Tumgik
#patriarkat
sabilania · 2 years
Text
Laki-Laki Menguasai, Patriarki Harga Mati
Menurut Rokhmansyah (2016), patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti sistem yang meletakkan laki-laki sebagai sosok otoriter dan sentral yang segala-galanya. Menurut Bressler (2007), Patriarki adalah suatu sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal dalam kelompok sosial. Secara tak langsung, sistem ini mengistimewakan hak-hak laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Hal ini merupakan hal yang penting untuk dibahas karena budaya patriarki telah merugikan laki-laki dan khususnya perempuan. Dengan adanya budaya patriarki ini, ketidakadilan gender telah sering terjadi. Ketidakadilan gender ini bermacam-macam, ada yang berupa diskriminasi, eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, stereotipe, ataupun kekerasan terhadap perempuan dan beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat bagi perempuan (Suryadi & Idris, 2004). Salah satu bentuk dari budaya patriarki adalah seksisme. Menurut Feldman (2011), seksisme adalah sikap atau perilaku yang negatif terhadap seseorang berdasarkan pada gendernya.
Masyarakat yang patriarkat berpandangan bahwa laki-laki lebih superior daripada perempuan telah menyusun tatanan budaya yang lebih berpihak pada laki-laki. Contoh praktik patriarki ialah pada zaman Vedic 1500 SM, masyarakat Hindu tidak memperbolehkan perempuan mendapat harta peninggalan suami atau keluarga yang meninggal (Sakina & Siti, 2017). Konstruk budaya ini membentuk perbedaan perilaku, status, dan kewenangan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian berubah menjadi hierarki gender (Faturochman, 2002). Karena merupakan hasil pembelajaran dari budaya yang dipercayai secara turun-menurun dari generasi ke generasi, perilaku itu dianggap sebagai budaya setempat oleh masyarakat (Umar, 2001).
Dewasa ini, praktik budaya patriarki masih berlangsung dalam berbagai bentuk, seperti dalam kegiatan politik, ekonomi, domestik, dan sosial budaya. Presiden ke-45 Amerika Serikat, Donald Trump, seperti yang dilansir The Hollywood Reporter pernah membuat tweet mengenai Arianna Huffington yang berisi “Unattractive both inside and out. I fully understand why her former husband left her for a man ̶ he made a good decision.”. Tak hanya itu, dilansir dari CNN, Donald Trump juga pernah mengatakan “What do you think of Lindsay Lohan? There’s something there, right? But you have to like freckles. I’ve seen a close-up of her chest. And a lot of freckles. Are you into freckles?... She’s probably deeply troubled, and therefore great in bed. How come the deeply troubled women ̶  deeply, deeply troubled ̶ they’re always the best in bed?” dalam sebuah wawancara dengan Howard Stern pada tahun 2004. Pernyataan-pernyataan ini tak hanya mengandung unsur seksisme, tetapi juga mengandung unsur misogini. Figur publik sebagai subsistem ekosistemtentunya ikut berperan dalam keberlangsungan budaya patriarki. Orang-orang cenderung meniru tingkah laku orang lain yang memiliki status di masyarakat. Penelitian mengenai imitasi membuktikan bahwa tak seperti pelatihan instrumentasi yang prosesnya lambat, ketika seorang panutan hadir, sebagian besar atau seluruhnya pola tingkah laku diperoleh secara cepat (Bandura, 1962). Orang-orang akan berpikir bahwa mengatakan hal yang berbau seksisme dan misogini merupakan hal yang boleh dilakukan jika figur panutan mereka melakukan hal yang sama. Ketika persepsi tersebut telah tertanam dengan dalam, persepsi tersebut dapat berubah menjadi sebuah kepercayaan yang baik secara sadar maupun tak sadar akan memunculkan penilaian yang baik ataupun buruk yang akan memengaruhi sikap.
Lingkungan yang patriarkat tentunya akan memengaruhi sikap, perilaku, dan cara pandang dari anak-anak yang masih dalam proses belajar. Terutama keluarga sebagai subsistem mikrosistem sangat memengaruhi sikap dan perilaku anak-anak. Peran gender dalam kehidupan sehari-hari, seperti laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga dapat membentuk stereotip yang bias gender. Contohnya tak peduli setinggi apa pun pendidikan perempuan, akan lebih baik jika menjadi ibu rumah tangga, atau beban ganda bagi perempuan yang bekerja dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berdasarkan survei yang diadakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) pada tahun 2020, 69% perempuan dan 61% laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan menanggung beban terberat menimbang 61% perempuan dan 48% laki-laki juga menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengurus dan menjaga anak. Peneliti mengobservasi anak-anak yang sedang bermain dan hasilnya adalah anak-anak acapkali berperilaku seperti orang tuanya, mulai dari menunjukkan reaksi pada situasi yang terjadi, nada suara, sampai perilakunya (Bandura, 1963). Pembagian peran yang tidak seimbang ini dapat membuat anak perempuan menginternalisasikan bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan kewajiban perempuan, padahal pekerjaan rumah tangga tak berjenis kelamin. Sosialisasi peran gender seperti itu menyebabkan perempuan merasa bersalah jika tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga (Fakih, 2008).
Subsistem Ekosistem lainnya yang juga turut memberi sumbangsih terhadap keberlangsungan budaya patriarki adalah media massa. Media massa dapat memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat (Ilyas, 2015). Berdasarkan hasil survei internet Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2019 ̶ 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 171,1 juta jiwa dan 33,07% di antaranya berusia 0-19 tahun. Sebanyak 13,6% dari 171,1 pengguna internet menjadikan layanan informasi berita sebagai alasan kedua mereka mengakses internet. Perkembangan teknologi membuat media massa online mudah diakses oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Saya pernah melihat judul artikel yang diterbitkan oleh Daily Mail UK yang berbunyi “On Target! Make-Up Free Amy Adams Is Anything but Glamorous as She Goes Wild in the Aisles in Los Angeles Supermarket” dan “Catch Carrie if you can! Homeland Star Claire Danes Displays Her Fit Figure in Tight Exercise Gear as She Sweats It Out During a Grueling Run”. Saya juga pernah melihat artikel dari celebrities.id yang berjudul “Heboh Yudha Febrian Diduga Lakukan Pelecehan, Yuk Intip Style Simpel dan Maskulinnya” dan artikel lain dari Okezone yang mengatakan “Tersandung Pelecehan Seksual, Intip Gaya si Ganteng Yudha Febrian”. Artikel-artikel tersebut berfokus pada hal yang berbeda. Bahkan saat sudah terbukti bahwa Yudha Febrian melakukan pelecehan seksual, media massa malah menyanjung gaya berpakaiannya seolah-olah pelecehan seksual yang dilakukannya bukan merupakan hal yang berarti. Sedangkan pada aktris Amy Adams dan Claire Danes, mereka dikritisi atas penampilan mereka (wajah tanpa riasan dan memakai pakaian olahraga) yang mana seharusnya bukan menjadi hal yang besar.
Hal ini disebabkan masyarakat yang menseksualisasi perempuan sehingga perempuan dianggap sebagai objek seksual, penampilan dan tubuhlah yang menjadi fokus utama. Feminis eksistensialis percaya bahwa eksistensi perempuan di media merendahkan martabat perempuan dan mempromosikan patriarki (Ilyas, 2015). Dalam kebanyakan budaya, konstruksi seksualitas perempuan sangat dipengaruhi oleh ideologi gender yang tersohor dalam masyarakat yang akan menjadi penentu atas sikap dan perilaku perempuan yang semestinya yang kemudian akan menghasilkan stereotip-stereotip terhadap perempuan (Ilyas, 2015). Apabila perempuan tidak sesuai dengan stereotip-stereotip tersebut, perempuan akan dihina dan dipermalukan sehingga mereka memenuhi stereotip-stereotip tersebut yang dikonstruksi oleh sesuatu yang ada di luar perempuan.
