#nama bayi perempuan terbaik sepanjang masa
Explore tagged Tumblr posts
desykurniapujiasari · 1 year ago
Text
Hari ke-1 Zona 7 (Pendidikan Seksualitas)
Tumblr media
Mengawali perjalanan di zona 7 dengan makna fitrah Seksualitas, bismillah semoga dimudahkan dilancarkan dan takdir terbaikNya adalah bisa lulus di zona ini :)
Ini ceritaku selama ini menjalani peran sebagai seorang perempuan lau kemudian menjadi isteri dan sekarang juga menjadi ibu, alhamdulilahirobbilalamin kusyukuri setiap episode perjalanan takdir terbaikku, semoga diri ini menjadi seorang yang tau balas budi untuk kedua orangtua juga lingkungan sepanjang perjalanan hidupku yang menjadi jalan dijagaNya fitrahku sebagai seorang perempuan.
Tidak mudah menjadi isteri dan ibu barangsiapa mampu melaluinya tak tanggung-tanggung kan berbalas syurgaNya.
Duhai diriku dengan seperangkat luka masa lalu, terimakasih sudah terus berusaha yang terbaik untuk membasuh setiap luka itu, walau di perjalanan barangkali juga menorehkan luka untuk pasangan dan anak-anak teruslah melangkah ya.
Yang ingin diperbaiki sekaligus ditingkatkan untuk menjalankan peran sesuai fitrah adalah dalam hal Manajeman emosi 😌 dan tidak akan pernah terlepas dari upaya² untuk menjaga yang lebih prinsip, apa tugas utama isteri ?
Qs 4:34 ----(1) taat kepadaNya dengan cara menaati suaminya sepanjang suami minta yang baik-baik (2) menjaga nama baik keluarga khususnya suami terutama ketika tidak sedang bersamanya
Kemudian rupanya di dalam diri ini sudah diinstalNya dengan lengkap fitur keibuan , jadi saya merasa harus terus-menerus menyadari / mindfulness menjalankan peran sebagai seorang ibu
Menjadi ibu benar-benar mengubah otak seorang perempuan dari segi struktur fungsi dan dalam banyak hal tanpa bisa dikembalikan lagi, hormon kehamilan memicu kode genetik perempuan untuk berperilaku sebagai ibu, semakin aktir oleh kelahiran bayi dan diperkuat oleh kontak fisik yang dekat dengan bayi (dr. Aisyah Dhalan)
1 note · View note
anakperempuannet · 5 years ago
Text
Nama Anak Perempuan Terbaik 3 Kata Yang Islami
Tumblr media
Nama Anak Perempuan Terbaik– namaanakperempuan.net. Sebagai orangtua tentunya ingin selalu memberikan hal yang terbaik untuk buah cintanya kan. Bukan hanya dari perlengkapan yg terbaik saja, namun juga dengan pilihan namanya. Nah mengenai nama adalah salah satu hal yg paling utama. Dimana nama ini memiliki kedudukan sangat penting dalam kehidupan. Sebab itulah dalam memilihkan nama bayi haruslah…
View On WordPress
0 notes
tanyanamabayi · 3 years ago
Text
70 Nama Bayi Laki-laki Elegan dan Artinya yang Gagah dan Keren
70 Nama Bayi Laki-laki Elegan dan Artinya yang Gagah dan Keren
Nama Bayi Laki-laki Elegan – tanyanama.com. Kelahiran si kecil di tengah keluarga seakan membuka lembaran hidup baru bagi setiap pasangan. Apalagi jika Bunda akan melahirkan Anak pertama. Cinta dan kasih sayang pun tertuang kepada sang buah hati mulai dari tangisan pertamanya. Sebagai calon orang tua, Ayah dan Bunda tentu ingin memberikan yang terbaik baginya. Salah satunya bisa dimulai dari…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
bayilelakiku · 3 years ago
Text
160 Nama Bayi Laki Laki Terbaik Sepanjang Masa
160 Nama Bayi Laki Laki Terbaik Sepanjang Masa
Nama Bayi Laki Laki Terbaik Sepanjang Masa – bayilelakiku.com. Pemberian nama baik itu untuk anak laki-laki ataupun perempuan, orang tua wajib teliti. Karena, pilihan nama bayi kian banyak bisa buat calon Bapak/Ibu pusing. Namun meski demikian, Ayah/Bunda tidak usah khawatir ya. Sebab, kami tiada bosan-bosannya akan selalu memberikan refrensi nama bayi terbaik. Seperti nama bayi laki laki terbaik…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
anakperempuannet · 4 years ago
Text
Nama Bayi Perempuan Cina 2 Kata Terbaik Sepanjang Masa
Nama Bayi Perempuan Cina 2 Kata Terbaik Sepanjang Masa
Nama Bayi Perempuan Cina 2 Kata – namaanakperempuan.net. Bunda menyukai nama-nama bayi asal cina? Pasti itu semua karena namanya yang unik, lucu dan anti pasaran. Nah berhubung anda suka dengan nama bayi cina (Tionghoa), tak ada salahnya juga untuk Mama menyelipkan nama anak perempuan cina 2 kata pada buah hatinya. Dengan pemberian nama ini, Moms juga bisa mengutarakan segala doa baik untuk…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
keluargatabi · 7 years ago
Text
Prinsip dasar FBE - Fitrah Based Education (Resume Seminar)
Bagi saya, mendidik anak itu harus dengan ilmu, tidak cukup dengan niat baik saja. Karena kita tidak bisa meniatkan sesuatu yang belum kita tahu.
Tanggal 24 Maret kemarin Allah memberikan saya kesempatan mengikuti seminar FBE (Fitrah Based Education) yang disampaikan oleh Ust Harry Santosa. Alhamdulillah banyak sekali pelajaran berharga yang saya dapatkan. Mudah-mudahan resume ini bisa memberikan insight bagi para orang tua :)
Ternyata, jika kita beranjak dari titik yang salah, kita akan kebingungan menemukan tujuan akhir yang benar. 
Kita terlalu disibukkan memikirkan bagaimana cara mendidik yang benar, tapi kita tidak pernah berhenti sejenak untuk memikirkan, apa sih hakikat pendidikan?
Pendidikan sejiati adalah pendidikan yang ditujukan untuk peran peradaban yang selaras dengan tujuan dan maksud penciptaan manusia. Tujuan dan maksud adalaha dua hal yang terpadu. Lalu apa jadinya jika anak hanya dianggap seperti kertas kosong?
Pendidikan kita saat ini masih menganut konsep bahwa anak itu adalah kertas kosong. Tidak heran anak dijejali dengan begitu banyak pengetahuan. Semakin banyak diisi, maka anak dianggap akan semakin cerdas. Sehingga terjadilah fenomena outside-in (dari luar ke dalam). Metode outside-in akan hanya menghasilkan anak-anak yang kehilangan gairah belajar. Mereka sangat senang manakala bel pulang berbunyi. Namun mereka merana bila libur telah usai. Kata “belajar” jadi terdengar horor. Kata “sekolah” menimbulkan kesan capek, bosan, lelah.
Padahal,  Setiap manusia yang lahir itu bukanlah kertas kosong yang bisa diisi oleh apapun. Allah sudah meng-install manusia dengan berbagai fitrah. Tugas orangtua adalah menumbuhkannya. Fitrah-fitrah itu adalah;
1.  Fitrah Keimanan
Baby born as believer. Di dalam Al-Quran kita meyakini bahwa setiap manusia sebelum dilahirkan ke dunia pernah bertemu dengan Allah dan kita bersaksi bahwa Allah adalah Rabbnya (QS. 7:122). Fitrah keimanan yang tumbuh sempurna akan menumbuhkan anak-anak yang mencintai kebenaran dan tidak berhenti sampai di situ, mereka akan tergerak dalam menyampaikan kebenaran (dakwah islam). Buah dari fitrah ini adalah akhlak dan adab.
Pada fase 0-6 thn (fase konsepsi), tugas Orang tua adalah memberikan imaji-imaji positif tentang Allah, RasulNya, dan Islam sehingga anak tumbuh dewasa menjadi orang yang antusias dan memiliki ghairah kecintaan terhadap Allah, kecintaan terhadap RasulNya dan kecintaan terhadap Islam. 
Sehingga saat baligh, mereka menjalani fase taklif dari titik keridhaan. Mereka beragama dengan sadar. Sadar bahwa mereka ridha Allah sebagai Tuhannya, Nabi Muhammad sebagai RasulNya, dan Islam sebagai agamanya.
Apa impactnya? Jika di fase konsepsi orangtua sudah berhasil menanamkan imaji-imaji positif di benak anak, maka dengan sendirinya anak akan tumbuh menjadi pribadi yang mencintai syariat. Mereka sadar bahwa syariat diciptakan untuk menjaga mereka. Bukan sebagai beban yang menjemukan.
2.  Fitrah Belajar & Bernalar
Baby born as scientist. Setiap anak adalah pembelajar sejati yang tangguh. Tidak ada bayi yang terlahir bercita-cita ingin ngerondang seumur hidup, kan?
Jangan menggegas anak bisa cepat membaca, tapi buatlah anak agar mereka mencintai ilmu dan sumber ilmu (buku, kitab, guru dan ulama). Anak yang cinta ilmu akan membuat mereka membaca buku sepanjang hidupnya.
Fitrah belajar yang tumbuh paripurna akan menjadikan anak saat dewasa tidak kehilangan sifat-sifat ini:
• Intellectural Curriosity • Creative Imagination • Art of Discovery & Invention • Noble Attitude
3.  Fitrah Bakat & Kepemimpinan
Setiap anak adalah unik. Maka setiap anak adalah ABK (anak berkebutuhan khusus) yang membutuhkan personalized curriculum. Talent mapping terbaik bagi anak adalah mata ayah dan ibu yang selalu mengobservasi perkembangan anak dari masa ke masa.
Bangkitkan lah kesadaran bakat anak melalui penghargaan atas sifat uniknya. Dokumentasikan bakat melalui jurnal pengamatan.
Jika fitrah bakat tumbuh dengan sempurna, maka anak akan menemukan panggilan hidupnya yang membawanya kepada peran spesifik peradaban. Bakat bukanlah hanya tentang passion semata. Tetapi bagaimana dengan bakatnya anak yang sudah dewasa dapat berkontribusi bagi ummat. Memberikan kemanfaatan yang akan memberatkan timbangan amalnya di akhirat kelak. Menggunakan potensi dirinya untuk menolong agama Allah.
4.  Fitrah Seksualitas & Cinta
Setiap anak dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tidak ada yang lainnya, or in between. Jenis kelamin ini akan berkembang menjadi peran seksualitasnya. Anak perempuan akan menjadi ibu. Kenalkan anak-anak perempuanmu dengan peran keperempuanan dan kebundaan sejati. Sebaliknya, anak laki-laki akan menjadi ayah. Maka siapkan anak laki-lakimu untuk menjadi qowwam (pemimpin), pengayom dan imam bagi keluarganya kelak.
Anak perempuan membutuhkan 75% asupan feminitas dari ibunya dan 25% asupan maskulin dari ayahnya agar kelak tumbuh menjadi ibu yang memiliki sifat al wadud (lembut, sabar, dan berkasih sayang) dalam menghadapi suami dan anak-anaknya.
Anak laku-laki membutuhkan 75% asupan maskulin dari ayah dan 25% asupan feminitas dari ibunya agar kelak tumbuh menjadi pemimpin yang memiliki rasa empati.
Pendidikan fitrah seksualitas yang berhasil adalah dimana saat anak laki-laki beranjak dewasa, ia ingin seperti ayahmya. Dan anak perempuan yang telah dewasa akan menjadikan ayahnya sebagai benchmark dalam mencari pasangan. Anak perempuan bisa membedakan laki-laki dengan “tatapan ayah” dan mana laki-laki yang tidak punya “tatapan ayah”. Anak laki-laki yang tumbuh fitrah seksualitasnya akan siap menjadi ayah saat ia telah baligh. Begitupun dengan perempuan, ia akan siap menjadi istri dan ibu saat ia .
5.  Fitrah Estetika & Bahasa
Setiap manusia sejatinya menyukai keindahan. Sedangkan bahsa berkaitan dengan ekspresi. DIharapkan anak memiliki ekspresi positif baik melalui imaji,  logika, dan ruhani. Dan pada akhirnya, anak dapat memperindah peradaban melalui peran/misi spesifiknya dalam rangka Tauhidullah.
6.  Fitrah Individualitas & Sosialitas
Manusia dilahirkan sebagai individu, sekaligus juga makhluk sosial. Seharusnya kita memahami ini, di bawah usia 7 tahun, anak mengalami fase individualitas yang sangat kuat. Mereka menjadi sangat pelit, egonya tinggi, membutuhkan pengakuan. Jadi jangan dipaksa mengalah. Seringkali anak pertama mengalami cidera ego saat ia tumbuh dewasa karena selalu dipaksa mengalah dan berbagi dengan adiknya.
Bukan berarti anak tidak boleh diajarkan berbagi ya.. Namun kita bisa mengajarinya dengan memberi imaji-imaji positif tentang berbagi, bukan dengan memaksa anak memberikan apa yang menjadi haknya kepada orang lain. Kita bisa mengajak anak kita ke panti asuhan dan menunjukkan kepadanya cara berbagi makanan, atau pakaian kepada anak-anak yang kurang beruntung.
Atau jika kasusnya adik berkelahi dengan kakak karena berebut mainan, bisa saja kita meluruskan dengan dialog seperti ini;
“adik, itu mainan punya kakak, adik mau main juga ya?”
“iya”
“adik, mainnya setelah kakak ya. Gantian ya. Kakak mau mainkan ini berapa menit lagi?”
Misal si kakak menjawab 10 menit. Oke kita sepakati 10 menit lagi giliran adik yang bermain. Biasanya anak akan memberikan mainannya kepada adik sebelum 10 menit, karena belum mengerti konsep waktu atau 10 menit itu selama apa :D
Bahkan untuk meminimalisir terjadinya perebutan mainan, setiap mainan hendaknya diberi nama pemiliknya. Sehingga kakak & adik bisa tahu mainan ini haknya siapa. Dan kita bisa mengajarkan anak untuk tidak mengambil hak orang lain. Kalau mau pinjam boleh saja, tapi harus izin kepada pemiliknya dulu.
Nah, jika fitrah individualitas tidak dibiarkan berkembang dengan baik, bisanya pada usia dewasa ia memiliki kesulitan mengembangkan fitrah sosialitasnya. Ciri-ciri anak yang cedera ego waktu kecilnya, saat dewasa dia menjadi individu yang minderan, merasa dirinya tidak berharga, ga punya prinsip, gampang kebawa arus, penakut, lamban mengambil keputusan, ga pede, sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, dan sulit bersosialisasi.
7.  Fitrah Jasmani & Perkembangan
Setiap anak lahir dengan membawa fisik yang suka bergerak aktif. Lalu siapa yang menyuruhnya diam? Orangtuanya lah yang memberikannya gadget/game agar anak diam. Padahal di zaman ini kita membutuhkan ulama yang aktif bergerak mencerdaskan Ummat, aktif terjun ke lapangan dalam  mencari solusi-solusi atas permasalahan ummat. Iya ga sih? 
Bayi sudah terlahir tidak suka dengan najis. Tidak suka kalau badannya kotor/basah. Lalu siapa yang memberinya pampers sehingga anak-anak sekarang kehilangan rasa jijiknya dengan najis. *Jleb T_T
Kita perlu paham milestone/tahapan perkembangan anak agar sebagai orangtua kita tidak lebay dan panikan. Berikan stimulasi pada anak sesuai dengan fitrah-fitrah dan juga tumbuh kembangnya.
.
.
Fitrah itu ibarat benih. Ada tahapan untuk menumbuhkannya. Tidak bisa digegas. Tidak berlaku kaidah makin cepat makin baik.
Begitupun dengan menstimulasi anak untuk menjadi kreatif. Menstimulasi Fitrah belajar dan fitrah bernalar ini harus dibersamai dengan stimulasi pada fitrah-fitrah lainnya.
Dari sini kita jadi bisa antisipasi fenomena-fenomena 'aneh' yang berkembang di masyarakat. Dan kenapa itu bisa terjadi.
Contoh kasus ke 1
Apa yang terjadi jika fitrah keimanan anak tumbuh subur namun ia tidak mendapatkan stimulasi fitrah seksualitas? Hasilnya mengerikan! Bukankah akhir-akhir ini banyak data adanya praktik LGBT di pondok pesantren, bahkan di rumah tahfidz? Anak-anak itu walaupun diajarkan agama, mereka tetap membutuhkan sentuhan ayah dan ibu secara langsung, untuk memberikan pemahaman tentang peran seksualitas.
Sejujurnya, soal fitrah seksualitas ini, masyarakat kita masih punya banyak pr. Kalau dulu Ibu Elly Risman berkoar-koar bahwa Indonesia adalah negara fatherless, dimana ayah tidak mau terlibat soal pengasuhan. Padahal kita tahu baik anak perempuan maupun laki-laki membutuhkan supply ego dari Ayah. Di saat permasalahan tsb belum selesai, sekarang negara kita kembali dihadapkan oleh fakta baru yang pahit. Ternyata, kini Indonesia pun mengalami fenomena krisis Ibu, atau motherless country.
Banyak keluarga yang terlihat normal dari luar, yaitu terdiri dari seorang ibu dan seorang ayah, namun pada praktik pengasuhannya kedua orang ini adalah dua sosok yang maskulin. Ada kasus seorang anak SD yang mencederai temannya hingga temannya itu patah tulang. Ketika ditanya oleh gurunya apakah si anak merasa menyesal telah berbuat demikian, dengan lugasnya anak tadi menjawab dia sama sekali tidak menyesal. Temannya sekarat pun ia tidak menyesal. Dan anak itu tidak memperlihatkan wajah empati sama sekali.
Keanehan ini terjawab manakala sang guru mengunjungi keluarga anak tsb. Setelah diteliti, ternyata ibu sang anak adalah sosok yang berpendidikan tinggi, namun sangat maskulin, sangat kaku, sangat logis, dan dingin. Sifatnya seperti laki-laki. Banyak ibu-ibu yang kehilangan fitrah feminitasnya. Faktor penyebabnya bisa banyak. Tapi kebanyakan karena ibu zamanow terpaksa menjalani multi peran. Ibu yang mendidik anak, ibu yang mengambil rapot, ibu pula yang mencari nafkah. Tidak ada pembagian peran dalam pengasuhan.
Contoh kasus ke 2 
Ada orang shalih yang fitrah keimanannya tumbuh subur, namun ia tidak mengenali fitrah bakatnya. Sehingga yang terjadi adalah, orang shalih yang tidak berkarya. Sehingga keshalihannya tidak banyak bermanfaat bagi kehihidupan ummat.
Contoh kasus ke 3
Ada seniman yang fitrah bakatnya tumbuh sempurna. Namun ia gagal menumbuhkan fitrah imannya. Yang terjadi ia tidak memiliki guide dalam membuat karya. Bukannya menolong agama Allah dengan skill seninya. Karyanya malah mengalirkan dosa jariyah yang merugikan dirinya sendiri di hari pengadilan Allah. Dia berhasil menjadi seniman sesuai dengan bakat unik yang Allah anugerahkan kepadanya, namun ia gagal menyelaraskannya dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Sehingga karya-karyanya menjadi bencana, bukan anugrah baik untuk dirinya sendiri maupun untuk peradaban.
.
.
Yang saya suka dari prinsip Fitrah Based Education adalah:
1. Sebagai orangtua tugas kita bukanlah mengantarkan anak menjadi sarjana atau PNS. Tetapi memelihara benih-benih kebaikan yang sudah Allah tanamkan pada anak kita. Benih-benih itu awalnya suci. Jangan sampai ketika kita kembalikan kepada Rabb-nya, benih itu berada dalam keadaan rusak dan hancur tergerus oleh kesalahan orangtua dalam menjaganya. 
Orang tua harus percaya bahwa menikah adalah peristiwa peradaban. Allah pasti punya maksud, kenapa wanita diberikan rahim dan kelenjar susu? Kenapa Allah menjadikan laki-laki qowwam yang ditugaskan untuk menafkahi, mengayomi, dan memelihara perempuan? Kenapa keberadaan ayah dan ibu sangat penting bagi anak? Jika keberadaan orang tua tidak penting, Allah bisa saja menurunkan bayi melalui tabung-tabung yang diturunkan dari langit. 
Kita adalah versi terbaik orang tua bagi anak kita. Dan anak kita adalah manusia versi terbaik yang Allah titipkan kepada kita. Ia adalah manusia yang tiada dua dari zaman Adam sampai akhir zaman. Jadikan lah anak kita versi terbaik dirinya, bukan versi kedua dari orang lain.
Selanjutnya, karena kita orangtua versi terbaik menurut Allah bagi anak yang menjadi anak kita, kita harus percaya diri bahwa kita adalah pendidik terbaik bagi mereka. Dan kita ga perlu lebay obsesif menjejalkan berbagai mata pelajaran, skill A-Z, macem-macem les kepada anak kita. Udah lah, rileks aja. Allah pasti memberikan kelebihan kepada anak kita. Fokus lah pada cahayanya sehingga gelap tidak lagi menjadi relevan.
Bimbing lah anak untuk mengenal bakat uniknya. Caranya dengan observasi menggunakan mata jeli kita, setiap hari. Inilah pendidikan yang inside-out. Yang berfokus kepada kelebihannya, bukan susah payah menambal kekurangannya.
2. FBE melihat pendidikan dari sudut pandang satelit. FBE mengaitkan pendidikan dengan peradaban. Kita salah selama ini jika menganggap menyekolahkan anak = mendidik anak. Menyekolahkan anak hanyalah mengajarkan anak. Sedangkan fungsi pendidikan adalah mentransformasi manusia sesuai dengan misi penciptaan dan tujuan penciptaannya. Ini selanjutnya akan saya bahas di artikel terpisah, tentang purpose, mission & vission.
Oleh Gita Pertiwi
Tumblr media
0 notes
azkafeba-blog · 7 years ago
Text
"Ngak Ngik Ngok"
Saking krusialnya informasi ini, saya akan tulis malam ini sepenuhnya, untuk pertama kali, menggunakan telepon genggam saya. Ejawantah gerak cepat ini terbentuk atas terbenturnya ekspektasi dan realita yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Archipelago Fest, mewujudkan saya untuk bisa ada bersama orang-orang yang peduli dan bersedia membicarakan musik (dan seluruh printilan yang berkesinambungan) dengan luar biasa: utuh, dalam, dan historis.
Tumblr media
Terima kasih saya ucapkan kepada segenap pihak yang membantu terselenggaranya acara tersebut, saya sudah memimpikan diskusi semacam ini sejak lama. Wawasan yang saya dapat akan saya tulis di bawah ini secara bentuk daftar.
