#jadi bijak sekali
Explore tagged Tumblr posts
Text
--- Berhenti mengandalkan kemampuan diri sendiri ya. ☀️
⠀
------------------
⠀
👉🏻 Mau dapat 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏-𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒓𝒊𝒌 𝒍𝒂𝒊𝒏𝒏𝒚𝒂? Follow @𝙖𝙧𝙞𝙤𝙖𝙜𝙞𝙤 yah.
⠀
🧒🏻 Jadi pribadi yang lebih baik setiap harinya.
⠀
𝚆𝚒𝚝𝚑 𝚝𝚘𝚗𝚜 𝚘𝚏 𝚕𝚘𝚟𝚎,
ᗩᖇIO ᗩ. ᘜIO
#tulisanku#bijak#bijaksana#bijaksana sekali#katakatabijak#yakin#positif sekali#sebuah tulisan#lagi lagi menulis#jadi baik#jadi bijak#untuk direnungkan#sebuah renungan#renungan#redemption#quotes#positivity#positive quotes#positive#self love#penulismuda#motivasionline#semoga sukses#jadi bijak sekali#katakata#sebuah kalimat sederhana#sederhana sekali#kalimat bijaksana#katakatadewasa
0 notes
Text
Cara Pandang Baru Saat Dewasa
Menuju dewasa yang kemudian melihat kehidupan ini bergeser Point of View-nya " 1. Mulai memahami kalau nggak ada yang terlambat dalam hidup, selama kita masih hidup. Itu adalah takdir terbaik yang kita miliki, kalau kita baru memulainya sekarang karena memang sekarang saatnya, bukan karena kita terlambat. Namun, itulah perjalanan hidup kita. Jadi, jangan takut kalau orang lain udah sampai mana, kitanya baru mulai
2. Belajar untuk merasa cukup. Dunia ini nggak ada ujungnya kalau dikejar. Nasihat terbaik yang kudapatkan di umur 34 ini adalah kalau kita gagal satu dua hal terkait urusan dunia, kita masih bisa ngulang. Tetapi kalau gagal di akhirat, ngak akan bisa ngulang buat memperbaikinya.
Rezeki kita itu cukup, tapi nggak akan cukup buat ambisi dan ketakutan kita akan kemiskinan. Ya Allah, kita berdoa setiap hari biar dikasih hati yang benar-benar terus bisa merasa cukup. Biar nggak hasad sama orang, nggak iri sama rezeki orang lain, dan lebih bersyukur sama apa yang kita miliki sekarang.
3. Pondasi agama sangat penting. Sebagai generasi yang tumbuh di lingkungan yang biasa-biasa aja dalam beragama, dulu di sekolah negeri juga agama tidak menjadi materi yang prioritas. Di umur sekarang dan menjadi orang tua, baru ngerasa banget kalau pondasi agama sedari kecil itu penting sekali sebagai panduan hidup. Agar melihat dunia ini lebih bijak dan prioritas hidup lebih benar dan terarah.
Mungkin itu yang bikin sebagian besar orang tua di generasiku sekarang yang milih anaknya sekolah di sekolah berbasis agama. Sebab di fase dewasa ini, sadar jika pemahaman hidup atas landasan spiritual ini yang benar-benar menyelamatkan diri dari masalah-masalah anxiety (kecemasan), feeling lonely (kesepian), depresi, dan beragam isu kejiwaan lain. Itu yang kurasain.
4. Belajar jujur sama diri. Badan itu pasti punya sinyal tertentu sebagai respon terhadap situasi/hal yang lagi jadi beban pikiran. Jangan sampai dzalim sama diri sendiri karena hal-hal yang sebenarnya bisa diputus tapi tetap dipertahankan karena rasa nggak enakan. Dan berujung pada langganan IGD, obat antidepresan, dan segala macam.
Jangan lupa menolong diri sendiri dengan kejujuran. Dan jangan takut buat minta tolong ke orang lain, ke profesional, dsb. (c)kurniawangunadi
936 notes
·
View notes
Text
Terperangkap Dalam Lift💦
.
Lift kat kolej aku memang selalu rosak. Aku pernah sekali dulu terperangkap dalam lift kira-kira 15 minit. Memang sesak nafas aku. Lampu terpadam. Air-con juga mati. Aku hampir lemas lebih-lebih lagi dengan bau perfume sorang budak pompuan yang kuat menusuk hidung.
Aku rasa cam nak pengsan. Aku rasa memang aku dah tak boleh nak bertahan. Nasib baik tak lama lepas tu pintu lift terbuka semula. Bila aku keluar aku jalan macam nak melayang. Penung student berkerumum tengok pak guard tu cuba bukak lift.
Pagi tadi sekali lagi kejadian tu berulang. Nasib tak baik kene pulak kat aku. Tapi air-con masih ada dan lampu tak terpadam. Hampir satu jam aku terperangkap. Aku tekan loceng kecemasan banyak kali tapi tak ada respon dari sesiapa. Lepas 20 minit baru ada suara dari intercom yang mintak aku bersabar. Dalam tu Cuma aku dan sorang lagi budak kolej aku. Aku tak kenal dia.
Aku tanya dia macam mana ni? Dia jawab, entah. Makin lama makin panas. Aku dah tak tahan. Nafas pun makin sesak. Budak lelaki tadi dah bukak baju sebab tak tahan panas. Sape suruh pakai baju sejuk tebal berlagak macam kat London! Aku duduk sandar kat dinding lift. Aku lunjurkan kaki. Aku dah tak larat lagi. Hampir setengah jam pintu lift masih tak terbukak. Suara dari intercom asyik bertanya kami ok ke tak. Aku tak tahan aku jerit kuat-kuat cepatlah sikit
Aku mula la nak naik angin. Bukan sekali dua lift ni rosak. Walaupun aku baru kena 2 kali, tapi lift ni memang dah banyak kali rosak. Dah ramai yang pengsan sebab tak boleh bernafas dalam lift ni dekat 2 jam.
Tengah aku merungut-rungut tiba-tiba budak lelaki tu datang dekat kat aku terus pegang tetek aku. Aku tercengang. cantik breast awak, saya suka… aku rasa nak terajang budak tu. Aku tengah panas, sesak nafas macam ni dia boleh buat macam tu.
Memang badan budak tu berketul-ketul. Sexy. Tapi keadaan dalam lift tu buat aku takde rasa ghairah. Aku abaikan aje dia lantak la dia nak bukak baju ke ape. Tapi ni dah sampai sentuh-sentuh tetek aku ni ape cerite!!!
Dia masukkan tangan dia dalam baju aku dari atas. Memanglah ruang dada aku terdedah. Bila dia ramas tetek aku, tiba-tiba aku rasa ghairah. Aku rapatkan bibir aku kat bibir dia. Nasib baik dia paham. Sempat jugak kami kulum lidah sebelum suara kat intercom tu tanya lagi awak berdua ok ke?
Sambil jawab ˜ok™ tu budak tu (sampai sekarang aku tak tau nama dia, lupa nak tanya) makin berani. Kami terus bergomol. Dia tanggalkan kancing bra aku supaya senang nak selak. Dia nyonyot tetek aku dengan gigitan lembut kat puting. Lidah dia bermain disekitar puting aku.
