Tumgik
#sumarah
banyupadmatangi · 2 years
Photo
Tumblr media
▪︎NTT▪︎ Nanti Tuhan Tolong. (terima kasih mama nono) mengingatkan diri kembali bahwa besar hati itu mampu berterima kasih atas segala yang tidak dimiliki dan telah dilepaskan; berhenti membandingkan dengan siapapun, apapun alasannya; selaraskan upaya untuk menjadi versi terbaikmu, bukan supaya menjadi seperti. pada akhirnya, merasa cukup & sejahtera untuk segala yang sedang dititipkan. hasil itu bukan urusan manusia. pokoknya NTT. 😊🙏🪷🌞 #sumarah #banyupadmatangi #ratrinetrayoga #gratitude #zen #selftalk akhir januari 2023 (at Canggu) https://www.instagram.com/p/CoE-PVOvLPL/?igshid=NGJjMDIxMWI=
2 notes · View notes
baswara · 1 year
Text
peluk erat nabastala kian menghangat, aku pun meraki pada sebuah sajak selaksa renjana yang terbesit di benak
kutulis keindahanmu dalam kata bergejolak aku dalam rahsa semburat senyummu menyapa tanpa kentara
riuh gerimis mulai bercengkerama menemani jiwa yang sumarah terdampar aku dalam andala pada sebuah kenangan berisi lara
larik larik ini terhenti kala sang angin bersuar lirih diksi diksi ini gugu oleh rindu yang membelenggu
-Afsun Anala, Rafly Muhammad
5 notes · View notes
haribaan · 7 days
Text
Tumblr media
dalam langkah iniㅡikut pula ku bawa pelbagai bhara jadi pikulan kefanaan. netraku yang gemetar maniknya, tungkai seakan-akan retas dari diriku, enggan barang bersamaku sesaat saja. lalu di sini aku, tercenung, lantas apa yang bisa aku lakukan?
"hei! kok kamu belakangan terlihat kosong?"
betulan. kosong, serta hambar. rasa-rasanya laksana tengah mencecap suguhan dengan pandang netra mengira 'kan menggugah selera, yang nyata-nyatanya sedang lalai kokinya tak mengagih barang sejumput rempah-rempah. ingin sedu sedanpun airnya telah tandus lewat silam. pun setelah aku menimbang dalam geming, rasa-rasanya nihil impaknya 'tuk mengisak raung suratan takdir, bukan?
Tumblr media
maka kuupayakan untuk berpasrah. bersikap sumarah kendati bumantara kerap berwarna sendu, sukarela di tiap dawai-dawai kepencilan yang kian memesonaku menuju rengkuhnya. harap-harap esok masih bisa bangun dengan sempurna akal, meniti sisa-sisa binar tuk dijadikan eunoia diri. menerima kesahihan bahwa akan selalu ada hal-hal yang tiada mampu kita kontrol, dan itu bukan salahku ataupun kamu.
@ awanIaIu
0 notes
lampung7com · 2 months
Text
LSM LIPAN Indonesia Kabupaten Pesawaran Audiensi ke Kejari Pesawaran
Lampung, Pesawaran – DPD LIPAN dan Kejari pesawaran mengadakan audiensi disambut oleh Kepala Kejaksaan Negeri Pesawaran langsung diruang tamu Kajari Pesawaran yang belum lama ini Kantor kejari diresmikan, Senin, (29/7/2024). Sumarah selaku Ketua LSM LIPAN Indonesia beserta jajaran pengurus mengucapkan terima kasih kepada Kajari Pesawaran Tandy Mualim yang juga di dampingi Kasi Intel Fazar kasi…
0 notes
the-coffee-corner · 7 months
Link
Check out this listing I just added to my Poshmark closet: Lucky Brand Sumarah Wedge Ankle Boots Suede Leather Booties SZ 9B EUC.
0 notes
blahdom · 11 months
Text
bon suwung
Gunawan Maryanto
Aku pingin bercerita. Panjang. Tapi apakah kamu sanggup? Aku sanggup?
Eka adalah satu adalah bumi tempat mahluk hidup dan dihidupi. Dwi adalah dua adalah sawah tempat tumbuhan tumbuh. Tri adalah tiga adalah air rumah para ikan. Catur adalah empat adalah angkasa rumah bangsa burung. Panca adalah lima adalah gunung yang mengukuhkan semesta. Sad adalah enam adalah manusia penata dunia. Sapta adalah tujuh adalah raja manusia nabi di bumi. Hasta adalah delapan adalah pendeta yang tekun bertapa. Nawa adalah sembilan adalah dewa yang dipuja manusia. Dasa adalah sepuluh adalah penanda kesempurnaan.