Berikut pancingan mantap yang saya bawa pulang:
1. Sebuah ke-nirleka-an adalah tidak apa-apa, tapi akan menjadi sebuah kecelakaan jika tanpa bahasa.
2. Berkisar pada awal abad ke-15, Afonso de Albuquerque, salah seorang legenda raja kelana planet bumi zaman analog, menenggelamkan bukti penting bahwa manusia Jawa sudah paham kiat-kiat berjelajah di samudera luas pada saat itu. Kepiawaian manusia Jawa bahkan dianggap sama (atau kemungkinan lebih) dengan tingkatan astronomi dan kelautan Albuquerque. Sayang, bersama dengan karamnya Frol de la Mar, peta yang dibuat oleh manusia dari Jawa itu hilang jejak.
3. Jaladwara, pancuran air (biasa terletak di candi), menurut saya adalah salah satu nama yang bagus untuk sebuah nama label yang ingin kental akan ke-nusantara-an.
4. Sebuah perwakilan dari label indie generasi ‘kids jaman now’, menyatakan bahwa spirit of collectiveness itu adalah suatu yang wajib dalam kedinamisan sosial ‘ben-ben’an masa kini.
5. Sebaliknya, salah satu senior muda yang merupakan penggawa band yang berprinsip untuk sekalanya menyuguhkan music and live instrument quality, mengafirmasi bahwa “connecting the dots” akan se-begitu indahnya di akhir serangkaian pencapaian yang telah dilalui.
6. Terkadang jemput bola dalam debut karir di industri musik adalah hal yang mesti dilakukan. Menginisiasi tur ke beberapa kota secara mandiri untuk karya-karya yang telah dihasilkan merupakan sebuah investasi jangka panjang.
Tumblr media
7. Pada saat membicarakan konsensus perihal definisi eksistensi ‘pop indonesia’ yang hakiki, kaki seorang Mondo dan Ade dengan tepat bersamaan menyilang dalam duduk kursi sofa yang kontras warna. Kemesraan itu masih dilanjut dengan gestur tangan, mimik muka, hingga gerakan tangan yang juga sama disepersekian detik kemudian. Apakah ini tentang alam bawah sadar atau kelam yang sukar pudar, tampaknya masih misteri.
8. Duo maestro yang meletupkan energi Genk Pegangsaan pada era 70-an, seakan mendongeng kepada seluruh kawula audiens yang hadir tentang Indonesia dulu dan saat ini.
Merupakan anak dari presiden Indonesia pertama, khazanah budaya nusantara-nya seakan turunan para dewa, begitu sakral dan tak terbendung. Beliau menceritakan bahwa instrumen endemik yang sangat murni dari Indonesia ialah Gamelan. Paduan dari tetabuhan (dasaran membran layaknya kendang dan dasaran kuningan layaknya kenong), ialah warisan musik nenek moyang yang teramat kaya. Juga menanggapi isu tentang ayahnya yang melarang musik aliran rock untuk masuk bebas ke budaya ‘bayi NKRI’ pada saat itu, opini jujurnya terhadap rezim Orde Baru yang merusak identitas budaya bangsa digebu dan dipatri dalam setiap benak audiens. Revolusi budaya nusantara yang dimulai oleh Bung Karno seakan hancur dengan rezim tiran yang dengan lugas diekspresikannya di panggung diskusi pada petang hari itu, “Menurut saya Orde Baru itu illegal.”
Salah satu maestro lainnya ialah seorang komposer yang berjasa dalam melahirkan mahakarya album terbaik Indonesia sepanjang masa, “Badai Pasti Berlalu”. Menurutnya universalitas budaya merupakan nihil, karena sejatinya memang semua adalah sebuah perkembangan, tidak ada yang benar-benar ‘baru’. Doremifasolasido musik klasik yang ekslusif yang dikombinasi dengan era kapitalis revolusi industri merupakan asal muasal sebuah musik pop di planet ini.
9. Jika anda merasa ada masalah dengan Indonesia, maka sudah jelas masalah tersebut ada pada anda sendiri. Wow.
Tumblr media
10. Akan terjadi sebuah trade-off dalam kebijakan pada kualitas honor dan kuantitas manggung. Bila anda memiliki tendensi untuk memilih sibuk manggung, dengan sendirinya supply akan berlebihan dan kerinduan untuk jumpa akan semakin menipis. Sebaliknya, jika anda merupakan seorang dengan pilihan untuk mengantongi jebret duit dalam sekali manggung misalkan, anda harus cerdik dalam tarik ulur kerinduan pendengar yang kemudian akan meningkatkan demand para hipster tersebut.
11. Dalam skena musik independen yang serunya kurang ajar ini, sayangnya masih ada pihak yang memiliki beberapa stigma yang tidak diperkenankan dalam hati maupun raga. Perempuan merupakan bahasan yang jarang dibicarakan dalam bebasnya harmoni musik yang bergema. Dalam salah satu panel diskusi dengan tiga narasumber, fakta di lapangan gamblang dibeberkan dan banyak diantaranya diakui sangat pahit. Padahal kemudahan dalam menghargai sesama manusia adalah hal yang gampang. Kesal: selalu bersuaralah demi menembus budaya buruk ini.
12. Demi riset yang berjenjang dan kaya, mengagumi yang dikagumi oleh yang anda kagumi merupakan terobosan besar dalam belajar. Hal ini tentu melebarkan jendela wawasan secara singkat dengan paparan ilmu yang masif!
13. Online dan offline adalah perilaku sosial yang pada dasarnya berencana untuk mewujudkan ‘pengalaman’ dan ‘keikutsertaan’ yang tak terlupakan dan cocok. Tren yang ada harus dibahasakan dengan sedemikian rupa agar pesan tersampaikan secara sesuai dan memberi inspirasi yang abadi.
14. Endorsement dinilai masih menjadi tulang punggung monetisasi dalam bermain di media sosial. Namun secara tidak langsung, kemudahan berkolaborasi tentu akan sangat mengkatalisir proses kreatif antar pihak.
Tumblr media
15. Pada era fisik yang berjaya pada waktu itu, model bisnis konsinyasi dan beli putus merupakan sebuah kontrak yang pasti akan dialami oleh pada ben yang mempromosikan diri mereka kepada distributor arus utama yang condong kepada kemapanan dan kuasa akan pasar. Konsyinyasi idealnya berupa sebuah ben titip barang, pasang harga neto, lalu setelahnya akan diutak-utik oleh pihak kedua, dari segi harga akhir dengan keuntungan, promosi, dan sebagainya. Jika tidak ludes terjual, pihak kedua hanya akan bertanggung jawab untuk mengembalikan barang yang dimaksud. Berbeda dengan beli putus, sistemnya berupa penjualan barang oleh pihak ben untuk dibeli dan dijual dengan harga konsensus.
16. Beda dengan zaman now, rilisan fisik merupakan gimmick yang akan dikategorikan sebagai merchandise dan bukan lagi sebagai pemasukan utama. Digitalisasi memang memendam dilema, antara inovasi dan kuldesak.
17. Penuh percaya diri sebagai salah satu label independen yang turut meruntuhkan batas gerilya skena yang seru ini, ternyata dibutuhkan perjuangan kreatif yang mbeling nan ‘kancil’. Dihisap tapi dimusuhi, korporasi rokok merupakan bebuyutan skena ini sejak dahulu kala. Sebuah skena dengan target pasar yang begitu sempurna nan menggiurkan membuat korporasi tersebut baik selama ini. Inilah satu cerita tentang blunder yang sedemikian rupa direncanakan sebelumnya kepada salah satu korporasi itu: album “Mesin Waktu: Teman-Teman Menyanyikan Lagu Naif”. Biaya yang sangat besar dalam situasi dan kondisi saat itu, memaksa label yang menjadi pionir skena ini untuk menjalin kontrak dengan korporasi rokok. Singkat cerita kontrak disetujui pihak korporasi dengan syarat logo mereka terpampang di depan cover album nantinya. Lalu beriringan tawa keras para pundi-pundi kreatif karena mereka mencetak logo tersebut pada sleeve yang merupakan sampul plastik rilisan fisik seperti biasanya. Voila, kasat mata logo akan terpampang di depan secara nyata. Project ini dianggap sukses besar karena sampah di depan seluruh toko fisik penuh dengan sampul plastik tersebut.
Tumblr media
Sekilas studi tur saya kali ini. Lebih lanjutnya sila menunggu unggahan pihak yang mendokumentasikan acara ini secara legal. Selamat belajar apa saja!
0 notes
itskudels-blog · 7 years ago
Text
Teman Lama
Setiap kali seorang teman/ kenalan menghubungiku, aku selalu was-was. Dan mendadak baper: ada apa? Emang agak ke-ge-er-an sih. Tapi, sebagai orang yg hampir tidak pernah menjalin hubungan serius dengan seseorang selama lebih kurang 6 tahun belakangan, ketika ada yg menghubungi atau menaruh gelagat "tertarik" bisa bikin aku deg-degan juga. HAHA. Sungguh rasanya ingin menertawakan diri yg baperan dan pemikir *waduh* ini.
Sebenarnya bukan karena hal itu sih. Aku memang (sejak putus terakhir kalinya dengan seseorang) mendetox diriku dari lelaki dan pacaran. Aku mulai merasa pacaran itu nggak ada gunanya sama sekali. BLAS. Capek-capekin hati. Belum mau komitmen apa-apa, nuntut ini dan itu. Trus kalo gamau nurut, bisa-bisa kandas di tengah jalan. Abis itu patah hati. Move-onnya lama. Gitu aja terus -_- kapan aku kelar kuliahnya kalo gitu. HAHA.
Ketika orang-orang bilang, "pacaran biar ada yang nyemangatin", hatiku menertawakan sambil bilang, "kamu cukup kuat nyemangatin dirimu sendiri".
Ketika orang-orang bilang, "pacaran gih. Biar ada yg anter jemput". dengan kenceng pikiranku bilang, "ngapain? Kan ada kang Gojek yg stand by kapanpun dimanapun aku butuh"😼😼
Alhamdulillah lingkungan kuliahku bukanlah lingkungan yang mengharuskan punya pacar atau sejenisnyalah. Alhamdulillah aku masih dibimbing Tuhan pada niat yang: tidak mau pacaran lagi sampai nanti ada yg meminta untuk menjadi pendamping hidup selamanya.
Mikirku kejauhan? Hahaha.
Semakin berumur, aku makin sadar kalo hal-hal begitu sudah mulai harus dipikirkan. Bukan berarti ngebet nikah juga. Persiapan aja buat diri ini, biar nantinya ga asal pilih.
Kembali lagi soal #temanlama.
Awal tahun lalu, suami dari temennya temenku (ribet gak?) yang baru pertama kali ku temui saat mengantar temenku ke rumah temennya itu, bilang gini sesaat aku datang. "mbaknya ini nggak lama abis wisuda nikah ni".
Aku yg emang ngerasa mas-nya dr awal salaman kayak lg screening aku, kaget lah. Tapi ku biarkan aku tertawa garing mendengarkan ucapannya. Malah temen aku yg kaget dan spontan memarahiku karena tidak sopan mendahuluinya yg lebih tua (HAHA MAAF YA MBAK. Padahal yo opo. Punya pacar aje kagak). Dia jugak yang semangat kepo nanyain siapa (?) dan kok bisa (?) nya. hmmh. Emang dasar yaaaaa~
Ketika masnya bilang "ada itu... Teman lama".
Yang ini bikin aku agak senewen sampai ber hah!!? hah!!? ria.
Seketika aku mikir. Temen lama? Siapa ya?
Dan masnya bilang, "tunggu aja nnti".
Gileeeeee!
Sejak itu. Aku jadi kepikiran.. Soal jodoh, soal nikah, soal temen lama.....hal yang selama aku kuliah jarang banget aku ributin (karena terintimidasi oleh teman2ku yang s2 dan mewanti-wanti bahwa adek2 tidak boleh mendahului mereka. JAHAT GAK TUH? HAHAHA)
Makanya..setiap ada yang datang ke hidup aku, selalu aku kaitkan dengan clue dr masnya itu. Masnya nggak ngasi tau siapa dan gimana orangnya sih. Cuma sebatas "teman lama" doang. Salah sih yaa dengerin yang begituan? Duh maaf ya Allah. Nggak mau percaya sebenarnya karena jodoh, rejeki, maut mutlak di tangan Allah. :(((
Lanjut lagi.
Kebetulan, kemarin Minggu pagi, ada nomer asing nelpon. Biasanya males ngangkat sih karena sebel ditawarin asuransi atau diberi hadiah dr undian yang entah drmana asalnya. Tapi gegara akhir2 ini banyak yg complain krn aku jarang ngangkat tlp (padahal ya salahnya nlpon tp ga sms dlu dengan siapa), akhirnya ku angkat.
Pas denger suara di sebrang sana..suara cowok. Dan nyebut nama ditambahi clue "SMP". Maksudnya, temen SMP. Temenku itu, sebut saja ia sawo, sedang di Jogja dan menanyakan beberapa hal, termasuk apakah aku bisa ketemu dia.
Kuiyakan karena kemarin aku sedang menyelo-kan diri. Rehat dr revisi skripsi. Haha.
Pas ketemu, biasa aja sih. Nggak banyak yg berubah dari fisiknya selain lebih tegap, agak tinggi dr yang terakhir aku lihat pas SMP. Aku cuma bisa ketawa campur agak senang sih HAHA. jangan berfikiran aneh-aneh dulu. Aku senang karena jarangggggg banget ada temen2 atau kenalan aku yang ke Jogja dan menghubungiku. Bahkan temen sebangku-ku pas SMA sekalipun.. :'(
Kuajak makan temenku itu di SS. Bertanya kabar ini dan itu, hingga dia tiba-tiba curhat kalo dia batal nikah.. :(
Jd, si Sawo ini kuketahui dari postingan di instagram mantan calon istrinya, sebut aja Sawi, telah bertunangan. Seingetku aku juga sempat mengucapkan selamat pada mereka berdua karena mereka udah pacaran dr beberapa waktu sebelumnya.
Sampai si Sawo jemput aku ke kos Minggu siang itu, aku sbelumnya mengecek instagram mereka berdua untuk memastikan hubungan mereka. Biar aku ngga salah ngomong, gitu.
Dan, agak kaget sih karena foto2 pas tunangan itu nggak ada lg di ig keduanya.
Pas ketemu si Sawo, aku tak memancing apa-apa, eh dia malah dengan entengnya cerita begitu...dan agak serba salah akunya. Nggak ngerti apa-apa, baru ketemu setelah lebih dari 8 tahun nggak ngobrol, diceritain gitu.
Sawo cerita, si Sawi..mengkhianatinya. Sawo ngaku, nggak patah hati, sih. Cuma, kecewa. Dan Gemas. Menurutnya, Ia udah berupaya mencukupi kebutuhan si Sawi.
Satu hal sih yang aku salut dari si Sawo ini, dia so futuristik. Dia tau apa yang dia mau dan apa yang harus dia lakukan. Dan ketika dia menginginkan sesuatu, dia berusaha untuk mewujudkannya.
That's why aku ikutan berduka pas dia bilang, "kurang apa lg coba? dia butuh ini-itu, aku kirimin uangnya. rumah buat kami udah ada. kendaraan ada. aku nabung loh buat itu. sampai aku tahan keinginan aku buat beli barang karena aku mau nikah." (Dalam kondisi dia cerita ini aku cuma bisa meringis).
Tau nggak? Aku nggak nyangka ternyata temen SMP yg dulu sering bikin aku ngamuk gara-gara ngejek-ngejek aku, ternyata bisa yaa serius mikirin masa depannya. Agak gak percaya juga sih (jahat kan ya aku? Ampun gusti..)
Lanjut lagi.
Jadilah sepanjang 2 jam lebih kami ngobrol, isinya hanya ungkapan kekecewaan dia pada si Sawi. Kalo aku jadi Sawo, patah hati udah berlapis-lapis kayaknya. Udah berasa hidup mau kelar. Tapi untungnya, itu si Sawo. Bukan aku. Dan semoga nggak akan pernah aku merasakan kayak gitu. Naudzubillah :(((
Yang bikin aku baper...si Sawo itu tenyata so serius orangnya. Dia jg bilang ke aku ttg keluarganya Sawi sekarang. Sawi jd tulang punggung keluarga sejak ayahnya nggak kerja lagi. makanya si Sawo bertekad buat benar2 "jadi" dengan si Sawi biar bisa berbagi beban. Manis banget nggak sih? :D Perempuan mana coba yg nggak meleleh kalo liat ada lelaki yg sungguh2 buat nge-halal-in dia? Sayang, si Sawi mungkin sedang khilaf..
Ketika dia cerita gitu, dia juga sempat nasehatin aku untuk jangan sampai kayak gitu. Ya langsung ku "amit-amit jabang bayi"-kan lah. Dan aku jadi makin baper, karena dia adalah temen SMP aku. Temen 'lama' aku. Tekankan itu di kata 'lama'nya. :''''')))
Hufft. Dunno why. Tp omongan si mas suaminya temen dari temenku kembali bermain-main di pikiranku. Sampe-sampe, pulang dr ketemuan sama si Sawo, aku rasanya mabok. Nggak fokus. Sampai nulis ini panjang lebar karena nggak bisa tidur. Duh Gusti ampun 🙏🙏🙏🙏🙏
Sekarang, aku cuma bisa berharap, apapun yg terjadi ke depannya, semoga itu yang terbaik buat aku. Takdir Allah, ga bisa ditolak, kan?
Semoga, ini cuma perasaan aku aja. Semoga, cuma karena aku jarang bgt ngobrol berdua sama cowo sampai aku merasa GR. Semoga. Semoga. Semoga.
*kemudian inget doa-doa tentang "semoga jodohku bukan orang yang kerja di bagian 'ini', 'itu', dsb." yg ku ceritakan ke Desra dan Siska pada malam sebelumnya".
..
.
.
Panjang ya curhatku.
0 notes
malaikatterbaiktuhan · 8 years ago
Text
Malaikat Terbaik Tuhan
BAB 1
 “Kamu akan turun ke bumi,” kata Tuhan, “Dan tugasmu adalah untuk membawa kedamaian untuk dunia.”
Malaikat kecil itu menunduk sopan dan dengan senyum ia bertanya sekali lagi, “Tuhan, aku banyak tugas di sini, kenapa harus turun?”
Tuhan berkata, “Kamu adalah malaikat terbaikku.”
“Tuhan, aku tak tahu harus apa di dunia, tugasku untuk mengeringkan air mata di sini, dan aku tak tahu apa mungkin manusia akan menganggapku aneh atau tidak.”
“Dunia sudah makin gelap, malaikatku,” ujar Tuhan. “Lihatlah, manusia sering marah satu sama lain. Bahkan mulai merendahkan satu sama lain. Sebentar lagi ketakutan akan melanda dunia. Kamu harus membantuku. Turunlah dan buat dunia tenang lagi.”
“Tuhan, aku takut akan terkena kebencian dan kedengkian itu. Tabiat manusia kotor, mereka tidak sepositif aku.”
Tuhan membelai rambutnya yang jatuh tergerai bagai air terjun jernih, halus panjang dan tak kotor sama sekali. “Ada lagi yang favoritmu,” Tuhan berkata, “Manusia-manusia itu, sedang menangis.”
Mendengar ini sang malaikat langsung tersenyum. “Ah, kalau saya jadi banyak teman, saya mau turun.” Katanya.
“Tapi kamu harus hati-hati malaikatku. Ibumu, yang kelak akan kau panggil mami, adalah yang terburuk dari semuanya. Kamu harus turun karena papimu yang sekarang sedang mengharapkan pertolongan. Sudah 9 bulan ia menunggu. Dan pernikahan antar dua keluarga itu amat busuk.”
Si Malaikat mengerti, “Aku akan turun menghapus air mata papi. Dan mungkin akan suatu hari membawa kecerahan di hati mami.”
Tuhan berkata lagi, “Yang akan kau sebut mami itu tidak hanya serakah dan bodoh, ia juga galak dan sombong.”
Si Malaikat langsung mengerti dosa apa yang harus ia hadapi.
“Ia juga jelek dan tak ada sifat positif sama sekali.”
Di langit timur, matahari mulai terbit, dan rintikan air kecil-kecil mulai muncul di pucuk rerumputan.
“Sekarang, malaikatku, ayo kita turun.”
Sepanjang perjalananya turun, banyak malaikat menyambut malaikat terputih itu. “Selamat jalan yah, sampai ketemu lagi, kita kan membantumu dari sini, jangan lupa kami di sini, kami sayang kamu.”
Malaikat itu hanya menitikan air mata haru dan mengangguk semangat.
Kira-kira setengah perjalanan kebawah, ia diberi minuman obat lupa. “Ayo teguk,” ujar sang pembuat obat, “Biar hidup tentram di sana.”
Malaikat meneguk kesusahan, ini agak berapi-api pikirnya. “Hanya satu yang tidak kau lupa dari surga, yaitu cara mengeringkan air mata.” Malaikat setuju dan dengan sempoyongan melanjutkan perjalananya di bahu Tuhan.
Tuhan menunjuk ke bawah awan, ke sebuah rumah sakit di ujung jalan kecil. Rumah sakit yang kumuh, tapi cukup aman buat praktek profesional.  “Ia sedang berada di ruang bersalin sekarang.” Kata Tuhan.
Malaikat itu mengikuti Tuhan menuju lorong-lorong. Suara dan lampu terang mulai makin terlihat di ujung ruangan. Seorang bapak berusia baya sedang duduk di ruang tunggu. Ekspresi mukanya tak jelas sedang apa. Mungkin sedih. Mungkin bingung. Tapi yang pasti kecewa. Suara suster dan dokter di dalam ruang bersalin makin terdengar jelas. “Sekarang malaikatku, masuk.”
Malaikat tersebut lompat masuk dan dengan cerianya ia berteriak “Saya datang!”
Suara bayi menangis menggema jelas di ruangan bersalin itu. Para dokter mulai tertawa haru, “Ini dia,” ujarnya, para suster juga mulai lega dan membelai kepala ibu yang baru melahirkan itu. “Selamat bu,” kata mereka “Bayi anda anak perempuan.”
Wanita yang lemas berbaring itu berkata, “Sakit sekali sus, sakit sekali, kenapa baru sekarang keluar.” Suster yang tak terbiasa akan keluhan kecut itu hanya berkata, “Ia mungil imut.”
Dibawahanya bayi itu ke dekapan ibu, karena takut ada yang komentar atas kelelahanya itu, sang ibu memeluk bungkusan kecil di dadanya dan berkata, “Terimakasih Tuhan, tolong panggilkan bapaknya, saya mau memberi nama pada bayi kecil ini.”
Dengan begitu, ayah sang bayi kecil di bawa masuk ke ruang bersalin. Bapak yang sedang menunggu pasrah di ruang depan itu, terlihat sedikit berharap ketika mendengar erangan suara bayi. “Bayi peremuan Pak.” Kata sang ibu.
Sekali melihat bayi itu, sang bapak berkata, “Spesial dia,” katanya “Imut sekali, mungil berseri-seri, seperti malaikat paling bahagia di surga.”
“Sudah, memujinya ntar saja,” ucap ibunya, “Mau diberi nama siapa?”
Bapak yang sudah lama memikirkan anaknya berfikir sejenak, “Bagaimana kalau Freya. Freya, nama yang bagus bukan?”
Ibu yang kelelahan itu tak berfikir panjang, “Ya, ya. Kamu sudah memikirkanya lama. Freya aja lah.”
