Hanya ingin menyimpan dan berbagi sedikit memoar kehidupan yang saya alami dan hikmah yang saya dapati dalam lika-liku perjalanan dakwah. Sebagian besar tulisan adalah opini, pemikiran dan nasihat untuk pribadi, selebihnya terserah pembaca. | Mode kalem ada di akun sebelah | First acc @yunusaziz
Don't wanna be here? Send us removal request.
Note
Menarik sekali postingan kakak sebelumnya. Aku sebagai seorang yg pernah berkecimpung di dunia dakwah di jogja, dulu seringkali mengutamakan kepentingan dakwah daripada kuliah maupun pribadi. Semisal syuro jm 6 pagi sampai jm 7 kuliah, kumpul jm 5 pagi, sorenya syuro lagi, sabtu minggu untuk dauroh/tatsqif/mabit dsb... kadang ada rasa nilai² yg dulu itu sekarang sirna sama sekali. Apa mungkin dunia pasca kampus yg jauh lebih berat tantangannya? Atau efek domino dari pemulihan masa pasca covid? Hampir tidak lagi menemukan vibes orang² yg semangat di dunia dakwah, bahkan sholat pun udah keren bgt keliatannya. Orang² yg dulu gethol di dunia dakwah kampus, tidak memungkiri kini sibuk dengan pekerjaan, atau yg sudah menikah sibuk dg rumah tangganya. Apa dakwah itu hanya romansa di dunia kampus? Bahkan sekarang di dunia kerja yg dibutuhkan adl ilmu, skill, dan attitude yg baik. Sempat ada rasa, yah dulu pas kuliah agak kureng, ngga mendalami bener² ilmu zaman kuliah yg jadi pondasi di dunia kerja. Untuk mengaplikasikan ruh dakwah supaya bisa longlasting itu susah sekali. Mungkin boleh opininya tentang urgensi dakwah kampus dilihat dari keawetannya di dunia pasca kampus? Supaya orang tuh ngga hanya memandang perjuangan dakwah kampus sebagai euforia dalih mencari keberkahan yg sifatnya temporer. Boleh juga ditambahkan gimana mempertahankan semangat 'dakwah' itu pasca kampus yg mana krn tuntutan mencari sesuap nasi tidak menjamin dapat lingkungan yg kondusif dan bisa ketemu orang² sefrekuensi lagi. Makasiih~
Romansa Dakwah Kampus: Mengapa Terasa Hanya Euforia Sementara?
Pertanyaan menarik! Izin prolog dulu ya sender. Kembali pada serial tulisan saya sebelumnya, bahwa memang pandemi adalah 'game changer' dari banyak hal dalam konteks pengelolaan dakwah kampus. Vibes yang kamu rasakan dulu namun sekarang seolah terasa hilang, saya rasa bukan sebatas hal-hal dzahir yang ikut serta dalam menciptakan nuansa militansi, keimanan, dsj. tetapi ada hal lain, yang saya sebut 'intangible things' (baca: nilai) yang (mungkin) sedikit banyak telah bergeser.
Entah mungkin karena faktor 'penjaga nilai-nya yang buru-nuru pengen lulus, tanpa ada upaya ekstra untuk menyalurkan nilai ke adik-adiknya, atau memang pergeseran tren hidup, yang membuat segala sesuatu harus dikalkulasi dengan materi? Jika 'menguntungkan' saya ikut, jika enggak, nanti dulu. Saya ada hipotesis dan kajian soal ini.
Tetapi, sebenarnya bagi saya apapun bentuk perubahannya, perubahan adalah perubahan. Ia akan terus ada, makanya ada statement : "setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya", tinggal bagaimana mereka generasi yang masih peduli bersikap, menganggap itu sebagai masalah atau justru peluang dan tantangan amal baru? :D
Saya ada materi yang mengkaji bagaimana cara organisasi pasca pandemi bisa melakukan revitalisasi atau adaptasi di masa perubahan ini. Dahulu saya presentasikan di pertengahan pandemi, dan makin getol saat pasca pandemi.
Singkatnya, dunia dalam fenomena yang menyebabkan segala sesuatu berubah sangat cepat. Yang dulunya mudah untuk memprediksi sesuatu, menjadi sukar, dsb. Maka, mau bagaimanapun perubahannya, fokus saja mencetak kader dakwah yang adaptif dan resilien.
Dunia Pasca Kampus
Bagi sebagian orang yang dimasa kampus concern terhadap nilai-nilai perjuangan, keadilan, dsb. akan ada satu momen kita dibenturkan akan apa yang kita yakini dan dinamika yang terjadi. Misalnya ketika dulu semasa di kampus memperjuangkan penolakan RUU CIPTAKER, maka ketika kita kerja di ranah bisnis, apalagi yang fokus ngelola HR macam saya ini, akan muncul dilematika dan konflik batin tersendiri. #iykwim :D
Pertantannya kenapa vibes dakwah di pasca kampus tidak terasa, seolah hanya nuansa yang kontemporer saja?
Pandangan bahwa Dakwah Kampus sebatas ruang aktualisasi sosial:
Menurut saya, seharusnya dakwah kampus tidak hanya dilihat sebagai aktivitas, tetapi juga proses pendidikan karakter. Saya menganalogikan LDK/LDF yang lengkap dengan budaya: adanya jamal (jam malam), atau kenapa ada hijab dalam syuro, dsb. Di awal juga bertanya apa pentingnya di dunia pasca kampus? Emang besok rapat di dunia kerja pakai hijab? kan enggak. Saya mencari jawaban ke kating tidak puas, akhrnya setelah perenungan panjang dan terbentur dinamika, baru saya punya kesimpulan. Bahwa hal yang demikian itu adalah bagian dari pembiasaan/pelatihan diri kita. Bahkan syuro itu saking unggulnya (khasnya orang Islam), kalau dibedah banyak hal yang secara tidak langsung mengajari kita sesuatu loh! Next kita bahas.
Kurangnya Pemahaman Filosofis tentang Dakwah:
Saat di kampus, banyak dari kita lebih fokus pada aktivitas teknis dakwah (program, kegiatan, syuro) tanpa benar-benar mendalami landasan filosofis dakwah itu sendiri. Akibatnya, ketika aktivitas teknis hilang di dunia kerja, ruh dakwah ikut memudar karena tidak ada fondasi yang kuat.
Tuntutan Kehidupan yang Lebih Berat
Setelah lulus, kita dihadapkan pada tuntutan finansial, karir, dan keluarga. Fokus kita lebih banyak tersita untuk "bertahan hidup" dibandingkan memperjuangkan dakwah. Dalam kondisi ini, dakwah sering kali terpinggirkan karena dianggap tidak relevan dengan kebutuhan hidup. Bagi sebagian orang ini adalah titik krusial, banyak yang akhirnya 'belok' di tengah perjalanan. Itulah kenapa pentingnya kita untuk tetap berjamaah, agar kontrol diri, sosial, dsb bisa tetap terjaga.