Bencana di musim ketiga. Bumi kehilangan seluruh dirinya, tak ada hujan, kalau pun ada ia jatuh di musim yang salah, membuat tumbuh-tumbuhan sekarat. Tanah kering rekah selebar-sedalam jurang berisi hewan melata yang berbisa. Para binatang meraung di jalan-jalan. Panas yang mengerikan tanpa tempat berteduh, mencipta kematian di mana-mana. Banyak tumbuhan tak bisa tumbuh, mati oleh sepinya air, menjerit dimangsa hewan-hewan lapar. Langkanya tumbuh-tumbuhan membuat langka makanan. Manusia-manusia menderita. Kejahatan menjadi-jadi, saling berebut kehidupan menghalalkan segala cara. Hewan-hewan air, bangsa ikan menderita di mana-mana, panas tak mendapat kesejukan. Yang kecil mati jadi mangsa yang besar, ibarat makan kawan sendiri pun bisa terjadi. Bangsa burung merintih mencari pengungsian, saling makan, hingga banyak yang mati jatuh ke tanah, berserak di mana-mana. Gunung penyangga semesta terjungkal, hingga bumi hilang keseimbangnya, kejatuhan yang mencipta sengsara. Gempa bumi terjadi, katakanlah, duapuluhsatu kali sehari, merusak keindahan dunia. Orang kebanyakan menderita, kematian menjadi-jadi, yang kuat makan yang lemah, hilanglah tatanan semesta.
Raja tak kuasa menghentikan bencana, karena hanya manusia biasa yang tak luput dari bahaya. Pendeta tekun memanjatkan doa, meminta anugrah dewa memohon lenyapnya sang bencana. Mereka berlari ke puncak-puncak gunung, menghujankan bunga-bunga, tapi bencana tak kunjung reda. Akhirnya pasrah pada dewata, hati sumarah pada Yang Kuasa, jika hendak melebur dunia. Dewa bisa sakit tapi tak bisa mati, menderita tak terkira. Sempurna sudah bencana, di langit, gelap pekat, kilat dan petir bertubi-tubi, berkelebatan, ekor Hyang Anantaboga berpusing seperti kitiran, tanduk lembu Andini, kawah Candradimuka menggelegak, meluap lahar hingga ke bumi, makin menambah kesengsaraan.
Lega hati Yang Kuasa, telah memberi ujian pada dunia, sebagai peringatan untuk manusia pada Sang Pencipta.
Tetapi ada mahluk serupa bocah kembar. Yang satu membawa cambuk, ingin menggiring angin, yang satu membawa tempurung, maksud hati menguras samudera. Keduanya berpapasan di sebuah perempatan, salah kata salah ucap berubah menjadi perkara, bergumul berebut unggul, demikianlah asal muasal bencana.
Tersebutlah, selepas bencana. Di langit timur tampak segurat garis cahaya setajam lidi jantan. Selepas cahaya tersilak pelataran luas tanpa nama tanpa pohonan. Bon Suwung. Ada bocah lanang memetik bunga. Lalu dibuang. Memetik lagi. Dibuang lagi. Lalu ada bocah perempuan mendekat. Berkaca-kaca melihat sampah bunga-bunga. Lalu jongkok memungutinya satu persatu. Ditata di atas sebuah pagar bata.
Sekarang keduanya sudah tumbuh dewasa. Sudah menemukan jalannya sendiri-sendiri. Hingga suatu hari Si Lelaki teringat pernah membuang bunga. Teringat pernah berlari ke timur.
Geragapan Si Lelaki mengetuk pintu berupa alang-alang. “Bu, aku pulang.”
“E, masuk sini. Bocah nakal.” Suara ibunya sedikit pun tak berubah. Masih seperti duapuluh tahun yang lalu.
“Aku kangen ibu. Ibu kangen aku tidak?”
“Tidak. Rambutmu berdebu. Sampai di mana saja kamu?”
Si Lelaki tertunduk. Seperti bocah kecil yang ketakutan karena pulang bermain terlalu sore.
“Pasti bermain di bendungan lagi. Bocah kok, nggak bisa dibilangin. Anak siapa sih, kamu? Apa mau jadi tumbal bendungan kayak Sugeng?”
“Bapak tidak pulang, Bu?”
“Dimakan anjing, kali.”
Keduanya menangis. Ibu dan anaknya. Perempuan dan tanggung jawabnya.
Leng-leng gatining kang. Awan saba-saba. Nikeng Ngastina. Samantara tekeng. Tegal milu ring karya. Krena lakunira. Parasu Rama. Kanwa Janaka. Dulur Narada. Kapanggih ing ika. Jumurung ing karsa. Saparti tala. Sang bupati.
“Aku sudah tak berani berharap kamu pulang, seperti bapakmu. Biar. Biar malam sepi-sepi saja. Tak perlu ada harap, bulan dan bintang. Tidak perlu ada apa-apa. Dan sekarang kamu pulang. Rambutmu berdebu. Ada apa? Tidak ada apa-apa, kan? Tidak perlu ada apa-apa.”
“Aku tidak berniat pulang. Tidak sekalipun. E, ternyata malah pulang. Tiba-tiba ketemu pintu tembusan belakang rumah. Perasaan aku sudah berlari begitu jauh. Tak menengok belakang sama sekali. Ternyata…”
“Pintu sudah kaututup belum? Nanti anjing-anjing hutan masuk.”
“Aku kangen ibu. Ibu kangen aku tidak?”
“Tidak.”
Si Ibu membelai rambut anaknya. Mencari kutu, ketombe dan cerita yang terselip di sesela rambut kaku itu. Tak satu pun ketemu. Termasuk air matanya duapuluh tahun yang lalu. Lalu masuk ke belakang. Pura-pura bikin kopi.
“Katanya kamu mau pulang. Mana? Katanya: aku mau pulang. Lewat jalan yang lalu. Tunggu aku di Bon Suwung. Aku pulang naik naga Taksaka. Tadi sore Parikesit baru saja mati. Mayatnya dihanyutkan di Bengawan Silugangga. Tanpa doa. Tanpa upacara. Biar saja. Yang terang aku mau pulang. Tunggu aku!”