Dengan itu, hidup si kecil Freya dimulai.
     BAB 2
 Freya tumbuh sehat dan lincah. Pada awalnya ia tinggal bersama kakek neneknya bersambut papi maminya. Di rumah tua itu, Freya belajar berjalan, makan dan bicara.
“Ceria sekali,” ujar kakeknya. Ia yang menyetujui pernikahan anak prianya pada keluarga mata duitan dari kota akhirnya bisa tenang. “Dia mulai berbicara padaku.”
Freya amat menyukai kakek neneknya, mereka yang menghiburnya dan membuatnya tertawa di saat ia menangis. “Mami mana?” Ujarnya kalau mami nya belom pulang dari kantor, “Mami lagi cari uang biar Freya bisa makan.” Kata kakek itu.
Banyak tamu berdatangan ke rumah tua itu untuk memberi selametan pada bayi yang baru lahir itu. “Freya namanya? Cantik sekali? Kecil-kecil sudah mirip artis terkenal. Sudah bisa jalan? Bagaimana kalau berbicara? Kenalin yah, saya tante.” Banyak tamu yang berujar begitu.
Maminya yang terkadang ada di rumah sering berkata, “Sudah, masih kecil, belom mengerti arti kata-kata tersebut, kasih aja permen, dia suka.”
Tamu-tamu wanita usia lanjut teman kakek nenek tersebut juga sering datang, “Freya, kecil tapi sudah pintar. Dia bisa menggambar. Alangkah diberkati. Lihatlah, dia cantik juga. Sudah pasti menjadi idola hati semuanya di masa depan.”
Neneknya yang paling kasian akan ayahnya yang dipertunangkan dengan keluarga serawungan itu menjadi nenek yang paling bahagia. Pertama ia sering membuat sup kaldu ayam kesukaan Freya tiap pagi. Dan juga membiarkan Freya merawatnya ketika ia encok.
“Nenek jangan nangis,” ujar Freya, “Sini aku pinjitin ah.” Freya kecil meskipun amat mungil ia pandai berkata-kata dan mengeringkan air mata manusia.
“Pasti akan jadi orang terpelajar,” ujar semua orang.
Namun ketika malam tiba dan rumah makin menyepi, Freya tak bisa menghentikan perasaan sendirianya. Ia tahu ibunya tak baik hatinya. Paling kecut bahkan. Kadang ia menangis sendiri. Tapi kalau sudah tak tahan, Freya tak takut menangis lebih kencang. Di saat itu kakeknya masuk ke dalam kamar dan sering sekali menghibur Freya, “Hayo kenapa nangis lagi, nanti kakek usir setannya.” Ujarnya. Dan itu membuat Freya tersenyum sedikit.
Namun datang hari itu, hari dimana Freya harus pindah rumah. Rumah untuk keluarga bertiga dan tidak membebani rumah kakek nenek lagi. “Sebenarnya kalau kamu tak pindah juga tak apa-apa kok.” Kata sang nenek. “Kami bahagia mengurus kalian bertiga di sini.” Tapi ayahnya tetap menolak itu dan bersikeras untuk mempunyai rumah sendiri.
Freya kecil nan cantik akhirnya mempunya kamar sendiri di rumah barunya. Kamar yang dihiasi pita dan gorden putih. Namun dengan sedihnya ia mengkangeni kakek neneknya di rumah tuanya dulu. Kakek sedang apa sekarang. Tanpa peduli maminya tidak member kesempatan untuk mengunjungi kakek neneknya. “Nanti saja, waktu tahun baru.” Ujarnya. Freya tak mengerti apa itu tahun baru. Tapi ia tahu ia dilarang.
Waktu berlalu dan Freya sudah lama tidak melihat kakeknya. Suatu ketika, ayahnya pulang dengan air muka lusuh, “Kakek meninggal.” Ucapnya.
Freya tersentak kaget dan menangis, kakek, kakeknya yang disayang yang selalu menunggu dia di benaknya sudah tak ada. “Kakek pasti menunggu aku di rumah itu,” katanya, “Kakek mati kesepian kan?”
Ayahnya hanya merangkulnya, “Kakek kenal kok sama kamu.” Ucapnya singkat,” Dia tau, Freya tak akan menyakiti seseorangpun. Dia tau Freya paling benci orang menangis. Dan dia tahu Freya bukan anak yang semacam meninggalkan orang begitu saja. Ya Freya, senyum aja.”
Freya menghapus air matanya tapi masih menangis dalam-dalam. Hatinya serasa hancur. Kakeknya yang sudah lama ia tak lihat, benar-benar tak akan kelihatan lagi sekarang. Keesokan harinya Freya pergi ke kuburan bersama ayah ibunya. Neneknya disitu sedang duduk menyendiri sambil menunduk sedih. “Yang penting dia masih di sini.” Pikir Freya. Dan upacara penguburan pun di mulai.
Ibunya yang saat itu hanya memikirkan pajak di kantor, bergumam keras di sebelah Freya, “Kakekmu itu beda agama sama kita, mungkin dia masuk neraka nantinya.” Mendengar ini Freya sedih dan marah, “Tidak, mami, kakek orang yang baik, dia pasti di sebelah Tuhan.”
“Belom tahu yah, orang yang selaen agama kita itu, pasti masuk neraka. Kakekmu aja males beribadah, dia pasti di neraka.” Freya mulai menangis kencang. “Di neraka, mereka di siksa..”
Ibunya terus bercerita, sedangkan Freya menutup kupingnya, gambaran kakeknya yang sedang senyum mengiang di kepalanya.
                  BAB 3
 Freya beranjak dewasa. Parasnya yang cantik memenangkan hati orang-orang di sekitarnya. Kemanapun ia pergi selalu saja ada yang menyapa dan memberi senyum hangat.
“Namanya siapa?”
“Freya.” Ucapnya.
Hal ini membuat hati ayahnya gugup. Ia tak boleh keluar rumah tanpa pengawas, pikirnya. Kalau putri satu-satunya sampai kenapa-kenapa ia tak tahu mau di taruh mana hatinya. Karena itu Freya menjadi anak rumahan. Ia tumbuh sopan dan lembut, hatinya yang murni membuat semua orang di sekitarnya tersenyum bahagia. Ia juga amat pintar, untuk orang seumuran dia, dia memiliki wawasan yang amat luas. Bahkan dunia politikpun dimengerti untuknya. Ini merupakan nilai plus bagi pria-pria yang naksir padanya. Dan keluhan gossip bagi wanita-wanita yang kenal padanya. Dan-danan Freya selalu rapih dan kalem. Tak pernah ia memakai baju terbuka bak wanita jual diri. Kerapihanya yang ini membuat manusia semakin tertarik padanya.
“Pendiem yah?” Ujar orang-orang yang berkeliaran di sekitarnya. “Mirip artis, itu, yah?” Ujar gossip yang mengiang.
Tak seorangpun yang mencurigai Freya sebagai malaikat yang sedang bertugas. Pikirnya hanyalah gadis yang cantik luar biasa yang lahir di keluarga beribu temperamen. Begitu juga Freya. Ia sudah lupa akan kenangan-kenangan manis di surga. Dan tak ada bisikan bisikan dari Tuhan yang memberitahu fakta tersebut.
Di sekolah, Freya nilainya selalu juara satu. Kecantikanya membuatnya murid populer. “Eh ada yang lihat Freya ngak?” Ujar seorang murid pria di kelasnya, “Kayaknya ada yang baru dari dia, apa dia pakai anting yah” Mendengar ini banyak sekali murid wanita yang iri padanya. Tapi semua tak berani menyeletuk Freya. Diam saja. Dan mengikuti arus. Freya mempunyai beberapa teman dekat. Mereka sering berbincang-bincang soal fashion, makeup dan bintang-bintang artis yang terkenal masa itu. Masa teenager Freya amatlah indah, penuh dengan tawa dan persahabatan.
Ibunya sering sekali melarang Freya untuk keluar. “Nanti kamu diculik.” Ujarnya. Freya mengira ia bercanda, “Mana ada orang yang mau menculik aku,” katanya. “Nanti papi kamu marah loh.” Dan mendengar itu, Freya langsung terdiam.
Tapi tetap saja persahabatan Freya di sekolah selalu ada.
Pria yang naksir Freya di kelas banyak. Tapi ada satu yang selalu mengiang di kepala Freya. George namanya. George pria tinggi, dan deman olahraga. Ia salah satu bintang atlet di kelasnya. Pintarnya tak sepintar Freya, tapi ketika masuk ke bidang sports, Freya selalu tertegun. “Kamu gak makan,” ujarnya. Freya tahu dia hanya mencari alasan untuk mengobrol dengan dia. “Ngak George, kamu aja makan.” George langsung mengambil jajananya dari tas, “Saya makan di sini yah.” Dan Freya dan George sering makan diam-diaman di samping satu sama lain dengan sunyi.
Pada saat waktu menjelang bel usai sekolah. Freya berjalan menuju lapangan basket di depan sekolahnya. Banyak cowok bermain bertiga-tigaan di lapangan basket terebut. George salah satunya. Dia paling tinggia, dan posturnya paling lincah di antar lima pemain lainnya. Freya berjalan pelan dengan gumaman diam di samping lapangan tersebut. George menoleh ke arah dia dan langsung minta ijin untuk istirahat sebentar. Dengan ayunan setuju dari tim maennya, George berlari ke arah Freya. “Sendiri aja?” Kata George. “Lagi terburu-buru bikin tugas,” ucap Freya kalem. “Ajarin dong, saya ngak sepintar kamu.” Freya tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. “Nilai matematika kamu amat sangat tak patut untuk dimasukan ke dalam daftar nilai,” canda Freya. “Bagaimana memperlihatkanya ke mami kamu?” “Mami aku sih baik,” ujar George, “Lagian kan setelah lulus nanti, saya mau memperdalam olahraga.” Freya terdiam. Tak tahu harus komentar apa, masalah orangtua, Freya benar-benar bingung. “George!” suara tim basket teman George terdengar dari seberang lapangan, “George cepetan pacarannya kita mau mulai lagi,” George mengayunkan tanganya mensignalkan mereka untuk diam. “Besok, makan bareng lagi yah.”
Pada hari ulang tahun Freya, banyak sekali hadiah yang datang ke rumah Freya. Dari keluarga, dari teman, semuanya mengirimi. George salah satunya. Setangakai bunga mawar untuk Freya. Diantar langsung ke rumah Freya dan dititipkan di pintu masuk. Melihat ini, ibu Freya langsung marah. “Kamu berhubungan langsung sama lelaki?” ucapnya. Freya kaget, itu fitnah, berpegangan tangan saja dia tak pernah, “Tidak ibu, saya tidak pernah ada hubungan apa-apa sama lelaki.”
“Kamu tidak menghormati permohonan papi kamu, kamu pikir pria-pria itu baik? Pria itu sering memainkan wanita.”
Freya terdiam bingung, “Hanya teman dekat,” bisiknya.
“Ini bunga ungkapan suka, kamu tahu.” Kata ibunya lagi dengan nada suara yang lebih tinggi. “Kamu mau dijadikan maenan pria itu.”
“Ibu selalu saja menasihati aku yang bukan-bukan. Hari ini jangan ketemu cowo. Laen hari jangan ketemu cewe. Tidak pernah menasehati aku jangan belajar terlalu malam atau jangan lupa makan pagi. Selalu saja mengenai hubungan. Ibu mau aku jadi manusia penyendiri? Atau terkurung seperti binatang peliharaan saja?”
Ibunya hanya memperhatikanya tajam, “Kamu cantik, Freya, tak aneh kalau ada lelaki yang mengikutimu. Tapi kamu harus hati-hati, kamu masih gadis, tidak mau kan hamil?”
Freya kaget, kata-kata itu terlalu banyak untuk manusia seusia dia.
“Sudah yah, mami mau ke kantor.”
Freya berlari ke kamarnya dengan perasaan mual.
Beberapa tahun berlalu, dan akhirnya Freya lulus dengan nilai sempurna. “Selamat Freya,” ujar papinya, “kamu memang putri kebanggaanku.” Freya dengan baju formalnya menerima sertifikat di atas panggung. “Mau perguruan tinggi dimana Freya,” kedip guru yang menyerahkan sertifikat ke dia. “Ke luar kota tentunya,” Freya balas membisik ke guru tersebut.
Ah betapa senang hati Freya, dapat lulus dengan nilai bagus. Ia bisa melanjutkan ke bidang studi apa pun juga jadinya. Ia ingin sekali memperdalam sastra, atau seni. Tapi mungkin ayahnya memerlukan seseorang di kantornya. Selalu saja ada yang salah di sana. Ibunya yang berada di bagian penggajian selalu memberi dukungan buruk terhadap karyawan-karyawanya. “Potong gaji yah,” ibunya sering berkata tersebut. “Tidak mungkin kan saya biarkan kamu melakukan keasalahan begitu saja?”
Freya setuju untuk keluar kota untuk melanjutkan pelajaranya yang lebih tinggi. Teman-teman perempuanya semua membuat pesta selamat tinggal untuk Freya. George, lelaki malang yang “dilupakan” oleh Freya pada hari ulang tahunya beberapa tahun yang lalu tidak datang. Namun ia memberi surat pendek untuk dia. “Freya,” isinya begini, “Kamu cantik. Tak apa kan saya jatuh cinta padamu? Kamu terlihat selalu senyum dan tertawa. Seperti tak ada tangis. Kamu seperti malaikat di hatiku. Kamu akan meninggalkanku dan hidupku mulai dari sekarang. Jagalah dirimu baik-baik. Lupakanlah aku kalau mau. Tapi, ingatlah akan seorang pria malang yang pernah jatuh hati padamu. Berbahagialah. Karena senyummu yang selalu kuperhatikan dari jauh membuatku bahagia. Selamat tinggal. George.” Freya terdiam sebentar, dan menyimpan surat tersebut dalam tasnya. Malaikat katanya. Ujar Freya. Aku hanya seseorang yang lega melihat orang bahagia.
Kendaraan yang akan mengantar Freya keluar kota datang pada beberapa minggu ke depan. Freya sudah siap dengan baju-baju dan buku favorit dia. Kota baru, orang baru, Freya merasa amat semangat. Freya tak tahu, di dunia luar itulah banyak manusia menangis.
         BAB 4
Kota baru. Hiruk pikuk suaranya amat beda dengan kota Freya yang dulu. Di sini semua terlihat serba besar. Bangunan-bangunanya menyongsong tinggi ke langit. Kendaraan-kendaraanya juga penuh dengan mesin-mesin otomatis. Freya kaget sebentar dan merasa terasingkan. Kota itu terlihat amat modern.
Sebuah apartemen studio kecil  dipersiapkan oleh orangtua Freya untuk Freya. Karena bahasanya beda, hasil transaksi cukup lama. Tapi Freya yang pintar mengetahui bahasa daerah tersebut. Ia hanya ingin berteman secepatnya. Agar lebih masuk di daerah baru tersebut.
Dan-danan Freya yang sederhana mengundang banyak tatapan dari orang-orang kota tersebut. Seperti orang baru. Bahkan kelihatan sekali dia dari kota kecil. Freya merasa tidak nyaman akan tatapan-tatapan mereka. Apalagi mereka jauh lebih tinggi dan besar dari dia. Wanita-wanita di kota itu berdan-dan sangat modern. Kosmetik dan gincu menyentreng terpoles rapih di muka mereka. Bajunya juga amat berkelas. Musim dingin di kota itu lebih berangin dan menusuk. Jadi berbagai baju tebal mereka pakai. Pakaian hangat Freya agak kalah mode. Tapi cukup sopan dan hangat untuk dirinya. “Mungkin di masa depan nanti kamu akan berdan-dan seperti mereka.” Canda papanya. Freya menghela nafas saja.
“Freya kamu jangan lupa membersihkan apartemen,” nasehat ibunya, “jangan lupa juga mencuci piring.” Freya mengangguk.
“Ingat kamu tinggal sendiri sekarang, jangan bermalas-malasan. Kalau sampai kamu sibuk dalam kelas, utamakan mencuci piring dan mencuci baju. Tapi jangan lupa makan juga. Juga papimu akan mentransfer uang sebulan sekali untuk biaya pangan dan kos apartemen. Jangan lupa bayar. Dan ingat, kamu masih anak kecil, jangan maen sembarangan sama cowok.”
Freya yang sudah sering mendengar ocehan ibunya itu hanya menunduk diam saja.
“Papi mami mau pulang sekarang, jangan takut sama kehidupan baru. Cobalah mandiri.”
Freya hanya mendapat jabatan tangan singkat saja dari ibunya. Dan lambaian hangat dari ayahnya. Dengan begitu mereka pergi meninggalkan Freya di dalam apartemen kecil itu.
Hari pertama Freya di sekolah barunya amatlah berat. Teman-teman barunya terlihat sangat asing dan dingin di mukanya. Banyak yang datang dari kota lain. Ada juga orang lokal kota itu. Kebanyakan dari mereka memakai baju nge-trend, dan juga make up tebal. Nampaknya sudah biasa di kota tersebut. Namun tak satu wanita pun ingin berteman sama Freya. Mungkin ia terlihat asing. Atau bahasanya agak kaku. Tapi ia tahu, mereka memperatikanya dari tempat duduk mereka masih-masing.
Suatu ketika salah satu dari mereka mengajaknya berbicara, “Kamu dari kota mana?” katanya singkat.
Freya tau ia hanya pura-pura baik saja. Di dalamnya mereka menyembunyikan obrolan asyik nanti.
“Dari Dakarat.” Katanya.
“Dakarat? Ada apa orang secantik kamu di Dakarat? Bukanya kebanyakan artis dari kota lain bukan dari sana. Kamu harus dan-dan lebih bagus,” serunya.
“Aku belom terbiasa,” ujar Freya dengan singkat dan jujur.
“Kamu cantik, beberapa cowok di kelas ini melihatin kamu, tapi kamu harus dan-dan lebih berani. Ayo sini aku ajarin.” Perempuan itu mengeluarkan sebongkah peralatan makeup dari tas kulitnya.
“Ini, coba yang merah ini .”
Freya melihat gincu merah yang ia sodorkan di tanganya. Belum pernah ia mencoba gincu merah. Gincu pink paling-paling. Tapi merah bukankah warna untuk wanita dewasa yang lebih mengundang dari dia. Tapi karena sopan, Freya mencoba gincu merah itu.
“Nah, gini kan lebih keren. Kamu itu imut-imut.” Ujar perempuan itu, “Mungkin sedikit polesan gincu saja sudah cukup. Tapi jangan lupa baju kamu juga perlu diubah. Itu baju model kapan. Kamu lihat di majalah yah, jelek ah.”
Kata-kata itu bermaksud menusuk. Tapi Freya menanggapinya sebagai saran. “Jadi kalau ingin fit in di kota ini, saya harus berdan-dan seperti mereka.”
Dengan itu, Freya mulai membeli barang-barang modern kota tersebut untuk menjadi salah satu dari bagian kota itu. Gincu merah adalah barang pertama yang ia beli dengan uang papinya. Tak usah mahal-mahal, pikirnya. Perempuan di kelas itu amat ketus padanya, tapi ada masuk akal juga.
Minggu selanjutnya Freya masuk kelas mengenakan gincu merah atas saranan teman perempuannya itu. Tentu mengundang banyak perhatian lelaki. Perempuan tersebut hanya memperhatikanya dari jauh dan dengan senyum puas berkata, “Kamu salah beli merah tuh. Ini membuatmu terlihat lebih tua.”
Freya kesal dan sedikit malu. Gincu yang ia beli dengan uang papinya di ejek oleh orang yang ia kira teman. Freya keluar kelas awal hari itu.
Pada jalan keluar kelasnya, ia mendengar suara tangisan dari ujung lorong.
“Adakah yang menangis?” ujarnya. Freya maju beberapa langkah tangisan itu makin terdengar amat keras.
Freya mengikuti arah suara tangisan itu, dan tiba di ujung lorong dimana toilet wanita sedang terbuka tak terkunci.
“Permisi? Apa ada orang di sini?”
Suara tangis itu menciut. Namun mulai terisak besar lagi setelah beberapa saat.
“Permisi? Kamu tak apa-apa?”
Freya masuk ke kamar mandi, dan mendapati seorang perempuan sebaya sedang menangis di lantai toilet wanita.
“Kamu tak apa-apa?” ujarnya sekali lagi.
“Saya lelah, saya takut,” hanya suara perempuan itu lagi.
“Ayo cerita, saya ingin membantu.” Kata Freya.
Si perempuan menatap Freya, rambutnya berantakan, dan berdasarkan baju yang ia kenakan, sepertinya dia dari luar kota juga. “Aku takut.” Katanya.
“Takut apa?”
“Aku rindu kotaku yang dulu, tempat ini amat besar dan mengerikan.” Kata perempuan itu.
Freya langsung berteman, “Aku juga baru di sini. Tak terbiasa dengan keadaan sendiri. Bahkan beli gincu pun tak cocok denganku, mau jadi teman?”
Perempuan itu terdiam, lalu mulai menghapus isakanya dengan tanganya. Setelah beberapa saat ia berkata, “Kamu mau jadi temanku? Teman yang berantakan dan penakut sepertiku? Kamu tahan?”
“Tentu, aku mengerti kok kenapa kamu seperti ini, bahkan aku juga perlu bantuan. Kalau kamu mau jadi temanku, kita bisa membantu satu sama lain, dan tak akan susah lagi deh.”
Perempuan bernama Yuka itu mengangguk, dan mulai reda tangisanya, “Terimakasih, aku juga lagi perlu teman. Nama kamu siapa?”
“Freya.”
“Kamu orang yang baik Freya, mulai sekarang kita berteman yah.”
Freya dengan bahagia tersenyum.
Freya dan Yuka berumur sepantaran. Dan keduanya sama-sama tidak se trendi orang-orang lokal di situ. Namun penampilan Freya dan Yuka berbeda sekali. Freya yang alim terlihat anggun polos memana. Yuka yang lebih pendek dari Freya selalu memakai baju kuno dan tidak sepadan dengan kota maupun kecantikan Freya tersebut. Mereka berdua jadi terlihat canggung, dan masih diasingkan oleh orang-orang kota tersebut, tapi Freya senang dapat teman seperti Yuka di kota dingin itu.
    BAB 5
“Kamu bergaul dengan Yuka?” Ujar perempuan yang Freya temui di hari pertama itu. Kaiya namanya. “Dia selalu nangis dari hari pertama, kamu diajak rusuh loh lama-lama.”
Freya hanya menatapnya, “Yuka baik-baik saja, ia kompak dan amat baik pada semua orang.”
“Tapi dia nangis, lihat deh kalian berdua selalu pake baju ngak sepadan. Kamu mau dijadikan apa sama orang lokal nantinya. Belum lagi kalau dia nangis lagi di muka umum. Mau di taruh dimana muka mu.”
“Kalo dia nangis ya sudah saya keringkan,” kata Freya “Apa masalahnya di situ?”
Kaiya terdiam oleh celukan Freya tersebut. Setelah beberapa waktu ia berkata lagi, “Bagaimana kalau kalian kuundang kerumahku. Kalian lihat koleksi dan-dananku, nanti kuajari caranya fit in di kota ini.”
