#Jarak Wonosobo Ke Dieng
Explore tagged Tumblr posts
Text
Gunung Prau dan Postingan Tumblr Pertama Sasa
Ketika kebanyakan orang berlibur kala long weekend Kamis hingga Minggu, 23-26 Mei lalu, berbeda denganku yang justru berlibur di hari Senin setelah libur panjang akhir pekan. Sejak masa kampanye atau bahkan jauh sebelum kampanye keinginan untuk mendaki gunung selalu terlintas dan terbayang-bayang, tapi soal kapan akan terlaksana tidak ada bayangan sama sekali. Mengingat waktuku yang selalu tentatif, tidak tentu kapan bisa libur dan kapan bekerja.
Sehingga, postingan pertamaku di sini aku buka dengan cerita pendakian Gunung Prau di Kawasan Dieng, sekitar Wonosobo-Banjarnegara-Kabupaten Batang. Pendakian yang sangat mendadak tanpa perencanaan panjang.
Jakarta
Minggu siang, Mbak Jihan pergi ke Jogja karena ada kunjungan kerja. Aku sebenarnya tidak ditawari untuk ikut, khususnya karena aku juga masih belum ingin mengingat Kota Jogja. Tapi tiba-tiba terpikir untuk mewujudkan keinginan lamaku: naik Gunung Prau.
Karena tidak mungkin minta kakakku untuk menemani mendaki, aku bergegas mengambil smartphone dan membuka aplikasi hijau. Aku mencari nama temanku yang tinggal di Jogja untuk menemani mendaki. Tidak lama kemudian dia menyetujui, aku pun menambah syarat ditemani dengan salah satu teman perempuannya. (Dalam perjalanan aku baru tahu, si teman perempuan ini namanya Ekka dan sudah pernah naik Gunung Prau)
Jogja
Singkat cerita, aku sampai di Jogja Minggu siang pukul 16.00 WIB. Bersama Mbak Jihan, kami menuju ke sebuah hotel sekitar satu kilometer dari Tugu Jogja. Aku benar-benar tidak niat berlama-lama di Jogja-Dieng, hanya bawa satu ransel yang berisi perlengkapan mendaki.
Sore hingga malam aku sempatkan bertemu kakak tingkatku yang kebetulan adalah sahabat dari kakakku. Teman lama yang tidak berjumpa tentu menimbun segudang cerita, cerita seputar FK Unila hingga kehidupan PPDS yang sebenarnya tidak semenyeramkan kabar burung di luar sana. Karena setiap jurusan tentu punya tingkat kesulitannya masing-masing.
Sesuai rencana sebelumnya, pukul 21.00 kami menuju Dieng melalui Kulon Progo. Belanja keperluan pendakian lalu menjemput satu orang teman dan melengkapi kelompok pendakian ini menjadi 3 orang.
Karena perjalanan panjang seharian, badanku cukup lelah dan tertidur selama perjalanan. Beberapa kali terbangun hanya sekedar memastikan temanku yang menjadi supir malam itu tidak mengantuk hehe. Sekitar pukul 01.28 kami sampai di Basecamp Pendakian Gunung Prau via Dieng, awalnya kita berencana untuk mengejar sunrise di puncak tapi sepertinya tidur lebih nikmat dibanding kedinginan diluar akhirnya kita putuskan untuk tidur saja hingga azan subuh.
Dieng-Pendakian
Perjalanan dimulai pukul 05.00 WIB, pilihan pendakian via Dieng karena ini jalur yang paling nyaman, meski bukan paling populer. Jalur yang paling populer dengan view paling bagus adalah lewat jalur Patak Banteng.
Karena masih pagi buta tentu perjalanan sepi dan gelap. Apalagi long weekend sudah selesai. Barang bawaan kami pun hanya sedikit, tanpa carier besar. Kami merencanakan pendakian naik lalu langsung turun tanpa nge-camp (istilahnya tektok).
Pukul 05.17 kami sampai di Pos 1. Jaraknya sebenarnya cukup dekat, tapi karena menanjak jadi terasa jauh. Total pendakian kita harus melewati 3 Pos dengan jarak masing-masing Pos sekitar 1 km.
Gunung Prau cukup bersahabat untuk beginners seperti saya ini, karena jarak ke puncak yang masih dalam batas normal dan cukup banyak jalur landai. Selama pendakian, aku jadi teringat perjalanan ke Ranu Kumbolo di lereng Semeru beberapa tahun lalu. Di sana terdapat Tanjakan Cinta memiliki mitos kalau kita mendaki tanjakan tersebut dan dan melihat ke belakang tidak akan bertemu dengan jodoh kita. Ya tapi ngapain ketemu jodoh di gunung, saya kan maunya di pelaminan, hehe….
Nah, di Gunung Prau ini ada titik yang Bernama Akar Cinta…. tebarkanlah virus-virus cinta (nyanyi). Akar ini cukup cantik dipandang, sangat panjang, dan berkelok-kelok, aku sendiri tidak tahu sebenarnya ini akar dari pohon apa. Tapi yang pasti ini adalah gabungan akar beberapa pohon yang satu jenis dan berjejer sehingga menyatukan banyak akar. Struktur Akar Cinta cukup membantu para pendaki tidak terpleset karena menjadi semacam anak tangga alami di jalur pendakian.
Puncak Prau
Setelah berbagai tantangan dan jalur yang terjal, akhirnya kami sampai di Puncak Prau pukul 07.00. Tepat sesuai perkiraan dua jam pendakian. Di ketinggian 2590 mdpl view Gunung Sindoro, Sumbing dan beberapa gunung lainnya terhampar. Saat itu sunrise sudah lewat, berganti dengan pemandangan Kaldera Dieng yang kebetulan saat itu cukup cerah.
Semua kelelahan dan kantuk terbayar. Kesejukan dan pemandangan luar biasa indah setelah perjalanan dadakan, justru sulit didapatkan kalau direncanakan sejak jauh-jauh hari. Bagian paling paling aku suka ketika tadabur alam adalah tubuh dan kulitku terasa sehat. Berbeda dengan wisata kota yang biasanya membuatku harus pakai make-up, kadang membuat kulitku justru berjerawat.
Kembali ke pendakian, Puncak Prau sebagai titik tertinggi berbeda dengan Sunrise Camp yang paling populer dengan pemandangannya. Karena kami mendaki via Dieng maka kami sampai di Puncak Prau. Lalu untuk melihat dengan jelas gunung-gunung di sekitar Jawa Tengah, kami harus berjalan menuju Sunrise Camp. Jaraknya cukup jauh tapi dapat ditempuh dalam 15 menit jika berjalan kaki, jarak yang pantas untuk ditempuh karena medan cukup landau, disempurnakan dengan bunga-bunga cantik dan view Bukit Teletubbies yang memikat mata.
Bunga Daisy warna-warni menghiasi perjalanan kami dari Pos 1 hingga puncak dan Sunrise Camp. Aku berkali-kali ambil foto sampai puas di sekitar semak-semak berbunga ini. Entah sejak kapan aku menyukai bunga, setiap ada bunga aku merasa cantik dan menjadi perempuan. Tapi kenapa ya bunga selalu identik denga perempuan? Kenapa tidak dengan laki-laki? Entahlah aku tidak tahu juga.
Sunrise Camp
Sunrise Camp tempat di mana para pendaki dari jalur Patak Banteng bermalam punya pemandangan yang luar biasa cantik. Gunung Sindoro dan Sumbing serta beberapa gunung di sekitarnya terlihat sangat jelas dan cantik, seolah mereka sedang bermain berkumpul bersama.
Aku juga tidak menyangka akhirnya bisa sampai di atas puncak ini, mungkin kalau aku masih tinggal di kampungku dulu, aku tidak bisa sampai diatas puncak ini. Mungkin sebatas melihat pemandangan ini di botol Aqua atau maksimal hanya di YouTube dan medsos.
Kalau mengingat susahnya zamanku kecil dulu, aku jadi merasa tidak pantas untuk mengeluh lagi karena sekarang hidupku jauh lebih mudah dan penuh kenikmatan. Terimakasih Ya Allah, Gusti, atas kenikmatan yang sangat berlimpah ini.
Tidak lama kami di Sunrise Camp. Hanya menikmati pemandangan, mengabadikan momen berfoto-foto cantik, lalu minum dan makan snack untuk mengisi energi. Kami lalu begegas turun karena rencana aku harus kembali ke Jakarta dengan kereta pukul 17.00.
Perjalanan Turun
Baru jalan beberapa langkah, aku merasa ada yang tidak beres dengan perutku, tapi aku coba paksakan jalan mungkin karena tadi pagi aku hanya makan buah dan belum makan berat, sehingga asam lambung naik ke esofagus. Perkiraan kita akan sampai di basecamp pendakian pukul 10.00 sepertinya tidak akan terwujud, karena semakin lama, perutku makin perih dan nyeri. Berjalan tiga langkah pun terasa nyeri sampai membuatku berkali-kali harus istirahat.
Biasanya aku membawa obat lambung, tapi kali ini aku kecolongan. Sialnya, beberapa kali bertemu dengan pendaki semuanya tidak membawa obat lambung. Perjalanan pulang cukup menyiksa, tapi namanya Sasa, walaupun nyeri perut tetap saja sempat tertawa dan foto-foto.
(Ini adalah batas wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Batang. Aku mengerti beberapa kabupaten di Jawa Tengah karena sempat bersekolah di Kendal selama 4 tahun jadi masih familiar dengan daerah-daerah Jawa Tengah.)
Setelah bertemu 6-7 kelompok pendaki dan melewati Pos 1, akhirnya kami bertemu dengan pendaki yang membawa obat lambung. Setidaknya bisa menurunkan sedikit rasa nyeri yang aku tahan dari puncak. Mereka kelompok dari Jakarta yang baru mulai pendakian dan berencana stay 2 hari di puncak.
Tidak lama kemudian, kami sampai di Basecamp Dieng. Makan, tidur, dan bersih-bersih sebelum menutup pendakian dan kembali ke Jogja. Sejujurnya ini kali pertamaku tektok naik gunung. Ternyata sangat seru dan menyenangkan karena tidak perlu membawa banyak perlengkapan. Perjalanan menjadi simpel dan tidak merepotkan.
Terimakasih Gunung Prau yang begitu indah, ingin aku ulang kembali mendaki Puncakmu.
Langkapura, 2 Juni 2024
1 note
·
View note
Text
Paket Tour Dieng 3 Hari 2 Malam
Paket Tour Dieng 3 Hari 2 Malam
PAKET HEMAT!! Open Trip Ke Dieng Dari Jakarta, Aneka Wisata Di Dieng, Harga Paket Wisata Dieng 2 Hari 1 Malam, Transportasi Dari Jakarta Ke Gunung Prau Dieng, Kondisi Wisata Dieng Saat Ini, Youtube Wisata Gunung Dieng, Alamat Dieng Travel Bali, Pengalaman Ikut Dieng Culture Festival, Biaya Travel Ke Dieng, Trip Dieng Kaskus
Paket…
View On WordPress
#Al Safwa Travel Umrah#Backpacker Ke Dieng Dari Jakarta Naik Kereta#Basecamp Prau#Bromo Tour Price#Bukit Skoter Dieng#Dataran Tinggi Dieng Terletak Di Provinsi#Dieing Status#Dieng Banjarnegara Jawa Tengah#Dieng Wonosobo Map#Harga Homestay Dieng#Hotel Dekat Dieng#Hotel Di Gunung Dieng#Hotel Murah Di Wonosobo#Istana Maimun#Jalur Dieng#Jarak Wonosobo Ke Dieng#Mt Prau#Obyek Wisata Dieng Dan Sekitarnya#Pahawang Trip#Paket Liburan Ke Dieng#Paket Wisata Jawa Tengah#Pegunungan Dieng Jawa Tengah#Penginapan Di Daerah Dieng#Perjalanan Ke Bandung#Permata Travel#Persiapan Untuk Mendaki#Pesona Dieng#Sewa Tenda Di Dieng#Tempat Rekreasi Di Wonosobo#Tempat Wisata Banjarnegara
0 notes
Text
Aku, Richsan, Ahong, dan Jawa Tengah. (2)
Kalau kalian berpikir jalan-jalan berkeliling Jawa Tengah bersama dua orang laki-laki yang dekatnya sudah seperti sahabat seumur hidup adalah korean drama materials, oh tentu tidak semudah itu ferguso.
--
Agenda di hari kedua adalah murni pekerjaan, yaitu pergi ke Pondok Pesantren Al-Iman Bulus Purworejo untuk menemani ‘Bapak’ Richsan menghadiri acara qurban sebagai tamu istimewa. Kami pun pergi dari pukul setengah 9 pagi dan menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam 30 menit dari Wonosobo ke Purworejo. Memang dasarnya pencitraan dan tidak pernah mau salah kostum, Richsan dan Ahong memakai peci! Hahahaha andai saja mereka tahu bagaimana sikap mereka berdua sehari-harinya---ya cukuplah menjadi rahasia umum.
Sesampainya di pesantren, kami disambut oleh santri-santri di sana. Lalu, kami pun bertemu dengan Bib Hasan, ketua pondoknya. Sebelum acara penyambutan yang dimulai kurang lebih pukul 11, kami berbincang dulu cukup lama dengan Bib Hasan. Aku, yang lagi-lagi sebagai satu-satunya perempuan di sana, sebenarnya merasa agak salah tempat. Ah tapi yasudahlah.
Singkat cerita, acara pun dimulai. Richsan memberikan ceramah sambutan yang sudah dibuatnya semalam suntuk (aku akui itu cukup bagus) lalu dilanjutkan dengan acara shalat berjamaah dan makan siang bersama. Setelahnya, pemotongan hewan qurban di halaman belakang di mana kami menyaksikan pemotongan sapi pertamanya. Hm, sudah kurang lebih bertahun-tahun lamanya sejak aku terakhir kali menyaksikan pemotongan hewan qurban. Ya, entah kenapa dulu waktu masih kecil sepertinya hampir setiap Hari Idul Adha kegiatan aku dan tetangga-tetangga adalah menonton acara pemotongan... Aku sudah lupa sejak kapan kami mulai berhenti melakukan itu.
Setelah semua acara formal selesai, kami pun berkeliling pesantren untuk melihat-lihat sambil ditemani oleh Mas Ahsin. Kami pun diceritakan tentang kegiatan-kegiatan santri, peraturan-peraturan, dan juga urban legend-nya haha. Tentu saja Ahong yang paling senang dengan hal berbau supranatural yang paling semangat.
Karena sudah tidak ada kegiatan lagi, kami pun pulang pukul 2 sore. Richsan memutuskan kita ganti hotel saja, ke Hotel Kresna Wonosobo, yang katanya hotel paling nyaman seantero Wonosobo (dia dan Ahong sudah mencoba berbagai hotel di Wonosobo dan ini lah yang paling bagus). Kami pun langsung pergi ke sana dan meminta tolong Mas Aseng untuk membawakan barang-barang kami dari Hotel Dafam.
Matahari sudah terbenam ketika kami sampai di Hotel Kresna. Aku dan Ahong sudah sangat kelaparan, sementara Richsan tiba-tiba sudah memiliki janji untuk pergi keluar bersama seseorang. Dan. Dia. Pergi.
Menelantarkan aku dan Ahong.
Untuk kesekian kalinya dalam perjalanan ini, aku sangat bersyukur dengan adanya Ahong di sini.
Aku pun mengajak Ahong untuk makan di luar. Ahong mengiyakan dan mengajak aku untuk makan di Sate Kambing Muda Pak Yani. Karena perkembangan teknologi, kami pun terselamatkan karena bisa pergi menggunakan Grab Car.
Kata Ahong, tengkleng di sini enak banget. Dulu waktu dia dan Fikry ke sini, sampai nambah beberapa porsi. Aku yang sebenarnya kurang suka kambing percaya saja, karena selama ini semua makanan di rumah dia enak dan selera kita bisa dibilang 11-12 lah. Jadi aku cukup percaya dengan penilaian Ahong soal rasa.
