#rumah sakit mata jakarta
Explore tagged Tumblr posts
Text
Jadwal Jam Besuk RS Mata SMEC Jakarta
Penting sekali mengetahui jadwal jam besuk RS Mata SMEC Jakarta agar kunjungan Anda tidak mengganggu perawatan pasien dan berjalan dengan lancar. RS SMEC Jakarta, atau Rumah Sakit Mata SMEC, merupakan salah satu rumah sakit khusus mata terkemuka di Jakarta. Rumah sakit ini dikenal dengan fasilitas modern dan tenaga medis profesional yang berfokus pada pelayanan kesehatan mata. RS SMEC Jakarta…
View On WordPress
#Informasi Jam Besuk#Jadwal Besuk RS Mata#Jadwal Jam Besuk RS#Jadwal Jam Besuk RS Mata SMEC Jakarta#Jadwal Kunjungan RS SMEC#Jam Kunjungan RS SMEC#Jam Kunjungan Rumah Sakit#Kunjungan Pasien RS SMEC#Kunjungan RS Mata SMEC#Layanan RS Mata SMEC#Pelayanan RS Mata SMEC#RS Mata Jakarta#RS Mata SMEC Jakarta#RS SMEC Jakarta#Waktu Besuk RS SMEC
0 notes
Text
How to make millions before grandma dies (2024)
Dari scene neneknya masuk rumah sakit aja w udah mulai nangis, hehe. Agak spoiler, jadi kalau masih niat nonton di bioskop bisa di-skip aja. TL;DR it's a very good movie, you should watch it in the cinema before they take it down.
Sebenernya ceritanya nggak menye, nggak yang sengaja dibikin sedih banget untuk bikin penonton ikutan nangis, pun nggak ada adegan nangis sesenggukan dari para aktornya. Ceritanya mengalir begitu aja, keseharian seorang cucu yang berniat mengurus neneknya karena beliau sakit.
Sedihnya tuh lebih karena memproyeksikan apa yang sudah aku alami dan lihat, dan terefleksikan di kegiatan M, Amah (nenek), dan juga anggota keluarga mereka. Pas dokter bilang Amah kanker udah stadium akhir, aku jadi inget waktu bulan Oktober 2022 Mama nge-WA bilang kalau kanker nini udah metastase. Waktu itu siang di kantor, tapi abis baca WA itu aku gabisa kerja. Minta ijin untuk pulang ke Bandung, dimana sepanjang jalan di travel dari Jakarta-Bandung aku beneran gabisa berenti nangis.
Pas Amah pake kupluk setelah kemoterapinya selesai, aku liatnya itu Nini. Sejak kankernya balik lagi emang Nini jadi sering pake kupluk walau sebenernya rambutnya nggak rontok. Dingin, katanya.
Salah satu hal paling sedih dari nonton film ini adalah bagaimana penonton diajak untuk menemani M yang menemani Amah menjelang kematiannya. Perasaan bahwa hidup ini berat dan ujungnya sudah di depan mata.
Sedih banget juga adalah waktu M dan ibunya ketemu dokter untuk nanya kondisi kankernya Amah, dan dokter bilang bahwa pasien tidak menunjukkan perbaikan. Sedih banget karena aku juga merasakan pengharapan-pengharapan kecil karena buatku nggak ada yang nggak mungkin kalau Allah mengizinkan hambaNya untuk sembuh.
Jujur kalau aku nonton film ini di OTT macam Netflix gitu, aku gak yakin akan bisa menyelesaikannya di one sitting. Terlalu triggering. Keluar bioskop yah sedih banget aja gitu, keinget Nini.
13 notes
·
View notes
Text
Swargi Langgeng Pak Sugeng 🥀
"Nduk, ini pendampingan terakhirku. Kalo ga sekarang, ga tau kapan lagi bisa kesini dampingi mereka",
Kalimat itu berulang kali terucap sama beliau saat ke Pontianak 2 Minggu lalu, saat ngedampingi IKM yang sedang merintis. Aku cuma jawab, 'Sepertinya masih bisa pak kalo tahun depan akan didampingi. Ga mungkin kantor kita ngelepasin mereka.' Tapi beliau kekeuh, saat itu adalah pendampingan terakhir beliau.
Ternyata, dinas Pontianak ini benar-benar jadi pendampingan terakhir beliau. Sekaligus perjalanan terakhir dengan beliau. Sepulang dari Pontianak, aku lanjut dinas Jakarta dan mendengar beliau masuk Rumah Sakit. Sayang sekali tidak sempat ketemu karena beliau harus dirujuk ke RS di Malang atas permintaan keluarga besarnya. Hingga akhirnya harus berpulang di hari Minggu, 24 November 2024.
Hari ini, dalam kelabu kita bagi tugas yang tengah dikerjakan Pak Geng. Bentuk penghormatan dan menjalankan janji/hutang pekerjaanya kepada beberapa clien. Sesekali membacakan cerita suka duka memori kita dengan Alm dan curahan hati IKM yang pernah dibantu, mahasiswa yang pernah diajari, bahkan dosen atau customer yang tak pernah bertemu tapi bersedia diterima konsultasi dengan sangat baik oleh Alm. Semoga setiap ilmu yang diajarkan kepada kami, jadi ladang pahala dan penerang kuburmu.
Hari ini, lewat pintu gerbang workshop untuk mengecek beberapa prototype yang tadinya sedang dikerjakan oleh Alm. Lewat sini rasanya berat sekali, biasanya dari masuk saja aku sudah memanggil, 'Pak Geng, minta toloong ini..', atau sambil bawa kertas-kertas gambar desain, 'Pak, bisa kan ya dibuat gini sepatunya'. 'Pak, gimanaa sepatu yang iniii..' Tadi sore, cuma ada Pak Yudi sendirian dengan mata sembab sambil membuat prototype lain dan memutarkan murotal di mejamu.
Meskipun tahu kalo beliau sangat keras, crash, dimarahin, atau beda pendapat. Tapi untukku pribadi sebagai perantauan, merasa punya keluarga baru disini, berasa punya mentor, orang tua. Beliau jawab, 'Sabar to nduk, iki lho Bu Dian minta nyelesein ini dulu', 'Ngene lho nduk', atau 'Lupi, material ini habis, perlu belanja, tolong buatkan memo ya.' Dan banyak pekerjaan yang beririsan.
Lihat meja ini kosong dan tau kalo Pak Sugeng enggak akan pernah balik lagi, ga bisa ditanya-tanyain lagi segala pertanyaanku tentang sepatu, rasanya gabisa baik-baik saja. Keluar gerbang gabisa nahan lagi air mata.
Seperti bapak, yang mau ngajarin, kadang marah, beda pendapat, tapi banyak wejangan dan pelajaran hidup yang diberikan. Tiap dinas bareng, ada pelajaran hidup baru. Cerita reflektif tentang keluarganya, usahanya, dan suka duka hidup.
Terima kasih Pak, sudah hadir mewarnai 7 tahun saya di kantor ini. Kasih rekomendasi rute sepedaan nyaman, kuliner recomended, tentang semangatnya merintis dan menjalankan usaha, pelajaran teknis-teknis buat sepatu. Maaf segala hal yang kurang berkenan, yang sering ngeyel dikerjaan, atau agak kurang sopan.
Ternyata ini rasanya kehilangan teman, mentor, atau keluarga.
Swargi langgeng, Pak Sugeng. Allohummaghfirlahu warhamhu wa'aafihi wa'fu 'anhu.
Sidoarjo 25 November 2024
2 notes
·
View notes
Text
Sudah dua kali terhitung. Ketika adik pamit kembali merantau kuliah ke Malang, saya tidak bisa menahan tangis. Sedih karena harus berpisah dengan anggota keluarga tersayang, yang semakin akrab, sejak ibu enggak ada. Partner jajan dan sharing.
Sebenernya yang bikin berat adalah nahan air mata di detik keberangkatan. Mau nangis di depan bapak dan adik, rasanya engga bisa. Asumsi saya, bapak dan adik menilai air mata adalah tanda kelemahan. Asumsi saya lagi, saya yakin adik dan bapak sebenernya sedih tapi mereka bisa tahan. Tak sampai meneteskan air mata.
Ah, mungkin rasanya kesedihan hanya untuk orang yang ditinggalkan. Memandang punggung adik dan bapak yang makin menjauh dari rumah, berboncengan, menuju pool bus membuat saya teringat saat merantau dulu.
Orang yang pergi, rasanya senang senang saja. Malah bersiap dengan serangkaian agenda dan ambisi. Menapaki kehidupan yg asik sebagai perantau. Bapak mungkin juga tidak terlalu sedih, sebab langsung berangkat ke kantor bertemu dengan kolega. Sementara saya kembali menyelamai kesendirian di rumah.
Apa ini juga yang ibu rasakan dulu ya? Berdoa semoga mereka yang merantau dalam keadaan sehat dan diperlancar segala langkahnya.
Eh tapi ibu sih masih sama adek waktu itu, berdua di rumah.
Tapi setelah dipikir-pikir, rasanya saya saja sih yang tak pandai menghadapi perpisahan. Sejak kecil, saya selalu menangis setiap kali mudik. Saya sedih kalau sudah waktunya pulang ke Jakarta, pisah dengan keluarga di kampung halaman.
Bahkan... Waktu kuliah dulu,
Ada kalanya, sampai di dalam kereta pun saya malah menangis. Setelah melambaikan tangan ke bapak dari dalam peron-sampai malu sama rekan duduk sebelah. Dan langsung telpon ibu di rumah: "halo buu, kereta ku udah maj jalan nih, doain ya".
Tapi ya sampai Semarang saya lanjut jalani hari-hari ala mahasiswa, tenggelam dalam kegiatan yang sok menyibukan, lupa rumah.
Saya kadang bertanya-tanya, rasa rasanya cepat sekali Tuhan "membalas" karma saya. Setelah ibu enggak ada, saya seperti otomatis menggantikan perannya, termasuk menjadi manager rumah. sampai-sampai dapat peluang kerja WFH yg jadi sama persis dengan ibu.
Saya juga sedih ketika melihat adik enggak doyan makanan rumah. Says masih harus belajar untuk berbesar hati. Entah kenapa rasanya kebiasaanya menyiapkan makanan, malah terkesan tidak dihargai. Dan kalau ada anggota keluarga yang sakit, saya menyalahkan diri karena tidak bisa mengurus mereka.
.
Lagi, saya menganggap ini cara Tuhan melatih saya menghadapi perpisahan. Yang rasanya, belum lulus lulus juga.
Saya berusaha mengingatkan diri, kalau adik dan bapak saya udah dewasa dan seharusnya bisa tanggung jawab sama diri mereka sendiri.
Ternyata sampai sekarang pun saya belum lulus bab berbesar hati.
7 notes
·
View notes
Text
Yang Lekat dari Yang Lalu: Bagian Terakhir
Aku bangun lagi. Di tempat yang sama dengan terakhir kali aku terbangun. Kulihat seorang lelaki yang kulihat juga saat terakhir kali aku terbangun. Suara berdenging itu tak lagi ada, tapi badanku sangat lemas. Kian jelas kulihat sekelilingku. Aku di ruangan serba putih, terbaring di ranjang yang empuk, memakai piama yang bagus dan nyaman.
