri. Satu-satunya yang membuat saya menengadahkan kepala adalah langit malam. Seperti ayah, langit malam penuh misteri. Saya bercita-cita jadi astronom waktu kecil (bukan astronot ya) Tapi anehnya saudara saya mengirimi saya ke pondok pesantren. Tempat dimana pertama kalinya saya melihat kesombongan dalam beragama. 'Islam itu benar yang lain salah' jangan tanya-tanya lagi.
Bodohnya 6 tahun di pondok saya bukannya semakin tunduk kepada Tuhan. Malah mencarinya, semakin bertanya-tanya dan kadang ekspedisi yang saya lakukan terlalu jauh. Tapi saya bertekad, saya harus menemukannya. Untuk mempercayai keyakinan saya tentang agama, awal mulanya say jadi agnostik. Diam-diam saya mengabaikan tuhan sepenuhnya. Tapi ternyata jadi ateis tidak membuat saya bahagia. Nilai-nilai Islam itu masih ada. Saya haus akan keyakinan dan jadi ateis seperti tinggal di gurun pasir. Tidak ada air sama sekali.
Puncaknya adalah saat ujian madrasah. Saya dimarahi mengapa tidak ikut tes bacaan doa dan hafalan Qur'an? Akhirnya saya sadar, tidak ada ruang untuk ateis di dunia ini.
Dalam perjalanan spritual saya, yang paling lucu adalah setelah lulus MAPK. Ketika saya diwanti-wanti kuliah di Jawa oleh ibu. Tentang liberal lah, kristenisasi lah, radikal lah. Mencerminkan bahwa rata-rata agama sanawi itu tidak ada yang pluralis, semuanya egois dan takut-menakuti satu sama lain.
Awal-awal kuliah, saya justru malah tertarik dengan Bhuddisme. Buddha artinya sadar. Dan saya sadar betul Tuhan itu ada. Segampang itu ternyata.
Agama Buddha adalah agama perbuatan. Sejak awal saya merasa agama ini tidak begitu mementingkan Tuhan. Mereka lebih suka membicarakan siklus kehidupan, reinkarnasi dan jika di kehidupanmu ini kamu baik, kamu akan dimudahkan dikehidupan sebenarnya.
Seperti impian saya yang pupus, menjadi ilmuwan, pakar sains dan astronom yang tak terwujud itu. Saya akhirnya menyerah tentang pencarian Tuhan.
Seperti halnya langit malam. Saya sangat mencintainya. Meski saya sendiri tidak tahu apa-apa tentang langit diluar sana.
Saya kini hanya berharap bahwa semua ibadah saya tidak seperti robot. Ketika saya beragama saya juga bertuhan.
12 notes · View notes
abbasalharik · 2 years ago
Text
Maratib Al-Idrak
Paham tingkatan pengetahuan (maratib al idrak) itu ternyata penting buat kehidupan sehari-hari. Terkhusus di era kemajuan teknologi informasi saat ini.
Misalnya, kemaren ketika berangkat ke kampus, saya bilang ke orang yang kebetulan duduk di sebelah saya,
"Menurut aplikasi perkiraan cuaca, hari ini akan ada hujan badai".
Dia jawab,
"Halah...itu masih ihtimal (mungkin benar, mungkin salah)."
Sekilas perkataannya benar, tapi sebenarnya kurang tepat. Karena tidak semua Ihtimal itu satu tingkat dalam pengetahuan. Ihtimal ada 3 tingkat:
1- kemungkinan salahnya lebih besar (wahm)
2- Kemungkinan benarnya lebih besar (dzonn)
3- Kemungkinan salah dan benarnya seimbang (syak)
Dan perkiraan cuaca di aplikasi memiliki ihtimal: mungkin benar dan mungkin salah. Tapi kemungkinan benarnya lebih besar (dzonn).
Selain itu, kalau kita menganggap segala sesuatu adalah ihtimal dengan arti tak bisa dianggap kebenaran, maka hampir tak ada kebenaran yang bisa kita pegang di dunia ini. Segala sesuatu di dunia akan jadi relatif. Karena kebanyakan nilai-nilai, penelitian sains dan teori-teori pengetahuan punya ihtimal. Tapi, ihtimal nya berada di tingkat dzonn.
Contohya teori bumi bulat. Dulu kita sering dengar di medsos banyak teori yang membantah teori bumi bulat dan menegaskan bahwa bumi itu datar. Bagi orang yang menganggap pengetahuan/informasi itu satu tingkat semua, maka pasti cepat-cepat mengamini teori bumi datar dan membantah teori bumi bulat.
Kemudian, dengan mengetahui tingkatan pengetahuan kita bisa memilah argumen atau bantahan mana yang bisa diperhitungkan dan mana yang tidak. Misal, argumen eksistensi Tuhan. Sejak dulu sampai sekarang dua kubu: teis dan ateis terus saling lempar argumen yang mendukung keyakinan mereka masing-masing. Setiap argumen dibantah dengan argumen lain. Kita sebagai orang yang bertuhan (teis) kalau tak paham tingkatan pengetahuan, mungkin melihat perdebataan tak berujung itu membuat jiwa jadi penuh keraguan. Tapi, dengan mengetahui tingkatan pengetahuan, kita tahu mana argumen/bantahan yang lemah (marjuh) dan mana yang kuat (rajih). Adanya bantahan tak menjadikan sesuatu serta merta salah atau tak layak dianggap sebagai kebenaran.
Memahami tingkatan pengetahuan juga membantu kita bebas dari overthinking. Dalam sehari infomasi yang kita terima bisa lebih dari puluhan. Bahkan berita yang mengisukan satu orang (misalnya) bisa lebih dari hitungan jari dengan berbagai versinya. Tanpa tahu tingkatan ini kita pasti sudah dibuat bingung harus menerima atau menanggapi berita yang mana. Oleh karena itu, memahami maratib al idrak penting bagi kita yang hidup di zaman modern ini.
Kairo, 26 Oktober 2022
5 notes · View notes
farizhadi · 4 years ago
Text
Tulisan ramadhan : hari 8/ Cara memandang ilmu dunia dan akhirat
Sebagian dari kita mungkin masih mempunyai pemahaman bahwa setiap ilmu agama seperti fiqih, hadist, atau yang lainnya itu semua merupakan ilmu akhirat. Dan ilmu ilmu seperti matematika, fisika, hukum atau sosial itu semua merupakan ilmu dunia.
Pemahaman ini yang terkadang membuat sebagian orang lebih memilih untuk mempelajari ilmu agama. Menurutnya ilmu agama sangat menjamin kehidupan mereka, selain itu mempelajari ilmu agama juga merupakan sebuah bekal untuk menuju akhirat. Akhirnya pemahaman ini melahirkan atau menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, hukum atau yang semisalnya merupakan ilmu yang kurang penting. Karena semua ilmu dunia tidak mempunyai dampak di akhirat kelak. Mereka berkata “untuk apa kita mati matian terhadap hal yang tidak mempunyai dampak untuk akhirat, itu adalah sebuah kesia siaan”.
Dalam hal ini, orang yang mempunyai pemahaman seperti ini sebetulnya mempunyai cita cita mulia. Mereka memikirkan bagaimana kehidupan mereka di akhirat kelak. Mereka berpikiran bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Tapi memang pemahaman seperti ini lah yang menjadikan umat muslim tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan sekarang.
Sebelum adanya ilmuwan ilmuwan besar dari eropa seperti einsten, newton, tesla. Atau sebelumnya adanya para filsuf eropa seperti hurlock, john locke, betran russel dan lainnya sebagainya. Umat muslim sudah ada yang mendahului mereka sebut saja imam ghazali dan ibnu farabi yang ahli dalam filsafat. Atau ibnu khaldun sang pencetus ilmu sosiologi atau ibnu sina yang ahli dalam bidang kedokteran, bahkan buku buku beliau menjadi sumber rujukan para dokter di seluruh dunia kala itu. Atau kita tahu al khawarizmi sang ahli matematika, yang mana beliau menemukan rumus aljabar. Mereka semua adalah muslim yang sangat berpengaruh sampai sekarang. Dan mereka tidak mensekunderkan ilmu pengetahuan. Bahkan karya karya mereka lah yang memenuhi pikiran pikiran kita dan pikiran orang orang di berbagai dunia.
Tapi pada kenyataan sekarang, mengapa umat muslim terlihat tertinggal dari pada orang orang barat sana. Dan bahkan negara negara muslim yang di dunia ini, menjadi mayoritas negara berkembang. apa yang menjadikan itu semua terjadi, mengapa kita sebagai muslim tertinggal dari orang orang barat sana ?
Mungkin bisa jadi salah satu jawabannya adalah karena pemahaman kita terhadap ilmu tadi. Kita perlahan mulai meninggalkan ilmu pengetahuan. Karena dianggap ilmu pengetahuan tidak mempunyai orientasi kepada akhirat.
Semenjak invasi mongol kepada dinasti abbasiyah, perlahan lahan, sedikit demi sedikit ilmuwan ilmuwan muslim hilang. Bahkan kita tahu pada puncak kejayaan islam pada dinasti abbasiyah, ada pembangunan sebuah kajian penelitian keilmuwan yang disebut baitul hikam. Dan kala itu bangsa eropa tidak mempunyai pusat pengkajian ilmiah yang serupa. Hal ini lah menandakan bahwa kita pernah jaya. Dan tidak lain tidak bukan salah satunya karena umat muslim kala itu sadar, bahwa memang ilmu pengetahuan tidak bisa kita tinggalkan.
Memang mungkin salah satu mengapa ada pemikiran bahwa ilmu pengetahuan merupakan ilmu dunia. Bisa jadi dikarenakan kebanyakan ilmu ilmu pengetahuan dikuasai oleh bangsa barat, yang mayoritas kurang memedulikan ilmu agama. Kita bisa mengetahui hal ini dari sejarah masa pencerahan di eropa sana. Yang mana perlahan lahan orang eropa membangga banggakan ilmu pengetahuan dari pada agama. Dan hasilnya adalah hari ini. Terciptalah sebuah tuhan baru yang namanya ilmu pengetahuan.
Bisa kita lihat sendiri di sekitar kita. Biasanya orang orang yang pintar dalam sains agak kurang pemahamannya dalam ilmu keagamaan. Bahkan di barat sana banyak ilmuwan ilmuwan yang malah memilih untuk menjadi ateis.
Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini ? apakah benar pernyataan awal tadi, bahwa memang ilmu agama itu merupakan ilmu akhirat, dan ilmu pengetahuan adalah ilmu dunia saja ?
Maka sebetulnya hal ini kembali lagi kepada niat masing masing individu kita. Menurut saya sendiri ilmu akhirat adalah setiap ilmu apapun itu yang memang diniatkan untuk mencapai kemaslahatan di dunia ini dan diniatkan memang untuk menggapai keridhan Allah. Sedangkan ilmu dunia adalah segala ilmu yang memang hanya diniatkan untuk mencari keuntungan dunia saja.
Ilmu tafsir Al quran, ia akan menjadi ilmu dunia tak kala, ilmu tersebut hanya diniatkan untuk mencari keuntungan dunia saja. Semisal mempelajari tafsir agar mudah ketika mendebat orang lain. Atau misalnya belajar ilmu Al quran semata mata agar mudah mendapat pekerjaan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa setiap ilmu yang mulia bisa menjadi ilmu dunia tak kala hanya mempunyai orientasi dunia saja.
Begitu juga sebaliknya. Ilmu ekonomi, yang mana mempunyai dampak langsung di dunia, bisa menjadi malah itulah ilmu akhirat. Hanya karena memang diniatkan untuk kemaslahatan di dunia ini, bukan hanya untuk mencari keuntungan semata. Maka sebetulnya ilmu dunia dan akhirat itu adalah hal relatif, tergantung tujuan untuk apa kita mempelajari ilmu itu.
Rasulullah pernah berkata “ barang siapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudah jalan ia menuju syurga” dalam konteks hadist ini. Rasulullah tidak memberi tahu secara spesifik ilmu apa. Maka ilmu disini bisa jadi merajuk kepada berbagai ilmu yang ada.
Jika kita ingin perluas pemahaman ini, maka kita akan menemukan sebuah rumusan bahwa pekerjaan mulia bukan dilihat dari pekerjaannya saja, tapi dari apa tujuan pekerjaan itu dilakukan.
Menjadi da’i adalah hal mulia, tapi akan hina tak kala hanya diniatkan untuk mendapatkan uang saja. Menjadi ulama adalah mulia, tapi akan hina tak kala menjadi ulama hanya agar dipercaya orang dan mendapat pengikut yang banyak. Begitu juga sebaliknya pekerjaan yang kita remehkan bisa jadi mulia tak kala memang diniatkan untuk memberikan kemaslahatan yang banyak.
Tujuan merupakan aspek penting dalam pencarian ilmu kita. Mulai mempertanyakan kepada diri kita adalah hal yang harus kita lakukan. Untuk apa kita memperlajari ilmu A ? Untuk apa kita mempelajari ilmu B ? Dan untuk apa kita mempelajari semuanya ? itu merupakan sebuah landasan agar apa yang kita pelajari memberikan kemudahan di dunia ini dan menjadi sebuah bekal dan amal diakhirat kelak.