Cara Mempertahankan
Pahami kembali visi dakwah kampus, yang berupaya untuk "Menciptakan alumni (kader dakwah) yang berafilisasi terhadap Islam". Sebab mau jadi apapun kita (ekonom, politisi, dsb.) kita adalah aktovis dakwah, nahnu du'at qobla kulli syai'.
Membangun filosofi dakwah yang menyentuh semua aspek kehidupan. Dakwah kampus bukan hanya soal syuro atau program, tetapi soal menanamkan filosofi bahwa dakwah adalah cara hidup (manhajul hayah). Dengan cara ini, dakwah tidak akan berhenti di ruang-ruang kampus, tetapi terus menjadi bagian dari setiap aktivitas kita: dalam pekerjaan, keluarga, hingga hubungan sosial.
Relevansikan DK dengan tuntutan hidup. Dakwah pasca kampus harus dikaitkan dengan kebutuhan hidup nyata, seperti pengembangan karir, peningkatan skill, atau keseimbangan antara spiritualitas dan profesionalitas. Dakwah tidak hanya soal kegiatan, tapi juga bagaimana kita memberikan solusi bagi tantangan zaman.
Temukan lagi lingkungan yang mendukung. Meski tidak lagi berada di kampus, kita tetap membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk menjaga semangat dakwah. Cari komunitas baru yang sevisi dan mendukung pengembangan spiritualitas kita.
1 note
·
View note
Text
Serial Opini—Dampak dan Upaya Menumbuhkan Kembali Figur Filosofis
"Lalu bagaimana sebenarnya dampak dari hilangnya figur filosofis ini terhadap gerakan dakwah kampus? Dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa menumbuhkan kembali pemikir-pemikir konseptual yang dibutuhkan?"
Menjawab pertanyaan di atas sekaligus menjadi lanjutan tulisan serial "Hilangnya Figur Filosofis Dakwah Kampus Hari Ini" yang pertama (kalau belum baca saran saya baca dulu hehe), maka pada tulisan kedua ini akan membahas dampak hilangnya figur filosofis dan bagaimana kiat dalam menumbuhkan kembali.
Dampak dari hilangnya figur filosofis terhadap gerakan dakwah kampus? di kepala saya sebenarnya ada 7 poin, tetapi untuk meringkas saya sampaikan 3 saja.
1. Kehilangan Narasi Besar dan Arah Strategis
Figur filosofis adalah penentu arah gerakan, tugasnya adalah membuat peta dan memegang kompas dalam menavigasi sebuah bahtera dalam mengarungi lautan. Mereka bukan hanya menyusun strategi, tetapi juga memastikan gerakan dakwah berlandaskan nilai-nilai Islam dan pergerakan secara mendalam. Ketika peranan dari figur ini hilang, maka gerakan dakwah akan kehilangan narasi besar yang menjadi pondasi perjuangan. Tanpa narasi besar, dakwah kampus cenderung akan terjebak pada aktivitas teknis tanpa visi jangka panjang, yang akhirnya membuat gerakan kehilangan daya tarik dan relevansi terhadap perubahan zaman.
2. Dakwah Menjadi Prosedural, Bukan Substansial
Tanpa pembinaan filosofis, aktivitas dakwah cenderung hanya akan menjadi rutinitas administratif saja. Kader akan beralih fokus pada mindset "apapun yang menting program berjalan" daripada memahami esensi dan nilai dakwah yang seharusnya menjadi ruh di setiap aktivitas. Akibatnya, kaderisasi kehilangan makna pembentukan karakter dan lebih mengutamakan hasil teknis. Ketika mindset yang demikian terus dirawat, maka keluhan/tudingan "Kader zaman sekarang gampang ngeluh, lemah komitmen dan kurang militansi." hanya akan terus bermunculan, sebab mereka mengerjakan sesuatu tanpa keterikatan dan kepahaman nilai serta bekal ilmu yang cukup.
3. Menurunnya Kepercayaan Diri Gerakan
Ketika gerakan dakwah kehilangan arah dan tidak memiliki narasi besar yang menginspirasi, yang memunculkan semangat pada diri kader, maka dampaknya dalah kepercayaan diri para kader juga akan ikut melemah. Mereka merasa aktivitas yang dijalankan tidak memberikan dampak besar atau signifikan, sehingga semangat juang menurun atau yang lebih parah, mulai mempertanyakan kejelasan gerakan pada hal yang 'fundamental' sekalipun. Bagi mereka yang peduli dan memiliki daya pikir kritis, akan mulai mempertanyakan persoalan-persoalan yang sejak dulu sebetulnya sudah selesai. Namun karena ketiadaan sosok yang mampu menjadi 'jawaban' di tengah kekeruhan itu, akhirnya mereka yang tadinya kader produktif justru mulai kontra-produktif, menjadi destruktif dari luar gerakan.
Dari tiga poin di atas saya rasa sudah menunjukkan seberapa vitalnya kader filosofis di dalam sebuah manajemen dakwah. Lantas sekarang, bagaimana upaya dalam melahirkan figur filosofis itu?
1. Studi Literatur Sejarah Gerakan Dakwah
Ini adalah cara paling mudah. Upaya untuk menumbuhkan filsuf gerakan ini bisa dimulai dari membaca buku-buku yang mengkaji manajemen dakwah era dahulu. Ambil hal-hal yang esensial; nilai perjuangan, kunci keberhasilan, termasuk sebab-sebab kehancuran. Ada berbagai macam buku-buku yang bisa dibaca, @mamadkhalik mungkin boleh dibantu buatkan daftarnya hehe.
2. Menghidupkan Tradisi Diskusi Kritis dan Reflektif
Diskusi adalah ruang bagi kader untuk melatih kemampuan berpikir kritis, mematangkan ide, dan mengeksplorasi pemahaman mendalam tentang dakwah itu sendiri. Pendekatan diskusi semisal analisis kasus dakwah lintas waktu sebagai komparasi dalam mencari celah (gap), untuk menemukan jembatan penghubung adalah salah satu solusi yang menurut hemat saya bisa dicoba.
2. Membentuk Komunitas Pemikir Dakwah
Bentuk komunitas kecil yang fokus pada pengembangan konsep dan strategi dakwah. Komunitas ini bertugas mempelajari isu-isu besar keumatan dan menyusun strategi dakwah berbasis nilai. Komunitas ini juga menjadi wadah untuk menyalurkan kader dengan minat intelektual tinggi. Teringat ketika Abi menyampaikan tadzkirah tentang QS. At-Taubah : 122. QS. At-Taubah: 122 menegaskan bahwa tidak semua orang perlu berada di garis depan untuk menjalankan tugas dakwah yang bersifat teknis atau operasional. Sebaliknya, ada kebutuhan untuk sebagian kelompok yang mendalami ilmu agama secara serius agar dapat memberikan arahan, nasihat, dan panduan. Saya rasa ini visi terselubung komunitas yang dibentuk mentor saya @kayyishwr dengan komunitas aamalacom nyahehe. Bagaimana menumbuhkan semangat keilmuan dan melandasi amal dengan keilmuan yang kokoh.