Kami memesan dua porsi tengkleng dan satu porsi sate kambing (sate kambing dimakan berdua). Ini pertama kalinya aku mencoba tengkleng, dia seperti sup iga kambing dengan kuah yang tidak terlalu banyak. Hmm, ya, rasanya enak! Tapi menurutku sih masih agak bau kambing, jadi aku lebih suka satenya. Yah, tidak sesuai ekspektasiku tapi cukup enak lah.
Setelah selesai makan, Ahong melakukan satu-satunya hal yang jaranggg sekali dilakukan oleh teman laki-lakiku.
Menemaniku mencari baju.
Jadi, besok subuh kami akan pergi ke Dieng. Dan aku tidak membawa jaket. Ya, soalnya, Richsan nggak bilang kalau kita akan ke Dieng! Bahkan sepatu yang cocok untuk naik gunung saja aku tidak bawa. Ahong sampai bilang : “lo kenapa gak bilang gua dah, tahu gitu gua bawain dari rumah”.
Akhirnya, daripada aku besok mati kedinginan, kami pun berinisiatif mencari toko jaket di Wonosobo.
Jujur, ini pertama kalinya aku diantar pergi membeli baju (selain ibu) oleh orang yang benar-benar sampai memilihkan yang mana yang cocok untukku. Ahong menyarankan kita untuk pergi saja ke toko yang menjual jaket untuk naik gunung, karena kualitasnya pasti bagus. Namun, entah karena dia melihat bahwa aku kurang puas dengan toko pertama atau memang lebih baik lihat-lihat yang lain agar lebih banyak pilihan, dia menyarankan kita coba lihat dulu ke toko sebelah.
Dia memilihkan sebuah hoodie tebal dengan model yang cukup sederhana, tapi aku suka. Awalnya dia memilihkan warna abu-abu, tapi aku lebih suka warna hijau tua yang menyerupai warna daun pinus. Ahong bilang itu juga oke, dan kebetulan sekali harganya tidak semahal yang aku bayangkan. Sebenarnya sebelumnya Ahong sempat menawarkan untuk endorse alias membayarkan jaketnya untukku--tapi buat apa. Karena kebetulan gaji sudah turun, jadi aku beli sendiri. Tapi itu gestur yang cukup lucu untuk seorang kakak laki-laki fiksi.
Karena jarak toko dan hotel tidak terlalu jauh, kami pun memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki. Bahkan Ahong yang mengusulkan. Sejujurnya aku cukup banyak terkejut dengan tingkah orang ini, karena dia tidak bertingkah seperti orang kaya pada umumnya. Pada hal-hal tertentu Ahong sangatlah... merakyat. Tapi pada hal-hal tertentu lainnya, dia sangatlah konglomerat menyebalkan :)
Setelah sampai di hotel, kami pun memutuskan untuk main billiard. Richsan masih belum pulang. Tuh, kan, kalau nggak ada Ahong aku pasti sudah terlantar.
Aku bisa dikatakan sangat suka bermain billiard, tapi nggak jago. Aneh, ya? Tapi seru loh main billiard itu, jadi aku suka. Hanya saja, karena jarang, jadi tidak jago. Sementara Ahong? Aku sih nggak ngerti, tapi dia seperti seorang gamers sejati yang akan jago dalam semua permainan yang ia tekuni, termasuk billiard. Dengan segala lagaknya tentu dia bilang, “yaelah gue kira lo jago Jan”.
Di tengah-tengah permainan, Richsan datang. Ada Sugiyat dan Rosim juga. Akhirnya aku jadi menonton saja mereka berempat bermain. Semuanya jago.
Kami kembali ke kamar dan tidur kurang lebih pukul 11... atau 12 ya? Karena besok harus berangkat subuh sekali ke Dieng. Kalau mau mengejar sunrise, kami harus berangkat jam setengah 4 pagi dari hotel. Sebenarnya aku agak was-was karena, yah, badanku kan lemah. Ditambah dengan kurang tidur begini, kalau aku mati di atas gimana? Hahaha. Tapi masa mau tinggal di hotel dan melewatkan sunrise di Dieng, yang entah kapan lagi akan kulakukan! Apalagi bersama duo temanku ini--yang belum tentu tahun depan kami masih akan bersama.
Akhirnya, kami pun berangkat pergi ke Dieng pukul setengah 4 pagi. Untung aku berhasil terbangun karena alarm.
--
Sudah kubilang, perjalanan berkeliling Jawa Tengah bersama dua orang ini bukanlah korean drama materials. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, banyak juga sih hal-hal manis dan lucu dari mereka... Meskipun lebih banyak brengseknya. Yah, kita lihat saja apa yang mereka lakukan ketika sesinya adalah jalan-jalan ke Dieng dan bukan pekerjaan.
1 note
·
View note
Text
Memetik Hikmah.
Mungkin lain lagi ceritanya, jika 2,5 tahun yang lalu aku tetap bersikukuh mengejar mimpi itu. Menjadi seorang pencipta obat untuk mengobati kanker (kala itu aku menceritakan alasannya pada kawanku, betapa aku ingin masuk ke sebuah fakultas impian di universitas impian tersebut untuk menciptakan sebuah obat-yang mungkin sangat sulit untuk diciptakan.
Mungkin akan lain lagi ceritanya, jika aku bersikeras untuk masuk ke kampus kuning itu. Mungkin aku tak akan merasakan indahnya merantau dimana aku secara "bahagia" dididik untuk hidup mandiri.
Mungkin akan lain lagi ceritanya, jika kala itu.. aku menolak undangan SBMPTN pada pilihan ketiga. Saat itu, ketika orang lain bersedih karena tidak lolos SBMPTN, justru aku malah menangis karena keterima SBMPTN. Mungkin yang paling menyesakkan saat itu adalah keterima di pilihan ketiga. Iya. Pilihan ketiga. Pilihan cuma-cuma. Cuma jaga-jaga.
Satu hal yang paling menyesakkan lagi adalah aku.. harus mengorbankan mimpi itu. Mimpi yang sudah aku bangun sejak kelas 10, kemudian harus pupus karena satu lain hal yang harus dipertimbangkan.
Setelah pergolakan batin maha dahsyat itu, akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan hidup. Bukankah hidup harus terus berjalan, bung? ku teringat firman Allah subhanawata'ala dalam Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 216, yang menyatakan bahwa apa-apa yang menurut manusia baik, belum tentu menurut Allah itu baik. Kemudian, aku coba berhusnuzon. Meski kadang tak sesuai harapan. Tapi, ku coba meyakinkan diri. Allah ga akan menzholimi sedikit pun hambanya.
Meniti hidup, di kota orang, tak ada satupun sanak famili dan harus menuntut ilmu di jurusan yang sama sekali ga ada kepikiran buat terjun didalamnya.. mencoba menikmati setiap inci kehidupan dan bertahan atas bergejolaknya hati untuk tidak memberontak melawan takdir (semester-semester awal aku sama sekali ga menikmati pelajaran:( tiap ada dosen yang ngajar pengen aja gitu teriak terus lari keluar tapi Alhamdulillah masih tahan wkwk)
Hingga kemudian aku bertahan sampai fase ini..
Jika ditanya kenapa masih bertahan? Jawabanku pasti, karena aku cinta jurusan ini. Why? Satu hal yang pasti.. saat aku mulai jatuh cinta dan mulai menyadari. Emang tanpa bidang ini-terkhusus aku yang suka makan- bisa hidup?
Hingga pada satu fase, aku mulai mencoba untuk berdamai dengan takdir. Mungkin jika dari awal aku memberontak pada takdir, aku tak akan merasakan hidup sendiri, jauh dari orang tua... Bukankah jarak yang tercipta mampu menyadarkan kita akan arti pentingnya kebersamaan dan rindu? Terutama dengan keluarga.
Selain itu, aku tak akan bisa untuk menginjakkan kaki ke negeri Cina nun jauh di sana. Jika aku melawan takdir, aku tak akan bertemu dengan orang-orang hebat yang menuntunku untuk bersama mengejar mimpi (meskipun banyak liku yang terjadi, tapi kuharap bersedia memaafkan segala kesalahan yang pernah aku lakukan, sungguh aku sangat berterimakasih kepada semua orang yang berjasa mengantarkanku menjemput mimpi ini).
Cerita-cerita seru dan menyenangkan selama 2,5 tahun kebelakang menjadi hal yang sangat ku syukuri. Mencapai ip target, lolos pendanaan pkm (meskipun ga lolos ke pimnas), menjadi sekretaris himpunan, mendapat teman sholehah dari Al-Fatih masjid kampus Undip, mengelilingi ibu kota Jawa Tengah, mengunjungi kota Solo, Magetan, dan kotoran ke Dieng, Wonosobo, menjadi guru les, merasakan lumpur sawah, nyangkul lahan kering sampe encok, tidur di lab, ngedraf laporan sampe sahur, ga tidur buat ngerjain tugas, praktikum setiap hari, nyiram tiap pagi dan sore hari di lebih 5 tempat yang berbeda, nyari hama yang super kecil, jalan-jalan ke Bandungan, makrab himpunan dan angkatan, dan akan ada banyak lagi kisah luar biasa yang terjadi.
Oiya, satu lagi. Bertemu dengan pihak-pihak atau orang-orang baru yang secara langsung atau tidak mengajarkan aku tentang hidup. Hidup untuk terus bertahan akan cacian maupun pujian. Hidup untuk bersosialisasi dengan yang lain. Hidup untuk menghargai orang lain. Hidup untuk terus berjuang, memperjuangkan mimpi. Hidup untuk kuat. Hidup untuk saling berbagi dan mengasihi. Hidup untuk orang yang berjuang untuk kita. :') Hidup untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah subhanawata'ala.
Kurasa, jika dulu aku terus memberontak.. aku tak akan merasakan keindahan ini, aku tak akan menjadi Aul seperti yang sekarang ini. Setiap orang mempunyai jalan hidup yang berbeda. Aku yakin, tiap orang pasti ada yang dikorbankan untuk mencapai satu fase tertentu dan itu pasti, tak mudah. Jadi bersyukur lah. Dan aku semakin menyadari bahwa, hidup itu akan terasa indah apabila kita menerima ketetapan-Nya. Mencoba berdamai dengan takdir (pastinya setelah kita ikhtiar maksimal) dan memaknai hidup.
Jangan lupa bersyukur atas segala tiap inci dalam kehidupan.. Ingat janji Allah subhanawata'ala, jika kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat dan karunia-Nya:) semangat!
Bekasi, 2 Januari 2019.
Anak perempuan yang sedang berjuang
4 notes
·
View notes
Text
Perjalanan pendakian Gunung Prau.
Astagaaaa, udah sebulan lebih nggak nulis 😱 Tulisan tentang perjalanan Prau ini juga terabaikan sebulanan, lupa ngeposting. Hahaha Hhm emang nulis itu butuh mood sih 😣 * * So, let me tell you a story about my journey to Mt. Prau! Jumat, 6 Okt 17. Akhirnya semua siap berangkat, yewww!! Errr, nggak juga sih. Temenku, si Monyet, bilang gak jadi ikut karna masih sakit. Duh, aku udah males kalo ada yg batalin lagi di hari H gini. Sebodo teuing lah kalo gak ikut juga mah. Awalnya kita janjian jam 6 di stasiun bangil, buat naik bis ke terminal bungurasih. Dan...hasilnya, baru kumpul semua jam 19.30, karna mas Wachid masih rempong packing di rumahnya 😐 Akhirnya 19.30 kita baru naik bis otw bungurasih. Di waktu yg bersamaan, si Monyet yg tadi sore pulang ke rumahnya di purwosari, akhirnya memutuskan buat berangkat juga, dia naik bis dari purwosari ke bungurasih. Hahaha crack! Pengen ta jotos bocah itu! Finally, jam 21.30 kita ketemu semua di bungurasih. Kita stand by di peron bus jurusan Magelang. Dan sekitar jam 22.30, kita semua udah duduk manis di bus Eka, berkat skill ku yg tinggi untuk nerobos masuk bis duluan dan cari 5 kursi kosong 😅 And here we are... Me, Monyet, Baguspan, Amin dan mas Wachid goes to Prauuuu 👊 Btw ya, fyi, karna aku itu nggak seneng naik bis, sangat parno, dan kalo gak kepaksa banget gak bakalan mau naik bis, jadi...begitu duduk di bis, langsung nutup puser pake handsaplast dan minum antimo. Hahahaha safety first for myself yak!💃 (dan bis Eka ini nggak ada toiletnya dong. Gimana nggak makin parno! 😮) Oh ya, harga naik bis Eka Sby-Magelang kalo gak salah itu 118.000. Sabtu, 7 Okt 17. Ditengah-tengah obat bius antimo, sesekali aku kebangun dan menyadari bahwa supir bus ini ugal banget. Seingetku 2x mau tabrakan sama truk tronton disebelah dan keneknya ngomel2 di jalan marahin supir tronton itu. Hhm, welcome to night bus! Sekitar jam 2.30 pagi, berhenti di Ngawi buat makan. Aku yg masih kebius ngantuk sama antimo, maksain diri buat turun, ke toilet, dan makan. Kemudian lanjut cuss.. (dan tidur lagi 😪) Sekitar jam 7 pagi, alhamdulillah kita sampe di terminal Magelang! 🙌 Kita mandi-mandi, sholat, dan aku cuma cuci muka sama sikat gigi aja sih hahaha. Trus sarapan dulu di warung dalem terminal. Sekitar jam 8, baru naik bis kecil tujuan Wonosobo, yewww! Bis ini kalo di Pasuruan, kayak 'bis kuning' haha. Naik bus Magelang-Wonosobo ini 25.000. Selama perjalanan, enak banget liat pemandangan sekitar, apalagi pas nyampe Wonosobo. Duh, langsung disambut udara dingin dan pemandangan gunung Sindoro disebelah kanan kita 😁 Sekitar jam 10 pagi, kita sampe di terminal Wonosobo. Baguspan sama Monyet langsung cari indomaret buat beli gas. Karna kita bawa 2 kompor, tapi gak bawa gas. Hahaha. Eh ya, btw kita dapet 1 temen baru yg gabung sama kita sejak sampe di Magelang tadi. Nama panggilannya sih mas Kalap. Jadi dia anak Gresik, trus mau ke Prau juga, sendirian. Ternyata udah kenalan sama Amin dari di bungurasih kemaren, trus diajakin bareng sama Amin. So, rombongan kita jadi ber-6 😀 Nah, pas kita lagi nunggu bis ke Dieng, datenglah nih si calo (yg akhirnya nantinya kita tau kalo dia brengsek) yg nawarin kita nyariin bis ke Dieng. Yaudah ya kita mau aja waktu itu. Kita naik bis kecil jurusan Dieng, bareng sama rombongan 9 anak dari Jakarta. Kita bayar 20.000. Nah trus pas didalem bis, si calo tadi nawarin rombonganku sama rombongan anak Jakarta tadi, untuk pulangnya besok ikut dia aja. Btw, akhirnya kita mutusin pulangnya dari Dieng besok, kita ke Jogja dulu, dan mas Kalap juga dadakan beli tiket kereta dari Jogja bareng sama kita. Nah, karna rombongan anak Jakarta tadi juga mau ke Jogja, akhirnya kita deal besok ke Jogja barengan mereka lagi, dan dikasih harga 60.000/anak Dieng-Jogja (wah, murah bgt, batinku). Dan mas Kalap yg pegang cp-nya si calo itu, aku sih gak minat ngurusin awalnya, ngikut aja.. Jam 12 siang, alhamdulillah kita sampe di Dieng! 🙌 wah bener-bener senengku gak kekira! Finally, dataran tinggi Dieng, Dieng Pleteau! 😍 Kita langsung minta turun didepan indomaret, karna deket juga sama gangnya basecamp. Istirahat dan sholat bentar, kita lanjut jalan ke basecamp. And... Welcome to basecamp Patak Banteng pendakian Gunung Prau!