5 notes · View notes
ahmadsilaan · 4 years ago
Text
Karakteristik Da’i
Pada pembahasan ini, saya akan membahas seorang da’i dari Negara India yaitu Dr. Zakir Naik. Karakteristik mad’u nya lebih kepada orang – orang non muslim, baik itu Kristen, Hindu Khatolik dll, bahkan ateis, karakter dari mad’u nya sendiri mempunyai masalah yang janggal terhadap agamanya sehingga seorang mad’u membicarakan permasalahan yang ada di agamanya kepad dr.zakir naik, atau seorang mad’u ingin tahu kebenaran mengenai agama, yang salah satunya dianut oleh dr.zakir naik yaitu agama islam.
Materi yang dibawakan oleh dr.zakir naik adalah materi yang berkaitan dengan kebenaran dalam beragama dan dr.zakir naik mengaitkan sains teknologi pada zaman dahulu ataupun zaman sekarang dengan berlandaskan Al Qur’an dan Hadits.
Interaksi sosial yang terjadi setelah dr.zakir naik menyampaikan materinya, lalu adanya sesi tanya awab (debat) dari seorang mad’u yang kemudian menemui titik tengah dalam perdebatan tersebut, sehingga menemui titik terang yang kemudian mad’u tersebut mempercayai perkataan dari dr.zakir naik berdasarkan Al Qur’an, Hadits, sains dan teknologi.
Jakarta, 7 Desember 2020
2 notes · View notes
nariomaris · 4 years ago
Text
Atheisme | S6, Eps. 33
Kemarin dengerin podcast-nya mojok yang mengundang Dr. Fahruddin, bikin penasaran gulik pengajiannya yang lain. Nemulah, di Spotify akunnya Reza Ravasia. Meskipun konten re-upload tapi sangat berguna.
Berikut catetan dari pengajian yang judulnya "Atheisme". Tema yang rada serem mengingat kemarin abis diskusi ama Bojo, haha. Kalo Aku Ateis bisa-bisa udah haram ini pernikahan, haha..
Berikut catetannya:
kajian yang basisnya bukan keimanan, ga banyak orang bisa
diantara kelemahan ilmuan muslim itu kesulitan kalo melakukan kajian non-faith base, bukan karena ga bisa tapi karena umatnya gak siap
kalo dia berani melakukan kajian non-faith base, membebaskan akal pikirannya untuk mengobrak-abrik keimanan meskipun dalam kontes ilmiah, siap-siap nanggung resikonya dan resiko dari masyarakatkan kejam
beda aliran atau organisasi contoh NU sama Muhammadiah aja resikonya macem-macem apalagi bahas ini, alamat sudah
eranya kritikus agama sedang gencar-gencarnya dengan argumen manusia semakin merusak
nonteis, ga ada hubungannya dengan tuhan. contoh ngomongin sains tapi ga menghubungkannya dengan tuhan
ateis, ga percaya ada tuhan
anti-teisme, itu ateis, tapi punya kecenderungan profokatif, menyerang doktrin2 ketuhanan
ada ateisme lemah dan kuat, yang kuat coraknya anti-teis yang bahkan destruktif
dajjal itu bisa dibilang anti-messiah/anti christ
apateis: prakmatis ateism, practical ateism. misalnya batinnya mengaku tuhan tapi kelakuannya ngalah-ngalahin yang kafir/murtad. cth : korupsi haji, alquran, dll.
agnotik, sifatnya skeptis, ga percaya orang bisa ketemu dan memahani tuhan pakai akalnya. manusia ga bakal bisa menangkap tuhan. sifatnya cenderung epistimonogis atau pengetahuan yang sifatnya skeptis. ga mungkinlah orang bisa memahami tuhan, yang kamu sembah itukan cuman persepsi mu, definisi mu sendiri2 tentang tuhan
ignostisism, positivisme logic, non kognitif teology, semua yang diomongkan tentang agama, khususnya tentang tuhan itu meaningless, tidak ada gunanya, ga masuk akal. jadi masih dekat sama agnostik
anti-religion, sekarang ini sedang musim orang dengan jargon spiritual yes, religion no
islam dituduh totaliter, agama yang mengurusi dari a-z, mulai bangun tidur sampai tidur, agama yang totaliter itu justru mandek, orang jadi ga bebas, zaman berubah, realitas sekarang ini dinamis, ini yang diupayakan para pembaharu dengan melenturkan cara berfikir, dengan membuka lebar2 pemikiran baru, epistimologi baru, agar agama formal ini tidak totaliter, ini yang dikritisi
non-bealiever, orang yang tidak beriman, ini merupakan istilah teologis.
sekular humanism, humanisme yang sekular, diawali oleh tsarte yang digabung dengan teorinya imanuel kant. agama urusan agama, dunia urusan dunia. tuhan ga ada gunanya, alam sudah bekerja dengan polanya dengan sunnahnya. tuhan sudah tidak ngapa2in.
sekularisme, disatu sisi bagus, menyuruh kita ga ceneng, ga ketergantungan, tapi di satu sisi, ati2 memposisikan peran tuhan, karena semakin lama tuhan diposisikan ga penting. kalo pas lagi apes atau sedih baru ingat tuhan.
orang ateis teoritis yang sangat mengerti dan paham teori2nya cenderung bisa berpendapat epistimologis, cosmologis
sedangkan praktisi ateisme, hanya sekedar saja tanpa tau konsep dan teorinya seperti apa, kalau ditanya pendapat cenderung tidak tahu dan menghindar
nah, banyak orang yang teis sekarang ini cenderung sama dengan praktisi ateisme, yang didewa2an ego, keinginan, tuhan hilang. bukan keinginan tuhan yang kita bela. tuhan tersisihkan. ati2 meskipun tidak ateis jangan2 dia pelaku ateis
pas solat, mulai dari Allahuakbar sampai salam ga terasa kehadiran tuhan.
jangan2 hidupkita 50% ateis, kita mensisihkan tuhan
argumen pascal, gambling, ga ada ruginya percaya tuhan. aku beriman punya banyak keuntungan, punya banyak teman, punya sifat baik, kalo nanti terbukti tuhan ga ada, ya ga papa, sudah banyak untung, kalo seandainya tuhan ada malah lebih untuk ga disiksa, selamet, hehe
argumen yang sering dipakai orang ateis :
argumen imanency akal, kesadaran tiap orang sejangkau intelektualitas dan lingkungannya, termasuk tentang tuhan. tuhan yang ada dikepala orang lain dengan tuhan yang dikepala sendiri mungkin beda. tuhan untuk orang hukum dan orang agamis munkin punya konsep berbeda. ada filsuf bilang, kalo tuhan versinya manusia ya mungkin gambarannya manusa, kalo tuhan versi kuda mungkin mirip2 kuda. sama kaya bayangan kita tentang setan/iblis atau malaikat, pasti melekat dikita seperti punya sayap atau punya tanduk, tinggi besar.
teori agnotisismenya imannuel kant, agama ga akan bisa ketemu dengan sains dan filsuf. agama punya jalurnya sendiri. agama adalah sesuatu yang ga bisa dipahami manusia. cara berfikir kant, ketemunya di agnostik. orang bakal pingin tau lebih dalam, sementara sesuatu yang ga bisa kita pahami, lha kok kita sembah. sesuatu yang ga bisa kita akses kok kita mintai pertolongan, ga cuman di dunia tapi di akhirat.
skeptisisme david hume, basis empirisme, yang cenderung meterial, ga percaya sesuatu yang ga bisa diakses empiris, itu pasti permainan akal, ga ada manivestasi fisik, ga ada bukti yang kuat, agama berisi hal-hal ghoib, kalo ga gagasan tunggal ya gagasan kompleks, jadi cara berfikirnya menggabung2kan ide lama yang sudah ada (setan/hal2 ghoib), pasti imajinasi manusia itu sendiri. gagasan2 ini melahirkan satu entitas.
ignotisisme, penjelasan tentang konsep tuhan ga memadai, orang hanya dipaksa untuk percaya. contoh : tuhan maha baik, maha bijaksana. bagaimana menjelaskan si maha dari sifat tuhan ini, ada 100% baik tapi tidak cukup untuk tuhan sehingga menggunakan maha. meaningless, buang energy, sisa2, tapi tidak bikin paham, dan setiap orang membayangkan berdasar pemikirannya sendiri2
argumen metafisik, rata2 orang ateis materalis. alam semesta ini hakikatnya hanya 1, yaitu materi. semua yang diluar materi itu ga hakiki. termasuk yang diomongkan oleh orang2 beragama. kalo ada produk2 non-materi pasti berasal dari manusia.
argumen koherensi, mengkritik konsistensi tuhan dan sifat2nya. kata orang monoteis tuhan itu kontradiksi, tuhan yang maha penyayang tapi dia juga maha penyiksa. rohman rohim juga syadidul iqob. harusnya ga ada orang yang masuk neraka kalo tuhan itu maha penyayang. jika tuhan maha tahu akan sekenario atau masa depan, berarti kita sudah jelas masa depannya seperti apa. bisa ga tuhan bikin benang yang sangat ruwet sehingga tuhan tidak bisa merapihkannya. serba tabrakan.
argumen antroposentis, yang diunggulkan manusia, kalo manusia tidak menjadikan tuhan sesembahan maka ia tidak lagi jadi tuhan. jika manusia ganti tuhan, maka yang menentukan tuhan adalah manusia. aktor yang sesungguhnya adalah manusia. kalau selama ini aktornya adalah manusia, kenapa kita menggantungkan nasip pada tuhan? banyak dijelaskan oleh filsuf eksistensialis, seperti sartre. manusia adalah kuncinya peradaban.
richard dawkins penulis god delution, atheis kontemporer. kepercayaan kepada tuhan bisa dibagi pada strong teis, "aku beriman, aku tau" dibawahnya aku ga paham tapi aku percaya, ini orang yang ga mikir *jan jan ne yang tak iman i ki opo yo, pokok e manut bapak ket cilik.
50% nan lebih, kelompok agnostik, dia ragu2, skeptis, lebih cenderung tuhan itu ada
50 50 imparsial agnostik, saya ragu2 dan bener2 50 50, mungkin ada mungkin tidak
dibawah 50%, strong agnostik, aku ragu2 namun kemungkinan tuhan ga ada
ateis, ga terlalu ngerti tapi menurutnya tuhan tidak ada
strong ateis, tuhan pasti tidak ada dan aku punya banyak argumen
5 orang pembunuh tuhan,
1. foyer bach, inspirator, bapak ateis modern. mengaggap kita ini adalah buah pikiran tuhan, "kun fayya kun", padahal kwalik, justru tuhan itu adalah pikiran kita. manusia itu punya karakter kalo ia menghasilkan sesuatu pasti ingin sempurna. sehingga menjelma tuhan terjadilah agama
2. penyempurnyanya adalah, karl max, kenapa manusia memproyeksikan tuhan dalam kehidupannya? karena manusia tidak bisa merealisasikan dirinya, mau mewujudkan kretifitasnya ga bisa, semua macet, maka segala kebaik yang numpuk di dada diproyeksikan jadi tuhan. jadi biang keladinya adalah realitas kehidupan yang diskriminatif. borjuis, proletarnya main, agama jadi pelarian, ga papa kita kalah/miskin/dijajah sekarang yang penting besok masuk surga, besok akan jaya di akhirat. pemangku kekuasaan main, biarin kita sewain kiayi2, penceramah sebanyak2nya yang ceramah tentang itu, karena semakin mereka percaya akan hal itu struktur tidak akan berubah. roda tidak berputar, penguasa tetap di atas terus. akhirnya, adanya agama tempat orang melarikan diri lama2 jadi kontrol sosial yang dipegang oleh kelas penguasa, kemudian melahirkan revolusi proletar. religion is object of mass. agama bikin candu, bikin lupa kalau dia tertindas.
3. karl max di ekstrimkan oleh neitzsche, jalan untuk manusia eksis untuk jadi dirinya adalah tuhan harus dibunuh, kenapa tuhan kok dibunuh karena kemarin kita yang menciptakan. sekarang saatnya kita bebas tidak lagi terikat, agama bikin kita jadi pengecut, lari dari kenyataan, bikin mentalitas kayak budak, ada apa2 sedikit ke tuhan, sumpek dikit lari ke tuhan, manusia ga tanguh, tuhan dijadikan pelarian dan kambing hitam kalo ada masalah, jadi dalih kalo kita salah, jadi bagian yang ga enak2, wes dibunuh aja tuhan. selama ada tuhan kita cengeng dan pengecut, ga berani menghadapi masalah. kalo ya, berarti konsep kita tentang tuhan salah, ganti aja yang lebih positif, karena tuhan telah mati. kalo sudah mati, kita bebas berekspresi tanpa ada batasan atau sekat2. membuat kita tidak terasing dari diri kita sendiri
4. freud, lihat dari aspek penyakit jiwanya, agama itu neurosis kolektif dan ilusi infantil. contoh neurosis misal dari ayat jangan dekati zina, cuman karena ada ayat ini kita jadi ketakutan yang luar biasa, dengan ayat ini sebenarnya positif, tapi gara2 ayat ini zina pasti neraka besok di sate LOL. agama menyetir orang menjadi takut berlebihan. sumbernya super ego, norma2 yang berkembang di sekitar masyarakat. kita hidup di press dengan jutaan aturan. rasionalitasnya macet. kalo ilusi infantil, ilusi kayak anak kecil, melalui agama kan orang ingin selamat. sebenernya kuncinya bukan di agama atau selamat, tapi keinginan selamatnya itu. apa benar agama menyelamatkan? buktinya orang beragama di myanmar/di gaza terbantai? orang itu kalo sudah punya keinginan/karep. dikepalanya sudah berekspektasi, pasti kudu keturutan. mental ini kayak anak kecil, ga tau baik/buruk pokoknya harus terpenuhi.