“Udah bangun, Gen?” tanya lelaki itu. Sekarang aku ingat. Dia Bono. Dia, nyala lilinku di gelapnya hidup.
“Bono? Kamu kemana aja?” tanyaku dengan suara parau. Aku mulai menangis. Air mata mengalir begitu saja dan mataku yang tadinya bisa dengan jelas melihat apapun di sekelilingku, menjadi buram lagi karena dipenuhi air mata.
“Kenapa nangis? Udah jangan nangis, kamu aman sama saya.” Bono mengusap air mataku. Bono memakai snelli yang sudah agak kusam, tapi aroma tubuh Bono begitu wangi. Aku sangat rindu Bono bahkan hingga ke aroma tubuhnya. Aku tak langsung bertanya apa yang terjadi. Bono membantuku makan karena aku cukup lapar. Melihat sekelilingku, aku tahu bahwa aku sudah berada di masa yang seharusnya. Jiwaku sudah kembali seutuhnya ke dalam tubuhku yang sejati.
Selepas makan, Bono mengajakku berkeliling. Aku tahu bahwa aku berada di rumah sakit, tapi tidak tahu di rumah sakit yang mana. Bono mendorong aku yang terpaksa duduk di kursi roda karena tubuhku masih lemas.
“Kamu tau, gak? Saya nyulik kamu.” Katanya mengawali pecakapan.
“Nyulik dari?”
“Rumah sakit jiwa di Jogja.” Jawabnya. Aku agak heran karena aku merasa tidak pernah masuk ke rumah sakit jiwa. Pikiranku normal, nalarku berjalan. Aku hanya bingung dan tidak mengerti apa yang terjadi padaku beberapa waktu yang lalu. Bagaimana mungkin aku berubah menjadi tempat pembuangan sampah, lalu melompat menjadi anak TK, lalu kembali ke masa ketika aku remaja?
“Saya ditelfon orang RSJ di sana karena biaya rawat kamu udah menggembung dan kamu gak stabil-stabil.” Oh. Ya. Memang nomor telfon Bono adalah nomor darurat yang selalu kucantumkan di formulir apapun. Entah dari mana RSJ tahu nomor Bono. Aku tidak ingat pernah menulisnya.
“Saya dateng, dan lihat tangan-kaki kamu diiket ke ujung ranjang. Saya bener-bener pengen marah sama pihak RSJ.” Nadanya terdengar kesal. Aku mendengarkan sambil mengerutkan alis karena tetap bingung. Tidak apa-apa, katanya kalau bingung berarti berpikir. Kalau aku masih bisa berpikir, berarti sebenarnya aku tidak perlu masuk RSJ. Masalahnya, aku sangat tidak ingat momen apapun dan bagaimana bisa aku masuk RSJ.
“Saya langsung bayar biaya rawat kamu, terus ngajuin untuk rujuk kamu ke sini.”
“Ke mana?”
“Jakarta.” Kursi roda terus bergulir, begitu pula dengan cerita Bono.
“RSJ melarang karena kamu belum stabil. Saya memaksa, tapi karena status saya cuman saudara satu panti, saya dianggap bukan keluarga dan gak punya hak untuk mindahin kamu ke luar kota.”
“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyulik aku dari RSJ?” Tanyaku penasaran.
“RSJ-nya emang kecil. Jadi malem-malem saya nyogok satpam buat bukain pintu dan langsung bawa kamu diem-diem.” Bono menjelaskan sambil tersenyum usil. “Emang manusia kalau udah berhadapan sama duit, langsung apapun oke.” Aku ikut tersenyum mendengarnya.
“Pak satpam dibayar berapa bantuin kamu ngeluarin aku dari sana?” tanyaku iseng.
“Sejuta.”
“Aku punya hutang berarti sama kamu.” Aku berucap sambil tersenyum.
“Bayar pake Teh Kotak sejuta, ya.” Timpal Bono sambil tertawa.
“Terus perjalanan dari Jogja ke Jakarta gimana caranya?” Aku masih belum puas dengan cerita Bono.
“Aku sewa mobil. Terus selama di jalan emang kamu tidur terus, sih. Kamu baru sadar pas udah di sini. Bangun-bangun kamu gak kenal sama saya. Kalau kata kolega saya, kamu perlu minum obat sama psikoterapi.” Bono lalu berhenti mendorong kursi rodaku, lalu berjongkok di hadapanku.
“Kemarin-kemarin, gimana sesi psikoterapinya?” Bono bertanya dengan lembut. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu, ternyata ia masih memedulikanku.
“Aku jadi tempat pembuangan sampah, jadi anak TK yang ngeliat diriku sendiri waktu TK, terus jadi aku waktu masih remaja.” Kusingkat perjalanan meranaku itu dalam satu kalimat singkat.
“Berarti kamu udah inget, ya?” Tanya Bono. Aku mengangguk.
Kami melanjutkan berjalan-jalan keliling rumah sakit. Aku dirawat beberapa hari setelahnya dan boleh pulang dengan membawa sekantung penuh obat-obatan yang harus rutin kuminum. Bono sering menjengukku karena ia juga menjadi dokter jaga di IGD rumah sakit tempat Bono membawaku. Aku pulang ke kontrakan tempat Bono tinggal. Isi kontrakannya adalah teman-teman Bono yang semuanya adalah dokter. Aku jadi punya teman lain selain Bono. Mereka semua baik kepadaku.
Bono lalu mengenalkanku kepada teman kuliahnya yang punya café di dekat rumah sakit di mana Bono bekerja. Tujuannya adalah agar aku bisa punya kegiatan dan pekerjaan. Temannya ini bertama Wijaya, tapi akrab dipanggil Koh Yaya. Koh Yaya mengajariku menjadi barista di café miliknya. Dalam dua minggu, aku sudah lihai membuat es kopi susu. Bayaranku lumayan juga untuk membayar hutangku pada Bono. Saat gajian pertama, aku langsung membeli beberapa dus Teh Kotak dan menyerahkannya kepada Bono.
“Dasar aneh!” dua kata itu yang langsung muncul saat Bono melihatku membawa dus-dus berisi minuman manis kesukaannya.
Bono merawatku hingga aku cukup mandiri untuk tinggal sendiri. Aku belum diperbolehkan jauh-jauh dari Bono, tapi aku tidak mau merepotkan dengan menumpang hidup dengannya. Sudah cukup lama aku menumpang dan menumpang. Sudah saatnya aku menopang diriku sendiri.
Di suatu malam saat aku dan Bono mencari makan, aku tiba-tiba merasa begitu bersyukur telah bertemu lagi dengan Bono. Kubilang, “Bon, makasih, ya, udah bikin aku hadir penuh dan sadar utuh di momen ini.” Bono tersenyum dan menjawab, “Yang penting kamu sekarang udah damai sama masa lalu yang melekat sama kamu selama ini.”
We accumulating tiny traumas, adaptation, and coping mechanism that all of which have compounded over time. –Brianna Wiest
Tamat
3 notes
·
View notes
Text
Lastri duduk di kursi shofa dengan bahan kulit. Saking empuknya sofa itu, lastri sampai tertidur. Bukan hanya sofa empuk yang buat dia tertidur, segelas alkohol yang beberapa menit dia teguk penyebab utamanya.
Lastri dengar, ada suara laki laki di sampingnya. Entah suara itu berucap apa, tapi suaranya lebut sekali di telinga. Peelahan dia merasakan kancing bajunya terbuka. Lastri merasakan bajunya mulai terbuka, dadanya tersentuh tangan yang entah itu tangan siapa. Lastri merasakannya, namun tak bisa berbuat apa apa.
Tubuhnya lemas, lastri merasakan sakit di bagian vaginanya. Tapi Lagi lagi lastri tak mampu bergerak. Lastri mencoba membuka mata, menggoyangkan tangannya, bahkan mencoba berteriak. Namun hasilnya nihil.
Lastri tak tahu apa yang terjadi, yang lastri rasakan hanya sakit yang dia pun menikmatinya...
Lastri mulai merasakan sesak.dadanya terasa tergencet sesuatu yang besar. Kakinya tiba tiba tertarik kearah bawah. Makin lama makin kuat tarikannya hingga tubuhnya tergeser beberapa centimeter.
BRAAAAKKKK
"Mbak, lia lo nangis terus. Aku gerebeken ngerungokno e. Njaluk susu paling" ucap suara yang memang tak asing bagi lastri.
Itu suara sulis, adik lastri.
"Ya allah lis, mbok yo seng temen ae nek nggungah"
"Mbak lo angel gugahane. Yo wes aku tak budhal ngaji sek. Assalamualaikum"
Lastri perlahan bangun, mendudukan tubuhnya di ranjang, yang diatasnya terdengar suara tangis sangat nyaring seorang bayi.
"Cup cup cup, sepurane yo nak, ibuk keturon. Luwe yo pean" ucap lastri lembut kepada anak sematawayangnya...
Sambil memberi asi lia, lastri sadar bahwa barusan ia mimpi buruk. Mimpi yang berulang kali muncul selama 2 pekan ini. Mimpi yang muncul ketika lastri mendeklarasikan dirinya ingin meninggalkan rumah dan merantau ke jakarta.
Bersambung.......
@kurniawangunadi @careerclass @bentangpustaka-blog
2 notes
·
View notes
Text
Chapter [ 3 ]
Flash Back On - 2017
Teras Rumah Jeff
Sore itu Dylan dan Jeff terlihat sedang berbincang di teras rumah Jeff, sambil menatap layar ponsel masing-masing. Sejak masuk kuliah Dylan diizinkan oleh Orang Tuanya untuk tinggal di rumah Jeff, karena saat ini Jeff tinggal sendiri dirumahnya, sementara kedua orang tua Jeff kembali pindah ke Bandung.
"Aah, teu hayang urang nonton horror!"* Jeff menolak ajakan Dylan untuk menonton film horror yang sedang booming dunia perfilman Indonesia.
“Nonton sorangan we ditu.”** Sambungnya.
“Yeu cupu!” Ledek Dylan.
Ternyata mereka sedang memperdebatkan tentang film yang akan ditonton besok sabtu, Jeff berencana mengajak Dylan berkeliling Jakarta. Jeff memasang wajah kesalnya, mendengar ledekan Dylan, dia pun berdiri dari duduknya.
"Rek kamana?"*** Tanya Dylan.
“Boker!” jawab Jeff ketus, padahal dia hanya berniat berdiri saja.
*Ahh ogah gue nonton horror! **Lo nonton sendiri aja. *** Mau kemana?
Saat Jeff berdiri, dia melihat Letta sedang berjalan didepan rumahnya, kemudian memanggilnya.
“Oii Letta!!” Jeff berteriak memanggil Letta, tapi Letta tidak menghiraukan panggilan Jeff. Dylan pun melihat Letta yang berjalan melewati rumah Jeff, terlihat Letta seperti sedang asik mendengarkan lagu.
“Pake earphone pasti tuh anak.” gumam Jeff, kemudian mengambil salah satu sandalnya, lalu berjalan ke arah pagar rumahnya, dan mengambil ancang-ancang untuk melempar sandalnya.