🙋 Wah disini rame bangetttt! Waktu itu loket registrasinya masih tutup, baru buka jam 1 siang, jadi kita istirahat disana sebentar, sambil nyemil-nyemil isi tenaga buat trekking. Dan yg gak boleh kita lewatkan kalo udah di Dieng adalah, nyobain Tempe Kemulnya! Haha asik nih makan gorengan, sukaanku 😜 dan aku habis banyak, banget 😂 ya doyan, ya laper. Setelah registrasi (aku lupa, sepertinya registrasi prau cuma 7 atau 8 ribu gitu..), jam 13.30 kita doa bareng dan mulai trekking.. #trekking..... Pertama jalan, kita ngelewatin perkampungan warga dan menapaki beberapa (banyak.red) anak tangga yg dicat warna-warni. Hhm agak shock langsung dihajar naikin anak-anak tangga itu, haha. Trus ketemu perkebunan warga, jalannya lumayan sempit. Keluar perkebunan, kita ketemu di jalan nanjak berbatu sampai di pos 1. Pas banget mau istirahat bentar di pos 1, eh hujan. Hhm, kita nerusin jalan.. Tapi lama-lama hujan makin deres, akhirnya kita neduh di warung kecil sambil nunggu kali aja hujannya reda. Btw, di pendakian prau ini bakal banyak kita temui warung-warung kecil disepanjang kanan dan kiri perjalanan sampai sebelum pos 2. Hahaha bener-bener pendakian yg dimanjakan ini mah. Rata-rata warung-warung itu jual cemilan, minuman, jas hujan, dan sudah jelas semangka! Hahaha. Jangan tanya aku beli apa gak, jelas lah aku nyemil semangka tiap berhenti di warung, dan langsung nyeletuk "Nyet, aku semangka 2" (haha maksudnya minta bayarin si monyet). Singkat cerita, kita memutuskan jalan lagi dan pake jas hujan semua. Trek prau di musim hujan bener-bener aduhayyy! Karna tanahnya jadi licin banget, jalannya banyak bercabang (mengingatkanku sama treknya gunung panderman). Melewati tengah hutan, sesekali kita ketemu tanah terbuka, dan melihat seputar kota dieng dari atas, ah indah banget! Mendekati puncak, aku ketemu taman bunga daisy. Cantiiikkkk banget! 🌼🌼 Dan akhirnya sekitar jam 17.00, kita sampai di camping ground nya prau. Yeyyy!! Alhamdulillah.. #Camping ground..... Sampai di camping ground, hujan sudah berhenti. Kita disambut kabut yg cukup tebal dengan jarak pandang kita bener-bener terbatas. Bahkan aku gak bisa lihat tenda-tenda pendaki di kejauhan, gak bisa lihat pemandangan gunung 3S (Sindoro, Sumbing, Slamet), dan jelas gak ketemu sunset 😐. Prau dingin bangettt, entah karena habis hujan atau memang sudah mau malam, haha. Tapi menurutku lebih dingin ranukumbolo sama ijen 😄 Kita cari tanah lapang buat diriin 2 tenda hadap-hadapan. Aku masuk tenda duluan dan nata matras-matras kita, tas-tas, sama ngeluarin semua logistic yg kita bawa. Lalu sebagai cewek satu-satunya, jelas aku langsung nyiapin makanan minuman buat kita. Dibantuin yg lain siapin kompor dan gas, aku siapin kopi, susu, dan jahe hangat trus masak makanan. Malam itu si Amin kebagian masak nasi (berasnya ga pake dicuci dulu, langsung dimasak. Hemat air! 😂) Aku bikinin bakso sama goreng nugget, dibantuin Monyet sama Baguspan. Kalo mas Wachid sama mas Kalap gak kebagian ngapa-ngapain, karna mereka anteng didalem tenda aja 😑 Btw, aku ber-4, 1 tenda sama Amin, Monyet, sama Baguspan. Dan mas Wachid sama mas Kalap ber-2, 1 tenda. Mas Kalap disini btw pendiam banget. Bahkan dia gak makan masakanku blas, cuma minum kopi haha 😏 Dan malam itu kita makan kenyang banget. Ada nasi yg berhasil punel banget Amin bikinnya👍, trus makanan pembuka bakso hangat (yg sebagian kuahnya didalem nesting ditumpahin sama Monyet 😰 trus kena kakinya Baguspan 😅), kita makan nasi + nugget bareng-bareng, dan itu nikmaaaat banget rasanya 😊 Malam semakin larut, mas Wachid sama mas Kalap udah terdengar ngorok didalem tendanya. Akhirnya aku ber4 sama Amin, Monyet, Baguspan masuk tenda juga, dan...memutuskan main kartu! 😄 Sesekali aku ngeliatin langit, nyari bintang-bintang, tapi emang karna abis hujan, jadi gak begitu terlihat banyak. Kita kedatangan tetangga baru juga, si Amin sampe bantuin diriin tendanya mereka. Mereka juga pinjam lampu sama kompor+gas kita. Dikejauhan langit sempat ada semacam fenomena alam aneh kayak kilatan cahaya dalam durasi waktu yg cukup singkat tapi sering. Si Amin meyakini itu kilatan Gunung Agung di Bali yg meletus (haha. Emang saat itu aktivitas Gunung Agung lagi 'awas'). Dan ketika malem itu aku kebelet pipis, akhirnya si Amin yg nganterin jalan keluar cari semak-semak dan nungguin aku pipis, haha 😂 Camping ground prau cukup ramai sekali malam itu. Tenda-tenda berjejer dengan aktivitas mereka masing-masing. Malem itu kita ngobrol banyak didalem tenda sambil main kartu, sampai satu persatu dari kami lelah dan memutuskan tidur. Berjejer dari Amin - aku - Monyet - Baguspan. Dan mereka langsung berpesan aku harus bangunin mereka besok pagi, biar gak ketinggalan sunrise. Haha 😑 Minggu, 8 Okt 17. Aku bangun sekitar jam 04.30 pagi. 3 manusia lain didalem tendaku ini masih tertidur pulas. Aku buka tenda, langit masih agak gelap, dan sunrise belum muncul, tapi pendaki-pendaki lain sudah ramai. Kemudian aku bangunkan teman-temanku, dan jelas saja, mereka tetep molor. Haha! Akhirnya aku siapkan minuman hangat sambil nunggu mereka siuman. Oh ya, btw, aku parno mau nyalain kompor ini, jadi tiap mau masak, aku selalu dibantuin kalo buat nyalain gas ini 😅 Singkat cerita, pagi itu kabut cukup tebal. Golden sunrise Gunung Prau yg fenomenal itu malu-malu menunjukkan keindahannya. Background Gunung Sindoro Sumbing ala ala lambang di botol aqua pun juga samar-samar aja terlihat di kejauhan. Hhm.. Lumayan nggak sukses juga sih ini sunrise-an nya 😅 Karna kita hanya bisa menikmati pemandangan pagi itu sekitar 30 menitan, sebelum kabut tebal menutupi puncak prau. Dan jelas semua pemandangan menjadi warna putih kabut semua 😩 Selesai foto-fotoan, jalan-jalan di sekitar puncak prau, kita bikin sarapan. Sarapan pagi itu aku kembali goreng nugget, bikin mie, dan spaghetti. Kita sarapan lahap banget pagi itu, ngabisin stok logistic juga sih 😅 Sekitar jam 9 pagi kita udah bersiap turun, setelah beberes tenda dan barang-barang. Perjalanan turun cukup melelahkan. Kenapa? Karena baru kali ini, yg namanya turun gunung itu harus ngantri! Haha beneran ngantri! Karna banyak juga pendaki yg turun bareng-bareng kita. Ditambah lagi trek licin abis hujan kemarin. Aku pun 2x jatuh terpeleset 😅😅 Sekitar jam 11.30-an gitu, alhamdulillah kita sampai di basecamp prau, sebelumnya ada acara si Baguspan kakinya kena kram, hhm. Kita mandi dan bersih-bersih, sebelum....kemudian hujan turun begitu derasnya 😣 Padahal kita udah siap-siap mau balik ke wonosobo. Then, kita terjebak di basecamp prau sampe sekitar jam 3 sore. Tentunya aku menghabiskan waktu dengan ngobrol dan makan tempe kemul lagi 😅 Singkat cerita, kita udah janjian sama si calo terminal wonosobo kemaren itu untuk jemput kita jam 5 di basecamp prau, untuk kemudian mengantar kita ke jogja, bareng dengan rombongan asal jakarta kemaren. Setelah hujan cukup reda, aku ngajak anak-anak jalan buat cari mie ongklok dulu (makanan mie khas wonosobo), yg ternyata setelah kita jalan cukup jauh, gak kita temukan di dieng sini (susah nyarinya). Kemudian kita mampir ke tempat jual oleh-oleh dieng, dan kita semua memborong carica (sejenis manisan asli dieng). Ibu penjualnya baik banget, kita dikasih tester, di diskon, sama dibawain carica buat di jalan (tentunya berkat sepikan mautku😁). Btw, carica itu enak loh! Sore itu hujan turun lagi, dan kita berteduh didepan indomaret lagi, sampai akhirnya jam 5 datang bus mini yg jemput kita untuk menuju wonosobo. Perjalanan dieng-wonosobo kali ini cukup lama, karna supirnya rese', muter-muter gak jelas dulu di wonosobo. Udah se-bis isinya penuh pendaki lain dan tas carier yg jadinya sumpek, mana hujan deres banget lagi hhm. Kita nyampe terminal wonosobo sekitar jam 7 malem. Dan akhirnya ketemu lagi sama si bapak calo kemaren itu. Dan disinilah keruwetan dimulai... Si bapak calo tiba-tiba ngasih tau kalo rombongan anak jakarta kemaren membatalkan ke jogja, jadi si bapak calo itu gak bisa menyediakan akomodasi buat kita ke jogja. Hell! Aku langsung pasang badan paling depan kalo udah diruwet orang gini. Intinya, aku minta kejelasan dari janji dia kemaren. Mana ini udah makin malem dan kita harus ke jogja malam ini gimanapun caranya (secara tiket kereta kita itu besok pagi). Aku minta pertanggungjawaban si calo itu, sampai akhirnya dia nyariin mobil carteran buat kita, dengan harga yg jatuhnya lebih mahal dari kesepakatan kita kemaren (sebenernya cuma selisih 10rb per-anak sih, gak mahal-mahal banget 😅). Jadi awalnya kita dikasih harga 60.000 per-anak naik bus mini ke jogja bareng rombongan anak jakarta (total 15 orang). Nah sekarang dapet mobil luxio dengan harga 70.000 per-anak. Aku sempet diremehkan sama si calo itu, katanya "kalo keberatan harga segitu ya gpp bilang aja, nanti saya yg nambahin", hwanjiiirr yakali aku diremehkan! Langsung aku potong omongannya, kalo aku sama sekali gak keberatan, dan aku udah deal dengan harga 70.000 pokoknya bisa ke jogja malam ini, jadi fix aku tinggal nunggu mana mobilnya dateng, tapi emang dia yg ngomongnya mencla-mencle. Ih mentolo!😬 Nah, pas kita nunggu mobil luxio datang ditengah hujan itu, eh si calo nagih aku uang bayar bus dieng-wonosobo 20.000 per-anak. Gilaaa, jelas nolak aku! Karna awalnya yg dia ngasih aku harga 60.000 itu, udah harga dari dieng-jogja. Lah ini kok jadi ongkos dieng-wonosobo 20.000 sendiri, trus wonosobo-jogja 70.000. Ckck. Aku bilang aku gak mau bayar yg 20.000 itu, karna udah gak sesuai sama perjanjian diawal. Tapi akhirnya setelah rundingan sama anak-anak, yaudalah kita bayar aja 10.000-an. Dan akhirnya diterima aja duitnya sama dia. Dih! Singkat cerita, kita berangkat dari Wonosobo ke Jogja malem itu pake luxio. Di mobil aku banyak tidur, karna capek berantem #eh 😅 Kita semua nyampek Jogja dengan selamat sekitar jam 10 malem. Hellooo again, Jogja! 💛 Jogja lagi gerimis manja malem itu. Kita minta turun didepan stasiun tugu, dan jalan cari angkringan. Kita istirahat sejenak di angkringan sambil mengisi perut (kita belum makan seharian. Terakhir makan ya di atas puncak prau tadi pagi. Karna niat mau cari mie ongklok pun gagal kan. 😞) Kita sungguh kelaparan malam itu, dan akhirnya makan banyak hahaha. Abis kenyang, kita jalan-jalan ke tugu jogja, meninggalkan si Baguspan di angkringan yg katanya males jalan dan milih buat main game dan jagain tas-tas kita. Aku ber-5 sama Monyet, Amin, mas Kalap sama mas Wachid jalan bareng dan foto-fotoan di tugu jogja 😄 Senin, 9 Okt 17. Singkat cerita, malem itu sekitar jam 1 malem, kita udah ada di kawasan malioboro, depan tulisan Jl.Malioboro, dan pesen grab buat ke stasiun lempuyangan. Aku pesenin 2 grab buat kita. Sekitar jam 01.30 pagi, kita semua udah sampe di stasiun lempuyangan, dan kita bener-bener nggembel! Haha. Yakali ya, masa kita keluarin lagi matras dan sleeping bag kita, kita jajar, dan istirahat disitu. Malah si Amin sama mas Kalap ngeluarin kompor sama gas, dan mereka bikin kopi 😅 Trus kita lanjut main kartu sambil ngopi di stasiun (untung gak diusir 😂) Kita juga jadi tontonan orang-orang yg berlalu-lalang di stasiun, haha. Sampe akhirnya sekitar jam 3'an, satu-persatu dari kita tidur dengan nyenyaknya. Tinggal aku sama Amin yg masih melek. Aku sih emang belom ngantuk (karna udah tidur selama di mobil tadi), trus Amin bilang, "wes turu o mbak, aku ta jogo, aku gak turu kok. Aku nyeleh power bank e ae". Akhirnya aku naruh badan dan merem sebentar. Gak lama kemudian aku bangun lagi, noleh, dan Amin udah tertidur pulas 😰😕 Dan aku lanjut tidur juga, kita semua tidur, haha. Sekitar jam 5 pagi kita semua udah bangun, dan mulai cari toilet buat mandi sama bersih-bersih (secara juga stasiun udah ramai, itu kan hari senin pagi, haha. Hari dimana semua orang sibuk memulai kerja, dan kami sibuk menikmati cuti 😂) Aku gak mandi pagi itu, cuma cuci muka sama gosok gigi di toilet dalem stasiun. Trus bergantian sama yg lain buat cari makan di warung-warung depan stasiun lempuyangan. Aku sarapan bareng mas Wachid sama mas Kalap. Singkat cerita, jam 9 pagi itu kita udah duduk anteng di dalem gerbong kereta Logawa yg siap mengantar kita menuju Bangil.. Oh ya, mas Kalap turun di stasiun gubeng, untuk lanjut naik bis pulang ke Gresik. Dan alhamdulillah kita sampai di Bangil sekitar jam setengah 16.30 sore 😀 Kemudian kita berpisah dan kembali ke peradaban masing-masing (kos.red) Well, it's done! ~~~~~ Hwaaaahhhh, sungguh cerita yg panjang 😂 Aku bersyukur sekali bisa berangkat dan pulang dengan selamat. Bersyukur bisa naik gunung lagi. Bersyukur bisa menikmati pendakian dan indahnya Gunung Prau, bisa menginjakkan kali di dataran tinggi Dieng, kota Wonosobo yg dingin, dan sejenak mampir ke Jogja. Bersyukur diberi teman-teman seperjalanan yg menyenangkan dan baik, nambah temen baru lagi juga. Terima kasih, ya Allah. Engkau Maha Baik 😊 Semoga aku masih punya kesempatan ke Gunung Prau lagi, karna aku pengen nyobain kesana kalo musim kemarau (pas jalannya gak becek, tapi trek debu 😅).. Amiin. Aku juga mau cobain mie ongklok yg kemaren belom sempet ketemu, huhu. Aku juga mau makan dan beli lagi carica yg enak ituuu 😄 Dan, aku juga masih pengen explore kawasan Dieng lebih banyak lagi 😍 sampai jumpa di cerita pendakian selanjutnya 😜 Salam Lestari! ✌ cln, 081117.