5. sartre, pembunuh tuhan no 1 demi manusia, kalo ingin bebas berati ga boleh ada tuhan. kalo ada tuhan berarti kamu ga bebas. kamu kamu percaya tuhan berarti kamu bukan manusia, kamu benda. manusia itu ada bagi dirinya, bisa melampaui dirinya, membangun dirinya, mengkreasikan dirinya, bebas hakekat hidupnya. cuman, kalau ada tuhan dia selesai. karena, dia tidak hidup untuk dan demi dirinya, mesti balik lagi ke tuhan. maka, orang jangan nyari kerajaan tuhan juga bukan kerajaan materi, materi cuman alat. aktor atau rajanya adalah manusia. argumen ini antroposentris, demi manusia jadi manusia maka tuhan harus dibuang. jika ingin menjadi manusia sejati ga boleh ada tuhan.
*jam berapa ini, jangan lama2 nanti kamu ateis beneran LOL..
hari ini, ada aliran new ateism. kalo ateisme klasik orang jadi benci pada agama dan tuhan pemicu yang paling banyak yaitu, perang salib. kalo sekarang pemicunya 911 dan banyak kasus terorisme di dunia. tokoh yang dikenal, richard dawkin (god delution), daniel dennet (breaking the spell, baunya naturalisme, argumen2 ilmiah), christofer hidsen (god is not great, lebih filosofis), sam harris (the end of faith). kalo kritikus ateis anthony j gold (rock of ages)
tipe argumennya ga jauh beda, muaranya opo iyo tuhan itu ada?
quote dari beberapa tokoh ateis,
"we are all born ateis, until someone telling us lieas"
"praying is helping people feel better about doing nothing" - doa itu membantu kita merasa lebih baik meskipun ga ngapa2in. contoh, saya ga bisa mbantu apa2 cuman bisa bantu doa ya.. 😅, uang mu sudah habis ya, ta bantu doa ya, ini kah doing nothing, mending action nyata, padu ne ga mau ngutangi
"saintis read many book and still feel have a lot to learn, a religious man they usually still read one book and think he know everythings *nampol ini haha..
"jadilah seorang komunis sampai kamu kaya, jadilah kamu feminis sampai nikah, jadilah ateis sampe kamu naik pesawat terbang terus mau jatuh" guyon lama ini haha..
gokills, 91 menit ga kerasa!
sekian, untuk penyebutan nama dan istilah bahasa engges jelas banyak salah heuheu.. 🤪
1 note · View note
alrafikri · 5 years ago
Text
Spirituality
youtube
“Bang” Kataku kepada seorang laki-laki dewasa yang ada di depanku. Salah satu orang yang aku kagumi, karena ke-cool-annya, wibawanya, dan sifat bijaksananya. Untuk pertama kalinya dalam sebulan, kami ngedate berdua-an di salah satu kafe di Jogja.
Aku dan dia, kalau sudah ngedate gini biasanya ngobrol ngalor ngidul tentang apapun. Sains, politik, sepakbola, dan yang sekarang kita lagi obrolin itu belief, lebih tepatnya, belief-nya dia.
Matter of fact, dia adalah seorang atheist. Soal itu, dia termasuk tipe yang terbuka, meski kalau kamu belum kenal dia, mungkin kamu akan menganggap dia lebih religious dari kamu. Sayangnya cerita soal itu bakal butuh halaman tersendiri, jadi aku ga mau panjang lebar bahas itu di sini.
Melanjutkan pembicaraan kami.
“Menurut ateis, yang menciptakan alam semesta siapa bang?”
Selama ini aku sedikit bingung dengan jalan pikiran seorang ateis. True story, dulu SMA aku pernah emosi parah ke salah satu teman digitalku, seorang self-proclaimed ‘open-minded’. Aku follow twitternya, dan dia suka tweet yang isinya menjelek-jelekkan agamaku, Islam. Pas udah ngga tahan, aku langsung labrak dia, labrak online. I asked her, “Kamu sebenernya masih sholat ga sih?”, lanjutannya aku ceramahin dia. Yea, I know, that’s rude. Maklumi, waktu itu aku masih bocil, aku cuma mau menggambarkan seberapa besar aku mencintai Islam.
Temanku terdiam sebentar. Bukan karena bingung, sepertinya, tapi karena sudah terlalu sering mendapat pertanyaan seperti itu.
“Teorinya sih big bang. Kamu paham kan maksudku teori disini? Teori sains, bukan hipotesis, bukan asumsi.” katanya.
“Tapi bang. Pasti ada yang membuat big bang itu kan? Semacam penyebab terjadinya big bang lah.” lagi-lagi aku menanyakan hal yang dia sepertinya sering dengar juga.
“Haha, kalau soal itu aku gatau, dan sepertinya ga akan tau.” katanya, memberikan jawaban serius, yang kukira bercanda.
“Haha, udah bang percaya Tuhan aja, jadi tau jawabannya kalau Tuhan yang menyebabkan.. menciptakan big bang.”
Temanku diam sebentar, lagi.
“Soal itu, aku ngga mau berasumsi sih. Selama aku gatau, aku bakal jawab gatau.”
“It’s okay if you believe that God creates the universe tho.” lanjutnya, dengan sedikit senyum penghormatan terbentuk di wajahnya.
...
“Hmm, kalau menurut abang Tuhan itu ngga ada, dan agama itu salah semua, terus dasar etika apa dong bang? Dunia bakal jadi gak teratur dong kalo gitu?” Tanyaku, dengan sedikit rasa ingin menang debat.
“Heh curang. Kita belum setuju sama premis-premis tertentu, udah debat aja.” katanya dengan sedikit tawa, lalu mengacungkan jari telunjuknya.
“Satu, memang etika yang bagus tuh bakal kaku gitu ya? Kita belum ada premis soal hal ini, apakah etika itu fleksibel atau kaku.”
“Dua, tanpa etikapun, ada yang mengatur perilaku kita kok, kenalin, namanya DNA. Perancang fisiologi, dan perilaku semua makhluk hidup. Teorinya, DNA & seleksi alam yang bikin ekosistem stabil.”
“Makannya, benda yang gak hidup itu gak punya etika kan, soalnya mereka gak punya DNA, haha.” katanya, sambil kembali meletakkan tangan di atas meja, mengakhiri ceramah.
Aku jadi sadar, kalau waktu itu aku sedikit impulsif. Aku ngga mau kejadian SMA itu terulang lagi, tidak dengan temanku ini. Aku berpikir cukup lama, mencoba sehati-hati mungkin dengan responku.
“Emm.. Terus what do you think tentang kebaikan mutlak bang?”
“What do you think? Berarti boleh jawab pakai ‘menurutku...’ kan? haha.”
“Kamu mau jawaban pendek atau panjang?” tanyanya, melanjutkan premis yang tidak sengaja aku buat.
“Panjang bang, hehehe. Abang ngomong sampai pagi aja bakal kudengerin kok.” jawabku dengan entah kenapa, tercampur sedikit rasa antusias.
“Well.” temanku memulai menjawab pertanyaanku.
“Menurutku, kebaikan mutlak itu ngga ada. Aku sadar itu setelah belajar agamaku dulu.”
“Dulu kita sama-sama Islam, jadi kamu harusnya tau, sebelum menjalankan perintah, kita harus paham ilmunya dulu. Pemahaman kita soal perintah dalam agama, itu subyektif. Kalau misal kita milih jalan yang.. buat ikut doang, tafsir ulama mana, itu juga milihnya subyektif. Sejak saat itu aku sadar, oh men, ternyata semua dasarnya diri kita sendiri, hati nurani, yang subyektif. Menurutku, yang mana, subyektif juga haha.”
“Subyektif nggak berarti hal yang buruk kok. Itu malah yang bikin dunia ini, manusia dan ide-idenya, menarik untuk dipelajari. Keanekaragaman, menurutku, itu hal terbaik yang bisa ada di dunia.”
“Kalau menurutmu, apa coba sebenarnya kepercayaan itu?” tanyanya, yang langsung dia jawab sendiri.
“Menurutku, kepercayaan sebenernya didasari juga sama hal yang subyektif.”
“Sebuah ide yang terbentuk oleh harapan akan realita dunia.”
“Orang Islam berharap dunia ini sesuai dengan apa yang ada di ajaran Islam. Orang Katolik berharap demikian pula. Mungkin, salah satu harapan itu tentang keberadaan Tuhan yang membuat dunia adil, atau mungkin harapan bahwa setelah kematian kita tidak merasakan kehampaan. I don’t know. Harapan tiap orang subyektif.” Katanya, dibarengi sebuah kediaman yang cukup lama, sampai kukira dia sudah selesai menjawab, sampai akhirnya dia melanjutkan.
“As for me, pernah gak kamu baca cerita pendek judulnya ‘The Egg’? Penulisnya Andy Weir.”
“That’s what I wish, how the world really is.”
Malam masih panjang. Selain obrolan ini kami melanjutkan obrolan dengan topik lainnya, cloning Albert Einstein, immortality, obat HIV, dan lain-lain. Tapi, itu bukan pengalaman yang that beautiful untuk kuceritakan sekarang.
3 tahun sudah berlalu semenjak obrolan di kafe itu. Dia masih dengan keateisannya, aku masih dengan kemuslimanku, meski, sekarang aku sudah bisa sedikit mengerti jalan pikirannya.
Kemarin, channel youtube kesukaanku, Kurzgesagt, mengunggah video adaptasi cerita The Egg Andy Weir. It is as you expected, pikiranku melayang ke obrolan yang aku baru ceritakan ini.
Menurutku.
That’s a good video & I kinda wish the world is really like that.
2 notes · View notes
alindardiantoro · 6 years ago
Text
Dan Brown, Origin Hingga Indonesia
Tumblr media
Membaca karya Dan Brown untuk yang pertama kali yaitu Origin, menimbulkan rasa penyeselan terhadap diri saya sendiri, “kenapa novel sebagus ini baru saya baca?”. Dan kembali saya merasakan penyesalan ketika saya tersadar bahwa ada lebih dari satu karya Dan Brown yang saya yakini pasti akan membuat saya takjub.
Novel ini mengisahkan seorang ilmuwan yang ateis dengan keinginannya untuk menyatukan dunia melalui sains. Terdengar ngeri ya? Iya, memang. Keyakinannya untuk terus mengembangkan teknologi hingga melampaui agama memang terdengar mengerikan. Tapi memang itu yang akan kalian rasakan ketika membaca buku ini. Melalui kengerian yang diciptakan oleh Dan Brown, kalian akan menemukan setitik harapan terhadap masa depan. Sebagai manusia, satu-satunya hal yang membuat kita hidup adalah harapan. Lenyapnya sebuah harapan tentu saja memiliki dampak yang lebih mengerikan.
Berpadunya pemikiran mengenai seni, sains, masa depan hingga Tuhan membuat novel ini begitu istimewa dan menarik. Setiap kata yang disusun menjadi kalimat menggambarkan sebuah imajinasi berdasarkan fakta yang mencengangkan. Kita tidak hanya disuguhi sebuah cerita dengan berjuta imajinasi yang kemudian hadir dalam pikiran kita. Tetapi kita juga disuguhi sebuah fakta bahwa beberapa bangunan yang menjadi latar dalam pengisahakannya memang ada. Bahkan temuan dari berkembangnya sains dalam kisah itu pun bukan merupakan teori asal-asalan. Saya yakin sekali Dan Brown melakukan riset sebelum ia menulis karya Origin, pun dengan karya-karyanya yang lain.
Setelah membaca novel ini dan melihat beberapa perkembangan teknologi artificial intelligence, ada sebuah hal yang mengganggu diri saya.
Perkembangan teknologi yang tidak mampu kita hentikan membuat kita mau tidak mau segera menerima dan menyesuaikan keberadaannya. Kamu bisa saja dianggap kuno jika tidak menggunakan android. Segala informasi berputar lebih cepat daripada waktu, sedangkan waktu berputar lebih cepat daripada ilmu pengetahuan jika kamu menutup diri dan enggan mencari tahu. Lalu bagaimana jika teknologi terus berkembang secara eksponensial sedangkan ilmu pengetahuan kita hanya disini-sini saja?
Dunia tidak hanya Indonesia. Indonesia tidak hanya Jawa. Jika kamu sudah merasa update dengan mengikuti ramainya cebong kampet di masa kampanye pilpres, maka cobalah refresh pikiranmu dengan membaca beberapa buku atau informasi yang terjadi di negara luar sana. Temukan sesuatu hal yang menarik yang tidak kalian temukan dalam kegaduhan cebong kampret di Indonesia ini. Niscaya kalian akan merasakan ada di mana negara kita sekarang ini.
Negara di mana segala sesuatu tentang PKI masih menjadi sebuah momok yang menyeramkan. Negara di mana buku-buku yang mengandung berjuta-juta ilmu dirampas begitu saja hanya karena judul yang dianggap kiri. Negara yang menyebar hoax melalui beberapa media, memotong sebuah informasi, memberikan data yang katanya tidak kredibel, dan terus menyebarkan opini-opini yang tak jarang mangandung kebencian. Lalu media apa yang dianggap kredibel? Informasi mana yang sebenarnya menyajikan data sesuai dengan fakta? Satu-satunya hal yang membuat saya lupa dengan kegaduhan yang terjadi di negeri ini adalah dengan membaca.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di negara inilah saya lahir, saya tumbuh, dan mungkin di negara ini pula saya mati.