Kota ini terlalu jahat, pikir Freya. Orang-orangnya saling menyukai orang nangis. Tak takut memarahi satu sama lain. Kerjanya malu-maluin dan takut pada diri sendiri. Freya berfikir panjang, “Kosmetik mahal seperti itu, apa kamu tak sayang meminjamkanya pada kita.”
“Tentu tidak,” kata Kaiya percaya diri, “Saya punya banyak.”
Freya berfikir sejenak. Setidaknya belajar hal baru dari kota maju seperti tak ada salahnya. Tapi kalau orang yang mengajarinya seperti Kaiya..
“Saya tanya Yuka dulu,” ujarnya.
Pada saat makan siang, Freya mengucap pertanyaan tersebut, “Kosmetik Kaiya?” kata Yuka kaget, “Aku ngak tahu, aku jelek, tak mungkin cocok dengan kosmetik.”
Freya terdiam, “Tawaran dia tulus sih, dia ingin kita masuk ke kota ini sebagai warga lokal bukan pendatang baru. Kita bisa coba sehari saja.”
“Iya, tapi..”
“Lagian aku males menghadapi Kaiya kalau memang dia akan bertanya-tanya terus tentang celetukanya yang kita model kuno. Lebih enak kita puasin aja keinginanya, dan dia akan menghilang setelah itu dengan bebas.”
Yuka mengangguk setuju. “Hari apa?”
Kaiya amat senang mendengar setujuan mereka. Di kelas saat Freya mengungkapkan persetujuan tersebut Kaiya langsung tersenyum lebar, “Ayo minggu ini ke rumahku, kalian tidak ada kerjaan kan? Rumah tak jauh, hanya beberapa stasiun melalui kereta, ini alamatku.”
Kaiya mengambil secarik kertas dan menerakan alamatnya di selembar kertas putih itu. “Jam 10 pagi, jangan telat Freya.”
Hari minggu itu Freya dan Yuka bersama-sama pergi ke rumah Kaiya. Di kereta mereka sempat menjadi pelototan warga-warga lokal. Tapi sesampainya mereka di rumah Kaiya, lega mereka, ternyata rumahnya biasa. Kaiya memiliki kamar sendiri, dan terdan-dani ala kamar-kamar anak perempuan. Banyak tirai putih di kamar yang berjendela itu. Sprei ranjangnya juga menarik. Para anak perempuan itu mulai bermain dengan kosmetik, dengan tuntunan Kaiya. Mereka tahu produk mana yang harus di taruh di mata, dan cara memperbaiki struktur wajah mereka. Kuas demi kuas mereka gunakan untuk memoles wajah mereka. Gincu merah yang amat terkenal mereka gunakan terakhir sebagai finishing touch.
Selesai itu, mereka berkaca dan menghela nafas. Jadi ini pengelihatan warga sekota tentang standar kecantikan. Harus nyentereng. “Nah kalau begini kalian kan lebih terlihat wajar.” Kata Kaiya sambil merapihkan kosmetiknya yang berlaci-laci itu. “Ayo kalian keluar sekarang.”
Dengan lebih berenergi Freya dan Yuka berjalan keluar. Penasaran apa yang akan di katakana orang-orang kota nanti. Terkejut pertama, banyak orang tidak memelototi mereka. Tapi sekarang malah tersenyum tipis. Ada beberapa yang mengangguk kearah mereka. “Kita terlihat normal kayaknya.” Beberapa menit berlalu Freya dan Yuka berjalan di jalan dengan perasaan percaya diri. “Kita duduk di bangku taman itu yuk,” ujar Freya. Tempat duduk itu penuh dengan kakek tua. Sedang menikmati udara sejuk kayaknya. Mereka duduk dengan semangat. Kakek-kakek tersebut memandangi mereka untuk beberapa saat. Freya tersenyum, agaknya dapat berteman dengan mereka. Saat Freya ingin berbicara pada mereka, salah satu mereka tiba-tiba menyeletuk kearah mereka, “Kalian ingin kemana?” ujarnya. Freya dan Yuka kaget, “Kami hanya ingin menikmati udara taman kek.” Kakek itu terlihat bingung. Dan dengan curiga berkata, “Kalian bukan wanita malam kan?”
Freya dan Yuka kaget.
“Tidak, kita murid di sini.”
“Kok berpakaian seperti mengundang gitu?” ucap kakek yang lain. “Jangan salah, di kota ini banyak peminat dari segala umur.
Freya dan Yuka merasa amat terluka. Ternyata dan-danan Kaiya terlihat amat vulgar. Freya yang mengira sudah mendapat teman merasa amat terluka, apalagi Yuka. Ia mulai menangis di tengah taman itu. Sakit sekali hatinya. “Sudahlah,” bisik Freya mendengar isakan Yuka, “Kita pergi saja.”
Mereka mulai beranjak pergi. Dan kakek-kakek yang lain mulai bersiul. Tanpa mempedulikan mereka Freya dan Yuka pergi jauh.
“Aku tak mau tinggal di kota ini lagi.” Isak Yuka.
“Sudahlah Yuka. Kita sudah menghindar dari mereka.”
Freya menyodorkan tissue dan melap gincu dan riasana di wajah mereka. “Aku rasa dari semua kota yang kita tahu, kota ini yang paling jahat.”
“Yang namanya Kaiya, paling jahat.”
Freya mengangguk, mengingat maminya. Apakah mungkin maminya dulu adalah wanita jahat seperti teman baru yang ia temui di kota ini. Apa mungkin ada cara untuk fit in dengan tabiat manusia seperti itu?
Setelah hari itu Freya dan Yuka dengan kesalnya menghindari Kaiya, “Freya dan Kaiya sedang musuhan yah?” Tapi itu pun di cuekin oleh Freya dan kawan-kawan. Namun karena kekesalan mereka terlalu dalam Freya dan Yuka setuju untuk mengalahkan Kaiya. “Suatu hari,” kata Freya “Kita akan menemukan dan-danan yang pas bagi kita.” Namun hal itu amat susah. Uang pas-pasan dan teman orang lokal juga tidak ada. Akhirnya lebih menjadi kutu buku dari pada perempuan populer. Tapi ini taka pa, bagi Freya, nilailah yang paling penting dari bagian sekolahnya. Namun keduanya masih saja mencari dan-danan yang pas.
Terkadang Yuka suka nangis di tengah kelas. Kesusahanya untuk mencocokan diri di daerah baru terlalu berat untuknya. Freya yang baik selalu saja mengeringkan air mata Yuka. “Kamu janji yah di sebelahku terus,” kata Yuka. Freya mengerti, ia hanya merasa tidak diterima di kota baru. Guru-guru dan para murid sering bergosip soal kedua anak manja di kelas. Duduk di pojok berdua dan selalu tidak cocok dengan guyonan mereka.
Freya yang tadinya ceria dan banyak bergaul jadi kutu buku pendiam yang hobinya di kamar mengerjakan pekerjaan rumah. Teman obrolanya hanyalah Yuka. Mereka berdua sering bercerita dan membantu satu sama lain dalam hal pelajaran. Dan pada hari-hari tertentu mereka berdan-dan sepantasnya ke kelas. Memang belom se sempurna orang-orang lokal, tapi cukuplah dari pada terlihat tidak rapih.
Tak terasa tiba saatnya untuk pengakhiran semester pertama. Tanpa di duga, Freya di panggil ke kantor gurunya dipertengahan kelas. “Freya, kamu ke kantor yah.” Ujarnya. Freya dengan kaget mengangguk dan mengikutinya keluar kelas.
“Freya,” kata guru tersebut, “Selamat, nilai-nilai kamu bagus sekali semester ini. Bahkan mengalahkan murid terpintar di kelas kami. Saya kira kamu pendiam, karena baru datang dari kota lain dan bahasanya juga beda. Tapi ternyata kamu pintar.”
Mendengar ini Freya amat bahagia. Ia tersenyum, dan pipinya yang memakai polesan warna merah berseri-seri. “Terima kasih pak, saya usaha keras untuk pelajaran saya selama ini.”
“Pada saat upacara selametan nanti, saya akan panggil kamu untuk mendapatkan sertifikat, kamu tinggal naik panggung, tak usah membuat pidato. Tapi ingat, jangan dan-dan yang aneh-aneh.”
Candaan bapak guru membuat Freya semakin berseri. “Terima Kasih pak, saya akan beritahu Yuka.”
Freya keluar kantor dengan hati ringan. Amat senang ia ternyata hasil jeri payahnya terbayar pada akhirnya. Ia ingin mengabari papinya. Dan mungkin ibunya. Tapi ia harus pulang dulu.
 BAB 6
Undangan datang ke upcara sudah dikabarkan kepada ayah ibu Freya, dan mereka terdengar amat senang mendengar anak mereka sukses. Tanggal berkunjung sudah disepakatkan. Dan Freya sedang menunggu kedatangan mereka ke kota tersebut.
Hari-hari berlalu, dan Freya bersama Yuka masih saja berusaha menemukan dan-danan yang tepat untuk kota mereka. Baju warna-warna pastel yang biasa Freya pakai diganti dengan baju hitam ketat berbau profesional. Rambutnya ditata rapih dengan perhiasan berkilau. Tak biasanya Freya membeli perhiasan mahal, tapi karena di kota ini perhiasanya besar dan bagus-bagus Freya merasa tak ada salahnya, toh nanti bisa di pakai lagi.
Suatu ketika ketika ia sedang berjalan di jalanan bersama Yuka, Freya memergoki seorang pria muda memperhatikan mereka. Tak seperti biasa, tatapan tersebut seperti ingin mengajak mereka berbincang. Freya mengira itu hanya kebetulan, tapi setelah beberapa saat pria itu tetap saja menghadap kearah mereka. Freya malu, ia langsung berkata terhadap Yuka, “Yuk, kita keluar yuk, ada yang melihati aku, aku merasa risih.”
Belom habis kalimat Freya berkata demikian pemuda itu datang mendekati mereka berdua. “Selamat siang, boleh kenalan?” Freya dan Yuka terdiam. Baru kali ini mereka berbicara dengan orang lokal di luar kelas mereka. Ia terlihat sopan dan tak sejahat orang-orang di kota tersebut. Rambutnya rapih tertata dan bajunya cukup sopan.
“Kalian murid yah? Datang darimana? Kayaknya baru pernah liat kalian di daerah sini.”
Freya dan Yuka saling memandang satu sama lain. “Dakarat,” jawab Freya singkat.
“Oh, kota kecil itu. Apakah orang-orang Dakarat secantik kamu? Baru pertama kali ini melihat wanita cantik di daerah ini.”
Freya tak dapat menahan malunya. Yuka yang masih setengah kaget memegang tangan Freya dan senyum sedikit. Air muka dan lekukan di bibirnya seakan-akan mengatakan, “Kita sukses!”
“Kita murid, dan memang baru datang 6 bulan yang lalu. Sudah yah, kita harus pergi mencari buku.”
Pria itu pantang menyerah, “Ada nomor kontak? Saya suka pergi ke acara dansa di café-café dan bar. Mau ikut?”
“Kita mau belajar.” Ucap Freya.
Dan mereka berdua pergi. Sambil setengah lari, Yuka dan Freya mulai cekikikan. “Kamu lihat mukanya saat kita tinggal dengan tergesa?” Ujar Yuka.
Freya menggeleng. Senyum tipis di bibirnya. Sudah lama ia tak di panggil cantik. Apalagi menangkap perhatian seorang pemuda.
“Jadi kita sekarang bukan orang asing di kota ini.” Kata Yuka.
“Kita harus jalan lebih anggun,” tambah Freya.
Dan kedua perempuan itu mulai memperlambat langkahnya dan berjalan maju dengan tegap.
Hari penyerahan nilai semakin dekat. Dan Freya sudah siap menemui kedua orangtuanya. Rumah ia rapihkan, dan kasur ekstra sudah dikeluarkan dari lemari.
Alangkah kagetnya Freya ketika celetukan marah keluar dari mulut ibunya pada saat pertemuan pertama, “Freya? Kamu dan-dan seperti ini? Kamu mau jadi perempuan apa nanti?”
Freya tersentak kaget. Ia lupa, dan-danannya sudah berubah drastis. Dan terlihat amat dewasa.
“Ini apa lagi, kamu pake kosmetik?”
“Tidak mih, aku masih belajar..”
“Kamu jangan-jangan main-main doang di kota ini.” Jerit maminya.
Freya amat terpukul. Dipikir-pikirnya dalam-dalam apa yang akan dikatakan pada maminya. “Saya selama ini belajar terus menerus dan usahaku mendapat nilai bagus tak pernah tertinggal, apa ini bukti bahwa aku hanya main-main saja di sini.”
“Nilai kamu bagus, tapi asli bukan hasil karya kamu? Apa mungkin kamu membayar gurunya agar dapat nilai bagus. Uang di tabunganmu berkurang, papi mami sadari ini.”
Freya kehabisan kata-kata. Usahanya selama di sini untuk mencocokan diri dalam kota ini disangka penipuan belaka. “Saya berusaha betah di sini agar dapat tetap sekolah dan membanggakan..”
“Sudah ngak usah ngomong lagi,” ujar maminya, “Kamu pulang saja sekarang sama kita. Daripada kamu rusak di sini, mendingan kamu pulang bersama kita.”
Freya meledak. Tak tertahan lagi rasa sakit, marah dan sedih di dalam hatinya. Pada saat itulah, tanpa sengaja sebuah sinar kecil menyambar di benak Freya.
Freya yang sudah lama kesusahan sendiri di kota baru, dan atas kesenonohan kata-kata ibunya membuat Freya tersadar. Ia bangun. Ia dilahirkan di bumi untuk menerangi dunia yang gelap ini.
Dirinya bukan manusia. Dirinya malaikat.
Hal pertama yang ia rasakan adalah rasa pusing. Semua ingatanya balik. Cahaya, kenang-kenangan di surga, namanya di mulut Tuhan, namanya di mulut manusia, tangisnya, “Kamu..” ia berkata “Kamu ibu paling jahat yang saya pernah temui.”
“Ngomong apa kamu, mami begini marah karena kamu sudah rusak Freya.”
Freya merasa dirinya semakin lemah. Dan dengan tenaga terakhirnya Freya berteriak sekencang-kencangnya hingga ia yakin orang di gedung sebelahpun mendengar teriakanya itu.
        BAB 7
 Freya sudah balik di kota lamanya. Mukanya lusuh. Dan nafsu makanpun tidak ada. Banyak orang di kota itu bingung, Freya kan anak baik-baik. Kenapa sudah dipulangkan sebelum lulus pelajaranya di luar. Gosip tersebar bahwa Freya jadi anak rusak, masuk ke dunia foya-foya. Tapi tak semua orang percaya. Freya baik dan cantik dari kecil. Belum lagi dia pintar, lebih dari rata-rata. Kalaupun dia rusak, pasti ada alasanya. Namun Freya tak ingin bertemu siapa-siapa. Seharian ia mengurung diri di kamar. Tak mau berbicara pada siapa-siapa. Apalagi ayah ibunya. Ia keluar kamar hanya beberapa kali sehari, itupun cuma untuk makan. Selanjutnya ia menyendiri di kamar.
Freya melihat dirinya sebagai seseorang yang lain sekarang. Tiap ia melihat di kaca, ia melihat badan fana yang menyelimuti roh sucinya. Rambutnya panjang, matanya hitam gelap dan bibirnya manis cantik. Batang hidungnya elok dan alisnya tebal subur. Tak berani ia berkata pada siapapun, karena dirinya yang bangun dengan kecelakaan, ia merasa takut pada segalanya di bumi. Manusia-manusia di sekitarnya terlihat seperti telanjang. Terlihat semua pikiran mereka, dan apa yang mereka mau. Freya ingat ia hanya bertugas untuk mengeringkan air mata dunia. Tapi sekarang sisi gelap dari manusia kelihatan, dan ia khawatir dirinya akan disakiti.
Suatu hari ayahnya datang berkunjung ke kamar Freya. Ia mengetuk pintu kamar Freya dengan lembut, tahu akan mengganggu yang didalam. Freya tak mau membuka pintu. Ia ingin menyendiri. “Freya?” ucap ayahnya, “Kamu masih di dalam?”
Setelah beberapa saat dalam keheningan ayahnya berkata lagi, “Keluarlah Freya, pergi ke taman, jalan sedikit, papi  khawatir kamu sendirian tak main tak bergaul, kamu bisa sakit. Ayo nak, bersemangatlah lagi. Kalau tidak keluar sekarang tak apa-apa, ayah tak memaksa. Tapi kalau sudah terhibur keluar yah jalan-jalan. Papi tak ganggu lagi sekarang,” ia lalu menghilang dari muka pintu dan suara langkah menjauh bergema dari luar kamar Freya.
Keluar ke taman. Ucapnya. Aku tak ingin keluar. Tak ada yang bisa membantuku di sini. Ayahnya adalah manusia malang, ia ingat Tuhan berkata begitu, kamu akan membawa ketenangan pada hatinya suatu hari, ingatnya lagi. Keluar ke taman. Kupikir..
Ia dengan ragu-ragu membuka pintu kamar tidurnya dan mulai tapaknya ke taman.
Cuaca di luar sama sekali tidak dingin. Ia teringat hari-hari pertama di sekolahnya dimana ia harus menumpuk sejumlah pakaian untuk mencukupi hangat pada badannya. Sekarang ia hanya teringat fitnah yang diucapkan oleh ibunya, sampai dihukum segini rendahnya.
Dunia manusia memang susah. Ia ingat kerjanya dulu sebelum turun ke bumi. Banyak roh-roh maupun malaikat-malaikat yang sering cerita padanya, “Ini susah,” mereka sering berbicara, “Aku tak cocok kalau begini terus.”
“Kenapa?” kata Freya.
“Aku di salah sangkai jangan-jangan. Sebenarnya saya ingin baik, tapi kalau pola berfikir mereka begitu,  saya bisa di nilai jelek.”
Memang banyak orang negatif sekarang. Freya yang paling positif dari semuanya disuruh turun untuk memantau. Mungkin suatu hari ia akan membawa kedamaian di dunia.
“Nih,” kata Freya biasanya di surga, “Makan buah ini, kamu akan merasa baikan.” Buah ajaib tersebut yang tumbuh di halaman belakang rumah Freya di selimuti mantra khusus untuk menyembuhkan dan menentramkan hati yang sedang kacau. “Kalau sudah baikan, kasih tahu aku yah,” ujar Freya biasanya.
Karena kemampuanya ini lah Freya amat terkenal di Surga. “Besok saya datang lagi yah, kalau nggak nangis pun saya datang, demi kamu, bermainlah bersamaku.” Ini masa-masa indah bagi Freya.
Keajaiban yang diperoleh di surga mungkin dapat membuatnya merasa membaik sekarang. Tugasnya yang ternyata amat menyakitinya membuat Freya merasa terpuruk. Buah itu kek, kata-kata lembut kek. Jangan orang kota sini. Apalagi mami papi..
Ia duduk di bangku taman, menikmati angin seilir dan dedaunan yang berjatuhan dari pepohonan tinggi di luar. Musim panas ini, yang sudah ia hidupi selama bertahun-tahun, sekarang malah tak terasa mengundang di hati Freya.
“Hai, sendirian saja?” Tiba-tiba terdengar suara pria dari samping Freya.
Manusia. Pikir Freya.
Freya menoleh dan melihat seorang pria berdiri canggung di sebelahnya. Ia tersenyum sedikit, namun terlihat keringat dingin berjatuhan dari kening dia.
“Sendiri saja? Bahaya loh.”
Freya teresenyum tapi tak menanggapi serius sapaan pria tersebut, ia ingin berkenalan dengan dia.
“Tidak, rumah saya dekat.” Manusia mana mengerti cara menghibur hati yang sedih.
“Mau saya temani? Sebaiknya ada orang yang menemanimu, kamu kelihatan amat sedih dan lemah, nanti kalau ada orang sembarangan saya juga repot.”
“Duduk saja.” Khas sekali kata-kata sapaanya itu.
Dengan senyum melebar pria itu langsung duduk di tempat kosong di sebelah Freya.
Pria canggung, pikir Freya. Tapi dari kota ini. Buktinya dia sopan.
“Anginnya sejuk yah.”
Freya diam saja. Tak yakin manusia ini dapat membantu apa-apa.
“Pernah makan roti panggang di ujung jalanan tidak?”
Astaga, pria ini. Ia itu malaikat, mana mungkin peduli soal roti panggang di ujung jalanan. Ia makan nya sajenan.
Karena di biarkan diam, manusia itu tahu kalau ia hanya mengganggu saja.
“Roti panggang itu enak sih, di bakar gurih..” Pria itu kehabisan topik obrolan dan mulai berkata ngawur.
“Saya sedang tidak ingin makan. Saya sedang merasa sedih.”
“Sedih?” tanya pria itu. “Kenapa wanita secantik kamu merasa sedih?”
“Masalah keluarga. Bukan topik yang ingin saya buka untuk sementara.”
“Saya juga ada masalah keluarga. Ibu saya sakit. Dan ayah saya tidak punya uang.”
Tiba-tiba diam sejenak.
“Kalau bukan roti panggang, bagaimana buah jeruk ini?” Ujar pria itu sambil mengeluarkan sebuah buah apel dari tas hitamnya.
Freya terdiam. Buah?
“Ini baru saya beli dari pasar sebelah, bukan racun kok, saya bukan nenek sihir. Kalau minat ambil saja.”
Freya tersenyum sedikit. Manusia ini ternyata mengerti ketulusan. Manis.
Freya mengambil buah tersebut, “Terimakasih.” Ujarnya tersipu.
Sejak hari itu, Freya sering bertemu dengan pria itu di taman tersebut. Ia menghibur hari-hari senggang Freya dan membawakannya buah jeruk untuk dimakan. Pria itu bernama Erol dan ia amat baik terhadap Freya. Manusia yang manis seperti malaikat, pikir Freya. Bisa dijadikan sandaran baginya di bumi ini. Sering sekali pria itu membawa buah tersebut. Kalau memang membuatnya merasa mending, ia akan bawa terus jeruk.
 Orangtua Freya tidak tahu Freya sedang dekat dengan pria yang sering datang ke taman. Mereka juga tak memberi Freya kesibukan yang dapat membuatnya merasa teduh. Hanya sekali ibunya bertanya, “Ngapain kamu keluar terus siang-siang bolong begini?”
“Saya makan siang mih.” Ucap Freya.
“Makan siang di luar terus kamu kah?” Freya hanya mengiyakan saja.
“Sudahlah, biarkan ia jalan sebentar keluar. Toh tidak lama.” Ayahnya sebenarnya ingin meminta maaf kepada Freya soal apa yang terjadi pada sekolah barunya. Namun karena Freya berubah menjadi diam dan gelap, ayahnya tak berani mengatakan apa-apa.