Dylan melihat apa yang akan dilakukan oleh Jeff, “Lo mau ngapain Letta?”
“Mancing! Manggil lah!”
“Ga usah lo lempar sendal juga.” kata Dylan. Jeff tidak menggubris perkataan Dylan, dia pun melempar Letta dengan sandalnya.
“WOII LAMPIR!!” Jeff pun berteriak dan lemparan sandalnya.
Plak!! Lemparan Jeff tepat mengenai kepala Letta.
Letta pun terkejut dan berbalik, lalu melihat wajah Jeff yang sedang tertawa. Dia langsung mengambil sendal tadi dan berlari mengejar Jeff.
“JEFF SIALAN!! SAKIT BEGOO!!!” teriak Letta sambil mengejar Jeff, Jeff pun berlari ke halaman rumahnya, Letta pun mengikuti arah lari Jeff.
Mereka kejar-kejaran di halaman rumah, Dylan hanya bergeleng-geleng dan tersenyum melihat kelakuan kedua temannya yang seperti anak-anak.
“Hahaha udah Jeff, kasian Letta.” Dylan tertawa memperlihatkan eyes smile-nya.
Jeff berlari kebelakang Dylan untuk melindungi diri dari amukan Letta.
“EH TIANG!! JANGAN NGUMPET!!” ucap Letta, karena dipikirnya tinggi Dylan tidak setinggi Jeff, dia pun melempar sandal yang ada di tangannya ke arah Jeff yang berdiri di belakang Dylan.
Plak!! Lemparan Letta tidak sampai ke Jeff, sandal yang di lempar Letta malah mengenai wajah Dylan.
Suasana yang tadinya gaduh menjadi hening seketika, memperlihatkan wajah Dylan yang memerah menahan marah.
“Untung Letta.” gumam Dylan dalam hati.
Letta pun berjalan mendekati Dylan dan meminta maaf, “Dylan sorry.” katanya dengan rasa bersalah. Letta membersihkan wajah Dylan yang terkena lemparan sendal tadi, dengan mata tertutup Dylan merasakan sentuhan tangan Letta di wajahnya. Muncul getaran aneh di dalam diri Dylan saat tangan Letta menyentuh wajahnya.
“Lo sih Jeff!!” Tuduh Letta ke Jeff.
“Lah kok gue? Lo yang lempar sendalnya.” Elak Jeff.
“Kan lo yang mulai!” Kata Letta tidak mau kalah, sekarang dia mengusap pipi Dylan.
“Udah-udah!” Dylan pun akhirnya bersuara untuk menghentikan pertengkaran mereka dan berusaha mengalihkan getaran aneh yang muncul tadi. Letta pun menjauhkan kedua tangannya dari wajah Dylan.
Dylan membuka kedua matanya dan langsung melihat wajah Letta di depan wajahnya. Satu detik, dua detik, tiga detik, hingga sekian detik, mata Dylan tidak berkedip dan menahan nafasnya saat melihat wajah Letta yang terlihat khawatir dan merasa bersalah.
“Kamu gapapa Lan?” Tanya Letta yang menyadari keterdiaman Dylan.
“Haah— gu— aku, gapapa.” Jawab Dylan tergagap.
“Cihh! Aku-kamu, dulu lo sama gue ga gitu Lett!!” Protes Jeff ke Letta.
“Suka-suka gue, sirik ajee!! Bwekk!!”
“Berisik!” Kata Dylan sambil menoyor kepala Jeff, kemudian tanpa berkata-kata dia masuk kedalam rumah.
“Kan Dylan ngambek, lo sih Jeff!!” Letta menyalahkan Jeff karena Dylan tiba-tiba masuk ke dalam rumah.
Padahal yang terjadi sebenarnya adalah Dylan hanya ingin menghindari Letta sementara, entah kenapa tadi tiba-tiba saja muncul getaran aneh dalam diri Dylan saat Letta menyentuh wajahnya.
“Huft! Gue kenapa ya?” tanyanya pada diri sendiri. Dia pun mengambil segelas air minum untuk dirinya. Sebelum kembali, dia mengambil segelas air minum lagi untuk dibawa ke teras.
Setelah Dylan merasa sedikit tenang, dia pun kembali ke teras menghampiri kedua manusia yang jarang akur jika bertemu. Dylan melihat Letta yang duduk di lantai teras sambil melihat ponselnya, sedang Jeff duduk dikursi yang tak jauh dari Letta.
“Nih minum.” Dylan memberikan Letta segelas air minum yang diambilnya tadi.
“Wuihh makasih Dylan, tau aja aku haus.” Ucap Letta tersenyum, Dylan ikut tersenyum dan tanpa sadar mengelus pucuk kepala Letta.
Jeff yang melihat Dylan memberikan segelas air minum hanya ke Letta pun protes, “Letta doang? Buat gue mana?”
“Ambil sendiri.” kata Dylan sambil tersenyum menatap Letta yang menegak minuman yang dia berikan tadi sampai habis. Jeff menyadari tatapan Dylan yang berbeda ke Letta, muncul ide cemerlang di otaknya.
“Eh Lett, lo bukannya mau nonton film Pengabdi Iblis?” Tanya Jeff tiba-tiba.
“Iya, belom ada temennya nihh. Temenin yukk—” Letta menoleh ke Jeff.
“Noh sama Dylan, dia pengen nonton juga.” Kata Jeff sambil menunjuk Dylan dengan dagunya.
Letta pun berbalik ke Dylan yang duduk disebelahnya, “Serius Lan, kamu mau nonton juga?” tanya Letta dengan mata yang berbinar. Dylan mengangguk menjawab pertanyaan Letta.
“Yes!! Akhirnya ada temen nonton.” Ucap Letta senang.
“Emang temen-temen kamu ga ada yang mau nonton?” Tanya Dylan.
“Hahaha, ya ada tapi— pada nonton sama pasangan masing-masing.” Jawab Letta manyun.
“Kamu ga punya pasangan?” Tanya Dylan menyelidik. Letta menggeleng lesu, tanpa Letta sadari Dylan tersenyum tipis mendengar jawaban Letta.
Matahari senja pun digantikan oleh rembulan yang menyinari kegelapan dimalam itu dan menemani tiga remaja yang sedang bermain kartu di teras rumah Jeff.
“Hahaha! Kalah terus Lett!” Ledek Jeff ketika Letta kalah bermain kartu untuk yang kesekian kalinya. Sejak permainan pertama di mulai, Letta hanya sekali menang. Letta memasang wajah cemberutnya mendengar ledekan Jeff, Dylan hanya menghela nafas karena sejak tadi melihat Letta dan Jeff saling meledek.
Tidak terasa malam pun semakin larut, akhirnya Letta pamit untuk pulang dan Dylan mengantar Letta dengan berjalan kaki sampai kerumahnya.
“Harusnya kamu ga usah repot-repot anter aku.” Kata Letta sambil berjalan berdampingan dengan Dylan.
“Gapapa, sekalian beli nasi goreng ke pertigaan sana.” Kata Dylan.
“Sampai!!” ucap Letta saat berhenti di pagar kayu bercat putih.
“Makasih Dylan, see you tomorrow.”
“Oh iya besok mau dijemput jam berapa?” Tanya Dylan.
“Hmm, sebelum maksi kali yah, jam sebelasan? Jadi maksi di deket-deket bioskop aja.” Usul Letta.
“Okk!!” Dylan setuju dengan usulan Letta.
“Oiya, besok aku jemput pakai motor ya.” Kata Dylan sekedar memberi informasi agar Letta memakai pakaian yang nyaman.
“Sipp, thanks Dylan.” kata Letta dan dia membuka pagar kayu tersebut.
“Aku masuk dulu ya, udah sana, nanti kehabisan nasgornya, hehe.” Kata Letta saat badannya sudah masuk setengah.
“Tadi udah pesen lewat chat kok, jadi tinggal ambil. Kamu masuk duluan aja, nanti aku baru pergi.” Ucap Dylan.
“Okk, bye Dylan see you Tomorrow.” Letta pun masuk dan menutup pagarnya.
Dylan tersenyum setelah melihat Letta masuk, dia pun melangkah menjauh dari rumah Letta untuk mengambil Nasi Goreng pesanannya. Dylan bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa saat disisi Letta, seperti ada kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Dia pun mengacak-acak rambutnya, tidak mengerti yang terjadi kepada dirinya.
***
Keesokan harinya tepat pukul sebelas siang, Dylan sudah di depan rumah Letta dengan motornya. Dylan mengirim pesan ke Letta kalau dirinya sudah sampai depan rumah Letta.
Tidak lama dari Dylan mengirim pesan, terdengar suara pagar kayu putih terbuka dan muncul Letta memakai celana jeans, kaos putih dengan outer kemeja kotak-kotak berwarna biru, dan tidak lupa dia membawa tas selempang kanvasnya.
Letta tersenyum saat melihat Dylan dan langsung menyapanya, “Hei,” Dylan menoleh ke Letta.
Dylan terpana melihat rambut panjang Letta yang di gerai begitu saja, mungkin jika Dylan tidak memakai helm, kuping Dylan akan terlihat merah, tapi untungnya saat ini dia sedang memakai helm.
“On time banget, untung aku cepet siap-siapnya,” kata Letta.
“Hello— ” Letta mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah Dylan karena melihat Dylan hanya terdiam.
“Oh iya, pake helm dulu nih.” Kata Dylan setelah sadar dari lamunannya dan memakaikan helm yang dia bawanya untuk Letta.
“Berangkat!!” Kata Letta dengan ceria sambil naik ke kursi penumpang.
***
Akhirnya mereka pun tiba di sebuah Mall Jakarta, tempat Letta selalu hangout dengan teman-temannya atau pun me time. Letta menunggu Dylan untuk parkir motornya didepan pintu masuk Mall yang ada didekat parkiran motor Basement.
Dylan menahan senyumnya saat sudah ada di hadapan Letta, “Kalo mau ketawa, ketawa aja.” Ucap Letta.
“Hahaha,” Dylan tidak tahan untuk tidak tertawa “Katanya tau jalan kesini, tapi malah salah kasih arah.” Ucap Dylan.
“Ya maklum, otak aku limit kalo buat inget jalan.” Ucap Letta.
“Hahaha iya-iya, kita beli tiket nonton dulu kan?” Tanya Dylan.
“Iya, habis itu makan siang sekalian nunggu jam tayangnya.” Jawab Letta.
Mereka melangkah masuk ke dalam Mall dan menaiki lift disana, saat di dalam lift Dylan iseng bertanya ke Letta, “Ini— kamu inget jalan ke Bioskop?”
“INGET DYLAAAN!!!” teriak Letta, untungnya di dalam lift tersebut hanya mereka berdua saja.
Dylan pun tertawa, “Hahahahaha, ga heran kalo Jeff suka gangguin kamu, seru juga gangguin kamu.”
“Jangan nyebelin kayak Jeff!” Kesal Letta.
***
“Ga nyasar kan,” ucap Letta bangga saat mereka sampai didepan Bioskop.
“Yuk, keburu kehabisan tiket.” Kata Letta sambil menarik Dylan ke dalam Bioskop dan Dylan pun mengekori Letta.