Memang pro budak ni. Gayanya bukan pertama kali. Mesti kaki mantat ni. Aku biarkan je dia buat ape-ape sebab aku pun dah naik syok. Pantat aku pun dah mula basah. Aku tanggalkan seluar dalam aku, masukkan dalam beg. Dia paham. Cantik la tu! Dia bukak zip seluar dia keluarkan batang dia. Nampak kelakar. Pakai seluar siap dengan tali pinggang harley Davidson, tapi konek terkeluar.. hehehe….
Dia pusingkan aku kebelakang. Aku tonggeng sikit dan selak skirt keatas. Dia tujah aku dari belakang. Main sambil berdiri pun jadi la. Asal dapat.. hahah..
Dalam posisi dia yang kat belakang aku tu, tangan dia sempat lagi peluk aku dari belakang. Makin lama makin turun tangan dia kebawah. Sambil tujah lubang pantat dari belakang sambil gentel bijik kelentit aku.
Bijak! Dia bisik kat aku… banyak air awak…. aku diam je. Malas nak borak. Dia goncang kuat sampai aku tertunduk-tunduk. Kami projek tanpa suara takut orang boleh dengar dari intercom. Confirm la takde camera, kalau ade tak kan la dorang kat luar tu tanya berapa orang kat dalam tadi. Kejap je. Tak sampai 10 minit dia goncang dah pancut. Kelam kabut dia tarik keluar konek dia dari lubang pantat aku pancut kat penjuru lift. Pekat keputihan air dia. Berketul-ketul. Lama tak dapat kot
Suara dari intercom tanya lagi œawak berdua ok ke? macam tadi jugak kami jawab la ok. Ok sangat. Dekat 45 minit dah terperangkap dalam lift bodoh ni. Siap satu round pun tak bukak-bukak lagi lift ni. Aku diamkan diri. Aku malu nak pandang dia apalagi nak berborak tanya nama atau contact number. Dia pun lepas zip seluar, pakai balik baju dia, lepas tu sandar kat dinding, cangkung tanpa sepatah kata.
Dekat-dekat 10 minit lepas projek tu lift pun terbukak. Kawan-kawan semua serbu aku. Ada yang bagi mineral water sebab tau aku panas dan dahaga (sape penah terperangkap dalam lift taulah macam mana rasa). Aku masuk kelas macam biasa, lupakan peristiwa tu dan aku tak tau pun dia kelas mana, nama sape, duduk mana, umur berapa, lantaklah…. Janji sedap
-Tamat-
268 notes
·
View notes
Text
Gumregah Tarbiyah
Gumregah artinya bangkit dan tarbiyah adalah dakwah yang menitikberatkan agenda pembinaan menuju ketakwaan dan potensi terbaiknya.
Maka slogan Gumregah Tarbiyah adalah bentuk ikhtiar untuk membangkitkan kembali agenda pembinaan agar lebih dinamis dan muntijah untuk masa depan dakwah.
Sebelum itu, kita perlu mengingat kembali apa itu dakwah ammah dan dakwah khos.
Tak bisa dipungkiri, kajian-kajian anak muda hari ini begitu kreatif lagi mengasyikan. Ini baik agar dakwah tetap relevan dengan mad'u sekaligus menjadi ajang fastabiqul khairat antar harokah dakwah. Dakwah model ini masuk kategori dakwah ammah.
Sedangkan kalau kita berbicara tentang keberlanjutan dakwah, perlu adanya 'penggerak' dakwah yang memiliki pemahaman dan kemauan bergerak. Membentuk kader dakwah tak cukup dengan kajian-kajian klasikal saja, perlu adanya sistem pembinaan yang berkesinambungan dan rutin.
Kita mengenalnya dengan halaqah/mentoring/MK Khos. Dakwah seperti ini masuk kategori dakwah khos (khusus).
Sebagai awalan, bisa nonton video ini dulu :
youtube
Gumregah Tarbiyah ini adalah semangat Para Asatidz untuk menghidupkan kembali semangat membina di momentum Hari Kebangkitan Nasional Mei lalu.
Ada beberapa hal penting yang bisa saya tangkap :
1. Perubahan Zaman
Perubahan zaman tak boleh menjadi kambing hitam dari perubahan karakter manusia. Kita harus beradaptasi.
Menyikapi perubahan itu harus dibangun dengan pemahaman yang dalam, dimulai dari komunikasi generasi agar tak muncul pernyataan seperti :
"Generasi hari ini tak semilitan dulu"
"Generasi lama itu kolot, tak tahu kondisi lapangan"
Pernyataan seperti itu hanya memunculkan friksi generasi dan dakwah tidak menjadi muntijah.
Lebih lengkapnya baca disini :
2. Perkuat Literasi
Memang literasi (membaca buku dan menulis) adalah harga mati. Dengan terbiasa melakukan itu, analisis dakwah menjadi bijak, memunculkan keresahan bergerak, dan kita tidak gumunan atau fomo untuk menyesuaikan metode dakwah.
3. Agar Semangat Membina
Di buku Gumregah Tarbiyah, Ust. Cahyadi Takariawan menjelaskan 2 hal penting agar kita semangat membina : Kemauan dan Skill.
Soal skill itu bisa dibangun dari dauroh tematik atau pelatihan eksternal. Tapi kalau tidak dibarengi dengan kemauan ya sama saja.
Untuk menumbuhkan kemauan harus dibangun dengan literasi dan sehatnya kelompok pembinaan kita juga. Literasi untuk memunculkan keresahan, pembinaan kita sendiri sebagai sarana penguatan. Bagaimana mau membina kalau tidak dibina?
Kalau urusan kemauan sudah selesai, soal skill bisa learning by doing. Tinggal kapan kita mau memulai.
Ustadz Sholikin dalam buku Back To Tarbiyah menekankan mulailah dari lingkaran terkecil, satu, dua orang, tiga orang, namun produktif.
Kita tidak akan tahu dari sedikit orang itu jadi apa di masa depan. Kalau bingung mau menyampaikan apa, mulailah dengan nasihat para alim terdahulu, sirah nabawiyah, pengingat amal yaumi, atau cukup dengarkan keluh kesah mereka. Barangkali mereka hanya ingin didengar.
Dimulai saja, niatkan hati ikhlas, ingatkan untuk senantiasa dekat kepada Allah dan RasulNya.
Terakhir, mengutip dari kredo Gontor :
Metode itu lebih penting dari materi ajar, dan guru lebih penting dari metode, tetapi ruh (jiwa) seorang guru itu lebih penting dari guru itu sendiri.
Jadi, selamat membina, selamat membangun peradaban!
#abamenulis#menyambutkemenangan#seperempadabad#mengerikan#catatankemenangan#dakwahkampus#pemudaislam#ceritabukuaba#monologpemimpin
28 notes
·
View notes
Text
Hidup yang Begini-Begini Saja
Aku sering berpikir, sepertinya poin paling besar yang menjadi pembeda seseorang dengan orang lain adalah dirinya sendiri; ceritanya, perjalanannya dan kompleksitas cara berpikirnya. Itu kenapa aku sering sekali merasa seharusnya aku menuliskan ceritaku, perjalananku, dan semua huru-hara hidup yang membuat jatuh bangun.