3. Mendorong Produksi Karya dan Pemikiran
Mungkin kader perlu distimulan dengan kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk tulisan ataupun karya. Dengan sistematika penulisan yang jelas, misalnya menggunakan teori Golden Circle-nya Simon Sinek. Berangkat dari why, lalu how dan what, yang poin intinya, membangun cara berpikir/mengonsep ide dalam pendekatan sistematis dan komprehensif, baik itu keresahan yang mendalam, tujuan yang terukur, dsb. Sehingga harapannya dari situ tercipta basis-basis pemikir yang kuat di kalangan kader.
Kesimpulan
Dakwah kampus tidak perlu kembali sepenuhnya ke cara-cara lama, (pun saya juga paling nggak suka meromantisasi masa lalu hehe), tetapi perlu mengadaptasi nilai-nilai esensial dalam pendekatan baru. Figur filosofis yang kuat tidak hanya diperlukan untuk masa sekarang, tetapi juga untuk memastikan gerakan dakwah tetap relevan di masa depan, baik dalam programnya maupun dalam membentuk kader-kader penerusnya.
Jadi, apakah kita siap untuk mengambil langkah nyata dalam menumbuhkan kembali figur-figur filosofis ini? Jawabannya ada di tangan kita semua—para kader yang masih peduli pada urgensi dan keberlanjutan dakwah kampus.
Wallahua'lam.
12 notes
·
View notes
Text
Serial Opini—Hilangnya Figur Filosofis Dalam Manajemen Dakwah Kampus Hari Ini
Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih kurang 3 tahun telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali kehidupan kampus. Kampus yang selama ini merupakan wadah aktualisasi ilmu, sosial, politik bahkan pergerakan menjadi seolah terasa 'kering' dan yang paling utama adalah, menurunnya minat melanjutkan pada mereka, generasi penerus.
Disclaimer: Sebelum berbicara jauh dan agar tersampaikan maksud tulisan ini, saya ingin membatasi topik ini pada sekup manajemen dakwah kampus. Pun bukan bermaksud mengeralisir, karena data yang saya dapatkan hanya hasil diskursus beberapa pengelola aktif beberapa LDK, yang rata-rata mengalami fenomena serupa.
Di masa itu, aktivitas mahasiswa yang selama ini menjadi ruang pembelajaran dan aktualisasi nilai dan interaksi fisik, bergeser secara drastis ke ruang virtual, di mana segala aktivitas mau tidak mau terselenggara melalui media daring. Teknologi memang berhasil menjaga roda organisasi tetap berjalan, tetapi ada trade-off yang sulit dihindari: proses internalisasi nilai tidak terakomodasi secara optimal. Hemat saya.
What : Hilangnya Figur Filosofis Pergerakan
Salah satu dampak signifikan dari pergeseran ini adalah berkurangnya figur filosofis dalam dakwah kampus. Figur filosofis bukan sekadar pemikir atau teoritikus, melainkan mereka yang mampu merumuskan narasi besar serta mengelaborasikan nilai-nilai perjuangan menjadi strategi jangka panjang. Mereka menjaga arah gerakan dan memastikan setiap langkah dakwah memiliki pondasi nilai yang kuat.
Sebelum pandemi, dakwah kampus bukan hanya sekadar kegiatan formal. Ia adalah laboratorium nilai yang memungkinkan kader dakwah memahami dan menerapkan prinsip dakwah melalui praktik dan pengalaman langsung. Aktivitas seperti syuro', diskusi struktural maupun kultural, daurah, mabit, dsb. terlaksana maupun diikuti bukan hanya sekedar sarana teknis (prokeristik), melainkan juga wahana pembelajaran dalam upaya membentuk karakter, kedalaman pemikiran, dan kekuatan ruhiyah kader.
Mari kita derivasikan, bagaimana nilai bisa diinternalisasi melalui sarana-sarana di atas:
Manajemen Syuro
Syuro' dalam dakwah kampus bukan sekadar forum keputusan, tetapi ruang pembinaan yang menginternalisasi nilai-nilai spiritual dan moral. Dimulai dengan tilawah sebagai taujih rabbaniyah-bukan sebatas 'yang penting barokah', tetapi pilih tema ayat yang sesuai topik rapat, agar Al-Qur'an betul-betul menjadi referensi pengambilan keputusan. Syuro' juga melatih kader dalam menjaga adab, berpikir kritis, dan menahan ego saat berbeda pendapat. Nilai ukhuwah, ikhlas, dan bahkan itsar tertanam dalam dinamika musyawarah yang mengutamakan maslahat, membentuk karakter kader yang bertanggung jawab, tawadhu', dan teguh menjaga prinsip dakwah.
atau dalam Daurah misalnya,
Daurah dalam dakwah kampus menjadi sarana internalisasi nilai tidak hanya ditumbuhkan melalui forum materi semata, malainkan ada sarana lain diluar daurah yang juga memiliki peranan dalam menumbuhkan hal itu. Misalnya, kegiatan seperti adanya usbu' ruhiy, yang tidak hanya untuk peserta tetapi juga untuk panitia saat pra daurah, dsb. Sehingga tidak hanya peserta saja upaya untuk mewujudkan kebarokahan, tetapi semua pihak. Dalam sarana ini, nilai mujahadah, ikhlas, ukhuwah, dan tadhiyyah terinternalisasi strategis ke dalam setiap sesi demi sesi daurah sebaga sarana mewujudkannya. Diskusi reflektif dan muhasabah, dsb. di luar kurikulum membantu kader memperdalam pemahaman tentang visi dakwah, menjadikan daurah sebagai ruang untuk penguatan ruhiyah, mental, dan kepemimpinan.
dan lain hal. Kali lain kita bahas, udah kepanjangan hehe.
Namun, di masa pasca-pandemi ini, sarana-sarana tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya hilang, tetapi tampaknya belum sepenuhnya pulih. Banyak aktivitas yang berjalan sebatas pemenuhan program kerja (prokeristik) tanpa diiringi semangat riayah (pemeliharaan) sebagai wujud dari nilai istimror (keberlanjutan). Akibatnya, ruh nilai yang dahulu begitu ditekankan dalam setiap aktivitas dakwah mulai memudar.
Refleksi dan Tantangan Dakwah Hari Ini
Apakah ini akhir dari tradisi kaderisasi yang mendalam? Tentu tidak. Hilangnya figur filosofis ini bukanlah sebuah keputusasaan, melainkan alarm bagi kita untuk melakukan refleksi dan adaptasi pada pengelolaan kekinian (dari aspek rentang zaman) dan kedisinian (dari aspek rentang geografis). Dakwah kampus pasca-pandemi memang menghadapi tantangan baru, tetapi bukan berarti ruang untuk menumbuhkan pemikir-pemikir konseptual telah tertutup.
-----------------------------------------------------------------------
Lalu bagaimana sebenarnya dampak dari hilangnya figur filosofis ini terhadap gerakan dakwah kampus? Dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa menumbuhkan kembali pemikir-pemikir konseptual yang dibutuhkan?
Nantikan jawabannya di tulisan selanjutnya.