3 notes · View notes
kanalblog · 9 months
Text
Yohanan ben Zakkai Pendiri Yudaisme Rabbinik Setelah Kehancuran Yerusalem
Yohanan ben Zakkai dikenal sebagai pemimpin agama dan politik yang menetapkan landasan bagi Yudaisme rabbinik setelah runtuhnya Yerusalem beserta Bait Suci-nya. H.J. Schoeps dalam kepemimpinannya menyatakan, “Negara berubah menjadi akademi, dinasti kerajaan menjadi patriarkat, dan Sanhedrin meninggalkan lokasi Bait Suci dan melanjutkan keberadaannya secara independen di Jabneh”. Sebagai seorang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
michaelalarsson · 11 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Antikropp handlar om allt det där som bygger upp en människa, och det som bryter ner henne. En kvinnas kropp som aldrig är historielös, utan där varje del utgör hennes liv. Det här är en historia om hur processerna alienation, objektifiering och exploatering samverkar i systemen patriarkat, kristendom och kapitalism. En historia om klass och marknad. Om klyvningen av kvinnor; separationen mellan privat och offentlig sfär. En bok om kropp, estetik och motstånd.
• Text och form: Michaela Larsson
• Omfattning: 216 sidor
• Tryck: Holmbergs
• Utgivningsår: 2019
• Antal tryckta: 550 ex
Överskotten från upplagorna donerades till Malmö Kvinnojour och Asylgruppen i Malmö.
0 notes
avocadowithyou · 1 year
Text
Mau menuliskan sedikit tentang buku yg pernah kubaca; Perempuan Di titik Nol karya Nawal El Saadawi—seorang aktivis, doktor dan psikiater yang banyak menulis tentang perempuan dalam Islam.
Tumblr media
Ini barangkali bisa menjawab pertanyaanmu tadi malam. Maaf karena keterbatasanku dalam menyampaikan sesuatu secara langsung. Tapi semoga kamu paham, aku lebih leluasa menguapkan 'isi' melalui tulisan.
Ketika kamu bertanya bagaimana pendapatku mengenai kesetaraan perempuan dalam menyampaikan suatu pendapat. Yang langsung terlintas di pikiranku novel ini. Maka kujawab sebisaku sekarang.
Sebelum membahas keterkaitan novel yang kubaca dengan pertanyaanmu, aku ingin menuliskan kilas balik tentang bagaimana Islam datang dengan mengangkat derajat perempuan. Sudah menjadi rahasia umum banyak dari kita yang mungkin sudah tahu, bagaimana menderitanya perempuan sebelum datangnya Islam. Sebelum datangnya Islam, perempuan menjadi kecacatan bagi keluarga, saking tidak dinilainya derajat perempuan, seringkali terjadi penguburan hidup-hidup atas anak perempuan, dan masih banyak lagi perlakuan buruk terhadap perempuan seperti tidak diberikannya hak waris dan hak-hak lain pada umumnya dinikmati laki-laki.
Belum lagi penindasan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Masyarakat Jahiliyah. Kenyataan sejarah demikian, menunjukkan betapa perempuan tidak mendapatkan kedudukan, bahkan sedikitpun tidak dihormati dalam lingkup sosial oleh kaum laki-laki. Berbagai masa kegelapan perempuan tersebut menjadi wajar ketika menyadari bahwa paradigma yang dipegang dan berkembang di Masyarakat Arab adalah menganggap perempuan hidup untuk dan senantiasa bergantung kepada laki-laki.
Dan isu ini belum juga usai, hingga melahirkan gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan dalam menetapkan kesetaraan. Salah satunya yang dilakukan oleh Nawal El Sadaawi, ia menulis banyak sekali tulisan mengenai polemik yang berkaitan tentang hak perempuan. Seperti dalam novel yang kubaca diatas, penulis mengisahkan sisi gelap yang dihadapi perempuan-perempuan Mesir ditengah kebudayaan Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki. Seperti yang sudah kusinggung sebelumnya bahwa Masyarakat Arab dalam budayanya sering kali menempatkan perempuan tidak setara dengan laki-laki, Arab Saudi—tempat lahirnya Islam bahkan sampai saat ini mungkin belum bersikap leluasa atas kebebasan perempuan diruang publik. Berbeda dengan Indonesia, kurasa bangsa kita sudah keluar dari kultural Arab, bisa dilihat dengan banyak nya perempuan-perempuan yang eksis berperan dalam lingkup sosial dan politik.
Kembali lagi, Nawal kemudian menceritakan dalam novel tersebut kisah nyata yang dialami oleh Firdaus (nama samaran) yang sedari kecil sudah hidup ditengah keluarga patriarkat—dimana kerap ia melihat dan merasakan seorang ayah diperlakukan seperti seorang raja oleh istri dan anak-anaknya, seperti individu nomor satu diantara individu-individu lainnya. Ini menunjukkan adanya ketidaksetaraan didalam sebuah keluarga. Ada salah satu dialog dalam novel tersebut dimana Firdaus mengutarakan keinginannya untuk belajar di El Azhar Kairo mengikuti jejak pamannya, namun ia tidak diperbolehkan belajar disana karena ia adalah seorang perempuan. Bahkan pamannya yang mendengar hal itu tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum laki-laki saja.
Dengan banyak nya ketimpangan relasi ini, tak jarang perempuan dibatasi ruang geraknya antara privat dan publik. Yang dimaksud privat menurutku bermuara pada wilayah rumah tangga yang stereotipnya diperuntukkan bagi perempuan, seperti falsafah yang sering kita jumpai bahwa perempuan ketika sudah menikah ruang lingkupnya hanya "Dapur, Sumur, Kasur". Kemudian wilayah publik seperti pekerjaan dan urusan negara (politik) diperuntukkan hanya bagi laki-laki.
Selanjutnya ini aku ingin mengutip salah satu ayat Al-Qur'an yakni surat An-Nisa ayat 34;
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Kalau hanya dipahami secara maknawi, tidak melihat Tafsir, Asbabun Nuzul, juga hadist-hadist Nabi yang berkaitan dengan ayat ini—seperti yang sering kamu bilang; 'tentu akan memicu kontradiksi' antara laki-laki dan perempuan dimana ada ungkapan ar-rijal qawwamuna ala al-nisa. Ayat ini kalau tidak dipahami secara keseluruhan dapat menjadi superior bagi laki-laki. Tapi apabila dijabarkan secara luas, tentunya akan sangat panjang. Jadi mungkin kamu sudah lebih paham mengenai interpretasi dari ayat tersebut.
Menurutku, kesetaraan perempuan dalam menyuarakan pendapatnya juga sangat penting khususnya dibeberapa lingkup, seperti dalam rumah tangga. Karena keduanya (laki-laki dan perempuan) akan menjadi satu kesatuan atau satu anggota tubuh dimana laki-laki berkedudukan sebagai kepala sedangkan perempuan berkedudukan sebagai badan. Karena itu tak layak kalau satu anggota itu merasa super terhadap anggota lainnya, sebab masing-masing mempunyai tugas dalam hidup atau masing-masing memiliki haknya. "..Mereka (perempuan) adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian pula bagi mereka". Ditambah pentingnya komunikasi dua arah dalam rumah tangga, ini menunjukan bahwa memang perempuan sangat berhak bersuara atas pendapatnya. Tidak seperti Firdaus dalam novel yang hilang "identitas" nya sebagai perempuan karena dibentuk oleh lingkungan yang patriarki, karena suaranya tidak diterima sama sekali oleh kaum yang menganggap dirinya individu nomor satu yakni, laki-laki.