Namun di sisi lain, masih sering sekali skeptis sama diri sendiri; 'Memang apa yang kau tawarkan dari cerita itu? Hei, lihat dirimu, masih saja terlunta-lunta urusan hidup.' Tapi, itu menariknya kan? Kita sering melihat, cerita duka hanya dibaca jika disampaikan oleh orang yang sudah bersuka ria. Cerita sedih dilirik jika sudah ada titik bahagia. Kegagalan didengarkan saat ada kesuksesan yang turut bisa dijual. Lalu kenapa kita yang seringnya merasa masih begini-begini saja, bersusah payah untuk didengarkan dengan berbagai strategi dan upaya, padahal kisah sendiri adalah kisah yang tiada duanya. Tapi sebenarnya apa itu menjadi begini-begini saja?
Uang? Kekuasaan? Kecantikan? Popularitas? Semua itukah yang membuat kita menjadi seseorang? Atau terlalu naif kita untuk memahami, bahwa banyak hal yang terjadi dalam hidup ini meski tanpa semua itu.
Aku tak cukup bijak untuk mengambil kesimpulan, tak cukup lainnya untuk didengarkan, namun ayolah, untuk diri sendiri setidaknya kita mau menerima dan mengerti, bertahan sejauh ini menjadi seseorang yang memahami kebaikan bukankah sebuah pencapain? Mari sama-sama hitung orang di sekitar kita, berapa hati yang menghilangkan kebaikan dalam dirinya demi semua hal yang sifatnya materi itu? Bahkan tanpa sadar kita sering melakukannya.
Pemahaman ini, pelajaran ini, bisa jadi sesuatu yang diketahui banyak orang. Tapi ada saja alasan yang digunakan untuk memaklumi bahwa adil menjalani kehidupan yang penuh kelicikan dan kepura-puraan demi semua pencapaian yang hingar bingar. Sehingga hadirlah sentimen bahwa menjadi seseorang yang berintegrasi dengan kejujuran, kebaikan dan prinsip menjalani hidup tidak seperti orang kebanyakan menjadi sebuah pilihan yang terlalu naif. Sayangnya aku juga pernah percaya itu.
Pada satu titik aku juga pernah menjadi si orang paling stress bahkan depresi akan hidup yang masih begini-begini saja. Melihat kiri kanan yang penuh dengan pencapaian, mendengar depan belakang yang penuh tekanan. Titik yang akhirnya membuat diri tak hanya stagnan dalam bergerak namun juga berhenti dalam berpikir. Hanya karena agar sama dengan orang lain, agar diterima di semua kalangan, dan agar-agar lain yang kalau kupikirkan sekarang, untuk apa?
Mungkin jika tidak melalui semua itu tak banyak yang kupelajari soal hidup. Mungkin hidup yang begini-begini saja adalah pengalaman yang tidak sembarang orang miliki, jadi kenapa harus merasa bahwa tak ada hal yang bisa kuceritakan sebab aku masih begini-begini saja?
Aceh, 02 Mei 2024
116 notes
·
View notes
Note
Mas Herri, bagaimana menjaga komunikasi dengan seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan dan pemahaman yang berbeda dengan kita, sehingga percakapan tetap nyambung dan nyaman?
KOMUNIKASI DENGAN LATAR BELAKANG DAN PENDIDIKAN YANG BERBEDA
Saya jawab cukup panjang ya.
Bagi saya, dua hal paling penting dalam komunikasi itu terletak pada “kemampuan” dan “kemauan”. Kemampuan itu artinya kita memahami teknik, strategi, etika, kosakata, juga hal-hal yang bersifat interaktif. Kemampuan ini dipelajari atau setidaknya pernah dialami lalu dijadikan pelajaran. Sementara kemauan artinya kita punya ketertarikan untuk membangun komunikasi. Modalnya hanya niat.
Ada orang yang kemampuan komunikasinya bagus, tapi dia tidak mau, ya percuma. Kapabilitas komunikasi dia tidak akan maksimal. Sementara ada yang punya kemauan tinggi, tapi tidak punya kemampuan, ini jadinya blabbering dan sering kali disebut “tidak nyambung”. Tidak nyambung itu bukan melulu soal topik pembicaraan, tapi koherensi antara kemauan dan kemampuan. Namun, tidak punya kemampuan ini masih lebih baik ketimbang tidak punya kemauan.
Kalau diturunkan, ada dua hal yang saya selalu pegang teguh agar komunikasi bisa nyambung meski berbicara dengan orang yang punya latar belakang atau pemahaman yang berbeda. Pertama, mendengarkan. Kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan ini jadi kunci paling penting dalam komunikasi. Dengarkan apa yang orang sampaikan hingga tuntas; jangan memotong pembicaraan; jangan merasa sok tahu meski sebenarnya kita sudah tahu; berikan wajah yang serius dan antusias; beri respons yang menunjukkan kita benar-benar mendengarkan dengan penekanan seperti sisipan. Orang akan memahami gestur yang kita berikan dan dia akan memberikan respek kembali. Di situ, etika dan komunikasi akan berjalan meski berbeda pandangan atau tidak nyambung sekalipun.
Kedua, merespons. Berikan umpan balik yang memancing rasa ingin tahu atau mencoba mendapatkan jawaban. Meski kita tidak tahu topik tersebut, tidak mengerti istilah-istilahnya, atau sama-sekali blank. Minimal dengan pertanyaan 5W1H. Bahkan, pada topik yang kita sudah kuasai sekalipun, tidak perlu arogan menunjukkan atau bahwa mengoreksi omongan orang lain jika itu tidak diperlukan. Tetapi berikan respons positif dan anggap kita baru belajar akan hal tersebut.
Saya belajar banyak dari bertemu dengan warga, pemuda, dan anak-anak di pelosok. Saya paham betul bahwa kita punya banyak perbedaan latar belakang. Semakin saya mendengarkan mereka, semakin saya sadar bahwa perbedaan itu bukan soal “tinggi”, “rendah”, “jauh”, “dekat”. Tapi memang kita berasal dari dunia yang berbeda. Saya harus bisa menggunakan “bahasa” komunikasi mereka, bukannya justru saya berharap mereka menyesuaikan dengan apa yang saya pahami. Saya jadi lebih banyak mendengarkan dan terus memberikan respons ketertarikan. Ternyata ini membuat saya makin bijak dan voila mendengarkan itu ternyata seasyik itu. Kita tidak perlu merasa paling tahu, tidak perlu menghakimi, atau bahkan tidak sempat berpikir merendahkan lawan bicara.
Pernah suatu hari, di momen pembukaan relawan saya dengan masyarakat Lombok Utara. Ada satu mahasiswa yang terpilih sebagai koordinator rombongan relawan. Sewaktu interview memang dia yang paling cakap bicaranya, antusias, dan bisa memoles kata-kata. Nilainya juga paling tinggi, sering ikut kegiatan volunteer, dan dapat peluang fully funded. Di momen sebelum acara dimulai, saya dan dia duduk bersebelahan. Saya ingat betul dia bilang begini, “Bang, ajak ngobrol (kepala desa), ya! Saya takut ga nyambung.” Kaget saya. Dia jauh-jauh datang dari Jakarta, katanya ingin mengembangkan diri, mengabdi, dan berkontribusi. Tapi berbicara dengan warga takut tidak nyambung. Di momen itu saya langsung menghakimi, “Salah pilih orang ini kayaknya.” Jujur, saya tidak butuh anak muda yang mentalnya begini. Saya lebih respek dengan mereka yang mau belajar dan inisiatif untuk mengambil pelajaran. Bukan tipikal arogan begini. Alih-alih dia mengambil sisi positif dengan berbincang dengan kepala desa, dia memilih untuk lari. “Takut ga nyambung,” searogan itu.