Selama itu juga Freya merasa kekuatanya semakin kuat. Sekali ia mimpi melihat banyak sekali kehancuran dimana-mana. Orang nangis dan banyak orang marah satu sama lain. Banyak manusia menyakiti satu sama lain. Membawa pukulan dan dengan tak segan memukuli satu sama lain. Belum lagi api. Api yang menghantuinya sejak kecil. Kakek tidak di sini, ucapnya. Namun api itu terus menyambar di mimpi Freya. Ia tak tahu mimpi apa tersebut, tapi ini hanya bayangan-bayangan memori dari masa lalu. Atau iyakah? Terkadang ia melihat bayangan yang sepertinya belom ia lihat sebelumnya. Seperti cuplikan cahaya yang datang dari masa depan. Apa mungkin ia mulai melihat bayangan-bayangan kejadian yang akan datang. Freya mulai takut. Ia tahu manusia bisa kejam, dan jika mimpi itu terjadi beneran, apa jadi manusia?
Suatu ketika mimpi Freya amat parah, ia melihat seorang wanit berambut panjang. Bajunya putih usang penuh dengan debu. Ia datang mendekat mendekati Freya, lalu tiba-tiba ia jatuh terguling dan badannya bengkok 90 derajat seperti patah di pinggang. Freya amat kaget. Makhluk apa ini, belum sempat makhluk melakukan apa-apa, Freya terbangun. Hampir saja berteriak. Keringat dingin bercucuran dari wajahnya. Makhluk apa itu. Freya tak bisa tidur lagi malam itu.
Keesokan harinya, Freya pergi lagi ke taman sekitar jam makan siang. Ditemuinya Erol sedang duduk sabar di bangku taman. Sekantong jeruk segar dan beberapa botol jus jeruk ia bawa di tempat duduk itu. “Darimana saja?” ujarnya, “Saya sudah nunggu lama.” Freya hanya tersenyum tipis, “Hai Erol, baru senggang sekarang.” Katanya.
“Kamu terlihat sedikit pucat?” kata Erol.
Freya terdiam, “Iya Erol, saya mimpi buruk kemarin malam.”
“Oh, mimpi apa?”
“Tak enak di bicarakan. Bukan hal yang bagus.”
Erol memandangi Freya dengan diam. Lalu mengangguk, “Kamu kalau makin rahasia gitu, makin terlihat misterius loh di depan saya.”
“Masa misterius?” Freya bertanya sambil tertawa kecil.
“Iya misterius, duduk sendirian di taman, memandang ke langit dengan pandangan jauh menerawang, dan sekarang pucat-pucat pergi ke bangku taman.”
Tidak tahu dia, pikir Freya, darimana asal usulnya. “Jadi saya misterius? Apa saya pulang saja dan mulai memasak seperti layaknya perempuan?”
“Bukan begitu.. Saya senang kok kamu di sini.”
Erol anak yang manis. Tutur katanya jujur dan hangat. Ia terlihat canggung terkadang. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi dia tipe manusia yang membuat malaikat jadi tertarik. Baik, polos, ini amat tercium harum di muka malaikat. Erol katanya sedang mengalami masalah keluarga. Ibunya sakit parah. Bahkan sampai masuk rumah sakit. Tapi ayahnya tak punya uang untuk mencukupi dana rumah sakit. Freya sedih karena tak bisa membantu. Ia tak bekerja. Dan ketidak lulusannya dari perguruan tinggi memastikan kekosongan lapangan kerja pada hari-hari berikutnya.
“Ibumu tidak apa-apa?” Kata Freya.
“Ia sepertinya tak bisa sembuh.” Kata Erol. “Dokter di rumah sakit yang bilang begitu.”
Freya teringat, ketika saat-saat di surga ia melihat pada masa-masa perang ada banyak anak kecil yang menangis ditinggal mati ibunya. Ia tak ingin kejadian itu terjadi pada Erol.
“Kalau aku punya waktu, dan mungkin kalau mendapat ijin saya ingin berkunjung ke rumah sakit itu.” Kata Freya.
“Bukankah orang tua kamu ketat?” Tanya Erol.
“Memang, tapi berbohong sedikit tidak apa kan?” Sebenarnya susah sekali bagi malaikat untuk berbohong. Tapi demi Erol.. mungkin ia rela berbohong sedikit.
“Baiklah, nanti saya kabari tanggal kapan kita bisa bersama-sama menjenguk mama. Saya juga senang dapat memperkenalkan mama pada kamu. Mama sudah lama ingin saya mendapat pendamping.” Erol melihat kearah lain, malu.
Freya tersenyum, dan tak sengaja merasa malu juga.
Angin sepoi-sepoi menghembus lembut di taman itu. Manusia dan malaikat duduk di bangku taman terasing. Buah-buahan tertata rapih di atas bangku tersebut. Kesunyian yang indah. Tak ingin digoyahkan, kesunyianlah yang mereka inginkan.
BAB 8
Mimpi. Mimpi buruk.
Freya terus saja dihantui dengan bayangan-bayangan gelap. Berbagai macam makhluk muncul di hadapan ia. “Kalian siapa?” Freya berteriak dalam mimpinya. Namun tak ada jawaban yang balik padanya. Hanya lambaian tangan saja.
Makhluk aneh. Umpat Freya. Mau apa sih mereka sama aku.
Malam ketiga bayangan itu datang, tiba-tiba datang sebuah cahaya terang yang menyinari Freya. “Siapa itu?” teriak Freya. Bayangan-bayangan ada yang kabur, ada yang menyembah hormat.
“Malaikatku,” sebuah suara lembut dan dalam berbunyi di benak Freya, “Apakah kamu sudah lupa padaku.”
Freya yang setengah sadar merasa sedikit kenal dengan suara tersebu. “Siapa..”
“Malaikatku, lihatlah mataku.”
Freya memandang ke atas. “Tuhan?”
Cahaya bersinar semakin terang. Terasa kehangatan di seluruh tubuh Freya.
“Kamu tidak memberitahuku obat lupa mu rusak. Khasiatnya sudah hilang, kemarin saya cek baru terlihat kehilanganya.”
“Maaf Tuhan, saya terlalu marah sehingga lupa untuk memberitahumu.”
“Doa saja sedikit, saya langsung tahu kok.”
“Tuhan, saya melihat kehancuran. Dimana-mana.”
“Malaikatku, memang sudah begitu. Jaman sudah semakin hancur, manusia makin jahat.”
Freya menunduk, “Saya kangen kamu Tuhan.”
Kehangatan kembali menyelubungi tubuh Freya.
“Saya dan malaikat-malaikat yang lain juga kangen padamu malaikat terbaikku. Nah ayo sekarang, kamu minum obat lupa lagi.”
Freya terdiam, kalau minum obat lupa, ia akan melupakan Erol. Dan ibunya yang sedang sakit. “Tuhan, bolehkah saya mengingat jati diriku untuk kehidupan ini saja?” Pintanya.
Tuhan bingung, kini terlihat raut mukanya yang putih itu.
“Tanpa obat lupa, kamu akan mimpi berbagai macam kehancuran. Karena kekuatanmu amat kuat, kamu jadi akan melihat segala busuk bengisnya manusia. Kamu tak akan bisa bergaul. Sekali lihat saja kamu akan tahu watak dan hati setiap manusia. Dan kamu akan menjadi penyendiri. Tak berani maju dan berteman pada manusia, karena mereka terlihat amat jelek di matamu.
Freya terdiam sebentar, “Tapi Tuhan, tidak semua manusia jahat.”
Tuhan terdiam sesaat, “Kamu sedang tugas Malaikatku, dan aku tahu yang terbaik untukmu. Minumlah obat lupa ini. Dan tentramkan hatimu dari segala kesusahan.”
Freya tak ingin meminum obat lupa. Erol yang baik dan manis terbayang di benaknya. “Tidak Tuhan, pasti ada jalan lain. Saya tahu Erol tidak akan melukaiku. Ia membawakanku jeruk setiap hari. Ini tulus.”
Tuhan mulai mendekat, “Perubahan dunia akan lebih bagus untuknya.”
Freya menangis, dan mau tak mau ia meneguk segelas obat lupa yang di bawa Tuhan.
Erol.. Erol.. kamu jangan marah padaku.
Freya terbangun, air matanya bercucuran. Sepertinya mimpi cahaya tadi, atau bayangan yah? Freya merasa sedikit kesal. Kenapa akhir-akhir ini dia tak bisa tidur. Ia membetulkan posisi bantalnya, dan kembali tidur di tengah malam itu.
   BAB 9
Keesokan harinya Freya tidak muncul di taman itu. Erol yang membawa kabar baik beserta jus jeruk terduduk sendirian di bangku taman. Dirinya sesewaktu melihat kearah rumah Freya. Tapi perempuan itu tak kunjung datang.
“Mungkin ia sedang sibuk,” Pikir Erol. Dan kembali ia berkunjung ke bangku kosong di taman itu.
Namun Freya tak kunjung datang. Jus-jus jeruk menjadi busuk, terlalu lama menunggu dan tak disentuh. Cuacapun semakin menjadi dingin. Senyumnya yang ia siapkan setiap kali menemui Freya kian berubah menjadi pahit. “Dimana kamu, Freya.” Gumamnya dalam hati. Hari demi hari ia berkunjung ke taman itu. Namun pada suatu petang yang panas, ia berhenti ke taman dan mulai melanjutkan kehidupannya yang biasa. Ibunya sering ia kunjungi, dan ayahnya sering ia semangati.  Hanya pada saat ia sendirilah, ia kembali merasakan kesepian dan kehilangan.
Freya sendiri kini kembali ke kehidupanya yang semula. Di benaknya, cuma ada sekolah yang gagal dan ibu yang galak. Tapi di hatinya, saat-saat ingatan jati dirinya kembali kemarin dulu, tidak lagi terngiang di benaknya. Hari pertama bertemu Erol, hari ia pergi ke taman, hari ia berjanji ingin menemui ibu Erol.. Semua hilang dari ingatanya.
Kerjanya tiap hari hanya membantu pekerjaan rumah tangga, dan terkadang membaca buku. Hobinya yang menggambar dan main musik juga kadang-kadang ia maeni, hanya saja pekerjaan sehari-harinya kurang memuaskan baginya. Mungkin sekolah lebih seru dari pada pengangguran seperti sekarang. Tiap hari bisa bermain sama teman. Mengerjakan tugas-tugas menantang dan juga mandiri hidup sendiri. Sendirian dan tak punya teman. Ia kembali ke kamarnya dari hari ke hari dengan perasaan kosong. Tak ada siapa-siapa yang mau berbicara dengan dia, terkadang ia melihat tengokan jahat dari warga kota yang mendengar gossip kepulanganya yang mendadak. Tapi suatu waktu juga ia merasa heran dengan keadaanya.
Berjalan tanpa tujuan. Hari demi hari menanti kejadian yang tak kian datang. Ia merasa tak ada yang peduli dengan kondisinya. Asal ia punya rumah dan makanan yang dapat di santap tiap hari semuanya diam dan meng-iyakan.
Suatu ketika, ibunya datang membawa kabar buruk, “Freya, dimana kau?” ujarnya.
Freya yang sedang membaca buku menoleh kearah ibunya. “Ya,” katanya.
“Freya, ibu prihatin akan kondisimu nak.” Mulainya.
Tumben. Pikir Freya, ia terlihat bingung. “Biarkan lah saya, Mami bukanya ada kerjaan kantor?”
Ibunya tak menghiraukan celetuk Freya dan melanjutkan, “Anakku, kamu sehari-hari sendirian terus di rumah, kamu tidak sakit?” Ucapnya.
Freya menggeleng. Tak ingin diusik saat itu. “Saya tak apa, mami pergi saja.”
Ibunya duduk di sebelah Freya, “Mami punya kabar baik untukmu Freya. Mami menemukan keluarga yang pantas untuk dijadikan calon suami kamu. Bayangkan, kamu tak akan sendirian lagi kan?”
Freya kaget, suami? “Mami, saya masih muda, belum memikirkan suami, mami milih siapa untuk jadi suamiku? Aku tak merasa kesepian tuh.”
Ibunya tersenyum manis, “Keluarga ini kaya,” ujarnya “Mereka keluarga Gubernur dari propinsi sebelah, dan sudah berkali-kali ingin bertemu kamu.”
Keluarga kaya? Gumam Freya, permainan macam apa ini.
“Tidak mih, Freya tidak kesepian.”
“Freya, kamu mengurung diri setiap hari,” kata ibunya. “Dan kamu tidak bekerja karena tidak lulus perguruan tinggi, bayangkan, keluarga gubernur, nama baikmu akan kembali harum Freya, dan kamu tak akan sendirian lagi, akan punya teman. Ia lelaki yang baik, bahkan mami sudah menjadwalkan waktu pertemuan kalian berdua. Ayo senyum sedikit, nanti kalian akan makan bareng bersama keluarganya.
Freya memperhatikan ibunya dengan kaget ,”Ibu menjodohkan saya dengan orang yang tak pernah saya kenali?” ujarnya.
“Freya, mami ulangi sekali lagi, ia orang kaya. Kamu tak usah mikirin tak ketemu jodoh, ia sudah datang!”
Freya menggeleng kepalanya, “Nggak mau!” ujarnya.
“Sekali saja, ketemu dia, kamu tak akan kecewa, keluarga gubernur loh Freya bayangkan uangnya.”
Freya menggeleng kepalanya. Memang dia sering menyendiri akhir-akhir ini, tapi dia masih memilih hari-harinya yang dipenuhi buku dari pada di jodohkan dengan keluarga kaya dan asing. Namun ibunya tetap memaksa. Apa boleh buat Freya meng-iyakannya pada akhirnya. Keluarga kaya. Kedengaran amat sombong.
Ibunya amat senang, diciumnya Freya beberapa kali, “Anak manis,” katanya. “Dan-dan lah yang rapih, dan tampil cantik. Mami tahu kamu merasa kesepian dan kehilangan akhir-akhir ini, tapi itu semua akan berubah akhir-akhir ini.” Ia berdiri dan berjalan mendekati pintu.
“Ingat, keluarga itu sering mengunjungi acara-acara besar dan terhormat, tak akan terbiasa dengan dan-danan senonoh dan biasa saja. Kita temui calon suamimu itu lalu kita dekati keluarga mereka.” Tambahnya lagi.
Freya kesal sekali. Ingin rasanya mengikuti ibunya keluar pintu dan berteriak, “Saya bukan peliharan ibu!” Namun ditundanya keinginan itu. Ia merasa panas. Pernah rasanya marah seperti ini. Tapi kapan yah. Lupa. Kayaknya kejadian sudah lama. Tak apa. Ia biarkan perasaan itu.
         BAB 10
Freya kesal. Tak pernah ia dipaksa dan-dan seperti ini. Belum lagi ayahnya yang merasa bersalah hanya diam saja di ujung. Ibunya yang biasanya cuek akan dan-danan Freya pagi itu juga memaksa Freya memilih baju-baju yang bagus untuk di pakai.
“Pakai yang ini saja?” Katanya. “Eh tunggu, ini membuatmu kelihatan agak gemuk. Ini saja bagaimana? Aduh ini sudah kekecilan. Kamu beli baju gimana sih Freya? Ini ini, coba yang ini, ini terlihat kamu seperti lebih cantik. Tapi terlihat terlalu tua tidak saya rasa mungkin iya? Bagaimana kalo yang ini?”
Terus ia memilih baju dari lemari baju Freya dan tak satupun yang bagus dimatanya.
“Ini saja,” pilih Freya diam “Yang hitam simpel.” Rok yang dipilih Freya panjangnya sedengkul dan berlengan panjang. Formal seperti ingin melihat konser balet.
Freya mengenakan rok tersebut dan ibunya langsung setuju.
Perjalanan ke tempat makan dipenuhi oleh pikiran sesak di benak Freya. Seperti apakah pria itu? Ia tak sudi kalau jadinya pria itu sombong dan manja seperti anak-anak orang kaya yang tidak tahu diri. Ia ingin pria yang manis pengertian. Tapi mana mungkin ada orang seperti itu. Itu hanya mimpi Freya belaka.
Tempat makan yang mereka temui di akhir jalan amatlah besar. Lampu-lampu silau berjejer di gentingnya dan banyak tumbuhan langka di muka pintu depannya. Freya turun dari kendaraan mengenai sepatu hak tinggi. Si penunggu pintu menunduk dan mempersilahkanya masuk. Ibu Freya menuntun Freya masuk ke dalam restoran, ayahnya ikut di belakangnya dan reservasi tempat duduk segera diantar. “Mumpung nunggu mereka datang, coba cek lagi dan-dananmu, sudah oke belom.” Freya dengan malasnya mengambil kaca kecil dari tasnya dan melihat hasil riasan di wajahnya. Gincu merah terkuas tipis di bibirnya. “Itu dia, mereka datang!” Ujar ibunya.
Sekelompok keluarga besar datang memasuki pintu utama. Yang paling tua berdiri di depan. Tubuhnya agak bungkuk dan rambutnya putih. Di sampingnya berdiri wanita setengah baya yang mempunya paras muka mengerikan. Matanya melotot dan bibirnya tertutup lurus kaku. Di belakangnya berdiri dua orang lagi, satu perempuan muda dan satu lagi seorang pria berambut berantakan.
Melihat ibunya, kepala keluarga tersebut langsung melambai hangat dan menghampiri meja dimana Freya dan keluarganya duduk. “Selamat malam ibu, senang akhirnya bisa bertemu.”
“Ini kebanggan anak saya dan famili,” kata Ibu Freya dengan senyum lebar.
“Kenalkan ini keluargaku, ini istri saya dan mereka adalah kedua anakku. Feli dan Devian.” Mereka saling bersalaman.
“Dan ini anak saya, Freya,” ujar ibunya sambil menarik tangan Freya ke depan.
“Freya, salam kenal,” kata Freya sambil memperlihatkan senyum palsu.
“Freya,” kata bapak itu, “Cantik sekali anak ini. Ini yang ibu bilang tidak lulus perguruan tinggi? Cantik yah, indah rupawan. Ia sudah dewasa tentunya.”
Freya menunduk hormat.
“Ini anak saya, Feli sepertinya sebaya dengan kamu, kalian bisa bermain bersama. Dan ini kokonya, Devian. Devian, ayo beri salam pada Freya.”
Lelaki yang sudah memperhatikan Freya sejak lama maju kedepan dengan senyum besar dan tak enak dilihat, “Saya Devian.” Katanya.
Rambut pria itu berantakan. Giginya miring-miring tak terawat dan lagaknya seperti manusia yang baru memenangi sesuatu. Tidak enak di lihat. Freya dengan enggan membalas jabatan tanganya. Bau badan yang tak enak datang dari tubuh pria itu. Freya merasa mual. Pria macam apa ini?
“Ayo duduk, silahkan,” kata ibunya dengan semangat, lalu mereka dua keluarga duduk.
“Saya dengar Freya sedang menganggur akhir-akhir ini. Apa tak ada teman yang sering diajaknya bermain?” Kata bapaknya.
“Tidak, Freya amat gemar membaca buku dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ia pasti mendapat kerjaan iseng pada waktu senggangnya.” Ujar ibunya.
“Saya di kantor gubernur sangat sibuk akhir-akhir ini.” Katanya “Banyak kertas yang musti di tanda tangan, belum lagi urusan-urusan jalanan macet.”
“Devian bagaimana? Sibuk?”
“Devian lulus pelajaran tingginya dengan bagus.” Tambah bapaknya, “Nilainya bagus, dan cita-citanya menjadi gubernur juga di hari kemudian nanti. Feli sendiri sudah mendapat calon pendamping, sepertinya akan menikah di tahun mendatang.”
“Oh begitu,” kata ibunya, “Kalau begitu Feli dan Devian bisa bermain bersama sebagai teman dekat.”
“Saya rasa tak ada salahnya ini.”
Perjamuan makan dilengkapi dengan minuman keras yang mahal. “Ayo tambah lagi,” ujar mereka sambil menyodor-nyodorkan makanan di meja. “Ibu, saya tak mau makan itu, saya lagi berusaha mengurangi berat badan saya, biar baju nikahnya muat nanti, saya tidak makan yah,” kata Feli manja. “Yah, tak apa.”
“Kalo gitu Devian saja yang ambil,” kata pria bernama Devian itu semangat, “Saya sih bisa makan apa saja, toh badan saya kekar tak seperti kamu.”
Feli tertawa, “Kamu angkat beban saja tidak bisa, masih mengaku kekar.”
“Eits jangan salah, banyak wanita yang tergiur oleh diriku di kelas.” Katanya.
Freya merasa mual mendengar perbincangan ini.
“Ah kalian berdua terlihat segar bugar,” celetuk ibu Freya.
Makan malam berlangsung lanjut sampai restoran mau tutup. Sepanjang makanan tersebut tak habis pujian demi pujian palsu dilempar kesana kemari oleh Ibu Freya untuk mendapat muka di keluarga Gubernur.
“Devian ini anak yang baik,” kata sang Gubernur. “Ia rajin berfikir dan tak kalah dalam bidang matematika. Mungkin ia akan menjadi gubernur yang lebih pintar dari saya nantinya. Freya rajin membaca bukan? Mungkin kalian dapat mendapat persamaan nantinya.”
“Kamu nggak makan apa-apa,” bisik Ibu Freya pada Freya, “Malu kan kaya nggak semangat gitu, ayo tambah lagi lauknya.”
Freya dengan enggan menggeleng kepala. “Saya mau ke belakang.” Katanya.
Freya berdiri dan berjalan menuju toilet wanita. Sesampainya di ruang itu Freya merasa bersyukur atas keheningan yang akhirnya tiba. Di kaca besar ia bercermin. Dirinya seperti di lempar kesana kemari penuh dengan jilatan-jilatan palsu. Ia sadar, Devian memperhatikan dia dari ujung matanya ketika kedua orang tua mereka sedang berbicara. Beberapa kali Freya memergoki Devian melihat kearahnya, dan ia dengan pura-pura gagah menatap kearah lain setiap kali Freya menoleh kearah dia. Pria macam apa itu. Makan berantakan, bahkan tak malu mengecap mulutnya ketika sedang penuh makanan. Ia tahu pria kaya itu pasti manja dan adiknya bersama Feli sama saja sombongnya. Tak habis Devian mempelototi Freya, Freya merasa pikirannya amat kotor dan bau seperti badannya.
Freya kembali ke tempat duduknya dengan enggan. Sepertinya makan malam sudah hampir habis. Betapa diinginkanya Freya untuk kembali sendiri di dalam kamar mandi, tapi bisa marah seperti apa ibunya nanti.
“Sudah, mari kita saja yang bayar,” kata Pak Gubernur tersebut.
“Ah, bapak bisa saja, kita juga bisa kok membayar.” Kata Ibu Freya, jelas memalsukan tawaranya itu.
“Tak apa, atas makanan yang enak hari ini, saya saja yang bayar.”
Perbicaraan iya dan tidak berlangsung beberapa detik, namun terakhir disetujui Pak Gubernur yang akan membayar.
Freya amat bersyukur malam itu telah berakhir. Ia ingin pulang.
“Nah Freya, Devian akan tinggal sebentar di kota ini untuk bertamasya. Kamu besok-besok temani dia yah.” Kata Ibunya.
“Devian di sini?” Freya ingin komplen.
