#SEGERA PESAN DI:
Explore tagged Tumblr posts
Text
HARGA GROSIR, Call 0811-257-132, Bayonet Tentara Ulir
"Selamat datang di Toko Atribut TNI Berkah Berlimpah, solusi one-stop shop Anda untuk segala kebutuhan atribut dan perlengkapan TNI. Produk unggulan kami adalah Sepatu TNI AD Terbaru, Sepatu TNI Perempuan, Sangkur Paling Tajam, Pisau Sangkur Besar, Sepatu TNI AL Olahraga. Siap kirim ke seluruh anggota yang berada di berbagai wilayah Indonesia langsung saja klik https://wa.me/62811257132 dan pesan segera.Toko Atribut TNI Berkah BerlimpahJakarta Timur – Indonesia Call / WA : 0811-257-132Call / WA : 0811-257-132Call / WA : 0811-257-132#PerlengkapanPeralatanMiliter, #PerlengkapanSenjataMiliter, #PerlengkapanMiliterTerdekat, #PerlengkapanMiliterTangerang, #PerlengkapanMiliterMurah, #armyknifebuy, #armyknifebest, #armyknifebracelet, #armyknifeblade, #armyknifebeltpouch"
#KLIK https://wa.me/62811257132#Jual Pisau Bayonet#Pisau Bayonet Asli#Pisau Bayonet Tni#Pisau Bayonet Ak 47#Pisau Sangkur Kukri#Toko Atribut TNI Berkah Berlimpah adalah toko yang mengerti kebutuhan Anda. Kami menyediakan berbagai jenis perlengkapan khusus untuk anggo#SEGERA PESAN DI:#Toko Perlengkapan TNI Berkah Berlimpah#Jakarta Timur – Indonesia#Call / WA : 0811-257-132#JualPisauBayonetKediri#JualPisauBayonetMerauke#JualPisauBayonetManado#JualPisauBayonetMimika#JualPisauBayonetAmbarawa#PerlengkapanTentaraKosambi#PerlengkapanTentaraIndonesia#PerlengkapanTentaraTerdekat#PerlengkapanTentaraCimahi#PerlengkapanTentaraPolri
0 notes
Text
Pesan Untukmu
Tulisan ini mungkin akan segera menemukanmu, atau mungkin membutuhkan beberapa waktu, entah sehari, seminggu, sebulan, bahkan mungkin beberapa tahun kemudian.
Tulisan ini dibuat di 23 Januari 2025, sebuah penanda waktu yang mungkin bagimu adalah hari yang membahagiakan atau mungkin hari yang membuat sedih. Setiap orang punya ceritanya sendiri di tanggal yang sama.
Aku hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa kamu telah berjalan sejauh ini, masih bertahan hingga saat ini. Meski pikiranmu berkecamuk, beberapa kali ingin menyerah, banyak sekali pertanyaan di kepalamu yang membuatmu sulit tidur, serta bingung menerka kemana dan seperti apa ujung dari jalan yang lagi kamu lalui. Bahkan beberapa di antaranya, ada yang sempat kepikiran untuk mengakhiri hidup tapi itu tidak dilakukan hingga saat ini. Bukankah itu hebat? * * * * *
Saat orang lain mungkin telah memiliki apa yang kita inginkan, mencapai apa yang kita harapkan. Sering kita bertanya-tanya, mengapa bagi kita jalan ke sana itu terasa sulit. Ada banyak hambatan, bahkan harus muter-muter. Kadang kita juga berpikir, kenapa untuk memahami sesuatu butuh waktu yang lama. Saat belajar hal baru, kita butuh waktu setahun, mereka sebulan sudah bisa. Kenapa semuanya terasa sulit buat kita? Bahkan saat mereka memiliki impian-impian, hal-hal di sekitarnya tak memberatkan. Mereka mendapatkan dukungan tanpa harus memikirkan tanggungan lain, seperti kita yang mungkin harus banyak berkorban untuk keluarga, saudara, bahkan diri sendiri.
Saat malam menjelang, pelan kita tutup pintu kamar dan sendirian. Pikiran kita terasa rumit, terasa sulit untuk melihat kenyataan bahwa menurut kita, kita belum mencapai apapun. Hal-hal yang jadi impian kita rasanya seperti khayalan saja.
Itu adalah pikiran yang membuat kita sulit bahagia.
Sementara di lain waktu, saat kita berkendara, saat kita bertemu dengan banyak orang di luar sana. Hidup yang menurut kita merana ini, ternyata adalah hidup yang begitu nyaman. Kita masih bisa berteduh saat hujan, masih bisa menikmati makan setiap hari, masih ada waktu untuk berselancar di dunia maya, masih memilik pakaian yang bisa berganti-ganti, masih punya waktu untuk mengaji, dan banyak hal lainnya.
Ahhh kadang hidup yang kita jalani ini, terasa sesak bukan karena apa yang kita miliki, tapi kita terlalu banyak memikirkan apa yang tidak kita miliki.
Rasanya, kita sebenarnya sedang diuji dengan ketakutan diri. Takut akan penilaian orang, takut akan kemiskinan, takut akan hilangnya kesempatan, takut akan umur yang semakin bertambah, takut salah memilih pasangan. Semua rasa takut itu seolah menjadi pemutus jalan antara kita dan masa depan. Sehingga kita terus menerus hidup di hari ini, dengan keadaan yang seolah tak pernah beranjak karena kita tidak pernah berani.
Tidak berani untuk kelelahan nmemperjuangkan impian, tidak berani untuk membuat kesalahan, tidak berani untuk membuat keputusan, tidak berani untuk menghadapi kenyataan, tidak berani untuk bertemu dengan hal-hal yang tidak sesuai ekspektasi.
Jangan-jangan jarak kita dengan tujuan hanya sejengkal, hanya saja butuh keberanian. Sementara kita terus menerus hidup dalam rasa takut seolah tidak punya Tuhan? * * * * *
Tulisan ini mungkin akan kamu temukan suatu hari nanti, entah kapanpun itu ditemukan dan kamu sedang tidak nyaman menjalani hidupmu sendiri? Coba lihat lagi, ada berapa banyak pilihan yang kamu miliki jika kamu berani? Sesuatu yang selama ini kamu berpikir bahwa kamu tidak punya pilihan. (c)kurniawangunadi
281 notes
·
View notes
Text
tidak semua..
tidak semua kebaikan-kebaikan itu bertemu dan cocok. cinta tahu kemana harus pulang, jodoh tahu kemana harus memupuk keshalihan. menjadi baik adalah tugas kita, mencari jodoh yang baik adalah upaya kita. pada akhirnya kita akan paham bahwa kita adalah ujian bagi satu sama lain.
beberapa waktu ini berseliweran tulisan di media sosial seperti ini,
otak: gak harus dia.
hati: gak, harus dia!!
dan aku jadi teringat dengan beberapa kejadian waktu lalu, tentu cerita ini aku tulis sudah atas persetujuan kedua belah pihak. berawal dari suami yang sering dimintai temannya laki-laki untuk dibantu dicarikan jodoh. sejak awal suami tidak ada niatan untuk menjadi perantara seseorang mencari jodoh. namun entah mengapa suami berubah pikiran dan mau membantu temannya mencarikan jodoh.
suami melihat keseharian temannya ini yang Masya Allaah sekali. mulai dari keilmuannya tentang agama, adab, akhlaknya ia yang sopan, lemah lembut, serta secara fisik teman suami ini tergolong tinggi, kulit bersih terawat untuk ukuran laki-laki, berjenggot, dan teduh.
lalu suami membicarakan ini denganku, bertanya kepadaku apakah aku punya teman perempuan yang juga mencari jodoh. aku terpikirkan dengan seorang teman, aku kenal baik sebelum aku menikah bahkan sampai aku telah menikah. dia perempuan yang baik, lemah lembut sekali, tutur bicaranya lembut namun tidak lebay. dia cantik, berpendidikan tinggi (S2), agamanya baik, selama bermuamalah dia orang yang amanah. menurut pandanganku dia akan cocok dengan teman suami.
singkat cerita, aku dan suami bersepakat untuk membantu keduanya menjembatani proses ta'aruf. barangkali Allaah takdirkan mereka berjodoh,. karena akan Masya Allaah, sekali jika memang mereka bersatu. pertukaran biodata keduanya sama-sama ada ketertarikan, cocok dan bersepakat untuk lanjut ditahap berikutnya. tahap berikutnya mereka bertemu untuk nadzor. kedua belah pihak pun setuju, proses ta'aruf berjalan dengan baik.
selama proses ta'aruf berlangsung aku dibuat takjub oleh kedua pasangan ta'aruf ini. mereka benar-benar menjaga diri mereka dari hal-hal kecil selayaknya bermudah-mudahan berkirim pesan tanpa udzur. mereka berdua bahkan tidak tahu nomer satu sama lain. komunikasi dilakukan benar-benar melalui kami selaku perantara. komunikasi berjalan dengan baik, bahkan pertanyaan yang diajukan ketika proses bertemu benar-benar berbobot, tidak menya-menye, point penting ekonomi, pengasuhan anakpun mereka bicarakan dengan baik. keduanya bersepakat untuk lanjut ke proses khitbah dan bersepakat untuk menikah.
ujian dimulai.
ketika kedua belah pihak bersepakat untuk menuju jenjang pernikahan. mereka diuji satu sama lain. orangtua teman perempuanku jatuh sakit, ayahnya stroke. ketika ayahnya sakit, tanggal pernikahan yang sudah ditentukan terpaksa dimundurkan dari rencana. sebab temanku ingin melakukan baktinya sebagai anak sebelum menjadi istri orang. laki-lakinya setuju untuk menunggu beberapa bulan sampai ayahnya sembuh atau setidaknya bisa beraktivitas dengan tidak dibantu.
selama proses perawatan ayahnya, mereka berdua tidak ada komunikasi. benar-benar menjaga satu sama lain. lalu ujian berikutnya datang di pihak laki-laki. ibu dari pihak laki-laki memiliki calon yang ingin dikenalkan ke anak laki-lakinya. awalnya teman laki-laki suamiku ini menolak, sebab ia sudah berjanji akan menunggu ayah calonnya ini sembuh. namun ibunya sudah tidak sabar ingin melihatnya segera menikah, mengingat usianya sudah tidak muda lagi menurut pandangan sang ibu. "35 tahun umur yang sudah seharusnya bisa meanugerahi ibumu ini cucu"
meski teman suamiku ini sudah ngaji, sudah paham, namun ia mengatakan bahwa ia masih perlahan-lahan memahamkan Islam di keluarganya terutama ibu bapaknya. aku memahami ini, bahwa tidak semuanya dari kita cukup beruntung bisa lahir dan tumbuh di keluarga yang paham nilai-nilai dasar agama Islam.
sampailah pada putusan final, suami mendapat undangan langsung dari teman laki-lakinya tersebut. suamiku cukup kaget dan menanyakan bagaimana dengan proses ta'aruf yang ia jalani. sebab dari kabar terakhir keduanya memutuskan untuk ditunda, menunggu dan saling menjaga ditempatnya masing-masing. belum ada salah satu pihak yang memutuskan untuk diakhiri.