Indonesia.
1 note · View note
saatrenungan · 3 years ago
Text
youtube
The Man Who Knew Infinity - 30 Okt 21
Film ‘The Man Who Knew Infinity’ menceritakan Srinivasa Ramanujan, seorang laki-laki asal Madras India yang hidup miskin, tetapi memiliki kemampuan matematika yang luar biasa dengan “pemikiran tanpa batas”-nya. Film ini banyak memberikan pelajaran hidup tentang talenta, diskriminasi, harapan, semangat juang, menghargai perbedaan, rutin berdoa kepada Tuhan dan selalu taat pada aturan agama, rendah hati, arogansi dan kekuatan manusia, persahabatan sejati dan bagaimana Tuhan menggunakan orang yang ‘kecil dan hina’ untuk mengerjakan pekerjaan-Nya
Mat 25;29 mengatakan “Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya”. Ramanujan, yang berasal dari kota kecil di India yang miskin dan berpendidikan minim diberikan talenta matematika yang luar biasa oleh-Nya melalui tuntunan Roh Kudus seperti dikatakan dalam film “My God. Namagiri. She speaks to me. Puts formulas on my tongue when I sleep, sometimes when I pray”. Tuhan telah melapangkan jalannya melalui perantara petinggi di kantor tempat ia bekerja sebagai akuntan di India untuk berangkat ke Inggris hingga akhirnya penemuannya di akui oleh pakar matematika di Cambridge dan menjadi Fellow of Royal Society, yang merupakan ajang penghargaan bergengsi yang diberikan kepada individu yang dianggap telah membuat kontribusi untuk memajukan ilmu pengetahuan alam, termasuk juga dalam bidang matematika.
Semua hal didunia hanya titipan Allah dan manusia diberikan talenta Allah untuk mengembangkan talentanya dan digunakan untuk memuliakan nama-Nya, “An equation for me has no meaning unless it represents a thought of God.”. Penemuan rumus-rumus yang ada bukan murni dari manusia itu sendiri, melainkan sudah ada dan manusia hanyalah sebagai perantara-Nya. Semasa hidupnya Ramanujan berhasil membuat kontribusi besar dalam bidang matematika murni, khususnya dalam teori bilangan dan analisis matematika. Yes 49;6 manyatakan “Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi” teori matematika Ramanujan akhirnya menjadi ‘terang’ bagi Prof Hardy yang sebelumnya ateis tidak mau percaya Tuhan serta mengubah kesombongan para pakar matematika yang awalnya menolak penemuan Ramanujan karena tidak dapat membuktikan penemuan persamaan matematikanya hingga akhirnya penemuan Ramanujan digunakan para fisikawan untuk membantu mereka mempelajari perilaku Black Hole dan merumuskan String Theory sebagai salah satu kandidat Theory of Everything
Dalam Kej 1:26-27 “semua manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah” dan Yesus memerintahkan kita untuk mengasihi satu dengan yang lain, sebagaimana Dia mengasihi kita Yoh 13:34 bahkan Yesus mengajarkan dalam Matius 25 bahwa apapun yang kita lakukan terhadap saudara-Nya yang paling rendah, kita melakukan hal itu kepada Dia. Rasisme, dalam berbagai bentuk dan berbagai tingkat, telah menjadi wabah kemanusiaan selama ribuan tahun bahkan hingga kini pun kita masih melihat berbagai tindakan rasis dilakukan di seluruh belahan dunia. Ketika itu Inggris sedang menjajah India, berbagai cobaan dihadapi Ramanujan ketika tiba di Inggris, ia dihina secara rasis, dipandang rendah karena berasal dari India, ia dipaksa mengikuti kelas yang pola pemikirannya jauh dibawahnya, dihina oleh staf pengajar karena dianggap ‘sok tahu’, penemuannya tidak diakui, mendapat pertentangan dan dipandang rendah oleh para pakar matematika Universitas Cambridge hanya semata-mata ia berpendidikan rendah, berasal dari India, dan tidak bisa membuktikan teori persamaan matematikanya yang revolusioner sesuai tradisi akademik dan metodologi ilmiah. Film ini mengajarkan betapa arogansi para pakar matematika mengandalkan sains dan metodologi yang mereka pegang dan lebih mengandalkan kekuatan manusia, namun akhirnya mereka mau membuka hati menerima kehadiran-Nya dan mengakui penemuan revolusioner Ramanujan
Banyak orang maunya melakukan segala sesuatu serba cepat, tanpa pikir pajang dan terburu-buru. Karena itu kepada jemaat di Roma Paulus menasihati, “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa”. Kita melihat keteguhan Ramanujan dalam pengharapan agar penemuannya dapat dipublikasi dan dapat bermanfaat bagi sesama, ia rela meninggalkan keluarga dan istrinya untuk memperjuangkan mimpinya, betapa ia menerima hinaan dengan hati lapang dan memberi pengampunan, ia tidak mengeluh atas kondisi kesehatan yang dialami karena kekurangan gizi, kesedihan tidak menerima balasan surat dari istrinya, keterbatasan pendidikan formal dan fasilitas yang ada dikampung halamannya, dan ia harus berjuang keras untuk bertahan hidup dan menekuni berbagai pekerjaan demi bisa menafkahi dirinya dan keluarganya. Semua pencobaan yang dialami tidak menyurutkan niat Ramanujan untuk memperjuangkan mimpinya, kita melihat kegigihan iman Ramanujan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ketika Tuhan menyertai hidup kita, segala perkara dapat kita atasi dan lalui, karena “…Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan…” (Roma 8:28). Itulah sebabnya firman-Nya mengajar kita untuk tetap bersukacita karena ada pengharapan di dalam Tuhan
Film ini mengajarkan kepada kita tentang persahabatan sejati antara Prof. Hardy dan Ramanujan. Dalam 1 Samuel 18:3 mengatakan “Yonatan mengikat perjanjian dengan Daud, karena ia mengasihi dia seperti dirinya sendiri.” Tidak ada seorang pun yang bisa menjalani hidup sendirian, melainkan harus selalu membutuhkan orang lain, terlebih yang bisa menjadi tempat berbagi suka dan duka. Orang yang bisa berbagi rasa di segala situasi bukan teman biasa, melainkan sahabat sejati. Prof Hardy memperjuangkan agar Ramanujan mendapat beasiswa serta diterima menjadi Fellow of Royal Society atas karyanya. Bukti kasih dan kesetiaan Prof Hardy terhadap Ramanujan, ia masih memperjuangkan mimpi Ramanujan yang putus karena Ramanujan telah meninggal dunia. Ramanujan memberi pesan bahwa kebenaran bisa datang dari mana saja dan Roh Kudus menuntun Prof Hardy untuk melanjutkan perjuangannya.
Berkah Dalem
full movies
https://103.194.171.205/the-man-who-knew-infinity-2015/
0 notes
anarchy-ring · 3 years ago
Text
Catatan Singkat Tentang Agnostisisme
Saya baru saja membaca karya Robin Le Podevin tentang pengantar pendek agnostisisme. Buku ini tipis isinya sedikit, namun memberikan saya perspektif baru terkait agnostisisme. Pada definisinya agnostisisme adalah sikap terhadap yang tidak bisa kita ketahui, meskipun banyak yang menghubungkan ini dengan ateisme namun ia lebih dari itu, Ketika anda tidak bisa mengetahui kebenaran sains atau seni, anda bisa menyebut diri anda agnostik terhadap dua Lembaga itu. Ketika anda diajukan pertanyaan “apakah anda percaya akan hal ini?”, Ketika jawaban anda adalah “saya tidak yakin” atau “saya tidak tahu” maka anda dihadapkan dengan keadaan agnostik. Saya tidak lupa menyebutkan dalam karya ini disebutkan tokoh terkemuka agnostik yakni Thomas Huxley yang juga dijuluki “Darwin Bulldog”. Huxley menemukan istilah ini dari bahasa Yunani dalam frasa “agnosto theo” yang berarti, kepada tuhan yang tidak diketahui. Agnostisisme adalah keadaan mental atau kognitif, skeptisisme adalah metode untuk mencapai keadaan itu. Ketika kida dihadapkan pada pengalamam empiris, hal itu bisa saja mengelabui kita, namun pemikiran rasional tidak juga bisa membuktikannya. Keberadaan tuhan tidak bisa dibuktikan..namun juga tidak bisa disangkal. Dalam pandangan saya sendiri, menjadi agnostik bukan sebuah jalan “aman” atau jalan tengah antara teis dan ateis, namun lebih dari itu. Ada kegelisahan filosofis “bagaimana jika ini..?”, “bagaimana jika ternyata begini?”. Pertanyaan terus muncul dan tidak ada jawaban yang mutlak. Ketika sekian banyak Lembaga kebenaran seperti sains, filsafat, seni, dan agama memiliki jawaban masing-masing tentang kosmos dan keberadaan tuhan, jalan pikiran seorang agnostik terus bertanya-tanya tanpa ada bukti.
0 notes
rainhardvidi · 7 years ago
Text
Hak berkeyakinan Dan Filsafat
Sepertinya, 'keyakinan dalam agama' itu seperti 'properti' seseorang yang mana memiliki haknya tersendiri. Ia layaknya mobil, motor, dan rumah. Seseorang bebas untuk memiliki tiga benda tersebut sejauh tak merusak dan melanggar hak orang lain, begitupula dengan keyakinan, pilihan agama, dan pandangan hidup. Sebaliknya, menghilangkan paksa properti seseorang adalah pelanggaran atas hak orang lain.
Di samping itu, seseorang juga bebas dan berhak untuk tidak memiliki keyakinan seperti yang terdapat di dalam berbagai komunitas atau kelompok keagamaan/religiositas. Seseorang, sebagaimana dijamin dalam hak asasi universal, bebas pula melakukan konversi atau pindah ke agama lain (Religious Conversion), meski tidak jarang melayang berbagai umpatan dari komunitas keagamaan sebelumnya.
Namun demikian, hidup dalam ruang modern yang disesaki dengan berbagai kemajuan sains beserta tanggung-jawab ilmiah dari segi ontologis dan epistemologis sebagai aparatur yang menjaga basisnya, keyakinan agama bisa saja tertinggal secara keilmiahan. Oleh sebab itu, ia memiliki tuntutan. Tapi tuntutan seperti apa? Singkatnya, seperti yang Franz Magnis katakan, mempertanggung-jawabkan iman/keyakinan yang berarti memasuki sebuah dunia yang asing bagi agama, yaitu penalaran filosofis.
Sialnya penalaran filosofis tidak memberikan ruang bagi ‘iman buta’, melainkan harus ada penjelasan rasional yang selalu berkutat pada premis mayor, premis minor dan konklusi yang dilengkapi dengan “materi” atau “isi” dari premis-premis tersebut.
Lebih sialnya lagi ialah keyakinan agama yang telah menjadi berbagai premis-premis bisa digugat kebenarannya yang mana ia tidak benar secara logis. Nah, pada tahap ini keyakinan keberagamaan tidak kebal kritik. Boleh jadi keyakinan keagamaan diciptakan dengan asumsi-asumsi imajinatif jika penganutnya tidak memberanikan diri menyebrang dari subjektifitas menuju ruang bedah ilmiah-filosofis yang berkesimpulan objektif-universal.
Contoh dari asumsi-asumsi imajinatif adalah gempa yang akhir ini baru-baru terjadi dianggap sebagai adzab atau hukuman Tuhan atas negeri ini, dan juga meletusnya gunung agung yang juga disangka adzab. Padahal jika mau dan sanggup meneliti, gempa merupakan fenomena alam yang sekarang ini sains dapat memberikan eksplanasinya. Kemudian tugas filsafat juga menggugurkan asumsi-asumsi tersebut.
Meski demikian, pertarungan kefilsafatan dalam pertanggung jawaban keyakinan keagamaan bukanlah ranah “pemberedelan” hak dasariah seseorang untuk meyakini eksistensi objek-objek yang dianggap sakral.
Dengan dasar itu pula penalaran filosofis atas agama atau juga dapat dikatakan mencari titik logis agama bisa lepas dari tuduhan ‘pemurtadan’ (atau yang kerap diasumsikan sebagai pemaksaan untuk tidak menganut satu agama apapun) atau ‘liberalisasi agama’, yang jelas—sebagaimana dikatakan John Hick—seorang religius dan seorang ateis dapat sama-sama berpikir secara filosofis atas agama sebagai objeknya.
Hal penting lainnya ialah penalaran filosofis dapat digunakan sebagai jalan untuk keluar dari keyakinan keagamaan apapun sejauh tidak melanggar hak orang lain.
1 note · View note
handandnotes · 7 years ago
Text
Sejumput Keangkuhan, Sains, Monoteisme, dan Pemuja Kerang Ajaib
Hari ini pada tahun lalu, Saya tidak sengaja bercakap tentang Tuhan/segala konsep 'Ketuhanan' dengan pembimbing Saya saat bimbingan tesis. Kami berbincang tentang Bruno Latour dan konsep-konsep yang Ia kenalkan yang kebetulan menjadi teori kunci yang Saya gunakan di tesis Saya (Saya sangat mengagumi beliau! ❤️).