“Iya, cukup hanya beberapa hari saja.” Katanya. Lalu dengan suara lebih halus “Ingat, dia calon Gubernur nanti waktu ayahnya pensiun nanti,”
Freya dengan geram membuang muka dari ibunya. Sekali lagi ia mendapatkan Devian sedang mengamatinya dari tempat ia berdiri. Menjijikan. Pikir Freya. Pria bau penyakitan, tidak sudih aku. “Jika dia tidak sopan, saya tidak mau.” Katanya.
“Ah masa anak gubernur bisa tidak sopan.” Kata ibu Freya sambil tertawa lepas.
                BAB 11
Keesokan harinya didapati Devian menunggu manis di kursi depan rumah Freya. Freya yang baru bangun merasa kesal. Ia menjauh dari Devian dan ingin berbaring kembali di ranjangnya yang tadi. Saya tak usah ganti baju, pikirnya, biar saja Ibu pikir aku masih tidur.
“Freya,” terdengar suara ibunya, “Freya bangun nak Devian sudah datang.”
Freya sengaja menutup kupingnya dengan selimut. “Ayo nak, jangan biarkan tamu itu menunggu.” Kesal sekali rasanya. Seperti kawin paksa pikir Freya.
Freya dengan lekas menukar bajunya dan tanpa gosok gigi pergi ke ruang tamu, duduk di bangku terjauh dari Devian.
“Mau kemana hari ini?” Sapa Devian dengan senyum jeleknya lebar.
“Tidak mau kemana-mana,” kata Freya, “Saya ingat sedang membaca buku di rumah. Sudah sampai adegan seru. Saya tidak ingin kemana-mana hari ini.”
Devian memperhatikanya, “Saya ajak ke restoran terkenal mau?”
Freya menggeleng kepalanya.
“Kamu suka baca? Kupikir itu lucu sekali. Mungkin kamu bisa jadi guru di kemudian hari. Cukup terpelajar.”
Freya menyembunyikan ketidak sukaanya dengan senyum, “Terimakasih atas perhatianya.” Celetuknya singkat.
“Bagaimana kalau saya kenali kamu dengan teman-teman sekelasku? Mereka pasti ingin bertemu dengan kamu.”
Tidak. Pikir Freya, “Kapan?” celetuknya dengan suara keras.
“Hari ini boleh,” kata Devian lagi.
“Tidak mau,” kata Freya, “Kamu belum mandi yah? Kok bau sekali sih?”
Komentar Freya membuat Devian terkejut. “Mandi?”
“Iya, kamu seperti tidak rapih dan tidak berkelas.”
“Mana mungkin, saya pakai parfum mahal sebelum ke sini.”
“Tidak peduli, kamu masih bau badan.”
Lalu Freya bangun dan mengunci diri dalam kamar. Beberapa waktu kemudian, terdengar suara ketukan dari luar. Ibunya yang baru saja mengatar Devian keluar rumah memanggil Freya dari luar kamar. “Freya, keluar kamu nak,”
“Tidak mau, saya sudah capek dengan semua ini.”
“Nak, ibu tak marah, namun ibu memohon kamu, baik lah pada Devian. Dia satu-satunya harapan kita, Ibu kerja di kantor dan hanya mendapatkan nafkah cuma-cuma. Hanya Devian lah jalan keluar kami satu-satunya nak. Tolonglah.”
Freya tetap di dalam kamar dan mulai terisak sakit.
“Ibu sudah setuju besok kamu jalan ketemu teman-teman Devian dan bermakan siang bersama, kamu turuti pinta Ibumu kali ini.”
“Tidak, saya ulangi tidak!” Erang Freya sambil menangis sedih.
“Besok kamu akan pergi kencan sama dia, kalau tidak, kamu tidak boleh keluar rumah lagi.”
Freya menutup kuping dan menangis lebih keras lagi. Jijik. Pikirnya. Di jodohkan dengan babi bau begitu.
      BAB 12
Freya bermimpi malam itu. Taman yang indah membentang di hadapan dia. Dimana-mana ada pohon jeruk. Langit biru nan luas memayungi dirinya. Dan dimana-mana bau jus jeruk segar memenuhi keberadaanya. Kupu-kupu beterbangan dan burung-burung menyanyi. Tempat apakah ini? Seperti cerita lama yang saya pernah dengar.
Freya berjalan dari pohon ke pohon, indah, pikirnya. Entah kenapa jeruk-jeruk tersebut membuatnya ingin menangis. Bolehkah aku memetik satu?
Freya memanjat salah satu pohon dengan lincah. Pohon yang besar dan rindang, pikir Freya, ingin kutanam di depan halamanku. Diambilnya satu buah jeruk. Segar sekali wanginya. Freya senang dan mengupas kuliat buah jeruk tersebut.
Dalam gigitan pertama Freya merasa segar sekujur tubuhnya. Buah jeruk memang buah kesukaanku, pikir Freya. Ingin rasanya mengambil semua buah di situ, tak ingin turun. Dengan gigitan kedua Freya merasa seluruh kesusahanya lepas dari segala suatu beban. Apakah ini surga?
Setelah habis satu buah Freya turun dengan puas. Ini kunamakan taman jeruk yang indah, katanya dalam hati, benar-benar tenang.
Ia berjalan menelusuri taman jeruk tersebut. Sampainya di ujung taman, didapatinya sebuah pohon jeruk tua yang penuh dengan jeruk busuk. Jeruk busuk? Pikirnya? Apakah sudah lama tak di panenkan?
Freya mendekati pohon tersebut. Batangnya yang kuat tumbuh kokoh dari akar-akar yang mendalam. Namun buah-buahan yang ada di atas terlihat kusam dan tak segar lagi. Bahkan ada beberapa yang menghitam bau. Buah ini busuk, apa lebih baik saya bersihkan saja.
Freya memetik salah satu dari buah busuk teresbut. Tiba-tiba terasa buah teresbut lumer di genggaman tanganya dan berubah menjadi biji-biji jeruk yang segar. Biji-biji jeruk? Pikir Freya. Dari pada kubiarkan begitu saja mending saya tanam di tanah.
Freya mendekati tanah kosong terdekat dari pohon itu dan mulai menggali dengan tanganya. “Tak apa benih kecil, saya akan membuatmu tumbuh lagi.”
Di taruhnya benih tersebut di tengah tanah yang ia telah gali tadi. Lalu dikuburnya benih tersebut. Nah kalau begini kan bagus, pikir Freya, sekarang saya tinggal menunggunya tumbuh kembali. Freya mulai bersiul, dan dalam benaknya ia berfikir, “Aku tak akan meninggalkanmu buah jeruk manis, aku akan bersamamu terus-menerus.”
                  BAB 13
 Keesokan harinya Freya bersiap-siap pergi dengan kencanannya yang tidak menarik itu. “Pakai saja baju asal-asalan,” Pikiryna, “Agar ia pergi.”
Sekitar jam 10 pagi Freya dijemput, dan Devian dengan mobilnya yang mahal dan kekinian memanggil namanya dengan nyaring dari depan pintu rumah Freya. Setelah berisik dan mengusik ini itu Ibu Freya menyilahkan Freya keluar rumah dengan siap. Mau tak mau, Freya memasuki kendaraan mahal tersebut. “Pagi.” Ucapnya singkat.
Devian tersenyum dengan giginya yang miring itu. “Kamu terlihat agak segaran hari ini,” katanya.
“Tidur lelap.” Ucap Freya dengan dingin.
“Hari ini kita akan bertemu teman-teman sekelasku,” ujar Devian. “Mereka sudah menunggu dari tadi.”
Freya mengangguk. “Sekarang ayo kita berangkat,” Devian menekan gas dengan semangat, dan mobil mahal itu melaju kedepan dengan suara erangan yang dasyat.
Aku tidak mau di sini, pikir Freya. Tapi sudah sampai di sini mau bagaimana lagi.
Tak lebih dari beberapa menit mereka sampai di tempat makan terkemuka tempat gaulan anak muda. Segerombol anak-anak sebaya Devian berkumpul di depan restoran tersebut. Pakaian mereka rapih dan tak salah lagi bermerk mahal. Ada beberapa yang merangkul anak cewek. Tapi ada beberapa pula yang sendiri sambil menghisap batang rokok.
“Itu dia Devian,” ucap salah satunya, “Hoi, kami di sini!”
Berandalan. Pikir Freya.
Devian memarkirkan mobilnya dan keduanya segera turun.
“Wah Devian, kamu bawa perempuan cantik?” Ujar salah satu temanya yang sedang mebawa rokok.
“Sejak kapan kamu berteman?” Katanya lagi.
“Ini Freya,” ujar Devian, “Dan kami teman amat dekat.”
Freya ingin bertanggapan terbalik atas Devian, tapi terpotong teman wanitanya dahulu.
“Kamu cantik, belom pernah kelihatan di sekitar sini sebelumnya. Anak mana? Jangan-jangan kamu anak kelas bawah.”
“Memang bukan dari kelas mana-mana, tapi cantik kan?” Kata Devian memamerkan gadis bawaanya itu.
“Kelas sih bukan masalah,” kata temannya yang membawa rokok, “Asal punya wajah. Sepertinya dia terlalu cantik untukmu Devian.”
Setelah tawaan dan pukulan canda, mereka sekelompok anak muda memasuki restoran tersebut.
Kelompok anak muda tersebut menggeser kursi ke sebuah meja diujung karena tak berkecukupan. Mereka segerombol tertawa besar-besar dan menghirup udara rokok sesuka hati. Para tamu di restoran tersebut merasa agak risih dengan suasana mereka yang riuh. Devian apa lagi, tak sekali pun ia menghargai suasana restoran tersebut, bahkan suaranya yang paling kencang.
“Lalu papa membawa pulang motor sports terbaru untukku,” ceritanya dengan sombong “Bukan warna hitam seperti yang kuinginkan sih, tapi apa boleh buat, keluaran terbaru.”
Teman-temannya bertepuk tangan dan melanjutkan tawaan.
Selama itu Freya hanya menutup hidungnya dan mencoba untuk tidak menghirup bau asap rokok yang dimana-mana. Pelayan restoran tersebut juga datang mendekati kelompok itu dan berkata, “Pak, tolong rokoknya dimatikan, kita restoran tidak mengijinkan asap rokok dekat makanan, sudah peraturan Pak.”
“Ngomong apa kamu ini?” Ucap Devian. “Saya ini anak gubernur! Saya penjarakan kamu nanti.”
Teman-temannya menahan ketawa sambil melihat sang pelayan menunduk-nunduk meninggalkan tempat mereka duduk.
Sangat tidak sopan. Pikir Freya. Saya tidak ingin di sini.
“Ngomong-ngomong sudah ada orang yang penah melihat pabrik gincu papaku belom?” Kata seseorang teman perempuan Devian. “Ternyata kita di untungkan dari bahan dasarnya sangat murah, dan tidak sepadan dengan harga pasar yang asli.”
“Saya hanya tau cara pakainya,” kata seorang perempuan lain di kelompok tersebut, “tidak tahu soal pembuatan gincu.”
“Gincu itu terkenal sekali di kota-kota besar akhir-akhir ini.” Kata salah satu temannya lagi. “Perempuan saya ribut kemarin ingin dibelikan yang terbaru.”
“Kalau salah pakai bisa-bisa tak menarik, saya selalu pakai warna pink, untuk membuat senyum saya mantab.”
“Ah, kamu hanya ingin menarik pehatianku,” ujar cowok di sampingnya.
“Kamu kalau tahu bahan dasarnya murah, mana mau sama aku.” Katanya.
“Pembuatan bahan dasarnya memang murah, tapi harga jualnya mahal.” Ujar Freya tiba-tiba.
“Wah, bagaimana maksudnya dengan harga mahal?”
“Kalau orang dari kota kecil, mungkin tidak mengerti, tapi bahan dasar dari gincu tersebut datang dari kota yang tidak besar. Bahkan berkat produksi barang yang tidak mahal itu mereka bisa membuat berjuta-juta produk. Tapi setelah memasang merk mereka pada dagangan, harga langsung melonjak tinggi. Ini disebabkan oleh keinginan mereka untuk untung, dan membuang rugi.”
“Wah berarti kita yang dirugikan,” ujar teman perempuan Devian cekikikan, “Saya jadi merasa tidak percaya diri membeli bahan kosmetik di kota-kota besar.
“Memang hanya lebih menguntungkan kalau beli merk yang sepadan.” Kata Freya.
Devian dan teman-temannya takjub dengan kepintaran Freya. “Minta dong nomor kontakmu,” ujar perempuan yang memulai pembicaraan tadi, “saya lagi suka berdan-dan, tapi tak kunjung cantik. Kamu kan cantik, siapa tahu kamu bisa mengajariku menggunakan kosmetik nantinya.”
“Boleh saja.” Kata Freya, ia menjadi ingat hari-hari di sekolah perguruan tingginya.
“Nanti kontak saja ke nomor ini.” Freya memberikan secarik kertas.
“Baik, terimakasih,” ujarnya. “Sebenarnya ayah saya mempnuyai pabrik gincu, terkenal sekali sampai di jual di mana-mana. Kalau ada pertanyaan soal gincu tanya saja saya.”
“Terimakasih.” Freya ingin menolak karena hari-hari ia berusaha menjadi wanita pesolek telah berakhir.
“Sudah yuk, bayar.” Kata Devian. Dan mereka semua membayar panganya di restoran itu dan beranjak pergi.
Pada perjalananya pulang dari restoran, Devian memberikan Freya setangkai bunga mawar. Cantik sih, pikir Freya, tapi seperti sedikit dipaksa. Freya menerimanya dengan sopan, tapi ia tak tersenyum atau menunjukan rasa bahagia.
Sesampainya di depan rumah Devian mencoba berbincang bersama Freya, tapi Freya langsung menghela nafas dan pura-pura kecapekan. Dengan mau tak mau Devian membiarkan Freya mengucap selamat tinggal, memasuki rumahnya, dan mengunci pintu gerbang rumahnya.
Freya ingin menyegarkan pikiranya. Sepertinya tidak ada yang dapat ia lakukan di sini. Ketidak lulusanya memang membuatnya jenuh. Tapi di saat jenuh datang ia biasanya jadi semakin kreatif. Dilihatnya taman di luar rumahnya. Musim panas yang panjang, pikirnya. Ingin rasanya keluar, membeli jus jeruk dan melepaskan dahaganya di rumah.
Ayahnya jadi makin pendiam akhir-akhir ini. Sebaliknya, ibunya semakin ribut setiap kali ia lewat. Ditanyainya apa kabar, ataupun apa yang sedang ia lakukan. Freya mengangguk saja menurut dan tak ingin berdebat denganya.
“Ingat, wanita cantik adalah wanita yang bahagia dan berdan-dan rapih.” Ucap ibunya. “Jangan sedih-sedih dan kecewakan mami lagi.”
“Itu maunya mami aku menjadi wanita pesolek seperti itu.”
Ibunya marah mendengar hal ini, “Kamu anak tak tahu di untung! Sudah susah-susah dicarikan pria kaya yang mencintaimu, masih saja melunjak ingin sesuatu yang lebih!”
“Saya tak suka paksaan mami yang selalu mau menangnya sendiri.”
“Jangan bantah mami!” katanya. “Kamu sudah besar, dan hobinya menyendiri, apa kamu mau sendiri terus seumur hidup?”
Biasanya jika sampai pembicaraan ini Freya langsung pergi ke kamarnya dan mengunci dirinya. Tak ada yang dapat dikatakanya lagi, pikirnya. Ia lelah.
Suatu hari Freya mendapati sebuah pesan dari teman Devian waktu itu, “Freya,” isiyna. “Ini Henny dari restoran kemaren, mau ngomong dong soal merek gincu yang kamu pake hari kemaren, mahal tidak? Dan dimana belinya?”
Freya dengan malas menjawab, “Itu saya beli di kota sebelah, sudah lama kok. Kamu kalau mau saya kasih.”
“Wah terima kasih, saya ingin sekali gincu itu. Devian kelihatan sangat tertarik dengan dan-dananmu itu loh.”
Begitulah pembicaraan Freya sehari-hari dengan teman-teman Devian yang pesolek itu. Namun hati Freya hari kian hari dipenuhi kepedihan.
       BAB 14
Suatu siang yang panjang, Freya duduk termangu di bangku rotan tamannya. Ingin rasanya meminum air jeruk yang dingin. Tapi tak ada yang menyiapkannya. Tiba-tiba seorang tukang pos datang mendekati rumah tersebut.
“Permisi,” panggilnya.
“Yah Pak ada apa?”
“Ada kiriman surat untuk non Freya.”
“Iya saya sendiri, terimakasih, dari siapa yah?”
Bapak itu mengecek ulang amplop putih yang diambilnya dari tas selempang hitam, “Dari teman dekat katanya.”
Jantung Freya mulai berdegup kencang. Siapa yang menulis untuknya di hari-hari senggang seperti ini?
Freya mengambil secarik amplop itu dan memberi rasa terimakasihnya pada tukang pos.
Dibacanya tulisan di depan amplop putih itu.
“Freya, Jalan Empu Putih Blok 3 no 10. Dakarat.”
Tulisanya rapih dan mengeja alamatnya dengan benar.
Dibaliknya amplop tersebut dan dibelakang tertera nama pengirim tersebut.
“Teman dekatmu, Yuka.”
Yuka? Astaga, Yuka! Sudah lama sekali tidak berbicara pada Yuka.
Di robeknya amplop putih itu dan didapatinya berlembar-lembar halaman surat penuh dengan curhatan Yuka.
“Freya,” tulisnya. “Apa kabar? Sudah lama tidak ketemu.”
Saya kangen sama kamu. Kamu menghilang tiba-tiba! Tidak memberi kabar ataupun sapaan seperti biasanya. Hari itu, kamu stop masuk kelas mendadak. Aku pikir kamu sakit. Aku sempat mengunjungi rumah tempat kamu kos dulu. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Ketika aku tanya penjaga kos itulah baru aku tahu kamu sudah pulang ke Dakarat. Kenapa tidak ada kabar? Kukira kamu mau mengatakan selamat tinggal untuku. Atau mengajakku ngobrol sekali lagi sebelum kamu pulang. Ternyata tidak. Jujur saja hatiku sakit. Teman yang selalu mengeringi tangisku hilang. Aku menangis beberapa kali di kelas sejak itu. Jujur saja aku sudah terbiasa dengan tatapan jijik dari teman-teman sekelas. Aku tak ingin lagi masuk kelas, tapi pelajaran harus kuselesaikan. Kalau tidak, mau kerja apa aku nanti? Kasian orang tuaku yang sudah berusaha memasukanku ke sekolah bagus seperti ini.
Kaiya mengejekku berkali-kali. Ia berkata, kamu hanya kuat kalau ada teman di sampingmu, kalau tak ada dia, kamu menjadi cacing cengeng seperti ini. Yah, aku cengeng, tapi aku tidak jahat seperti dia. Kamu ingatkan bagaimana dia mengajari kita dan-dan jelek seperti wanita pelacur yang ia inginkan. Sampai-sampai ada kakek-kakek yang menyangka kita mau di bayar. Menurut saya, dialah yang dan-dan seperti pelacur. Murahan. Ingin di sapa oleh cowok sampai segitu minatnya. Kasian juga sih dia. Sepertinya dia mencari jodoh dengan cara yang salah.
Freya, aku kangen kamu. Hari-hari di sekolah tanpa kamu serasa hampa. Diriku yang menangis, tak ada yang mengerti semengerti kamu. Semuanya membenciku. Aku yakin semua orang mengomongiku di belakangku. Saat aku tiada, mereka semua terlihat senang. Dan ketika aku ada seakan-akan aku merepotkan mereka. Aku amat sedih. Aku ingin belajar sungguh, tapi tatapan sinis dari orang-orang kota membuatku merasa tak nyaman. Aku tak kenal dengan siapa-siapa di kota itu, dan tak ada sambutan hangat dari siapapun. Aku tak suka kota itu, sungguh. Dan tidak keberadaanmu yang hilang membuatku tambah menangis.
Saya sudah balik ke kotaku yang lama sekarang. Tenang sekali pikirku. Bahkan bulan pertama aku pulang aku terjatuh sakit. Seperti orang kangen. Rasanya ingin tidur terus dan menikmati kehangatan rumahku.
Kegiatan apa yang kamu lakukan akhir-akhir ini Freya? Aku kangen kamu. Saya harap kamu bisa membalas suratku ini. Apalagi alamatmu itu aku dapat dengan tergesa-gesa dari dokumentasi bapak kos. Kalau bukan alamat ini yang suratku sampai, buanglah surat ini. Kata-kata aku tidak penting. Tapi kalau ini Freya yang baca, balaslah sapaan rindu dari kawanmu yang menyedihkan ini. Aku belum sempat berterimakasih dengan benar. Atas bimbinganmu. Keberadaanmu. Kata-kata penyemangatmu. Berteman lagilah kita seperti hari-hari di toko gincu. Jangan abaikan diriku. Ingat, aku merindukanmu.
Salam hangat, Yuka.
Freya merasa campur aduk antar sedih dan bahagia. Temannya mengingat dia! Di samping itu, ia merasa kesepian dan nangis hampir setiap hari. Betapa ingin dirinya membalas surat Yuka itu. Menyeritakan kesedihan hatinya yang kini melanda hidupnya. Yang menyedihkan itu aku Yuka, ingin ia berkata begitu. Ibuku begitu jahat, dan ijasah kelulusanpun tak punya. Sekarang dijadikan sirkus pameran dan boneka mainan di depan calon suaminya itu. Apa adilnya ini? Ingin rasanya ia kembali ke masa-masa bersama Yuka. Meskipun kota itu amat rusak, tapi Yuka teman yang baik.
Di bacanya kembali surat dari Yuka itu, dan dihafalnya baik-baik alamat rumah Yuka. Kalau menjadi sahabat pena, lumayan saja. Namun di balik salah satu lembaran surat itu tertera nomor telefon Yuka. Yuka! Seru Freya dalam hati, pintar juga kamu.
Diambilnya ponsel dirinya yang berada di bangku rotan tersebut. Freya tak sabar ingin berhubungan dengan Yuka, setidaknya ia punya teman untuk berteduh.
Di sambungnya nomor Yuka dengan ponselnya. Nada dering berbunyi mulus.
“Halo?”
“Yuka?”
“Yah, saya sendiri.”
“Yuka, ini temanmu, Freya.”
“Freya!” terdengar jeritan bahagian dari sisi lain telepon. Sepertinya tak tahan mengungkapkan rasa bahagia. “Freya, dari mana saja kamu?!!?”
“Yuka, saya sudah pulang, saya di paksa pulang, maaf saya tidak mengabarimu soal kepergianku yang mendadak, kamu apa kabar? Saya rindu kamu.”
“Oh Freya, saya parah sekali.” Kata Yuka. “Saya menangis tiap hari di kota itu. Begitu seram, dingin dan jahat. Aku ke kelas hanya demi absensi. Pada akhirnya kelulusan saya mempunyai nilai yang pas-pasan Freya! Tidak ada bangga-bangganya sama sekali. Mau jadi apa hidupku.”