21 notes
·
View notes
Text
Serial Tadzkirah - Integritas Seorang Da'i
Pernahkah suatu kali, karena ucapan kita seseorang tersadar? Atau mungkin karena tulisan kita, seseorang merenung? Atau juga karena tindakan kita, orang lain bermuhasabah?
MasyaAllah, betapa luar biasa ketika kita bisa menyentuh hati orang lain. Terkadang, "tamparan" kecil dari kita dapat menggerakkan mereka untuk berbenah.
Namun pertanyaannya, bagaimana dengan diri kita sendiri? Kadang kita terjebak dalam keinginan ingin mengoreksi orang lain, tetapi sulit menerima koreksi. Ucapan, tulisan, atau perbuatan kita yang menginspirasi orang lain, justru kerap kita abaikan sendiri.
Ini berbahaya!
Allah sangat membenci sikap seperti ini, sebagaimana dalam firman-Nya pada Q.S. Ash-Shaff: 2-3:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Integritas itu adalah soal keselarasan antara ucapan/tulisan dengan tindakan kita. Ini berarti seseorang da'i yang memiliki integritas tidak hanya menginspirasi orang lain dengan kata-kata atau nasihatnya, tetapi juga menuntut untuk menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip yang ia bagikan. Tanpa keselarasan ini, kepercayaan akan luntur, dan pesan yang disampaikan akan kehilangan kekuatan.
Teringat kisah Ibnu Umar, yang tidak hanya membaca Al-Qur'an dengan penuh perhatian, tetapi dia juga tidak akan berpindah ke ayat atau surah berikutnya sampai ia memahami dan mengamalkan, lalu setelahnya menyampaikan ajaran dari ayat yang telah dibacanya.
Ayat tersebut bukan bermaksud tentu bukan untuk menakut-nakuti kita, melainkan sebagai pengingat bahwa ketika kita berikhtiar dalam mengajak kebaikan kepada orang lain, perlu juga kita perhatikan bagaimana penerapannya dalam kehidupan kita sendiri.
Ini menjadi pengingat kita bahwa teladan adalah bagian penting dari dakwah. Perkataan yang selaras dengan perbuatan memiliki kekuatan lebih besar. Dengan begitu, ajakan kebaikan bukan hanya kata-kata, tapi menjadi tindakan nyata yang dapat ditiru orang lain.
Semoga kita terhindar dari sikap ini dan semoga apa yang kita ucapkan, tuliskan, dan lakukan jauh dari dorongan untuk hanya sekedar mendapat pujian dari orang lain.
47 notes
·
View notes
Text
Dapat Amanah? Bawa Happy ajaa :D
Oiya, disclaimer: saya berlatar belakang HRM, bukan seorang psikolog, tulisan dibawah tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat profesional. Hanya pov dari kacamata praktisi HR. Selamat membaca!
Statement "Dapat amanah? Dibawa happy aja!" rasa-rasanya mulai rutin saya gaungkan saat berkesempatan mengisi di forum-forum upgrading pengurus baru. Lebih khususnya kepengurusan organisasi pasca pandemi.
Gen Z yang seringkali mendapat stereotipe "strawberry" (terlihat indah dari luar tapi lembek dari dalam) menjadi pembenaran generasi lama dalam menyoroti fenomena 'menolak amanah' ketika mencari sosok penerus mereka.
Amanah yang sering kali identik dengan satu momok yang berat; dari menyita tenaga, waktu, bahkan biaya, seringkali menjadi ketakutan tersendiri (bahkan termasuk mereka yang baru saja dilantik). Tidak heran, jika banyak yang akhirnya menolak ketika ditawarkan, meskipun di sisi lain dari dunia ini ada yang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Just another case :D
Memang, amanah pada dasarnya satu hal yang berat, bukan hanya pada saat proses saat menjalankannya yang seringkali menuntut banyak hal, tetapi juga pada saat pertanggungjawaban baik yang dunia maupun akhirat. Akan tetapi, bukan berarti ketika qadarullah 'kehendak' itu sudah sampai pada diri, harus dijalani dengan penuh ketegangan sampai akhir periode, kan? I mean, let's go with the flow and just enjoy the moment :D
Salah satu fenomena yang sering kali saya jumpai ketika pengurus baru telah dilantik biasanya mereka mengalami yang namanya inferiority complex.
101 Inferiority Complex
WHAT - Apa sih Inferiorty Complex itu?
Istilah ini mulai dikenalkan seorang psikolog ternama Alfred Adler asal Austria pada awal abad 20, merujuk pada perasaan 'tidak mampu' atau 'kurang' dibandingkan dengan orang lain. Fenomena ini terjadi di awal masa kepengurusan 1-3 bulan pertama bahkan hampir masuk 1 semester! Fenomena tersebut, salah satunya termanifestasi dalam ucapan "Harusnya dia mbak atau mas, bukan aku". Satu kondisi atau curhatan yang begitu lumrah saya dapati selepas mereka dilantik.
Kata Alfred Adler, "Setiap orang memiliki perasaan inferioritas. Perasaan ini normal dan sehat. Yang menjadi masalah adalah ketika perasaan ini menjadi berlebihan dan mencegah kita untuk mencapai tujuan kita." nah ini yang jadi PR!
WHY - Faktor penyebabnya?
Alfred Adler berpendapat, bahwa perasaan ini muncul karena kurangnya pengalaman menguasai tugas atau mencapai tujuan di masa lalu. Bisa juga karena trauma masa lalu, ekspektasi berlebihan terhadap diri sendiri, gaya asuh yang kurang, dsb. Sehingga menjadikan apapun (teurtama hal baru) menjadi sesuatu yang seolah 'mustahil' untuk diraih dengan sempurna.
Oleh karenanya, meskipun (dalam konteks organisasi) hal ini menjadi satu hal yang wajar atau normal, tetapi harus segera disikapi. Bukan hanya tentang 'nasib organisasi' tetapi juga tentang kamu, tentang dirimu dan masa depan.
HOW - Bagaimana caranya?
Pada beberpa kasus, mungkin hal ini bisa diselesaikan diri sendiri, semisal coba untuk lebih fokus pada eksplorasi kelebihan atau nilai yang kita miliki, mengurangi pikiran-pikiran negatif, membangun relasi positif, dsb.
Atau kenapa tidak bangun mindset bahwa dengan amanah ini justru menjadi sarana eksplorasi diri? Mencari missing dots dalam kehidupan ini lalu connect them each other?
Yah, meskipun sekali lagi saya tekankan, jika ini berlanjut menghubungi profesional semacam psikolog atau psikiater menjadi opsi bijak yahh.
Conlusion - Jadi apa intinya?
Seringkali kita ini terjebak pada asumsi-asumsi diri yang tak bertepi, konotasinya seolah selalu buruk pada setiap capaian diri. Belum mencoba sudah takut duluan. Padahal apa yang salah dengan kegagalan? Bukankah kegagalan adalah sebab terbaik untuk kita ingin berubah lebih baik?
Terkadang kita ini terlalu keras dengan diri sendiri. Pada kesalahan orang lain kita maklumi, sedang pada diri sendiri kita begitu sukarnya memaklumi. Secara tidak langsung kita seolah menihilkan ruang untuk berbuat salah dan evaluasi, padahal itu merupakan serangakain fase belajar dan bertumbuh.