Itu yang saya maksud di awal bahwa secakap apapun kemampuan berkomunikasi, kalau tidak punya kemauan dia akan jadi menyebalkan.
Mungkin segini dulu jawaban saya untuk Anon. Maaf cukup panjang karena memang semenarik itu.
11 notes
·
View notes
Text
Dapat Amanah? Bawa Happy ajaa :D
Oiya, disclaimer: saya berlatar belakang HRM, bukan seorang psikolog, tulisan dibawah tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat profesional. Hanya pov dari kacamata praktisi HR. Selamat membaca!
Statement "Dapat amanah? Dibawa happy aja!" rasa-rasanya mulai rutin saya gaungkan saat berkesempatan mengisi di forum-forum upgrading pengurus baru. Lebih khususnya kepengurusan organisasi pasca pandemi.
Gen Z yang seringkali mendapat stereotipe "strawberry" (terlihat indah dari luar tapi lembek dari dalam) menjadi pembenaran generasi lama dalam menyoroti fenomena 'menolak amanah' ketika mencari sosok penerus mereka.
Amanah yang sering kali identik dengan satu momok yang berat; dari menyita tenaga, waktu, bahkan biaya, seringkali menjadi ketakutan tersendiri (bahkan termasuk mereka yang baru saja dilantik). Tidak heran, jika banyak yang akhirnya menolak ketika ditawarkan, meskipun di sisi lain dari dunia ini ada yang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Just another case :D
Memang, amanah pada dasarnya satu hal yang berat, bukan hanya pada saat proses saat menjalankannya yang seringkali menuntut banyak hal, tetapi juga pada saat pertanggungjawaban baik yang dunia maupun akhirat. Akan tetapi, bukan berarti ketika qadarullah 'kehendak' itu sudah sampai pada diri, harus dijalani dengan penuh ketegangan sampai akhir periode, kan? I mean, let's go with the flow and just enjoy the moment :D
Salah satu fenomena yang sering kali saya jumpai ketika pengurus baru telah dilantik biasanya mereka mengalami yang namanya inferiority complex.
101 Inferiority Complex
WHAT - Apa sih Inferiorty Complex itu?
Istilah ini mulai dikenalkan seorang psikolog ternama Alfred Adler asal Austria pada awal abad 20, merujuk pada perasaan 'tidak mampu' atau 'kurang' dibandingkan dengan orang lain. Fenomena ini terjadi di awal masa kepengurusan 1-3 bulan pertama bahkan hampir masuk 1 semester! Fenomena tersebut, salah satunya termanifestasi dalam ucapan "Harusnya dia mbak atau mas, bukan aku". Satu kondisi atau curhatan yang begitu lumrah saya dapati selepas mereka dilantik.
Kata Alfred Adler, "Setiap orang memiliki perasaan inferioritas. Perasaan ini normal dan sehat. Yang menjadi masalah adalah ketika perasaan ini menjadi berlebihan dan mencegah kita untuk mencapai tujuan kita." nah ini yang jadi PR!
WHY - Faktor penyebabnya?
Alfred Adler berpendapat, bahwa perasaan ini muncul karena kurangnya pengalaman menguasai tugas atau mencapai tujuan di masa lalu. Bisa juga karena trauma masa lalu, ekspektasi berlebihan terhadap diri sendiri, gaya asuh yang kurang, dsb. Sehingga menjadikan apapun (teurtama hal baru) menjadi sesuatu yang seolah 'mustahil' untuk diraih dengan sempurna.
Oleh karenanya, meskipun (dalam konteks organisasi) hal ini menjadi satu hal yang wajar atau normal, tetapi harus segera disikapi. Bukan hanya tentang 'nasib organisasi' tetapi juga tentang kamu, tentang dirimu dan masa depan.
HOW - Bagaimana caranya?
Pada beberpa kasus, mungkin hal ini bisa diselesaikan diri sendiri, semisal coba untuk lebih fokus pada eksplorasi kelebihan atau nilai yang kita miliki, mengurangi pikiran-pikiran negatif, membangun relasi positif, dsb.
Atau kenapa tidak bangun mindset bahwa dengan amanah ini justru menjadi sarana eksplorasi diri? Mencari missing dots dalam kehidupan ini lalu connect them each other?
Yah, meskipun sekali lagi saya tekankan, jika ini berlanjut menghubungi profesional semacam psikolog atau psikiater menjadi opsi bijak yahh.
Conlusion - Jadi apa intinya?
Seringkali kita ini terjebak pada asumsi-asumsi diri yang tak bertepi, konotasinya seolah selalu buruk pada setiap capaian diri. Belum mencoba sudah takut duluan. Padahal apa yang salah dengan kegagalan? Bukankah kegagalan adalah sebab terbaik untuk kita ingin berubah lebih baik?
Terkadang kita ini terlalu keras dengan diri sendiri. Pada kesalahan orang lain kita maklumi, sedang pada diri sendiri kita begitu sukarnya memaklumi. Secara tidak langsung kita seolah menihilkan ruang untuk berbuat salah dan evaluasi, padahal itu merupakan serangakain fase belajar dan bertumbuh.
Maka dari itu, ketika amanah sudah 'diberikan', tugas selanjutnya adalah cukup jalankan semampumu. Itu saja. Kita tetap sadar, bahwa kita punya kekurangan, tetapi setidaknya biarkan kita mencobanya dulu, sembari kita berbenah pada hal-hal 'teknis' di tengah jalan.
Pun sebenarnya, tawaran itu diberikan bukan ditunjuk ala kadarnya, tetapi betul-betul dipertimbangkan karena track recordmu, kapabilitasmu, dsb. So kalau mereka saja percaya kamu, kenapa kamu enggak? ~ Jadi semangat!
23 notes
·
View notes
Text
Kejamnya Ibu Tiri, Tak Sekejam Pay Later!
Sebuah Bom Waktu,
Duluu, orang-orang nggak punya duit buat beli beras, dia datang ke warung. Kas bon, Beres, bawa pulang beras. Begitu Juga garam, gula, minyak. Daripada anak-anak tidak makan, ndak apa-apalah kas bon dulu. Terdesak.
Tapi pada hari ini, dengan kemajuan teknologi, kas bon berubah wujud menjadi: pay later. Dan lebih massif dampaknya. bukan hanya buat beli sembako. Tapi Orang-orang bahkan bisa 'kas bon' buat beli HP baru “padahal HP lama masih bagus”, beli baju yang padahal ndak perlu-perlu amat, sepatu-sendal, beli tiket buat plesiran juga bisa, dan semua keperluan konsumtif-gaya hidup. Bahkan sampai perkara jajan dan makan. “Ingat itu tidak terdesak!”
Tapi sadarilah, Kawan. Mau apapun istilahnya, pay later ini utang.
Dan serius kawan, semoga kita tidak perlu mengalaminya, ketika pay later ini dengan kejam mengubah hidup kita semua. memang ini bukan pinjol, tapi daya rusaknya sama. Jika kita tidak bijak, tidak berhati-hati, sibuk klak-klik sana-sini, tiba-tiba penghasilan bulanan kita habis begitu saja untuk bayar pay later. Pay later itu pinjaman atau ngutang dengan suku bunga tinggi.
Wahdeeh, kita tertipu sekali jika merasa cicilannya ringan, ada promo, dan diskon-diskon menarik lainnya. Perkara paylater itu ngaweri, sesungguhnya nggak sesimpel itu rumusnya.