Meski kuakui, ini pun menjadi pr besar untukku yang masih takut mendengar pendapat orang lain ketika aku mengutarakan isi pikiranku.
Doakan yaa..
1 note · View note
lamiantoine · 1 year
Text
Nëna ime shpëton princesha
Po s’u brengos një ditë e mundon ndjenja e fajit, e sheh veten se nuk di të dojë. Nëna ime me shkollë fillore ngurron t’i mbushë formularët, dëftesat, shkresurinat. Nëna ime me gjunjë të sëmurë: dy këmbët mbi çdo shkallë, dy duart te muri. Nëna ime me dorë të rrëzbitur: dy duar për një paketë qumësht, dy sy te paketa. Nëna ime me shpinën që i dhemb: dy sy të mbyllur në dhembje, dy nofulla në ngërç. Nëna me këmbët e ënjtura, me flokët e rralluar, me çarçafët në valixhe, me kujtimet e veta me harresën e vet, me çantën e vjetër të dorës që se ndërron se ia bleu djali. Nëna ime me kostumet e prera. Vajzë, motër, grua, nënë, mërgimtare, ardhacake, gjyshe. Nëna ime zero në patriarkat. S’iu dha rasti kurrë të jetë njeri. SHQIPTAR OSEKU
0 notes
generasbir · 2 years
Text
Pemimpin Agama sedunia bertemu di Kazakhstan menandatangani perjanjian dokumen Rahasia
Apakah “gerakan global baru untuk perdamaian” telah dimulai?
Seruan itu diluncurkan oleh Presiden Kazakh, Kassym-Jomart Tokayev, dalam pidato pengukuhan Kongres VII Para Pemimpin Dunia dan Agama Tradisional: “Kita semua membutuhkan gerakan global baru untuk perdamaian”, katanya. Dan, dilihat dari pidato-pidato berikutnya, itu diterima dengan baik. Dalam prakarsa yang Rabu dan Kamis ini mempertemukan lebih dari seratus delegasi dari 50 negara di Nur-Sultan (ibu kota Kazakhstan), dan termasuk partisipasi Paus Fransiskus, imam besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb, oleh Kepala Rabi Israel Sephardic, Yitzhak Yosef, dan kepala Departemen Hubungan Eksternal Patriarkat Moskow, Metropolitan Anthony, kata “damai” sejauh ini merupakan salah satu yang paling sering diulang.
Selengkapnya klik disini
Tumblr media
0 notes
fredrikmattsson · 3 years
Text
Pojkar och flickor i Sverige, uppfostran och skuld
Jag stör mig på hur vi som samhälle ibland pressar och påverkar pojkar att bli som flickor och män att bli som kvinnor. Det är inte en lösning om kompromisser åker ut när det åker in...
Folk blir förbannade av sånt här, men det får vara så. Allt jag säger om pojkar och flickor är generellt och undantag finns i massor. Men pojkar och män är generellt mer intresserade av "saker" (leksaksbilar, ingengörer, byggjobb) medan kvinnor är mer intresserade av "människor" (dockor, sjuksköterskor, omvårdnad). De flesta vet vad som menas med det här och det är inget kontroversiellt i sig.
Om du bara slutade vara man!
Det finns en tro hos vissa att vi män blir bättre om vi bara blir mer som kvinnor, vilket inte är det minsta bevisat eller ens rimligt enligt mig. Jag har själv haft två flickor som gått i skolan, något jag är glad över. Men jag märker att det är en annan sak för de som har pojkar. För många pojkars föräldrar är det press från skola och samhälle att försöka få pojkarna mer feminina om de beter sig som pojkar.
Många föräldrar känner av de här förväntningarna från skolan och pressen verkar vara ännu hårdare för mammor, som förväntas vara med på tåget automatiskt för att de är kvinnor. De känner att de omkring blir överlyckliga om deras son skulle vilja leka med dockor en dag, medan de går vidare som inget hänt eller halvt besviket om han väljer leksaksbilar.
Vi låtsas så vi påverkar pojkar och män att prata känslor, vilket kvinnor och flickor generellt sett alltid varit och är bättre på. Flickor ska inte förändras, men pojkar ska bli mer som flickor, då blir allt bra. Det verkar vara tesen idag, utan underlag.
Om pojkar bara slutar klättra i träd, hoppa runt, slutar ha så svårt att sitta still, anpassas de bättre till skolan som har just de kraven. Att det är orimligt att slå ner springglädje i så stor del av uppväxten och att många pojkar känner sig misslyckade i skolans miljö och känner sig ”fel”, spelar ingen roll. "Alla ska med"…
Att pojkar och flickor beter sig olika beror inte bara på att vi uppfostrar dem med lite olika metoder, att de är biologiskt olika är varför vi uppfostrar dem olika. Bara skillnaden på hormonen testosteron och östrogen ger nog tydlig bild av varför pojkar springer runt och agerar utåt medan flickor är lugna, sociala och pratar med varandra på ett mer avancerat plan - i regel. Mina flickor och de flesta flickor jag någonsin känt i mitt liv, har alla varit överens om att pojkar är omogna och att de inte alls hänger med i det sociala, att de som är längst ut på skalan i fördelningen är "överallt på samma gång" och att det inte går att förstå hur de är så olika, varför de inte lyssnar eller förstår. De lever i olika världar.
En Pojke idag bör vara flicka
Om vi tar en pojke som biologiskt vill springa runt, göra mer våghalsiga saker, leka med saker, hänga i träd och som är nyfiken på allt men vi trycker ner honom i en skolbänk och ber honom att sitta still och vara tyst i flera år så knäcks en stor del av den springglädjen och nyfikenheten. Kanske knäcks mer än så? Går vi som idag ett steg längre och berättar för honom direkt och indirekt hur duktiga alla flickor är (inom skolans system och mer därtill) och hur dålig han är på detsamma så knäcks han än mer. Får han sen ej längre leka med det han vill när han väl slipper sitta still - för att samhället testar att uppfostra pojkar som flickor - så knäcks han än mer.
Kanske har skolan tjejgrupper som han inte får komma i närheten av, helt utan en motsvarande grupp där han får vara med bara pojkar. I förskolan gör de kvinnliga lärarna alla moment, de går med pojkar och flickor i omklädningsrum och de lär så alla att kvinna är norm, medan manliga lärare hålls med pojkarna. Det kanske är det bästa av andra skäl, men det normala för en pojke blir ändå att kvinnor hör hemma överallt medan män inte gör det. Börjar han med en sport så är det troligt att det finns en blandad grupp där alla är välkomna och en grupp bara för tjejer där han inte är välkommen. När han blir äldre så fortsätter samma sak, politiska förbund för kvinnor och ett blandat för män och kvinnor. Hela tiden blir han påmind om att hans tjejkompis kan vinna tävlingen i exempelvis schack två gånger, en gång i ”vanliga” tävlingen med båda könen och en gång i kvinnoklassen. För en pojke kan det inte alltid kännas rimligt att ta på sig att han utövar ett patriarkatiskt förtryck när han själv inte har skuld. Men kommer den pojken avstå privilegier om han anser att det varit konstigt eller orättvist i livet fram till hans stora möjlighet? Kommer han då göra det han kan för att kvinnor och män ska försöka leva i samförstånd? Jag tror inte det. Det kan bli en bitter och arg man av en sån uppväxt, i motsats till vad som är tanken. Om det finns en tanke?
Ett tjejgym är inte diskriminering, med det är motsatsen
När han är äldre så får han veta att det är fullt lagligt att starta ett gym i Sverige som bara accepterar kvinnor som kunder medan det är olagligt och diskriminerande att starta ett där bara män är accepterade.