Maka dari itu, ketika amanah sudah 'diberikan', tugas selanjutnya adalah cukup jalankan semampumu. Itu saja. Kita tetap sadar, bahwa kita punya kekurangan, tetapi setidaknya biarkan kita mencobanya dulu, sembari kita berbenah pada hal-hal 'teknis' di tengah jalan.
Pun sebenarnya, tawaran itu diberikan bukan ditunjuk ala kadarnya, tetapi betul-betul dipertimbangkan karena track recordmu, kapabilitasmu, dsb. So kalau mereka saja percaya kamu, kenapa kamu enggak? ~ Jadi semangat!
24 notes
·
View notes
Text
Serial Opini - Narasi Semu
Dahulu ketika diberikan kesempatan memimpin forum lembaga dakwah tingkat fakultas se-nasional, dalam sesi penyampaian arahan nasional saya melempar satu topik diskursus kepada puluhan perwakilan lembaga yang hadir kala itu.
Sebelum melempar pertanyaan, saya melakukan survei terlebih dahulu, karena yang hadir hampir semuanya ketua lembaga saya bertanya, "Siapa di antara teman-teman yang di dalam visi dan misinya menyematkan kata 'madani', boleh angkat tangan?" mayoritas dari mereka mengangkat tangan mereka.
Lalu saya tanyakan kepada mereka "Saat apa dan bagaimana kelak fakultas teman-teman nanti dapat dikatakan madani?" dan semua terdiam.
Bukan tanpa alasan saya mengajukan pertanyaan itu, melainkan menjadi satu otokritik bagi sebagian ADK agar tidak terjebak pada narasi-narasi pergerakan yang berujung utopia semata. Hanya indah dalam kata, tetapi nihil akan makna.
Bukan, bukan 'madani'-nya yang salah, melainkan bagaimana dan seperti apa gambaran madani tersebut yang harusnya juga perlu terdefinisikan. Sehingga jika dakwah memang memiliki usia panjang, ada milestone atau roadmap yang jelas untuk melakukan trace capaian, target ataupun evaluasi.
Sehingga ketika suatu saat muncul pertanyaan "Sudah sejauh apa kinerja kita? Apakah masih dalam koridor yang benar?", dsb. Dengan mudah dan tegas kita bisa menjawab, bukan lagi sekedar asumsi semata, melainkan setiap tenaga, pikiran, bahkan harta yang telah terkuras betul-betul sudah dalam orientasi yang jelas dan terukur.
Dari sirah ketika Rasulullah hijrah tidak Allah berikan buroq sebagaimana saat isra' mi'raj, adalah bahwa dalam mengelola dakwah pun butuh perencanaan; rasulullah meminta Ali untuk menggantikan tempat tidur, sahabat yang diminta untuk menyapu jejak, dsb.
Pun jika memilih kata 'madani' merujuk pada prestasi dakwah Rasulullah dalam membangun peradaban negara Madinah, bukankah untuk mencapai hal itu proses yang dilakukan Rasulullah teramat panjang tetapi tetap kalkulatif? Mulai dari dakwah sembunyi-sembunyi, terang-terangan, dsb. Bisa baca buku manhaj haraki syaikh Munir Muhammad al Ghadban.
Hal diatas meskipun terlihat sepele atau kecil dari konteks manajemen dakwah, akan tetapi memiliki peranan fundamental dalam menentukan arah, akan dibawa kemana bahtera besar bernama lembaga dakwah kampus ini?
Sekian kolom opini ini, pemanasan buat aktif nulis disini lagi. Question? Comment? Feedback? ^^
19 notes
·
View notes
Text
⛵ PRE ORDER BUKU BAHTERA DAKWAH ⛵
Satu dalam Langkah, satu dalam tujuan, satu dalam cita-cita, satu dalam Bahtera
Jika ada Bahtera di Pelabuhan itu kami. Jika Bahtera hendak Berlayar itu kami. Jika Bahtera mengarungi laut luas, itu kami. Jika Bahtera terserang badai, Bahtera itu tetap kami.
Karena kami akan berlayar, menerjang ombak, menembus badai, untuk menghantarkan bakti kami, pada negeri ini.
(Terinspirasi dari motto Baskara SMAN 1 Ngawi)
📌 Chat langsung sat set tas tes
💰 Hanya 88.900
🔥 Jadi Bagian Bahtera kebaikan! 🔥
Izin tag abangkuh
@kayyishwr
@yunusaziz
@sorotbalik
12 notes
·
View notes
Note
Assalamualaikum mas izin nanya. Gmna sikap yg seharusnya dilakukan seorang perempuan ketika ada yg dtg melamar tp yg datang bukan yg dia suka/dia harapkan? Sedangkan seorang perempuan ini sedang dalam hal yg memang butuh untuk menikah segera.
Jazaakallahu khairn mas klo berkenan menjawab.semoga menjadi amal jariyah yg nnti nya memberatkan timbangan kebaikannya.
Wa'alaikumsalam wr. wb.
Agak kaget topik ini ditanyakan kesini, awalnya saya pikir ke akun sebelah.
Jadi gini menikah itu bukan sekedar mencari kata "sah", melainkan kumpulan ikhtiar dalam menjalinkan dua insan menuju pasangan yang "barokah".
Itulah kenapa, meskipun misal seorang lelaki tidak mendapati restu dari orang tuanya tetapi dia tetap memaksan, selama syarat-syarat sah lain menikah ada, maka tetap sah. Akan tetapi, jika menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif, misal aspek sosial, personal, dsj. hal tersebut justru ditakutkan mengurangi kebarokahan.
Hal yang sama berlaku kepada calon perempuan. Dalam case ini jangan sampai seseorang, baik dari laki-laki maupun perempuan, menikah karena keterpaksaaan. Baik karena ketidaksiapan, belum selesai dengan masa lalu atau merasa tidak cocok dengan pelamar. Asal kalaupun menolak, harus dengan cara dan adab yang baik.
Yang jelas, jangan sampai dalam mengambil keputusan, apalagi perihal menikah ini yang sangat sakral, hanya mengedepankan hawa nafsu, yang akhirnya justru merusak nalar objektif, yang bahkan jika terus dibiarkan bisa menggerus keimanan. Mendikte Allah, seolah apa yang diharap adalah yang terbaik.
Jadi ada baiknya pertimbangkan dengan matang, kita siap menikah dalam artian karena murni syariat, atau siap menikah karena seseorang?
8 notes
·
View notes
Note
Mohon izin bertanya, mas. Gimana cara kita menumbuhkan percaya saat diamanahi mendidik anak binaan yg belum ada track record di bidang yg kita jalani? Bagaimana tahap pembinaan yg baik untuk anak tsb? Di sisi lain, takutnya dia merasa tidak percaya diri dan merasa terlalu didikte yg menjadikan anak itu lebih banyak takutnya🙏
Bentar kita elaborasi dulu nih ya, biar nggak salah persepsi...