pada akhirnya teman suami merangkul suami dengan meminta maaf dan menangis. ia siap pergi menemui teman perempuanku untuk mengakhiri proses ta'aruf nya dan meminta maaf sebab memutuskan sepihak. dia tidak menjelaskan kenapa akhirnya ia memutuskan memberikan. undangan ke suamiku. namun setiba dirumah suami bercerita dan akhirnya kita mencoba memahami sudut pandang satu sama lain, bahwa tidak semua kebaikan-kebaikan akan cocok. tidak semua ikhtiar baik yang dilakukan akan berakhir dengan kesepakatan. bahwa tidak semua rencana manusia akan berjalan sesuai dengan kemauannya. manusia boleh berencana bagaimanapun, pada akhirnya Allaah yang menentukan takdir untuk kita semua.
singkat cerita, aku, suami, dan teman laki-laki suami bertandang kerumah teman perempuanku. untuk meminta maaf, untuk meminta kelapangan hatinya, untuk memutuskan proses ta'aruf ini. aku meminta maaf kepada temanku dan ikut menangis dengannya ketika selesai, dan suamiku juga menenangkan temannya yang menangis dimobil. rasanya semua merasakan sakit tak berdarah satu sama lain.
baru kali ini, aku merasakan sakitnya dari berakhirnya prosesi ta'aruf. bukan karena perempuan ini temanku, atau laki-laki itu teman suami. melainkan sedihnya melihat perpisahan kedua orang yang menurut pandanganku keduanya ini baik, dan akan cocok bila bersatu. namun sekali lagi Allaah lebih tahu mana yang terbaik untuk hambanya.
aku dan suami menghadiri pernikahan teman suami. kami berdua hadir di acara ijab qobulnya. berlangsung khidmat. aku berada diruang tunggu mempelai pengantin wanita. aku duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang jika dilihat usianya seperti ibuku sendiri. rupanya benar, beliau adalah orangtua dari calon pengantin. aku memberikan tisu dan minum untuk menenangkannya, dan tak terasa aku dan beliau terlibat obrolan yang mendalam.
selama perjalanan pulang aku terdiam sambil ku takjubi apa yang sedang aku rasakan. aku bercerita kepada suami bahwa aku bertemu dengan ibu pengantin temannya. rupanya si A (inisial nama pengantin) ini sudah yatim sejak umur 5tahun, ibunya membesarkan dia dan kedua saudaranya sendiri. si A ini lulusan terbaik di LIPIA ditahun itu. seorang hafidzah, S2, dan dia punya yayasan tempat untuk anak-anak mempelajari Al-Qur'an. dan disaat yang sama aku mendapat kabar di Wa dari teman perempuanku. bahwasanya ada seorang kakak kelasnya datang kerumah dan memitanya langsung ke orangtuanya. dia menerimanya dan bersepakat bulan depan untuk menikah. sebab calonnya yang juga kakak kelasnya ini sedang menempuh study S3nya ini di Malaysia.
ya Allaah, lalu aku menangis. kedua orang baik ini bertemu dengan pasangannya masing-masing dengan caranya masing-masing. selama perjalanan pulang pembicaraanku dan suami hanya tentang mereka berdua. kami mencoba menelusuri satu per satu yang membuat masing-masing dari kami berpikir tentang bagaimana jodoh itu berjalan. bagaimana ketetapan Allaah itu terjadi.
if something is destined for you, never in million years it will be for somebody else.
Barangkali kita pernah. menjadi satu diantara pilihannya, menjadi tujuan perjalananya. meski pada akhirnya ketetapan Allaah yang jadi pemenang.
barangkali kita pernah. melepas seseorang yang baik itu, menabahkan diri atas keputusan yang kita pilih. sebab memaksa berjalan pada tujuan yang sama tidak menemukan titik temunya.
barangkali kita pernah. dibuat takjub atas perjalan yang Allaah kehendaki. sesuatu yang kita tangisi dengan begitu, justru memberi lebih banyak arti atas serangkaian hidup yang kita jalani.
pada akhirnya kita akan paham bahwa tidak semua kebaikan-kebaikan itu bertemu dan cocok. cinta tahu kemana harus pulang, jodoh tahu kemana harus memupuk keshalihan. menjadi baik adalah tugas kita, mencari jodoh yang baik adalah upaya kita. pada akhirnya kita akan paham bahwa kita adalah ujian bagi satu sama lain.
akhirnya aku memahami kembali, benar ya, seseorang yang begitu menjaga dirinya akan Allaah jodohkan dengan seseorang yang juga terjaga dengan baik. dan akupun juga menyadari bahwa sesuatu yang kita tangisi kelak akan kita syukuri pada akhirnya. Allaah tidak akan membiarkan hambanya yang sudah bersabar tanpa memberikan kabar gembira.
menuliskan ini dengan perasaan masih haru, dan berkaca-kaca, lalu hujan turun. || 19 Januari 2025
#tulisan#menulis#catatan#nasihat#wanita#kebaikan#perjalanan#syukur#doa#rumahtanggamuda#menikah#pernikahanimpian#pernikahan#ujianrumahtangga#ujian#proses#ta'aruf
272 notes
·
View notes
Text
Pada suatu masa
Pict by @coji0117
Pada suatu masa, kita ingin mengambil satu keputusan dari banyak pilihan, kita sudah mempersiapkan banyak rencana untuk menjalani apa yang kita pilih kelak. Qadarullah, ada takdir lain terbentang diluar kuasa dan daya kita, takdir yang mau tidak mau harus kita jalani dengan lapang dada.
Pada suatu masa, kita ingin berjalan lebih cepat agar sampai tujuan. Kita telah mempersiapkan bekal dengan lengkap, agar perjalanan kita sebisa mungkin tidak melambat apalagi sampai terhambat. Qadarullah, ternyata di pertengahan jalan, ada ujian yang tetiba hadir diluar perkiraan. Perjalanan pun memanjang, lebih jauh dan akan lama dari perkiraan.
Pada suatu masa, kita ingin segera mendapatkan pasangan hidup, menikah untuk menyempurnakan separuh agama dan tidak ingin terjebak pada hubungan-hubungan yang mengecewakan. Namun, kita tersesat pada sosok yang tak tepat, terhenti di waktu yang salah dan terjebak pada perasaan-perasaan yang tidak seharusnya tumbuh.
Di kehidupan ini, akan ada banyak sekali peristiwa yang terjadi di luar harapan kita. Di kehidupan ini akan banyak pula rencana yang hanya sebatas menggantung sebagai asa.
Namun, di kehidupan ini pula, setiap kejadian selalu memiliki hikmah dan pembelajaran dari-Nya, atas rencana-rencana yang batal; upaya-upaya yang gagal; dan kumpulan-kumpulan perasaan kecewa yang telah kita rasakan.
Ada pesan kebijaksanaan dari satu kesalahan yang kita lakukan. Ada pesan untuk meneguhkan iman dari penerimaan hati kita atas takdir yang mungkin tak sesuai harapan. Ada pesan untuk memperbaiki prasangka dibalik kegagalan dalam mencapai tujuan.
Bisa jadi kita sedang diselamatkan dari ketidakbaikan yang tidak kita ketahui dan bisa jadi pula apa-apa yang tak jadi kita genggam akan diganti dengan yang lebih menakjubkan jika kita meyakini bahwa Allah telah menuliskan skenario terbaik untuk cerita hidup kita.
Yang terbaik, pasti yang terindah. Tapi yang terindah, belum tentu terbaik untuk kita.
Perjalanan yang melambat bukanlah kegagalan, yang disebut kegagalan adalah jika kita memilih menyerah untuk berjalan menggapai tujuan.
Perasaan keliru yang tumbuh, adalah satu kesalahan dan dua pelajaran berharga. Satu, kita terlalu berlebihan menakar ekspektasi. Dua pelajarannya; kita sedang didewasakan untuk bijaksana dan diajarkan untuk menakar harapan agar secukupnya diletakkan kepada manusia.
Mari terus berajalan🍃
Jumat, 17 November 2023 14.35 wita
455 notes
·
View notes
Text
Deactivated
Kalau dihitung-hitung, ini udah ketiga kali aku deactivated IG . Deactivated pertama akhir tahun lalu sampai awal tahun ini dalam waktu kurang dari tiga bulan. Deactivated kedua waktu bulan Agustus selama satu bulan lebih. Sedangkan yang ketiga kali ini gak tahu akan berapa lama.
Alasan deactivated pertama karena di waktu-waktu itu energi sosialku benar-benar kekuras habis. Setelah dipakai untuk sosialisasi, demi kepentingan promosi buku, dan juga aku lagi mengalami begitu banyak kehilangan beberapa bulan lalu. Seperti biasa, 'menghilang' sejenak dari peredaran orang-orang yang kukenal dan mengenalku dan juga mengurangi aktif main sosmed adalah salah satu caraku buat memulihkan diri. Sedangkan alasan deactivate kali ini selain karena aku lagi pengen punya banyak waktu buat belajar nulis, juga karena aku lagi mencoba untuk kembali digital detoks: mengurangi informasi-informasi tidak penting yang akhir-akhir ini sering membuatku sakit kepala.
Sebagai seseorang yang terlalu sering melakukannya, gak ada kesulitan berarti yang kurasakan. Mungkin ini juga salah satu efek gak lagi punya crush siapa-siapa awokawok jadi gak merasa punya alasan buat selalu hadir di media sosial, gak merasa punya kebutuhan buat 'mantau' seseorang, apalagi keperluan buat membalas pesan seseorang segera. Hidupku akhir-akhir ini lumayan damai: tanpa notifikasi, tanpa tau banyak hal, tanpa tekanan buat membalas pesan. Sesuatu yang bagi sebagian orang membosankan.
Dibanding deactivate sebelumnya, sepertinya deactivated kali ini yang membuatku lebih banyak punya bahan buat refleksi. Mungkin karena akhir-akhir ini aku mengalami begitu banyak kejadian yang secara aku sadari mengubah sudut pandangku akan beberapa hal. Sesuatu yang membuatku menjadi lebih dewasa dan juga mindful.
Beberapa refleksi yang aku dapatkan
Baca versi English nya di sini
1. I don't have many friends, i just know a lot of people.
Saat aku deactivate, ada beberapa orang yang menyadari hal itu dan segera mengirimkanku pesan. Mereka bertanya apakah aku baik-baik saja setelah merasa tidak pernah lagi melihatku online WhatsApp, ig ku deactivate, dan juga gak pernah lagi melihatku update story. Bahkan ada satu orang yang mengaku bahwa aku salah satu orang yang story nya gak dia mute karena dia selalu nungguin aku update story karena menurut dia bermanfaat >< mengetahui hal itu aku lumayan terlalu dan sempat nangis *dikit hahaha. Aku belajar kalau ternyata ya, kita suka gak sadar kalau kehadiran kita di hidup beberapa orang sepenting itu. Kita gak tahu kalau ternyata selama ini kita punya 'impact' dalam hidup orang, sekecil apa pun itu.
Dari situ juga aku belajar bahwa saat kita menghilang dari peredaran, beberapa orang mungkin akan menyadarinya dan mencari kita, tetapi sebagian besarnya tidak akan peduli. Alasannya bisa saja karena kehilangan kita gak membawa pengaruh apa-apa di hidup mereka alias kita gak sepenting itu dan it's okay. Hidup mereka akan tetap berjalan dengan ada atau tidak adanya kita. Kita gak perlu menjadi penting bagi semua orang. Karena kita pun juga pasti gak menganggap semua orang penting.