“Memangnya dikira yg punya duit baik hati gitu? Endaak!.”
Traveloka misalnya, bunga pay later: 2,55% sampi 4,8% per bulan.
Alias, bisa tembus 50% per tahun. Jika kita utang 10 juta, kita cicil setahun, itu sama saja dgn beli barang itu 15 juta. Belum lagi jika aplikasi mengenakan biaya admin 2%, layanan 2%, dll. Maka, diskon di awal yang seolah menggiurkan, dapat 10% misalnya, sama saja bohong.
Jadi, singkat cerita, berhati-hatilah menggunakan pay later.
Asal pakai paylater berarti sama saja sedang sadar "menggadaikan masa depan". Iya kalau masa depan kita lebih baik, gaji naik, karir naik, jika ternyata dipecat, PHK, gaji mentok, harga-harga naik? Kita justru menimbun bom waktu. “meledak”
Terus apa solusinya kalau terlanjur? Segera lunasi pay later itu. Bila perlu makan nasi-garam saja, yg penting pay later lunas. Setelah lunas, jangan lagi suka ngutang. Tahan semua keinginan konsumtif-mu. Kita itu ndak akan mati gara-gara ndak ganti HP, beli ini, beli itu kok.
Kalau pun perlu uninstall sekalian aplikasinya, larisin toko tetangga saja. Luweh manfangat!
18 notes
·
View notes
Text
Ternyata, Lewat Dia
Satu pagi di pertengahan tahun lalu, aku memulai hari dengan kelas pekanan ba’da subuh. Lalu guruku menyebutkan nama seseorang. Kemudian dari nama itu kutemukan banyak informasi — yang ternyata menyakiti diriku sendiri.
Di usia yang sama bagaimana bisa dia telah begini dan begitu? Apa salahku sehingga hidupku terhenti dan semua sisi seolah terus menghimpitku?
Di sudut kamar itu aku menangis sejadi-jadinya, baru kusadari bahwa pencapaian manusia bisa sebegitu menyakitkan untuk dibaca.
Lalu nama itu menjadi nama yang kuhindari.
Namun pena telah diangkat dan lembaran telah kering. Aku dan nama itu kembali beririsan. Kali ini irisan yang amat dekat dan tak mungkin kuhindari.
Perasaan kerdil itu muncul lagi, seolah-olah aku dan dia sedang berlomba dan aku yang kalah.
Padahal aku tidak sedang berlomba dengan siapapun kecuali diriku sendiri.
Tapi pertemuan demi pertemuan membuat kami saling mengenal hingga jadilah kami bersaudara.
Ternyata, lewat dia ada banyak sekali pertanyaan yang terjawab. Lewat dia, aku tersadar bahwa keresahan apapun yang kupunya tidak pernah mendefinisikan siapa diriku sebenarnya.
Lewat dia aku jadi kembali bertanya kepada diriku sendiri, jika benar tujuannya adalah ridho Allah, jalurnya boleh apa saja kan?
Maka aku hanya perlu terus bergerak dan berdoa semoga gerakku membawa dampak.
Tulisan ini akan kututup dengan nasihat seorang bijak;
“diantara indikator capaian salimul aqidah adalah kita tidak lagi terpenjara di dalam jeruji ketakutan akan masa depan.”
Aulia kepada Aulia
7 notes
·
View notes
Text
𝕶𝖎𝖘𝖆𝖍 𝕾𝖈𝖆𝖓𝖉𝖆𝖑 🔞:
Perbuatan ku bersama kak Timah tidak berakhir di situ. Sekali-sekala, kak Timah datang ke rumah ku dan kami akan bermesra-mesra hingga air mani ku membasahi kain batiknya. Kadang kala aku tidak melancap di bontotnya, tetapi kak Timah melancapkan batang ku dengan menggoncangkan batang ku menggunakan tangannya yang dibaluti kain batik lusuhnya yang lembut. Namun, lumrah manusia, diberi betis nak peha. Akhirnya kak Timah berzina juga dengan ku.
Persetubuhan yang kami lakukan memang sungguh menikmatkan. Dapat juga aku merasa tubuh montok bini orang kampung yang berbontot besar dan montok itu. Walau pun kami tidak pernah bersetubuh telanjang, hanya dengan menyelak baju dan kain batiknya sahaja sudah cukup membuatkan persetubuhan kami hangat. Kak Timah tahu aku meminatinya kerana bontotnya. Akhirnya dapat juga ku nikmati dubur kak Timah dan membenihkan lubang najisnya yang empuk berlemak itu. Pertama kali aku melakukannya, air mani ku keluar tidak sampai seminit. Ianya gara-gara terlalu ghairah kerana mendapat apa yang selama ini aku idamkan. Setakat air mani ku memenuhi lubang nonoknya sudah menjadi perkara biasa. Malah, seorang bayi turut terhasil dari perbuatan sumbang kami berdua.
Kak Timah yang sentiasa sudi melayan nafsu ku dan curang kepada suaminya semakin hangat di atas ranjang. Dia semakin bijak mengetahui apakah keinginan ku dalam permainan nafsu. Bontotnya yang aku idam-idamkan dan selalu ku puji dan stim kepadanya menjadi medan persetubuhan yang paling kerap aku nikmati. Malah sekiranya masa tidak mengizinkan atau kami kesuntukan masa, tetapi tetap inginkan persetubuhan, kak Timah tahu bagaimana hendak melakukannya.
Dia akan hisap batang ku dulu dan kemudian dia akan menonggeng di mana-mana saja yang sempat dan tersembunyi, selak kain batiknya dan aku pun jolok duburnya. Pernah kami melakukannya di majlis gotong royong di balairaya. Kami sempat melencong di dalam kebun pisang. Pokok pisang kebun Haji Jamil menjadi tempat kak Timah berpaut sementara aku menikmati lubang bontot lebarnya yang sedap dan berlemak itu. Bergegar lemak-lemak yang melebarkan dan membesarkan bontot bini orang tu. Memang sedap. Tak hairanlah setiap kali main bontot memang tak pernah pancut luar. Sedap sangat lepas dalam.
Selain kak Timah aku juga dah merasa tubuh montok dan gebu milik kak Esah. Bini orang yang selalu gersang itu aku nikmati tubuhnya sewaktu aku dalam perjalanan ke rumah ketua kampung melalui jalan pintas yang melalui kebun-kebun. Kak Esah kira sudah berumur juga. Di dalam lingkungan 50-an. Anak-anaknya juga sudah besar-besar dan ada yang lebih tua dari ku. Suami kak Esah terperap di rumah lantaran sakit angin ahmar. Jadi hanya kak Esah dan anak-anaknya yang mencari rezeki dengan membuka kedai makan di tepi jalan besar yang dibuka setiap malam hingga awal pagi.
Biar aku cerita macam mana tubuh gempal kak Esah yang montok tu aku nikmati. Sewaktu aku melalui denai yang merupakan salah satu jalan pintas, aku terserempak dengan kak Esah yang juga sedang melalui jalan yang sama dan juga hendak pergi ke rumah ketua kampung. Jadi kita orang pun berjalan bersama-sama perlahan-lahan sambil berborak-borak. Sewaktu tiba di denai yang kecil, aku biarkan kak Esah jalan dahulu di depan sementara aku mengikutnya di belakang. Semasa tu lah aku tengok bontot kak Esah yang berkain batik tu nampak licin tanpa seluar dalam.