Ini berarti kamu seorang pendidik di suatu bidang pendidikan, lalu diberikan amanah buat mendidik anak didikan yang masih baru di dunia itu, lalu pertanyaannya metode apa yang tepat untuk mendidik mereka, gitu kan? Koreksi di ask selanjutnya ya kalau salah.
Mulai dari yang namanya, need assessment (analisis kebutuhan), mulai dari latar belakang mereka, kalau jumlahnya banyak, lihat by generalnya aja. Misal, anak yang dilihat dari aspek ekonomi, berlatarbelakang ekonomi baik, dengan asumsi masing-masing memiliki gadget, pola pikirnya akan cenderung lebih dinamis, dan hal ini directly akan membutuhkan model pendidikan yang cenderung lebih inovatiif dan kreatif.
Need assesment ini bisa dilakukan dengan cara apapun, bisa dengan observasi, studi literatur, dsb. dan tahapan ini sangat vital, karena ini akan jadi pijakan buat menentukan metode yang tepat agar tercapai objective learning (tujuan pendidikan). Tidak harus sempurna, yang penting ada dulu, karena pada pelaksanaannya semua akan menutut adanya imporvisasi dan iterasi.
Contoh lain, Gen Z (1996-2008) memiliki tingkat melek kesehatan mental yang lebih besar ketimbang generasi sebelumnya, seorang pendidik harus bisa menjadi "Bond Maker" ada keterikatan secara emosional, buat lebih bisa memahami mereka, jadi kita tidak menuntut untuk mereka hormat agar lebih ditaati dsb, melainkan jadikan diri kita, secara natural dihormati mereka.
Bagaimana caranya? Punya dan perdalamlah value yang kamu punya. Tidak melulu soal keilmuan, bisa jadi soal keteladanan sikap, dsb kuncinya adalah konsistensi. Intinya, asumsi saya, kita tidak perlu tunjukkan "siapa diri kita", melainkan biarkan mereka sendiri yang member kita definisi "siapa diri kita" atas dasar apa yang mereka lihat, dengar, pelajari dari diri kita.
Ini yang juga akan memudahkan seorang pendidik tidak terbebani keharusan ini itu, harus selalu tampil sempurna, dsb. ya oke bagus sih, misal disikapi dengan terus belajar dan ingin menjadi best version of yours, tapi kalau jatuhnya malah minder, ga pede, dsb? Kan lucu.
Maka, jadilah dirimu sendiri. Kamu pengen orang-orang mengenal kamu sebagai apa dan siapa, sembari kamu terus belajar, evaluasi diri, untuk ingin menunjukkan yang terbaik ke mereka. Semoga mudah dipahami ya, bisa panjang lebar kalau bahas kayak ginian haha
10 notes
·
View notes
Text
Serial Tadzkirah-Kaburo Maqtan
Manusia itu tempat salah dan khilaf. Makannya kita diajarkan untuk senantiasa bermuhasabah, mengevaluasi diri atas apa yang telah maupun belum diukir semasa hidup. Salah satu hal yang perlu kita muhasabahi adalah perkara ilmu yang kita miliki. Lebih banyak kita ajarkan atau amalkan?
Dalam Q.S. Ash-Shaff : 2-3 Allah sampaikan :
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
Inti dari kedua ayat itu adalah soal tuntutan kesinambungan antara apa yang kita ucapkan dan juga amalkan. Kadang, kita merasa mampu atas keilmuan yang dimiliki, untuk memberi nasihat berlaku A atau B, atau jangan C maupun D, tapi malah dilain sisi terhadap apa yang kita lakukan, justru sebaliknya, bertolak belakang dengan apa yang kita sampaikan. Naudzubillah.
Bagi mereka yang sering mengucapkan sesuatu tapi tidak melakukannya, kata Allah dalam ayat itu, “Kabura Maqtan ‘indallah”, amat besar kebecian Allah. Serem ga tuh kalau Allah sampai benci? Ayat itu bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, justru agar kita menjadi pribadi yang lebih berhati-hati dan teliti akan sesuatu. Kalau hal kecil saja diperhatikan, apalagi yang besar?
Tulisan ini ditulis bukan untuk mengerdilkan semangat kita untuk mensyiarkan islam atau ilmu apapun, tapi seperti poin pertama pada tulisan ini, sebagai bahan muhasabah. Evaluasi, jangan-jangan kita pernah, atau bahkan sering, secara tidak sengaja berlaku demikian.
Kita terjebak dengan semangat ingin didengar, ingin dianggap, ingin punya nama, daripada semangat untuk mengamalkan apa yang kita pelajari kemudian ucapkan. Tidak ada salahnya untuk mencoba menelisik kembali diri kita ini, mari bermuhasabah bersama, supaya menjadi pribadi yang Allah suka dan Rasulullah rindukan… Aamiin…
Semangat bermuhasabah!✨
45 notes
·
View notes
Note
Bismillah, gimana sikap kita sebagai jundiyah ya kak? melihat qiyadah-qiyadah banyak yang berselisih paham? Tidak sedikit juga keputusan mereka yang cenderung bias.
Serial QnA— Sikap Jundiyah
Alhamdulillah senang sekali ada yang bertanya di akun ini, jadi ada ide mau nulis apa..
Jadi gini, dalam bingkai berjamaah itu kita perlu senantiasa mengedepankan husnudzan terutama kepada para qiyadah-qiyadah kita. Betapapun mereka telah dipilih berdasarkan kapabilitasnya, mereka tetap manusia yang tidak luput dari khilaf dan salah—pun tiada qiyadah wal jundiyah, ketika tidak dilandasi dari semangat berjamaah dan tsiqah.
Cuman gini, betapapun keputusan yang dibuat seringkali kita anggap aneh, dan kadang kala mengecewakan... Insyaallah itu adalah keputusan terbaik, sebab lahir dari aktivitas syuro, yang juga diupayakan ada pertolongan dari langit, dengan menghadirkan nilai dan ikhtiar barokah di dalamnya.
Lalu begini, dalam menyikapi keputusan yang dianggap bias, bahkan nggak masuk akal. Setelah sikap husnudzan kita kedepankan, selanjutnya hadirkan helicopter-view, sudut pandang yang lebih luas, melihat dari ketinggian, sehingga nampak berbagai macam sudut pandang.
Saya pernah baca tulisan dalam buku berjudul taujih pekanan di rak buku rumah, sudah kumuh saking lamanya, cuman isinya menurut saya begitu mewah yang membahas perihal ini. Singkatnya seperti ini:
Dalam sebuah rubrik, ada seorang aktivis dakwah menanyakan mengenai fenomena hilangnya tsiqah (rasa percaya) kader dakwah terhadap perubahan sikap, langkah dan kebijakan dakwah para qiyadah.
Dari jawaban panjang yang dikemukan pengasuh rubrik tersebut, terselip pertanyaan balik yang membuat penanya merenung dan membuatnya menemukan jawaban melalui sudut pandang yang berbeda, "Apakah ketidaktsiqohan kader tersebut dikarenakan para qiyadah yang sudah berubah atau kapasitas keilmuan para kader yang terbatas dan tidak mampu memahami sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah?"