Samtidigt som det här sker får han höra hur hemsk hans ”sort” är, hur mycket mer pengar de tjänar orättvist och hur det mesta är dåligt med män. Självbilden hos en sån pojke är jag rädd för. Jag tror inte att den pojken kommer att värna om att vi ska ta hand om varandra mer än män idag. Att snedvrida för att skapa polarisering mellan män och kvinnor är farligt. Skolan är byggd på ett sätt så att flickor naturligt har lättare för den, eftersom de lättare kan sitta still och följa regler. Det är inte pojkarnas fel (eller flickornas) att skolan utvecklades i den riktningen.
Skolan hade lika gärna kunnat bygga på fysisk aktivitet och att få bränna energi och då hade pojkarna haft fördel. Istället för att lägga ansvaret där det hör hemma så får alla föräldrar veta att deras söner har mer eller mindre koncentrationssvårigheter. I exempelvis USA har det gått så långt att hela generationer nu går på amfetaminpreparat av olika slag för att trycka bort biologin och anpassa den till skolmiljö.
Vi måste sluta med det här grupperingarna, där det alltid är ok att ha en tjejkväll eller en tjejgrupp men där det alltid är otänkbart att pojkar får sina förutsättningar tillgodosedda.
Mord med tusen stick
Det här är mord med tusen små stick, så att offret sakta förblöder eller blir iskall inför hur vi borde värna om varandra. Det finns så många små saker som alla lutar fel, kring hur många pojkar inte har manliga förebilder hemma och i skolan också möts av till stor del kvinnlig personal. Hur de dessutom får svårt att någonsin komma nära förebilder då det inte är ”PK” att ha grupper för pojkar som man har för flickor, ens en enda gång på ett läsår.
De tvingas därför sköta detta på fritid, genom fotboll eller något annat som domineras av pojkar, oavsett om det är så intressant att utöva sporten.
När det nu kommer till att börja manipulera små pojkar att välja dockor istället för bilar, som de ofta väljer själva, så blir det ytterligare ett hugg och det kommer inte leda till att den sk. "toxiska maskuliniteten" minskar, tvärtom kan det bli droppen som får bägaren att rinna över till självhat! Hur mycket kärlek och empati brukar människor som hatar sig själva visa andra?
Låt barnen välja själva, nyansera bilden av hur patriarkalt allt är, hur löneskillnader också avgörs av att män ofta arbetar mer övertid och att vissa män inte gör annat än arbetar, som enda sak i livet. Vi bör kämpa mer för att få in män i kvinnodominerade yrken för barnens skull. Det är bra att man fokuserar på att hjälpa flickor, något fokus borde självklart finnas för att också hjälpa pojkar.
Jag har två flickor och är överlycklig för allt som görs för att deras behov ska tas tillvara på men det ska läggas lika mycket möda på att hjälpa pojkarna, utan sociala experiment som inte baseras i vetenskap.
Jag tycker att om nu män och kvinnor ska leva tillsammans så är det inte bra att vi polariseras mer och mer och hetsas mot varandra å ena sidan, medan vi har olika regler för pojkar och flickor och sen män och kvinnor å andra sidan. För att till slut alla låtsas som att allt är männens fel och att de lär "utveckla" sig till att bli som kvinnor. I alla tider har vi kompromissat, män och kvinnor. Vi ser på saker olika och det är väl det som i det stora hela jämnar ut och harmoniserar. Att naturen för fortplantning valt att det måste finnas en av varje visar att kompromissande är utvecklande för båda sidor. Att vi har olika fördelar, att vi blir starka tillsammans. Sociala experiment förändrar inte evolution, men vi kan alla försöka förstå och förbättra utan att det blir på bekostnad av någon annan.
Dina förfäders morfars morfar levde livet med kvinnor och döttrar och försökte få livet att fungera tillsammans. Det fanns ingen aktiv sammansvärjning som gjorde att morfar systematiskt försökte få det sämre för mormor, eller sina döttrar. Tvärtom jobbade de flest ihop för sin familj. Idag låter det som att alla förfäder gick ihop för att förstöra för sina fruar och döttrar. Med sjuka undantag så tror jag att de flesta försökt få allt att fungera med makt över olika saker.
Idag ska alla grupper ställas mot varandra, så att vi är upptagna att träta om småsaker så att större fel i världen kan gå obemärkt förbi. Låt oss slippa gräva ner oss i skyttegravar kring detta.
1 note · View note
christerholm78 · 5 years
Text
Hur jämställda är vi egentligen?
Det sägs att vi lever i ett patriarkalt samhälle, jag håller med till fullo på just den punkten. Om vi nu lever i ett samhälle som är patriarkalt så skulle jag vilja säga att de flesta familjer lever i någon forma av ett matriarkat hushåll.
Tumblr media Tumblr media
Photo by Brandless on Unsplash
En del teorier som jag har borde nog bara stanna i mitt huvud och aldrig hamna någon annanstans än just där. Men jag hade ändå tänkt delge en av dessa för er här mina vänner. Och till alla män som kommer känna sig kränkta nu så säger jag väx upp. Det är bara en teori och jag är villig att diskutera den med er om ni vill.
En av dessa teorier som jag har haft…
View On WordPress
0 notes
sinoes · 3 years
Text
Skuld skam och feminism
Jag har funderat en del på det här med skuld, skam och ansvar i den moderna feminismen. Mycket av nutida populär feministisk analys kretsar kring att på olika sätt frigöra kvinnor från skuld och skam över den belägenhet vi befinner oss i på grund av patriarkatet. Att ”lägga skulden där den hör hemma”, det vill säga på männen som förtrycker snarare än kvinnorna som utsätts för förtryck, är ett viktigt feministiskt slagord. Det används för att peka ut män som slår och våldtar kvinnor som förövare och påtala att kvinnor är offer. Det används också för att påtala att kvinnor på ett strukturellt plan tvingas till vissa känslor och handlingar, vilket de inte bör skuldbeläggas för. Inget av det här är fel i sak. Att slut skuldbelägga sig själv och andra kvinnor för patriarkala strukturer ÄR en viktig del i varje kvinnas feministiska uppvaknande. Vad jag däremot finner oerhört frustrerande är hur ofta den feministiska analysen stannar där; i ett enda stort berättigande av allt kvinnor är och gör i ett patriarkat.
Vi måste börja med att fråga oss VARFÖR vi är feminister. Att vara feminist är att känna till att det finns ett patriarkat och att vilja förändra detta. Feminism är en politisk ideologi som innehåller en världsbild och en utopi. Visst finns det ”olika feminismer”, men för att kunna kalla något för feminism måste det innehålla en idé om att kvinnor är underordnade män och att detta är någonting som bör förändras. Det bör också finns en idé om att det är någonting som KAN förändras, för vad skulle poängen annars vara?
Jag vill hävda att det är ett i grunden individualistiskt projekt att göra sig av med skuld och skam inför sin belägenhet som kvinna i ett patriarkat. Visst är det någonting vi till viss del kan hjälpa varandra med, men det är ett arbete som till största delen sker inne i den enskilda kvinnan. Det är den enskilda som slutar skämmas för det hon blivit utsatt för och det hon är. Så långt kan man nå med feministisk upplysning; den enskilda kvinnan kan läsa och ta till sig och nå någon slags känsla av frihet och välbefinnande. Problemet är att det samhälle där kvinnor exploateras och hatas finns kvar oavsett hur mycket skam man som kvinna känner inför detta. Att göra sig av med skuld och skam är ett slags feministiskt feel good-projekt, perfekt anpassat efter vår individualistiska tid där allting handlar om att förbättra och optimera den egna individen.
Feministisk teori kan och bör absolut användas för att få kvinnor att må bättre, men det är inte allt den kan eller bör användas till. För varför är vi egentligen feminister? Det yttersta målet med det feministiska projektet är att bryta ner de strukturer som möjliggör exploateringen av och våldet som riktas mot kvinnor. Detta sker inte för att kvinnor ”slutar skämmas”; det sker som ett resultat av politiska förändringar. Att kasta skuld och skam kan vara ett steg på vägen i detta förändringsarbete, men det kan inte vara allt.