2. Waktu 24 jam selalu cukup bahkan lebih kalau gak kita pake buat main sosmed
Aku terbiasa baca satu buku sehari dengan jumlah 200-300 halaman. Tetapi semenjak deactivate kebiasaan itu nambah sampai jadi dua buku sehari. Goal baca 50 buku aku tahun ini udah tercapai dua bulan yang lalu, dan di tiga bulan menjelang ganti tahun ini alhamdulilah aku udah baca 75 buku. Karena gak punya banyak kegiatan selain bekerja, waktu yang dulu aku pakai buat main sosmed sekarang aku pakai buat baca lebih banyak buku, menulis, dan juga kegiatan produktif lainnya.
3. Media sosial adalah pemicu terbesarku untuk lebih mudah stres hahaha.
Aku tipikal orang yang mudah untuk menyerap sesuatu. Sehingga apa yang aku lihat, dengar, dan juga ketahui dari media sosial seringkali terlalu dalam aku rasakan dan juga pikirkan. Kaya berita tentang Palestina awal-awal tahun ini tuh sampe bikin aku gak berani buat buka sosmed saking takut dan gak bisa nahan nangis. Dan itu gak sehat sama sekali.
Beberapa tahun ini udah lumayan membaik karena karakter aku yang sekarang menjadi lebih bodo amat. Tapi tetap saja, ada beberapa hal yang gak berada dalam kontrol ku sama sekali, meskipun aku udah cukup berusaha untuk membatasi apa-apa yang mau aku tahu. Jadi ketika aku udah merasa kewalahan, aku sudah cukup paham bahwa itu adalah saatnya aku mengambil jeda sebentar.
Sebagai seseorang yang bekerja di creativity industry, aku tahu berhenti total main sosmed bukan keputusan yang bijak. Karena aku juga gak memungkiri bahwa dari media sosial jugalah aku dapat banyak kesempatan bagus, seperti dapat pengetahuan baru dan juga terhubung dengan banyak orang baik dan juga menginspirasi.
Yang perlu aku lakukan kini ialah menggunakan media sosial sebijak dan semindful mungkin. Memanfaatkannya sebagai tool yang bisa membantuku untuk berkembang menjadi lebih baik, alih-alih membiarkannya 'mengonsumsiku' sebebas mungkin.
61 notes
·
View notes
Text
Jeda
Kamu kembali merasakan cemas yang tak tertahankan setelah sekian lama. Rasanya ingin mengalihkannya dengan menghubungi seseorang segera, tapi tidak. Kamu justru membuka jendela kamarmu lebar-lebar, merebahkan diri, melambatkan napas, dan menatap tinggi ke langit.
Langit di atas sana, dengan awan yang melintas perlahan, seolah berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang gelisah. Udara segar yang masuk lewat jendela membawa pesan tanpa suara: bahwa dunia ini masih bergerak, bahwa detak waktu tetap melaju, meski dadamu terasa sesak.
Ajaibnya, tubuhmu seakan tahu apa yang dibutuhkan. Cukup dengan membiarkan mata melihat ke atas—mengikuti jejak awan yang berpindah-pindah—sebuah pelarian tanpa perlu melangkah, tercipta. Rasa panik beralih menjadi tenang; kekacauan berubah menjadi jeda.
Alam menyembuhkan dengan caranya. Sentuhan udara, pemandangan langit, semuanya mengingatkan bahwa kecemasan hanyalah badai kecil di tengah harmoni besar semesta.
Kamu memilih untuk tidak berlari kepada siapa pun, kecuali kepada dirimu sendiri. Dan langit tidak hanya mengingatkanmu untuk bernapas, tetapi juga untuk percaya—badai selalu berlalu, dan setiap jeda memiliki caranya sendiri untuk memulihkan.
14 notes
·
View notes
Text
Novel Terbaru: Janji untuk Ayah
Akhirnya, setelah tiga tahun, novel ini selesai dan akan segera terbit.
Momen kehilangan segalanya, sering kali menjadi momen untuk menemukan diri sendiri.
∞
Setelah kematian ibu, Elang tinggal sebatang kara dan kehilangan alasan untuk hidup.
Hari-harinya berjalan tanpa tujuan hingga datang kabar mengejutkan tentang keberadaan ayah yang tidak pernah ia kenal.
Bermodalkan sebuah alamat, Elang memulai perjalanan tak terduga. Rintangan demi rintangan menghadang, namun tekadnya tak tergoyahkan.
Ia telah berjanji akan menemukan ayahnya.
Kisah petualangan yang mendebarkan sekaligus menghangatkan hati dari penulis novel best-seller Seribu Wajah Ayah.
---------
Kata Mereka, Pembaca Pertama
"Novel ini page turner abis. Alurnya sangat flowly, konfliknya jelas dari A sampai Z, tersusun rapi. Karakter para tokohnya juga balance. Aku paling suka sama Aral dan Lintang, yang mengajarkan bahwa hidup adalah medan petualangan yang sesekali perlu dirayakan. Buku yang unik, keren, mendebarkan, sekaligus menghangatkan hati pembaca. Worth reading and worth buying. Rate: 5/5" - Ahmad (@im.yaannn_)
“Healing fiction ini penuh dengan kritik sosial. Emosinya dapet, rangkaian katanya indah, kental dengan nilai agama. Pembaca bakal dibikin penasaran sama cara Elang menghadapi cobaan yang datang silih berganti. Tapi, seperti yang dibilang sama buku ini: kalau kita fokus sama rasa sakitnya, kita bakalan menderita. Kalau kita fokus sama pembelajarannya, kita bakal bertumbuh.” - Syarif (@menceriakan)
“Novel ini tipis tapi isinya padat banget. Setiap perjalanan ada maknanya. Elang bukan sekedar mencari ayahnya, tapi justru mencari jati dirinya sendiri. Cerita fiksi yang penuh dengan pelajaran hidup, disampaikan dengan sangat halus. A must-read, sih!” - Keiko Siahaan (@keikoas)
"Saya hanyut ke dalam dunia yang diciptakan penulis. Ikut merasakan perjalanan Elang menggunakan motor supra, sampai mendaki gunung. Pesan-pesan inspiratif dan kehangatan hubungan antar tokoh di novel ini precious banget. Buat kamu yang lagi butuh bacaan inspiratif yang mengandung bawang, novel ini salah satu yang terbaik." - Wildan (@welldonemusthofa)
24 notes
·
View notes
Text
"Like the sun at dawn
As if darkness
had been replaced by light
Its broke, to grow
Lost, then change."
- Rahl, 22125
Aku masih mendengar detak jantungku sendiri. Setiap langkah dan perjalanan, ialah alasan untukku bertahan dari kegilaan.
***
[ Bu Ita : Rue, apa temenmu memang seperti ini ya, tidak minat kah untuk magang?? ]
Sebuah notifikasi pesan muncul di layar hp Rue, gadis itu sejak tadi ingin beranjak dari tempat tidurnya tapi terpaksa harus duduk kembali. Ia meletakkan gawainya di atas kasur dan mengambil segelas air minum dari meja di sisi kanannya. Rue mengatur napas, ia terpaku sekejap pada isi pesan yang baru masuk itu.
[ Mohon maaf sekali ibu atas kesalahan teman tim saya, kami akan lakukan evaluasi bersama agar mencegah kejadian ini berulang ]. Rue memberi emoticon mengatup kedua tangan di akhir pesan teksnya.
Rupanya setelah beberapa menit, pesan itu hanya dilihat saja oleh Bu Ita---Penanggung Jawab anak magang di kantor Rue sekaligus Pimpinan Redaksi Penerbitan. Gadis itu membaringkan tubuh, ia menatap lekat-lekat ponsel miliknya, berharap agar Bu Ita memberikan kata-kata selain pesan yang pertama tadi. Ia memejamkan mata kemudian mendengus kesal sebab malah teringat Desi---rekan kerjanya.
Mengapa Rue harus satu tempat magang dengan orang yang sama sekali tidak dapat dipahami perilakunya? Kali ini Desi telat dua jam dan tidak mengabari sama sekali. Rue bahkan sudah hafal dengan pola ini. Nantinya ketika ada yang bertanya pada Desi, pasti jawabannya tidak jelas, seperti orang linglung.
Rue beranjak dari tempat tidur, ia mengecas handphone miliknya lalu bergegas untuk mengotak-atik isi kulkas, membuat bekalnya, lalu mandi. Menunggu jam dua belas siang agar ia bisa pergi ke kantor penerbit tempatnya bekerja. Setidaknya ia bisa mendapat pengalaman dari sana untuk mengaplikasikan ilmu yang dia punya, meningkatkan softskill dan hardskill, serta memperluas wawasan.
Paling kurang dirinya harus bertahan di sana lima jam per-hari nya, karena kali ini shift siang, maka pukul 17.00 ia bisa pulang. Dan begitulah kegiatan gadis itu sampai hari-hari berikutnya. Hidup di kota orang yang jauh dari orangtua sempat membuatnya merasa kurang nyaman. Apalagi sebelum pergi merantau ia sempat berdebat dengan kedua orangtuanya yang sangat menentang keputusan Rue. Tetapi ia harus melakukannya, demi perubahan hidup keluarga. Ya, dengan tekad kuatnya Rue bisa meyakinkan sang ayah dan bunda.
***
"Selamat siang Bi Siti," sapa Rue pada salah satu CS di kantornya.
"Siang Rue, panas banget yah neng di luar?" sahut wanita paruh baya itu, dia menghentikan aktivitas bebersihnya sebentar.
"Iya, Bi. Nyengat mataharinya," kata Rue sambil tertawa ringan.
"Masuk jam dua belas, Neng?"
"Ngga, Bi. Saya shift siang masuk jam satu, cuma mau dateng agak cepetan dikit."
"Ooh gitu nyah, si eneng geulis telaten pisan," puji Bi Siti.
"Aamiin, Bi. Oiyah, saya bawa Brownies buat Bibi." Gadis itu membuka tas kemudian memberi satu kotak Brownies untuk Bi Siti. Wanita paruh baya itu terlihat riang sekali menerima hadiah dari Rue, dia tahu bahwa Rue yang membuatnya sendiri karena Rue suka bercerita bahwa ia suka membuat berbagai kue dan roti. Bi Siti berterima kasih pada anak baik itu dan dibalas ramah pula oleh Rue. "Ngomong-ngomong saya ke dalem duluan ya, Bi? Mau siap-siap ganti shift, hehe."
"Boleh-boleh. Sok atuh neng, Bibi teh juga mau pulang ini," Bi Siti nyengir sembari buru-buru melipat kain lapnya. Rue pamit pada Bi Siti dan melambaikan tangannya, mereka pun berpisah. Rue akan mulai bekerja, Bi Siti akan segera pulang ke rumah. Sebuah siklus dimana bekerja, akan selalu menemui waktu akhirnya, yakni pulang.
Waktupun berlalu, kini Rue sudah berada di depan laptopnya untuk mengolah data-data, sekitar pukul dua nanti ia harus turun ke divisi percetakan untuk sekedar mengawasi tumpukan buku-buku yang akan dijilid. Rue mengerjapkan mata, rupanya sudah hampir jam dua. Ia pun segera ke lantai satu dengan membawa tablet kantor.
Ia tampak menikmati perannya menjadi Kepala Produksi. Dia mengarahkan karyawan dengan sangat teliti, agar meminimalisir kesalahan. Namun tak jarang pula Rue turut serta membantu para pekerja di sana, merangkul mereka. Terkadang mentraktir snack atau membawakan kue buatannya untuk para staff dan karyawan.
"Maaf Kak Rue, izin melaporkan. Sampul buku yang edisi satu sepertinya tidak sesuai dengan konsep awal, apa mungkin memang sudah diganti ya, Kak?"