Pertanyaan balik dari pengasuh rubrik itu mengajarkan kita untuk menilai sesuatu harus dengan cara pamdang yang luas. Melihat suatu persoalan hanya dengan satu disiplin ilmu saja hanya akan membuat kita terkungkung dengan asumsi-asumsi atas kesimpulan yang menyesatkan.
Disitulah kemudian kredibilitas keilmuan perlu ditingkatkan, karena kebijakan dakwah di era yang modern dan dinamis ini hal tersebut akan memudahkan kita untuk menyikapi dan mengeksekusi segala potensi dan ancaman dalam dakwah.
Jika ikhtiar-ikhtiar itu dirasa masih kurang, karena keterbatasan kita. Maka, ada adabnya. Tanyakan pada yang berwenang menjawabnya, bukan justru diskusi dibawah dengan tendensi negatif, yang akhirnya justru nirproduktif dan nihil solusi.
Wallahua'lam bish showab.
53 notes
·
View notes
Text
Serial Taujih—Prasyarat yang Perlu Dihadirkan
"Memilih jalan hidup untuk berkhidmat bersama umat itu memang melelahkan, bahkan sesekali menyakitkan. Saat orang lain istirahat, kita memilih untuk berkorban waktu, tenaga bahkan harta hanya untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Akan tetapi, jika pilihan itu didasari dengan kepahaman, keikhlasan, totalitas amal, dan pengorbanan maka hidup kita akan mulia, matipun juga, Insyaallah."
Kepahaman, keikhlasan, totalitas dan pengorbanan adalah modal pokok di dalam mengusung perjuangan. Apapun yang diperjuangkan. Kehadirannya menjadi prasyarat yang wajib ada jika kita ingin berbicara dan memperoleh output dakwah yang optimal dan berkesinambungan.
Kepahaman memiliki peran bahwa segala sesuatu harus memiliki dasar; baik itu landasan syariat, maupun dasar-dasar ilmu kauniyah (dunia) sebagai penunjang komprehensifitas amal. Ketika dua hal itu mampu dikolaborasikan, akan mencipta suatu metode (cara) yang benar dari segi syariat, dan diterima dari segi lingkup sosial dan budaya.
Keikhlasan memiliki peran dalam menentukan arah, menjadi kompas atas segala kebingungan di tengah jalan. Ia harus menjadi satu hal yang terus diperbarui agar menjaga kualitas amal. Keikhlasan ini hanya mampu diperoleh ketika setiap da'i bisa memupuk karakter dalam dirinya yaitu rasa muraqabatullah (merasa diawasi Allah), yang bersih tidak dinodai dengan maksud dan harap duniawi.
Totalitas memiliki peranan dalam memberikan sikap dan tindakan dari bentuk implementasi hadits arbain ke 17 “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu.” . Total dari segi menghadirkan input, mengawal proses, hingga melahirkan output optimal di akhir. Karena yakin bahwa Allah lebih menilai proses daripada hasil.
Dan terakhir, pengorbanan yaitu menyadarkan kepada kita bahwa, hampir mustahil perjuangan tanpa adanya butir-butir pengorbanan. Waktu, tenaga, pikiran dan harta. Sehingga melahirkan sikap selalu korektif, "Jika dakwah tidak terasa berat (berkorban), jangan-jangan ada yang salah."
Wallahua'lam bish showaab.
134 notes
·
View notes
Text
Serial Tadzkirah—Memaknai Kembali Arti Kemenangan Dakwah
Ada hal yang barangkali kita perlu evaluasi ulang dari bagaimana kita menerjemahkan arti kemenganan dakwah. Mengapa demikian?
"Sikap seorang aktivis dakwah itu harus lahir dari kepahaman yang benar, sehingga darinya akan melahirkan sikap yang benar pula dalam menjalankannya. Maka salah dalam memahami, akan menjadikan sikap dan gerak yang justru tidak orientatif dan tidak membuahkan hasil yang utuh."
Dalam konteks kemenangan dakwah, tidak jarang kemenangan selalu divisualisasikan atau diphamai dengan ketercapaian hal-hal dzahir semata, semisal jumlah besar, pengaruh yang luas, dsb. Padahal, hal-hal yang semacam itu justru dapat menjebak seorang aktivis dakwah, bahkan jamaah, pada sifat al-kibr dan riya', merasa besar, sombong dan pamer.
Jika demikian, masih beranikah kita menyebut bahwa kemenangan-kemenangan yang demikian itu adalah upaya untuk menggapai ridho-Nya?
Lantas, bagaimana definisi kemenangan dakwah yang hakiki?
Imam Ahmad ibnu Hanbal mendefinisikan kemenangan sejati ialah, Maa laazumul haqqu qulubana’, selama kebenaran masih tetap kokoh di dalam hati kita. Kebenaran yang dimaksud adalah ketika masih ada kejernihan hati yang tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang justru bertolakbelakang dengan keridhoan Allah Swt.
Ini artinya secara tegas menyampaikan bahwa tidak ada kemenangan yang haq, apabila ketercapaian-keteracapaian dzahir tidak diimbangi dengan kejernihan hati; kepada siapa kita menaruh orientasi, bagaimana keikhlasan dalam menjalani maupun pengorbanan yang kita beri, dsb.
Ketika seseorang sudah menaruh pemahaman yang benar dan utuh dalam memaknai kemenangan yang haq ini, bahkan ketika ditakdirkan Allah pada ketertundaan capaian-capaian dzahir, insyaallah dia adalah pemenang. Karena semua ikhtiarnya semata hanya untuk Allah, dan Rabb-nya lah yang paling berhak menilai kemenangan yang sesungguhnya dari buah perjuangannya.
Waallahua'lam bish Showab.
11 notes
·
View notes
Text
Serial Tadzkirah—Ujian dalam Berjamaah
Salah satu konsekuensi logis dari keputusan bergerak di wadah perjuangan (jamaah) yang sama itu adalah memahami tabiat wadah pergerakan itu dan dengan siapa kita bergerak. Ini adalah keniscayaan, sebab dengan kepahaman yang mengakar itulah seseorang akan mampu bertahan dalam menghadapi gejolak dan dinamika keberlangsungan hidup dari jamaah itu.
Memang, pada akhirnya tidak mudah memahami karakter maupun watak dari setiap individu yang ada di dalamnya. Akan tetapi, kita harus sadar bahwa ini adalah konsekuensi logis yang harus dipenuhi agar tercipta harmonisasi sehingga mendukung adanya ketercapaian dari sebuah tujuan bersama itu.
Ya begitulah tantangannya, masing-masing orang punya watak dan karakter yang berbeda, punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Akan tetapi justru disitulah peranan seni dan nilai estetikanya. Ketika dari kebersamaan itu dapat saling melengkapi dan menutup kekurangan dari setiap individu. Tentunya itu semua harus diawali dengan saling mengenal dan memahami satu sama lain.
Maka seringkali, saya pesankan dalam banyak forum, saat sesi closing statement (selain agar menjadi tamparan dan mengakar dalam mindset saya) yaitu :
"Ikhwah fillah.. Ada dua bekal yang antum harus miliki dan tumbuh suburkan dalam kesiapan hidup berjamaah, yaitu kesabaran dan kedewasaan."