Fokuset på skuld och skam blir ibland kontraproduktivt för feministisk politik. För att skapa de förändringar vi feminister vill se i samhället krävs ett omfattande arbete. Detta arbete innebär att man måste offra saker och ta risker. Som feminister måste vi vara beredda att göra detta, inte bara när det är roligt utan också när det är tungt. Somliga vänder sig emot detta resonemang med att kvinnor inte är ”skyldig feminismen något”. Det är såklart sant, men det handlar inte om att vara skyldig utan om att vi måste skapa oss en väg framåt. Varför är man feminist om man inte vill det? Politiskt arbete måste ske på ett hållbart sätt, men det innebär inte att det kan eller bör vara enkelt. Det feministiska arbetet handlar ju trots allt om att motarbeta en av världens mest omfattande maktstrukturer, det kommer inte vara enkelt.
Vissa menar att det är att ”lägga skulden på kvinnor” att mena att kvinnor bör vara de som kämpar mot patriarkatet. Egentligen borde männen hållas ansvariga! Detta håller jag absolut med om, men nu är detta inte en fråga om hur det borde vara utan om vad som är möjligt. Visst kan man tycka att det, i den bästa av världar, borde vara männen som befriar oss, men alla (och särskilt vi feminister) vet ju att det inte är vad som kommer ske. Det finns ingen rättslig instans dit vi kan vända oss med detta, ingen gud som kommer att kunna ge männen order om att verkställa det postpatriarkala samhället. Det är alltså ingen utsaga om det moraliskt rätta att kvinnor är ansvariga för sin egen frigörelse; det är en slutsats av den feministiska analysen av hur världen är beskaffad.
Ibland anklagas feminismen för att vara källan till skuld och skam hos kvinnor. Den feministiska analysen av till exempel skönhetsideal och allt kvinnor gör för att uppnå dessa anses av många vara skuldbeläggande av kvinnor. Istället för att kritisera detta ska man som feminist göra, ja vadå egentligen? Idealet verkar vara att passivt acceptera att hela kvinnoliv försvinner i ett evigt bantande, noppande, rakande, smörjande och sminkande. Att uttrycka önskan om någonting annat betraktas ofta som skammande. Genom denna manöver blir feminismen plötsligt det som håller kvinnor fånga. Det är nämligen ofta just den feministiska analysen som attackeras med dessa argument. De patriarkala påbud kvinnor omgärdas av betraktas ofta som neutrala, eller åtminstone irrelevanta för diskussionen. Det betraktas som ett slags grundvillkor för kvinnlig existens och mycket sällan diskuteras hur dessa villkor ska förändras. Istället diskuterar vi att feminister ska sluta skamma.
Det är som att feminismens uppgift har blivit att få kvinnor att ”må bra” med vad de är och gör i patriarkatet. Feminismen ska producera analyser som får kvinnor att sluta känna ”skuld och skam”. Att säga saker som får kvinnor att må dåligt är per definition ”ofeministiskt”. Om en feminist analyserar ett fenomen och denna analys får kvinnor att känna skuld och skam för att de deltar i detta fenomen, då har feministen ”skammat” och gjort sig skyldig till förtryck genom att försöka styra vad kvinnor tar sig för. Men varför skulle feminister inte ha åsikter om vad kvinnor gör? Den politiska kampen mot patriarkatet har ju Kvinnan som sitt revolutionära subjekt. Det är Kvinnan som förtrycks och exploateras i den patriarkala ordningen och det är Kvinnan som kan organisera sig politiskt och kräva förändring. Alltså angår det i allra högsta grad kvinnokampen hur kvinnor lever sina liv. Detta är inte ”förtryck” utan tvärtom en önskan att kämpa mot förtrycket vi kvinnor drabbas av i patriarkatet.
Feminism bör uppmana till handling, inte passivitet. Att göra ”exakt vad man vill” innebär i många fall ett följa minsta motståndets lag, och patriarkatet kommer alltid att bjuda på motstånd. Jag önskar också en värld där kvinnor kan ”göra exakt vad de vill”. Som feminist är jag smärtsamt medveten om att vi lever i ett patriarkat som begränsar kvinnors möjligheter att göra ”exakt vad de vill” långt mycket mer än vad någon skammande feminist någonsin kan göra. Jag inbillar mig inte att det är möjligt för mig eller någon annan kvinna att kliva ur samhället. Det är därför feminism behövs, för att vi är fast i det har samhället och måste förändra det. Och för att förändra samhället måste vi vara beredda att förändra oss själva.
7 notes · View notes
tankaren · 4 years
Text
Någonstans skaver det
Det kommer upp här och där
Triggas av saker som kommer inifrån och utifrån
Vart existerar det? Innuti eller utanför?
Ogillar skavandet
Ogillar mig själv i det
Vill ha en lösning
Få bort det
Tror det har skavt ett bra tag
Osäker på om det är flera separata områden eller ett enda som någonstans ger upphov till den här irritationen 
Ord som kommer upp:
Radikalfeminism
patriarkat
naivitet
Trångsynthet
Rädsla
Äckel
Ilska
paradigm
Snubbar
Gubbar
Män
Kukhuvuden
idioter
Omedvetenhet
oinformerad
ignorans
Rappakalja
marxistiskt postmodernism
Faschism
Biologism
Ondska
Halmgubbar? 
1 note · View note
septembgirl · 5 years
Text
Break the gap to reach your dream!
Tumblr media
Di dunia ini, tidak ada yang namanya kebetulan. Seperti pertemuan dengan seseorang. Bagian penting bagi seseorang. Menjadi anggota keluarga. Keluar dari anggota keluarga, maksudnya, perempuan yang akan menikah. Pasti ikut suami dong yaaa. Kalau kata KBBI offline. Patriarkat.
Setiap manusia pasti ingin hidup yang layak. Berguna bagi keluarga. Masyarakat. Menjadi hamba yang taat. Dan menjadi kebanggaan ibu ayahnya. Namun, jalan hidup tak selurus jalan tol. Semulus kulit artis Korea. Dan se tenang permukaan air yang dalam.
Tak jarang, ketika on fire, perkara satu dan lain hal. Semangat meredup, ikatan niat melonggar. Impian mengabur.
Tak apa, just remember you need a breather. Take your time. Fulfill your spirit. Recharge all of them. Karena kadang, kita perlu keluar dari lingkaran masalah untuk mencari akar permasalahan, melihat solusi, kemudian memperbaikinya.
Ada yang beruntung, memiliki keluarga kaya raya. Crazy rich blablabla. Ada yang berkecukupan, Alhamdulillah. Nah, yang satu lagi ini, sedih, tak usah dituliskan ya. Semoga persentasenya semakin berkurang. Berkurang karena kondisinya membaik yaa, bukan karena dipanggil yang Maha Kuasa.
Ada yang sudah menjadi menteri di usia muda. Ada yang sudah menikah dan memiliki anak di usia belia. Dan ada yang sudah menjadi penulis, membuat buku, ini keren sih. Seperti penulis "luar" kedua yang saya kenal (namanya) mendapat pujian. "At age 24, Rupi Kaur has been called the voice of her generation." (USA Today)"
Semangat menggapai mimpi, meraih cita-cita. Fokuskan diri. Berbenah apa saja.
Dream it. Get it.
Habitat, 190206
11.00 PM
4 notes · View notes
albanian-studies · 6 years
Text
Feminism Vocab. (Albanian)
Tumblr media
Idea from @comaremena who did one for Italian. You can find it here.