"Boleh saya lihat dulu, Dek?"
"Silakan, Kak, sebelah sini." Rue tercengang melihat sampul buku yang ada, 'Berantakan sekali!'
"Dek, apa yang ini sudah melewati tahap revisi kita kemarin?"
"Sudah, Kak. Saya yang mengantar sampelnya langsung pada kakak."
"Ini udah puluhan tercetak ya. Habis banyak kertas juga."
"Benar, maaf Kak Rue, padahal kita sudah sering sekali cek perkembangan buku-buku ini."
"Nggak apa-apa, Dek. Kita udah melakukan yang terbaik sebelumnya, sekarang kita harus cari solusinya saja daripada pusing. Emm, kamu tau ruang Kak Desi yang baru?"
"Di lantai dua, sampingnya ruang kerja Kak Rue. Mau saya antar, Kak? Mungkin saya perlu hadir menemui kakak itu."
"Tidak sayang, kamu lanjutkan saja pekerjaanmu, ya."
"Kalau begitu baik, Kak."
Rue tidak menyangka ia harus dihadapkan lagi oleh keadaan ini, sejujurnya ia agak muak berurusan dengan Desi. Rue mendatangi rekannya yang bermasalah itu dengan maksud untuk menanyakan tentang desain sampul. Kenapa tiba-tiba berubah? Apalagi banyak ketidaksesuaian konsep, bisa-bisa penerbit dan pihak penulis akan dirugikan jika hal ini terus berlanjut. Pun di kantor ini tidak boleh seenaknya saja.
"Permisi, Des," kata Rue. Ia mengetuk pintu kemudian melihat ke arah kaca tembus pandang, semua orang yang ada di dalam sana menatap gadis itu. Kemudian Desi mengangguk, tanda ia mempersilakan Rue untuk masuk. Setelah masuk ia tersenyum ramah kepada semua rekan kerja Desi dan dibalas serupa pula. Rue segera memberi kode kepada kawannya itu untuk bicara di luar.
"Kenapa, Rue?" tanya Desi seperti tidak tahu apa-apa.
"Laporan yang dirimu janji buat dua bulan lalu udah sampai mana?" balas Rue. Gadis itu memelankan suaranya agar orang lain tak terlalu mendengar, sebab ia tidak mau mempermalukan Desi.
"Oh itu ... aku kan dah buat. Tapi belum sempat di siapkan karna--emm, aku gak ngerti, masih bingung buatnya gimana. Di rumah pun ngga ada laptop, jadi kek mana lah susah. Kesempatan cuma di sini, tapi tiap udah masuk rame terus antrian data desain, proofread. Belum lagi editor naskah yang pakai laptop ruangan karena kami sama-sama ngga ada, dirimu juga ngga ada jadi aku gabisa pinjem siapa-siapa," jawab Desi panjang lebar.
Ia mengedip-ngedipkan kedua matanya, sejujurnya dia pun tidak bisa memastikan jawabannya masuk akal atau tidak. Ah ya, Rue juga tidak punya laptop atau tablet, ia hanya diberi dan memakai itu di kantor saja. Maka dari itu Rue memanfaatkannya sebaik mungkin agar selesai dan tidak menunda-nunda tugas.
"Aku kasihan sama kamu, tapi udah lima bulan kita magang, dirimu sama sekali ngga nyentuh dokumen laporan itu, bukannya kemarin uda kita buat kerangkanya bareng-bareng? Kamu tinggal isi dan sesuaikan sama divisi. Aku juga bingung tiap hari ditanyain Bu Ita terus. Dan kalau kamu ngga ngerti, bisa nanya ke aku kan?"
"I--iya mungkin ko bisa bantu aku pas nanti kita ketemu di weekend atau gimana ...."
Rue terdiam, ia sudah ngos-ngosan menahan amarah. Kemarin gadis itu sudah mengajak Desi untuk mereview laporan tersebut, tapi Desi banyak bertanya dan menyiratkan seakan tidak mau padahal itu juga di depan banyak orang. Jadi Rue memutuskan mengerjakan sendiri. Rue teringat bahwa setiap kali Desi melontarkan pernyataan, pasti Desi tak juga menepatinya. Sejak bulan pertama dan kedua mereka magang di sini, orang-orang tidak menyukai Desi karena sifat bebal dan kasarnya. Banyak rekan kerja lain yang selalu saja bertanya tentang Desi kepada Rue. Karena memang Rue adalah tetangga sebelah rumah Desi.
"Rue ... kecewa ya samaku?" tanya Desi kala itu. Tapi Rue hanya bisa tersenyum simpul sembari terus menyemangati. Dan terus memberi info serta data-data yang diperlukan untuk memudahkan Desi. Beberapa kali ia melakukannya, baik lewat chat ataupun bicara langsung. "Kalau ada apa-apa bilang ya. Kalo ada masalah cerita aja gapapa," ucap Rue. Ia menepuk-nepuk pundak temannya itu.
Orang-orang berharap setidaknya Rue bisa menceritakan detail tentang orang seperti apa sebenarnya Desi ini? Sedangkan Rue tidak pernah terlalu memperhatikan Desi, ia hanya fokus pada dirinya, keluarga, sahabat, pekerjaan, tugas, juga orang-orang yang bisa diajak kerja sama. Tapi ketika gadis itu tahu bahwa ia akan sama-sama magang dengan Desi, Rue lah yang memulai pendekatan pertemanan agar ia merasa mereka tidak canggung ke depannya.
Rue menolong Desi sebisanya, semampunya, tapi Desi tidak pernah sebaliknya pada Rue. Atau mungkin ia tidak tahu diri? Tidak bisa memahami perjuangan orang lain. Tidak memiliki empati. Dia pernah bercerita bahwa keluarganya di rumah sangat kacau. Tetapi Desi juga tidak mau bangkit dari keterpurukannya, dan dia pun juga malas untuk menggerakkan perubahan hidupnya.
Pernah setelah banyaknya gosip miring tentang Desi, yang digosipkan itu pun berubah. Mulai cekatan dan inisiatif, pekerjaannya cepat terselesaikan serta datang lebih awal. Rue turut bahagia dengan itu. Tetapi ternyata hanya bertahan beberapa minggu saja. Desi kembali menjadi sosok yang sering terlambat dan tidak memberi kabar serta alasan yang jelas. Rue juga pernah diceritakan oleh rekan sejawatnya, bahwa ternyata Desi mengalami kekerasan dalam keluarganya.
Namun, Rue juga bisa lelah, ia bukan malaikat. Apalagi Rue selalu membawa beban ekspetasi orang lain di pundaknya. Orang lain berharap Rue bisa menarik Desi jadi lebih baik, jangan menyerah untuk mengajak Desi untuk berubah. Semua keluh yang mereka katakan tidak diungkap langsung pada Desi, hanya menyampaikan lewat Rue saja. Apakah mereka mengira bahwa Rue tidak pernah peduli? Apa orang-orang itu menganggap Rue cuek-cuek saja? Bahkan Rue melakukan hal lebih daripada sekedar menasehati.
Tetapi bagi Rue yang berhadapan langsung dengan Desi, mengubah orang sangat sulit dan mungkin mustahil apabila tidak ada niat dari hati Desi sendiri. "Untuk apa membantu orang lain, jika orangnya saja tidak mau dibantu?" Ucap Rue pada Fara kala itu. Karena, Desi tak berusaha sedikitpun. Hanya melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang.
Kadang Rue merasa selalu salah juga di mata mentornya, pekerjaan gadis itu sering diatasi oleh Kakak Seniornya karena Rue terkesan lambat di mata mereka. Tapi dengan semua itu Rue berprinsip mau terus belajar. 'Kalau tidak berani salah, namanya tidak belajar'. Ia selalu rajin, bertanya, dan tidak malu melakukan hal-hal baik yang semestinya. Berbeda dengan Desi yang sering berkata 'Aku nggak bisa ramah ke orang lain, aku ya gini.' Atau Desi yang sering mengeluh 'Capek banget di sini, magang di bidang ini bukan tujuanku.'
Bulan ketiga makin banyak yang tidak menyukai Desi, karena sikapnya yang keras kepala, sering terlambat, tidak inisiatif, serta tidak mau berbaur dengan benar untuk menyesuaikan diri. Dengan kata lain, dia pun tidak pernah intropeksi. Sekalipun diberi nasihat oleh kakak senior, ditegur rekan sejawat, atau dibilangi secara halus dan empat mata oleh Rue. 'Kalo sifatnya emang kayak gitu, susah untuk di rubah dek karna udah bawaan.' Sebuah kalimat dari salah satu Kakak Senior mereka yang selalu Rue ingat.
Rue sendiri sering berhadapan dengan banyak manusia bermasalah, tapi yang kali ini beda. Anak itu seakan tidak mau ditarik, tak mau dibantu. Ia hanya bersembunyi di dalam kurungan zona nyaman yang rupanya merugikan banyak orang. Bu Ita sampai tidak mau mengajak Desi bicara secara langsung untuk menjelaskan kesalahan-kesalahan Desi. Dan dengan semua keadaan runyam itu Rue sama sekali tidak tahu harus melakukan apa. Energinya semakin lama semakin terasa habis, sinarnya memudar.
"Kita kan juga udah sepakat buat ngga ganti desain tanpa sepengetahuanku? Kenapa ngga bilang dulu kalo mau ubah? Klien udah setuju sama yang lama kan?" tanya Rue lagi.
"Maaf, Rue." Dua kata lucu yang dilontarkan oleh Desi. Maaf yang hanya sekedar kalimat, bukan perubahan sikap dan sifat.
"Des, tolong kerjasama nya, buatlah laporan data dari divisimu dan aku minta bantuan untuk tidak melakukan kesalahan seperti ini lagi."
"Iya ...."
"Yasudah aku balik dulu mau lanjut kerjaan, jangan lupa tugasmu." Rue melihat Desi mengangguk-angguk, kemudian ia pun pergi berlalu menuju ke ruangannya.
Hari itu setelah Rue berbincang dengan Desi, ia melihat tetangganya itu pulang agak lebih lama karena mengganti jam terlambatnya tadi pagi. Rue pun segera menyelesaikan jobdesk nya dengan cekatan. Ia mengesampingkan dulu pikiran-pikiran jeleknya, berusaha fokus pada apa yang harus dilakukan sekarang. Jam dinding berdetik, suasana kantor kadang hening, kadang ada suara bicara orang-orang. Tetapi lebih sering terdengar suara mesin cetak dari lantai bawah.
Orang-orang di sini sangat tepat dan cepat kerjanya. Penerbit Sun95 memang terkenal sebagai tempat terbaik, berkualitas dan akurat dalam memproses tiap pesanan. Magang di tempat ini adalah sesuatu yang luar biasa. Rue bersyukur bisa mempelajari banyak hal di sini, tempat yang benar-benar ideal untuk magang. Ah, waktu terasa berjalan terlalu cepat, kini sudah pukul 16.49. 'Bentar lagi pasti Pak Trio kemari untuk memeriksa ruangan-ruangan karyawan. Aku mau kasih bapak Brownies buatanku tadi siang,' batin Rue.
Rue segera merapikan meja, juga menata penampilannya yang tampak lelah, lalu dia menenggak jus alpukat di dalam botol yang dibawa dari rumah. Gadis itu meregangkan badan, lalu bergegas keluar dari ruang kerjanya. Tak lama, ia melihat Pak Trio---Satpam jaga yang sedang berkeliling.