Latour mengkritik habis bagaimana para ilmuwan sains memandang rendah totem-totem kuno dan mengasosiasikan agama dan penganutnya dengan mitos, ketertinggalan, irrasionalitas. Seperti para Ilmuwan sains, bagi Saya, sebagian pemeluk agama yang menganut monoteisme di Indonesia merasa bahwa agama mereka paling benar dan 'rasional' (well, paling tidak bagi mereka sendiri). Agama 'liyan' -seperti agama yg dianut Lia Eden atau kepercayaan orang Rimba (yang akhir-akhir ini jadi sorotan media dan publik)- menjadi terpinggirkan, teralienasi, dan sayangnya, berujung pada diskriminasi (njay, Lia Eden dipenjara hanya karena beda kepercayaan! Trus Gimana sama agama-agama kuno di Indonesia yg lain? -.-).
Bagi Latour, totem atau segala simbol, representasi, ritual atau apapun bentuk material atas manifestasi kepercayaan penganut 'agama' menjadi 'realitas' bagi para penganutnya. ‘Realitas’ tersebut membuat penganut agama (‘liyan’) atau penganut kepercayaan melakukan hal-hal yang berbeda yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ufo yang akan mendarat di Monas adalah realitas yang membuat Lia Eden dan teman-temannya memiliki akses terhadap pengalaman, perasaan, dan pemahaman yang berbeda yang mungkin tidak pernah mereka alami sebelumnya. Lia Eden dkk pun mengkonstruksi dan merekonstruksi 'realitas' baru yang turut membentuk mereka sebagai 'subyek' yang baru. Pun sama dengan para pemeluk agama mayoritas. 'Tuhan' yang mereka sembah membuat para pemeluk agama tersebut mengalami pengalaman, rasa, dan pemahaman yang berbeda yang mungkin tidak dirasakan Lia Eden atau para ilmuwan sains.
Bagi Latour (dan Saya), tidak ada benar dan salah atau baik dan buruk dengan apa dan bagaimana seseorang mengalami dunia. Menyembah 'Tuhan' --apapun konsep dan ‘wujudnya’-- bukan berarti membuat seseorang paling benar atau taat. Menyembah semesta atau meminta ufo datang ke monas atau ke mars juga bukan berarti salah. Sana hanya dengan menjadi seorang ateis atau agnostik atau anti-anti yg lain juga bukan berarti paling salah. Sederhana saja, ini semua tentang penghargaan terhadap perbedaan; tentang tidak memandang yang lain dan berbeda lebih baik atau buruk; dan tentang bagaimana seseorang selalu kritis dan reflektif terhadap diri sendiri dan dunianya.
dari seorang Anak yang mengagumi keberanian para penyembah kerang ajaib!
ditulis kembali di
Jakarta, 22 November 2017
1 note · View note
iik-hikmat · 7 years ago
Text
Semakin akrab dengan ke-tidak-tahu-an, maka semakin mengenal ke-ingin-tahu-an. Kau akan tahu..
Esai ini dilansir dari website Basabasi.co
Penulisnya adalah Edi AH Iyubenu, karya-karyanya banyak dan memukau, beberapa di antaranya pernah ikut meramaikan nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa. Bagi saya dia termasuk penulis yang cakap (setelah membaca tulisan-tulisannya, esai, cerpen, dan banyak lainnya) dalam meramu-menjunjung nilai egaliter-plural, yang seharusnya benar-benar kita pelajari dan pahami untuk esensialitas manusia itu sendiri, ya, lagi-lagi perkara manusia serta kemanusiaan itu sendiri yang tak kunjung lunas untuk dibahas. Apalagi takdir kita menjadi manusia Indonesia.
Tulisan ini saya angkat karena judulnya menarik dan alasan selanjutnya adalah, judulnya yang terinspirasi dari salah satu puisi dari penyair favorit saya, yakni Joko Piinurbo atau akrab dengan sebutan Jokpin. Baris puisi yang menjadi dasar judul ini adalah “Terlampau Paham Bisa Berakibat Hampa.”
“Tujuan hidup kita ini apa, sih?”
Pertanyaan simpel, pelik menjawabnya!
Pertanyaan di atas menjadi cuplikan barisan, yang akan menggiring kau untuk memahami tulisan ini.
Terlampau Paham Bisa Berakibat Hampa
Dialog Diotima dan Sokrates tentang “tujuan hidup”—sebagaimana dihikayatkan Plato dalam Simposium—membuat saya mengernyit. Begini sarinya:
“Mengapa dia—yang mencintai—mencintai hal-hal yang indah?” tanya Diotima.
“Agar hal-hal indah itu dia miliki,” jawab Sokrates.
“Apa yang akan dia dapatkan dengan memiliki hal-hal yang indah?” lanjut Diotima. “Dia yang mencintai, mencintai hal-hal indah, lantas mengapa dia lalu mencintai hal-hal baik?”
“Agar hal-hal baik itu dia miliki.”
“Apa yang akan dia dapatkan dengan memiliki hal-hal baik?”
“Dia akan menjadi bahagia.”
“Ya,” kata Diotima. “Sebab kebahagiaan adalah sensasi karena memiliki hal-hal yang baik… dan tidak perlu bertanya lebih lanjut tentang untuk tujuan apa dia—ingin menjadi bahagia—menginginkan itu. Jawabannya sudah final.”
Saya mengernyit lantaran merasa “hampa” dengan jawaban Sokrates—atau Plato. “Dunia Ideal” yang dikhotbahkan Sokrates selama hidupnya—di saat masyarakat Yunani Kuno masa itu tidak karib dengannya—memang hanya berhenti pada “langit ideal” belaka. Bahkan di tangannya sendiri. Tidak ada wujud konkretnya.
Jika dikembalikan kepada inti makna filsafat sebagai “cinta kebijaksanaan”, memang bijaksanalah Sokrates dengan dunia idealnya. Tapi, kebijaksanaan itu tak mewujud, tidak membumi. Ia tetap ada di langit sana, jauh dari jangkauan tangan-tangan keseharian. Wajar bila kelompok masyarakat umum yang tidak karib dengan filsafat menuding filsafat “omong kosong” belaka. Dalam konteks kebijaksanaan Sokrates, itu adalah kebijaksanaan omong-kosong.
Atas skepstisisme ini mari maklumi mengapa filsafat kerap ditempatkan sebagai “spekulasi” belaka. Teorinya spekulatif, buahnya tentu juga spekulatif. Lebih telak bila klaim ini disandingkan dengan sains-eksakta yang empiris. Misal tentang prediksi gerhana bulan yang bisa dibaca secara presisi.
“Rapuhnya” pemikiran-pemikiran filsafat sejak era klasik dulu hingga masa kini memang tak lepas dari serbuan pertanyaan paling mendasar manusia tentang hakikat manusia dan kehidupannya. Tetapi justru karena alasan itu pulalah filsafat dianut dan dikembangkan. Puncak serbuan pertanyaan itu kira-kira sesimpel pertanyaan ini: apa tujuan hidup manusia?
Simpel sebagai pertanyaan, pelik sebagai jawaban.
Di usianya yang telah bau tanah, Leo Tolstoy yang terkenal, kaya raya, dan terhormat meninggalkan rumah karena kecewa sama istrinya yang tidak menyetujui “dunia idealnya” untuk menghibahkan semua kekayaannya. Ia melamun, merenung, berpikir, tentu dengan sangat luas dan ruah perihal apa tujuan hidup ini. Jika karena karya-karya besarnya yang diakui dunia ia menjadi ada, diingat, lantas selebihnya apa? Apakah hanya berhenti sedemikian rupa, lalu mati, punah, begitu saja?
Tolstoy mati di stasiun, menggigil kedinginan dengan meninggalkan banyak sekali karya sastra berkelas dunia, plus 13 anak. Tolstoy tak pernah menemukan jawaban atas kegelisahannya….
Anda yang menyukai filsafat niscaya juga kenal nama Nietzsche. Ia lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang sangat patut pada syariat Katolik. Kakek dan bapaknya adalah tokoh agama Katolik yang amat dihormati. Di buku Ecce Homo, misal, Nietzsche menebar kontroversi dengan mengatakan Tuhan telah mati, disebut sebagai ateis radikal, dihujat di mana-mana dan tentu dipuji oleh sebagian lainnya.
Di buku renungannya yang sangat dikagumi akademisi filsafat, Sabda Zarathustra, Nietzsche memperlihatkan diri menjadi sosok yang jumbuh pada kedalaman-kedalaman permenungan. Silakan Anda baca sendiri. Tak ada lagi gejolak radikal yang bertebaran sebagaimana di Ecce Homo –meski tidak berarti Nietzsche lantas menjadi sufi.  Atau, bolehlah saya sebut Nietzsche “menyufi” dalam langgam Kenietzscheannya. Akhir hayatnya, kita tahu, sangat memilukan. Kehilangan seluruh ingatannya, lalu kemampuan bicaranya, dan menggeletak begitu saja di atas kasur hingga kematian menyeretnya pergi dari dunia ini.
Mungkin Anda juga familier sama sosok Ludwig Wittgenstein. Seorang akademisi mapan yang mengaku mengalami depresi luar biasa sepanjang hidupnya. Depresinya tentu saja bukan dipantik oleh hal-hal yang artifisial. Ia seorang yang mapan. Ia depresi diterkam oleh pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang hakikat kehidupan ini.
Meski Wittgenstein kemudian menyatakan bahwa dengan berfilsafatlah ia menerapi gangguan depresinya, kita tetap bisa menjadikannya tamsil tentang pemikir besar dunia yang terganggu oleh nalar pengetahuannya.
Semakin tahu ternyata semakin meresahkan. Semakin banyak paham ternyata semakin lebih banyak lagi yang tidak kita pahami. Kalau dalam ungkapan puisi Joko Pinurbo, itu adalah risiko dari: terlampau paham bisa berakibat hampa.
Apakah usaha memikirkan dan memahami dunia seisinya ini, otomatis kehidupan kita tercakup, adalah semata serupa memasukkan tubuh kita ke dalam suatu jejaring ketidaktahuan, yang bila berhasil disibak satu lapisnya maka telah menunggu sepuluh lapis berikutnya, yang bila sepuluh lapis berikutnya itu berhasil disibak lagi maka telah menunggu seratus lapisan berikutnya, dan terus berikutnya, dan terus berikutnya?
Apakah kita sebaiknya bersepakat saja sama Jean Baudrillard bahwa segalanya menarik selama masih berada di balik tirai? (Coba bayangkan, di balik singkapan satu tirai itu—artinya satu kemenarikannya telah tanggal—berjejal tirai-tirai berikutnya yang lebih menarik, terus demikian tak berbatas).
Ernest Hemingway. Sastrawan dunia yang amat terkenal ini juga mengarungi jejalan tabir memikat yang sekaligus menjeratnya. Ia punya kebiasaan menekur diri di sebuah kafe tua di kota Havana Lama, mungkin untuk menulis dan mungkin pula hanya untuk menghela napas dalam-dalam di hadapan dunia dan kehidupannya yang bertirai-tirai itu.
Lantas jangan alpakan penyair legendaris kita, Chairil Anwar. Ia menjadi satu-satunya penyair yang memulai gaya hidup nomaden di Batavia. Atas nama “Aku ini binatang jalang….” Kejalangan Chairil tentu saja tak patut kita tekuri hanya dalam artian artifisial. Tidak, Chairil sangat karib pada tirai-tirai pemikiran yang melampaui hasrat badaniah itu. Kejalangannya akan lebih produktif ditilik dari ruahan episteme kebebasan yang dianutnya. Ya, buah dari pencarian, permenungan, pergesekan, pemikiran, dan perjalanannya pada bentang luas kehidupan.
Secara sosial, kita tahu, Chairil terasing. Berkali-kali ia dipecundangi “norma sosial”. Pernyataan Ida Nasution yang menolak cinta Chairil Anwar cukup mewakili keadaan itu. “Apa yang bisa diharapkan dari manusia sepertinya (binatang jalang) dalam arti sesungguhnya?”
Atas pilihannya pada “Aku ini binatang jalang…”, Chairil mengalami: “…dari kumpulannya terbuang.”
Banjaran kisah hidup para pembesar dunia ini tentu bisa dibikin lebih luas dan panjang lagi. Semuanya berbaris pada usaha keras untuk mendapatkan jawaban: apa tujuan hidup ini?
Mari kita tilik dengan dua pendekatan.
Pertama, pendekatan kemanusiaan.
Semuanya niscaya sepakat bahwa fitrah kemanusiaan universal kita sama: menjunjung marwah kemanusiaan. Sudah, itu puncaknya. Sebut saja HAM. Mau pembela demokrasi yang mengidealkannya sebagai sistem politik yang memberikan kesetaraan hak dan kewajiban kepada semua warga maupun khilafah yang takkan libur menukil kebajikan sosok Umar bin Abdul Aziz dan Salahuddin al-Ayyubi yang berperilaku adil-egaliter kepada semua orang tanpa kecuali, semuanya beraras pada nilai dasar tersebut. Mau orang Prancis, Kuba, Rusia, hingga Indonesia, semuanya menyepakati HAM sebagai entitas paling mendasar bagi tatanan kehidupannya. Mau beragama Islam, Budha, Hindu, hingga sekte-sekte apa pun, semuanya menyatakan diri sebagai pembela kemanusiaan.
Tetapi, faktanya, orientasi kemanusiaan belaka tersebut tak pernah mampu memuaskan pertanyaan “Apa tujuan hidup ini?”
Ternyata, lagi-lagi faktanya, menjadikan nilai kemanusiaan sebagai muara perjalanan hidup ini masih menyisakan kegelisahan dan kehampaan.