Sabar ketika kita harus dihadapkan pada keputusan yang tidak selaras, seharap dengan harapan kita, ataupun hal-hal lain yang menguras dan menguji habis ego kita; hasil syuro, arahan qiyadah, dsb. Kesabaran yang melibas semua ego, maupun kesombongan diri yang tak terkendali.
Setelah kita bersabar dengan hasil itu. Kemudian sikap selanjutnya adalah kedewasaan yaitu bagaimana kita menyikapi persoalan itu. Maka disinilah, pentingnya kita hadirkan sudut pandang yang lebih luas (helicopter-view) yang akan diperlukan dalam memahami dinamika yang ada.
Kedepankan sikap prasangka baik terhadap saudara kita, para pemimpin kita.
Wallahua'lam bish showab.
49 notes
·
View notes
Text
Serial Tadzkirah—Generasi Ruhbanul-lail
Berbicara mengenai kiprah emas perjuangan Islam, maka ada 3 faktor yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : 1) Figur Qiyadah (pemimpin), 2) Narasi yang bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, dan 3) Kualitas para Jundiyah (SDM yang dipimpin).
3 hal tersebut setidaknya faktor yang tidak pernah abstain dalam kiprah kemenangan Islam. Pada tulisan ini saya akan garisbawahi pada poin ketiga, kualitas jundiyah (SDM).
Berangkat dari latar belakang kiprah kegemilangan Islam di zaman Rasulullah. Salah satu rahasia sahabat mudah dipimpin dan sigap dalam menyambut seruan adalah kejernihan hati yang mereka miliki. Sebab pada hati yang bersih, lenyaplah semua penyakit hati yang akan merusak suasana komitmen dan tatanan dalam amal jama'i.
"Bak panglima perang di siang hari, dan rahib (pendeta) di malam hari." begitulah generasi mereka disifatkan. Mereka adalah panglima-panglima bagi dirinya sendiri, bukan hamba nafsu yang akan mengarahkan jasad tanpa kendali.
Mereka juga adalah barisan yang istimewa yang terkecuali dari sifat ammaratu bissuu', seperti yang digambarkan Allah Swt dalam firman-Nya, "Sesungguhnya jiwa itu memerintah pada keburukan, kecuali (jiwa) yang dirahmati oleh Rabb-ku.." (QS. Yusuf : 53)
Mereka mengikat nafsu mereka dengan 'azam (tekad kuat), karenanya ibadah yang paling berat dan sulit sekalipun, berubah menjadi yang paling dicintai oleh mereka. Mereka selalu menghidupkan binar ibadah malam mereka, sholat yang paling berat ujiannya (baca : sholat tahajud) hampir-hampir tidak mereka tinggalkan.
Betapa esensialnya bagi mereka bahwa malam adalah waktu terbaik dalam bermunajat sekaligus bermuhasabah atas aktivitas siang hari mereka. Bagi mereka, manis dan kelezatan munajat sulit dirasakan selain ketika qiyamullail. Karenanya, Muhammad bin Siiriin mengatakan, "Qiyamullail harus dilakukan, meskipun hanya sebatas memerah susu onta."
Qiyamullail adalah kesehatan bagi tubuh, sinar dalam hati, cahaya pada wajah, kekuatan mata dan seluruh anggota tubuh. Seseorang mu'min ketika qiyamullail hatinya akan senang, dan bila ia tertidur dari melakukan wirid hariannya, hatinya sedih, seolah ia kehilangan sesuatu. Kehilangan sesuatu yang mengandung manfaat paling besar.
Begitulah kunci dari kualitas SDM di zaman Rasulullah, yang kiprah perjuangan mereka tidak akan pernah lekang dan habis dimakan zaman. Kisah-kisah heroik mereka bukan tanpa sebab, semua mereka ikhtiarkan dari bagaimana menjaga kualitas amal-amal ruhiyah mereka.
Sekarang jika kita refleksikan pada barisan perjuangan aktivis dakwah hari ini, bagaimana kualitas kita dalam menjaga malam-malam kita? Berapa banyak malam yang terlewat dalam sepekan tanpa adanya ikhtiar-ikhtiar mengetuk pintu langit? Coba renungkan!
59 notes
·
View notes
Text
"Jalan dakwah itu memang harus berat, kalau dakwah tidak menghadirkan rasa berat, bahkan hampir-hampir putus asa, seakan terus merasa 'baik-baik saja' malah justru ada yang perlu kita tinjau kembali. Jangan-jangan kita sudah mulai opurtunis, atau mulai pragmatis dalam menyikapi peluang amal yang ada?"
Pesan pakde dalam kajian subuhnya pada topik Jalan Menuju Kejayaan Umat, Alm. Ust. Habibullah Qomarudin, Lc.
27 notes
·
View notes
Note
Karena disuruh nyumbang tulisan, aku nyumbang pertanyaan aja deh..
Dalam memandang situasi dan kondisi ummat islam saat ini, menurutmu apakah sikap optimisme terhadap kemenangan itu sangat penting? contohnya tuh kayak lebih melihat bagian-bagian positif yg sedang terjadi saat ini misalnya semakin banyaknya influencer yg hijrah.
Karena tuh katanya kalo punya pemikiran yang optimis kita bisa lebih bersemangat, sekian pertanyaannya semoga bisa dimengerti...
Aksioma yang perlu senantiasa kita hidupkan dalam amanah-amanah dakwah hari ini, ditengah mungkin bayangan keputus-asaan, kekhwatiran akan barisan yang mulai berguguran ataupun para pengusungnya yang satu persatu mulai menghindar dalam menanggung beban, ialah :
Kemenangan adalah janji Allah. Sebagaimana firman-Nya : "Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong agama Allah, maka Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (kemenangan)." (QS. Muhammad:7)
Kemenangan adalah sunnatullah. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. Al-Hajj;40).
Maka dari itu sungguh menjadi pertanyaan, apabila aktivis dakwah merasa pesimis akan adanya kemenangan hanya karena kerja-kerja dakwah hari ini seakan tidak membuahkan hasil apapun.
Ingat ikhwah, bahwa dakwah dengan membangun kembali sisa-sisa puing keumatan adalah merupakan mega proyek, yang kita tahu bahwa pada proyek-proyek besar, selalu memakan waktu, tenaga dan pikiran yang tidak sederhana, serta hasil terbaik akan didapati apabila ada seni yang tidak dipisahkan di dalamnya.
Maka, kecil besar kerja-kerja dakwah hari ini, ikhtiar yang terus diupayakan haruslah dibarengi dengan sifat optimisme yang akan melahirkan 'azzam (tekad) yang kuat yang tidak ternodai dari prasangka dan sifat pesimisme dalam bergerak.
Sifat optimisme juga yang nantinya akan melahirkan spirit yang terus hidup, membakar bahan baku kemalasan dan keputusasaan. Maka, jangan bersedih, jangan merasa putus asa, jangan takut, karena firman-Nya mengatakan :
"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa : 104)
14 notes
·
View notes