“Kopinya sudah jadi. Diminum. Nanti keburu dingin.”
“Bapak belum pulang, Bu?”
“Nggak tahu. Tadi aku seperti mendengar suaranya. Nggak tahulah. Dimakan anjing, kali. Sudahlah. Kamu menunggu siapa?”
“Pacar.”
“Yang mana? Siapa? Yang dulu pernah kaubawa ke rumah itu? Yang rambutnya panjang? Yang kaupanggil-panggil tiap malam? Yang mana? Ibu kok lupa.”
“Yang baru.”
“Siapa namanya?”
“Nggak tahu.”
Dalam tubuh naga Taksaka. Seorang perempuan jatuh tertidur. “Tolong, bawa lari aku. Sejauh kau bisa!” Begitu rintihnya sebelumnya. Pada siapa?
Lelaki muda di sampingnya membuat puisi. Tentang seorang perempuan yang jatuh tertidur. Dibaca sekali, teringat Marquez, kertas itu disobek-sobeknya, disebar sepanjang rel. Melihat puisi beterbangan, mbak pramugari segera datang membawa secangkir kopi. Cangkir kecil berwarna hijau. Plastik.
Lelaki muda membangunkan Si Perempuan.
“Kopinya sudah jadi. Diminum. Nanti keburu dingin.”
“Sudah sampai mana, Mas? Sudah sampai Bon Suwung belum?”
“Dik, kereta ini menuju Jogja. Aku nggak tahu bon suwung-mu itu terletak di mana?”
“Aku juga nggak tahu. Dulu aku pernah menanam airmataku di sana. Kupupuk dengan tahi babi seminggu sekali. Lalu tumbuh subur. Daunnya lebat, hijau, beterbangan setiap sore. Aku suka duduk-duduk di bawahnya, menggembala angin. Lalu datang masa sekolah. Anak-anak tak pernah lagi pulang ke rumah. Antar aku ke tempat itu, Mas.”
Buta Pandawa tata gati wisaya. Indriyaksa sara maruta. Pawana bana margana samirana.
“Sudah, diamlah, Dik. Adikku, lihat bulan bulat seperti kepala raksasa yang menakutkan.”
Sebenarnya aku ingin bercerita. Panjang. Tapi apa kau sanggup? Aku sanggup?
Suatu sore aku melihatmu. Berlarian di pelataran luas. Tidak mengejar kupu-kupu. Lalu berhenti. Termangu. Berdiri di depan sampah bunga-bunga matahari. Lalu kamu bernyanyi, entah lagu apa, aku tak pernah mendengarnya. Kira-kira di bait ke lima tanganmu mulai mengambil bunga-bunga yang berserakan itu. Lalu kamutata di atas sebuah pagar bata. Begitulah. Berulang kali.
Kamu tak menangis.
Malamnya arwah-arwah bunga itu mengganggu tidurmu. Kamu mengigau. Menyebut-nyebut sebuah nama. Entah nama siapa aku tak mengenalnya. Dan nama yang kamupanggil-panggil itu tak kunjung datang. Begitulah sampai malam terbangun.
Paginya aku membawa cahaya sore yang kubungkus kertas koran. Kamu tak suka. Sayang. Kamu cuma diam. Memeluk lutut. Menunduk.
Kamu tak menangis.
Aku pingin bercerita. Panjang. Tapi buat siapa?
Musim hujan. Kau tergila-gila pada hujan. Tak sembuh-sembuh. Tak juga beranjak dari kursi taman dan melayat ke rumahku, bangsat. Tak berziarah ke kuburanku. Apa lagi berdoa bagi cerita-cerita lama. Gawat. Aku terlanjur mati. Dan kau tak juga segera paham.
“Aku minta maaf, Mas. Aku tak bisa apa-apa selain minta maaf. Dan terakhir, tolong antar aku sampai di Bon Suwung.”
Stasiun Tugu. Si Lelaki berjalan ke timur. Pegangan pada bintang sendirian memanggil pagi hari. Aku ingin mencari embun yang serupa dengan airmatamu, begitu pamitnya pada Si Perempuan. Si Perempuan berteriak, tapi sudah kehilangan lacak. Si Lelaki sudah hilang di perempatan.
Jogjakarta, 2002
1 note · View note
meratsaki · 1 year
Text
BABAD I : TAMPARAN TAKDIR.
Kota Metropolitan, bulan Maret tahun 2033.
Serangkaian pengecekan tadi sudah dilaku Barmawi di rumah sakit ini. Aroma khas senantiasa tidak ia sukai sedari dulu. Namun, ia harus kembali kemari untuk memastikan sesuatu.
Ketakutan ialah momok senantiasa berdampingan dengan hidup Mawi. Tidak segelintir ketakutan yang sudah dialami. Duduk pada kedera sembari menunggu eksistensi dokter terjangkau pandang mata.
"Ibu Barmawi. Hasil daripada pengecekan tadi cukup bagus. Hanya.." Buah cakap gantung yang buat napas terasa tercekat pun mengetam bibir ranum hingga netra tidak berkejip.