Bontotnya yang besar dan nyata sungguh berlemak lebar itu membuatkan aku geram. Melenggok-lenggok bersama pehanya yang besar. Sambil aku mengikutnya aku merocoh batang aku yang keras dalam seluar sambil mata aku tak henti menontot lenggokan bontot kak Esah. Kak Esah cakap apa pun aku tak perasan sampaikan dia menoleh ke belakang tengok aku sebab aku tak ambil endah apa yang dia katakan. Aku sedar kak Esah menoleh kepada aku yang sedang khusyuk pegang batang dan tengok bontot dia. Aku tengok muka kak Esah, dia senyum je kat aku. Lepas tu aku pun senyum balik kat dia dan akhirnya kita orang pun tiba kat rumah ketua kampung.
Kak Esah memeluk ku dan menarik tubuh ku rapat kepadanya. Dia berbisik bertanyakan adakah sedap menyontot tubuh gemuknya. Aku memberi respon dengan mengatakan ianya sungguh melazatkan. Kak Esah mendesah nikmat dan menyuarakan kesedapannya di jolok batang ku. Suara kak Esah semakin tersekat-sekat.
Kak Esah semakin kuat memeluk ku dan akhirnya tubuhnya terangkat-angkat membuatkan tubuh ku yang lebih slim darinya turut terangkat. Jelas dia sudah mencapai kepuasan batinnya. Bau peluh kak Esah semakin semerbak menusuk hidung ku. Aku bangun dari menindih tubuhnya. Aku minta kak Esah menonggeng di atas tanah yang beralaskan rumput. Kak Esah menonggeng dan aku lihat kain batik di bontotnya basah dengan air nafsunya. Aku selak kainnya dan aku ramas daging bontot kak Esah yang berlemak.
Aku sumbat batang ku ke dalam lubang cipap kak Esah. Aku celup batang aku sekali dua hingga ke pangkal dan aku keluarkan kembali. Aku ludah simpulan lubang dubur kak Esah yang berwarna gelap itu. Aku kuak belahan bontotnya yang berlemak itu bagi membolehkan air liur ku masuk ke dalam duburnya. Aku halakan kepala batang ku ke simpulan dubur empuk bini orang yang berumur itu dan aku tekan sedikit demi sedikit hingga tenggelam kepala batang ku.
Kak Esah merengek dan bertanya kepada ku adakah boleh melakukan persetubuhan melalui jalan najis itu. Aku memberitahunya bahawa sudah tentu boleh dan sememangnya aku bernafsu kepadanya gara-gara bontotnya. Kak Esah memberitahu ku bahawa dia tidak pernah di liwat dan agak takut untuk melakukannya. Aku memujuk kak Esah agar tenang dan biarkan aku saja yang bertungkus lumus. Aku minta kak Esah berikan saja duburnya untuk ku nikmati. Kak Esah agak gugup, namun dia membenarkan.
Aku tekan batang ku hingga seluruhnya masuk ke dalam dubur kak Esah. Melentik tubuh gebunya mungkin sebab pedih sebab pertama kali duburnya di liwat. Aku hayun batang aku di lubang najisnya yang sempit itu. Sungguh sedap rasanya meliwat dubur perempuan berumur yang berlemak itu. Kain batik kak Esah aku selak lagi hingga seluruh bontotnya yang putih dan lebar itu menampakkan gegarannya. Bagaikan belon berisi air, bontot berlemak kak Esah berayun ketika aku menghayun batang ku. Setiap kali batang ku menujah dubur empuk berselulit perempuan kampung itu, semakin sedap ku rasa. Aku menghayun bagai nak gila.
Kak Esah merengek tak henti-henti. Melentik bontot kak Esah dijolok batang aku. Aku hilang kawalan. Bontot berlemak yang lebar itu semakin membuatkan aku ghairah. Aku jolok bontot tonggek bini orang itu semakin laju. Kak Esah mengerang semakin kuat. Akhirnya aku benamkan batang ku dalam-dalam dan ku lepaskan air mani yang berkhasiat dan subur ke dalam dubur kak Esah. Kak Esah merengek sewaktu dia merasakan air mani terpancut-pancut dari batang ku yang tersumbat sedalam-dalamnya di dalam duburnya. Aku perah seluruh air mani ku agar keluar memenuhi lubang bontot bini orang yang kegersangan itu.
Selepas puas memenuhkan lubang bontotnya, aku tarik batang ku keluar. Serentak itu, tanpa aku duga kak Esah mengeluarkan gas aslinya dari lubang bontotnya yang ternganga. Berkali-kali kak Esah terkentut-kentut hingga anginnya dapat ku rasa kuat menghembus batang ku yang sudah terkeluar dari duburnya. Kemudian mengalirlah benih ku keluar dari duburnya setelah ianya sesat tidak menjumpai lubuk peranakan yang boleh dibuntingkannya, sebaliknya hanya najis-najis yang bakal diberakkan sahaja yang dijumpainya. Kak Esah tersipu-sipu malu. Dia berdiri dan membetulkan tudung serta kain batiknya. Ketika itu kak Esah memanggilku dan mengangkat kainnya. Kak Esah menunjukkan sesuatu kepada ku. Dari kainnya yang diangkat, aku lihat air mani ku mengalir turun dari duburnya ke peha dan betisnya. Kak Esah kata air mani ku banyak dan dia kata aku seakan-akan kencing di dalam duburnya.
51 notes
·
View notes
Text
Belum lama ini, gua secara gak sengaja ketemu seorang cowok. Dia kenalan bos gua (sepengakuannya gitu) waktu itu dia cari bos gua, tapi ketemunya gua. Di pertemuan pertama, sikapnya masih biasa-biasa aja. Gua juga biasa-biasa aja. Di pertemuan selanjutnya dia semakin sering tanya-tanya gua. Awalnya pertanyaannya masih wajar-wajar aja, seperti gua tinggal di mana, dan suku apa. Gua juga jawabnya masih biasa-biasa aja. Tapi pas di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Gua ngerasa dia makin intens ajak gua ngobrol.
Meskipun selama ini kisah asmara gua hampir nol, gua gak polos-polos amat untuk nebak dia punya atensi tersendiri sama gua. And yep, i was right coz di pertemuan gua yang terakhir sama dia. Dia nyampein hal itu. Dia tanya kapan gua mau nikah, laki-laki seperti apa yang gua suka, dan pertanyaan-pertanyaan 'menjurus' lainnya. Waktu itu gua jujur gua bilang belum mau nikah, setidaknya tahun ini. Pas dia udah mau pulang, dia bilang:
'oh gitu. Semoga jodoh yah dek...'
gua cuman senyum tipis dan julid dalam hati, "YAH SIAPA JUGA YANG MAU JODOH SAMA ELUU?!"
Terus gua cerita sama bos gua tentang dia, soalnya takutnya nanti cowok itu datang lagi, tapi karena gua udah terlanjur gak sreg sama sikap dia, gua jadi gak sadar berprilaku gak sopan. Gua khawatir dia ngadu yang enggak-enggak ke bos gua. Bos gua awalnya nanya ciri-ciri cowok itu gimana, soalnya gua juga lupa buat nanya nama cowok itu (soalnya gak penting) gua jelasin kan. Terus pas bos gua udah nggeh orangnya yang mana respon bos gua:
"Hah? Bukannya dia udah nikah?!"
And i was like... "KANNNN". Wkwk.