"Selamat sore Pak Trio ...!" Rue agak berlari untuk menghampiri pria paruh baya itu.
Yang dipanggil tersentak dan reflek berkata, "Rue, what's up??" Pak Trio nyengir lalu Rue tertawa pelan.
"Baik kok, hahaha. Ini bapak, saya bikin Brownies buat bapak loh."
"Woiya? Wih, hebat. Nduk Rue bisa baking ternyata. Ohoho, sini bapak cobain yo!"
"Boleh, ini buat bapak semua." Rue menyodorkan sekotak Brownies yang telah terpotong dadu, Pak Trio sumringah ketika menggigit kue buatan Rue.
"Wadooh, kalo semua opo ora kebanyakan iki, Nduk?"
"Ngga lah, Pak. Nah, gimana rasanya?"
"Wueenak tenan, lembut, nyoklat, harum, ada toppingnya lagi. Perfect, nduk," puji Pak Trio dengan aksen Jawa nya. Ia pun memberi jempol andalan. Rue terkikik. Hanya dengan berinteraksi ke Bi Siti dan Pak Trio ia bisa merasakan kehadiran sebuah keluarga. "Makasih yo, Rue. Bapak seneng bisa makan cemilan dari Nduk yang sudah bapak anggap seperti anak sendiri," ucap Pak Trio.
Rue tersenyum simpul, ia jadi teringat bahwa anak perempuan Pak Trio sudah tiada saat usia enam belas tahun karena kecelakaan, begitupula isterinya. "Rue juga seneng bisa berbagi, Pak. Rue mau sekalian pamit ya? Bapak semangat kerjanya!" Rue mengepalkan kedua tangannya berpose menyemangati, sembari nyengir kuda.
"Be carefully, Nduk Rue!" Pak Trio dengan kumisnya ikut tersenyum dan ia melambaikan tangan pada Rue. Gadis itu membalasnya dengan antusias. Ia memesan ojek online untuk pulang ke rumah.
***
Bulan keenam tiba ...
Tak terasa ini adalah bulan terakhir untuk masa magang Rue di Kantor Penerbit Sun95. Kali ini ia shift pagi dan sampai tepat waktu, ia tidak melihat Bi Siti di sana seperti biasanya. Yang dilihatnya adalah Bu Ita, wanita itu duduk di ruang kerja pribadinya yang pintunya terbuka. Mereka bersitatap, Rue tersenyum dan menyapa sopan pada Bu Ita. Tetapi, raut wajah Bu Ita tampak tidak mengenakkan.
"Keuntungan kita merosot Rue, laporan-laporan yang seharusnya terpampang detail di portal saya tidak ada sama sekali sejak bulan ketiga. Sampai mana laporan kalian sebenarnya?"
Rue mengernyitkan dahi, ia mencoba mengingat. "Kalau untuk laporan bagian saya sudah saya upload full Bu---"
"Gimana sama hasil laporan temenmu?" tanya wanita dengan setelan blazer merah itu.
"Kemarin saya sempat lihat Desi mengerjakannya Bu, apa tidak ada konfirmasi langsung ke ibu kalau mungkin saja dia menggabungkan laporan per-bulannya?"
"Nggak ada, Rue. Ini klien udah komplin macem-macem ke kita karena saya menunda pertemuan untuk membahas project selanjutnya. Sedangkan saya juga tidak menerima laporan divisi dan keuangan bagiannya."
"Sampaikan pada Desi, kalau tidak selesai jobdesknya sampai hari terakhir kalian magang. Ibu tidak akan meluluskan hasil magangnya dia."
Napas Rue mendadak sesak, kepalanya terasa nyeri, jantungnya berdegup kencang, padahal bukan dia yang salah. Padahal seharusnya Desi yang berkomunikasi langsung dengan Bu Ita perihal ini. Rue sudah berkali-kali dikecewakan oleh keadaan, disepelekan oleh seniornya, dibuat lelah oleh Desi. Tapi yang kali ini kenapa terasa sungguh berat?
Dari pagi itu hingga jam 12.00 Rue merasa tidak enak badan, pikirannya begitu campur aduk. Rue tidak selera makan, ia bahkan tidak meminum jus Alpukat kesukaannya. Rue tidak mendatangi pekerja di lantai satu seperti biasanya. "Cape ...," lirihnya. Sanggul gadis itu mulai lepas, ia nampak semakin kusut dan pucat. Matanya memerah dan sedikit berair.
"Rue, balik yuk! Lo udah kan? Gue juga udah siap kerj--"
"Eh? Lo kenapa, Rue!?" tanya Fara---rekan kerja seruangan gadis itu. Fara membetulkan hijabnya yang terurai karena agak menunduk melihat Rue. Ia tampak khawatir, sedikit panik juga.
"Ga papa, Far. Pusing dikit aja, udah jam satu ya? Pulang yu," ajak Rue.
"Gue anter ke rumah lo gapapa kan? Searah soalnya."
"Boleh."
Rue, gadis malang itu sering memendam apa yang ia rasakan. Dia selalu ingin terlihat baik-baik saja. Tapi akhirnya emosi dalam dirinya meluap, berdampak pada kesehatan fisik dan mentalnya. Rue, gadis malang yang tidak mengerti bagaimana cara dunia bekerja. Cara menghadapi manusia dengan berbagai macam sifatnya yang tak mudah terlihat. Keadaan dimana ia merasa asing dengan bidang yang dipilihkan orangtuanya. Orang-orang yang kadang suka beranggapan bahwa Rue mesti sempurna, pula orang-orang yang sering mencoba meredupkan sinar Rue. Menggerogoti tubuh perempuan muda itu seperti ia sedang berdampingan dengan buah busuk.
'Lama-lama muak juga,' batin Rue. Wajah Rue kali ini tanpa ekspresi apa-apa, sejak ia tahu bahwa Desi sangat membuatnya marah tapi ia pun tidak bisa mengungkapkan karena kasihan, Rue menutup hatinya. Rue membatasi interaksinya dengan yang katanya teman kerjanya itu. Dan juga lebih jarang membantu, apalagi mengajak bicara. Kalau disapa Desi pun Rue hanya merespons dengan datar. Rue jadi menyesal magang di tempat ini, ia merasa tidak cocok dengan semua orang, bahkan ia menjadi rendah diri.
'Seharusnya aku masuk Tata Boga. Mungkin di sana aku bisa hidup dan tidak akan merasa asing seperti ini. Takkan berurusan dengan drama kantor dan senior tukang judge.'
Keadaannya itu berlangsung hingga beberapa minggu. Kepala Rue semakin sakit, dadanya terasa sesak, tubuhnya lemas, ia pun kehilangan minat masaknya, Rue tak lagi merias wajah. Yang dia lakukan setiap hari adalah bangun, bebersih, makan, berangkat magang dan begitu sampai rumah ia langsung tertidur. Tidur yang lama, sampai ia merasa rasa sedih yang menimpa ikut terlelap bersamanya. Setiap hari Rue merasa dihantui oleh rasa bersalah, kekosongan, kesakitan, itu pertama kalinya ia merasa sangat drop.
Rue jadi tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, ia tak sebahagia dulu. Tapi orang-orang tidak tahu apa yang ia rasakan, orangtuanya khawatir pada Rue dan terus menelepon. Tetapi Rue lagi-lagi seakan baik saja. Rue mengubur letupan emosinya dalam-dalam. Tak seorang pun tahu. Bahkan Pak Trio dan Bi Siti yang Rue sayangi juga tidak tahu keadaan gadis itu.
Maafkan saya. Diri ini berpikir sudah sedikit mulai mengerti. Tapi nyatanya perasaan tiap orang sangat rumit dan sensitif. Tidak semua orang bisa menyampaikan perasaan lewat kata-kata. Terkadang mereka jujur, dan terkadang berbohong. Saya tidak dapat mengurainya dengan tepat. Bagi saya hal itu sangat sulit ....
Tulis Rue pada buku diary nya.
Waktunya bertahan hanya tinggal seminggu, lalu enam hari, kemudian lima hari, dan sampai di sisa empat hari lagi.
***
"Segera temui ibu minggu ini. Bu Ita bilang kalau laporan divisi dan keuangan bagiannya tidak selesai, kamu ngga diamankan lulus magangnya."
"Ohyakah Rue? Duh gimana ya aku masih gak paham, tapi yaudah nanti aku selesaikan."
"Iya, nanti langsung kabari Bu Ita aja."
"Makasih ya Rue informasinya." Ucap Desi yang menggaruk-garuk kepalanya, ia kebingungan. Sementara Rue pergi berlalu, ia mengecek buku-buku di lantai satu. Tidak peduli lagi bagaimana Desi akan membuatnya, yang penting pesannya Bu Ita sudah disampaikan walau Rue perlu beberapa waktu untuk bisa sanggup berbicara lagi dengan Desi. Dan lusanya setelah Rue menanyakan apakah Desi sudah menjumpai Bu Ita, ternyata Desi belum menemuinya. 'Dia ngga pernah berubah, selalu sama'.
***
Saat hari minggu Rue akhirnya pulang ke tempat orangtuanya. "Bunda, Rue pulang ...." Gadis itu memeluk ibunya dengan erat, ia menangis tersedu-sedu. Lama sekali. Rue menceritakan semuanya dengan terisak seperti anak berusia tujuh tahun yang dijahili teman-temannya. Awalnya Bunda Rue menceramahi putrinya terlebih dahulu, seakan menyalahkan Rue atas keputusannya untuk merantau.
"Rue mau bantu keluarga, Ndaa. Rue mau mandiri, sukses. Kata senior, Rue keliatan ada penyakit pernapasan karena Rue sesak terus. Terus orang-orang jahat sama Rue, temen Rue ngecewain Nda, terus Rue kaya disalahin padahal bukan Rue yang salah. Rue gamau di penerbitan lagi, ngga mau, Rue ga suka. Rue juga ngga mau jadi beban di keluarga kita, Bun!" Teriak gadis itu.
Ibunya semakin memarahinya. "Kalau semua perkataan orang kamu telen mentah-mentah, dan perbuatan orang semuanya kamu pikirin, ya kamu yang bakal sakit. Jangan kemakan omongan orang lain, kan di sana cuma belajar. Kamu harus tau gak semua orang itu baik, Rue."
Tetapi di pertengahan ibunya mengatakan hal yang tidak pernah bisa Rue lupakan. "Jiwa kamu harus besar, Nak. Lapangkan hatimu, lepaskan semua beban-beban itu." Rue memeluk bundanya kembali, menyisakan isakan-isakan kecilnya yang perlahan memudar. "Bunda kaget kamu pulang-pulang kok nangis kejer." Ia pun bercengkerama dengan ibunya sepanjang malam. Hingga esoknya ketika ia bangun tidur, sedih dan sakitnya sudah lenyap.
Rue terlahir kembali, ia merasa harus bangkit lagi dan tidak akan menyia-nyiakan pelajaran berharga dalam perjalanan hidupnya sampai detik ini. Tuhan memberinya cobaan yang begitu menyesakkan karena tahu bahwa diri itu bisa melewatinya, untuk bisa menguatkan hati para hamba-Nya. Rue datang ke tempat magang seperti ia datang pertama kali.
Hari terakhir magangnya telah tiba, ia mencoba memberi ruang pada orang yang telah membuatnya sangat kecewa. Dan bersumpah untuk tidak berurusan dengan orang seperti itu lagi dalam hidupnya. Bukankah parasit akan selalu menempel pada inang dan berdampak merugikan? Mungkin kalimat ini tampak kejam. Tapi nyata adanya bukan?