Dalam dialog Diotima dan Sokrates di atas, nilai kemanusiaan yang boleh kita sebut “hal-hal baik”, yang dimaksudkan agar dengannya “kita bahagia”, menyisakan pertanyaan mendasar begini: “Apakah kebahagiaan adalah kenyamanan (atau Keindahan) dunia ini?”
Apakah kebahagiaan hanya soal hidup yang singkat di muka bumi ini dan tidak ada lain-lainnya lagi, sebutlah alam ukhrowi?
Dari sinilah pendekatan kedua layak kita refleksikan, yakni pendekatan supra-manusia. Bisa disebut “Adi-Manusia”. Bisa juga disebut supra-rasional, atau spiritual.
Kita hari ini bisa saja mentertawakan fatwa filosofis-spekulatif  Thales sebelum era Sokrates yang di antaranya menyatakan bahwa manusia yang baik akan bereinkarnasi menjadi manusia lagi dan manusia jahat akan bereinkarnasi menjadi tikus. Ada larangan besar yang harus dihindari manusia agar tak bereinkarnasi jadi tikus, yakni memakan buncis. Jadi, buncis dapatlah dinyatakan sebagai indikator kejahatan.
Di masanya, spekulasi filosofis Thales demikian jelas bukanlah bahan tertawaan. Ia sosok guru, punya jamaah. Lupakan soal buncis itu, mari fokus pada “pencarian jawaban pasca kematian”. Ini signifikansinya.
Kita kini memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sama saja dengan apa yang sudah dihadapi Thales dan Sokrates. Kita semua sangat ingin mendapatkan jawaban yang meyakinkan, memuaskan, dengan tujuan menenangkan batin kita. Ya, batin!
Bagaimana mungkin kita menyingkirkan dimensi batiniah pada diri kita?
Rasionalisme yang berusaha keras mencampakkannya atas nama paripurna akal budi tak pernah mampu memuaskan geliat batin itu sendiri. Batin selalu ada, memang ada, dan tak bisa diabaikan begitu saja lantaran klaim tidak logisnya.
Sigmund Freud pernah berusaha membangun teori yang paling meyakinkan tentang peristiwa mimpi. Ia menyatakan mimpi sebagai “ungkapan alam bawah sadar manusia” yang menyimpan rekaman atas peristiwa-peristiwa alam sadar. Apa-apa yang terjadi pada kehidupan nyata kita terekam di alam bawah sadar kita (dalam pengertian umum bisa disebut batin) lalu kerap mencuat dalam wujud mimpi.
Mimpi bekerja dalam pola demikian menurut Freud. Lepas dari simplifikasinya, kita memahami bahwa teori tafsir mimpi Freud tersebut menjadi bagian dari usaha jawaban rasional kepada alam nonlahiriah manusia: psikologi atau alam batin.
Victor E. Frankl dengan lebih gamblang menyebut alam batin mengandung “spiritualitas ketaksadaran”—suatu keyakinan spiritual yang secara psikologis menancap di dalam jiwa, sangat dalam, dan memengaruhi alam pikir dan tindakan. Ia ada, bersifat spiritual (jangan terburu menyebutnya agama, cukupkan dulu pada hal-hal yang batiniah), dan menancap secara alamiah begitu saja di dalam psikologi manusia—maka dinyatakan “ketidaksadaran”.
Dikarenakan alam batiniah ini benar-benar ada, nyata, dengan bukti-bukti empiris berupa pengaruh kepada alam pikiran dan tindakan, maka seyogianya dari titik ini pulalah kita jemawa mengakui bahwa di sebelah alam rasionalitas memang bersemayam dengan sungguh-sungguh alam batiniah yang bermuatan nilai-nilai spiritualitas yang (lebih banyak) tak ternalar.
Peta “sakral” dan “profan” pada manusia tribal, misal, sebagaimana diwedarkan Mircea Eliade, mendudukkan dua sisi manusia itu secara jelas. Sesederhana apa pun pola kehidupan manusia tribal, mereka meyakini secara batiniah adanya kuasa-spiritual di luar dirinya yang mampu mengisi alam batin dirinya, itulah “Yang Sakral”. Ia harus ada, maka harus diyakini, demi menambal lubang batin yang tak terjawab oleh rasionalitas. Skema “totem dan taboo” ala Emile Durkheim bisa dijadikan contoh nyata bagi realitas sakral dan profan tersebut.
Di era modern, kita menyebut spiritualitas sebagai agama. Organized religion, inilah bentuk paling nyatanya. Kita lalu memeluk agama-agama sebagai usaha mendulang asupan pada dimensi spiritualitas kita, batiniah kita. Kita lalu menjalankan segala ajaran dan ritual agama yang kita anut dengan penuh keyakinan akan kekudusan dan kebenarannya.
Orang Islam rela “membuang banyak uang” untuk memutari bangunan Ka’bah di Mekkah sebanyak tujuh kali, lalu bolak-balik antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali yang total jelajahnya berkisar 4,2 kilometer, lalu menggunting sebagian rambut sebagai pamungkasnya.
Orang Hindu rela meninggalkan semua aktivitasnya, termasuk sekadar menyalakan lampu di malam hari, pada saat Hari Raya Nyepi. Penerbangan di bandara Denpasar yang amat sesak rela distop penuh selama 24 jam.
Orang Kristen rela meluangkan waktu saban Minggu paginya untuk berkumpul di gereja dan mendendangkan lagu-lagu pujian kudus dengan penuh khusyuk dan tenang.
Orang Toraja rela mengorbankan puluhan kerbau demi memberikan penghormatan yang tinggi kepada kerabatnya yang meninggal agar selamat di perjalanan berikutnya.
Orang Madura rela dijejali kesibukan selama tujuh hari penuh sepeninggal kerabatnya dengan menyiapkan berbagai suguhan yang sederhana hingga mewah demi bersama-sama menguarkan doa keselamatan bagi almarhum yang dicintainya.
Dan sebagainya, dan seterusnya.
Jika di titik ini kita mengajukan pertanyaan kritis-filosofis: apakah semua bentuk kerelaan yang tidak rasional itu benar-benar benar atau hanya spekulasi yang dilembagakan oleh agama, maka jawabannya memang tidak memiliki kepastian empiris-santifik. Kita makanya lantas “sekadar” bisa mengimaninya benar. Tetapi justru melalui cara sederhana inilah buah batin diberikan secara berbeda oleh agama kepada mereka yang meyakininya dengan mereka yang tidak.
Dengan kata lain, jika Anda tidak percaya pada kebenaran agama, sebutlah karena Anda memandang keimanan agama sebagai ilusi-irasional, konsekuensinya Anda akan terus hidup dalam jejalan pertanyaan tak berkesudahan yang potensial membuat Anda lelah, bingung, skeptis, bahkan depresif-simplifikatif. Anda pada akhirnya hanya akan menyerah pada depresi-simplifikatif sejenis the survival of the fittest: bahwa hidup ini hanya untuk hidup sebelum kemudian mati. Begitu saja. Anda yang manusia lantas menjadi sulit dibedakan dengan makna hidup sapi, juga buncis.
Sekali lagi, jika Anda memilih menolak agama (bisa dibaca spiritualitas, batiniah) dengan alasan rasional apa pun, tepat saat itu jugalah Anda mengingkari geliat batin sendiri yang amat nyata adanya, rasanya, dampaknya. Tentu itu hak Anda sebagai manusia pure-rasional, toh Anda sudah tahu konsekuensi langsungnya: kehampaan, tak punya tujuan besar dalam hidup ini selain survival of the fittest.
Di hadapan Anda yang mustahil menampik geliat batin itu, agama “menjanjikan” menu-menu supra-rasional yang tak keseluruhannya bisa dijelaskan oleh nalar logis. Dibangkitkan dari kematian, lalu kehidupan akhirat, hingga surga-neraka, semua itu menjadi menu-menu suprarasional agama yang hanya akan membuat Anda makin limbung jika terus memaksakan diri untuk merasionalisaskannya.
Boleh jadi ada yang lantas mengolok-olok pemeluk agama sebagai kaum halusionis, ilusionis, pengimpi yang malang, dan sebagainya. Apa pun sebutan skeptis pada para pemeluk agama, faktanya mereka mengantongi “kelebihan” dibanding para pengolok itu, yakni jawaban jelas yang diyakini kebenarannya terhadap “Apa tujuan hidup ini?”. Karena memiliki jawaban jelas yang diyakini benar, meski tak bisa dijabarkan secara rasional, logis saja bila mereka bisa hidup dengan lebih punya arah.
Maka, jika dikembalikan kepada dialog Diotima dan Sokrates yang berpuncak pada “agar bisa bahagia dengan memiliki hal-hal baik”, agama memberikan jawaban lebih maju dan meyakinkan, yakni keimanan. Melalui iman pada suatu agama, otomatis beserta muatan ajarannya soal tujuan hidup manusia di dunia dan pasca kematian (akhirat), kita bukan hanya telah menyelesaikan hal-hal yang tak bisa kita jawab secara rasional sejak dahulu kala (ingat, mengimani sesuatu sebagai A, misal, otomatis tak lagi menyisakan soal tentangnya), tetapi sekaligus memberikan arah atau tujuan kepada perjalanan hidup kita.
Catat baik-baik, tujuan perjalanan hidup ini.
Anda bayangkan begini saja. Suatu hari Anda menyimpan keinginan untuk pergi ke Jakarta. Itu tujuan Anda. Maka Anda lalu mulai menabung dan merencanakan waktu yang tepat untuk mencapai tujuan itu. Di suatu hari berikutnya, Anda benar-benar berhasil menempuh perjalanan ke Jakarta. Hati Anda senang. Tujuan yang Anda buat dalam hidup terwujud.
Tetapi Anda lantas hanya bisa diam menekur di Stasiun Senen lantaran setelah tiba di Jakarta Anda tak tahu mau ke mana. Anda tak punya arah atau tujuan apa pun di Jakarta. Anda niscaya lalu dilumat gelisah, resah, hampa.
Bayangkan bila Anda berada di posisi demikian dalam mengarungi hidup ini. Ya, hidup ini!
Bila Anda mengarungi hidup ini hanya dalam mekanisme the survival of the fittest, sebutlah bekerja, makan, beranak-pinak, lalu berikutnya apa? Usai memenuhi semua tujuan sederhana itu, lalu apa? Boleh tambahkan bahwa tujuan hidup Anda juga adalah menegakkan etika sosial dan HAM, tetapi lalu berikutnya apa?
Semua “berikutnya apa” itu meniscayakan kegelisahan, kehampaan, disorientasi. Alam Batin kita sangat membutuhkan alasan-alasan besar berskala supra-rasional, dan itu hanya bisa diberikan oleh keimanan pada jagat spiritualitas, agama. Alasan-alasan atau landasan-landasan itulah yang akan memberikan arah dan tujuan besar bagi kehidupan kita—di atas alasan-alasan lahiriah macam siklus hidup yang juga dilakoni sapi dan ayam.
Karena kita manusia yang berakal dan berbatin, kita otomatis tak pernah rela untuk hanya menyejajarkan hidup kita dengan para binatang yang tak berakal dan berbatin itu. Kita menuntut lebih, menginginkan lebih, dan itu hanya bisa dipuaskan oleh spiritualitas. Dan untuk berhasil memilikinya, cukup penuhi satu syarat: mengimaninya.
Saya lantas memahami sekali mengapa misal dalam setiap khotbah Jum’at, sang khatib selalu menguntaikan kalimat sejenis ini: “Syukur alhamdulillah atas segala nikmat iman dan Islam buat kita semua….”
Ya! Ini bukan ungkapan tiada makna. Dalam konteks memiliki arah dan tujuan hidup dan memiliki landasan-landasan jelas perihalnya, beriman kepada Islam (saya tak bermaksud menegasi iman kepada agama-agama lain) menjadi jawaban paripurna yang memang sangat kita butuhkan dan memang mesti kita syukuri untuk keberadaannya di dalam jiwa kita. Beriman kepada Islam menjadi pemuas batin atas runyakan kegelisahan yang bertapa sejak dahulu kala di dalam jiwa kita tentang “Apa tujuan hidup ini?”.
Jika kita telah memiliki iman itu di dalam dada, jangan rusak kualitasnya dengan menjejalkan jubelan pertanyaan yang Anda tahu takkan jelas muaranya, sebab itu hanya akan menjadikan hidup Anda kembali hampa. Lebih baik hindarkanlah membiarkan diri terbunuh pelan-pelan oleh kesombongan terbesar dalam diri, yakni enggan mengaku kepada diri sendiri bahwa akal tak mampu menjelaskan segala hal dalam hidup ini.
Benarlah Joko Pinurbo, pada hal-hal besar demikian, terlampau paham bisa berakibat hampa.
Jogja, 12 Agustus 2017
3 notes · View notes
reallysparklystrawberry · 5 years ago
Text
Spirituality
youtube
“Bang” Kataku kepada seorang laki-laki dewasa yang ada di depanku. Salah satu orang yang aku kagumi, karena ke-cool-annya, wibawanya, dan sifat bijaksananya. Untuk pertama kalinya dalam sebulan, kami ngedate berdua-an di salah satu kafe di Jogja.
Aku dan dia, kalau sudah ngedate gini biasanya ngobrol ngalor ngidul tentang apapun. Sains, politik, sepakbola, dan yang sekarang kita lagi obrolin itu belief, lebih tepatnya, belief-nya dia.