2 notes
·
View notes
Text
Jelen-Jelen Ke Dieng, Duh Nikmatnya!
Selasa malam, 11 Juni 2019, saya sekeluarga mantap berniat pergi ke Dieng Wonosobo. Malam itu, tepatnya pada pukul 01 pagi, mobil Avanza bernomor polisi B 1850 WVL memutar roda, menuju tujuan.
Tidak terlalu lama, langsung saja, dengan kecepatan purna sang sopir melumat perjalanan dengan optimal dan penuh perhitungan. Dengan jatah 1 kali pemberhentian di rest Area tol Cipali, kami tiba di pintu keluar tol Pejagan, Jawa Tengah, pukul 05.30. Itu artinya kita bisa menempuh jarak Bintaro - Pejagan hanya dengan waktu 4 jam saja!
Malang tiba, setelah tol Pejagan dilewati, semua penghuni mobil tak ada yang paham betul rute menuju Wonosobo. Parah! Tak ada jalan lain : andalkan google map!
Google map, sebagaimana pengalaman2 yang telah saya lalui sendiri, tak bisa terlalu diandalkan sebagai pemandu jalan. Sewaktu saya ke tempat wisata di Bogor, Curug Bidadari, saya pernah diajak masuk ke hutan demi menuruti panduan navigasi ala Google Map.
Hal ini pun terjadi saat kita ingin ke Dieng Wonosobo! Berjam-jam mobil yang kami tumpangi berputar di daerah Kebumen dan Purwokerto tanpa ada kepastian. Hanya karena kami mengikuti plat panduan dishub (yang jelas lebih otoritatif), kami diarahkan untuk putar balik atau berbelok. Tak terhitung pula kami digiring untuk masuk ke sebuah perumahan di daerah Purwokerto demi mengindahkan petuah Map, yang pada ujungnya malah berujung ke jalan buntu! Halah.
Rabu 12 Juni 2019 Jam 15.56 kami tiba di rumah kenalan kami semasa di perkuliahan, Bani Muammar, yang berdiam di desa Sedayu, Kecamatan Sapuran, Wonosobo. Jika ditotal, perjalan yang kami tempuh dari rumah hingga ke tujuan ini adalah 16 jam!
Rencana awal kami adalah mampir ke rumah kenalan dulu untuk sekadar mengistirahatkan badan, menginap, baru besok pagi melanjutkan perjalanan ke Dieng dan dilanjutkan pulang kembali.
0 notes
Text
Rekomendasi 12 Tempat Wisata Di Kediri Paling Keren
Rekomendasi 12 Tempat wisata di Kediri Jawa Timur Paling keren – Kediri adalah kota di provinsi Jawa Timur yang merupakan kota terbesar ketiga setelah Malang dan Surabaya berdasarkan jumlah penduduk. memo kediri memiliki luas 63,40 km2. (dikutip dari Wikipedia)
Setelah tim Difa Wisata berbicara tentang pariwisata di berbagai kota di Jawa Timur seperti Blitar, Pacitan, Suarabaya, dan Malang, kini giliran mereka untuk membahas pemandangan Kediri yang harus Anda kunjungi. Oke, simak 16 tur byek di Kediri sebagai berikut.
1. Wisata Alam Gunung Kelud Kediri
Objek wisata pertama adalah Gunung Kelud, wisata alam Kediri. Gunung Kelud adalah salah satu gunung paling aktif di Indonesia. Gunung berapi ini meletus untuk terakhir kalinya pada tahun 2014, mengganggu berbagai tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena abu yang dilepaskan dari letusan.
Jika Anda mengunjungi tempat wisata alam, Anda dapat menikmati pemandangan alam pegunungan yang seindah di Kopeng Magelang. Selain itu bagi mereka yang menikmati pendakian, Gunung Kelud juga patut dicoba untuk didaki.
2. Monumen Simpang Lima Gumul Kediri
tur berikutnya adalah persimpangan Gumul di jalan Erlangga. Namun sebenarnya monumen tersebut berada di persimpangan lima jalan kota, yaitu Pare, Gampengrejo, Pagu, Ploso dan juga pelataran pesantren. Monumen ini dibangun pada tahun 2003 dan baru diresmikan pada tahun 2008.
Monumen itu adalah bangunan yang mirip dengan Arc de Triomphe di Prancis. Lokasi ini adalah lokasi favorit bagi penggemar fotografi karena memberikan nuansa foto yang berbeda dengan daerah lain. Jika Anda bukan seorang fotografer, apa salahnya mengambil foto di tempat ini hanya membagikannya di Instagram pribadi Anda.
Baca juga: Umbul Sidomukti Bandungan dan Pondok Kopi Semarang
3. Air terjun Dolo Kediri
Tempat wisata yang dibahas di bawah ini adalah wisata alam Kediri. Yaitu wisata air terjun Dolo yang berlokasi di Ds Jugo Kec Mojo Kediri. Lokasi ini sekitar 20 kilometer dari jantung Kota Kediri.
Sama seperti air terjun di tempat lain untuk menuju ke lokasi air terjun, Anda harus melewati jalan setapak yang cukup mengering dan biasanya lelah terguncang oleh keindahan alam air terjun tersebut. Anda juga dapat mengunjungi perkebunan strawberry yang beroperasi tidak jauh dari lokasi air terjun.
4. Gumul Paradise Islan Kediri
Berikut ini adalah tempat wisata bagi keluarga di Kediri. Nah, tempat ini disebut Gumul Paradise Island, yang terletak di Jalan Simpang Lima Gumul barat Kediri dan tidak jauh dari monumel dari lima persimpangan Gumul yang telah dibahas sebelumnya.
Ketika Anda mengunjungi tur ini, Anda dapat menikmati berbagai jenis atraksi seperti kolam renang yang bervariasi, flying fox, slider kecepatan dan banyak lagi. Untuk biaya masuk ke tempat ini cukup murah, dengan hanya 20.000 rupiah untuk orang dewasa dan 15.000 rupiah untuk anak-anak Anda, Anda dapat menikmati liburan keluarga.
5. Sumber Kediri Ubalan
Sumber Ubalan adalah wisata alam Kediri yang dikombinasikan dengan wisata buatan sehingga tempat ini sangat direkomendasikan untuk dikunjungi. Sumber bangkai kapal terletak di jarak Ds dari distrik Plosoklaat di Kediri dengan jarak 18 kilometer dari pusat kota Kediri. Untuk waktu pembukaan tur ini mulai dari jam 9 pagi hingga jam 4 sore.
Daerah ini merupakan kawasan hijau hutan lindung yang dijadikan objek wisata. Berbagai jenis kegiatan yang dapat Anda lakukan di sini, mulai dari perahu pedal, kolam pancing, kolam renang hingga panggung hiburan juga tersedia di tempat ini.
6. Taman Air Kediri
Sama seperti wisata laut lamongan yang memiliki wisata taman air, tampaknya Kediri tidak mau kalah. Taman air Kediri ternyata memiliki skate terpanjang di Indonesia, Wow keren hei. Tempat ini terletak di Pagung, Semen Kediri, 15 kilometer dari kota Kediri.
Tur ini cocok sebagai wisata keluarga karena ada wahana untuk anak-anak hingga orang dewasa. Harga tiketnya adalah 50.000 rupiah untuk Senin hingga Jumat dan 70.000 rupiah untuk akhir pekan dan hari libur. Untuk anak di bawah lima tahun atau bayi dengan panjang kurang dari 120 cm, biaya pendaftaran hanya 15.000 rupiah.
7. Goa Selomanjeng Kediri
Sama seperti Wonogiri, yang kaya akan wisata gua, Kediri juga memiliki gua yang indah dan kondisi untuk cerita sejarah. Yakni Selomanjeng Cave yang terletak di Ds Waung Kec Mojorot Kedir dan berjarak sekitar 7 kilometer dari kota Kediri. Menurut cerita gua ini pada zaman dahulu sebagai tempat perlindungan dan pengasingan. Tempat ini juga telah digunakan oleh dewi Kalisuci, putri Raja Erlangga yang akan dipenjara dan diasingkan. Ini bisa dibuktikan dengan relief di dinding gua.
8. Desa Inggris Pare
Masa-masa indah agak berbeda dari tur sebelumnya, yaitu taman desa Inggris yang merupakan tempat wisata edukatif di Kediri. Bagi akademisi, tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama desa ini. Ya, Anda dapat mengunjungi tempat untuk belajar bahasa Inggris, mulai dari menulis hingga berbicara dengan baik.
Di desa ada banyak lembaga yang menyediakan bimbingan belajar dalam bahasa Inggris yang harus Anda coba. Biasanya banyak desa dikunjungi oleh siswa ketika liburan dimulai.
9. Candi Sawarna Kediri
Sama seperti di Wonosobo dengan candi Dieng, Kediri juga memiliki candi dengan nama candi Sarwana. Candi ini terletak di desa Inggris Pare Kediri. Kuil ini adalah sisa dari candi Hindu yang diprediksi di Bangum pada abad ke 14. Jika ingin menambah wawasan sejarah, tidak ada salahnya mengunjungi candi.
Baca juga: Umbul Ponggok Klaten, tempat yang menyenangkan untuk snorkeling
10. Museum fotografi Kediri
Seperti namanya, museum ini adalah surga bagi orang yang suka fotografi. Dengan mengunjungi museum ini, Anda dapat mengenal kota Kediri dari sejarah hingga lokasi penting di Kediri, karena di sini semuanya diceritakan melalui foto dengan karya seni yang tinggi.
11. Museum Airlangga Kediri
Masih berbicara tentang wisata sejarah, kali ini museum airlangga di kawasan wisata Jalan Mastrip Selomangleng akan dibahas. Museum ini menyimpan banyak peninggalan mataram Hindu seperti Arca.
12. Dock Joyoboyo
Dermaga Joyo Boyo adalah tempat pertemuan di Sungai Brantas Kediri. Di tempat ini ada tempat untuk minum kopi dan hanya dengan keluarga atau kerabat dekat.
Pemandangan yang direkomendasikan di Jawa Timur lainnya:
Terima kasih telah membaca 12 tempat wisata di Kediri, Jawa Timur. Bagikan artikel ini untuk memberi tahu orang lain bahwa Kediri memiliki pariwisata yang tak tertandingi.
Video liburan Vlog Hits Posong 2020 Travel
youtube
!function(f,b,e,v,n,t,s) {if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod? n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)}; if(!f._fbq)f._fbq=n;n.push=n;n.loaded=!0;n.version='2.0'; n.queue=();t=b.createElement(e);t.async=!0; t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)(0); s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window, document,'script', 'https://connect.facebook.net/en_US/fbevents.js'); fbq('init', '307357176371665'); fbq('track', 'PageView'); DifaWisata.com – Paket Wisata Murah tahun 2020 dengan harga terjangkau. Temukan liburan serta pengalaman yang baru bersama kami. Dengan perjalanan Private Tour Wisata Indonesia, tidak digabung dengan peserta lain, menjadikan liburan Anda lebih personal dan menyenangkan. Kami menyediakan beberapa pilihan Paket liburan murah dan program wisata sesuai budget Anda. Itinerary tour, kami sesuaikan dengan jadwal sholat & Makanan yang kami sediakan di restoran bersertifikat halal, yang menjadikan kami sebagai biro perjalan Wisata halal Indonesia. Sumber Link: Kunjungi website
The post Rekomendasi 12 Tempat Wisata Di Kediri Paling Keren appeared first on Difa Wisata - Travel Agency, Tours & Shuttle.
The post Rekomendasi 12 Tempat Wisata Di Kediri Paling Keren appeared first on Difa Wisata - Travel Agency, Tours & Shuttle.
from WordPress http://bit.ly/2VGS4Ip via IFTTT
0 notes
Text
Catatan Perjalanan: KELILING DIENG (Day 1)
Horreyy,, liburan telah tiba. Saatnya para ibu guru muda pergi berlibur. Rencana perjalanan yang udah dischedulekan dari beberapa bulan yang lalu terlaksana juga. Alhamdulillah..
Kami mengawali liburan pada 25 Desember 2017. Dengan keberangkatan menggunakan KAI Progo pukul 22.21 dari Stasiun Pasar Senen. Dengan wajah-wajah sumringah kami siap berangkat menggemblok tas backpack kami.
Selama diperjalanan ngk banyak yang bisa dilakukan. Hanya mengobrol ringan seputar kegiatan masing-masing sampai rasa ngantuk menghampiri kami satu per satu. Ngk perlu diceritain siapa si tukang pelornya yaa.. biar jadi rahasia kami aja. Aku menjadi yang terakhir tidur bukan yang pertama bangun.
Kereta kami tiba sekitar jam 4 kurang di Stasiun Purwokerto, 26 Desember 2017. Kalian ngk perlu khawatir sepagi itu, dijalanan yang sebegitu sepi kabar kami gimana. Guide kami sudah menunggu di lapangan parkir stasiun. Ohyaa, mereka udah sampai di sana sejak jam 1 pagi lhoh. Bukan karena ngk tau jam berapa kereta kami tiba, tapi mungkin memang begitulah prinsip mereka yang ngk boleh biarin tamunya menunggu. #respect
Setelah berkabar-kabar dengan Mas guidenya kami menunggu untuk dijemput di depan stasiun. Disinilah pertemuan dan perkenalan pertama kami (Ciiee.. hahaa). Namanya Mas Muhammad dan terbiasa dipanggil dengan Mas Muh. Kami diarahkan untuk menuju mobil meletakkan barang-barang bawaan alias tas yang segede gaban itu. Awalnya kami pikir beliau hanya sendiri, ternyata ada satu lagi yaitu Mas Alif. Mereka adalah guide yang sampai akhir setia banget nemenin kami selama di sana. Bahkan berujung drama di akhir cerita perjalanan: keliling dieng ini.
Mas-mas guidenya pendiam (awalnya aku pikir begitu). Mungkin karena baru banget kenal kali yaa. Meski begitu selama di jalan Mas Muh banyak kasih info terkait daerah yang mau kita datangi sih. Karena perjalanan dari Purwokerto ke Dieng cukup jauh, dan hari juga masih gelap jadi selepas kami semua sholat shubuh, perjalanan diteruskan dengan kami semua tertidur di dalam mobil. Sekitar jam 6-an kami tiba dan beristirahat sebentar di alun-alun kota Wonosobo. Kami berkeliling-keliling dan si Mas guidenya jogging2 cantik juga sebelum akhirnya kita semua makan soto daging sebagai makanan pertama kami setelah tiba di sana.
Perjalanan dilanjutkan.
Ternyata si Mas Alif driver handal. hahaa, gimana ngk?! dijalanan berkelok naik ke puncak gunung sukses buat kami jantungan dan menatap jeri setiap menyalip kendaraan depan maupun berhadapan dengan kendaraan lain dari arah depan. Kami masuk di Kawasan Dieng Plateau sekitar jam 7 pagi. Walaupun sudah masuk kawasan Dieng, ternyata masih cukup jauh dengan homestay kami. Kata Mas Muh homestay kami persis banget di Pusat Diengnya.