Jangan, jangan sampai ekspektasi akan ketakutan itu menjadi buah nyata kehidupan. Ia menyerana tatkala mengindahkan cakapan dokter berlanjut itu. Semakin menuli ketika menjelaskan sarwa yang ia alami.
Mulanya bahu tegak lantas mengendur. Semburat kuyu pegari pada zamzam durja, ia semak hati pun pandangan kosong. Lantas harus apa? Ia harus melaku apa?
Tepukan halus dari dokter mengembalikan ia pada kesadaran. Bahwa sejatinya yang juita kita alami adalah betul-betul realita. Sesak, dada ia sesak. Tidak menahu harus apa namun yang pasti rasanya haus akan meluap.
Barmawi pamit meninggalkan ruangan tersebut dengan langkah gontai. Melihat sederet kedera pun ia tidak sanggup menahan, akhirnya terperenyak di atas kedera. Ia menggasak dadanya yang sesak itu.
Lantas meruap dengan seisi koridor bermula lengang kini gaduh oleh ia mencabik arang dan berurai air mata. Bahkan Mawi menjadi halwa mata manusia lalu-lalang. Jika menyelia keadaan ia sungguhlah miris.
Bagaimana, bagaimana ia sanggup menguraikan apa cakap dokter tersebut pada suaminya? Apa Praduta akan senantiasa mencintai ia?
Realita t'lah berujar bahwa ia mandul.
Enam tahun, enam tahun ia menyandang status istri Praduta namun belum kunjung diberi momongan. Inikah? Inikah tamparan takdir dari Tuhan yang harus ia terima? Jikalau iya, sumarah ia.
Namun, ada satu harap untuknya agar tak ada lagi ketakutan dalam hidup hadir satu-persatu. Harap ia, Praduta akan tetap di sisi. Kendati takdir dari Tuhan tidak selaras dengan yang diingini.
SELESAI YA BANGSAT!!!
1 note · View note
nokhgondes · 2 years
Text
Rindu ketuk-ketuk pintu
Bergerak memenuhi ruang-ruang
Bejana-bejana yang saling terhubung
Engkau dan aku antaranya
Waktu berlalu
Bergerak perlahan
Terasa memburu
Ruang terbentang
Maya-maya menipu
Agar diri senang, tenang
Memang tidak mudah untuk terbang
Kadang aku harus di bawah sayapmu
Kadang kau harus di bawah sayapku
Agar kita terbang seimbang
Memang tidak mudah untuk berenang
Gerak-gerak diramu, friksi-friksi diadu
Mengapung dan menenggelam berpadu
Buang, tahan, gerakkan, lepas
Lewati fajar gusar malam temaram
Lalui siang tenang petang perang
Lelah adalah pasti
Sumarah utama
Mentari akan selalu terbit
Harapan akan selalu ada
.
.
Magelang
Budha Umanis, Wuku Tambir, Mangsa Kawolu, 2023 AD
Untuk Kanyaka Tejaningrat
1 note · View note
atlanticcanada · 2 years
Text
New poll shows Atlantic Canadian sports fans prefer the NFL, sparks debate about potential CFL franchise viability
Saint Mary’s Huskies head football coach Steve Sumarah was not surprised to hear there is new data that shows the National Football League (NFL) has a huge following in the Maritimes.
“Marketing of the NFL is the greatest marketing machine in the world when it comes to pro sports,” said Sumarah.
According to a recent Angus Reid poll, 62 per cent of Canadian football fans prefer the Super Bowl over the Canadian Football League’s (CFL) championship, the Grey Cup. In Atlantic Canada the number is even higher, with 74 per cent of fans favouring the Super Bowl.
“I think that’s quite accurate for fans here in Atlantic Canada,” said HRM Councillor Tony Mancini, who is also a big sports fan. “But, if the CFL was to show up here on a regular basis, that would change.”
Mancini supports the idea of a permanent CFL team one day playing in Halifax, in a stadium built through a mix of public and private funding.
“I think we are missing opportunities because we don’t have a stadium,” said Mancini.
According to TSN football insider Dave Naylor, any examination of fan viewing habits in this region requires context.
“I think it’s easier to be a fan of the National Football League when you’re living in a place that doesn’t have a team of any kind,” said Naylor, who added the CFL is still bullish on the idea of expanding to the Maritimes.
As for the appetite of football fans in this region?
“It doesn’t have to be an either or choice. You could be somebody who really prefers the NFL but also enjoys the CFL,” said Naylor.
Sumarah, with more than four decades of his life devoted to football, is certain a Halifax-based CFL team would be successful.
“I think of those nine regular season games as nine events,” said Sumarah.
Football fan Louie Velocci is waiting patiently for the day to come.
“It’s the right thing for Halifax and the Maritimes,” said Velocci. “I would hold multiple season tickets and I would have family tickets and friend tickets.”
Velocci said a 10th CFL team located in the Maritimes would be an opportunity to bring people together and spark business growth in the Maritimes.
from CTV News - Atlantic https://ift.tt/9thj0cI
0 notes
cacamembaca · 2 years
Text
Tionghoa dan Pribumi dalam Cerita Oey Se Karya Thio Tjin Boen
Thio Tjin Boen merupakan salah satu sastrawan Melayu Tionghoa kelahiran Pekalongan tahun 1885. Novel yang ia hasilkan cukup banyak, antara lain Njai Sumarah dalam dua jilid (1917), Se Tjaij Kim (Nona Kim) dalam tiga jilid (1917), Cerita Oey Se (1903), karya adaptasi dari La Dame aus Camelias, Dengan Duwa Cent Jadi Kaya dua jilid (1920), dll. Thio Tjin Boen, selain dikenal sebagai novelis, juga dikenal sebagai wartawan dan penerjemah.