Setelah mengantri cukup panjang, Letta dan Dylan melangkah menjauh dari loket, dengan wajah Letta yang murung.
“Udah jangan cemberut.” Kata Dylan berusaha menghibur Letta.
“Coba tadi ga nyasar dulu, pasti ga kehabisan tiket.” Kata Letta menyesal karena saat perjalanan kesini tadi, mereka sempat kesasar.
“Kalau besok gimana? Kamu bisa?” Tanya Dylan.
“Hmm ga tau. Besok rencana mau pergi sama Bunda sama Nando.” Jawab Letta lesu.
“Kalau besok bisa kabarin aku aja, kita langsung janjian disini, gimana?” Dylan berusaha memberikan saran, agar mood Letta kembali membaik.
“Liat besok ya.” Kata Letta dan dia berjalan pelan menjauhi Dylan.
Karena moodnya yang memburuk, dia hanya diam selama berjalan menelusuri lantai Mall. Dylan pun ikut terdiam juga, hanya mengikuti Letta dari belakang. Dia berpikir keras, bagaimana caranya mengembalikan mood Letta.
Kemudian Dylan pun teringat tempat makan yang disarankan oleh Jeff sebelum dia berangkat tadi. Dia pun menyusul Letta, menyamai langkahnya dengan Letta.
“Lett—“ Dylan memanggil Letta saat langkahnya sejajar dengannya.
“Hmm.” Letta hanya bergumam menjawab panggilan Dylan.
“Kamu ga laper?” tanya Dylan, Letta menggeleng menjawab pertanyaan Dylan.
“Yakin?” Tanya Dylan lagi.
“Yakin.” Jawab Letta, tapi ga berapa lama terdengar suara dari perut Letta.
Kruyukk…
Mereka pun berhenti melangkah, Letta menatap Dylan dengan cengiran. Mulut bisa berbohong, tapi perut tidak bisa berbohong.
“Hehe, kedengeran ya?” Tanya Letta malu.
Dylan tersenyum, “Makan yuk, aku juga laper,” ajak Dylan. “Sebelum jemput kamu tadi, Jeff kasih rekomen tempat makan.” Kata Dylan.
“Oiyah? Dimana?” Tanya Letta penasaran, karena kalau Jeff yang kasih saran pasti aneh-aneh.
“Kalau ga salah nama tempatnya Soto Gebrak.” Jawab Dylan dengan semangat.
“Ohh aku tau, itu tempat langganan aku sama yang lain. Ayokk!!” Kata Letta dengan semangat, kemudian merangkul lengan Dylan untuk segera menuju tempat Parkir Motor. Dylan pun tersenyum senang melihat mood Letta perlahan kembali membaik.
***
Soto Gebrak
Akhirnya mereka pun sampai ke tempat makan atas rekomendasi Jeff. Letaknya ga jauh dari Mall yang mereka datangi tadi, warung soto tersebut terletak disebuah ruko dipinggir jalan.
“Halo Bang!!” saat masuk ke tempat tersebut Letta menyapa penjual Soto yang sudah dikenal.
“Eh mbak Letta, apa kabare? Udah lama ga kesini.” Kata penjual Soto itu.
“Sibuk kuliah bang, maklum baru masuk, banyak tugas. Hehehehe, pesen dua kayak biasa ya bang.” Kata Letta sambil mengajak Dylan duduk, ga jauh dari gerobak soto yang terletak didepan.
“Tumben si Jeff nyaranin tempat yang bener.” Gumam Dylan, saat mereka sudah duduk dan menunggu hidangan soto disajikan.
“Emang selain kesini, dia nyaranin kemana?” Tanya Letta.
“Halfway.” Jawab Dylan singkat.
“Hahaha, emang kamu tau itu tempat apa?”
“Bar kan?”
“Hahaha, tau juga kamu?”
“Aku langsung searching di Internet, makanya tau.”
Letta tertawa hingga ingin menangis, melihat kepolosan Dylan.
“Kamu pernah kesana?” Tanya Dylan.
“Belom pernah, Leo sama Kak Sammy yang sering kesana,” Jawab Letta. “Pernah pengen ikut, tapi ga dikasih sama Leo, katanya bocah ingusan kayak lo ga usah coba-coba ke bar.” Lanjutnya sambil meniru gaya bicara Leo.
Dylan tersenyum mendengar jawaban Letta dan tiba-tiba terdengar suara gebrakan dari gerobak soto.
BRAKK!!!
Dylan pun terlonjak kaget, “Astaga!!”
“Abangnya kenapa marah-marah?” Tanya Dylan.
“Ga marah-marah, emang gitu khasnya. Gebrakin botol kecapnya ke papan itu.” Jelas Letta sambil menahan tawanya melihat ekspresi Dylan.
“Ohh makanya namanya Soto Gebrak?!!”
BRAKK!! Bunyi botol yang dibanting terdengar lagi dan Dylan pun terlonjak kaget lagi.
“Hahahhaha.” Akhirnya Letta pun tidak tahan untuk tidak tertawa.
“Nyesel aku bilang Jeff nyaranin tempat yang bener.” sesal Dylan.
Dylan terdiam melirik Letta yang masih menertawainya, “Kamu tau?”
“Ya tau lah, aku sering kesini sama Jeff, Leo, Kak Sammy. Hahahaha.” Letta tertawa lepas dan sudah melupakan acara nontonnya yang gagal.
Dylan merasa dibodohi oleh Letta dan Jeff, ingin rasanya marah, tapi ditepisnya amarah itu ketika melihat tawa Letta yang lepas.
“Sotonya enak kok, makanya aku sering kesini,” kata Letta setelah menormalkan nafasnya karena tertawa tadi. “Jeff ga salah rekomendasiin tempat ini.” Lanjutnya.
“Silahkan sotonya.” Akhirnya pesanan mereka jadi dan langsung diantar oleh Abang Sotonya.
“Pacarnya mbak?” Tanya Abang Soto penasaran setelah menaruh kedua mangkuk di meja tempat Letta dan Dylan.
“Temen bang, jangan ngadi-ngadi.” Jawab Letta.
Entah mengapa perasaan Dylan sedikit kecewa mendengar jawaban Letta barusan. Perasaannya seperti ingin dianggap lebih dari sekedar teman oleh Letta, “Mikir apa sih lo Lan!” Pikirnya.
“Kalian—“ Si Abang mengambil jeda, “Bakal jadi nih, tapi lamaaaa banget.” Lanjut Abangnya seperti bisa melihat masa depan mereka.
“Yaelah bang, jangan mulai,” kata Letta dengan wajah memelas, lalu sekilas melirik ke Dylan, “Tuh temen saya jadi diemkan.” Lanjutnya.
“Haha, mas—“
“Dylan.” Ucap Dylan pelan.
“Mas Dylan harus sabar sama mbak Letta,” kata si Abang.
“Sama ikhlas juga.” Lanjut abangnya, kemudian dia langsung berlalu, karena ada pengunjung yang datang.
Dylan tidak mengerti maksud perkataan abangnya barusan dan bertanya ke Letta, “Maksudnya?”
“Ga usah dipikirin, emang suka gitu abangnya,” jawab Letta.
“Di coba Sotonya, pasti ketagihan.” Kata Letta.
Dylan pun akan menyuap kuah soto tersebut, namun—
BRAKKK!!!
Lagi-lagi suara gebrakan botol kecap terdengar lagi, membuat Dylan terlonjak kaget dan kuah sotonya terciprat ke wajah Dylan.
“Hahahhahaha.” Letta tertawa melihat Dylan dan mengambil selembar tisu untuk mengelap wajah Dylan yang kecipratan kuah soto.
“Gimana, enak?” Letta tersenyum melihat ekspresi wajah Dylan.
“Belom sempet nyuap, udah dikagetin Lett.” Jawab Dylan dengan wajah cemberutnya dan Letta pun kembali tertawa.
Tak terasa waktu pun cepat berlalu, setelah makan siang di Soto Gebrak tadi, Letta mengajak Dylan untuk keliling Kota Jakarta hingga malam pun tiba.
Tepat pukul 8 malam, mereka sampai di depan rumah Letta.
“Makasi Dylan.” Ucap Letta setelah dia turun dari boncengan sambil memberikan helmnya ke Dylan.
“Harusnya aku yang makasih sama kamu, udah ngajak aku jalan-jalan,” kata Dylan sambil turun dari motornya dan bersandar di kursi motor. “Oh iya, jadi mau coba nonton besok?” Tanya Dylan.
Letta berpikir sejenak, “Hmm, kayaknya minggu depan aja deh,” jawab Letta. “Aku ga enak sama Bunda kalau besok qtime kita keganggu. Gapapa kan?” Lanjutnya.
“Gapapa, santai aja kok,” jawab Dylan. “Sebenernya kalau mau nonton film yang lain aku ga masalah juga sih.” Lanjutnya.
Tiba-tiba muncul ide dibenak Letta, “Ahh gimana kalau setiap ada film baru, kita nonton sambil hangout bareng?” Usul Letta.
“Kita berdua aja gitu?” Tanya Dylan.
Letta mengangguk, menjawab pertanyaan Dylan. Dalam hati, Dylan bersorak kegirangan, “Yes!!”
“Ok, mulai sekarang sampai seterusnya kita selalu nonton bareng kalau ada film baru yang menurut aku atau kamu yang recomended.” Dylan menyetujui usulan Letta.
“Ok janji ya.” Tanpa mereka sadari, mereka membuat janji, janji yang sangat sederhana, tapi disuatu hari nanti salah satu dari mereka akan mengingkari janji tersebut dan dapat melukai perasaan salah satu dari mereka juga.
Flash Back Off
—tbc
#the rose#the rose kband#the rose au#alternative universe#bahasa indonesia#hajoon#woosung#dojoon#jaehyeong#the rose hajoon#onewe#onewe kband#onewe au#yonghoon#kanghyun#harin#dongmyeong#cya#onewe yonghoon#juicy story#juicy story-you're the reason
6 notes
·
View notes
Text
Silaturahmi Muhammadiyah dan Persis di Pamanukan, Juli 1937
Awal abad ke 20 merupakan pasar raya organisasi sosial politik keagamaan di Indonesia. Imbas dari kebijakan politik etis yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka mata bagi sebagian masyarakat Indonesia yang kemudian tercerahkan. Strategi melawan Belanda tak lagi konfrontatif, melainkan melalui cara-cara elegan dalam menaklukan penjajahan.
Ada yang bergerak secara politik seperti Sarekat Dagang Islam yang kemudian bersalin rupa menjadi Sarekat Islam pada 1911, atau ada juga yang “melawan’ secara gradual dengan cara mencerdaskan umat Islam Indonesia pada khususnya yang telah terjerembab pada kebodohan dan keterbelakangan.
Muhammadiyah dihadirkan pada 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, salah satunya agar Islam itu berkemajuan bukan berkemunduran. Kiai Dahlan menganalisis bahwa kalau ada yang sakit bukan dibawa ke dukun, tapi ke dokter. Bahwa Islam tak mengkotak-kotakan antara ilmu agama dan juga ilmu umum, semua ilmu berasal dari Allah Swt.