Kami ngk langsung diantar ke homestay karena penghuni sebelumnya baru bisa check out jam 11. Akhirnya kami dibawa ke destinasi pertama kami yaitu Kawasan Candi Arjuna. Kalian tau siapa yang paling excited ke sana? Yups,, dia adalah Bu Fia pecinta sejarah bahkan kisah perwayangan. Aneh yaa hari gini ada yang begitu, tapi aku suka, salut sama pengetahuan Bu Fia yang luas soal itu. Bahkan yang nyambung sama penjelasan Mas Muh terkait kisah-kisah para dewa itu cuma Bu Fia deh kayaknya. Kalau yang lainnya lebih kagum dengan pemandangan alam di sana. Disana kami ketemu dengan kawannya Mas Muh, yang nantinya bisa bikin Bu Fia baper, sebel. Orang itu cuma nyengir, nyapa, dan kasih kamera ke Mas Muh.
Kegiatan dilakukan dengan foto-foto, masih di Kawasan Candi Arjuna. Dari sinilah kami menemukan bakat-bakat model gadungan di kelompok kami. Hobbinya pengen banget di foto dan nyatanya emang yang paling banyak fotonya -- dia adalah Bu Nunung. hahaa
Masih di Kawasan yang sama, ternyata dulunya ada sebuah telaga yang memiliki mitos tersendiri. Sesiapa yang bisa melihat sebuah rumah di tengah telaga maka keinginannya akan terwujud. Sekarang telaga tersebut udah ngk ada bekasnya berganti jadi padang tanah berumput. Tapi ada yang unik dari tanah itu. Ketika kami berdiri di atas tanah lalu Mas Muh melompat di depan kami, tanah yang kami pijaki ikut bergetar. Dipercaya bahwa telaga itu sebenarnya masih ada, air itu tertutup oleh tanah.
Perjalanan dilanjutkan ke kawasan wisata selanjutnya yaitu Sumur Raksasa atau biasa disebut Sumur Jalatunda. Sebelum kelokasi, kami menyempatkan untuk shalat dhuha di masjid dekat sana. Ngk butuh waktu lama untuk sampai di tempat tujuan. Salah satu hal yang istimewa di Dieng adalah letak objek wisatanya yang berdekatan. Untuk sampai ke sumur tersebut kami harus melewati banyak anak tangga. Nah, kami juga dikasih challenge sama si Mas guide untuk menghitung jumlah anak tangga ketika naik dan turun. Katanya jumlah anak tangga saat naik dan turun bisa beda lhoh jumlahnya. Ternyata pas dihitung-hitung oleh kami sama aja kok, hahaa. Kami emang orang yang ngk percayaan sama mitos-mitos begitu. Sampai di puncak, terbentang sumur yang begitu besar, kayak danau kali yaa bisa dibilang. Cuma bedanya disana ada dinding/tebing batu yang membuatnya terlihat seperti sumur. Sumur ini merupakan salah satu objek yang cukup dikenal oleh banyak para pelancong kayak kami. Wisatawan biasanya diminta untuk sebisa mungkin melempar batu sampai ke tengah danau. Lemparan kami jangan ditanya jauhnya, Cuma melewati semak-semak ditepian air. Memalukan sekali lah pokoknya. Ohyaa, untuk melempar batu ke sumur ngk gratis ternyata. Jadi batu-batu itu dijual dengan harga lima ribu rupiah pertujuh batu.
Kami ngk lama main di sana, lalu kembali turun ke mobil. Ternyata waktu belum juga menunjukkan jam 11. Berarti kami masih belum bisa masuk ke dalam homestay. Padahal, kami semua udah pada lelah gitu. Mas nya juga kelihatan ngk enak deh kayaknya ke kita. Alhasil diantarkannya kami ke Gansiran Aswotomo. Ngk ngerti lah apa itu, yang jelas ada beberapa sumur gitu di sana. Bu Fia lebih paham soal ini daripada aku. Kami Cuma foto-foto aja di sana, ngk lama habis itu langsung masuk mobil lagi.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Kami diantar ke homestay sekitar pukul setengah 12 siang dengan harapan sudah bisa menempati dan beristirahat disana. Tapi apalah daya, saat kami tiba penyewa sebelumnya belum juga check out. Kami menunggu di mobil sampai beberapa saat bahkan sampai kami tertidur disana. Kami baru bisa menempati homestay sekitar jam 12 lewat. Kami beristirahat sebentar sampai waktu bada ashar untuk jalan-jalan lagi.
Tau ngk sih, ternyata memang dingin banget yaa di Dieng itu. Meski begitu kata Mas Muh suhunya masih belum seberapa. Kami masih ngerasain panasnya Dieng. Karena 18 derajat celcius udah termasuk panas disana.
Setelah berbenah pakaian dan juga badan, kami dijemput lagi oleh Mas Muh sekitar jam 4 kalau tidak salah. Kami harus berjalan ke depan untuk naik mobil. Yaa,, mobil masih belum bisa masuk karena halaman homestay penuh. Ternyata ada supir baru yang menunggu kami. Bukan Mas Alif driver sebelumnya. Dia adalah orang terkocak diantara semua guide. Dan memang awalnya kami dikasih kontak orang ini bukan Mas Muh. Namanya Mas Amim. Asli kocak deh dia. Ngeselin juga. Gimana ngk, dia tuh kalo ngomong di awal serius banget tapi endingnya ngk jelas. Makanya setiap Mas Amim ngomong pasti kita minta konfirmasi ke Mas Muh soal kebenaran ceritanya. Hahaa, ngk percayaan gitu kami ke dia. Liat aja deh salah satu foto seberapa seriusnya kami denger ceritanya terus ujung-ujungnya malah berujung tawa.
Kami melewati kawasan Candi Bima. Kalian bisa tebak kan siapa yang matanya paling berbinar kalo udah ngeliat yang beginian. Tapi tujuan kami ngk kesana, itu buat pulang aja kata Mas Amiem. Kami menuju objek wisata yang terkenal lainnya, yaitu Kawah Sikidang. Yaah layaknya kawah kebanyakan pasti bau belerang sudah tercium dari jarak sekian sampai sekian. Kami berkeliling dan banyak berfoto disana. Mungkin karena sudah sore juga kali yaa jadi banyak kabut.
Hari udah semakin gelap. Kami meninggalkan lokasi sekitar jam 6 kurang. Di jalan keluar kami ditawarin makanan, namanya sagon. Mirip sih kayak sagon yang biasanya dimakan Cuma bentuk dan teksturnya aja yang beda. Rasanya sama, enaak. Bersiap menuju homestay untuk istirahat. Tapi, sebelum menuju homestay seperti yang udah dijanjiin sama si Mas-mas guidenya kami berhenti di kawasan Candi Bima. Sayangnya karena udah cukup gelap jadi kami hanya bisa berfoto di pelataran depannya saja. Kawasan itu udah tutup dan sampai akhir liburan kami ngk sempat untuk masuk ke sana.
Ada kejadian lucu sih. Aku yang jadi korbannya. Ceritanya kami berfoto di sana, si Mas Amim minta kami berfoto dengan gaya yang ngk biasa. Layaknya cowok cool atau macho lah yaa. Aku itu kan ngk terlalu bisa kalo disuruh bergaya depan kamera. Tapi entah gimana, aku malah nunjukin pose lucu disana. Pose yang paling atraktif diantara semua orang. Mereka semua ketawa ngakak. Kekonyolanku sukses bikin aku diketawain mereka sepanjang perjalanan bahkan sampai malam. Jahat yaa..
Hasil fotonya belum ada, aku juga penasaran gimana jadinya karena ada di kamera si Mas guide. Ehiyaa, kalian tau Mas Muh dimana? Dari tadi yang kita omongin si Mas Amiem terus kan yaa.
Tenang.. tenang.. Mas Muh itu juga setia nemenin kami kok. Cerita banyak hal pokoknya. Mas Muh itu juga yang selalu fotoin kami dengan arahan gaya yang masyaAllah lah, ngk nyangka stok gayanya banyak banget. Perjalanan di hari pertama Dieng sudah selesai. Semuanya berakhir menyenangkan. Dari mulai kawan perjalanan, objek wisata, bahkan guidenya juga asyik. Hari pertama diakhiri dengan hamdalah.
Di hari kedua, homestay kami mau dibakar
0 notes
Text
Mbak, Mohon Gaul Dikit ya...
Semarang akhir bulan Juni berarti adalah panas tanpa ampun sepanjang hari. Maka daripada menantang matahari di Pantai Marina atau Simpang Lima sana, menghabiskan waktu dengan nonton film Korea dan ngrumpi bersama teman di kamar kos terdengar lebih menyenangkan. Sepoi angin dari kipas angin di pojokan kamar sana rupanya masih belum juga cukup mengusir panasnya cuaca. Aku masih khusyuk menyimak “My Girl Friend is Gumiho” episode 10 ketika tiba-tiba Vovo dan Aisa, dua karibku yang sejak tadi pagi mager di kamarku tertawa cekikikan sambil melihatku.
“Woi, ngapain cekikikan? Ngomongin aku ya? Awas kalau bahas yang aneh-aneh!” aku melotot galak sembari reflek mengklik tombol pause di netbook kesayanganku.
“Hahaha... Ampun Ka, nggak aneh-aneh kok. Kita cuma lagi bayangin aja gimana penampilan kamu kalau pakai kerudung kayak gini, Ka.”
Spontan aku menyambar majalah yang sedang mereka amati. Lalu menemukan artikel tentang ustadzah berwajah adem yang belakangan sering muncul di layar kaca. Mataku tertuju pada jilbab lebar yang membungkus wajah mungil si ustadzah.
“Hiiii.. Ogah ah, nanti jadinya aku kayak si ukhti-ukhti di kampus itu. Udah ribet,panas lagi. Oh no.....!!!” ekspresi wajahku menunjukkan keberatan yang amat sangat.
Duo centil itu cuma tertawa ngakak, sebelum sedetik kemudian Aisa pasang wajah sok seriusnya lalu berkata lirih.
“Tapi sumpah, Ka. Kamu pantes banget lo kayaknya kalau berpenampilan gini. Asli. Wajah kamu tuh nyambung kalau dijilbabi gini”, goda Aisa.
Dan candaan itu diakhiri dengan sebungkus tisu yang kulempar ke wajah tengil Aisa. Atmosfer kamarku rasanya semakin panas dengan tawa puas mereka.
***
Ssttt... Don’t panic, please. Cerita itu hanya sepenggal kisah lima tahun yang lalu kok. Masa jahilliyah, demikian aku menyebutnya. Masa ketika jas almamater kampus warna kuning masih mengiringi langkahku menuntun ilmu di Kota Atlas.
Oke, namaku Kaida. Aku seorang muslimah tentunya. Dan seperti lebih dari 70 % umat islam di Indonesia, agama islam yang kumiliki adalah “warisan” dari orangtuaku. Alhamdulillah meski bukan berasal dari keluarga ulama atau ahli agama, aku terlahir di keluarga yang membiasakan nilai-nilai islami sejak aku kecil. Jadi, masalah ibadah wajib sudah biasa aku jalani sedari anak ingusan.
Aku memutuskan untuk berjilbab pertama kali sejak awal masuk SMA. Saat itu masih sedikit teman yang berjilbab. Jilbab dan hijab memang belum marak seperti saat ini. Satu angkatanku yang berjilbab tak lepas dari hitungan 10 jari. Hmmm..kelihatannya saja aku memulai lebih awal dari teman-temanku yang lain. Tapi jangan ditanya bagaimana keseharianku. Jilbab yang aku pakai punya batas jarak minimal untuk pemakaiannya. Maksudnya? Ya, aku masih terlalu malas memakai jilbab jika paling hanya disuruh Bu’e ke warung dekat rumah. Atau jika ada teman laki-laki yang bertandang ke rumah, si jilbab juga masih ogah ku gunakan. Ribet kalau melulu harus ganti busana, demikian alasanku saat itu.
Nah, kebiasaan itu ternyata berlanjut hingga aku masuk kuliah. Kebetulan rumah kosku adalah base camp teman-teman jika mengerjakan tugas. Dan lagi-lagi dengan alasan ribet dan gerah, si jilbab masih sering kutanggalkan. Astaghfirullah....
Eit, ketika aku bilang jilbab sekali lagi jangan dulu membayangkan berupa khimar tebal atau bergo syar’i berpadu gamis atau rok anggun yang sekarang banyak beredar. “Jilbab” yang aku maksud adalah kain kerudung sifon semi transparan yang beredar dengan banyak warna, atau pashmina gaul yang memakainya harus dililit-lilit dengan beraneka macam model. Lalu kostumnya? Ah, cuma celana jeans ketat dipadu blouse aneka gaya. Yap, seperti itulah gaya berpakaianku saat itu. Simpel, menurutku saat itu.
Saat kuliah itulah kemudian aku pertama kali bertemu dengan sosok-sosok yang semula ku anggap aneh. Para “ukhti-ukhti kampus” begitu aku menyebutnya. Bagaimana aku tidak memandang aneh jika dalam dunia perkuliahan yang butuh mobilitas tinggi, mereka memilih bergamis dan memakai rok lebar daripada memakai celana. Tidak praktis menurutku. Nah, maka jangan ditanya apakah aku pernah bermimpi akan meniru penampilan mereka? Membayangkan aku harus turun ke lapangan, melakukan kegiatan outdoor dan serangkaian praktikum dengan “kostum” seperti itu saja aku enggan.
Tapi rupanya Allah terlalu sayang kepadaku. Hidayah yang Dia beri datang melalui jalan yang tidak disangka-sangka. Sekitar akhir tahun 2012 aku menjalani KKN di sebuah desa di Tegal. Menjalani hidup selama lebih dari satu bulan dengan sembilan orang anggota tim yang tidak aku kenal sebelumnya. Salah satu dari mereka adalah Ica, si tomboi yang kelihatannya cuek, tapi ternyata luar biasa perhatiannya. Ada yang unik dengan Ica, dia memang agak tomboi, tampilannya juga tak lepas dari celana panjang, hanya saja dia tak pernah sembarangan melepas kerudungnya. Dari enam orang cewek dalam tim kami, dia yang paling istiqomah tak menunjukkan auratnya kepada kaum lelaki. Nah, di sinilah justru aku menemukan hakikat menutup aurat yang sebenarnya. Dan anehnya hidayah itu datang bukan dari Mbak Ifah, mbak “ukhti-ukhti kampus” yang anggun dan lembut yang jadi mentorku saat ospek dulu. Hidayah itu justru datang lewat Ica, yang dengan segala kecuekannya dia tetap teguh menjaga auratnya. Lalu sedikit-sedikit aku mulai belajar “berhijab” lagi untuk kedua kalinya.
***
Jalan untuk hijrah memang tak pernah mudah. Pulang dari KKN, pandangan aneh pertama aku temui dari teman-teman satu kosku. Aku yang dulunya cuek saja melenggang ke warteg dekat kos memakai celana pendek, kini mendadak gugup tergesa-gesa berlari masuk kamar dan berganti kostum ketika ada tamu laki-laki. Aku yang biasanya santai berlari keluar menyambut teman-teman cowok yang hendak mengerjakan tugas bersama, kini ribet mencari kerudung saat ada teman cowok yang cuma sekedar mengembalikan buku.
Lalu pandangan heran kedua datang dari teman-teman di kampus. Mereka memandang aneh rok yang kupakai, alih-alih celana jeans seperti biasanya. Dan tiba-tiba aku pun risih sendiri dengan jilbab-jilbab pendek yang biasa aku pakai. Tiba-tiba juga selera untuk tongkrong-tongkrong sepulang kuliah menguap begitu saja. Aku kemudian menjadi lebih suka ngadem di kamar kos menikmati novel-novel favoritku.
Sehari dua hari mereka masih mengernyitkan dahi merasa aneh. Alhamdulillah seiring berjalan waktu mereka bisa menerima proses hijrahku. Mungkin karena secara umum aku memang tidak banyak berubah, hanya mengubah “sedikit” penampilanku.