Di awal feeling gua memang udah ngerasa aneh sama dia. Karena merasa 'nih cowok kok terkesan agresif banget even masih di pertemuan pertama??' padahal pas awal dia ketemu gua, pakaiannya kek orang baik-baik gak ada sama sekali pemikiran gua kalau ni orang ternyata cowok yang udah nikah tapi masih aja genit, dan bertingkah seolah dia masih single.
••••
Kemarin malam, gua ke rumah sepupu gua, jengukin sepupu gua yang habis keluar rumah sakit. Di tengah perbincangan dan ketawa-ketawa (di situ posisinya ada gua, tante, sepupu, dan ipar gua) gua spontan aja nanya:
"Papa Cici mana?"
Mereka semua langsung pada diam.
Gua juga langsung ngerasa gak enak dan bertanya-tanya dalam hati ada apa sebenarnya?
Terus ipar gua jawab, "Kamu selama ini saking gak mau tahu urusannya orang lain, sampe gak tahu ya kalau sepupumu ini udah cerai, dan itu udah 6 tahun yang lalu?
Gua sempat mau nanya alasannya kenapa, tetapi karena gua sadar itu bukan lagi ranah gua buat tahu, jadi gua cuman, "hah?" Dan bengong sebentar gak tahu mau bilang apa-apa.
••••
Jujur, semakin ke sini, semakin banyak contoh yang terjadi dan bahkan gua alami sendiri dari seberapa buruknya kualitas laki-laki di zaman sekarang, keinginan buat menikah semakin gak sekuat dulu. Kadang gua juga pengen percaya kalau stok laki-laki baik di dunia ini pasti masih ada. Cuman kalau di sekitar gua kebanyakan laki-lakinya kalau gak brengsek yaa mokondo, gimana gua gak semakin skeptis dari hari ke hari?
Seseorang yang cukup bijak pernah bilang,
"jika kita merasa takut untuk menikah karena melihat begitu banyak figur keluarga gak berhasil, ubah fokusnya. Ubah apa yang kita lihat, perbanyak melihat contoh figur keluarga yang berhasil"
Tetapi pertanyaannya adalah, gimana caranya gua mau ubah fokus gua, kalau di kehidupan gua, lebih banyak contoh figur keluarga tidak berhasil? Pernikahan yang gagal, perceraian, perselingkuhan dan the real cowok mokondo dan brengsek?
Katanya kan kita dikelilingi oleh hal-hal yang mempersepsikan diri kita sendiri. Jadi gua juga bertanya-tanya apa jangan-jangan selama ini gua gak sadar kalau gua ini bukan perempuan baik-baik jadi itulah alasan gua sering banget ketemu laki-laki gak baik juga?
Kalau self worth gua gak sekuat sekarang, gua mungkin akan mempercayai asumsi sesat itu. Tetapi karena gua juga gak mau bohong, di sekitar gua masih banyak kok figur keluarga atau pernikahan berhasil bahkan langgeng sampai dua-duanya udah beruban bahkan pasangan udah mati tetapi pasangan lainnya memilih gak menikah lagi. Gua lebih percaya kalau laki-laki brengsek yang gua ketemui itu bukan karena gua sendiri perempuan brengsek. Tetapi karena Tuhan mau gua belajar dari mereka untuk gak semudah itu terperdaya sama tingkah manis dan omongan buaya laki-laki.
Gua tuh suka merasa heran juga saat baca cerita seorang cowok dijuluki 'green flag' hanya karena dia melakukan BARE MINIMUM dia AS A HUMAN. Bukan bare minimum sebagai cowok ya. Tapi sebagai MANUSIA. Kayak, seorang manusia berbuat baik itu dianggap istimewa di zaman ini apa karena manusia yang berbuat baik itu semakin jarang ditemukan, ya? Atau kebaikan bukan lagi standar minimal seseorang dikatakan sebagai manusia. Sedih gak sih? bukan karena gua mengkerdilkan perbuatan baik seseorang. Tetapi kan sebagai sesama manusia berbuat baik itu emang udah tugas masing-masing kan? Paham gak sihh.
Ya itu ajalah seucil cerita warna-warni mengenai makhluk jantan ini—yang sekarang makin gak ada jantan-jantannya sama sekali.
12 notes
·
View notes
Text
--- Peluk untuk mereka yang jauh, sapa untuk mereka yang dekat. ☀️
⠀
------------------
⠀
👉🏻 Mau dapat 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏-𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒓𝒊𝒌 𝒍𝒂𝒊𝒏𝒏𝒚𝒂? Follow @𝙖𝙧𝙞𝙤𝙖𝙜𝙞𝙤 yah.
⠀
🧒🏻 Jadi pribadi yang lebih baik setiap harinya.
⠀
𝚆𝚒𝚝𝚑 𝚝𝚘𝚗𝚜 𝚘𝚏 𝚕𝚘𝚟𝚎,
ᗩᖇIO ᗩ. ᘜIO
#quotes#positivity#positive quotes#positive#self love#penulismuda#motivasionline#tulisan#tulisanku#sebuah tulisan#tiba tiba menulis#tiba tiba penulis#lagi lagi menulis#jadi baik#jadi bijak#bijaksana#lebih baik lagi#new writing#writings#my writing#writes#ario menulis#ario writes#pesan kehidupan#bijak lagi#sok bijak#bijak sekali#wise quotes#words of wisdom
2 notes
·
View notes
Text
Nostalgia Kenal 4 ( @prawitamutia @satriamaulana @academicus @ceritanovieocktavia ) orang lainnya yang menulis bareng di buku ini sejak zaman masih kuliah. Dulu, masih single semua. Sekarang masing-masing menempuh jalannya, keren-keren menurutku. Berarti kalau dihitung-hitung, kurang lebih kenal mereka hampir 10 tahun bahkan ada yang lebih. Dan semuanya berawal dari platform ini, tumblr - meski sekarang tidak semuanya aktif di sini lagi. Pertemanannya awet sampai sekarang meski kalau WA mungkin setahun sekali, seperlunya. Hal yang bisa kupelajari dari bertahun-tahun ini, refleksi yang mungkin bisa kutulis lebih general di sini. Berikut : Coba perhatikan teman-temanmu yang masih awet hingga saat ini. Mungkin yang benar-benar kenal sejak kalian masih nggak tahu apa-apa tentang dunia ini, masih galau dengan masa depan, nggak tahu bakal kerja apa, nggak tahu siapa jodohnya. Dan sebagainya. Perhatikan bagaimana proses bertumbuhnya. Bagaimana dulu mereka membuat keputusan dan pilihan hidup. Bagaimana dulu mereka menjalani risiko masing-masing. Bagaimana mereka tumbuh dari remaja yang sembrono menjadi bijak seperti saat ini. Bahkan orang-orang yang tak kamu sangka bakal berlaku lembut pun kini mungkin jadi ayah/ibu yang sangat lembut ke anak-anaknya. Mereka yang dulu setiap kali kalian bertemu, nggak tahu tujuan hidupnya apa. Kini menjalani kehidupannya dengan sangat tertata. Coba perhatikan bagaimana mereka bertumbuh. Lihat juga dirimu sendiri, kamu juga telah bertumbuh. Mungkin ada perasaan ini kembali ke masa lalu. Jika itu bisa terjadi, maka satu-satunya hal yang seharusnya kamu lakukan kepada dirimu di masa lalu adalah berterima kasih.
oh ya, buku ini tinggal sedikit, super terbatas karena memang cetakan terakhir dan tidak diproduksi lagi : klik sini kalau mau beli
80 notes
·
View notes
Text
Manusia itu kompleks
Manusia itu kompleks. Ada banyak hal yang mempengaruhi cara mereka dalam berpikir, merespons, berkomentar, atau bertindak terhadap sesuatu. Dan dalam hidup ini, pasti kita pernah menemui beberapa orang yang terkadang bikin hati kita kesel karena kita merasa bahwa sebenernya ada cara berpikir yang lebih baik, cara merespons yang lebih tepat, cara berkomentar yang lebih positif, dan cara bertindak yang lebih bijak.