Kiai Dahlan tak segan menjadi tameng atas ijtihad yang dilakukannya dalam meluruskan arah kiblat, mendirikan perpustakaan, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan amal sosial lain yang berimplikasi luas. Sebelas tahun setelah pendirian Muhammadiyah, di Bandung lahirlah Persatuan Islam (Persis) yang diinisiasi oleh Haji Zamzam dan Tuan Guru Ahmad Hassan.
Dalam sejarah sosial keagamaan Indonesia, Muhammadiyah dan Persis dimasukkan dalam kategori organisasi Islam modernis. Sebagaimana namanya gerakan, tentu tak hanya diam di satu tempat belaka, namun lambat laun menyebar, mula-mula di Jawa lalu ke pelosok Indonesia. Muhammadiyah yang berawal di Jogja kemungkinan besar sampai ke wilayah Subang melalui jalur pantura Pamanukan Ciasem yang pada waktu itu sudah menjadi lintasan ramai di Pulau Jawa.
Barangkali dibawa oleh para pedagang yang hilir mudik antara Jogja dan Jakarta. Sedangkan Persis bisa sampai di Subang tentu saja tak sulit karena jaraknya yang tak terlalu jauh antara Subang dan Bandung.
Walaupun secara administratif Subang belum lahir, karena Subang baru secara resmi berdiri pada 5 April 1948. Secara geografis, wilayah Subang sekarang mungkin dikelola oleh Purwakarta. Kalau tak salah dahulu Subang merupakan sebuah kawedanan yang dipimpin oleh seorang wedana. Barangkali Subang bukan juga daerah kesohor dari segi pariwisata atau lainnya.
Yang menjadi andalan dan sering disebu-sebut bahwa Subang merupakan daerah perkebunan dari Tangkuban Perahu di sebelah selatan hingga ke bagian utara di daerah Pamanukan Ciasem. Mungkin karena dua nama daerah ini yang sudah dikenal, maka tak heran perusahaan besar yang sedang manggung dan legendaris bernama “Pamanoekan & Tjiasem Land”. Sekarang sudah dinasionalisasi menjadi BUMN perkebunan bernama PTPN.
Nah, karena Muhammadiyah dan Persis merupakan dua organisasi yang banyak persamaannya maka keduanya bisa leluasa bertemu. Seperti yang pernah terjadi dalam sebuah pertemuan di tanggal 11 Juli 1937 puluhan tahun silam. Jangan bayangkan suasananya seperti sekarang. Pada tahun-tahun tersebut Muhammadiyah dan Persis masih dianggap asing oleh sebagian masyarakat yang belum mengerti. Barangkali karena berbeda dengan adat kebiasaan masyarakat waktu itu.
Sebagai contoh, dari Koran Pemandangan edisi Sabtu 17 Juli 1937 kami mengais informasi bahwa pada malam senin beberapa hari sebelumnya, di rumah seorang yang bernama Haji Ichsan telah diadakan pertemuan antara pengurus Persis cabang Pamanukan dan pengurus Muhammadiyah cabang Sukamandi.
Ini menunjukkan bahwa Persis dan Muhammadiyah sudah tersebar ke wilayah pantura dari tempatnya berasal. Dan yang menarik adalah di Pamanukan sekarang terdapat ruas jalan yang diberi nama “Jalan Haji Ikhsan”, apakah pemberian nama jalan ini merujuk pada rumah Haji Ichsan yang menjadi tempat pertemuan Muhammadiyah dan Persis? Perlu penjelasan lebih lanjut.
Disebutkan dalam surat kabar tersebut bahwa dari Persis hadir kurang lebih 25 orang yang merupakan pengurus inti dan sejumlah anggota. Diantaranya adalah Tuan Hoessein yang merupakan ketua, sekretaris yang bernama Haroen, dan Atmawidjaja sebagai bendahara. Beberapa ada yang berprofesi sebagai guru Taman Siswa. Disebutkan juga bahwa Tuan Ichsan adalah adviseur atau penasehat Persis pada waktu itu.
Dari Muhammadiyah hadir Tuan Moerif selaku ketua, Djakasasmita selaku sekretaris, dan Sajat Malik sebagai ketua muda. Pertemuan itu dibuka langsung oleh Haji Ichsan selaku tuan rumah kurang lebih pada pukul 9 malam. Pemandangan melaporkan bahwa “Sesoedah awes salam kepada hadlirin, dengan ucapan membahagiakan kedatangannja hadlirin semoea setjara biasa dan mentjeritakan poela maksoednja pertemoean pertemoean ini, jaitoe pertama mengeteh dengan koeweh2 marhaen sambil mengenalkan kawan2 se-Igama dp. satoe dengan lainnja.
Istilah menarik yang disebut oleh redaksi Pemandangan yaitu "Koeweh2 marhaen". Mungkin kue-kue yang biasa dijumpai di tengah masyarakat. Mengambil istilah yang saat itu diperkenalkan oleh Bung Karno.
Selanjutnya, dalam pertemuan tersebut dimaksudkan bahwa Persis akan mendirikan madrasah sebagai upaya pengajaran bagi masyarakat Pamanukan pada khususnya. Di akhir pertemuan, Persis mengutarakan bahwa tak lama lagi akan dibentuk komite persiapan pendirian madrasah di Pamanukan. Adanya silaturahmi Muhammadiyah dan Persis di Pamanukan pada Juli 1937, menunjukkan bahwa kedua organisasi Islam modernis ini sudah eksis pada waktu itu, dan karena kesamaan corak perjuangan, keduanya bahu membahu membuat lembaga pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya.
Kini, di Pamanukan sudah ada Pimpinan Cabang Persatuan Islam yang merupakan bagian dari Pimpinan Daerah Persis Subang. Sedangkan Muhammadiyah Sukamandi berubah menjadi Pimpinan Cabang Ciasem yang merupakan bagian dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah Subang.
0 notes
Text
Nik menatap layar ponselnya sekali lagi. Ibu jarinya menarik maju dan mundur kursor di garis berwarna hijau itu dengan ragu-ragu. Tampak noda minyak dari jarinya ikut membentuk garis serupa di layar.
Nik mengurut kepalanya yang tidak sakit. Dia sudah bolak-balik membuka aplikasi itu dalam seminggu ini. Seumur hidupnya, dia tidak pernah berhutang dalam bentuk apapun. Bahkan penawaran kartu kredit dari bank pun tidak pernah dia terima. Tapi kali ini, Nik kehabisan cara.
Atap dapur kontrakan kecilnya itu jebol sudah 3 hari. Dua ekor musang lolos jatuh ke bawah, berlari panik di dapur dan berakhir menjatuhkan beberapa piring dan gelas hingga pecah. Karena dapur berantakan, Nik tidak bisa memasak bekal dan terpaksa beli makanan di luar setiap hari. Belum lagi cicilan-cicilan benda yang sudah mulai dia sesali karena membelinya semata-mata karena tidak ingin merasa tertinggal tren terbaru.
Nik punya tabungan, tapi memang disiapkan untuk membeli motor dan tiket konser grup musik kesayangannya. Nik punya orang tua yang lengkap, tapi sebagian besar hidupnya diurus kakak tertua Nik. Tentu Nik tidak sampai hati untuk meminta kakaknya juga.
Pontang-panting Nik bekerja, ternyata tambahannya segitu-segitu saja. Dia sampai bingung; orang-orang bisa punya penghasilan banyak sekali itu kerjanya apa?
Hari ini, kakak Nik menelepon. Anaknya dirawat di RS karena kecelakaan motor. Pengobatannya tidak ditanggung asuransi pemerintah, pun tidak bisa klaim asuransi jiwa karena anaknya masih di bawah umur, belum seharusnya membawa kendaraan sendiri. Tapi harus operasi, karena kaki kanannya patah. Kakak Nik mau pinjam uang. Nik gelisah.
Nik tahu dirinya tidak kaya. Tapi juga tidak bisa dibilang layak menerima bantuan sosial. Menengah, kalau kata warga. Nik mampu berlangganan layanan film digital, tapi tetap tidak cukup mampu membeli sepetak rumah di ibukota. Belakangan, Nik beli mi instan saja harganya sudah bertambah 2000 dari harga sebelumnya. Sementara, deretan potongan di slip gaji Nik juga makin bertambah.
Kali ini kepalanya mulai sakit sungguhan. Ponselnya ia letakkan di meja. Nik berdiri dan menatap keluar jendela gedung kantornya.
Di kepalanya, dia menghitung. Kalau bayar tukang dan beli bahan-bahan material untuk renovasi dapurnya kira-kira habis sekian, lalu untuk cicilan-cicilannya kurang lebih sekian, ditambah uang untuk operasi keponakannya jadi sekian. Di tengah hitungannya, dia tersadar sesuatu.
Selama ini dia beli botol minum, tas, sepatu, bahkan ponselnya, seringkali dicicil. Bukannya itu bentuk hutang juga? Toh dia bisa lunasi setiap tagihannya. Kalau begitu, apa bedanya dengan yang kali ini? Pada akhirnya kan namanya hutang yang penting terbayar. Apa yang dia khawatirkan? Ada penyedia layanan jasa yang memberi solusi dari masalahnya, kenapa dia harus ragu-ragu? Kalaupun memang pada akhirnya dia tidak bisa lunasi, nanti tinggal cari pinjaman lain kan? Sudah banyak penyedia jasa serupa. Bahkan dari hasil pencariannya seminggu ini, yang mangkir tidak membayar dengan berbagai tips dan trik juga banyak, dia bisa coba salah satunya kalau perlu.
Lagipula memangnya dia punya pilihan lain?
Nik kembali meraih ponselnya. Dengan gerakan yang yakin, dia menggeser kursor hingga garis hijaunya berhenti di angka 10 juta. Dia menarik napas sebentar, lalu jarinya bergerak lagi sampai angka 15 juta.
Matanya terpejam sebentar. Jantungnya berdetak cepat. Dengan tidak kalah cepat, Nik memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Nik tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang dia lakukan benar atau salah. Yang Nik tahu, dia butuh uang. Titik.
--------
gambar 4: jendela lantai 6 salah satu RS di Jakarta Selatan, 2023
1 note
·
View note
Text
Jawaban Doa Jenna
Jenna menatap kosong dinding di hadapannya. Ia bingung. Baru saja ia menerima email yang memberitahukan bahwa ia mendapatkan pekerjaan yang ia impikan. Ia tinggal menandatangani kontrak di wawancara terakhir besok. Sejak kuliah, Jenna bermimpi untuk mendapat pekerjaan di perusahaan besar dengan gaji tinggi, dan fasilitas memadai. Setelah 2 tahun bekerja di perusahaan kecil saudaranya, akhirnya impiannya tercapai. Sedikit lagi.
Jenna melirik sedikit ke arah tangannya, lunglai, kepala hingga punggung ia sandarkan sepenuhnya ke dinding. Di tangan kanannya, ia menggenggam asal-asalan telepon genggamnya. Percakapan dengan adiknya masih terpampang di aplikasi berlogo hijau, ada tanya yang belum ia balas.
Mimi: "Kak ..."
Kamu: "Apa kabarmu dan ibu? Semua baik-baik? Tumben kamu chat kakak duluan."