Awal semester 8 kami sudah fokus pada skripsi masing-masing. Intensitas aku bertemu dengan teman-temanku juga semakin jarang. Di titik inilah aku justru semakin memantapkan perjalanan hijrahku. Tidak ada yang kebetulan ketika kemudian Allah takdirkan aku menjadi dekat dengan Hani dan Rully, dua sahabat yang sebelumnya tidak begitu kukenal. Mereka ini telah lebih dulu belajar islam secara kaffah. Merekalah yang kemudian menjadi motivatorku untuk terus berusaha menjadi lebih baik. Ternyata benar ketika kita kehilangan sesuatu karena menuju ke kebaikan, di saat yang sama Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Kini aku benar-benar percaya itu.
***
Ternyata ujianku belum selesai. Lulus kuliah aku pulang kembali ke Wonosobo. Kota kecilku tercinta. Di sebuah kota hujan di kaki Gunung Dieng inilah perjuanganku berlanjut. Bukan masalah cuaca atau gerahnya. Disini suasana sejuk-sejuk menyegarkan, cenderung dingin malah. Jadi berhijab syar’i justru ada poin plusnya, tubuh jadi hangat, hehe.. Masalahnya justru pada pandangan masyarakat sekitar. Mencoba untuk berhijab syar’i di kota yang belum biasa dengan budaya ini ternyata agak sulit. Di Semarang dulu aku telah terbiasa melihat mbak-mbak berjilbab lebar ala “ukhti-ukhti kampus”. Tapi disini? Ah, berjilbab lebar sepertinya menjadi pemandangan yang belum biasa. Jika bukan Bu Hajjah atau Ustadzah sepertinya dianggap aneh. Apalagi anak muda sepertiku, wah bakal dikira anak dari pondok pesantren mana siang-siang kok kabur.
Satu bulan setelah wisuda kelulusanku aku yang sudah mulai bosan menganggur di rumah memutuskan untuk mulai gerilya mencari kerja. Bu’e yang keberatan jika anak perempuannya harus jauh dari rumah lagi tak mengijinkanku mencari kerja di luar kota. Alhasil aku wira wiri hanya mencari kerja di seputar kota kecil ini saja. Puluhan lowongan kerja aku masuki, tapi belum ada satu pun yang menjadi rejekiku.
Menjadi pengangguran terlalu lama rupanya cukup membuatku frustasi. Hingga kemudian suatu hari ada panggilan kerja dari suatu lembaga bimbingan belajar. Lembaga bimbingan belajar ini namanya “Biru”, termasuk salah satu lembaga bimbingan belajar yang lumayan terkenal di kotaku. Anak-anak yang les disana kebanyakan adalah kaum the have yang bersekolah di sekolah-sekolah favorit. Oke, tak ada salahnya aku mencoba.
Aku ingat hari pertama aku kesana aku disambut oleh Mbak Ana, mbak-mbak manis bersenyum menyenangkan yang ternyata adalah tentor Matematika. Di ruang kantor itu ada pula seorang mas-mas bertubuh gempal berkacamata kotak yang tampak sangat serius menatap layar komputer, dan sama sekali tak peduli dengan kedatanganku. Belakangan aku tahu namanya Agus, manajer keuangan lembaga bimbel tersebut.
“Oke, yang santai aja. Anggap di rumah sendiri. Silakan duduk,” Mbak Ana menyambutku dengan hangat. Aku menyambut dengan senyum kemudian duduk sambil mengamati Mbak Ana mondar-mandir mengambil setumpukan kertas.
“Nah, agenda hari ini kamu tes tertulis dulu ya. Kalau ini memenuhi standar besok baru mikroteaching sama Pak Bos. Oke?”
Aku hanya mengangguk setuju. Tak berapa lama kemudian sudah asyik berkutat dengan seratus soal seleksi tertulisku. Mengerjakan semaksimal yang aku bisa dan berharap kali ini jadi jalan rejekiku. Alhamdulillah aku lolos tes tertulis, maka hari berikutnya aku datang lagi untuk tes mikroteaching. Kali ini selain Mbak Ana, Agus dan seorang bapak-bapak berjenggot tipis ikut masuk ke ruangan seleksi. Rupanya bapak-bapak itu adalah Pak Bos yang Mbak Ana maksud.
Seleksi berjalan lancar tanpa terlalu banyak kesulitan. Karena memang basic ilmu kuliahku dulu adalah bidang pendidikan, maka aku sudah terbiasa mengajar. Kulihat tiga orang tersebut berdiskusi sebentar, kemudian diakhiri dengan anggukan. Semoga tanda-tanda kabar baik untukku, pintaku dalam hati.
“Ehhemmm...,” Pak Bos berdehem sebentar sebelum mulai berbicara. “Ya, Mbak Kaida. Saya sudah lihat cara kamu mengajar, dan menurut saya tidak ada masalah. Mungkin besok setelah training hanya perlu ditambah trik-trik mengajar untuk siswa bimbel ya. Karena sistem pengajaran kita kan berbeda dengan di sekolah biasa. Kalau kamu setuju taken kontrak, nanti bisa langsung tanda tangan sama Mbak Ana. Dan mulai besok kamu sudah bisa mulai mengajar”.
ALHAMDULILLAH.... Aku memekik girang dalam hati.
“Begitu saja, mohon maaf saya harus pergi karena ada acara. Selanjutnya silakan dengan Mbak Ana dan Mas Agus ya. Saya tinggal dulu. Mas Agus silakan kalau mau menambahkan. Assalamu’alaikum...” kata Pak Bos sembari berkemas.
Aku tanpa sadar mengangguk-angguk sendiri kegirangan, kemudian mengalihkan pandanganku ke Agus yang sudah bersiap bicara.
“Selaku bagian keuangan nggak banyak yang mau saya bilang sih mbak. Cuma menegaskan gaji nantinya sesuai UMR, kalau ada lembur baru nanti ditambah,” kata Agus, acuh tak acuh sembari memainkan pulpennya.
“Dan satu lagi mbak.... ,” aku sudah hendak memberesi tasku ketika dia tiba-tiba menggantung kata-katanya.
“Itu, tolong besok kalau sudah kerja disini pakaiannya jangan gitu ya, mbak. Yang gaul dikit lah. Pakai celana jeans, kaus, atau blouse gitu. Mbak kan tau sendiri murid di sini anak-anak gaul. Takutnya kalau mbak pakaiannya gitu merekanya jadi canggung, jadi sungkan, malah akhirnya nggak nyaman. Ya mbak, mohon pakaiannya yang agak gaul. Menyesuaikan sama murid-muridnya lah...” dan entah kata-kata apa lagi yang diucapkan oleh Agus rasa-rasanya aku sudah tak peduli. Mukaku sudah terlanjur panas dan memerah mendengar ocehannya. Dadaku rasanya berdebar menahan amarah dan perasaan tersinggung atas ucapannya. Lagi-lagi ada orang yang mempermasalahkan penampilanku yang mencoba untuk syar’i.
Agaknya Mbak Ana agak menyadari perubahan ekspresiku. Sebelum tangis amarahku pecah disitu, aku bergegas pamit dan melaju kembali ke rumah. Ya Allah, ternyata masih ada orang yang dengan tega menghujat saudaranya yang berniat hijrah dengan alasan “nggak gaul”. Aku sangat kecewa. Maka jangan ditanya apa jawabanku atas tawaran mereka. TIDAK, tentu saja!!!
***
Rupanya rencana Allah selalu luar biasa. Tak sampai satu bulan aku menolak mentah-mentah tawaran lembaga bimbel tersebut (dengan alasan dibuat buat yaitu gaji tak sesuai harapan), salah satu sekolah swasta di dekat rumah membutuhkan guru. Bismillah, setelah melalui sekian seleksi aku diterima menjadi staff pengajar di sekolah tersebut. Gajinya mungkin tak seberapa, tapi setidaknya tak ada yang menuntutku melepas hijabku dengan alasan agar terlihat gaul. Dan disini rejekiku lebih luar biasa. Di sekolah islami ini Allah pertemukan aku dengan banyak orang baik yang bisa mengajariku mengenal islam secara kaffah. Rejeki yang mungkin tidak akan aku dapatkan dari lembaga bimbel tersebut.
Kini, dua tahun sudah cerita itu terlewati. Bimbel “Biru” sekarang mulai kehilangan pamornya. Seiring banyaknya lembaga bimbingan belajar yang menjamur di kotaku, “Biru” mulai terpuruk dan kalah saing. Beberapa bulan yang lalu Agus pernah datang ke sekolah tempatku mengajar. Menawarkan program try out untuk kelas enam yang hendak ujian nasional. Tentu dia tak mengenaliku. Kejadian itu sudah lewat dua tahun lalu, apalagi saat itu dia hanya acuh tak acuh memperhatikanku. Tapi aku tentu paham benar wajah orang yang ucapannya pernah menyinggung hatiku. Apalagi dengan seragam bimbel “Biru” yang dia pakai, tentu aku masih ingat. Sayangnya jawaban sekolah kami untuk program itu adalah tidak, karena kebetulan sudah ada bimbel lain yang melobi sebelumnya. Maka dia pun pamit sambil tertunduk layu. Kasihan juga melihatnya, mencari murid di tengah persaingan usaha bimbel yang kian menjamur tentu semakin sulit. Tapi demi teringat sikap sombong dan jumawanya saat dulu “menceramahiku”, rasa kasihan itu berangsur-angsur tersingkir. Semoga suatu saat Allah berikan hidayah untuknya.
***
“TRRINNNGGGGG...”
Lamunan tentang hijab storyku terputus oleh BBM dari Hani barusan.
“Cieee, yang sekarang hijab movement nih. Semoga istiqomah cinta... “
Istiqomah? Ya, itu doaku setiap hari. Aku hanya hamba berlumur dosa yang saat ini sedang belajar merangkak menuju jalan yang lurus. Saat ini diri yang hina ini masih dalam tahap hamasah. Semoga Allah beri kesempatan untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Aamiin...
-cerita hijrah saya, bukan fiksi saudara-saudara 😊 ☺. Sungguh Maha Suci Allah yang telah takdirkan jalan ini, meskipun tampak berliku bagi saya.
Oct 30, 2017
0 notes
Text
Harga Paket Wisata Dieng 2017
Harga Paket Wisata Dieng 2017
HARGA DISCOUNT!! No Hp Travel Dieng, Harga Paket Tour Dieng Wonosobo, Harga Penginapan Di Wisata Dieng, Biaya Wisata Ke Dieng, Gunung Prau Dieng Ketinggian, Tiket Masuk Wisata Gunung Dieng, Wisata Dieng Bromo, Tempat Wisata Ke Dieng, Gambar Tempat Wisata Di Dieng, Dieng Travel & Trans
Paket Wisata Dieng 3 Hari 2 Malam dari Jakarta.…
View On WordPress
#Antar Arah Tour#Bukit Skoter Dieng#Dataran Tinggi Dieng Terletak Di Provinsi#Diatas Awan#Dieing Status#Dieng Jawa Timur#Dieng Murah#Dieng Tour And Travel#Dieng Travel#Hotel Dekat Dieng#Hotel Di Gunung Dieng#Hotel Murah Di Wonosobo#Istana Maimun#Jarak Wonosobo Ke Dieng#Kepulauan Nias#Liburan Di Dieng#Linda Jaya Travel Umroh#Obyek Wisata Dieng Dan Sekitarnya#Paket Liburan Ke Dieng#Pegunungan Dieng Jawa Tengah#Penginapan Di Daerah Dieng#Penginapan Di Dieng Wonosobo#Perjalanan Ke Bandung#Pesona Dieng#Ramanta Travel#Sikunir Dieng#Situ Patenggang#Sriwijaya Travel#Tempat Rekreasi Di Wonosobo#Tempat Wisata Banjarnegara
0 notes
Text
Jual Taser Gun | Senjata Pistol | Tembakan Listrik Jarak Jauh di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah
Jual Taser Gun | Senjata Pistol | Tembakan Listrik Jarak Jauh di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah
[product_category category=”is02″ per_page=”24″ orderby=”title” order=”asc” columns=”3″]
Jual Taser Gun | Senjata Pistol | Tembakan Listrik Jarak Jauh di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah
Banyaknya wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin berkunjung ke dataran tinggi Dieng membuat industri cinderamat yang ada di Kabupaten Wonosobo pun berkembang dengan pesat. Sebagian besar…
View On WordPress
0 notes
Text
Prau
Awal Juli, suatu siang. Di tengah kepulan asap rokok dan rasa bosan yang mencekik, telepon seluler saya melengking. Satu pesan WhatsApp (WA) masuk. Seorang teman mengajak naik gunung. Ini ajakan yang kedua kali darinya. Ajakan pertama—sudah berlalu cukup lama dari ajakan kedua--tak terlalu saya gubris dan saya anggap hanya sebatas guyon. Yang kedua pun awalnya masih kuanggap sama sehingga kubalas dengan balik bertanya dan sedikit bercanda nyaris mengejek, “Serius arep munggah Gunung? Vino ora tau munggah gunung lho.” Tak seperti dugaan saya, ternyata bajingan yang selalu merasa mirip Vino G Bastian ini memang serius ingin mendaki. Seperti pengakuannya, dia sebenarnya sudah lama ingin naik gunung, tapi selalu terhalang kesibukan kerja.
Setelah memastikan keseriusannya dan mengetahui niatnya untuk ijin tidak masuk kerja sehari, saya tak berpikir panjang untuk mengiyakan. Selain mumpung sedang jadi pengangguran, panggilan gunung juga sudah sayup-sayup terdengar. Rasanya saya butuh menghibur diri setelah kehilangan pekerjaan dan tempat pelarian dari hari-hari suntuk. Menjalani rutinitas pekerjaan saja bisa menjadikan diri terbunuh jenuh, apalagi jika menganggur. Pikiran seperti terteror harus ke mana dan melakukan apa yang pada akhirnya tetap saja berujung pada bermalas-malasan sepanjang hari.
Sebenarnya ada sedikit “hikmah” di balik nasib menjadi penggangguran yang mungkin patut disyukuri. Tangan tergerak untuk merapikan buku-buku yang lama dibiarkan menumpuk dan berdebu. Terlanjur sudah merapikan, mata kemudian terpaksa mulai melahap satu-dua buku hingga tuntas. Ya, terpaksa, karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukan dan pada dasarnya saya adalah pemalas dan pengeluh dalam hal apapun.
Obrolan via chatting WA dengan teman tadi pun berlanjut keesokan harinya untuk memastikan waktu berangkat. Dia meminta list perlengkapan pendakian yang harus dibawa karena ini merupakan kali pertama ia mendaki gunung. Gunung Prau di kawasan Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo, jadi pilihan kami, setelah sempat menimbang Gunung Slamet. Ketinggiannya yang “hanya” 2.565 meter di atas permukaan laut pikir saya cocok untuk pendaki pemula seperti teman saya.
Selain teman saya yang tinggal di Purwokerto itu, saya juga mengajak seorang teman yang sudah pernah sekali mendaki Gunung Prau. Dia berangkat dari Kabupaten Temanggung sehingga kami janjian bertemu di dekat pos pendakian (base camp) Patak Banteng. Salah satu dari dua base camp pendakian Gunung Prau ini berlokasi di kanan jalan sebelum gerbang masuk kawasan wisata Dieng jika dari datang arah kota Wonosobo.
Bersepeda motor sebelum azan Dhuhur, kami baru sampai di base camp sekitar pukul 15.00 WIB karena sempat salah memilih jalan menuju Dieng. Setelah melapor petugas base camp, mengisi perut yang keroncongan dan ngopi sebentar di warung yang ada di sekitar base camp, mendekati pukul 16.00 WIB kami mulai naik.