Thio Tjin Boen juga pernah bekerja sebagai editor di surat kabar antara lain Taman Sari, Warta-Warna Warta, Perniagaan (1926-1929) dan mingguan Moestika yang didirikan di Semarang pada tahun 1927. Thio Tjin Boen meninggal pada tahun 1940 di Bandung.
Salah satu karya yang dihasilkan oleh Thio Tjin Boen dan akan dibahas dalam makalah ini berjudul Cerita Oey Se, yaitu satu cerita yang amat endah dan lucu yang betul sudah kejadian di Jawa Tengah atau kerap disingkat dengan Cerita Oey Se.
Cerita Oey Se merupakan karya sastra bergenre novel. Meskipun novel, cerita yang disajikan tidak terlalu panjang, hanya berjumlah 73 halaman. Cerita Oey Se terbit jauh sebelum sumpah pemuda diikrarkan yakni tahun 1903. Saat ini, Cerita Oey Se masih dapat dijumpai di kumpulan karya berjudul Kesastraan Melayu Tionghoa jilid 1 bersama dengan karya-karya sastrawan Melayu Tionghoa lainnya.
Cerita Oey Se sendiri sebenarnya lebih banyak mengangkat konflik keluarga  yang mengarah pada permasalahan perkawinan antarbangsa.
Banyak hal yang menarik dari cerita karangan Thio Tjin Boen ini. Cerita ini tidak sekadar menyajikan struktur cerita yang dapat menghibur pembaca, tetapi juga mampu membawa pembacanya dapat menelisik lebih jauh budaya, bahasa, dan kehidupan masyarakat (terutama orang-orang peranakan Tionghoa) ketika cerita ini dikarang. Yang lebih istimewa, cerita ini juga menyajikan cara suatu bangsa memandang bangsa lain yang diwakilkan oleh tiga bangsa, yaitu Tionghoa, Pribumi, dan Eropa.
Untuk meneliti lebih jauh tentang keistimewaan karya Thio Tjin Boen ini, akan dilakukan analisis dengan pendekatan struktural Robert Stanton. Analisis struktural yang dimaksud juga akan dibatasi hanya analisis karakter tokoh dan latar tempat.
Karakter Oey Se dan Kim Nio dalam Cerita Oey Se
Stanton (via Pujiharto, 2012:43) mengartikan kata character dengan ‘sikap, keterikatan, keinginan, emosi, dan prinsip-prinsip moral yang dimiliki tokoh. Tokoh adalah individu-individu yang muncul dalam cerita (Pujiharto, 2010:43).
 Tokoh beserta karakter yang akan dianalisis pertama kali dalam makalah ini adalah Oey Se. Oey Se dalam Cerita Oey Se diceritakan sebagai seorang Cina Totok yang sudah tinggal lama di Pekalongan. Oey Se telah pandai memakai bahasa Indonesia dan bahasa setempat (bahasa Jawa) sehingga terkadang orang-orang pun sudah sulit membedakannya dengan orang pribumi. Hal tersebut mencerminkan bahwa pada tahun diterbitkannya novel itu, Pekalongan menjadi salah satu kota pelabuhan terbesar yang sangat strategis untuk melakukan aktivitas perdagangan antarbangsa. Dibuktikan dengan banyaknya bangsa Tionghoa dan juga Eropa yang tinggal di daerah itu.  Hal dapat dibuktikan dengan kutipan narasi berikut ini.
…si tetamu yang sesungguhnya satu Cina toto yang sudah lama sekali tinggal di Pekalongan. Oey Se namanya. Sebab itu ia pandei omong Jawa, lebih lagi di itu tempo ia berpeakeian cara orang selam maka orang tida kira bahwa orang itu satu Cina adanya (hal.181).
Thio Tjin Boen melalui tokoh Oey Se juga menggambarkan bahwa tidak semua orang Tionghoa itu kaya, tetapi ada yang sangat miskin. Namun, melalui tokoh Oey Se yang dibantu tokoh istri pertamanya juga menggambarkan masyarakat Tionghoa pandai mengembangkan usaha.
Selain itu, Oey Se juga mencerminkan orang Tionghoa yang masih sangat memegang kepercayaan terhadap huum karma. Ia percaya bahwa nasib buruk yang menimpanya adalah buah dari perbuatan tercelanya di masa lalu. Kedua hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan berikut.
Oey Se sudah tinggal di rumah lain, yang ada sedikit besar dan buka toko kecil,...makin lama tokonya makin besar dan berdagang banyak rupa macam barang (hal.190).
“Ya Allah, ya Tuhan. berat sekali tanganmu menimpa kepalaku, ach! Vigni,. Vigni…O, inilah pembalesannya. Ya Tuhan…ampun” (hal.241).
Oey Se juga digambarkan menikah lagi padahal sudah memiliki istri. Hal tersebut mencerminkan bahwa di dalam nilai tradisional Tionghoa, seorang laki-laki diperbolehkan nemiliki gunduk dan seorang istri tidak boleh menentang tindakan suaminya itu.