“Yuka, setidaknya kamu punya ijasah kelulusan, saya tidak punya sertifikat apa-apa. Ini amat susah untukku untuk mencari kerja.”
“Freya, Freya temanku yang baik,” Seperti dugaan Freya, Yuka mulai menangis.
“Sudah-sudah jangan menangis,” pinta Freya.
“Aku dikatai bayi cengeng oleh teman sekelas..”
“Ah Yuka, mereka hanya ingin membesarkan kepala mereka sendiri, jangan dengarkan mereka.”
“Benar,” isak Yuka. “Kamu benar. Tak ada gunanya menangisi kata-kata bualan seperti itu. Toh aku mengerti diriku sendiri. Terimakasih Freya, kamu selalu tahu apa yang pas dikatakan untukku kalau aku sedang dalam kondisi ini.”
Freya tersenyum, “Tak apa, Yuka, yang penting kamu senang.”
“Kamu ngapain saja akhir-akhir ini?”
Senyum Freya mulai menciut dan berubah menjadi sakit, “Oh Yuka, hidupku sekarang hancur!” kata Freya.
Diceritakannya ke Yuka soal perjodohan sial yang ditujukan untuknya gara-gara tak punya sertifikat kelulusan. Diceritakanya juga anak Gubernur yan bau dan sombong tak terkira. “Dan lebih parahnya lagi,” kata Freya, hampir sama terisaknya dengan Yuka, “Ini semua soal uang Yuka!”
“Parah sekali!” Kata Yuka.
“Saya tak tahu harus bilang apa, saya merasa seperti di pameran sirkus, dimana saya menjadi bintang akrobatnya.”
“Jadi ibumu memaksa kamu bersama sama dia?”
“Iya Yuka, ini perintah dari dia.”
“Jahat sekali, belom pernah kamu bercerita tentang ibumu, sekarang baru saya tahu.”
“Sudah dari kecil dia begitu Yuka, saya tak bisa kemama-mana, selalu di bawah aturan dia. Tabiatnya kecut, dan amat galak.”
“Freya.. kamu anak malang.”
Mereka terdiam untuk sementara.
“Anak gubernur, memang kedengaranya menarik. Tapi kamu yakin dia tidak ada wanita lain yang menyukai dia?”
“Tidak Yuka, dia hanya mau aku.” Tiba-tiba sebuah ide memancar di benak Freya. “Benar juga Yuka, tidak ada wanita lain yang mau bersama dia.”
“Eh, kenapa Freya?”
“Yuka, kamu pintar!” ucap Freya, “Tidak ada yang mau sama dia!”
“Maksudnya?” Tanya Yuka bingung,
“Saya tahu apa yang harus saya lakukan.”
“Apa itu?”
“Begini, ada teman sekelompok Devian dan aku yang sepertinya gampang saya temani. Bagaimana kalau saya bohongi dia, bilang Devian suka sama dia. Mereka berdua akan menyatu, dan aku tak akan di ganggu lagi.”
“Freya! Itu ide yang bagus sekali! Tapi apa tidak terlalu susah? Kamu harus kedengaran sungguh-sungguh.”
“Memang ini bohong sih,” ucap Freya, “Tapi saya tahu cara mengakali mereka.” Pesan Henny kembali terngiang di pikiran Freya. Yah, mereka berdua cocok.
“Saya hanya perlu cerita kibulan yang hebat.” Kata Freya.
“Ayo Freya, saya ada di sisimu!”
“Doakan keberhasilanku yah Yuka.”
“Tentu saja! Apa saja untuk Freya!”
“Terimakasih, nanti kuberi tahu kelanjutanya lagi nanti.”
“Secepatnya yah!”
��Selamat tinggal.”
Freya menutup telepon ponselnya sudah dan mulai memikirkan rekaan untuk di kirim ke Henny. Wanita pabrik gincu. Pikirnya. Kamu cocok dengan pria kaya sombong seperti Devian.
Diambilnya ponselnya sekali lagi dan langsung mengetik nomor telepon Henny.
“Hi Henny, sedang apa, saya akan berikan gincu merah itu lain kali kita bertemu.” Mulai Freya, “Tapi ada juga hal yang menyangkut di pikiranku akhir-akhir ini, kapan kita mau mengobrol? Saya ingin bercerita sesuatu untukmu.” Ini cukup untuk menjodohi mereka berdua dan mereka semua akan hilang dari hidupku.
Di bacanya ulang pesan tersebut. Dan tanpa ragu lagi, dikirimnya surat tersebut ke ponsel Henny.
        BAB 15
Devian berdan-dan ultra spesial hari itu. Baju kemeja rapih dan celana panjang hitam dikenakanya beserta sepatu kulit mengkilap. Rambutnya di sisir ke satu sisi dan parfum mahal di semprotnya ke daerah pundak dengan banyak.
“Hari ini aku akan bertemu Freya,” katanya, “Dan kali ini dia akan menoleh takjub kearahku.”
Tanpa diketahuinya, Freya sedang asyik berbincang-bincang dengan Henny melalui ponsel.
“Jadi begini Henny,” mulainya, “Devian itu sering saja melihat ke arahmu. Memang terkadang dia terlihat dekat di sebelahku, tapi sebenarnya dia sering memperhatikanmu dari jauh.”
“Ah masa,” tanya Henny, jelas tertarik dengan obrolan ini.
“Iya Henny, buktinya, dia jarang sekali melihatku, bahkan matanya selalu melekat ke arahmu.”
“Tapi kalau menurut sudut pandang aku, dia selalu melihat kamu. Kapan dia pernah melihat aku?” Kata Henny.
“Itu karena dia pura-pura.” Kata Freya, “Dia melihat kamu di saat kamu tak melihat dia. Buktinya dia pernah mengatakan sesuatu tentang kamu. Tentang uangmu yang tak kalah banyaknya dengan dia. Hanya saja ketika kamu mengalihkan perhatianmu ke dia, dia langsung menoleh melihat aku.”
“Masa sih?”
“Bener Henny, dia tertarik padamu.”
“Kalau begitu, Devian diam-diam merencanakan sesuatu dong untuk aku.”
“Iya, mungkin surprise simpel untukmu. Bayangkan uangnya yang segitu banyak.. Juga mobilnya yang mahal..”
Pembicaraan ini cukup memacu keinginan Henny untuk mendekati Devian. Dan sekarang giliran Devian.
Freya dan Devian berjanji akan bertemu siang itu. Namun pertemuan kali ini lebih was-was dari pertemuan biasa. Freya sedang memasak suatu siasat untuk dua orang ini.
“Hai Freya,” sapa Devian ketika ia sampai di depan rumah Freya.
“Hai.”
“Ayo masuk mobil,” katanya sambil menyambut Freya masuk. “Ngapain saja kamu kemarin?”
“Tidak ngapa-ngapain Devian.” Ujar Freya simpel. “Hanya ngobrol dengan si Henny.”
“Oh kalian dekat satu sama lain? Kupikir kalian hanya teman-teman biasa saja.”
“Tidak Devian, kita kemaren mengobroli masalah pribadi.”
Mereka memasuki mobil, Devian yang bau super tajam hari itu menggaruk kepalanya dengan heran.
“Masalah pribadi?” tanya Devian.
“Yah masalah pribadi. Dan sepertinya agak sedikit bermasalah dengan diriku.”
“Hm, masalah pribadi apa yang membuatmu merasa kacau?” Tanya Devian.
“Yah, begitu deh.” Kata Freya mengundang pembicaraan semakin dalam.
“Nah, kamu mulai kan, mulai menyimpan rahasia-rahasiaan. Ayolah beri tahu aku, Henny ngomong apa?”
“Henny mempunyai rahasia.”
“Rahasia apa itu?”
“Ah tak enak di bicarakannya.” Kata Freya. Ia melihat kearah lain agar kebohongan yang ia sembunyikan tidak ketahuan Devian.
“Rahasia apa?”
“Sebaiknya jangan diceritakan,” kata Freya “Karena ini menyangkut dirimu.”
Devian tertegun sejenak. “Diriku?”
“Yah, begitulah.”
“Ada apa Henny denganku?”
“Begini Devian, dia merasa bahwa ia tertarik padamu. Sejak hari itu kita makan bersama, katanya kamu kelihatan amat memikat hari itu. Jadi ia ingin sekali bersamamu.”
Devian tak bisa menyembunyikan senyum tipis penuh dengan gede rasa. “Henny? Suka aku?”
“Iya Devian. Dia sampai mengumpat karena aku dekat denganmu. Ia ingin sekali menjadikanmu lebih dari teman.
“Ah masa? Selama ini ia tak perah menunjukan perasaan suka padaku.”
“Benar Devian, dia sampai minta gincu milikku yang kau pikir bagus itu.” Tambah Freya.
Dengan kalimat terakhir itu, Devian langsung tersenyum lebar. “Henny yah? Baik sih, dia dari keluarga kaya. Dan uangnya banyak juga.”
“Devian, apakah kamu akan meninggalkanku?” Ini bagian tersusah bagi Freya, ia harus pura-pura kehilangan. “Kamu memilih perempuan itu dari pada aku?”
Devian terlihat bingung. “Saya, yang sudah sabar denganmu ini..”
Freya mengeluarkan air mata buaya.
“Tidak Freya, kamu masih lebih cantik dari dia.”
“Tapi kamu,” kata Freya dengan cepat mengisi keraguan Devian “Lebih tertarik pada dia yang rela berdan-dan lebih cantik dari aku. Benar begitu kan? Dia lebih rela mengorbankan dirinya dari pada aku. Benar kan?”
Devian menggaruk kepalanya. “Sudah, kita makan dulu saja.”
Mobil melaju maju. Namun Freya memperhatikan malu yang disembunyikan Devian. Bagus. Mereka saling tertarik satu sama lain.
Malam itu, Freya kembali mengirim pesan ke Henny.
“Henny, hari ini hari terburuk yang saya pernah alami dengan Devian.” Bunyinya. “Ia tak bisa berhenti membicarakan dirimu, bahkan memuji-muji dan-danan mu. Kamu sama dia saja yah, saya mengaku kalah. Kayaknya kalian lebih cocok dari saya. Saya anak keluarga yang tak begitu kaya, pasti kalah dengan wanita seperti kamu. Tolonglah saya, cabutlah perasaan peduli yang tak terbalaskan ini. Terimakasih Henny, Dari temanmu, Freya.”
Dengan puas, Freya mengirim pesan tersebut sambil tersenyum geli.
Keesokan harinya, benar saja Devian tidak mengirim pesan apapun pada Freya. Agaknya mereka mengobrol asyik lewat ponsel. Sukses, pikir Freya. Sekarang saya bisa menjalani hidup dengan tenang.
Beberapa hari kemudian, Henny mengirim pesan pada Freya mengajaknya pergi makan bersama sekelompok teman lainnya. “Freya, yuk kita makan. Devian ingin merayakan hari jadian kita, ayo temani kami. Kamu orang terdekat yang saya ketahui, ayolah datang pergi jangan takut, Devian sudah tenang dengan urusan perasaanya, kita semua menyepakati makan bareng hanya untuk menyelamati aku dan Devian. Kamu ikut yah? Henny.”
Freya tertawa puas. Aku ini makhluk apa sih? Pikirnya. “Tentu saya akan datang.” Jawab Freya. Dan dia berdan-dan sesimpel mungkin pergi ke makan siang itu.
        BAB 16
“Freya, Devian tidak mengajakmu keluar?” tanya ibunya suatu hari.
“Tidak mih.”
“Sudah berapa hari kamu di rumah sendiri? Tak ada yang mengajak keluar?”
“Tentu tidak mami, kita kan sudah dewasa, dapat memikirkan jalan hidup sendiri.”
“Tapi bukankah kalian dekat?”
Freya tersenyum, “Tidak tahu yah, sepertinya ia sedang mencari keluarga kaya lainnya yang akan lebih memakmurkan kehidupan keluarga mereka.”
Ibunya diam, tak ingin mempercayai kata-kata Freya. “Ayah Devian sudah setuju kalian berdua dijodohkan. Ibu sudah mengobralkan kebagusan-kebagusan kamu. Dan dia sudah setuju. Mana mungkin ia berfikiran lain saat ini?”
“Mana saya tahu mih?” ujar Freya puas.
Ibunya dengan bingung keluar kamar sambil terlihat kesal.
Keesokan harinya ibunya kembali menanyai Freya soal pria kaya itu, “Devian tidak mengajakmu keluar?”
“Tidak mih,”
“Apa kalian sedang bertengkar? Kok diam-diaman saja?”
Ibu Freya keluar kamar dengan heran. Tiga hari kemudian, Ibu Freya merasa makin tidak sabar. Diangkatnya telepon dan mulai menghubungi ayah Devian.
Beberapa saat kemudian terdengar teriakan-teriakan marah dari ruang tamu.
Ada apa lagi ini? Pikir Freya.
Freya bergegas keluar dan mencari ibunya.
“Maksudmu kamu batal?” Teriak ibunya ke dalam telepon. “Kamu sudah lupa janji kita waktu itu?”
Freya merasa khawatir, ini saat-saat dimana ia dapat memastikan apa siasatnya berjalan lancer atau tidak.
“Kamu pikir apa? Ada calon yang lebih baik dari Freya?”
Ruangan sunyi sejenak.
“Tidak, saya tidak terima, anak saya cantik dan baik, kalau tidak kamu jadikan.. Halo? Halo? Bapak? Kamu dimana?”
Ternyata telepon sudah terputus. Freya dengan senyum tipis mengendap-endap masuk kembali ke kamarnya.
“Ini tidak mungkin.. tidak mungkin..” suara pilu lirih terdengar dari ibunya.
Beberapa hari kemudian, ibunya terlihat kurus lemas dan tak bernyawa di rumah. Sepertinya kehilangan banyak harapan. Sesekali Freya datang menanyakan kondisi ibunya, ibunya hanya berkata “Mami capek.”
Ayahnya yang akhir-akhir ini terlihat lusuh mendadak terlihat lebih bersemangat, “Biarkan saja Freya,” katanya “Mami sedang pusing.”
Pusing itu berkelanjutan dari hari ke hari. Pada minggu kedua kejadian ini terjadi, Ibu Freya mulai terlihat marah pada dirinya sendiri. Mulailah ia mengumpat dan mengatakan kata-kata kotor pada dirinya sendiri.
“Sepertinya ia sakit.” Pikir Freya.
Dan benar saja, ternyata kegagalanya mendapatkan uang berlimpah membuat mami Freya kehilangan akal sehatnya. Ibunya menjadi tidak waras. Hal ini disadari oleh Freya dan papinya. “Mami sudah nggak mau makan yah,” kata Freya.
“Mami sedang dalam kondisi susah,” kata Papinya. “Mari papi coba ajak ngomong.”
Ayah Freya berjalan mendekati ibunya.
“Istriku,” katanya “istriku, ayo makan sedikit.”
“Makan? Makanan itu mahal! Mendingan simpan saja sampai kita benar-benar kurus kering baru makan.”
“Jangan begitu, beras masih banyak di dapur, ayo kita makan.”
“Tidak, tidak mau! Pemborosan!”
Freya berjalan mendekati ibunya.
“Mih, mami, ayo makan, mami udah kurus kering gitu, Freya khawatir.”
“Kamu!” Teriak mamanya, “Kamu yang paling tak mengerti kondisi mami!”
Iapun bangun dari tempat duduknya dan bersiap menyakiti diri sendiri. Melihat ini, ayahnya menahan tanganya dan menyetopnya dari memukuli diri sendiri. “Lepaskan! Lepaskan aku! Durhaka semua! Durhaka semua!” Teriaknya dengan keras.
Melihat kondisi yang amat parah hari itu, Freya dan Ayahnya setuju menelpon rumah sakit jiwa untuk menenangi kejiwaan ibunya. Dokter datang keesokan harinya membawa beberapa suster yang bertugas di rumah sakit jiwa. “Inikah pasien tersebut?” tanya dokter.
“Ya, begitulah.”
“Tenang, kita akan merawatnya dengan benar.”
Sakit jiwa ibu Freya ternyata lumayan parah. Ini menyebabkan dirinya untuk lupa makan dan suka menyendiri sunyi di pojok ruangan. Tak ingin bergaul atau berkontak dengan siapapun. Ia hanya terkadang melihat keluar jendela dan menitikan air mata.
Begitulah hari terakhir ibu Freya di rumah tersebut. Dokter dan para suster tentu menjaga baik ibu Freya. Namun tabiatnya yang kecut itu sama sekali tak tersembuhkan. Tapi tak apa, memang orang tak sehat begitu pikirannya.
Di sisi lain, keluarga Devian yang semakin hari semakin dilanda oleh obrolan dan tindakan bodoh, mulai melarat dari hari kehari. Uang di foya-foyakan, dan berhubung kedua orang tersebut tidak terlalu pintar, pekerjaan juga tidak dilakukan dengan benar. Pada saat Devian harus beranjak menjadi gubernur baru, ayahnya berpikir kembali soal kepintaran anaknya dalam dunia politik. Karena kurang pintar, ayahnya memodalkanya dengan uang yang banyak agar setidaknya dapat membangun kota dengan dana yang cukup. Namun itu saja tidak cukup untuk menyukseskan Devian di dunia politik. Ia tidak perhatian pada rakyat-rakyat kecil, dan lebih sering berjalan keluar kantor dari pada bekerja tekun di kantor. Karena itu ia sering di tegur oleh atasan dan tak dihormati oleh kepala camat maupun RT. Tak lama setelah Devian naik menjadi gubernur, kota tersebut terancam kebangkrutan. Melihat tingkahnya yang menghacurkan kota sendiri itu, banyak gubernur lain menjadi khilaf. “Kita harus jadi orang baik,” pikir gubernur-gubernur tersebut. Dan ketika propinsi itu benar-benar tercemar nama baiknya, barulah Devian minta tolong dari negara. “Ayolah pak, ini demi rakyatku,” pintanya, “Sudah tidak ada lagi pedagang yang mau berdagang di propinsi ini. Ini pastilah karena produk dan pajak yang salah.” Namun tidak ada yang percaya pada permintaan Devian tersebut. Propinsi itu terlalu terkenal ketidak profesinalismenya. Belum lagi Devian yang berantakan terlihat seperti pembohong.
Demikianlah jadinya. Banyak orang insaf dan bertekad untuk menjadi orang baik. “Pikirkanlah rakyat kecil dan bijaksanalah dalam bertindak.” Nila setitik rusak susu sebelangga. Kabar tersebut tersebar dengan cepat dari kota ke kota. Mulai terjadi perbaikan watak orang-orang di negara itu. “Ini demi kebaikan negara,” pikir mereka begitu. Dan negarapun makin tentram setelah pelajaran itu.
Freya dan ayahnya tinggal berdua di rumah itu. Akrab satu sama lain. Akhirnya berdua dapat mengobrol dengan tenang. Begitu juga bersantap ria di luar rumah untuk menghangatkan suasana.
Freya yang hobi membaca akhirnya melamar pekerjaan di sebuah perpustakaan. Bukan pekerjaan yang sulit karena Freya tak lulus pergurua tinggi. Tapi tugas administrasi simpel untuk peminjaman dan pengembalian buku, cukup gampang untuknya. Di saat itu pun Freya merasa senang. Hatinya tenang dan kehangatan selalu melanda perasaanya yang paling dalam.
   BAB 19
Freya masih saja mengkontak teman lamanya Yuka, yang kini sudah bekerja sebagai sekertaris di perusahaan mahal. Ia menulis surat pendek suatu saat berbunyi seperti ini:
Kepada yang kusayang Yuka,
Akhirnya saya sudah bisa membebaskan diri dari belenggu kejahatan ibuku. Aku sudah menyelesaikan masalah perjodohan dengan lelaki tak tahu malu itu. Benar-benar sudah tak ada hubungan lagi dengan dia.
Ibu yang sakit kini sudah teramankan di rumah sakit jiwa dekat sebuah taman besar. Nampaknya ia betah di situ. Tiap hari ada saja kicauan burung dari taman besar. Saya pikir itu cukup menenangkan perasaanya.
Yuka sendiri bagaimana? Baik? Saya kangen kamu. Kadang ingin berjumpa lagi. Kalau ada waktu sempat, pergilah ke Dakarat, akan saya ajak kamu main keliling-keliling sampai puas.
Temanmu yang dekat,
Freya.
Freya tahu sahabatnya itu sudah tidak cengeng lagi. Sudah mendapat kerja yang pantas. Setidaknya ia tak sombong seperti anak-anak kaya yang pernah ia gauli dulu. Setidaknya, ia masih seperti Yuka yang dulu.
Freya di perpustakaanya yang baru itu terkadang melihat sepasang kekasih. Duduk berdua di pojokan sambil membaca buku. Terkadang mereka bercanda melempar pensil atau pen ke badan satu sama lain. Tapi mereka sering sekali tertawa.
Ah bahagianya, pikir Freya.
Mempunyai teman untuk seluruh umurnya. Rasanya pasti ditemani dengan baik. Perasaan kesepian terkadang melanda dirinya yang sendirian ini. Apa boleh buat, selama berapa lama ia balik ke Dakarat selalu mengunci dirinya di kamar. Tak mau bertemu siapa-siapa. Dan sapaan pria di samping jalan juga tak menarik perhatian Freya. Mereka sama saja.
Kini teman pergaulanya hanyalah Yuka dan keluarganya. Ingin rasanya membawa pulang seorang pria. Pria yang baik dan sopan. Agar ayahnya bangga dan bahagia mempunya mantu. Tak seperti Devian tentunya, pikir Freya.  Ia harus sopan, tahu diri dan tidak sombong.
Oh adakah orang seperti itu di luar sana.
Terkadang Freya terbayang sosok seorang pria. Tak tahu siapa. Ia tinggi, tampan dan lagaknya hangat dan berteman.  Siapa yah ini? Pikir Freya. Ia mendambakan seorang pria yang dapat membuatnya tertawa, melindungi dia saat dia sedang sendirian, dan menjaganya saat dia sedang sedih.
Freya umurnya sudah semakin tua. Orang-orang sekitar, yang sudah semakin baik tabiatnya, mulai memuat gossip baru. Freya anak cantik, tapi tak ada yang mau sama dia. Kata-kata ini memang sangat tajam. Tapi Freya mengerti, biasanya umur segini itu mulai mencari pendamping hidup. Freya malah menjadi anak rumahan, menjaga dirinya dengan produk-produk kecantikan yang sehat dan sesekali ke toko buku. Temannya hanyalah cerita-cerita mimpi yang ia baca dalam buku, tak pernah orang beneran. Meskipun ia baik dan banyak yang ingin berkenalan sama dia, Freya tetap menutup dirinya. Seperti menyimpan suatu kenangan gelap yang hilang diterpa angin.
         BAB 20
Freya mimpi.
Kali ini mimpinya di bawah sinar rembulan.
Ia ingat taman ini. Taman penuh dengan pohon jeruk ini.
Kalau tak salah ia pernah menanam biji jeruk di sini.
Benar, di pojokan sana kalau tidak salah.
Freya menelusuri taman yang hanya dimandikan sinar rembulan. Berusaha menemukan pohon jeruk yang ia tanam beberapa waktu yang lalu.