Feminizëm - Feminizmi - feminism
Feministe/feministja (f.), feminist/i (m.)- feminist
Lëvizje - Lëvizja - movement
Shoqëri - Shoqëria - society
Kulturë - Kultura - culture
Ideologji - Ideologjia - ideology 
Vlera/principe - Vlerat/principet  - values
Barazi - Barazia - equality
Autonomi - Autonomia - autonomy
Punësim - Punësimi - employment
Punë - Puna - work
Pagë, rrogë - Paga, rroga - pay, wage, salary 
Leje lindje - Leja e lindjes - parental leave, maternal leave (lit. birth allowence)
E drejta e votës - right to vote
Pronë - Prona -  property
Shëndet personal -  Shëndeti personal - personal health
Shëndet publik -  Shëndeti publik - public health
Arsimim, edukim - Arsimimi, edukimi - education (arsimim usually refers to the education you get at schools, while edukim is more general)
Siguri - Siguria - safety
Gjini - Gjinia - gender
Grua - Gruaja - woman
Vajzë, gocë, çupë, çikë - Vajza, goca, çupa, çika -  (çupë and çikë are dialectal forms) - girl
Femër - Femra - female
Burrë - Burri - man
Djalë, çun - Djali, çuni - boy
Mashkull - Mashkulli  - male
Transgjinor, transeksual, trans - trans person
Role gjinore - Rolet gjinore - gender roles 
Standard bukurie - Standardi i bukurisë - beauty standards
Trup - Trupi - body
I/E shëndoshë - fat (person)
I/E dobët - thin (person)
Klasë sociale - Klasa sociale - social class 
Etni - Etnia - ethnicity
Rracë/Racë - Rraca/Raca - race
Ngjyra e lëkurës - skin colour
Besim, fe - Besimi, feja - religion 
Identitet gjinor - Identiteti gjinor  - gender identity
Orientim seksual -  Orientimi seksual - sexual orientation
Paaftësi, aftësi e kufizuar - Paaftësia, aftësia e kufizuar - disability, handicap
Pabarazi - Pabarazia - inequality
Diskriminim - Diskriminimi - discrimination
Paragjykim - Paragjykimi - prejudice
Stigmë - stigma - stigma
Shtypje - shtpyja - oppression
Dhunë - dhuna  - violence 
Martesë - martesa - marriage 
Prostitucion, prostitutë - prostitucioni, prostituta -  prostitution, prostitute
Pornografi, porno - pornografia, pornoja - pornography, porn
Racizëm - racizmi - racism
Seksizëm - seksizmi - sexism 
Fobi - fobia  - phobia 
Privilegj - privilegji - privilege
Patriarkat - patriarkati - patriarchy
Ngacmim seksual, sulm seksual, agresion seksual - ngacmimi seksual, sulmi seksual, agresioni seksual - sexual harassment, sexual agression
Përdhunim - Përdhunimi - rape
Politika - politikat - politics
Legjislacion, ligj - legjislacioni, ligji - legislation, law
Të luftosh - fight, struggle
18 notes · View notes
kvinnosakens-blog · 6 years
Text
Vi måste prata om män
En sak är i alla fall säker: vi kommer aldrig att komma till bukt med problemet med mäns våld mot kvinnor så länge både högern och vänstern är mer intresserade av att använda frågan som ett redskap i en politisk konflikt om ras, härkomst och invandring än att adressera vad det egentligen handlar om: ett globalt och epidemiskt mönster av MÄNS våld mot kvinnor.
I Sverige utgår ett påstått seriöst, journalistiskt granskningsprogram från 1,5 % av alla våldtäkter som begås i Sverige för att dra slutsatsen att en majoritet av alla våldtäktsmän är utrikes födda. Borde inte det som upprör mest i själva verket vara att bara 13 procent av våldtagna kvinnor vågar och orkar anmäla, och att endast omkring 15 procent av alla anmälda våldtäkter leder till en dom? Att kvinnor blir våldtagna dagligen av män i alla samhällets skikt och delar, och att den förödande majoriteten av dessa män kommer undan? Det där som faktiskt spelar roll för kvinnor som de som utsätts?
I USA mördas en 20-årig kvinnlig student under en joggingtur av en man som befinner sig illegalt i landet, och istället för att landa i ett samtal om mäns våld mot kvinnor, att kvinnor inte kan röra sig ensamma i offentliga rum och ute i naturen och att flera kvinnor om dagen dödas, landar konversationen i ett krig mellan högern som skyller våldet på mannens härkomst och immigrantstatus och vänstern som försvarar hans härkomst och immigrantstatus. Samtidigt mördas svarta kvinnor och kvinnor ur nordamerikanska ursprungsbefolkningar i oproportionerligt hög grad. Då blir plötsligt frågan om härkomst och hudfärg oviktig: kvinnors utsatthet i mötet mellan misogyni, rasism, ekonomisk och social utsatthet och mäns våld kan inte användas som politiskt slagträ.
Vi är så förbannat trötta. På fegheten. På oviljan att ta de där orden i sin mun: MÄNS våld. Vita, bruna, svarta mäns. Svenska, amerikanska, mexikanska, tyska, saudiarabiska, somaliska, danska, brasilianska, sydkoreanska, ryska (etcetera etcetera) mäns. Var vi än befinner oss i världen och varifrån i världen vi än kommer så finns våldet där: mäns våld.  Men att erkänna det, att belysa det, vore förstås för utmanande. Det skulle avslöja det ingen man vill ha avslöjat: att förtrycket är verkligt och att kvinnor underkuvas under en ständig rädsla och ett ständigt hot; att våldet inte hänger samman med härkomst, religion, hudfärg eller medborgarstatus utan med kön, biologiskt kön, med könad socialisering och med förtrycket som män tar sig rätten att utöva mot kvinnor.
Män vägrar skaffa sig en förståelse för vilken tyranni de utsätter kvinnor för, vilken terrorism mäns våld och mansväldet innebär. Vad som sker bakom stängda dörrar, vad som sker i våra tankar när vi möter en ensam man på en joggingtur, och vad som sker med oss när vi tvingas läsa om ännu en mördad kvinna, våldtagen flicka, utplånad familj. Män är det största hotet mot kvinnor världen över. Män. Men skulle de erkänna det skulle deras älskade patriarkat förstås börja gå upp i limningen. Den där limningen som är mäns tystnad och delaktighet.
1 note · View note
Text
Kristen: Agama Sepupu yang Terpecah
Tumblr media
Nabi shalla Allahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Umat Yahudi telah terpecah-belah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani pula telah tercerai-berai menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Sebanyak 72 golongan berada di neraka dan satu golongan di surga.” Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah siapakah satu golongan ini?” Rasul menjawab, “Golongan yang menetapi akidahku sekarang dan akidah para sahabatku.” Hadits riwayat Imam Abu Dawud – melalui jalur Sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan – ini menunjukkan bahwa setiap umat baik itu Islam, Nasrani, maupun Yahudi pasti mengalami perpecahan di dalam tubuhnya.
Mungkin kita mengenal Sunni, Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, dan beberapa sekte lainnya. Kita juga mungkin tahu bagaimana proses terpecahnya Islam menjadi beberapa sekte tadi. Mulai dari kasus terbunuhnya Khalifah Utsman, pemberontakan terhadap Khalifah Ali, Perang Shiffin, Perang Jamal sampai arbitrase antara pihak Khalifah Ali dan Sahabat Muawiyah. Semua itu seakan sudah rekat di pikiran kita (baca: santri). Tapi apakah kita tahu bagaimana umat Yahudi dan Nasrani terpecah-belah? Penulis pikir tiada salahnya kita mengetahuinya. Paling tidak wawasan kita menjadi lebih lebar lagi.