Matter of fact, dia adalah seorang atheist. Soal itu, dia termasuk tipe yang terbuka, meski kalau kamu belum kenal dia, mungkin kamu akan menganggap dia lebih religious dari kamu. Sayangnya cerita soal itu bakal butuh halaman tersendiri, jadi aku ga mau panjang lebar bahas itu di sini.
Melanjutkan pembicaraan kami.
“Menurut ateis, yang menciptakan alam semesta siapa bang?”
Selama ini aku sedikit bingung dengan jalan pikiran seorang ateis. True story, dulu SMA aku pernah emosi parah ke salah satu teman digitalku, seorang self-proclaimed ‘open-minded’. Aku follow twitternya, dan dia suka tweet yang isinya menjelek-jelekkan agamaku, Islam. Pas udah ngga tahan, aku langsung labrak dia, labrak online. I asked her, “Kamu sebenernya masih sholat ga sih?”, lanjutannya aku ceramahin dia. Yea, I know, that’s rude. Maklumi, waktu itu aku masih bocil, aku cuma mau menggambarkan seberapa besar aku mencintai Islam.
Temanku terdiam sebentar. Bukan karena bingung, sepertinya, tapi karena sudah terlalu sering mendapat pertanyaan seperti itu.
“Teorinya sih big bang. Kamu paham kan maksudku teori disini? Teori sains, bukan hipotesis, bukan asumsi.” katanya.
“Tapi bang. Pasti ada yang membuat big bang itu kan? Semacam penyebab terjadinya big bang lah.” lagi-lagi aku menanyakan hal yang dia sepertinya sering dengar juga.
“Haha, kalau soal itu aku gatau, dan sepertinya ga akan tau.” katanya, memberikan jawaban serius, yang kukira bercanda.
“Haha, udah bang percaya Tuhan aja, jadi tau jawabannya kalau Tuhan yang menyebabkan.. menciptakan big bang.”
Temanku diam sebentar, lagi.
“Soal itu, aku ngga mau berasumsi sih. Selama aku gatau, aku bakal jawab gatau.”
“It’s okay if you believe that God creates the universe tho.” lanjutnya, dengan sedikit senyum penghormatan terbentuk di wajahnya.
“Hmm, kalau menurut abang Tuhan itu ngga ada, dan agama itu salah semua, terus dasar etika apa dong bang? Dunia bakal jadi gak teratur dong kalo gitu?” Tanyaku, dengan sedikit rasa ingin menang debat.
“Heh curang. Kita belum setuju sama premis-premis tertentu, udah debat aja.” katanya dengan sedikit tawa, lalu mengacungkan jari telunjuknya.
“Satu, memang etika yang bagus tuh bakal kaku gitu ya? Kita belum ada premis soal hal ini, apakah etika itu fleksibel atau kaku.”
“Dua, tanpa etikapun, ada yang mengatur perilaku kita kok, kenalin, namanya DNA. Perancang fisiologi, dan perilaku semua makhluk hidup. Teorinya, DNA & seleksi alam yang bikin ekosistem stabil.”
“Makannya, benda yang gak hidup itu gak punya etika kan, soalnya mereka gak punya DNA, haha.” katanya, sambil kembali meletakkan tangan di atas meja, mengakhiri ceramah.
Aku jadi sadar, kalau waktu itu aku sedikit impulsif. Aku ngga mau kejadian SMA itu terulang lagi, tidak dengan temanku ini. Aku berpikir cukup lama, mencoba sehati-hati mungkin dengan responku.
“Emm.. Terus what do you think tentang kebaikan mutlak bang?”
“What do you think? Berarti boleh jawab pakai ‘menurutku…’ kan? haha.”
“Kamu mau jawaban pendek atau panjang?” tanyanya, melanjutkan premis yang tidak sengaja aku buat.
“Panjang bang, hehehe. Abang ngomong sampai pagi aja bakal kudengerin kok.” jawabku dengan entah kenapa, tercampur sedikit rasa antusias.
“Well.” temanku memulai menjawab pertanyaanku.
“Menurutku, kebaikan mutlak itu ngga ada. Aku sadar itu setelah belajar agamaku dulu.”
“Dulu kita sama-sama Islam, jadi kamu harusnya tau, sebelum menjalankan perintah, kita harus paham ilmunya dulu. Pemahaman kita soal perintah dalam agama, itu subyektif. Kalau misal kita milih jalan yang.. buat ikut doang, tafsir ulama mana, itu juga milihnya subyektif. Sejak saat itu aku sadar, oh men, ternyata semua dasarnya diri kita sendiri, hati nurani, yang subyektif. Menurutku, yang mana, subyektif juga haha.”
“Subyektif nggak berarti hal yang buruk kok. Itu malah yang bikin dunia ini, manusia dan ide-idenya, menarik untuk dipelajari. Keanekaragaman, menurutku, itu hal terbaik yang bisa ada di dunia.”
“Kalau menurutmu, apa coba sebenarnya kepercayaan itu?” tanyanya, yang langsung dia jawab sendiri.
“Menurutku, kepercayaan sebenernya didasari juga sama hal yang subyektif.”
“Sebuah ide yang terbentuk oleh harapan akan realita dunia.”
“Orang Islam berharap dunia ini sesuai dengan apa yang ada di ajaran Islam. Orang Katolik berharap demikian pula. Mungkin, salah satu harapan itu tentang keberadaan Tuhan yang membuat dunia adil, atau mungkin harapan bahwa setelah kematian kita tidak merasakan kehampaan. I don’t know. Harapan tiap orang subyektif.” Katanya, dibarengi sebuah kediaman yang cukup lama, sampai kukira dia sudah selesai menjawab, sampai akhirnya dia melanjutkan.
“As for me, pernah gak kamu baca cerita pendek judulnya ‘The Egg’? Penulisnya Andy Weir.”
“That’s what I wish, how the world really is.”
Malam masih panjang. Selain obrolan ini kami melanjutkan obrolan dengan topik lainnya, cloning Albert Einstein, immortality, obat HIV, dan lain-lain. Tapi, itu bukan pengalaman yang that beautiful untuk kuceritakan sekarang.
3 tahun sudah berlalu semenjak obrolan di kafe itu. Dia masih dengan keateisannya, aku masih dengan kemuslimanku, meski, sekarang aku sudah bisa sedikit mengerti jalan pikirannya.
Kemarin, channel youtube kesukaanku, Kurzgesagt, mengunggah video adaptasi cerita The Egg Andy Weir. It is as you expected, pikiranku melayang ke obrolan yang aku baru ceritakan ini.
Menurutku.
That’s a good video & I kinda wish the world is really like that.
0 notes
leobellicose · 7 years ago
Text
Ateisme – Kekufuran terselindung yang perlu dibongkarkan
Ateisme – Kekufuran terselindung yang perlu dibongkarkan
Ateisme (atheism) adalah salah satu manifestasi kepada kekufuran yang telah dibongkarkan berkali-kali di dalam Al Qur’an. Isu ini juga telah dibahaskan oleh para sarjana, pemikir dan pengkaji-pengkaji ugama.
Akan tetapi, bilamana isu Ateisme ini cuba dikaitkan dengan Perlembagaan sebagai satu “entiti” yang perlu dipertahankan dan diberi pengiktirafan serta hak, maka arahtuju agenda ini secara otomatis menyentuh kedudukan Islam sebagai Agama bagi Persekutuan dan kepentingan umat Islam serta keharmonian hidup bernegara.
Pada mulanya, saya tidak begitu berminat untuk menulis tentang tajuk ini. Namun setelah membaca tulisan dua orang sahabat saya (dilampirkan di akhir status ini), saya rasa terpanggil untuk sekadar melengkapkan beberapa sudut sahaja daripada penulisan mereka yang cemerlang itu.
Bagaimanapun apabila isu ini menjadi satu topik hangat yang dibahaskan oleh beberapa ahli Parlimen dengan begitu ghairah sekali (passionate), saya tergerak untuk cuba memahami persoalan ini dengan lebih mendalam.
Sebagai permulaan, saya perlu senaraikan terlebih dahulu beberapa premis-premis dasar yang saya rasa setiap orang Islam akan bersetuju dengannya, sebelum melanjutkan tulisan tentang ateisma.
Premis-premis dasar tersebut adalah seperti berikut:
1. Hakikat penciptaan manusia – sebagai hamba Allah dan khalifah yang bertanggungjawab untuk memakmurkan mukabumi.
2. Perakuan roh/jiwa dalam satu akujanji (Covenant) tentang Allah sebagai Rabb, Ilah dan Zat yang Paling Berkuasa.
3. Penciptaan Nabi Adam (‘a.s) wewakili makhluk bernama manusia yang kedudukan dan keistimewaannya tidak diiktiraf oleh Iblis. Keizinan diberikan untuk Iblis menyesatkan manusia dan penangguhkan hukuman terhadap keengkaran Iblis.
4. Manusia dilahirkan dengan diberi ilham untuk memilih antara dua jalan – jalan Fujur dan jalan Taqwa. Mana-mana jalan yang dipilih mempunyai kesan, akibat dan konsekuensi tersendiri. Pilihan antara Iman atau Kufur, Hidayah atau Hawa Nafsu.
5. Para Nabi dan Rasul diutuskan untuk mengingatkan manusia tentang keempat-empat poin di atas. Respon hanya dalam dua bentuk – menerima atau menolak risalah para Rasul dan Nabi.
6. Hakikat hidup sesudah mati (Hari Akhirat) telah diterangkan dengan jelas kepada manusia. Kesementaraan dunia dan adanya satu hari yang memuktamadkan segala hukuman dan balasan untuk apa yang dilakukan oleh manusia di dunia dan natijah dari pilihan antara dua jalan.
Dari beberapa rujukan yang dibuat, saya dapat menyimpulkan beberapa poin tentang Ateisme:
1. Ateisme bukan satu agama. Ia tidak memiliki setiap elemen yang mencirikan sesuatu ugama. Ia tidak berdasarkan satu akidah (keyakinan) yang lazimnya terdapat pada sesuatu agama atau pegangan akidah.
2. Ateisme bukan satu ideologi. Ia tidak mempunyai apa yang dimaksudkan dengan ideologi. Ideologi di sini bermaksud satu entiti yang terdiri daripada doktrin, mitos, keyakinan atau seumpamanya yang membimbing individu, gerakan sosial, institusi, kelas atau kumpulan-kumpulan besar. Ideologi ini pula perlu memenuhi dua syarat pula: i) Merupakan sekumpulan idea atau keyakinan, dan ii) kumpulan ini mesti membawa satu garispanduan.
3. Ateisme bukan satu falsafah.
4. Ateisme bukan satu sistem keyakinan (Belief system).
5. Ateisme bukan satu akidah atau kepercayaan (Creed). Akidah atau kepercayaan adalah satu sistem nilai, doktrin, formula kepercayaan agama, atau satu sistem kodifikasi keyakinan ataupun pandangan.
6. Ateisme bukan satu pandangan hidup (worldview). Pandangan hidup di sini bermaksud satu tasawwur (konsepsi) atau paparan imej yang menyeluruh tentang alam semesta dan hubungannya dengan manusia.
Sesuai dengan asal usul perkataannya, Ateisme berasal dari perkataan Yunani (Atheos) yang bermaksud: Tiada/Tanpa iktikad atau kepercayaan tentang kewujudan Tuhan atau tuhan-tuhan. Ia juga satu penolakan terhadap kepercayaan/keyakinan bahawa Tuhan atau tuhan- tuhan itu wujud.
Maka Ateisme :-
percaya bahawa tidak ada Tuhan
tidak mempunyai kepercayaan kepada Tuhan
tidak percaya/tidak akui kewujudan Tuhan
tidak ada keyakinan terhadap konsep Tuhan
menolak Tuhan
Dalam bahasa yang lebih mudah difahami, Atheisme adalah satu bentuk KEKUFURAN.
Ateisme memiliki sejarah tersendiri antara hubungan gerakan anti-Gereja dan penolakan terhadap ugama (Kristian).
Pengkaji sejarah akan mendapati bahawa di Zaman Kebangkitan Ilmu Pengetahuan (Age of Enlightenment) adalah satu fasa di dalam sejarah Eropah (antara pertengahan kurun ke 17 dan permulaan kurun ke 18) yang sangat instrumental/berpengaruh di dalam pencorakan halatuju dunia selepas itu.
Secara umumnya, zaman tersebut merupakan satu pergerakan intelektual yang muncul khususnyanya di negara-negara Perancis, Britain dan Jerman. Ia mempelopori kemerdekaan, demokrasi dan akal sebagai nilai-nilai utama bagi sesebuah masyarakat. Ia bermula dari titik tolak bahawa akal manusia perlu dibebaskan dari belenggu kejahilan, khurafat dan kuasa mutlak negara bagi membolehkan manusia mencapai kemajuan dan kesempurnaan.
Tempoh masa ini ditandakan dengan semakin menurunnya pengaruh gereja, urustadbir negara berpusat dan hak-hak yang lebih banyak kepada masyarakat marhain/bawahan. Dari segi politiknya, ia merupakan zaman bagi revolusi-revolusi, kacau bilau (turmoil) dan pemusnahan total terhadap tradisi-tradisi yang telah berakar umbi.