Mimi: "Ibu masuk rumah sakit lagi, Kak. Kali ini ia belum sadar dari jatuhnya di kamar mandi semalam. Kapan kamu pulang?"
Jejak air mata masih tersisa di pipinya. Ia tak tahu harus bagaimana. Jenna harus memilih. Pulang kampung ke Padang, atau tetap di Jakarta sini dan besok mendatangi wawancara terakhir.
Hati kecilnya berteriak, "Kalau kamu masih ingat dunia akhirat, kamu pasti akan memilih pulang ketemu ibumu yang sakit parah itu."
Suara di dalam kepalanya mendebat, "Ini kan impianmu sejak dulu, gajinya juga besar. Kapan lagi kamu mendapat kesempatan ini? Ibumu juga pasti butuh uang untuk berobat, kan?"
Sudah 15 menit Jenna tak bergerak, masih bingung, dan tak bisa memutuskan. "Tuhan, bisakah Kau saja yang memutuskan untukku?" Jenna pasrah, berdoa meminta petunjuk.
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering, adiknya menelepon. Cepat, Jenna menjawab telepon itu. "Ada apa? Ibu gimana?"
Ia hanya mendengar isakan adiknya. Jenna takut, detak jantungnya berhenti sekejap. "Mimi, ada apa? Kenapa kamu menangis? Bukan karena ibu, kan?" Suara Jenna mulai bergetar, sesak di dada naik sampai kadar oksigen di kepala terasa menyusut seketika.
"Ibu ... Sudah tidak ada, Kak ... Kita harus gimanaaa?!!" Mimi tak kuat menahan sakit di ulu hatinya, ia menjerit dalam isak putus asa, sedih, dan frustrasi lewat telepon itu.
Tuhan menjawab doa Jenna dengan cara yang tak bisa ditawar. Jenna pulang ke Padang sore itu juga.
1 note
·
View note
Text
Griya Seroja Rumah Impian di Jakarta Selatan
1. Pendahuluan Rumah Impian di Jakarta Selatan
Jakarta Selatan selalu menjadi primadona bagi mereka yang mendambakan tempat tinggal strategis dengan fasilitas lengkap. Kawasan ini bukan hanya terkenal sebagai pusat gaya hidup modern, tetapi juga memiliki nilai investasi yang terus meningkat. Nah, kalau kamu sedang mencari rumah murah Jakarta Selatan, Griya Seroja bisa jadi pilihan yang sempurna!
Griya Seroja hadir menawarkan keistimewaan untuk keluarga maupun profesional muda. Dengan harga kompetitif mulai dari rumah harga 2,8M di Jakarta Selatan, kamu bisa mendapatkan hunian mewah dengan fasilitas lengkap. Griya Seroja bukan hanya sebuah rumah, tapi juga tempat di mana kenyamanan dan gaya hidup modern berpadu harmonis.
2. Lokasi Strategis Griya Seroja Griya Seroja terletak di jantung kawasan premium Jakarta Selatan, tepatnya di area Pesanggrahan. Lokasinya yang strategis memudahkan akses ke berbagai fasilitas umum, seperti pusat bisnis, sekolah-sekolah ternama, dan rumah sakit internasional. Kamu hanya butuh beberapa menit untuk menjangkau tempat hiburan populer seperti mall atau kafe kekinian.
Mencari rumah murah di Jagakarsa di bawah 3M dengan aksesibilitas yang luar biasa? Griya Seroja memenuhi semua kebutuhan itu! Tinggal di sini berarti kamu tak perlu khawatir soal kemacetan atau jarak, karena semuanya sudah di depan mata. Lokasinya yang dekat dengan pusat kota membuat Griya Seroja sempurna bagi kamu yang aktif dan dinamis.
3. Fasilitas Lengkap untuk Kebutuhan Modern Griya Seroja dirancang untuk memberikan pengalaman tinggal yang tak terlupakan. Setiap rumah dilengkapi dengan kolam renang pribadi, area hijau yang luas untuk relaksasi, dan sistem keamanan 24 jam dengan teknologi canggih. Semuanya dirancang untuk memastikan kenyamanan dan keamananmu.
Ingin rumah dijual di Jakarta Selatan harga 3M yang memberikan fasilitas sekelas resort? Griya Seroja adalah jawabannya! Fasilitasnya yang modern membuat hunian ini menjadi investasi yang tepat untuk keluarga maupun individu yang mengutamakan gaya hidup berkualitas tinggi.
4. Desain Modern dengan Sentuhan Elegan Setiap rumah di Griya Seroja mengusung desain arsitektur modern yang elegan. Detailnya dirancang dengan sempurna untuk menciptakan suasana nyaman sekaligus mewah. Interiornya menggunakan material berkualitas tinggi, dengan tata ruang yang fungsional dan estetik.
Mencari rumah harga 2,8M minimalis yang tetap memancarkan aura eksklusif? Griya Seroja menawarkan rumah yang tak hanya cantik di luar, tapi juga fungsional di dalam. Dengan desain yang mengutamakan kebutuhan keluarga modern, setiap sudut rumah ini akan membuatmu betah untuk tinggal lebih lama.
5. Lingkungan yang Ramah dan Eksklusif Griya Seroja bukan hanya soal rumah yang indah, tapi juga tentang lingkungan yang mendukung. Kawasan ini dihuni oleh komunitas ramah dan harmonis, cocok untuk keluarga muda yang ingin membesarkan anak-anak di lingkungan sehat.
Jika kamu mencari rumah dijual Jagakarsa 3M yang memiliki suasana eksklusif, Griya Seroja menawarkan itu semua. Dengan fasilitas pendukung seperti taman bermain dan jalur jogging, kamu dan keluarga akan merasa seperti tinggal di perumahan kelas dunia.
6. Keuntungan Investasi di Jakarta Selatan Jakarta Selatan adalah salah satu kawasan dengan pertumbuhan nilai properti tertinggi. Membeli rumah murah di Jakarta Selatan seperti Griya Seroja adalah investasi jangka panjang yang menguntungkan. Selain lokasi yang strategis, permintaan properti di sini selalu tinggi.
Dengan harga mulai dari rumah harga 2,8M di Jakarta, Griya Seroja menawarkan potensi keuntungan besar di masa depan. Jangan sampai kesempatan ini terlewat, karena memiliki rumah di kawasan bergengsi adalah langkah cerdas untuk stabilitas finansialmu.
7. Penawaran dan Proses Pembelian yang Mudah Buat kamu yang ingin memiliki rumah harga 2,9M, Griya Seroja menawarkan berbagai opsi pembayaran yang fleksibel. Mulai dari cicilan ringan hingga promo khusus, semua dirancang untuk memudahkan proses pembelian. Kamu juga akan dibantu oleh tim pemasaran profesional yang siap memberikan panduan lengkap.
Tak hanya itu, transparansi dalam proses transaksi menjadi prioritas di Griya Seroja. Jadi, kamu bisa membeli rumah Jakarta impianmu tanpa rasa khawatir. Hubungi tim pemasaran sekarang juga untuk informasi lebih lanjut!
8. Kesimpulan Pilihan Tepat untuk Masa Depan Anda Griya Seroja adalah jawaban untuk kamu yang mencari rumah murah di Jagakarsa di bawah 3M dengan fasilitas lengkap, lokasi strategis, dan desain elegan. Dengan segala kelebihannya, hunian ini tak hanya menjadi tempat tinggal, tapi juga investasi masa depan yang menjanjikan.
Jangan tunggu terlalu lama! Kunjungi Griya Seroja hari ini dan temukan rumah impianmu di kawasan bergengsi Jakarta Selatan. Pastikan kamu menjadi bagian dari komunitas eksklusif ini sebelum unitnya habis!
Hubungi Kami Segera : Telepon/Whatsapp : 0822-8000-3848
Website : https://griyaseroja.com/
0 notes
Text
Menemukan Kedamaian di Griya Seroja
1. Pengenalan Griya Seroja: Rumah Dijual Jakarta Selatan dengan Fasilitas Lengkap
Selamat datang di Griya Seroja, tempat di mana impian hunian Anda menjadi nyata! Sebagai salah satu rumah dijual di Jakarta Selatan, Griya Seroja menawarkan kombinasi sempurna antara kenyamanan, fasilitas lengkap, dan lokasi strategis. Tidak hanya itu, hunian ini juga memiliki suasana yang asri, sehingga cocok untuk keluarga yang mendambakan ketenangan di tengah kota.
Mengapa harus memilih Griya Seroja? Dengan berbagai fasilitas modern seperti taman bermain, area olahraga, dan keamanan 24 jam, Griya Seroja memprioritaskan kenyamanan penghuninya. Tak heran jika properti ini menjadi pilihan utama bagi mereka yang mencari rumah murah di Jakarta Selatan dengan kualitas premium.
2. Lokasi Strategis Griya Seroja di Jakarta Selatan
Griya Seroja terletak di kawasan Pesanggrahan, sebuah area yang terkenal dengan aksesibilitasnya. Dari hunian ini, Anda bisa dengan mudah menjangkau pusat bisnis, sekolah ternama, dan pusat perbelanjaan hanya dalam hitungan menit. Sebagai bagian dari rumah murah Jakarta Selatan, lokasinya memberikan nilai tambah yang sulit diabaikan.
Bagi Anda yang aktif dan dinamis, tinggal di Griya Seroja berarti menghemat waktu perjalanan. Dekat dengan Tol JORR dan stasiun MRT, rumah ini menawarkan kenyamanan mobilitas tanpa kompromi. Selain itu, area ini memiliki potensi investasi tinggi, menjadikannya pilihan ideal untuk properti di masa depan.
3. Fasilitas Eksklusif Griya Seroja: Kenyamanan dalam Satu Atap
Griya Seroja hadir dengan fasilitas yang dirancang untuk mendukung gaya hidup modern. Mulai dari taman hijau yang luas, jogging track, hingga area olahraga, semua tersedia di dalam kompleks. Hunian ini juga dilengkapi dengan sistem keamanan canggih, menjadikannya salah satu rumah dijual Jakarta Selatan harga 3 M yang paling aman dan nyaman.
Fasilitas di Griya Seroja tidak hanya lengkap, tetapi juga berkualitas tinggi. Anda tak perlu lagi keluar rumah untuk menikmati waktu santai bersama keluarga. Bandingkan dengan rumah murah Jagakarsa di bawah 3 M, dan Anda akan melihat bahwa Griya Seroja menawarkan nilai lebih dengan harga yang kompetitif.
4. Desain Interior dan Eksterior Modern di Griya Seroja
Desain di Griya Seroja benar-benar memikat! Eksteriornya mengusung gaya minimalis modern dengan sentuhan elegan, sementara interiornya dirancang untuk memberikan kenyamanan maksimal. Jika Anda mencari rumah harga 3 M di Jakarta Selatan, Griya Seroja menawarkan tata ruang yang fungsional dan estetis.
Tidak hanya itu, penggunaan material berkualitas tinggi memastikan bahwa setiap sudut rumah terlihat menawan sekaligus tahan lama. Berbeda dengan rumah 3 M minimalis lainnya, Griya Seroja menonjol karena perhatian pada detail yang memanjakan mata dan hati.