Yahudi dan Nasrani adalah masih sepupu Islam. Sebab Nabi Ibrahim ‘alahissalam meminang dua wanita, Siti Sarah dan Siti Hajar. Siti Sarah adalah isteri pertama Nabi Ibrahim yang hingga lanjut usia belum juga dikarunia seorang putra. Lantas Siti Sarah menyuruh suaminya untuk menikahi Siti Hajar setelah dipertimbangkan matang-matang. Tiada selang waktu lama, Siti Hajar dikaruniai seorang putra sekaligus calon nabi yaitu Ismail. Ismail inilah leluhur Nabi Muhammad. Sedangkan Siti Sarah baru dikaruniai putra (sekaligus calon nabi) setelah Siti Hajar melahirkan. Ia adalah Ishaq. Lantas Ishaq memiliki putra, Ya’qub. Ya’qub memiliki banyak putra – di antaranya Yusuf. Kemudian putra-putra Ya’qub menurunkan kaum Yahudi dan Nasrani.
Agama Kristen adalah salah satu dari agama monotheisme Abrahamik yang lahir di Yudea (Palestina) sekitar abad satu masehi. Kristen juga adalah agama terbesar di dunia saat ini dengan penganut sekitar 2,2 miliar orang atau sekitar 31.50% dari seluruh populasi penduduk dunia (yang terdiri dari: Katolik Roma 16,85%, Protestan 6,15%, Ortodoks 3,96%, Anglikan 1,26%). Populasi Kristen terbesar di dunia ada di Amerika Serikat dengan 229.157.250 orang pengikut. (Zazuli, 2018: 126)
Setelah Nabi Isa bin Maryam 'alaihissalam dirafak (diangkat) oleh Allah ke langit. Para pengikut Nabi Isa (Hawari/Hawariyun) semakin sengsara. Ya'qub bin Zabadi (Yakobus Zebedeus), saudara kandung Yohanes si nelayan, menjadi orang pertama yang terbunuh akibat kekejaman penguasa saat itu. Tatkala umat Nasrani masih diselimuti kabut kengerian, datanglah Saul (Saulus dari Tarsus) – berasal dari kalangan Yahudi Farisi yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pelbagai aliran filsafat dan peradaban pada masanya – yaitu murid dari agamawan Yahudi terkemuka pada masanya, Gamaliel, dan termasuk orang yang paling bengis menyiksa kaum Nasrani. Ia mengaku telah mendapat titah Nabi Isa untuk menyebarkan agama Nasrani ke seluruh bangsa. Karena kecerdasannya yang tinggi dan lihai dalam berargumentasi ia pun diterima di kalangan Hawari. Semenjak itu penindasan terhadap kaum Nasrani mulai mereda. Mulai itu pula Saul diberi julukan Paulus.
Tumblr media
Situasi yang telah mendukung dijadikan oleh para Hawari kesempatan untuk menyebarkan agama Nasrani berbagai penjuru dunia. Di tengah antusiasnya para Hawari berdakwah, konflik pun muncul. Sebagian kalangan non-Yahudi di Ethiopia mengajukan eksepsi terhadap syariat Taurat yang akhirnya memicu adanya Konsili Yerusalem. Setelah konsili selesai, masalah yang lebih besar muncul. Paulus memaklumatkan bahwa Taurat sudah dinasakh. Bahkan katanya, “Almasih telah datang untuk mengganti Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.” Bukan hanya itu ia juga mencemarkan doktrin ketuhanan kaum Nasrani dengan doktrin-doktrin filsuf Yunani. Para Hawari mulai menyadari kesesatan Paulus dan memerangi ajarannya. Hingga akhirnya Paulus tewas di Roma pada tahun 65 M (saat rezim Kaisar Nero). Begitu pula para Hawari dan pengikut-pengikutnya yang terbunuh oleh para penganut paganisme di negeri-negeri yang menjadi lahan dakwah mereka.
Masa-masa setelah terbunuhnya pembesar-pembesar Nasrani dipenuhi derita, siksa, sengsara. Sampai akhirnya tampuk kekuasaan Imperium Romawi jatuh pada Kaisar Galer yang menerima prinsip toleransi. Dan kaum Nasrani menemui masa keemasan pada kaisar setelahnya, Konstantin. Dapat dikatakan bahwa sejak Konstantin menduduki tahta Kekaisaran Romawi, berakhirlah masa-masa terburuk dalam sejarah Nasrani yang telah menyebabkan hilangnya Injil asli warisan Isa al-Masih serta terbunuhnya para Hawari dan para rasul. Pada saat itu, dimulailah penyimpangan dan pelanggaran terhadap syariat Taurat karena Kaum Nasrani telah mencetuskan sebuah Perjanjian Baru dengan menuhankan Isa al-Masih. Dan muncullah sebuah nama baru bagi agama ini yaitu “Masihiyah” (Kristen). (al-Maghlouth, 2011: 195)
Seiring berjalannya waktu, penyimpangan semakin menjadi-jadi walaupun beberapa sekte dan pihak masih ada yang mempertahankan kemurnian ajaran Nasrani. Di antaranya yaitu sekte Arianisme dan Uskup Nestor. Pada tahun 1054 Gereja Kristen terpecah menjadi Gereja Barat yang berpusat di Roma (Gereja Katolik Roma) dan Gereja Timur (Gereja Ortodoks Timur) yang berpusat di Konstantinopel (sekarang Turki). (Zazuli, 2018: 128)
Kemudian pada 31 Oktober 1517 muncul gerakan protes yang diinisiasi oleh Martin Luther, pastor berpengaruh di Jerman. Gerakan ini adalah respons represif terhadap keputusan Gereja Barat yang mengesahkan penjualan surat penebusan dosa. Gerakan ini pula mula kelahiran Protestanisme yaitu denominasi (kelompok keagamaan, dalam istilah Kristen, yang dapat diidentifikasi di bawah satu nama, struktur, dan doktrin) baru dalam agama Kristen.
Tumblr media
Sehingga terdapat tiga denominasi terbesar dalam agama Kristen, yaitu:
Katolik: denominasi tunggal Kristen terbesar, termasuk Gereja Katolik Ritus Timur dengan 1,2 miliar penganut total atau lebih dari 50% dari jumlah total penganut agama Kristiani.
Protestan: terdiri dari berbagai macam denominasi seperti Lutheranisme, Anglikanisme, Calvinisme, Pentakostalisme, Methodis, Gereja Baptis, Karismatik, Presbyterian, Anabaptis, dan sebagainya.
Ortodoks Timur: denominasi tunggal Kristen terbesar kedua dan merupakan denominasi Kristen terbesar di Eropa Timur. (Zazuli, 2018: 129)
Sekte-sekte di dalam Agama Kristen
Agama Kristen Barat: Anabaptis, Anglikan, Baptis, Calvinisme, Gereja Jemaat, Lutheran, Methodis, Moravia, Nonconformism, Pentakosta, Pietisme, Presbyterian, Quaker/Shakers, Waldensia.
Agama Kristen Timur: Gereja Kuno Timur, Gereja Asiria Timur, Katolik Timur, Gereja Ortodoks Timur (termasuk Ortodoks Yunani, Ortodoks Serbia, Ortodoks Rusia, Ortodoks Rumania, Ortodoks Bulgaria, dan beberapa gereja otosefalus lain dan Patriarkat), Ortodoks Rusia Lama, Ortodoks Timur (termasuk Ortodoks Armenia, Ortodoks Koptik, Ortodoks Ethiopia, Ortodoks Syiria, serta sebagian dari orang-orang Kristen Santo Thomas).