Hari-hari berganti dan tak terasa semua yang terjadi adalah perihal masa lalu bagi Rue, sudah berjarak setahun sejak kesialan dulu menimpa gadis itu. Rue ialah simbolisme dari ketidakadilan orang-orang yang terlampau baik, dan kebaikannya disalahgunakan oleh orang yang dungu. Kini Rue sudah merasa bebas, ia tidak pernah sedih karena mempercayai semua perkataan orang lain.
Ia belajar bahwasannya manusia punya tabiat yang berbeda-beda. Rue harus lebih kuat dan tabah, kita mesti jeli untuk berinteraksi dan lebih selektif dalam membantu orang lain. Kesalahan orang lain bukan tanggung jawab kita. Tak perlu ikut terseret ke dalam jurang sial. Membela diri ketika tidak salah itu penting jika kita tidak mau direndahkan orang. Rue menjadi sosok yang baru, dia lebih aktif mendedikasikan dirinya untuk mereka yang benar-benar layak dibantu. Ia sudah melepas dirinya dari ketidaktahuannya atas sifat manusia.
●
•
Tamat
"Dan jika terlahir kembali, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan, aku akan selalu mengingat bagaimana cara diri ini hidup dan bertahan di masa lalu. Agar bisa terus belajar dan menyesuaikan ruang bertumbuh."
Cerita pendek ini bertajuk 'Melepas Kegilaan' , sebuah dalang yang memaknai jiwa yang bertahan sekuat mungkin untuk kembali bangkit dari keterpurukan mendalam, dan perihal penciptaan batasan diri yang sehat.
#28hariberprosa#puanberaksara#tadikamesra#jejaringbiru#terlahirkembali#prosa#sastra#cerita#puisi#cerpen#sajak#hikmah#bertahan#bertumbuh#poem#poetry#story#writers on tumblr#writers and poets#penulis#life#writerscommunity#writing#writeblr
10 notes
·
View notes
Text
"Setiap kebaikan, sekecil apa pun itu, adalah jembatan menuju keberkahan yang besar."
Usai sholat Magrib, sebuah pesan singkat masuk ke WhatsApp saya: "Mbak, insya Allah tanggal 3 aku umroh. Kita diskusi setelah balik umroh, ya."
Pesan itu berasal dari salah satu klien yang belakangan ini cukup dekat dengan saya. Membacanya membuat saya terdiam. Dia mengabarkan bahwa dirinya akan segera berangkat umroh. Masya Allah, hati saya seketika dipenuhi rasa haru, dan tubuh saya merinding.
Yang membuat saya semakin terpana, ini adalah kali kedua dia berangkat umroh hanya dalam waktu sebulan. Sebelumnya, dia mendapat kesempatan menunaikan ibadah umroh melalui perjalanan dinas, mendampingi atasannya. Kini, dia kembali berangkat, dan kali ini pun perjalanan dinasnya tetap menjadi ladang ibadah.
Saya pun bertanya-tanya dalam hati, amalan apa yang dia lakukan sehingga hidupnya dipenuhi kemudahan seperti ini? Pertanyaan itu terus bergema hingga perlahan, jawaban mulai muncul dari berbagai kenangan tentang dirinya.
Dia adalah sosok yang selalu memberikan ruang istimewa bagi siapa saja yang mengenalnya. Sikapnya penuh ketulusan. Setiap kebaikan yang dia lakukan mengalir begitu alami, tanpa pamrih. Dalam setiap interaksi, spiritualitasnya terasa nyata, bukan hanya dari ucapannya, tetapi juga dari tindakannya.
Di balik kesuksesannya, dia adalah seorang pemimpin yang rendah hati. Dia selalu siap mendengarkan, membimbing, dan memberikan solusi. Kepemimpinannya bukan tentang memerintah, tetapi tentang memberi teladan dan menginspirasi. Dia konsisten memberikan kontribusi, baik dalam pekerjaan, komunitas, maupun keluarganya. Seolah-olah dia tidak pernah kehabisan energi untuk menebar manfaat.
Mungkin di situlah rahasianya. Dia tidak hanya mengisi hidupnya dengan ibadah ritual, tetapi menjadikan setiap aspek kehidupannya sebagai ladang amal. Kehadirannya membawa keberkahan bagi sekitarnya. Itulah yang, mungkin, membuat Allah membukakan jalan kemudahan baginya.
Kabar keberangkatannya membuat saya merenung lebih dalam tentang diri sendiri. Apakah saya sudah menjadi seseorang yang menghadirkan manfaat bagi orang lain? Apakah saya telah menjalani hidup dengan penuh keikhlasan dan memberikan ruang istimewa untuk orang-orang di sekitar saya?
Ada satu pelajaran berharga yang saya dapatkan dari pertemuan dan pengenalan dengan sosoknya: kemudahan hidup tidak datang begitu saja. Ia adalah hasil dari niat yang lurus, hati yang bersih, dan amal yang terus berkelanjutan.
Semoga kita semua dapat terus memperbaiki diri, memperbanyak amal kebaikan, dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sekitar. Sebab, kebaikan yang kita tanam di dunia ini adalah jalan kemudahan bagi kita, baik di dunia maupun di akhirat.
7 notes
·
View notes
Text
Sebuah Kabar Buruk & Kabar Baik! Apa Sikap yang akan Kamu Ambil?
Kabar buruknya,
Kompetisi dalam hidup kita semakin ketat! Banyak orang ingin lulus dengan predikat terbaik, ingin segera promosi untuk naik jabatan, ingin hasil risetnya bisa masuk jurnal internasional, ingin menjadi yang terbaik di bidangnya, ingin mencapai target income dan tabungan di umur sekian dan lain sebagainya.
Kita mungkin akan bersaing dengan ribuan bahkan jutaan orang diluar sana. Tentu ini sebuah perjuangan yg tidak mudah untuk meraih apa yang kita cita-citakan. Tapi..
Kabar baiknya,
Tidak semua orang bisa dan memiliki tekad untuk bekerja keras! Berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan mimpinya. Rela bangun di sepertiga malamnya untuk bermunajat kepada-Nya.
Disaat yang lain terlelap, dia tetap terbangun untuk menyicil target-tergetnya agar tak mengendap. Disaat yang orang lain terus asyik dan larut dalam aktivitas yang tidak produktif, dia terus semangat belajar dan mengevaluasi progres nya dari waktu ke waktu agar tetap dalam ranah yang positif.
.
Ini adalah sebuah pesan yang sedikit menampar diriku tatkala selesai beribadah bersama teman kantor tadi sore menjelang malam.
Nyatanya, diri ini belakangan sering terlena dengan kenyamanan. Lebih banyak santai, daripada menyicil mimpi yang perlu effort besar untuk digapai.
Sebuah pesan yang mengingatkan kembali tentang satu dari lima perkara yang perlu dijaga, yaitu "Lapang Sebelum Sempit".
Mungkin ini adalah cara-Nya untuk mengingatkan diri ini untuk kembali menata hidup, agar tak menyesal saat kelak saat ditanya "Masa Mudamu untuk Apa Kau Habiskan?"
.
Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari rasa malas dan lalai, serta senantiasa menjaga semangat untuk berprogres menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dari satu hembusan nafas ke hembusan nafas yang lainnya. Aamiin 🤲
15 notes
·
View notes
Text
hari ini aku patah, sama seperti dulu lagi.
banyak tugas sedang menumpuk menunggu dikerjakan satu persatu. bahts tarikh, video ta'bir, jumlah qiro'ah, baik berisik, sertifikasi guru, ujian juz 9, uts kitabah, uts nahwu. berantakan. aku berantakan.
bahkan aku sampai mebawa laptop ke mabit nafa meskipun tau tak akan berguna, hanya memberatkan pundak saja. belum lagi tak segera kuputuskan akan langsung pulang atau ikut arahan murobbi. berat sekali rasanya melangkah dengan penuh paksaan.
kenapa harus keras sekali sih, mi? kenapa tidak mencoba sedikit saja membuka hati? tidak bisa kah memberikan ruang pemakluman bagi kami?
maaf mi, aku banyak tidak setuju bagian ini. tapi untuk menyampaikan aku tak berani. takut terlalu kalut. aku juga keras dengan pendapatku. takut seolah aku sedang berhadapan dengan umi di rumah dan perdebatan sengit yang biasa kita lalui. akhirnya aku ikut saja kan.
alhamdulillah direct selling tidak jadi. kami turun mobil dan menunggu ummi menyampaikan suatu pesan rahasia. duduk di kursi registrasi memandangi wamy yang mulai sepi. dan orang-orang yang tersisa entah menunggu apa.
ya rabb, kumohon pertolongan-Mu untuk menjaga hati.
pulangnya biasa saja, sampai kamar aku hendak mengerjakan tugas yang menumpuk itu. tapi ingin menepi dulu. pada buku. pada suara rumah yang kurindu.
aku ingin mengeluh dulu. lalu kubilang, "hwaaa umii tugasku banyakk" sekadar ingin didengar saja, cukup.
"nek ngeluh mending mulih wae, abi susah-susah golek duit ngge kuliah nek kabotan neng kono yo muleh wae."
entah siapa yang sebenarnya patah di sini. maaf, bi.
padahal aku hanya ingin didengar saja, aku sudah tau harus tahan mengerjakan semua. aku juga bukan ingin berhenti, aku masih ingin terus di sini.
tapi satu fakta yang aku syukuri adalah aku sudah tak se-reaktif dulu lagi. sudah hilang aku yang merasa paling sakit sendiri. sudah sembuh aku yang mengira abi jahat sekali, menyuruhku pulang dan berhenti.
mungkin, itu bentuk cinta abi. untuk membuatku tetap bertahan di sini. untuk mengingatkan bahwa keberadaan aku kini adalah impian yang dulu diperjuangkan setengah mati.
aku menangis deras kali ini, bersyukur sudah bisa menyadari bentuk cinta abi ♡.
padahal dulu, aku marah-marah sepanjang hari. memendam sesak merasa tak punya siapa-siapa lagi. harus kemana kubuang semua sampah keluhan ini?!
yasudah, perjalanan memaafkan rumah memang bukan selalu menenangkan. sesak-sesak yang dulu memang harus ada, untuk bisa menikmati kelapangan hari ini.
(22.33 // Jakarta, 3 November 2024)
11 notes
·
View notes
Text
Sebuah Pesan
Murey. Rabu, 06 November 2024
Barangkali, kita saja yang telah ingkar dan tak sabar akan kesukaran yang teramat lama untuk diuraikan dan dijabarkan. Hal yang belum sempat dapat kita pahami. Sehingga Luka, perih, kepedihan, dan keputusasaan melambung melebihi sabar yang kita kira memiliki batas.
Gusar bergulat di dalam diri, ingin segera pergi entah ke mana. Tanpa arah dan tanpa tujuan. Terpuruk dalam kegetiran yang semakin menyiksa adalah hasil dari asumsi dari pikiran kita yang buntu. Menyesali sesuatu yang sudah seharusnya terjadi bukanlah cara sehat untuk terbebas dari belenggu derita.
Suatu ketika kita kita akan menyadari bahwa ; segala bentuk ketidak nyamanan ini, rasa sakit, dan penderitaan yang kita alami tidak lain adalah sebuah pesan. Sebuah pesan yang mengandung makna.