Zaman ini diwarnai dengan pertembungan antara ilmu pengetahuan dan dominasi Gereja, antara kebebasan berfikir dan penolakan ilmu-ilmu dari Gereja. Untuk menjadi seorang yang benar-benar merdeka dalam berfikir, beliau perlu membebaskan diri dari belenggu kezaliman dan ketaksuban ugama , malah bebas dari ugama dan segala apa yang lahir daripadanya.
Realiti di atas juga merupakan satu manifestasi bagi faham Liberalisma yang tidak terikat dengan Tuhan atau ugama. Sekiranya seseorang ateis “percaya” kepada satu entiti (Tuhan) sebagai pencipta alam, beliau akan meletakkannya di satu sudut yang sangat terpencil dalam entiti manusia. Beliau “percaya” bahawa undang-undang tabi’i/semulajadi (natural laws) yang menentukan bagaimana alam semesta ini akan berfungsi dan beraksi.
Tuhan bagi mereka hanya bertugas untuk menciptakan seluruh alam semesta ini dan bila sudah siap, Dia akan “berhenti” dan menyerahkan urusan pentadbiran, pengurusan dan pemakmuran alam ini kepada manusia semata-mata.
Salah seorang penggerak Ateisme adalah Richard Dawkins yang menulis buku bertajuk “The God Delusion” pada tahun 2006. Antara kata- kata beliau tentang Islam berbunyi:
“Sudah tentu anda boleh memiliki sesuatu pandangan tentang Islam tanpa perlu membaca Al Qur’an. Anda tidak perlu membaca tentang Mein Kampf untuk memberi pandangan tentang Nazisme.”
Antara ‘trend’ di kalangan kumpulan Ateis (dan juga bekas-Muslim/murtad) ialah mengutuk Islam dan menghasut umat Islam yang akan dirujuk dan di tweet kembali oleh Dawkins dan 600 ribu pengikut Twitter nya.
Apabila kita perhatikan agenda politik Ateisme yang bermula di Barat ini, kita akan dapati bahawa perjuangan untuk mengarus perdanakan gerakan Sekularisme menuntut supaya lebih banyak ruang diberikan kepada liberalisme, bukan lebih banyak ruang kepada Ateisme. Semangat yang mendasari Ateisme baru ini lebih menyerupai agama yang bersifat evangelis daripada gerakan intelektual semata-mata.
Bukanlah satu kejadian sejarah tertentu bahawa evolusi Ateisme di zaman moden ini amat berkait rapat dengan gerakan-gerakan ke arah keadilan sosial. Malah boleh dikatakan juga gerakan-gerakan reformasi ini dalam kebanyakan kes lebih menumpu dan bersangkut kepada konflik antara kelas di dalam sesebuah masyarakat.
Pendekatan, gerakan Ateisme ini atas nama apa sekalipun yang diberikan – closet atheist, militant atheist, ateisme baru, ateisme pragmatic/praktikal – semuanya menolak bimbingan/garispanduan wahyu atau keperluan untuk percaya kepada Tuhan. Kerana ini semua bukan satu keperluan kepada satu suasana hidup yang praktikal.
Saya tidak bercadang untuk membicarakan isu ini dari sudut perundangan secara khusus oleh kerana ia telah dibahas dengan baik oleh beberapa pihak yang rujukannya saya catat di hujung artikel ini. Saya lebih tertarik untuk melihatnya dari sudut lain. Cuma Artikel 11 yang dirujuk oleh Hanipa Maidin (ahli Parlimen PAN Sepang): “saya rasa ateisme ini is duly protected by Article 11 of Federal Constitution” adalah tidak terpakai (inapplicable). Dia juga menuntut supaya ateisma ditafsirkan sebagai ugama menurut undang-undang, yang juga tidak ada ‘precedent’ dalam mana-mana keputusan Mahkamah sebelum ini.
Dia cuba membuka jalan bagi ateisme bertapak sebagai satu agama, yang diperakui dan dipertahankan oleh Perlembagaan Pesekutuan.
Sekiranya ateisme hendak diiktiraf sebagai satu agama, maka Perlembagaan Persekutuan perlu dipinda. Dan selepas ini, humanisme, sekularisme, dan apa sahaja isme lain akan mendapat perlindungan undang-undang sepertimana yang dinikmati oleh atheisme. Ini bukan tujuan yang tersurat mahupun tersirat di sebalik peruntukan-peruntukan di dalam Perlembagaan Persekutuan.
Saya berpandangan bahawa Ateisme, sepertimana juga Liberalisme, Sekularisme, Humanisme dan gerakan-gerakan masyarakat yang bersumber atau berpaksi di atas gagasan di atas, hanyalah satu nama lain bagi Kekufuran. Cuba perhatikan – semua yang di atas itu mempunyai hubungan sama ada rapat atau longgar dengan realiti masyarakat Barat yang telah melalui fasa-fasa peralihan dari taksub kepada dogma agama Kristian (yang memonopoli ilmu tentang Penciptaan alam semesta dan ilmu pengetahuan secara umumnya) kepada penolakan mutlak terhadap penguasaan atau dominasi Gereja ke atas ilmu pengetahuan.
Justeru itu mereka di sana perlu menolak ugama Kristian sekiranya mereka ingin mencapai kemajuan di dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan pengembangan sains.
Malangnya, realiti yang secara khusus berlaku di dunia Barat ingin di”perkenalkan” ke Dunia Islam ketika itu, yang meskipun berada di fasa nazak dan kemunduran dari segi kewujudan dan dominasi politik mahupun sosial mereka, TIDAK PERNAH memisahkan urusan “agama” dengan sains atau ilmu pengetahuan.
Ketika mana barat mendapati bahawa terdapat penentangan terhadap produk-produk kufur ini di kalangan umat Islam, maka mereka menggunakan strategi lain, yang tidak kurang berbisa dan beracun kesannya. Iaitu melalui pendidikan.
Dengan jatuhnya mata rantai terakhir dari silsilah dan sistem Khilafah, iaitu tumbangnya Khilafah Turki Uthmaniyah pada tahun 1924, maka jalan telah terbuka luas untuk memperkenalkan kembali ideologi-ideologi kufur ini ke seluruh dunia Islam yang telah difaraidkan kepada Empayar British khususnya, bersekali dengan kebangkitan gerakan nasionalis yang menceraikan diri dari tubuh Khilafah Islami terakhir yang berpusat di Turki.
Sistem pendidikan Barat/Inggeris telah berjaya melahirkan graduan-graduan yang terdiri dari golongan bangsawan, elit, kerabat istana dan pejuang-pejuang kemerdekaan yang sangat tebal roh Barat/Inggerisnya.
Ketika itu, Gereja dan pengaruhnya sudah dilumpuhkan dan ilmu pengetahuan, sains dan industri adalah milik mereka yang telah berlepas diri dari monopoli Gereja ke atas minda mereka. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di satu pihak dan pembentukan kumpulan elit/bangsawan pro-Barat/Inggeris di pihak lain telah bersebati menghasilkan satu barisan pewaris Barat/Inggeris tempatan.
Mereka inilah yang akan meneruskan (atau memperkenalkan) sistem perundangan, pendidikan dan budaya berfikir yang merupakan satu replika terbaik bagi perjuangan Kufur untuk menguasai batang tubuh umat Islam dan kekayaan sumber aslinya.
Maka tidak hairanlah fahaman-fahaman liberalisme, humanisme dan ateisme mendapat tempat di kalangan “pewaris” Empayar British/Barat ini yang peranan tersebut telah diambil oleh Amerika pada kadar yang lebih agresif sejak beberapa dekad yang lalu.
Kesannya kita dapat lihat di hampir kesemua negara Islam, termasuk di tanahair kita sendiri.
Terdapat satu kerjasama tersembunyi di antara gerakan nasionalis, sekular, liberal, ateisme, humanisme dan sosialisme di dalam konteks yang lebih besar ini:
1. Penolakan terhadap nilai agama/wahyu.
2. Pemberatan yang keterlaluan terhadap kebebasan peribadi dan kemerdekaan dari kekangan tradisi, budaya, nilai dan pandangan hidup bangsa/umat yang dijajah.
3. Kaitan rapat dengan kepentingan perniagaan atau ekonomi penjajah.
4. Pemisahan agama (Islam) dari urusan pemerintahan dan pentadbiran negara.
5. Perkongsian agenda perjuangan dengan gerakan sivil, liberal dan hak asasi manusia.
6. Penularan gerakan evangelisme yang tersusun dan agresif untuk mengKristiankan umat atau memurtadkan mereka.
Satu realiti yang menyedihkan apabila kita dapati terdapat segelintir umat Islam yang tidak segan silu atau rasa bersalah turut berbaris bersama pejuang-pejuang kufur ini. Apatah lagi mereka yang mendakwa membawa perjuangan Islam yang tulen dan suci!
Sudah tentu terdapat satu hikmah dan rahsia besar mengapa setiap Muslim membaca Surah Al Fatihah dalam solat mereka. Surah ini mengandungi peringatan abadi sekaligus permohonan tulus ikhlas supaya umat islam sentiasa berada di atas jalan yang lurus, bukannya jalan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang satunya dimurkai Allah manakala yang satu lagi berada di dalam kesesatan.
Peranan dan akujanji Iblis untuk membujuk dan menyesatkan manusia sudah termaklum. Yang perlu dibongkarkan supaya umat kembali sedar dan berwaspada ialah agenda Yahudi/Zionis/Evangelis ke atas umat Islam yang tidak pernah terpadam dari dada mereka.
Ateisme ataupun yang senada dengannya bukanlah satu rahmat yang perlu dipertahankan, tetapi satu malapetaka dan muslihat Kufur yang perlu dibongkarkan.
Sedarkah umat Islam hari ini?
Mohd Luttfi Abdul Khalid
Penafian: Artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mewakili pendirian rasmi Isma, sebuah pertubuhan Islam sederhana dan portal Ismaweb.net
———————————————-
http://www.utusan.com.my/…/muslim-ateis-perlu-pengesahan-ke…
http://www.tunabdulhamid.my/…/850-perlembagaan-persekutun-d…
https://www.facebook.com/imranharithazmy/posts/1980799385280243
https://www.facebook.com/ahmad.sanusi.usim/posts/1592070160886430
The post Ateisme – Kekufuran terselindung yang perlu dibongkarkan appeared first on Portal Islam dan Melayu | ISMAWeb.
Credit kepada admin sumber asal Artikel Portal Islam dan Melayu | ISMAWeb di Ateisme – Kekufuran terselindung yang perlu dibongkarkan via Blogger http://sayupgema.blogspot.com/2017/12/ateisme-kekufuran-terselindung-yang.html
0 notes
baladalayanganputus · 8 years ago
Text
Identitas
Mana yang lebih keren: Temple Grandin atau Ayaan Hirsi Ali? Grandin, seorang perempuan, adalah seorang biolog cum profesor perbinatangan. Grandin adalah seorang yang hidup dan tumbuh besar dengan gejala-gejala autisme. Autisme Grandin tidak menghalanginya menjadi seorang yang punya tempat terhormat di dunia sains. Filmnya yang begitu mengispirasi beberapa hari lalu saya tonton di HBO dengan judul Temple Grandin. 
Ayaan adalah seorang politisi kulit hitam dan mantan anggota parlemen Belanda. Ayaan terkemuka karena serangan-serangannya pada Islam lewat buku seperti The Caged Virgin dan Infidel: My Life. Seorang ateis, Ayaan cukup berhasil mengasosiasikan Islam dengan kekejaman terhadap perempuan. Ayaan mungkin lupa peradaban Islam pernah pula menghasilkan seorang pemikir besar wanita dalam diri Rabiah Al Adawiyah yang apabila dipersekusi murni karena jenis kelaminnya hampir pasti tidak akan dikenal sebagai seorang sufi yang berkelit-kelindan dengan dunia filosofi yang menuntut akses luas terhadap teks. 
Perbedaan utama Grandin dan Ayaan bertumpu pada satu hal: Grandin memilih untuk tidak mengapitalisasi identitasnya sebagai seorang autis dan bertekun pada bidangnya di lain sisi Ayaan memang menjual dirinya sebagai seorang perempuan yang pernah kena sunat genital, murtad dari Islam dan sekarang menjadi penyerang utama Islam yang dianggapnya tidak adil terhadap wanita. Identitas memang bisa menjadi kapital signifikan dalam menaikkan pamor belakangan ini. Padahal dia tidak harus begitu. Anda gay? Silahkan anda pilih mau tidur dengan siapa, asalkan, ketika anda mengapitalisasi dan mengglorifikasi orientasi seksual anda, lama-lama jangan heran banyak orang berpikir: apa yang bisa dia jual selain menjadi gay? Michel Foucault adalah seorang gay, tapi karyanya tentang institusi penjaralah yang membuat dia menjadi Foucault yang kita kenal. Dia tidak pernah menjual ke-gay-an dirinya.
Saya teringat kembali tulisan Ben Anderson ketika membahas amerikanisasi pengetahuan. Amerika Serikat intinya menuntut persemakmuran dunia akademik maupun dunia praktik bertanya “how” ketimbang “why”. Itulah yang membuat filsafat melingkar-lingkar a-la Perancis tidak begitu laku di sana. Di mana-mana, di penjuru dunia, semua merayakan siapapun yang bisa menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien ketimbang mereka yang berkutat dalam abstraksi-abstraksi, mengutip-ngutip entah apa dan menciptakan musuh-musuh bayangan seperti belakangan sekelompok orang minim baca yang menghidup-hidupkan kembali hantu komunisme yang bahkan rohnya saja sudah hancur lebur. 
0 notes