Kelompok-kelompok lain yang berkaitan dengan kekristenan atau berasal dari agama Kristen, tetapi mereka dianggap heterodoks atau sesat oleh kaum Kristen mainstream. Tetapi sebagian sudah punah atau tidak ada lagi (Arianisme, Kristadelfian, Christian Gnostisisme, Christian Identity, Christian Science, Christian Universalisme, Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir, Iglesia ni Cristo, Ebionit, Saksi-Saksi Yehuwa, Jesuism, Gerakan Latter Day Saint, Milleris, Mesianik Yudaisme, Marcionisme, Rastafarianism, Gereja Advent Hari Ketujuh, Spiritual Baptis, Swedenborgianism, Gereja Aquarian, Unifikasi, Unitarianisme, Gereja Universal Kerajaan Allah).
Gnostisisme (Kelompok Gnostik terkait dengan agama Kristen di masa-masa awal tapi semuanya sudah punah karena dianggap sesat atau menyimpang): Cerdonians, Colarbasians, Simonian, Bogomilisme, Catharisme.
Agama Yazidi yaitu agama Kurdi singkretis yang tercampur dengan pengaruh Gnostik.
Gnostisisme Persia: Mandean Manikeisme, Bagnolians.
Gnostisisme Mesir-Suriah: Sethianism (Basilideans, Valentinianism).
Kelompok Neo-Gnostik: Ecclesia, Gnostica.
(Disadur dari Muhammad Zazuli. Sejarah Agama Manusia Ikhtisar Agama-Agama, Mitologi, dan Ajaran Metafisika Selama Lebih dari 10.000 Tahun, Yogyakarta: Narasi, 2018.)
Daftar Pustaka
Ahmadi, Muhammad Sya’roni. Faraid al-Saniyah, Kudus, tanpa tahun.
Al-Maghlouth, Sami bin Abdullah. Atlas Agama-Agama Mengantarkan Setiap Orang Beragama Lebih Memahami Agama Masing-Masing (Penerjemah: Fuad Syaifuddin N. & Ahmad Ginanjar S.), Almahira: Jakarta Timur, 2011.
Muhammad Zazuli. Sejarah Agama Manusia Ikhtisar Agama-Agama, Mitologi, dan Ajaran Metafisika Selama Lebih dari 10.000 Tahun, Yogyakarta: Narasi, 2018.
Oleh: Ahmad bin Hanbali As-Samarani
Ket:
Artikel ini adalah evaluasi artikel yang dimuat di Majalah Ath-Thullab edisi XXIV/2020 pada rubrik Jurusan Bahasa. Karena dalam artikel tersebut terdapat kekeliruan yang - menurut penulis - cukup fatal.
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
crowdbutuseless · 4 years
Text
https://magdalene.co/story/tak-semua-orang-tua-mulia-relasi-anak-anak-dengan-orang-tua-toksik
Tiba-tiba saja pacar mengirim link artikel singkat bertajuk rebelia tersebut. Berngiang di kepalanya kata si dia. Dan benar, kubaca sekitar pukul setengah delapan malam sambil bongkar laptop, bajingan, kusegerakan bebenah segala baut dan kabel, demi ngelamun sana-sini. Sampai sekarang setengah empat subuh dan lobus-lobus di rongga kepala sungguh-sungguh mampat oleh segala hal yang tak tahu bagaimana rupa dan rasanya bila ditulis. Mungkin usang, egois, berdebu tebal, dan bagiku melegakan.
Artikel singkat tersebut mengulas bagaimana konflik internal diri sang penulis, Patrecia, mendengar cerita-cerita oeang di sekitarnya mengenai para orang tua yang melakukan kekerasan fisik maupun verbal pada mereka selama periode mereka tak berdaya, yakni antara SD sampai lulus SMA. Lengkapnya sila baca sendiri, sangat menarik dan memancing-mancing ingatan bagi yang berkutat di dalamnya.
Kali ini yang mengusikku adalah tentang trauma. Bagaimana ayah dan ibu menciptakan trauma dan stigma tertentu dalam diriku. Sejak kecil lahir dan besar sebagai laki-laki di tengah lingkungan patriarkat agaknya bukan keuntungan bagiku. Memilih diam di rumah bermain halma, catur, gomoku, atau membaca buku bersama kakek--karena anak lelaki di lingkunganku sangat nakal--adalah pilihan yang kurang tepat bagi ayah. Entah bagaimana mulanya ia sering mengatai anaknya sendiri sebagai pengecut dan banci secara serius dan destruktif. Ya, aku pun tak pernah tahu inginnya bagaimana, bila aku bermain ke rumah tetangga yang berjarak tak lebih dari lima meter sebelah rumah, wah, segala macam binatang dan umpatan keluar sudah. Ya namanya anak kecil pasti syok dong. Lalu ibu mendongeng katanya aku tak menghargai ayah yang bekerja dan sebagainya dan sebagainya. Itu contoh paling halus bagaimana orang tua menciptakan trauma kepada anaknya entah sengaja atau tidak. Hasilnya adalah ketakutan akan berbagai hal semacam main ke luar, papan catur, menangis di depan orang, dipelototi, darah, cat air, dan hal lain. Bayangkan sudah berapa ratus hal terlewati kalau si anak ini tidak trauma terhadap berbagai hal. Keberanian untuk eksplor diri ke orang lain muncul setelah satu kesempatan dihabisi secara membabi buta oleh ayah sampai kacau seisi rumah gara-gara aku katanya, kebetulan waktu itu smp, dan rasanya pola yang diciptakan si ayah ini membosankan buat menanamkan kenenaran, lalu aku cari orang lain. Oke, masalah orang tuaku sendiri dari hati sudah lama aku maafkan meski gengsi mereka menghalangi bicara. Kuanggap aku menemani mereka mendewasakan diri. Tapi ya tetap saja tak banyak berubah, si ibu yang tak bisa mendengar dan menanggapi dengan baik serta si ayah yang benar-benar iblis.
Menikah dan memiliki anak bukan perkara sepele, bukan mengenai diri kita melulu. Ini sungguh menyangkut nyawa lain, akal lain, ide lain, akal-budi lain. Apa lagi bagi anak, orang tua--kalau di Asia--adalah variabel penentu terbesar. Sementara ia adalah hamba Tuhan yang dititipkan pada kita. Sejujur-jujurnya ini bukan tanggung jawab main-main. Simpangan jalan destruktif, over-protektif, amoral, dan bodoamat sungguh seperti magnet di mana banyak hubungan orang tua pada anak terjerumus dan merusak pola berkembang kedua belah pihak. Balancing adalah pr terberat sepertinya, entah. Kesiapan mental yang matang, finansial, penguasaan pola-pola psikis praktis, empati, keterbukaan pikiran, simpati, daya tahan, serta kebijaksanaan sepertinya menjadi modal inti dalam menikah-beranak. Lalu masalah utamanya di mana? Semalaman kutelisik, kesalahan terbanyak sepertinya di sub bab "meredam ego". Bukan perkara besar memang bila sudah dibiasakan sebelumnya. Tapi bayangkan semacam ini, Anda punya sebuah urusan yang hancur seketika dan hampir merusak karir Anda, perlu solusi cepat dan wara-wiri yang melelahkan. Lalu di tengah hectic-nya isi kepala, pasangan Anda secara mental butuh sentuhan sosial, dan berceritalah ia mengenai kesehariannya. Lalu karena kepala Anda hampir meledak, hal itu sungguh tak amat penting dan membuang waktu sekali. Lalu ego yang dikedepankan? Ya, kata-kata menyakitkan akan secara otomatis keluar dari mulut dan ke belakangnya menciptakan trauma-trauma kecil. Sungguh tidak menyenangkan. Belum lagi urusan dengan anak yang hal sepele saja akan membawa dampak ke masa depannya yang sangat jauh.
Kalau kata Wak **** yang menurutku berhasil membawa kehangatan keluarga, "komunikasi yang enak perlu dibiasakan". Beliau ini senior saat ikut jadi kernet dulu, kalau menahan emosi wajahnya senyum. Sangat disayangi mertuanya.
Yo, minum yoghurt yoo.
0 notes