13 notes
·
View notes
Text
Hanya Sebatas Undangan
Muhammad Hamdan. Nama itu selalu punya tempat istimewa di pikiranku. Aku mengaguminya sejak beberapa tahun lalu, meskipun saat itu hanya sekadar rasa ingin tahu. Namun, semuanya berubah di tahun 2024. Entah bagaimana, rasa itu tumbuh menjadi kekaguman yang lebih dalam, lebih kuat—begitu kuat hingga aku tak mampu mengabaikannya lagi.
Tahun sebelumnya, aku sempat menanyakannya pada seorang teman lelaki. “Kamu tahu Hamdan, kan? Dia seperti apa?” tanyaku, mencoba terdengar biasa saja. Saat itu, aku hanya ingin tahu, tanpa keberanian lebih untuk mendekat.
Namun, di awal tahun 2024, seorang temanku mulai menyebut-nyebut nama Hamdan dengan mata berbinar. “Aku suka dia,” katanya dengan penuh semangat. Mendengar itu, aku hanya tersenyum. Meski hatiku sedikit tercekat, aku menekan perasaanku dan memutuskan membantu temanku mengenalnya lebih baik.
Aku mulai bertanya-tanya tentang Hamdan lagi, kali ini melalui temanku yang lain. Namun, temanku yang membantuku itu curiga. “Kenapa kamu begitu ingin tahu tentang Hamdan? Kamu suka dia, ya?” tanyanya sambil menyipitkan mata.
Aku segera menyangkalnya. “Bukan aku, kok! Temanku yang suka dia, aku cuma bantu cari tahu,” jawabku dengan tawa kecil yang terdengar dipaksakan. Di balik tawa itu, ada rahasia yang hanya aku tahu—bahwa aku juga menyimpan perasaan pada Hamdan.
Hari-hari berlalu, dan aku terus mendengar cerita tentang Hamdan dari temanku. Tapi perlahan, temanku mulai menyerah. Ia sering mengeluh padaku, “Aku rasa Hamdan nggak tertarik padaku. Mungkin aku bukan tipe dia.”
Dengan niat baik, aku mencoba menghiburnya. “Kalau memang dia nggak suka kamu, ya… mungkin dia cocoknya sama aku,” candaku sambil tertawa lepas, meskipun di balik kata-kata itu ada harapan kecil yang aku sendiri tak berani akui.
Yang tak kusangka, temanku justru merespons dengan serius. “Kalau kamu suka, nggak apa-apa. Aku akan bantu menjodohkan kalian.”
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Tapi akhirnya aku hanya tersenyum kecil dan berkata, “Aku nggak serius tadi, kok. Tapi kalau kamu benar-benar mau bantu, ya… terserah kamu saja.”
Waktu berlalu, dan lingkaran sosialku mulai mendekatkanku pada Hamdan. Hingga suatu hari, sebuah kejadian kecil tapi luar biasa terjadi—Hamdan membuka Instagram Story-ku dan meninggalkan komentar.
Aku hampir tak percaya. Komentarnya sederhana, hanya memuji fotoku yang sedang menikmati senja, tapi cukup untuk membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Itu adalah pertama kalinya aku merasa bahwa Hamdan memperhatikan keberadaanku.
Beberapa hari setelah itu, aku memberanikan diri untuk mengirim pesan WhatsApp kepadanya. Aku tak berharap banyak, tapi dia membalas. Bukan hanya membalas, tapi dengan hangat dan bijak, seolah dia benar-benar menikmati percakapan itu.
Sejak saat itu, kami mulai sering berkomunikasi. Malam-malamku diwarnai dengan obrolan ringan dengannya, dari hal-hal kecil hingga cerita besar tentang hidup. Ada tawa, ada cerita, ada kedekatan yang perlahan tumbuh.
Lima bulan berlalu, dan aku merasa bahwa Hamdan adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupku. Tapi, aku tak pernah berani berharap lebih. Bagiku, kedekatan ini sudah lebih dari cukup, meskipun di hatiku aku menyimpan harapan kecil bahwa mungkin, suatu hari, dia akan melihatku bukan hanya sebagai teman.
Namun, perlahan, aku mulai menyadari ada yang berubah. Hamdan mulai sering berbicara tentang pernikahan. Awalnya, aku mencoba bersikap biasa saja. Tapi setiap kali dia membahasnya, ada rasa takut yang menjalar di hatiku—takut bahwa dia tidak berbicara tentang aku.
Dan ketakutanku terbukti benar.
Suatu hari, dia mengundangku untuk berbicara serius. “Aku ingin kamu hadir di hari bahagia itu nanti,” katanya dengan senyum yang selalu kurindukan.
Aku mencoba tersenyum, meskipun aku tahu apa yang akan dia katakan berikutnya. Dia bercerita tentang seseorang yang akan dinikahinya. Bukan aku.
Hari itu, hatiku seperti dihancurkan menjadi serpihan kecil yang tak bisa dipungut lagi. Aku hanya bisa mengangguk, berpura-pura ikut bahagia, meskipun di dalam, aku sudah remuk.
Ketika undangan itu sampai di tanganku, aku tahu segalanya benar-benar berakhir. Nama Hamdan terukir indah di atas kertas itu, bersanding dengan nama seseorang yang bukan aku. Aku menatap undangan itu lama, mencoba meresapi kenyataan yang begitu pahit.
Aku menghadiri pernikahannya. Aku berdiri di tengah keramaian, melihat Hamdan di pelaminan, tersenyum lebar dengan pasangannya. Mereka terlihat sempurna bersama, seperti potongan puzzle yang saling melengkapi.
Hamdan melihatku di antara tamu. Dia menyapaku, seperti biasa, dengan senyum hangatnya. “Terima kasih sudah datang,” katanya.
Aku hanya mengangguk, tersenyum kecil, lalu pergi sebelum air mata itu tumpah.
Di malam itu, aku duduk sendirian di kamarku yang gelap. Mengenang semua percakapan, tawa, dan harapan kecil yang pernah aku bangun bersamanya. Aku tahu, cinta ini tak salah, meskipun akhirnya hanya berujung sebagai undangan.
Kadang, cinta tak harus dimiliki. Kadang, cinta hanya sebatas doa—agar orang yang kita sayangi bahagia, meski bukan bersama kita.
The real kisah…
By: Ewia putri
5 notes
·
View notes
Text
I fell in love with you before i even realized that i did.
25 januari 2020
Dalam dunia penerbangan terdapat istilah yang namanya Critical Eleven, sebelas menit paling krusial dimana kecelakaan pesawat kerap kali terjadi yakni, tiga menit pertama setelah pesawat take-off atau lepas landas dan delapan menit sebelum pesawat landing atau mendarat.
Critical Eleven sejatinya tidak hanya mendeskripsikan mengenai pesawat terbang saja, namun juga bisa digunakan untuk menggambarkan pertemuan pertama dengan seseorang. Tiga menit pertama saat kesan pertama tercipta dan delapan menit terakhir ketika segala perangai juga raut wajahnya, menjadi penentu apakah akhir pertemuan itu akan menjadi sesuatu yang lebih atau justru berakhir sebagai perpisahan.
Awalnya Maya menyangka pertemuan pertamanya dengan Hannah kemarin akan berakhir sebagai perpisahan juga dan di penerbangan berikutnya ia tidak akan bersua lagi dengan Hannah, akan tetapi takdir berkata lain kejadian kemarin malah membawa mereka pada pertemuan lainnya entah secara kebetulan atau memang sudah garis takdir Tuhan.
Di malam ini Maya ingin memenuhi janjinya dengan Hannah untuk fine dining yang sudah mereka rencanakan tempo hari, meskipun sempat di buat hopeless karena Hannah tak kunjung mengabarinya selama dua minggu namun semangatnya seketika kembali manakala perempuan itu mengiriminya pesan dan sudah menyiapkan segalanya untuk fine dining mereka.
Penampilan Maya nampak sangat elok malam ini dengan dress hitam membalut tubuhnya, tidak banyak aksesoris yang melengkapi ia hanya mengenakan kalung berliontin kupu kupu pemberian sang ibu, yang memang selalu ia kenakan kemanapun ia pergi, terlihat sederhana namun bisa memikat semua mata yang memandang. Begitu ayu penampilannya untuk di pandang.
Kedua tungkainya melangkah masuk ke dalam hotel bintang lima dan menuju restoran mewah yang berada di lantai paling atas tempat janjiannya dengan Hannah, sesampainya disana seorang pelayan menghampiri Maya dan dengan ramah bertanya,
"Selamat malam kak, meja untuk berapa orang?"
Perhatian Maya teralihkan kepada sang pelayan, "Eh kemarin temen saya udah reservasi deh kayanya." Jawabnya
"Oh, kalau begitu boleh tau atas nama siapa kak?"
"Hannah Katherine."
Pelayan tersebut untuk sementara beralih ke kasir, melihat ke monitor komputer dan kembali lagi ke hadapan Maya segera mengantarkan perempuan kelahiran januari itu menuju ke meja yang telah di reservasi atas nama Hannah, berada tepat di sebelah jendela yang mengarah langsung pada pemandangan lampu lampu kota.
Sang pelayan pergi dan Maya duduk di salah satu kursi di meja itu, kepalanya menoleh memandangi view kota yang berada dibawah sebelum ia di distraksi oleh notifikasi ponselnya.
Dari Hannah.
hannah : Saya sudah sampai, kamu?
Lantas Maya segera mengetikkan balasan untuknya.
maya : aku udah di dalem restonya hannah
Tak ada balasan lagi dari sang pilot, mungkin saja ia juga sudah naik ke lantai atas. Maya kembali meletakkan ponselnya di atas meja, dan balik memandangi pemandangan diluar jendela sembari menopang dagunya menunggu kedatangan Hannah.
"Maya?"
Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, mendapati presensi Hannah di hadapannya dalam balutan blazer berwarna gelap dan juga celana hitam, rambut panjangnya di kuncir rapi penampilannya nampak elegan juga berkelas, kecantikannya bertambah. Ia mengumbar senyuman manis yang bisa membuat siapapun terpana termasuk Maya sendiri.
"Udah lama ya nunggunya? Maaf saya agak terlambat." Hannah mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Maya, sementara Maya masih diam termangu memandanginya sebelum akhirnya tersadar dari lamunan.
"O–ohh belum lama kok han..."
Hannah masih mempertahankan senyumannya sembari menganggukkan kepala, ia memandangi wanita di hadapannya sejenak memusatkan seluruh atensinya hanya pada Maya seorang.
"You look beautiful tonight."
Maya setengah mati menahan senyum, ungkapan itu berhasil membuatnya tersipu malu, untung saja keadaan restoran yang agak remang remang ini mampu menyamarkan semburat merah di pipinya.
"Thank you, kamu juga han. You look so gorgeous." Ia balik memuji Hannah, benar benar tabiat wanita sekali yang kalau di puji mesti akan balas memuji.
"Haha terimakasih, anyway kamu sudah pesan?"
Maya menggelengkan kepala sebagai jawaban, dan Hannah pun segera memanggil pelayan ke meja mereka, sambil membawa buku menu dan menyerahkannya kepada dua puan itu.
Mata Maya menelisik setiap makanan yang tertera pada buku menu tersebut, harganya yang lumayan tinggi membuat Maya agak memelotot, untuk appetizer saja bisa meraup hampir 200 ribu? Itu bisa Maya gunakan untuk makan selama 2 bulan jika sedang di mess.
"Kamu mau apa?"
Aduh, ditanya begini Maya jadi kelimpungan sendiri.
Menyadari tak ada respon dari lawan bicaranya membuat Hannah segera mengalihkan pandangannya ke Maya, "Kenapa Maya?" Tanyanya lembut.