Kebun lombok dan kubis milik warga, kawasan hutan yang masih rimbun, kami lewati dengan kaki melangkah pelan. Sesekali terdengar burung-burung memekik di pepohonan seperti orkestra pengiring langkah. Dari ketinggian lereng-lereng curam, kawasan Dieng tampak mulai bersiap-siap terlelap dalam selimut kabut.
Di jalur Patak Banteng, ada tiga pos yang harus dilalui. Pos-pos itu hanya ditandai dengan plang dari kayu. Jarak antar pos sekira satu hingga dua kilometer. Hingga setengah perjalanan, trek yang dilewati tak terlalu menyulitkan kaki menapak. Mulai dari pos 2 hingga puncak, trek baru mulai lebih sering menanjak, sempit dan terjal oleh bebatuan. Di beberapa titik terdapat trek yang sudah dibuat semacam undakan agar pendaki tak terpeleset. Meski begitu, tetap saja tenaga saya cepat terkuras.
Perjalanan dari base camp hingga puncak kami tempuh hampir empat jam dari normalnya tiga jam. Kami beristirahat beberapa menit di tiap pos dan menjelang sampai pos. Jika tak terlalu banyak berhenti, mungkin waktu tempuh tak sampai selama itu. Selain terlalu sering menyelonjorkan kaki dan mengatur nafas, cukup lamanya perjalanan juga karena kami mudah menyerah pada hasrat narsis yang menggedor-gedor ketika melihat deretan pinus yang ditimpa selarik tipis cahaya matahari, dan senja yang menyembul di antara kumpulan awan dan kabut. Siapa yang tidak tergoda pada puisi sendu yang dideklamasikan alam itu?
Mungkin karena tak terlalu tinggi dan medan yang relatif mudah, Gunung Prau seperti menjadi pilihan favorit untuk pendakian santai. Bahkan ada sejumlah pendaki yang membawa serta anak kecil, dan balita. Sore itu, kami sempat menjumpai satu keluarga dengan empat bocah--satu di antaranya saya taksir berumur kurang dari lima tahun--yang hendak turun dari puncak. Mereka mulai naik pagi hari, dan langsung turun sore harinya.
“Sebenarnya ingin lebih lama, tapi ini anak sudah minta turun terus. Tidak tahan dinginnya katanya,” ucap ibu si anak dengan nada yang masih terdengar bersemangat, saat kami bertegur sapa dengannya. Selain mereka, kami juga bertemu dengan beberapa rombongan pendaki dari Jakarta, Solo, dan Jawa Timur.
Kami menginjakkan kaki di puncak saat Gunung Sindoro dan Sumbing masih tampak jelas kemegahannya di antara temaram malam. Dua gunung yang berdekatan itu seperti terpacak tegak di atas tumpukan awan tebal. Puncak Merapi dan Merbabu samar-samar mengintip dari kejauhan. Langit pun tak sepenuhnya berselubung gelap. Bulan memancarkan cahaya bulat penuh. Bintang-bintang mengelilinginya malu-malu. Membuat siapapun akan berharap malam tak lekas berganti pagi.
Kami menikmati semua suguhan alam itu sembari menyeruput kopi di depan tenda hingga kantuk menyerang saat malam beranjak menua. Keesokan harinya, mata langsung disambut semburat kilau sunrise di cakrawala begitu melongokkan kepala dari dalam tenda. Selagi mentari perlahan naik menjalarkan sinar hangat, kami memuaskan diri menyesap udara sejuk, memandangi perbukitan hijau dan padang sabana yang ditumbuhi bunga daisy baru mekar. Dua hari itu semesta sangat bersahabat dengan kami.
Dari cerita teman, saat ramai, puncak Gunung Prau yang konon disebut sebagai kawasan puncak gunung terluas di Indonesia bak lautan tenda dan sesak oleh pendaki yang ingin berburu golden sunrise dari spot terbaik. Mungkin karena bukan akhir pekan, saat kami ada di sana, tak banyak tenda yang kami lihat. Kami pun bisa leluasa memilih spot untuk mendirikan tenda. Menjelang siang, kami berkemas untuk kembali turun dan pulang sembari tak lupa mencangking sampah.
Melakukan perjalanan ke gunung, menyesapi tiap detik yang berlalu, tiba di titik akhir langkah, dan kembali ke titik mula bagi saya adalah cara untuk menguapkan semua kesuntukan dan kegelisahan, meski sejenak. Mencoba menyapa alam tanpa berpikir menaklukkan, atau memikirkan perkara menang dan kalah. Sebab alam bukanlah sejenis soal-soal matematika atau perlombaan.
Selama menempuh pendakian itu, benak juga mencoba bersembunyi dari ingatan tentang kenangan yang harus dihapus, dan hasrat mustahil yang harus dicerabut dari pikiran dan hati. Namun gagal!
0 notes
Text
Menyambut Pergantian Tahun dari Negeri Atas Awan
Rabu (28/12/2016) merupakan hari yang sudah lama saya nanti untuk datang, hari itu tepat pada pukul jam 8 pagi, saya melakukan perjalanan untuk memulai perjalanan pendakian Gunung Prau yang terletak di desa Dieng Wonosobo, Jawa Tengah bersama lima orang teman yang berasal satu kampung dengan saya tetapi berbeda tempat kuliah, karena mereka berkuliah di Bandung.
Pagi itu cuma saya yang berasal dari Jakarta karena lima orang lagi yang ikut dalam perjalanan ini menuggu di Kota Bandung, pagi itu saya memutuskan untuk naik travel Bhineka yang baru-baru ini membuka rute baru dari Plaza Festival Jakarta ke Buah Batu, Bandung. Kebetulan pada saat saya membeli tiket saya mendapat diskon setengah dari harga normal karena travel tersebut baru saja membuka cabang baru di Plaza Festival tersebut, perjalanan Jakarta ke Bandung kurang lebih di tempuh selama dua setengah jam waktu itu, trebilang lancar sih karena hari itu sudah menjelang tahun baru, yang membuat perjalanan dari Jakarta – Bandung menyenangkan saat itu karena saya hanya seorang diri penumpang yang ada di bus tersebut, hal tersebut membuat saya bisa untuk tidur selonjoran di dalam mobil tersebut.
Sesampainya di Bandung saya dijemput oleh seorang teman di poll bus tersebut, karena saya masih belum tahu terlalalu banyak tentang Bandung, ke Bandung sih sering tetapi saya lupa terus tentang arah jalan dan jenis kendaraan yang akan di gunakan, maklumlah mahasiswa perantau jadi bisa dibilang anti dalam menggunakan taksi karena mahal.
Setelah sampai di sebuah kontrakan yang mana di kontrakan tersbutlah yang menjadi titik kumpul kami berenam untuk memulai perjalanan, setelah semua perlengkapan dan bekal siap kami memutuskan untuk sarapan bersama dahulu sebelum berangkat, karena perjalanan yang akan kami lalui akan lumayan jauh dan sangat melelahkan. Setelah sarapan kami satu per satu habis kami mulai mengemas dan mengingat kembali apakah masih ada keperluan yang harus di bawa, setelah merasa semuaya cukup kami mulai memesan taksi online untuk menuju Terminal Bus Cicaheum untuk memulai perjalanan yang sebenarnya.
Sampailah di Termianal Cicaheum pada saat itu pukul 17:00, kami berhenti di sebuah Indomaret yang sangat dekat dari kawasan terminal tersebut untuk menunggu kedatangan satu orang teman lagi yang telat dan menyusul karena masih ada urusan yang harus di selesaikan nya pada hari tersebut.
Kami berlima pun tak lantas menunggu kedatangan nya saja, secara bergantian kami keluar masuk terminal Cicaheum pada waktu itu untuk mencari tiket bus tujuan Wonosobo, Jawa Tengah karena pada saat itu kondisinya sudah memasuki liburan akhir tahun yang menyebabkan susah nya kami mendapatkan tiket bus, hampir saja untuk memutuskan untuk membatalkan kepergian pada saat itu karena susah nya mendapatkan tiket bus, setelah kurang lebih empat jam menunggu datanglah seorang tukang asongan menghampiri kami dengan gaya belagu nya dan menanyakan “mau kemana aa?”
Setelah dia mengetahui apa yang kami alami tukang asongan tersebut memandu kami ke sebuah bus tua yang sudah tidak layak jalan lagi mungkin, karena pada semua bagian mobil tersebut nyaris berkarat, tukang asongan tersebut dengan gampang nya mengucapkan, “bus ini adalah penyelamat aa semua”
kenapa begitu karena cuma bus ini adalah bus terakhir yang akan melakukan perjalanan ke daerah Wonosobo, awalnya kami berlima sempat berfikiran untuk tidak akan naik bus tersebut karena kondisi bus nya yang tidak memadai, tidak terdapat AC di mobil tersebut dan sudah memuat penumpang yang sudah melebihi kapasitasnya, tetapi mau tidak mau kami harus melakukan perjalanan ini karena sudah direncanakan jauh sebelumnya.
Perjalanan Bandung – Wonosobo berlansung selama sepuluh jam karena bus tersebut nge-tem seenaknya dan sesuka hati sopir yang membawanya pada waktu itu, di tambah lagi ongkos perjalanan yang harus di bayarkan menjadi dua kali lipat lebih mahal dari biasanya, tetapi kami ber-enam tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut karena tujuan utama kami adalah Gunung Prau dan Negeri atas langit Dieng.
Sesampainya di Wonosobo kami harus melanjutkan perjalanan kembali ke Desa Dieng yang memilki jarak tempuh satu jam untuk bisa sampai ke Desa Dieng dengan menggunakan mobil Mini Bus yang sudah di desain sedemikian rupa, dengan tujuan menarik penumpang, pada waktu itu kami harus memabayar ongkos mobil tersebut sebesar Rp. 40.000 karena momen pada saat itu sedang berada pada akhir tahun menyebabkan ongkos semua kendaraan naik menjadi dua kali lipat.
Ternyata kami tidak sendirian pada waktu itu sudah lebih dari 100 orang yang sudah datang untuk menaiki Puncak Tertinggi Gunung Prau pada saat itu, semua kawasan kota Wonosobo dan Desa Dieng sudah mulai di datangi oleh par pendaki seperti kami semenjak seminggu yang lalu, karena melewati pergantian tahun dari ketinggian itu merupakan sesuatu yang sangat mengahrukan untuk kami dan untuk para teman-teman pendaki yang lain.
Sesampainya kami di Desa Dieng kami diturunkan di sebuah rumah penduduk yang sudah di jadikan sebagai posko kedatangan pertama untuk wisatawan Desa Dieng, disana disediakan penginapan, makanan, minuman hangat, penyewaan perlengkapan pendakian dan berbagai macam keperluan lainnya, posko tersebut di beri nama Patak Banteng, merupakan posko peristirahatan pertama bagi para pendaki Gunung Prau.
Pendakian kami terpaksa harus di tunda untuk beberapa jam karena Desa Dieng diguyur hujan lebat beserta petir besar pada saat itu, ada keuntungan dan ada kekurangan nya, kekurangan nya itu adalah karena kami harus mengejar malam tahun baru di atas puncak Gunung Prau, kelebihan nya kami bisa menyimpan cukup tenaga lagi untuk bisa beristirahat di Posko Patak Banteng ini.
Malam pun datang hujan pun tak kunjung reda pada saat itu, hari pun sudah menunjukkan pukul 19:00 WIB kami ber-enam memutuskan untuk naik pada malam itu juga karena sudah ada beberapa dari orang untuk turun dan mengatakan bahwa di atas puncak tidak hujan, hanya saat perjalanan saja yang hujan, berkat perkataan dari orang tersebutlah kami memutuskan untuk memulai perjalanan pada waktu itu, pendakian kami tidak berlansung mulus, karena treck yang kami lalui merupakan treck tercepat dan memiliki tingkat kecuraman yang tinggi di tambah lagi kondisi hujan yang menyebabkan permukaan tanah yang sangat menjadi licin pada waktu itu, perjalanan menuju puncak kami tempuh kurang lebih 6 jam pada waktu itu, karena memilih treck yang susah dan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan.
Sesampainya di puncak kami di beri tepuk tangan meriah oleh para pendaki lain yang sudah mencapai puncak terlebih dahulu, karena kegigihan kami untuk bisa mencapai puncak di saat kondisi cuaca yang sangat membahayakan kami ber-enam pada waktu itu.
Malam pergantian tahun di puncak Gunung Prau pada saat itu berlansung sangat haru dan membahagiakan kami ber-enam dari ratusan orang yang ada di puncak Gunung tersebut menyanyikan lagu Indonesia Raya dan saling bertukar pengalaman dan cerita di antara satu sama lain nya.
Ke esokan harinya kami memutuskan untuk turun dan ingin menjelajahi Desa Dieng secara intens sebelum kami kembali lagi untuk melakukan aktifitas seperti biasa kembali, kami merupakan orang- orang yang tidak gampang puas untuk menikmati keindahan alam yang sudah di ciptakan tuhan untuk umat nya
Dan saya sangat percaya bahwa semakin dekat kami dengan alam maka akan semakin banyak orang yang akan kami kenal dan akan semakin banyak pengalaman baru yang akan kami dapat yang belum tentu bisa di dapat dari orang lain.
0 notes
Text
Harga Tiket Masuk Wisata Candi Gedong Songo Semarang
Harga Tiket Masuk Wisata Candi Gedong Songo Semarang – Candi yaitu satu desa di kecamatan Bandungan, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Jarak desa ini dari ibukota kecamatan yaitu sekitaran 2 km. Desa Candi mempunyai satu obyek wisata andalan Kabupaten Semarang, yakni Candi Gedong Songo. Di kesempatan ini Admin menginginkan sharing info satu diantara obyek wisata yang ada di lokasi Kota Semarang yakni Candi Gedong Songo.
Simak penjelasannya tersebut ya… Candi Gedong Songo yaitu nama satu komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terdapat di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini ada sembilan buah candi. Candi ini diketahui oleh Raffles pada th. 1804 serta adalah peninggalan budaya Hindu dari jaman Wangsa Syailendra era ke9 (th. 927 masehi).
Nama candi ini di buat memakai bhs Jawa. Untuk Kamu yang tahu bhs Jawa pasti telah tak asing lagi dengan kata “Gedong” serta “Songo”. Dimana gedong itu bermakna bangunan atau tempat tinggal, sesaat songo itu bermakna sembilan. Bila disimpulkan semuanya Gedong Songo itu bermakna 9 bangunan, dalam soal ini 9 grup bangunan. Candi ini mempunyai kesamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo.
Candi ini terdapat pada ketinggian sekitaran 1. 200 m diatas permukaan laut hingga suhu hawa di sini cukup dingin (sekitar pada 1927 °C). Tempat 9 candi ini menyebar di lereng Gunung Ungaran dengan panorama alam yang indah. Diluar itu, tempat wisata ini dapat diperlengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang memiliki kandungan belerang, ruang perkemahan, serta wisata berkuda.
Adanya candi ini tentu tidak jauh dari mitos. Mitos Candi Gedong Songo atau misteri candi gedong songoini cukup terkenal karena sedikit berhubungan dengan sejarah candi gedong songo atau asal usul candi gedong songo. Namun kita tidak membahas itu ya. Yang kita bahas adalah keindahan dari tempat wisata candi gedong song0 ini.
Tempat pada candi satu dengan candi yang lain tak berdekatan, untuk menuju candicandi itu beberapa pengunjung dapat meniti dengan jalan kaki, dapatlah ditempuh dengan naik kuda, keduanya bisa dikerjakan sembari nikmati sarana dengan dibarengi situasi keindahan alam yang masihlah alami dan hawa yang sejuk serta beri kesegaran.