…lagi menurut aturan orang Cina boleh beristeri lebih dariseorang jadi si isteri tiada boleh bicara apa lagi,…. (hal. 226)
Selain Oey Se, tokoh yang mewakili orang Tionghoa dalam novel ini adalah Kim Nio. Kim Nio adalah anak perempaun Oey Se.
Awalnya, dia merupakan anak yang sangat berbakti kepada kedua orang tua. Akan tetapi, rasa baktinya terhadap orang tuanya dirasa berkurang ketika ia kawin lari dengan Regent Pekalongan.
Alasannya, karena sebetulnya orang tua Kim Nio sangat mewanti-wanti anaknya untuk tidak menikah dengan orang berlainan bangsa. Secara tidak langsung, novel ini menggambarkan bahwa pernikahan antaretnis, antar bangsa, antaragama akan sulit dilakukan. Juga digambarkan bahwa sangat sulit jika seorang Tionghoa akan menikah dengan etnis dan agama yang lain. Oleh karena itulah, orang Tionghoa lebih baik menghindari perbuatan tersebut daripada mendapatkan malapetaka.
Kim Nio menganggukan kepalanya seraya katanya: “Tapi susah sebab lain bangsa” (hal.236).
Cumah setiap malam sampe beberapa bulan lamanya di kuburannya Fatimah orang dapat denger suara perempuan mangis, dan merintih, katanya: “Gatel! gatel! gatel!” Sebab itu, orang bilang akan Fatimah itu. Cinta tanggung-Jawa wurung-mayitnya tiada diterima oleh bumi (hal.249).
Karakter Oey Se dan Kim Nio secara tidak langsung dapat menunjukkan kehidupan beserta karakter masyarakat Tionghoa pada saat karya itu ditulis. Namun, di sisi lain, ada sebuah narasi yang juga menggambarkan betapa orang Tionghoa memiliki daya saing yang begitu tinggi, seperti tercermin pada nukilan berikut ini.
Memang orang Cina tida bisa hidup rukun satu sama lain, hanya bersaingan selamanya, kalu dapat lihat satu orang ada bersobat dengan pegawai negeri, maka yang lain pun mau turt juga ambil persobatan biar dengan jalan menghabiskan banyak uang, hal itu tida lain cumah mau cari senderan (hal.215).
Karakter Merto dan Regent Pekalongan dalam Cerita Oey Se
Pada bagian sebelumnya, telah dianalisis karakter Oey Se dan Kim Nio yang merupakan representasi masyarakat Tionghoa ketika tulisan itu ditulis. Di dalam bagian ini, selanjutnya akan dianalisis karakter Merto dan Regent Pekalongan yang mencerminkan sebagai masyarakat pribumi pada saat itu.
Merto merupakan ayah dari si anak kecil yang bermain layang-layang. Merto digambarkan sebagai sosok yang bodoh dan pencuri. Merto dipandang bodoh jika dilihat dari narasinya yang mudah dikelabuhi oleh si Oey Se. Hal tersebut tampak seperti representasi pandangan orang nonpribumi terhadap pribumi yang dianggap bodoh, miskin, pencuri, dan mudah ditipu.
Tuan rumah itu Merto namanya sungguhnya bukan orang baik, ia ini orang jahat, adapun sering terjadi terbitlah kejahatan sebab kekurangan, begitu juga sesudah jadi dengan si Merto yang miskin dan sangat bodoh itu (hal.181-182).
Selain Merto, citra pribumi lain juga dihadirkan melalui tokoh Regent Pekalongan. Regent Pekalongan digambarkan sangat menyukai Kim Nio dan ingin sekali memperistri Kim Nio. Karena untuk melancarkan niat mempersunting Kim Nio, Regent Pekalongan ini menghalalkan segala cara, misalnya melakukan guna-guna dan mengirim jampi-jampi untuk Kim Nio agar takluk padanya. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa praktik perdukunan masih sangat dipercayai saat itu.
Tiada lebih baik pake saja kuasanya aer ludah (jopo=guna-guna) ia dapat ingat khiai Sentono di Dieng, itu orang tua yang masyhur dari pada pekerjaannya jadi dukun besar, kalau perkara pengrangkap buat orang perempuan belon tau gagal, lantas juga regent suruan orang pergi panggil itu dukun (hal.229).
Latar Tempat dalam Cerita Oey Se
Di dalam Cerita Oey Se, latar tempat yang paling menonjol, yaitu Pekalongan. Kota Pekalongan pada kenyataannya terletak di jalur pantai Utara Jawa yang mengubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya. Karena berada di jalur pantai yang menghubungan 3 kota besar di Indonesia itu, Pekalongan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah.
Oleh karena itulah, tidak salah apabila di dalam Cerita Oey Se gambaran Pekalongan sangat ramai dengan aktivitas perdagangannya, bahkan dengan pedagang-pedagang dari berbagai bangsa berkumpul di kota itu. Misalnya, pedagang Tionghoa, Pribumi, dan Eropa.
Penutup
Berdasarkan analisis di bagian-bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Cerita Oey Se bukan sekadar sebagai hiburan semata, tetapi merupakan salah satu karya sastra Melayu-Tionghoa yang mampu mencerminkan realitas sosial yang ada ketika karya tersebut ditulis.