Tapi sebelum kekesalan kita semakin larut, coba kita bertanya-tanya dulu, "kenapa kira-kira mereka lebih memilih cara berpikir yang kaya gitu?" "kenapa kira-kira mereka lebih memilih respons seperti itu?" "kenapa kira-kira mereka lebih memilih berkomentar yang kurang baik?" "kenapa kira-kira mereka lebih memilih tindakan yang kurang bijak?"
Dan akhirnya kita bisa nemu berbagai kemungkinan jawaban. Mungkin bisa jadi karena lingkungannya, kebiasaannya, latar belakangnya, pengalaman hidupnya yang mungkin belum pernah ada di posisi kita, dan masih ada banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Jadi alih-alih kita kesel, lebih baik kita coba memaklumi atau bahkan memahami. Biar rasa keselnya berkurang atau bahkan ga ada sama sekali. Karena yang bisa kita kendalikan cuma diri kita sendiri, bukan orang lain.
#catatan#journaling#menulis#renungan#tulisan#kehidupan#selfreminder#life lessons#motivasi#hidup#nasehat
9 notes
·
View notes
Text
Menghitung hari, aku akan kembali tinggal dan kerja di kota pelajar kesayangan, Jogja. Melanjutkan perjalanan mengejar cita di sana. Menyelesaikan hal-hal yang masih "berantakan" di diriku maupun peran amanahku kelak disana agar makin baik kondisinya.
Aku sangat bersyukur, dengan banyaknya rahmat dan karunia Allah, aku sudah berhasil melewati satu tahun penuh pembelajaran. Kehidupan berat yah memang, selain karena bukan keinginan murniku (pengennya lanjut S2, tapi Allah arahkan ke jadi musyrifah + wali kelas + guru Qur'an), juga karena banyak sisi hidupku yang terbatasi oleh lingkungan & budaya kerja yang kurang cocok di aku.
Betul memang banyak isak tangis, rasa ingin menyerah, dan pedih hati. Tapi perlahan, dari satu momen ke momen lain, dari kebingungan jadi tau harus gimana bijak menyikapinya, dari konsul pertama ke konsul ke sekian, sampai akhirnya Alhamdulillah, rasanya sudah begitu banyaak progres diriku.
Resign dari pondok dan kembali ke keluarga, rasanya menyenangkan sekali. Bebas. Lebih mudah buatku berekspresi lepas & mengisi hari lebih produktif. Nggak banyak waktu kesepian - kesendirian - tertahan di kamar yang hampir selalu bikin OVT seperti saat di pondok dulu.
Wah memang beda bangeet mengurus anak usia SMA dan mahasiswa. But, aku seneng juga jadi punya pengalaman berharga membersamai anak-anak unik + istimewa itu. Kemarin lusa pun dikasih tau mudir kalau hasil angket penilaian musyrifah, aku peringkat 1 yang menurut mereka pantes jadi musyrifah terbaik. Nggak nyangka sih.
Alhamdulillah dengan aku yang makin banyak mendalami tentang materi mengenal diri, udah dapet nyamannya ukhuwah hangat di Jogja, ditarbiyah di pondok - asrama - dauroh - halaqoh dan didewasakan selama berpindah-pindah tempat kerja, bikin aku lebih bisa membersamai mereka dengan kehangatan dan akhlak yang baik. Yang mungkin sangat mereka damba, di tengah lingkungan pondok yang yaa aku pun kadang merasa "dingin" atmosfernya.
Yahh, intinya aku senang bisa kembali ke Jogja. Keluar dari pondok dengan baik. Berpisah dengan manis sama anak2 santriku. Semoga semua yang kuberi ke mereka jadi ilmu jariyah yang bermanfaat tak lekang oleh waktu.
Semoga ketakutan-ketakutan terus menerus mereda. Bisa memasuki fase baru di hidupku ini dengan kebaikan dan kemuliaan 😊
10 notes
·
View notes
Text
Aku tidak tahu kenapa aku harus menulis ini, saat aku tahu ia tidak akan pernah singgah di sini, mengenaliku lebih jauh meski kebanyakan yang kurangkai adalah rekayasa perasaan alias fiksi belaka. Mungkin sebab itu aku menulisnya di sini, entah siapapun yang membaca mereka akan mengira-ngira apakah aku sedang berkarya atau sedang bercerita tentang kenyataan.
Aku tak ingin menceritakannya dengan gamblang, dengan jelas layaknya prosa yang menarasikan karakter utama dalam paragrafnya. Aku pula tak ingin menuliskannya sebagai puisi, yang setiap kata mewakili ia dari berbagai lini dan dimensi. Maka aku akan menuliskannya sebagai kalimat yang kehilangan keindahan, yang tak memiliki struktur serta ejaan yang tak disempurnakan.
Aku menuliskannya sebagai sesuatu yang rancu dan kehilangan pesan dalam isinya.
Kami bertemu dalam riuh rendah dunia yang semakin bising, hadir dengan wajah masing-masing. Aku menjelma bijak yang pendiam, membunuh diriku yang skeptis dan pemarah. Ia datang bagai rupa lamaku, dalam bentuk yang lebih matang. Tentu aku abai untuk pertama kali, hingga satu-persatu kebetulan atau kesengajaan mengetuk pertanyaan di dadaku, dan rasa penasaran itu bertamu.
Jika tak membohongi hati, aku bisa katakan yang sepertinya berulang kali aku temukan, namun jika menelaahnya menjadi sebuah perasaan yang lebih lekat, aku sudah lupa kapan terakhir kali ingin tahu tentang seseorang, dalam konteks yang lebih jauh. Mungkin empat tahun lalu, dan aku tahu itu bukan perasaan yang baik.
Maka aku menjelma nama yang hadir dalam banyak eksistensinya, berkeliaran untuk memuaskan rasa penasaran, mencari celah untuk jadi pelajaran, namun sayangnya aku malah terjebak dengan ilusi yang membuatku kembali mempertanyakan diri sendiri.
Jika ada seseorang yang menanyakan perasaan apa yang paling kubenci saat ini, ia adalah rasa penasaran kepada seseorang. Aku dibuat belajar kembali untuk menahan segala gejolak, keinginan spontan yang terkadang harus diredam paksa agar tak mengakibatkan buruk pada pola diri dan pikir. Karena bagaimanapun kadang aku menguasai diri, ada perasaan-perasaan baru yang harus mati-matian baru mampu dikendalikan.
Sekarang aku ingin menutup buku yang menuliskan tentangnya, aku lelah bertanya, goyah dan menebak-nebak. Meski sebagian besar bisa aku tepis, namun bukankah lebih baik tak memikirkannya sama sekali. Di saat aku bisa melihat satu dua tanda bahwa apa yang kulakukan hanya berujung kepada kesia-siaan.
56 notes
·
View notes