Tempat candi Gedong Songo bisa ditempuh dengan memakai kendaraan pribadi seperti sepeda motor serta mobil bahkan juga kendaraan besar seperti bis dengan jalanan yang naik serta kemiringannya begitu tajam (ratarata meraih 40 derajat). Dibutuhkan perjalanan sekitaran 40 menit dari Kota Ambarawa atau sekitaran 10 menit dari tempat wisata Bandungan. Kamu juga dapat memakai layanan ojek sampai ke pintu masuk ruang wisata. Serta janganlah cemas dengan kembalinya, lantaran banyak tukang ojek yang ngetem di depan loket masuk yang siap mengantarkan Kamu. Jika anda bingung anda juga bisa menggunakan peta candi gedong songo.
Birbicara mengenai tiket masuk candi gedong songo, harga yang dibandrol terbilang murah, yaitu sebesar 25 ribu saja. Nah dibawah ini merupakan informasi mengenai Daftar harga candi gedong songo terbaru.
Harga Tiket Masuk Candi Gedong Songo
Jenis Tiket Hari Harga Tiket Wisatawan Domestik (Senin s/d Jumat) Rp.6.000 (weekend & libur nasional) Rp.7.500 Wisatawan Mancanegara Rp. 35.000
Tiket Wahana dan Fasilitas Candi Gedong Songo
Jenis Tiket Harga Wisata Desa Rp. 25.000 Sampai pemandian air panas Rp. 40.000 Sampai candi Gedong dua Rp. 30.000 Paket candi Songo Rp. 50.000
Sumber. Tiket Masuk
0 notes
Text
Rekomendasi Tempat Wisata di Ngawi Yang Paling Menarik
Tempat wisata paling menarik di Ngawi – Ngawi adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur dan juga berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah. Ngawi juga dekat dengan kabupaten Pacitan, yang dibahas penulis di bagian sebelumnya tentang tempat wisata di Pacitan. Seperti Pacitan, yang memiliki julukan kota 1001 gua, Ngawi juga memiliki julukan, bahkan tidak satu julukan, ya, distrik Ngawi memiliki beberapa nama julukan, termasuk kota "kota bambu" yang diyakini asal usul nama Kabupaten Ngawi adalah awi yang artinya bambu dan ditambah dengan ng.
Selain itu, ngawi juga disebut Kota "keripik tempe", karena ada keripik tempe khas di ngawi dan jarang ditemukan di kota-kota lain. Sekarang nama panggilan terakhir dari kota Ngawi adalah bahwa Ngawi adalah sebuah kota "Kota yang ramah" , julukan itu adalah slogan kota Ngawi, toh kerennya kota Ngawi ini.
Baiklah, kita akan membahasnya objek wisata di Ngawiapa yang terjadi di Ngawi? ingin tahu? lihat artikel ini untuk menyelesaikan. foto kecil, tempat wisata di kota Ngawi identik dengan tempat wisata alam. hanya sangat cocok untuk anda yang suka wisata alam.
Berikut adalah 8 tempat wisata paling menarik di Ngawi
Air Terjun Pengantin
Objek wisata pertama di Ngawi adalah air terjun pengantin wanita, mungkin beberapa dari Anda telah menonton film horor Indonesia yang merupakan lokasi utama film tersebut, air terjun pengantin wanita. Tapi tenang saja, air terjun pengantin tidak seperti yang diceritakan dalam film, tidak ada ketegangan, menakutkan dan suasana lainnya. Hanya ada pesona alami air terjun yang memanjakan mata.
Air terjun ini memiliki nama yang unik dan mengambil air terjun pengantin, karena ada beberapa air terjun di tempat yang sama dengan ketinggian yang sama, yaitu sekitar 12 meter dari dasar air terjun. Bagi Anda yang tidak suka hiruk-pikuk tempat ini, sebaiknya tandai dulu, karena air terjun pengantin masih jarang dikenal oleh orang-orang yang mengingat lokasi yang cukup sulit ditemukan. Itu di belakang perkebunan teh Jamus, ikon wisata kota Ngawi. Tur Jamus akan dibahas di bagian selanjutnya. Air terjun ini terletak persis di Dsn Besek, Ds Hargomulyo, Kec Ngrambe Ngawi. Untuk sampai ke lokasi ini, perlu menempuh perjalanan darat dengan kendaraan bermotor sekitar 3 jam dari pusat kota Ngawi.
Perkebunan teh Jamus Ngawi
Seperti janji penulis di bagian sebelumnya yang akan membahas objek wisata Jamus Ngawi yang indah. Ya, objek wisata ini terletak di Dsn Jamus, Ds Girikerto, Kec Sine Ngawi. Objek wisata ini adalah andalan di kota Ngawi. Anda tahu, kebun teh ini adalah sisa dari masa kolonial Belanda. Jika Anda pergi ke mana Anda dapat menikmati kesejukan perkebunan teh dari bukit borobudur yang merupakan bagian dari kebun teh. Bukit Borobudur disebutkan karena bentuk bukit-bukit yang menyerupai Borobudur di Magelang. Berbeda dengan kebun teh di teh lain, di jamus ini banyak pohon teh yang berusia ratusan tahun.
Selain menawarkan pemandangan yang menakjubkan dari kebun teh, ada juga rubah terbang di lokasi dan mata air jernih dari mata air Lanang di lokasi perkebunan teh. Tidak hanya itu di kebun teh, Anda juga bisa melihat proses pembuatan teh dan mengambil teh khas jamus yang memiliki rasa kopi.
Air terjun Srambang Ngawi
Tur selanjutnya masih membahas wisata alam. Itulah air terjun Srambang yang tersembunyi, karena lokasinya di lereng Gunung Lawu. Terletak persis di Ds Girimulyo, Kec Jogorogo Ngawi. Air terjun ini terletak di antara hutan pinus untuk menciptakan suasana sejuk dan damai. Tempat wisata ini direkomendasikan bagi mereka yang suka bepergian, mengingat perjalanan berliku yang diperlukan untuk sampai ke lokasi air terjun srambang. Untuk mencapai lokasi, Anda harus menempuh jarak 25 km dari kota Ngawi ke gerbang tiket. Setelah melewati biaya tiket gerbang Anda harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sampai dibutuhkan sekitar 30 menit untuk mencapai lokasi air terjun. Perjalanannya cukup panjang, hei, tapi tenanglah ketika Anda tiba di lokasi air terjun, Anda akan merasa lelah, akan terbayar dengan keindahan air terjun.
Baca juga: Tempat wisata paling indah dan menarik di Wonogiri
Waduk Pondok Ngawi
Waduk Pondok Ngawi adalah tujuan wisata air di Ngawi dan menawarkan pemandangan waduk dan pegunungan yang indah. Waduk ini terletak di Dampit Kec, hanya 6 km dari pusat kota Ngawi. Di tempat ini Anda bisa bermain Jetski, berlayar di sekitar waduk dan mengambil foto dengan lingkungan yang eksotis
Museum Trinil Ngawi
Bagi Anda yang suka mengunjungi benda-benda prasejarah, museum ini patut Anda kunjungi. Di museum ini ada spesies Phitecantropus erectus yang merupakan fosil populer. Fosil itu ditemukan di daerah ngawi sehingga sebuah museum bernama Trinil dibangun. Museum Trinil terletak di Dsn Pilang, Ds Kawu, Kabupaten Kedunggalar Ngawi. Tempat itu berjarak sekitar 14 km dari jantung kota Ngawi. Di museum Anda dapat mengamati berbagai jenis fosil, seperti fosil manusia purba, tumbuhan, dan hewan. Anda juga dapat menemukan jejak-jejak kehidupan manusia purba dengan mengamati sejumlah fosil di Museum Trinil.
Benteng Pendem van Bosch
Objek wisata bersejarah berikutnya di Ngawi adalah kastil Pendem Van Bosch. Benteng ini adalah benteng Belanda yang kaya akan nilai-nilai historis dan eksotis. Benteng ini memiliki daya tarik yang berbeda dari benteng lainnya, yaitu dinding yang terlihat usang dan kusam. Meski terlihat seperti ini, benteng ini masih berdiri kokoh dan kokoh. Bagi Anda yang suka memotret dengan latar belakang bangunan tua, tempat ini sangat bagus untuk dijadikan objek foto keren dengan karakteristik bangunan tua dan arsitektur yang indah. Benteng Pendem van Bosc terletak di titik pertemuan Madiun Begawan dan Bengawan Solo.
Srigati Pesanggrahan
Tempat wisata berikutnya di Ngawi adalah Pesanggrahan Srigti, yang memiliki persyaratan sejarah dan juga memiliki nilai mistis. Wisma ini terletak di Ds Babadan, Kec Paron, sekitar 12 km dari jantung kota Ngawi. Menurut cerita, tempat ini bukan hanya rumah tamu Raja Brawijaya, tetapi juga sebuah istana untuk kerajaan makhluk gaib. Dengan begitu banyak orang menggunakan tempat itu untuk menerima berkah dan mencari ilmu gaib. Tapi itu tidak diperbolehkan dalam agama. Namun, tampaknya tempat ini terkait dengan sejarah kota Ngawi. Ole karena itu Anda harus mengunjungi sebagai wisata sejarah di kota Ngawi. Dan Anda tidak perlu takut dengan cerita yang beredar selama Anda tidak melakukan apa pun di tempat itu. Di pesanggrahan ini ada beberapa tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi, seperti musim semi, jumbai, melonggarkan Sukarna. Pelenggo agung srigati dan pegas tempur silogonggo
baca juga: Rekomendasi untuk tempat wisata Cool Dieng dan Wonosobo
Makanan khas Kota Ngawi
Setelah Anda puas dengan menjelajahi tempat-tempat wisata yang menarik di Ngawi, sekarang saatnya untuk mencoba masakan khas kota Ngawi. tahu tepo dan wedang kuburan yang merusak lidah. Tepo adalah makanan yang mirip dengan lontong yang terbuat dari beras yang menonjol dari lontong adalah bentuk dan teksturnya. Makanan istimewa ini dalam bentuk kue beras dan tahu dapat disajikan bersama, seledri, kubis, tauge, taburan kacang cincang dan kerupuk dengan saus spesial yang sangat segar.
Selain hidangan istimewa yang begitu lezat, Ngawi juga memiliki minuman khusus yang tak kalah enak. Yaitu wedangcume yang dibuat dari campuran gula tebu, santan, jahe, roti putih dan kacang telur. Minuman ini cocok disajikan panas dan dinikmati di udara dingin seperti udara dingin di Ngawi.
Video liburan Vlog Hits Posong 2020 Travel
youtube
!function(f,b,e,v,n,t,s) {if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod? n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)}; if(!f._fbq)f._fbq=n;n.push=n;n.loaded=!0;n.version='2.0'; n.queue=();t=b.createElement(e);t.async=!0; t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)(0); s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window, document,'script', 'https://connect.facebook.net/en_US/fbevents.js'); fbq('init', '307357176371665'); fbq('track', 'PageView'); DifaWisata.com – Paket Wisata Murah tahun 2020 dengan harga terjangkau. Temukan liburan serta pengalaman yang baru bersama kami. Dengan perjalanan Private Tour Wisata Indonesia, tidak digabung dengan peserta lain, menjadikan liburan Anda lebih personal dan menyenangkan. Kami menyediakan beberapa pilihan Paket liburan murah dan program wisata sesuai budget Anda. Itinerary tour, kami sesuaikan dengan jadwal sholat & Makanan yang kami sediakan di restoran bersertifikat halal, yang menjadikan kami sebagai biro perjalan Wisata halal Indonesia. Sumber Link: Kunjungi website
The post Rekomendasi Tempat Wisata di Ngawi Yang Paling Menarik appeared first on Difa Wisata - Travel Agency, Tours & Shuttle.
The post Rekomendasi Tempat Wisata di Ngawi Yang Paling Menarik appeared first on Difa Wisata - Travel Agency, Tours & Shuttle.
from WordPress http://bit.ly/2wSTYeC via IFTTT
0 notes
Text
Harga Tiket Masuk Wisata Candi Gedong Songo Semarang
Harga Tiket Masuk Wisata Candi Gedong Songo Semarang – Candi yaitu satu desa di kecamatan Bandungan, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Jarak desa ini dari ibukota kecamatan yaitu sekitaran 2 km. Desa Candi mempunyai satu obyek wisata andalan Kabupaten Semarang, yakni Candi Gedong Songo. Di kesempatan ini Admin menginginkan sharing info satu diantara obyek wisata yang ada di lokasi Kota Semarang yakni Candi Gedong Songo.
Simak penjelasannya tersebut ya… Candi Gedong Songo yaitu nama satu komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terdapat di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini ada sembilan buah candi. Candi ini diketahui oleh Raffles pada th. 1804 serta adalah peninggalan budaya Hindu dari jaman Wangsa Syailendra era ke9 (th. 927 masehi).
Nama candi ini di buat memakai bhs Jawa. Untuk Kamu yang tahu bhs Jawa pasti telah tak asing lagi dengan kata “Gedong” serta “Songo”. Dimana gedong itu bermakna bangunan atau tempat tinggal, sesaat songo itu bermakna sembilan. Bila disimpulkan semuanya Gedong Songo itu bermakna 9 bangunan, dalam soal ini 9 grup bangunan. Candi ini mempunyai kesamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo.
Candi ini terdapat pada ketinggian sekitaran 1. 200 m diatas permukaan laut hingga suhu hawa di sini cukup dingin (sekitar pada 1927 °C). Tempat 9 candi ini menyebar di lereng Gunung Ungaran dengan panorama alam yang indah. Diluar itu, tempat wisata ini dapat diperlengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang memiliki kandungan belerang, ruang perkemahan, serta wisata berkuda.
Adanya candi ini tentu tidak jauh dari mitos. Mitos Candi Gedong Songo atau misteri candi gedong songoini cukup terkenal karena sedikit berhubungan dengan sejarah candi gedong songo atau asal usul candi gedong songo. Namun kita tidak membahas itu ya. Yang kita bahas adalah keindahan dari tempat wisata candi gedong song0 ini.
Tempat pada candi satu dengan candi yang lain tak berdekatan, untuk menuju candicandi itu beberapa pengunjung dapat meniti dengan jalan kaki, dapatlah ditempuh dengan naik kuda, keduanya bisa dikerjakan sembari nikmati sarana dengan dibarengi situasi keindahan alam yang masihlah alami dan hawa yang sejuk serta beri kesegaran.
Tempat candi Gedong Songo bisa ditempuh dengan memakai kendaraan pribadi seperti sepeda motor serta mobil bahkan juga kendaraan besar seperti bis dengan jalanan yang naik serta kemiringannya begitu tajam (ratarata meraih 40 derajat). Dibutuhkan perjalanan sekitaran 40 menit dari Kota Ambarawa atau sekitaran 10 menit dari tempat wisata Bandungan. Kamu juga dapat memakai layanan ojek sampai ke pintu masuk ruang wisata. Serta janganlah cemas dengan kembalinya, lantaran banyak tukang ojek yang ngetem di depan loket masuk yang siap mengantarkan Kamu. Jika anda bingung anda juga bisa menggunakan peta candi gedong songo.
Birbicara mengenai tiket masuk candi gedong songo, harga yang dibandrol terbilang murah, yaitu sebesar 25 ribu saja. Nah dibawah ini merupakan informasi mengenai Daftar harga candi gedong songo terbaru.
Harga Tiket Masuk Candi Gedong Songo
Jenis Tiket Hari Harga Tiket Wisatawan Domestik (Senin s/d Jumat) Rp.6.000 (weekend & libur nasional) Rp.7.500 Wisatawan Mancanegara Rp. 35.000
Tiket Wahana dan Fasilitas Candi Gedong Songo
Jenis Tiket Harga Wisata Desa Rp. 25.000 Sampai pemandian air panas Rp. 40.000 Sampai candi Gedong dua Rp. 30.000 Paket candi Songo Rp. 50.000
Sumber. Tiket Masuk
0 notes