Tidak hanya itu, melalui Cerita Oey Se ini juga dapat dijumpai kritik-kritik terhadap berbagai hal di antaranya, kritik terhadap orang-orang Tionghoa pada generasi tersebut yang melakukan pelanggaran terhadap norma, adat, dan tradisinya yang dicerminkan oleh tokoh Kim Nio.
Di samping itu, Thio Tjin Boen juga menyampaikan beberapa gambaran tentang hubungan antaretnis dan antarkelas sosial ketika teks itu ditulis. Misalnya hubungan antaretnis ditunjukkan oleh perkawinan antaretnis sangat menjadi sesuatu yang haram pada waktu itu. Untuk hubungan antarkelas (kelas berdasarkan pembagian kolonial: eropa, timur asing, pribumi) juga tercermin dalam Cerita Oey Se. Misalnya, penggambaran betapa bodoh dan miskinnya orang pribumi, betapa rendahnya orang pribumi pada saat itu dibanding orang Eropa atau orang Tionghoa, serta penggambaran betapa orang Tionghoa sejak dahulu sudah menguasai, memegang, dan mengendalikan laju perekonomian.
Daftar Pustaka
Pujiharto. 2012. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
0 notes
banyupadmatangi · 2 years
Photo
Tumblr media
🕉hidup adalah kumpulan kotak-kotak ajaib yang mesti dipilih dengan konsekuensi dan samskara di dalamnya. sesekali takdir bisa ditawar (dengan segala konsekuensi juga); sesekali hanya sebuah perintah: jalani saja! saat air mata tak lagi bisa memulihkan jiwa yang berongga di sana-sini, patuhlah pada Angin! hidup adalah menjalani kotak ajaib yang pernah dipilih. selanjutnya, patuhlah pada Sang Hyang Suwung 🌞🌾🌴🌹💚 ♒️ canggu, 21.09.2022 (dari catatan 19.09.2018) #soul #journey #sumarah #kediri #banyupadmatangi 📷 @bagus_dwi_nova (at Kemirahan Damarwulan) https://www.instagram.com/p/Civ6JV1PcmA/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
gajahilosophy · 4 years
Photo
Tumblr media
. . . “sometimes the strength within you is not a big fiery flame for all to see, it is just a tiny spark that whispers softly ‘You got this, keep going.’” #elephanTalk #gajahilosophy #sumarah #lifegoeson (at Indomart) https://www.instagram.com/p/CMerDpiMP0C/?igshid=1lq25nuib9ohs
0 notes
aldiraputri · 3 years
Text
"Garis Hidup dalam Sanitorium"
Tumblr media Tumblr media
Rasa bercelaru melilit erat tempat ini
Di Utara pemuda berduka mendengar kaladuta
Di Timur anak muda terlihat melepas hura
Selatan Barat pun tak luput dari rasa was-was
Matras tempat bersemayam rutin dibersihkan
Kudapan menjemukan selalu hadir di atas meja
Bilik itu sunyi kala siang, mencekam kala malam
Aroma remedi pun terendus merepih lamunan
Rambut lebatnya dulu habis tak bersisa
Kulit apiknya dulu semakin berubah pucat pasi
Massa tubuhnya terus melandai tanpa ampun
Tiada hari terlewat olehnya tanpa raga yang lara
Akan tetapi, lama kelamaan...
Bilik hening itu menjadi rumah baginya
Dirinya lambat laun berbaur dengan keadaan
Hati kecilnya perlahan berdamai dengan nasib
Sekali dua kali Ia jenuh
Tingkap persegi serta nemo di sudut bilik ialah sahib sejati
Ia suka pekarangan dari jendelanya
Ia bersyukur nemo itu sehat tidak seperti dirinya
Dalam diam, secuil asa dan sumarah bersatu
Segala hasil siap Ia sambut dengan senyum
Yakin semua itu jalan Tuhan yang paling indah
Ia berangsur-angsur ikhlas dengan segalanya
Tenang sendiri...
Menyimak detak jam dinding dan jantung
Tenang menunggu...
Jalan takdir mana yang 'kan dihadapi esok hari
Tumblr media Tumblr media
Periksa karya lain Ku dengan klik disini => 📜
Thanks I will really appreciated it!❣
12 notes · View notes
arahamreta · 3 years
Text
kembali juang!
Setelah kelimpungan yang panjang. Merapal tanpa pantang, meski lirih dalam sukma melantang. Di akhir Jumat yg mustajab waktunya, diri ini berserah, pasrah, sadrah, sumarah.
Tiada sampai malam kabar baik itu datang. Mengembang simpul, melega setengah nafas untuk kembali berjuang
1 note · View note
miftahulfikri · 5 years
Text
Dear,
Andaikan kisah cinta kita bukan kisah yang dapat terceritakan dengan baik, bukan kisah kasih yang mendapat sinar lampu perhatian yang kentara, juga bukan cerita sempurna yang mampu kita senantiasa ungkap dengan bangga,
Apakah denganku, kau akan bersedia? 
Seperti kita yang sudah pantang berbalik walau serba kurang, juga nantinya berbesar hati memeluk buruk serta cela, juga seperti keluh-kesah yang kita suarakan lewat rentang hela nafas yang panjang, serta serba rumitnya jalan hidup yang kita tempuh dalam setiap peluh, juga benih segala rencana yang kita bualkan dalam impian dan cita ,
Apakah denganku, kau tetap bersedia?