5. Lingkungan Sekitar Griya Seroja: Mendukung Gaya Hidup Urban yang Dinamis
Salah satu daya tarik Griya Seroja adalah lingkungan sekitarnya. Berada di area Pesanggrahan, hunian ini dikelilingi oleh berbagai fasilitas seperti sekolah internasional, rumah sakit berkualitas, dan pusat perbelanjaan modern. Tak heran jika banyak keluarga memilihnya sebagai rumah dijual di Jakarta Selatan harga 3 M terbaik.
Selain itu, suasana lingkungan yang hijau dan ramah anak menjadikan Griya Seroja tempat yang ideal untuk tumbuh bersama keluarga. Bandingkan dengan rumah dijual harga di bawah 3 M di Jakarta Barat, dan Anda akan melihat bahwa Griya Seroja memberikan lebih banyak nilai untuk gaya hidup urban.
6. Harga Kompetitif dan Pilihan Pembiayaan untuk Rumah di Griya Seroja
Mungkin Anda berpikir, dengan fasilitas dan lokasi sebaik ini, berapa harganya? Kabar baiknya, Griya Seroja menawarkan rumah harga 3 M di Jakarta dengan berbagai opsi pembiayaan yang fleksibel. Baik untuk pembelian tunai maupun cicilan, semuanya dirancang untuk memudahkan Anda.
Sebagai investasi, rumah di Griya Seroja memiliki prospek yang cerah. Properti di kawasan ini cenderung meningkat nilainya, menjadikannya pilihan tepat baik untuk hunian maupun investasi jangka panjang. Jadi, jika Anda mencari rumah dijual di Tangerang harga 3 M, jangan ragu untuk mempertimbangkan Griya Seroja.
7. Kesimpulan: Griya Seroja, Rumah Idaman di Jakarta Selatan dengan Fasilitas Lengkap
Griya Seroja adalah solusi ideal untuk Anda yang mencari rumah dijual Jakarta Selatan 3 M dengan fasilitas lengkap, lokasi strategis, dan desain modern. Hunian ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup masa kini tanpa mengesampingkan kenyamanan.
Jadi, tunggu apa lagi? Segera wujudkan impian Anda dengan memiliki rumah di Griya Seroja. Jangan lewatkan kesempatan ini, karena rumah harga 3 M di Jakarta Selatan seperti ini tidak datang setiap hari! Hubungi kami sekarang dan jadilah bagian dari komunitas istimewa di Griya Seroja.
Hubungi Kami Segera : Telepon/Whatsapp : +62 822-8000-3848
Website : https://griyaseroja.com/
0 notes
Text
Anak yang menjadi korban penyanderaan di Pejaten tak alami luka serius
sempat dibawa ke Rumah Sakit Jakarta Medical Center (JMC) di Jakarta Selatan untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut
Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Selatan Kompol Yunita Natalia Rungkat memastikan anak yang menjadi korban penyanderaan di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, Senin, dalam keadaan baik dan tidak mengalami luka serius.
"Tadi dilakukan perawatan fisik bagian luar, syukur tidak ada luka serius. Hanya terdapat beberapa goresan di dekat mata," katanya saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Kompol Yunita mengatakan meskipun anak tersebut mengalami trauma akibat kejadian itu, kondisi kesehatannya tidak dalam bahaya.
Setelah kejadian, anak tersebut juga sempat dibawa ke Rumah Sakit Jakarta Medical Center (JMC) di Jakarta Selatan untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Kepolisian dan tenaga medis memberikan perhatian khusus terhadap korban setelah menjalani perawatan, mulai dari mengganti baju korban dan memberikannya susu untuk mengembalikan kenyamanan dan kebutuhan setelah pengalaman yang mengerikan itu.
Dukungan psikologis juga disediakan untuk membantu korban pulih dari trauma yang dialaminya. Anggota Kepolisian mengajaknya berbicara dan bercanda untuk mengalihkan perhatiannya dari peristiwa yang baru saja ia alami.
Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Selatan telah menangkap tersangka penyandera bocah berusia empat tahun di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, Senin.
Sang penyandera, pria berinisial IJ (54), melakukan perbuatannya karena berhalusinasi setelah mengonsumsi sabu.
"Dia juga sudah mengaku, bahwa dia memang pakai sabu, positif sudah kita cek urine, " kata Kasi Humas Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi.
0 notes
Text
Assalamualaikum warohmatullohi wabarakatuh selamat sore semua alhamdulilah hari ini gue masih bisa diberikan kesempatan untuk terus hidup lebih baik lagi.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Jangan diambil hati ya teman-teman kalo misalkan model rumah yang lo pengen tiba-tiba diembat sama gue atau diambil sama gue dan keluarga gue, karena kita suka hasil desain rumahnya minimalis, modern udah gitu kekinian.jangan marah ya, masa anak direkturnya Perusahaan EMKL pada jaman itu era’70-an begitu lo silaturahmi ke rumah kita rumahnya udah kayak gembel.
Terus kenapa gigi gue yang tadinya hancur berubah jadi kehitaman atasnya?karena gue udah kebanyakan ngopi,kebanyakan ngerokok, kebanyakan ngeteh, sama stress ngadepin kelakuan lo -lo semua pada gak berubah-berubah setelah lo kawin alias gak berubah abis menikah.pantesan aja dicerain sama suaminya atau ditinggalin sama istrinya orang kelakuan lo gak berubah.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Gue gak akan bisa jadi perempuan lagi, setelah gue stress ngadepin kelakuan lo semua,kalo lo gak mau berisik,mendingan lo datengin sana kuburan ya, jahat amat lo jadi orang.😡😡😡
Gatau kenapa gue sama dua sodara kandung gue tuh pengen datengin satu event atau acara konser musik atau festival kuliner yang dimana kita pengen nyobain satu makanan dimana kita udah bawa botol minum sendiri dari rumah di Bekasi dan udah bawa perlengkapan lainnya kayak rokok sama korek tapi kenapa kita diusir? Perasaan kita udah nggak enak dari tadi.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Eh sumpah ini udah keterlaluan banget ya udah sakit hati digituin,ibarat pepatah ngomong dikasih hati tapi mintanya jantung, percuma aja kalo dibaikin tapi ujung-ujungnya ngelunjak, juga percuma lo tebel-tebelin muka pake obat tetes air mata biar lo keliatan nangis padahal lo cuma pura-pura gue tau kok busuk- busuknya lo dibelakang gue.😡😡😡
Makanya gue betah nongkrong di rumah gue sendiri Bekasi Barat, apalagi Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat karena gue dan keluarga gue pengen silaturahmi ke rumah saudara kita yang udah lama kita gak jumpa disela kesibukan kita masing-masing.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Marah gue sama lo semua,kecewa gue itu, dikasih kepercayaan malah makin jadi dibelakang gue, mendingan lo semua jadi orang gila aja ya kalo kayak gitu, percuma kalo jadi tukang kalo gak ada inisiatifnya.bukannya gue takut atau apa tapi kalo gue mental tukang tahu kok apa yang musti dikerjain.🙏🏻🙏🏻🙏🏻 ngerti gak lo yang gue omongin apaan?😡😡😡terserah lo muntah dibelakang gue ya terserah yang penting gue udah nyampein kok, terserah lo mau denger atau gak denger ya terserah jelas gue udah capek kayak gini ‘anjing’kalo kata gue sih.😡😡😡 ‘anjing’iya,’taik’juga iya apalagi tuh banyak deh.😡😡😡
Itu aja yang bisa gue sampein kurang lebih mohon maaf assalamualaikum warohmatullohi wabarakatuh terima kasih dan selamat sore.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
0 notes
Text
Yang Tidak Perlu dijelaskan dengan Lisan
Meski tangis sesegukan ku sudah berhenti setelah satu jam berlalu, tapi air mataku masih perlahan menetes satu-satu sat sedang menulis ini. Lucu sekali aku harus menuli ini karena ini seperti diary masakecilku yang dipaksa oleh ayah setiap kali aku berbuat kesalahan. Awal mula paragraf itu biasnaya dibuka dnegan kalimat "hari ini aku di marahi karena...." dan betul, aku hari ini menulis karena dimarahi, dinasehati panjang.
Aku dikira berbohong saat aku mengatakan waktu dimana aku seharusnya maju untuk seminar harus dibatalkan karena dosen penguji satuku sakit dan tidak membalas pesanku. Jantungku rasanya sudah sakit sekali disitu, sampai seusia ini orangtuaku mengira aku berbohong. Buat apa? Katanya jawaban-jawaban yang sering aku berikan hanya untuk menenangkan hati kedua orangtuaku. Lantas kalau aku ikut mengeluh dengan keadaan yang sedang kualami dikatakan aku terlalu banyak mengeluh. Betul. itu tidak salah.
Sejak awal aku memahami diriku sendiri tidak punya grit atau sederhananya tekad yang kuat. Jangankan demi orangtua, bahka demi diriku sendiri aku juga tidak mau berjuang keras. Pertanyaannya kenapa bisa begitu? aku juga tidak tau. Kalau aku terbawa dengan suasana di rumah, pasti, sangat pasti disalahkan.
Kita semua pembelajar sepanjang hayat, begitu juga orangtua, juga tetap belajar selamanya. Tentu saja, orangtua punya pengalaman sebagai orangtua tentu belajar saat mengasuh anaknya. Selama anaknya dibawah asuhannya, selama itu juga orangtua belajar menjadi orangtua.
Anak juga belajar menjadi anak. Bagaimana pantasnya bertutur, bagaimana baiknya memilih kata, bagaimana menjaga sikap. Jangan harap terwujud kata-kata ingin jadi diri sendiri. Kita adalah dirisendiri nya kita di mata orangtua. Mereka yang mengenal kita dari belum berbentuk manusia.
Sehingga aku membantin pada diri, benarkah aku anak yang durhaka, pembohong, selalu melawan dan begitu kurang ajar? dimana ridho Allah adalah ridho orangtua, dimana ucapan dari seorang ibu begitu makbulnya di dengar langit sehingga aku selalu meminta ibuku untuk mengatakan hal-hal baik alih-alih merutuk?
Sementara saudara ibu ada yang mengatakan padaku untuk tidak perlu memikirkan orangtua, aku harus mencari kesuksekanku sendiri, keluar dari rumah, coba A,B,C,D. Tidak, kataku tegas. Takkan kumaafkan diriku jika suatu hari ibuku terluka dan ayah tidak bisa membantu ibu dengan upaya maksimal. Seumur hidup aku mengingat betapa mengerikannya kala melihat lengan ibuku terkoyak dengan darah mengucur tak berhenti dan Ayah bersikeras bahwa itu tidak perlu di bawa ke dokter untuk dijahit. Itu adalah hari dimana aku tidak berada di hutan. itu terjadi saat aku sedang dirumah.
Kali lain terjadi saat Ayah terjatuh dari pohon, saat aku sedang dilapangan. Kakakku dari jakarta berkata ingin menelpon ambulan, tentu saja, ditolak mentah-mentah. Jantungku berkecamuk seharian itu, terus-menerus memastikan tetap dapat sinyal, secara berkala menelpon ibuku bagaimana kondisi Ayah. Setelah dikompres dengan herbal oleh ibu, menjelang malam ayah sudah bisa bangkit.