Maya agak tergemap bingung mau menjawab bagaimana, beruntung Hannah merupakan wanita dengan tingkat kepekaan yang tinggi. Seolah tau apa yang Maya khawatirkan ia berujar,
"Pesan apapun yang kamu mau, gausah mikirin soal harga. Bills on me kok."
Jujur Maya jadi tidak enak, sebenarnya dia mampu mampu saja membayar makanan yang harganya tak masuk akal itu dengan gajinya yang di atas rata rata, tapi karena ia merupakan tipe orang yang agak perhitungan segalanya harus ia pikirkan matang matang sebelum mengeluarkan uang.
"Mmm gausah deh han, aku aja yang bayar gapapa."
Hannah tersenyum simpul, "Saya yang ngajak kamu dinner Maya, udah seharusnya saya yang nanggung semua. Lagian juga saya mau menebus rasa bersalah saya karena udah marahin kamu kemarin. Pesan aja yang kamu mau jangan mikirin soal harganya, okay?" Ucapnya berusaha meyakinkan Maya, membuat perempuan di hadapannya itu termangu sejenak sebelum menganggukkan kepala disertai senyuman hangat diwajah.
"Okay...once again thank you so much Hannah. Aku berutang budi banget sama kamu, lain kali aku bakalan bales ya?"
Figur pilot itu menggelengkan kepala, "Don't think about it. Nikmatin aja malam ini."
Beres dengan urusan memesan makanan, dua puan itu akhirnya saling bercengkrama mengenal satu sama lain lebih dekat, menceritakan perjalanan karir mereka dan bagaimana rasanya bekerja di dunia penerbangan sambil di selingi dengan candaan, kalau di lihat lihat keduanya nampak seperti sudah kenal lama padahal baru bertemu dua minggu yang lalu. Obrolan itu terus berlanjut, sampai hidangan utama telah tiba.
"So... kamu termotivasi jadi pramugari because your mom is also a flight attendant?" Hannah bertanya sembari memasukkan irisan daging ke dalam mulutnya.
"Mhm, sebenarnya aku gak pernah kepikiran pengen jadi pramugari sih dari sma tuh aku pengen banget jadi...jaksa?" Maya selingi dengan kekehan sebelum melanjutkan,
"Tapi mengingat jurusan aku yang gak ada hubungannya dengan hukum lebih tepatnya bukan hukum, jadinya aku milih untuk meneruskan perjalanan karirnya bunda menjadi pramugari."
Hannah fokus mendengarkan sembari memperhatikan wajah cantik nan lucu wanita di hadapannya, ingatkan Hannah untuk berkedip bola matanya bisa saja keluar gara gara terlalu asik memperhatikan Maya.
"Bunda masih jadi pramugari atau sudah berhenti?"
Maya hentikan kegiatan makannya sejenak ketika mendengarkan pertanyaan itu terlontar dari mulut Hannah.
"Udah berhenti han."
"Kenapa?"
"Beliau udah meninggal beberapa tahun yang lalu."
Dan rasa bersalah seketika menggerogoti hati sang pilot merasa lancang telah menanyakan hal yang tidak sepatutnya ia tanyakan, segera ia bersihkan tenggorokannya sebelum menyampaikan maaf.
"Maaf maya, saya turut berduka cita."
Maya menganggukkan kepala dan menjawab dengan senyuman manis menyertai wajah moleknya,
"It's okay, udah biasa kok."
Hannah memutar otak mencari topik obrolan lain agar sekiranya mereka tidak canggung setelah obrolan sebelumnya, "Kamu masih single atau sudah punya pasangan?"
To the point sekali ibu pilot ini.
"Aku masih single, what about you?"
"Same, saya juga masih single."
"Really? Aku kirain udah punya."
Hannah mendengus penuh humor, "Saya gak mungkin ngajak kamu dinner kalau saya sudah punya pasangan maya."
Ya ada benarnya juga, Maya merutuki dirinya sendiri akan pertanyaan bodoh itu.
"Tapi pernah pacaran?"
Hannah menatap lawan bicaranya ia nampak berfikir sejenak sebelum menggelengkan kepala, sontak membuat figur pramugari yang melontarkan pertanyaan tadi terheran-heran.
"Demi apa? Kamu gak pernah pacaran?" Kedua manik karamel yang membola, jujur Maya sedikit terkejut mengetahui fakta baru mengenai Hannah, perempuan berumur 28 tahun itu belum pernah berpacaran? Yang benar saja.
"Iya....?" Hannah menjawab, bingung dengan reaksi terkejut Maya.
Di umurnya yang hampir mendekati kepala tiga ini sudah seharusnya Hannah mencari pasangan juga, karena kalau kata keluarganya usia produktif menikah itu sebelum menginjak 30 tahun. Pertanyaan 'Kapan menikah?' Entah dari keluarga atau kerabat dekat selalu menghantui Hannah di setiap acara kumpul keluarga, namun Hannah selalu punya jawaban setiap pertanyaan tersebut di lontarkan.
"Jodoh, maut semuanya sudah ada yang atur. Kalau saya tau siapa jodoh saya sudah saya samperin dari lulus kuliah, saya ajak nikah saat itu juga. Saya yakin kok, kalau sudah waktunya pasti akan diberikan saya tinggal nunggu aja kaya yang saya bilang sebelumnya. Semuanya sudah ada yang atur."
Itu katanya.
"Kamu kenapa kaget banget?" Hannah bertanya sembari memperhatikan Maya yang keliatannya masih agak shock.
"Nggak gitu... soalnya aku liat, kamu tuh kaya tipe yang mungkin pernah lah satu dua kali punya pacar bahkan aku sempet ngira maaf ya, kamu suka gonta ganti pasangan..." Jangan heran, Maya memang agak blak blakan orangnya untungnya Hannah tidak gampang tersinggung, perempuan itu malah terkekeh gemas melihat wajah polos nan lucu yang ditampilkan Maya.
"Saya gak ada waktu buat pacaran, sibuk sama kerjaan."
Hannah menempatkan garpu dan pisaunya di tengah piring, mengarah ke angka 12 jarum jam tanda ia sudah selesai dengan kegiatan makannya, ia melipat kedua tangannya di atas meja mata teduh itu memperhatikan presensi Maya yang berada di hadapannya.
"Saya juga belum nemu orang yang tepat."
"Oh ya?" Si pramugari meletakkan garpu beserta sendoknya di atas piring membentuk huruf V terbalik, ia tertarik dengan topik obrolan ini.
"Kamu udah pernah coba ikut blind date atau download app dating gitu?" Pertanyaannya di jawab gelengan oleh Hannah.
"Saya gak suka pakai gituan."
Maya mengernyit, "Kenapa?"
"Gak suka aja, pernah coba dating app satu kali tapi baru sehari udah saya hapus. Isinya orang aneh semua."
"Kok aneh?"
"Banyak yang horny."
Ungkapan tersebut mengundang tawa dari Maya, si pemilik pipi tembam itu menutup mulutnya menggunakan punggung tangan sembari tertawa kecil dengan begitu anggunnya, merdu suara tawa si cantik berhasil membuat figur pilot di hadapannya terlena.
Iris sabit terbentuk manakala ia tersenyum dan malam itu untuk pertama kalinya, Hannah temukan wanita dengan senyuman paling menawan pemilik rambut panjang berwarna coklat, yang membuatnya tertawan akan sejuta pesonanya...
Maya Delilah.
31 notes
·
View notes
Text
Produsen Basreng Kota Kupang, Yogies 0815-7109-993 (Wa), Basreng Black Caviar
Basreng Black Caviar Kota Kupang, Produsen Basreng Kota Kupang, Produsen Basreng Kota Kupang, Produsen Basreng Kota Yogyakarta, Produsen Basreng Kota Jayapura
Klik: https://wa.me/628157109993 , Yogies Camilan Basreng, Distributor Camilan Basreng Yogies, Agen Camilan Basreng Yogies , Supplier Camilan Basreng Yogies, Grosir Camilan Basreng Yogies Nikmati sensasi baru dalam menikmati camilan dengan Basreng Black Caviar, perpaduan unik antara rasa gurih dan pedas yang tak terlupakan! Terbuat dari bahan berkualitas terbaik, Basreng Black Caviar menawarkan cita rasa renyah dari basreng (baso goreng) yang dipadukan dengan sentuhan bumbu hitam caviar yang eksklusif. Setiap gigitan memberikan pengalaman rasa yang kaya, sempurna untuk menemani waktu santai Anda.
Camilan ini tidak hanya menggugah selera, tapi juga penuh dengan kandungan protein, cocok sebagai teman nonton film, camilan kerja, atau saat berkumpul bersama teman dan keluarga. Kemasan praktisnya membuat Anda bisa menikmati Basreng Black Caviar kapan saja dan di mana saja.
Jangan lewatkan kesempatan untuk mencicipi kelezatan yang sedang tren ini! Segera dapatkan Basreng Black Caviar di toko terdekat atau pesan online sekarang juga. Rasakan kenikmatan camilan premium yang bikin ketagihan! Dengan rasa pedas premium yang menggugah selera, basreng ini siap memanjakan lidah pecinta camilan Pedas & Original !
Komposisi: Tepung Tapioka, Baso Berkualitas, Penyedap Rasa, Rempah & Minyak Nabati, Cabai Segar, Daun Jeruk
Pemesanan:
WA: 0815-7109-993
Link Pendaftaran:
Klik: https://blackcaviar.id/p/landingpage?ref=cRXtjyifUW
Direct Whatsapp Klik:
WA: https://wa.me/628157109993
Website: http://yogiesmakanan.yogies9.com/
Yogies Camilan Basreng Bandung, Yogies Camilan Basreng Surabaya, Yogies Camilan Basreng Padang, Yogies Camilan Basreng Medan,Yogies Camilan Jakarta,Yogies Camilan Basreng Makassar, Yogies Camilan Basreng Palembang,Yogies Camilan Basreng Yogyakarta, Yogies Camilan Basreng
#Basreng Black Caviar Kota Kupang#Produsen Basreng Kota Kupang#Produsen Basreng Kota Yogyakarta#Produsen Basreng Kota Jayapura
4 notes
·
View notes
Note
Kak kia, aku mau tanya kak. Menurut kakak wajar nggak sih ngerasa bersalah ketika orang lain bete karena kita balas lesan lama, padahal dia tau gak 24 jam kita lihat HP, tapi perasaan bete itu gabisa dibendung, dan ketika itu diutarakan ke aku, akunya ngerasa salah banget, jadi kek "oh salah yaa aku kalau lama balas pesan orang disaat aku juga ada kegiatan lain yg harus aku selesaikan?". Aku merasa kok jadi toxic bgt buat aku :(
Wajar aja kalau misalkan dari sebelum-sebelumnya kita org yg emang gak enakan atau seseorang tersebut penting di hidup kita. Tapi menjadi ngga wajar kalau rasa bersalah itu terus menerus mengganggu pikiran kita sampe bikin kita ga fokus dan jadi ga bs menikmati hari yang dijalani.
Bisa disebut toxic kalau berhubungan dengan seseorang itu menjadikan kamu merasa mudah cemas, takut terhadap dirinya dan gak bs rasional mengambil keputusan apapun yang berkaitan dengan dirinya. Kalau dirasa sudah toxic, mending segera dibijaksanai, karena lepas dari seseorang yang kayagitu gak mudah dan traumanya bs mendalam.
8 notes
·
View notes