Yang pada aku dan kau terdapat sejumput sama dan secuil beda, yang pada asal-muasalnya tidak pernah saling kenal maupun sapa lalu kini berani untuk meneguhkan perasaan cinta, yang pada akhirnya satu demi satu uraian jejak hidup kita adalah tentang penerimaan dan pengorbanan, yang pada tiap jengkal usia akan dipeluk-cium oleh beribu cobaan, serta ucap doa setia yang kita genggam meski api sumarah cinta itu mungkin nantinya akan padam,
Apakah denganku, kau masih bersedia?
-miftahufk
79 notes · View notes
makarimanaily · 5 years
Text
Tentang perasaan Biasa-biasa Saja
Jika dianugerahi sebuah perasaan, saya selalu ingin memiliki perasaan biasa-biasa saja.
Ketika saya menyadari Tumblr diblokir oleh Kemenkominfo pada maret 2018 lalu karena merasa terancam sebab rumah tempat saya bebas mengutarakan isi hati dan pikiran telah digusur, saya mencak-mencak tidak keruan. Kesal sekali. Ya karena, harus dengan cara apa lagi saya melarikan isi otak dan hati dengan lega? Di mana lagi saya menemukan tempat nyaman dan aman untuk berkojah ria? (baca: meracau)
Lalu setelah seorang teman menyarankan men-download VPN untuk tetap bisa mengakses Tumblr, tanpa banyak mikir saya langsung men-downloadnya. Tentu saja ada sebagian teman yang menakut-nakuti bahwa VPN bahaya untuk ponsel, mudah terserang virus, risiko pencurian dan penjualan data dengan cara ilegal dan sebagainya. Saya waktu itu cuek-cuek saja. Karena sejauh saya memakai VPN, ponsel saya  memang masih baik-baik saja. Tidak ada kendala berarti—selain saya menyadari ketika VPN diaktifkan, ponsel saya agak lemot.
Karena bagaimanapun, seseorang yang ingin memasuki rumahnya demi merebahkan diri dengan nyaman dan utuh, meski pintunya terkunci, ia akan nekat memasuki rumahnya kendati harus melewati jendela atau genteng, bukan?
Tentu saja saya juga memiliki harapan semoga Kemenkominfo atau siapapun itu yang memiliki hak atas Tumblr, dibukakan pintu hatinya untuk memastikan bahwa Tumblr akan baik-baik saja untuk para usernya di Indonesia. Tapi tetap dengan harapan yang biasa saja.
Waktu melesat jauh, harapan itu tiba-tiba meluap perlahan, menghilang bagai diterpa angin malam. Saya sudah tidak memiliki harapan itu lagi. Semacam—saya sudah tidak berharap Tumblr akan dibuka Kemenkominfo, supaya aksesnya efisien, supaya tidak merusak ponsel, supaya tidak ribet harus mengaktifkan VPN dan supaya supaya yang lain.
Selama masa pemblokiran, saya bahkan benar-benar sudah tidak merasa riweuh membuka Tumblr menggunakan VPN. Tidak menjadikannya beban yang berarti. Karena memang sudah seperti menjadi bagian dari ritual mengakses Tumblr. Selow saja.
Lalu, beredarlah berita bahwa Tumblr dibuka lagi. Orang-orang yang merasa kehilangan rumah, bersorak sorai bahagia karena bisa memasuki rumahnya kembali dengan tanpa harus lewat jendela atau genteng. Mereka kemudian kembali berbondong-bondong menghuni Tumblr lagi.
Saya? Biasa saja. Serius saya biasa saja. Karena diblokir atau tidak diblokir, memakai atau tidak memakai VPN, saya merasa biasa saja. Selama saya masih bisa mengakses, ya sok mangga atuh mau digimanain juga. A kind of, no matter what happen, i will be okay, gitu.
Belakangan ini, ketika Vice President dari pornHub tertarik untuk mengakuisisi Tumblr, saya juga biasa saja. Tidak sekhawatir itu perasaan saya. Selama saya masih akses dan bisa meluapkan pikiran dan perasaan, why worry? Lalu, setelah Tumblr akhirnya dibeli Wordpress? Entah kenapa, saya tetap merasa biasa saja. Datar.
Intinya saya sama sekali tidak berharap dan tidak memiliki harapan. Pasrah, sadah, sumarah. Ikhlas, rela, menerima. Mau Tumblr tetap diblokir, mau Tumblr harus diakses menggunakan VPN, mau Tumblr dibeli Pornhub atau Wordpress, mau Tumblr nggak bisa diakses sekalipun, ya sudah. Biasa saja. Saya hanya menggunakan sekenanya, semau saya, semampu saya.
Saya jadi berpikir. Jika saya dianugerahi Allah sebuah perasaan, saya ingin sekali merasakan perasaan biasa-biasa saja dalam segala hal yang ada di dunia seperti dalam hal ini. Yang perasaan tersebut tidak perlu membuat saya merasa khawatir berlebihan, merasa takut berlebihan, memiliki harap-harap cemas berlebihan, juga tidak merasa was-was berlebihan.
Sebab, memiliki perasaan biasa-biasa saja  menjadikan hati saya tenang, tenteram dan aman. Sebab sesungguhnya, merasa biasa-biasa saja itu nikmat tiada tara dari Tuhan :)
77 notes · View notes