Lantas ditengah nasihat yang aku terima hari ini terkait ketidakmampuanku menyelesaikan kuliah di semester ini, Ayahku berkata bahwa aku merasa menjadi anak yang dikorbankan di rumah ini. Aku tak pernah ikhlas berada dirumah. Aku terkejut dan disela isak tangis, hal ini harus aku luruskan dan bertanya dari mana ayah mendengarnya? Kata Ayah, Ayah mendengar itu saat aku telponan dengan Kakakku.
Itulah bahayanya jaman sekarang saat mendengar berita sepotong-potong. Dan terjadi di keluarga kecil ini. Aku benar-benar sangat marah dengan kasus kakakku yang tiba-tiba mengikuti kegiatan Indonesia Mengajar. Karena ibuku sudah berulang kali memintanya pulang kerumah. Jadi aku mengatakan untuk kegiatan kami yang masih ada selama satu tahun kedepan bagaimana kalau kakakku pergi ke daerah pelosok sana? Dia yang membuat kami mengikuti program itu, masa aku yang dikorbankan untuk menyelesaikannya? itulah yang asbab kata aku menjadi korban muncul.
https://topibiru.tumblr.com/post/746724630172139520/satu-dari-banyak-hal-yang-tidak-kusukai-adalah
Apakah aku pernah merasa dikorbankan menjadi anak yang dirumah mendampingi orangtua? aku pun mencari-cari tulisan apakah benar aku pernah merasa begitu? apakah aku benar anak munafik itu? apakah benar aku semanipulatif itu? Karena hampir tidak pernah disaat aku dalam titik emosi tertinggi aku tidak melampiaskannya dalam tulisan. Karena jika tidak dirilis seperti ini, jantung dan kepala ku akan sangat sakit hingga aku bisa tidak pulih seharian. Tapi kalau aku menulis seperti ini, aku bisa mempercepat emosiku kembali stabil seiring tulisan ini selesai. dan bisa melanjutkan kegiatan lain.
Semua manusia menyadari akan akhir kehidupan di dunia. Selama disini kita harus mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya. Aku belum kaya harta, aku belum bisa menjadi ahli puasa, dan aku juga belum bisa menghafal quran, belajar bahasa arab, menjadi ahli sholat sunnah, atua merutinkan tahajud, maka pintu amal ibadah yang aku cari adalah birrul walidain. Namun jika Ayah dan Ibu tidak bisa melihat niat dan kasihku didalam perjalanan ini, apakah mungkin seharusnya aku mencari upaya lain kepada Allah?
Tapi benar yang dipermasalahkan Ayah, hubunganku dengan Allah sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak membawa hatiku saat ibadah. Shubuh masih telat, shalat terkadang memburu waktu dan banyak lainnya. Memang benar ridho Allah adalah ridho orangtua, dan kini Allah menegurku lembut melalui Ayah, Ibu dan berbagai kejadian lain agar aku kembali mengejar-Nya.
Wallahu A'lam Bishawab.
0 notes
Text
A+ and A-
Words total : 947
Ships : -
Genre : teenlit ; angst ; family
Universe : Cupid Have a Plan
Story about : Raylee Joanne Pradipta
"Mungkin memang Raylee engga bagus di bidang pelajaran, tapi apa papa gamau sekali aja lihat Raylee di bidang musik?!" Nafas gadis itu terengah-engah, intonasi suaranya meninggi, membuat keadaan sekitar menjadi semakin sunyi karena persitegang antara papa dan anak itu.
"Adek kamu juga bagus di bidang musik. Piano dia bisa, biola juga bisa, sekedar nyanyi pun juga dia ikut paduan suara, kan? Tapi nilainya selalu stabil, peringkat juga selalu di tiga besar."
Raylee, tampaknya gadis itu kehabisan kata-kata, ia hanya melihat sang papa dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
"Dan musik yang dia lantunkan itu bersih, jernih. Gak kayak musik band gak jelas kamu itu. Berisik." Lanjut sang papa berkata pada anaknya.
"Papa pilih kasih." Hanya satu kalimat itu yang berhasil keluar dari mulut gadis yang bahkan masih menggunakan seragam sekolahnya, belum sempat ia mengganti pakaiannya.
Langkah sang papa yang tadinya sudah berjalan menuju lift pun terhenti dan kembali menatap anak tengahnya itu, "pilih kasih gimana? Papa cuma mau yang terbaik buat kamu."
"Tapi ga dengan cara ngekang Raylee gini, pa!"
"Papa hanya beri batasan, bukan mengekang. Buktinya setelah kamu join band gak jelas itu, nilai kamu turun drastis."
"Raylee masih masuk 5 besar, pa."
"5 besar? Sebelumnya saja kamu hanya selalu di peringkat tiga disaat adik dan abang kamu jadi peringkat pertama setiap tahunnya."
Sunyi. Tidak ada balasan apapun dari Raylee, air mata mulai berjatuhan membasahi pipi mulusnya. Gadis itu merasakan sakit yang amat dalam di dalam dadanya.
Selalu saja begini. Dibandingkan dengan kakak dan adiknya. Apa memang kutukan anak tengah itu nyata? Raylee mau tidak percaya, tapi dia serasa baru saja mengalaminya.
"Syarat yang papa bilang masih berlaku dan selalu berlaku. Pokoknya semester depan nilai kamu ga membaik dan peringkat kamu ga balik ke tiga besar, papa bakar semua alat musik kamu."
"Gabisa gitu dong, pa!"
"Gaperduli. Gitar, bass, keyboard, drum. Semua papa bakar."
"Pa..." suara gadis itu semakin bergetar, musik adalah satu-satunya pelariannnya, tempatnya mencurahkan semua isi hatinya, tempatnya pulang, tempatnya kembali, tempatnya beristirahat dari hiruk pikuk kota Jakarta.
"Kalau gamau begitu, ya buktikan ke papa kalau kamu bisa mengatur itu. Stabil, kak. Stabil."
Setelah mengucapkan kalimat itu, sang papa segera memasuki lift, dibantu beberapa pelayan untuk membawakan jas dan tas kantornya, pria paruh baya itu menuju ke kamarnya untuk beristirahat.
Begitulah rumah ini. Biasanya selalu sepi, hanya dihuni oleh Raylee dan adiknya saja. Tetap terasa sepi walau ada puluhan pelayan yang bekerja dan tinggal di sana.
Jika bertanya, memang biasanya papa mereka ke mana? Momma mereka? Kerja. Mereka terlalu sibuk bekerja, terus menerus berpindah-pindah kota dan negara. Bahkan untuk sekedar mengambil rapot anak-anknya saja tidak bisa. Kalau abangnya, dia berkuliah di luar negeri untuk melanjutkan S2.
Gadis itu kini duduk di meja belajar miliknya, ruangan tersendiri. Sebuah ruangan dengan tiga buah meja belajar yang diberi sekat. Sebelah kiri milih Jendral, abangnya. Sebelah kanan milik Yale, adiknya. Raylee menempati meja belajar bagian tengah, mengarah langsung ke jendela menuju taman di halaman samping rumahnya.
Ruangan itu terang, dengan kesan dan ornamen yang klasik tetapi tetap modern. Di bagian kanan dan kiri tembok itu tertempel rak buku yang lumayan besar, dibagi di setiap barisnya. Buku inspirasi, buku contoh soal, buku pelajaran, kamus, ensiklopedia, bahkan novel dan komik pun ada.
*kriiiet
Pintu terbuka sedikit, Raylee tidak menyadari hal itu karena pikirannya sudah tenggelam bersama banyaknya materi yang ada di depan matanya saat ini.
Langkah kaki semakin mendekat ke arah kursi gadis yang duduk dengan tegap, fokus membaca dan memahami isi buku di harapannya.
"Kak... maaf." Mendengar suara lembut menyapanya dari sebelah kanan, membuat Raylee menoleh dan mendapati adiknya sudah menunduk sambil memainkan ujung piyama yang ia kenakan dengan gelisah.
"Karena Ale, kak Ray jadi dimarahin papa terus... maafin Ale, ya, kak."
Raylee tidak menjawab, hanya menatap wajah sang adik yang terlihat kusut, seperti baru menangis. Ia memutar kursi belajarnya menghadap sang adik, menatap naik, lurus ke arah mata Ale.
"Lo denger?"
Tanpa jawaban, hanya anggukan saja.
"Engga, itu bukan salah lo kok, le. Bukan salah siapapun. Gausah mikir gitu, deh."
"Tapi kak Ray kan selalu dibandingin sama Ale terus... apa Ale stop belajar aja, ya, kak? Ale gamau kak Ray dimarahin mulu."
Lelaki berusia 13 tahun itu tetap berdiri menunduk, memelintir ujung piyama bergaris warna biru tua yang sudah melekat di tubuhnya, pertanda sudah siap untuk tidur.
Sesekali melirik wajah lelah kakak perempuannya yang bahkan sampai saat ini belum berganti pakaian masih dengan seragam sekolah yang sudah berantakan. Tatapan mata kakaknya yang diberikan kepada dirinya terasa sangat lembut.
"Bukan salah lo. Udah, mending sekarang lo tidur. Besok sekolah, kan?" Gadis itu berdiri dari duduknya dan menuntun sang adik keluar dari ruang belajar dan menuju kamar tidurnya.
Saat ini adik remajanya itu hanya setinggi telinganya saja, entah beberapa tahun kedepan, pasti akan menyalip tinggi Raylee yang bisa dibilang cukup tinggi untuk seorang perempuan, tingginya sekitar 168cm.
"Kak, kakak bahkan belom ganti baju, loh. Kotor ih udah seharian dipake dari pagi. Belum mandi juga kan pasti?" Tanya si adik segera setelah mereka sampai di depan pintu putih dengan sebuah papan kayu bertuliskan 'Yale's Room'
"Udah ah, bacot banget. Mending lo stop manggil-manggil pake 'Ale', 'Kak Ray', 'Kakak'. Aneh tau ga??"
"Dih, itu tadi namanya perhatian."
"Sana masuk. Bocil ga baik tidur malem-malem. Sleep well, ya, cil."
Raylee mengatakannya setelah mendorong pelan tubuh Yale dan menutup pintu kamar itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, ia memutuskan untuk menyudahi kegiatan belajarnya, memilih kembali ke kamar dan membersihkan dirinya, berendam di dalam bathup air hangat dengan beberapa aroma terapi yang bisa membantunya agar tidur nyenyak.
Besok ia masih ada sekolah, dan akhir-akhir ini ia merasakan susah tidur, atau insomnia. Hal itu membuatnya menjadi mengantuk sepanjang pelajaran, dan menjadi tidak fokus. Maka ia mulai menggunakan wewangian yang dapat membuatnya rileks. Di samping kasurnya pun sudah ada reed diffuser dengan wangi lavender.
Mungkin dia memang akan terus menjalani hari-hari nya seperti ini, hingga mungkin dua tahun kedepan. Mempertahankan hobby bermusiknya dan juga band yang dia bangun bersama-sama dengan member lain.
#itzy#authors#alternate universe#fiction#zerobaseone#ryujin#yujin#shin ryujin#han yujin#siblings#family
0 notes