Berjalan dari pohon ke pohon, Freya mencari pohon itu, tapi tak kian ketemu. Pada akhirnya ia beristirahat sebentar di pinggir jalan. “Kemanakah pohon jerukku?” Pikirnya.
“Freya” tiba-tiba terdengar sebuah bisikan. “Freya..”
Freya menoleh ke sana kemari mencari sumber suara itu.
“Freya..”
“Yah?”
“Kemari kau nak.” Suara itu kembali menggema.
Freya menoleh ke belakangnya, di sana, di belakang beberapa pohon jeruk terduduk di bawah sebuah pohon hitam sebuah sosok putih.
Sosok tersebut amat wibawa. Tidak terlihat susah. Ia bersinar. Indah.
“Siapa kamu?” tanya Freya. Dirinya agak menggigil.
“Kemari kau Freya, tak usah takut.” Katanya lagi.
Freya dengan ragu mendekati sosok tersebut.
“Apakah kamu hantu?” tanyanya lagi.
Sosok tersebut hanya menyuruhnya mendekat.
“Kamu lupa padaku Freya?”
Freya terlihat tidak nyaman. Tak tahu harus menjawab apa. Ia benar-benar tidak ingat sosok ini.
“Kamu, pria atau wanita?” Tanyanya.
Sosok tersebut bersinar lebih terang.
“Saya Tuhan Freya.”
Freya sedikit kaget, apakah Tuhan datang di hadapanya khusus untuk berbincang dengan dia?
“Tuhan?” tanyanya lagi.
“Iya, Tuhan. Kemarilah, saya punya sesuatu untukmu.”
Freya mendekati sosok tersebut lebih dekat lagi.
“Duduklah di sebelahku.”
Freya menurut.
“Sudah lama tidak ketemu kamu, kamu sudah tumbuh besar. Masih cantik kurasa. Kamu sibuk yah hari-hari ini? Mengerjakan tugas di perpustakaan. Kamu tidak merasa jenuh?”
Freya menggeleng.
Sosok itu indah sekali. Seperti bayangan yang lembut putih dan terang. Ia suka aura itu. Aura ketenangan itu. Begitu terang dan indah, pikirnya. Apa mungkin ia mau ke sini untuk berbincang padaku? Pikirnya lagi.
“Kamu lupa padaku,” Tuhan berkata.
“Bukan Tuhan, saya hanya sedikit bingung..”
Tuhan mengayunkan tanganya, dan dengan cahaya lembut membuat sebuah gelas yang di penuhi minuman gaib.
“Minumlah ini Freya,” katanya sambil menyodorkan minuman tersebut, “sepertinya kamu harus minum air ini sebelum kita berbincang.”
Freya menurut dan meneguk cairan didalam cangkir tersebut.
Sebuah sinar menerangi benak Freya, seperti ada penerangan tiba-tiba di pikiran Freya. Kembali gambar-gambar masa kecilnya terulang di benaknya. Bagaimana ia belajar berjalan, dan kata-kata pertamanya. “Tuhan,” katanya.
“Itu cairan pengingat Freya,” ujar Tuhan.
“Tuhan!” kini teringat semua kenangan Freya di surga dulu. Freya ingat, iya turun ke bumi untuk menjalani tugas. Dan kini ia disamperi Tuhan untuk diberikan perintah selanjutnya. “Tuhan aku ingat!”
Freya lompat dan merangkul Tuhan, ia kangen sekali!
“Apa kabar Freya?” tanya Tuhan.
“Baik Tuhan, capek saja sehari-hari di perpustakaan.”
“Saya tahu.” Ucap Tuhan. “Kamu kelihatan lebih tenang.”
“Benar Tuhan, saya rasa sekarang saatnya bersenang-senang karena tugasku sudah selesai. Ibuku sudah di rumah sakit jiwa, dan jodohku yang waktu itu, sudah pergi selamanya dari hidupku.”
“Selamat Freya, ia memang berhasil membuka pikiran manusia-manusia.”
“Benar Tuhan, sekarang saya akan menjalankan kehidupanku tanpa rasa khawatir lagi.”
Mereka berdua berpelukan lama.
“Apa kamu tidak merasa kesepian Freya?” Tanya Tuhan lagi.
“Kesepian? Tidak, saya punya teman bernama Yuka di sini, dan juga pekerjaanku di perpustakaan membuatku berinteraksi dengan berbagai macam orang. Cukup menyenangkan.”
“Benar, tapi maksudku apakah kau tidak ingin seseorang pasangan hidup?”
Freya terdiam. Sudah lama ia tak memikirkan soal pacar. Apalagi dirinya selalu menjadi perhatian banyak orang lelaki maupun perempuan. Rasanya sudah cukup hidup dengan popularitas tersebut.
“Tidak Tuhan.. Aku rasa aku sudah cukup senang akhir-akhir ini.”
Tuhan memandangi Freya dengan lembut. “Kamu sudah berusia mulai lanjut sekarang,” ujarnya, “Sudah saatnya kamu bertemu pasangan hidupmu.”
“Saya belum bertemu siapapun yang pantas mendapatkan hatiku Tuhan.”
Tuhan terlihat sedang berfikir, dibelainya rambut Freya, sayang.
“Kita sekarang ini dimana?” Tanyanya penuh dengan teka-teki.
“Sepertinya di taman jeruk Tuhan.” Taman jeruk, kenapa rasanya sedikit sakit yah.
“Kamu ingat pohon ini?” Tanya Tuhan lagi.
Pohon jeruk yang mereka duduki berdua amat gelap dan bahkan batang dan dedaunanya berwarna hitam. Hanya buah-buah jeruknya saja yang segar dan berwarna oranye muda.
“Tidak Tuhan..”
“Ini adalah pohon yang tumbuh dari benih yang kau tanam waktu itu.”
“Oh yang itu..” kata Freya.
“Sudah tumbuh besar, kuat.” Tambah Tuhan, “Tapi warnanya hitam. Buahnya saja yang segar. Kurasa dari dalam pohon ini sakit.”
Freya berfikir. Apa maksud Tuhan dengan tebak-tebakan seperti ini?
“Kamu lupa akan buah jeruk yang diberikan pria muda di sebuah taman dekat rumahmu?” Tanya Tuhan.
Freya tersentak. Pria muda. Pria muda manis yang canggung. Mau makan buah? Suaranya terngiang jelas di benak Freya.
“Erol..” bisik Freya.
“Yah, Erol,” kata Tuhan. “Dia amat sayang padamu. Seperti pohon ini, ia masih menyimpan perasaan untukmu, tapi karena ia sendirian, itu menjadi penyakit. Buahnya saja yang segar, tapi perasaanya luka.”
Freya mulai menangis. “Bolehkah aku bertemu dengan dia sekali lagi saja?” tanya Freya.
Tuhan mengelus rambut Freya, malaikat kesayanganya, malaikatnya yang paling indah, sudah mulai beranjak dewasa.
“Boleh Freya. Bahkan kamu akan kubiarkan dengan obat pengingat. Kamu kuijinkan bersama dia selama yang kau inginkan.”
Freya tersenyum lega, “Terimakasih Tuhan, kamu kesayanganku nomor satu.” Kata Freya.
Namun sedikit kekhawatiran muncul di benak Freya.
“Apakah dia akan memaafkanku Tuhan,” tanyanya pada Tuhan, “Bagaimana kondisinya? Oh! Dan ibunya! Tuhan saya mengabaikan Ibunya juga. Saya meninggalkan dirinya pada saat ia mau memperkenalkan diriku dengan ibunya.”
Freya berfikir panjang. “Saya khawatir penyakitnya sudah parah sekarang. Dan mungkin, Erol yang merasa kecewa, akan marah padaku.”
Tuhan mengangguk. “Kalau begitu bawalah salah satu buah jeruk ini untuk ibunya.” Katanya sambil bangun memetik buah jeruk dari ranting pohon hitam yang mereka duduki di bawah. “Buah ini akan membuatnya sehat dan kuat.”
“Baik Tuhan,” kata Freya sambil tersenyum sayang, “Terimakasih Tuhan, kamu memang baik sekali.”
“Sekarang, bangunlah anakku.”
  BAB 21
Freya penuh senyum keesokan harinya. Ada buah jeruk mujarab yang muncul tiba-tiba di samping meja ranjangnya setelah ia mimpi bertemu Tuhan. Dijamin kegaibannya akan manjur. Bukan hanya itu yang membuat hati Freya bahagia, tapi juga pikiran untuk bertemu Erol.
Bagaimana kabarnya?
Apakah dia baik-baik saja?
Apakah dia marah? Tapi tak apa, meskipun ia marah, Freya akan memeluknya dan memberikanya kecupan yang manis.
Apakah hatinya masih seperti yang dulu? Lugu, penuh ketidak pastian dan manis. Ia rindu sekali Erol. Ingin bertemu denganya. Mendekapnya, berbicara langsung dengan dia.
Di lihatnya waktu senggang di jadwal pekerjaan di perpustakaan. Yang pasti ia harus pergi secepat mungkin. Ibunya mungkin sudah tak terselamatkan lagi.
Ia harus berbaju sopan, ia akan bertemu Ibu Erol. Dan apa lagi yah yang harus ia bawa? Buku cerita mungkin? Ah, yang benar saja, dia kan sudah dewasa, bukan anak-anak yang menyukai dongeng. Akhirnya Freya setuju akan membawakanya buah-buahan segar dari pasar selain buah jeruk mujarab yang muncul dari mimpi itu.
Sore itu saat matahari terbenam, Freya tergesa-gesa pergi keluar perpustakaan menuju pasar. Dipilihnya Kios buah yang paling mahal. Buah segar memang baik untuk manusia sakit, pikiryna, dipilihnya buah-buahan dengan seksama. Usai memilih buah yang pantas, Freya berjalan menuju rumah sakit besar satu-satunya di kota tersebut dengan kantong penuh buah-buahan.
Tunggu aku Erol, jangan pergi dari perasaan kita yang waktu dulu.
   BAB 22
Erol duduk sendirian di pinggiran ranjang rumah sakit Ibunya. Kondisi ibunya makin parah. Tubuhnya yang tadinya berisi penuh kewanitaan menjadi kurus kering kerontang. Ia tak napsu makan, dan kerjanya setiap hari hanya berbaring lelah tak berenergi.
Baru-baru ini ia menjalani operasi besar. Itu adalah uang tabungan terakhir ayahnya. Ia takut ibu sudah tak terselamatkan lagi. Uang tidak ada, kondisinya semakin parah. Apakah ini akhir dari perjalanan hidup orang yang disayanginya ini?
Freya yang ia dambakan dulu masih terkadang terngiang di kepalanya. Tapi sakit yang luar biasa selalu keluar setiap mengingat perempuan itu. Hilang tiba-tiba. Ia salah apa? Apa mungkin gerak-geriknya yang mencurigakan ketahuan? Ia tahu ia terlihat sangat tidak keren, dengan pakaianya yang biasa saja dan kantong jus jeruk sederhana. Mungkin ia marah. Atau kehilangan napsu makan ketika bersamanya. Tapi Freya yang baik.. Freya yang manis itu. Apa mungkin tutur katanya bohong belaka?
“Erol, kamu kelihatan amat bingung.” suara lemah datang dari mulut Ibunya.
Erol menggeleng. Jarang-jarang ibunya mengajak dia berbicara. “Tidak Bunda, hanya sedang berfikir.”
“Berfikir apa, senyumlah sedikit, biar Bunda lega.”
Erol menggeleng. Mana mungkin ia merasa bahagia dalam kondisinya yang seperti ini. Seperti menghitung detik-detik ia akan kehilangan ibunya.
“Kamu setiap hari kesini, bunda amat senang. Tapi apa mungkin kamu tidak ada aktifitas lain? Seperti bergaul dengan perempuan gitu?”
Erol menggeleng. Di benaknya muncul sosok Freya, tapi tak mungkin. “Tidak Bunda, saya hanya ingin menemani bunda.
“Beberapa waktu yang lalu kamu minta ijin bunda ingin mengenali bunda pada seorang gadis muda. Dimanakah dia?”
“Ah itu..” mula Erol, “Dia sibuk.” Kata Erol, membual sedikit karena itulah satu-satunya kata yang muncul di benaknya.
“Anakku.. Anakku, bunda haus.”
Erol menggengam tangan ibunya, “Tunggu sebentar bunda, akan kuambilkan minuman dari kios bawah.”
Ruang resepsi rumah sakit tersebut amat ramai dan banyak orang lalu lalang. Banyak pasien sakit duduk di kursi roda, menunggu dirinya dipanggil untuk diperiksa. Ada juga dokter-dokter yang jalan kesana kemari membincangkan obat-obatan pada suster. Erol menghela nafas, bahkan dokter pintarpun tak dapat menyembuhkan ibunya.
Tiba-tiba, ada gadis berambut panjang muncul di sudut pandang mata Erol. Ia berbaju putih, bersih dan parasnya lembut nan ayu.
“Siapa itu?” Pikir Erol.
Nampaknya banyak orang yang bergumam begitu juga, karena sekelompok pria di ujung ruangan sedang senyum-senyum melihat kearah gadis itu. Karena penasaran Erol menoleh kearah gadis itu dan dengan bingung berfikir, “Mirip Freya?”
Erol memperhatikanya sejenak lagi. Freya!
Dan memang benar, gadis yang menunggu dengan sabar di ruang utama rumah sakit itu adalah Freya. Parasnya yang sudah lebih dewasa sekarang terlihat asing di mata Erol, namun kecantikanya masih melelehkan hati Erol.
Erol ingin sekali berlari mendekati Freya dan bertutur salam padanya. Namun ia menghentikan keinginanya saat ingat kehilanganya beberapa waktu yang lalu.
“Mungkin ada orang sakit yang ia kenali di sini,” pikir Erol. “Mana mungkin ia datang mencariku, dia marah padaku.”
Erol dengan ragu berjalan ke samping. Namun gerakan tersebut menangkap perhatian Freya. Wajah gadis itu terlihat sedang khawatir. Dari jauhpun Erol merasa ada beban yang berat yang sedang dipikirkan oleh Freya, namun sesaat ketika ia melihat Erol, wajahnya berubah menjadi berseri-seri.
Freya bangun, membawa sekantong buah-buahan segar dan berjalan mendekati Erol.
“Erol.” Kata Freya, suaranya lembut manis dan penuh dengan perasaan lega, “Kamu di sini.”
Erol mematung tak dapat berkata apa-apa. Ini Freya! Ia berjalan mendekatinya! Dan ia amat cantik!
“H..Hai.”
Freya terlihat sedikit tidak nyaman. “Erol, ini aku, kamu lupa padaku?”
Erol menggeleng, tapi tak berbicara apa-apa.
“Ini aku Freya, apa kau marah padaku?” Freya matanya mulai berkaca-kaca.
“Tidak Freya, tidak,” kata Erol. Ia terbatuk dan mengusap keringat dari keningnya. “Aku tidak mungkin melakukan itu.”
“Lantas, kenapa kamu bersikap dingin sekali padaku.”
Erol tidak tahan, ia pun maju kedepan dan mendekap Freya erat-erat.
Freya kaget, hampir saja kantong buah yang ia bawa jatuh berserakan ke lantai.
“Erol?”
“Aku tidak akan pernah marah padamu Freya. Ada juga merindukanmu.”
Freya tersenyum. “Erol, aku juga merindukanmu.”
Suasana di ruang utama rumah sakit menjadi semakin lalu lalang, para pria yang menggosipi Freya dari tadi menjadi diam memperhatikan Erol. Banyak tamu yang datang juga mencoba untuk tidak memperhatikan kejadian dramatis itu.
“Apa yang terjadi Freya? Kenapa kamu hilang tiba-tiba?”
“Erol.. Aku ada tugas.” Kata-kata itu terhentikan. Bagaimana menjelasknya pada Erol?
“Kamu sibuk?”
“Bukan juga, aku merasa itu bukan waktu yang bagus untuk kita bertemu.”
“Kamu marah padaku?”
“Tidak Erol, mana mungkin aku marah pada manusia yang baik padaku.”
Erol mengangguk. “Jadi alasan famili yah?”
Freya lega, “Iya. Tentu saja. Tapi sekarang sudah tak apa. Ibu sudah terkendali, maksudku kita juga sudah sadar kalau dia sebenarnya perlu perhatian khusus dari rumah sakit jiwa. Dia sudah tidak tinggal di rumah lagi. Ia bersama pasien-pasien yang lainnya yang menderita perasaan yang sama seperti dia.”
“Baguslah kalau begitu,” kata Erol.
“Kamu sendiri bagaimana? Apa kabar ibumu?”
“Bunda keadaanya semakin parah,” kata Erol. “Baru saja melakukan operasi yang besar.”
“Pasti mahal harganya.”
“Iya, Freya. Itu uang tabungan terakhir ayahku.”
“Bagaimana Erol, apakah dia masih bisa bangun dan berbincang denganmu.”
“Tidak, Ibu sehari-hari tidur dan menyendiri. Lelah katanya. Saya khawatir ini hari-hari akhirnya.”
Freya menghela nafas, khawatir. “Bolehkah saya bertemu dengan ibumu?”
Erol mengambil tangan Freya, dan berdua, diajaknya ia ke lantai kamar ibunya di atas.
Ibu Erol terlihat terbaring lemah lunglai di atas kasur. Berbagai macam jarum infuse menusuk di lengan kurus lemah tersebut. Matanya terkatup dan mulutnya menganga.
“Bunda,” kata Erol, “Bunda, Erol punya kejutan untuk Bunda.”
Ibu itu menoleh lemah kearah Erol.
“Ini gadis yang aku janjikan waktu itu Bunda.”
Melihat Freya sang Bunda langsung tersenyum. “Selamat malam, siapa namamu? Kamu cantik sekali, seperti malaikat.”
Freya dengan malu maju dan menyelamati tangan ibu Erol, “Freya, Bu.”
“Freya.. nama yang indah. Kamu teman Erol?”
“Iya bu.”
“Baguslah, sudah tak tahan lihat dia bergaul dengan teman-teman yang serampangan. Sudah saatnya ia bertemu pasangan yang baik.”
“Bunda, kita cuma teman belaka.” sahut Erol malu.
“Bagaimana keadaan ibu?” Tanya Freya.
“Tidak baik nak,” kata sang ibu, “Perut saya merasa sakit. Baru di operasi. Sepertinya perlu berhari-hari untuk sembuh.”
Freya tersenyum, “Bu, saya ada bawa buah-buahan untuk ibu, ibu coba yah.”
Erol menatap Freya dengan kaget, “Buah?” katanya.
Freya teringat, masa-masa ia dibawai jeruk dan jusnya di sebuah bangku taman kosong. Ia lupa memberitahu Erol perasaanya yang mendalam.
“Buah jeruk ini khusus untuk ibu,” kata Freya.
Erol memandangi Freya dengan bingung, lalu dengan berani ia berkata, “Kalau buah untukku tidak ada?”
Freya tersenyum lembut pada Erol, “Buat kamu, aku bawakan sekantong buah-buahan segar yang banyak.” Katanya.
Ibu Erol tersenyum bahagia dan dengan harunya memakan buah jeruk bawaan Freya.
Mujizat yang terjadi setelah itu berangsur-angsur bereaksi ampuh. Ibunya yang lemah tadinya di hari-hari berikutnya mulai bisa bangun dan duduk sendiri. Ia juga mulai jarang tidur dan mulai bercanda tawa riang. Belum lagi Freya dan Erol yang sering menghibur hatinya yang lemah. Freya juga terkadang mengeringi tangis ibunya. Secara rahasia tentunya.
Erol merasa bangga, mempunyai teman wanita yang begitu cantik, baik, pintar. Suatu saat, ia membawa Freya ke ladang penuh dengan pohon jeruk. Persis seperti mimpi Freya. Dan ia melamar Freya di ladang jeruk tersebut. Freya dengan haru menyetujui lamaran tersebut dan memeluk Erol erat.
Erol yang baik, tulus dan manis merasa sudah tak ada lagi yang diinginkan dari dunia. Dengan Freya di sampingnya, apa saja terasa indah. Memang cerita cinta mereka diawali dengan beban yang berat, tapi pada akhirnya mereka bersatu.
Freya yang mengingat semua segala hal yang ia lakukan di surga akhirnya menjadi seseorang yang amat pintar. Lebih pintar dari manusia pada wajarnya. Pada akhirnya, ia menjadi orang sukses yang baik adat istiadatnya. Kepopuleranya membuat Freya dikenal baik pada orang-orang di dalam kota. Freya membuat kota Dakarat menjadi makin asri dan berbudi. Banyak manusia yang khilaf dan akhirnya menjadi manusia yang baik.
Setelah mereka kaya dan berkeluarga banyak, mereka membeli ladang jeruk tempat Erol melamar Freya dulu. Setelah Pensiun, mereka membangun pondok kecil di dalam ladang tersebut dan tinggal bersama di situ.
Erol tak habis-habisnya membanggakan Freya. Freya yang cantik, Freya yang baik, Freya yang pintar.
Freya, malaikat yang bahagia.
     EPILOG
Begitulah malaikat-malaikatku. Salah satu contoh malaikat yang berhasil meraih kebahagiaan di dunia.
Benar tugasnya di awal-awal memang sangat berat, tapi coba lihat, betapa bahaginya ia sekarang bersama pendamping hidupnya yang baik dan setia.
Kalian tidak lihat? Freya sekarang sering sekali tersenyum bahagia dari pada mengurung diri seperti kondisinya yang dulu. Kamu mau tidak seperti Freya?
Kamu malaikat jibril, bagaimana kalau kamu ku utus untuk menjadi tukang las di bengkel bumi. Setuju tidak?
Eh, jangan salah sangka, tugas Freya juga berat!
Ia harus menghadapi ibunya setiap hari. Menelan amarah demi amarah seperti halnya anak yang baik. Bakti itu namanya. Coba bayangkan kalau Freya tidak sabaran seperti kamu misalnya, malaikat apiku, bisa jadi apa tugasnya yang selama ini?
Ohiya, dan masalah Devian.
Nila titik rusak susu sebelangga bukan? Devian yang bodoh dan tamak akhirnya menjadi manusia yang memulai ide sehat dari para pendiri-pendiri kota. Freya selama ini berperang dengan keluarganya sendiri, mencoba menolak pintaan ibunya yang senonoh itu. Namun karena pintar, Freya berhasil mengacaukan siasat jahat ibunya itu.
Bagaimana? Sebaiknya di contoh kan?
Tugas selanjutnya merupakan pembukaan sinarku yang lebih susah. Ada yang bersedia unjuk tangan? Tidak, tidak masalah siksaan batin atau apapun juga. Tapi masalah perang.
Ayo siapa yang mau jadi jenderal perang?
Tidak-tidak bukan kekejaman yang akan kau lakukan, melainkan perkelahian yang sengit.
Ayo siapa yang mau maju?
Malaikat api?
Malaikat angin?
Bukan malaikat bunga tentunya.
Ayo siapa lagi yang mau maju menerangi titahku? Nanti akan kujaga dan kuberikan tuntunan agar bahagia seperti Freya.
0 notes
anakperempuannet · 4 years ago
Text
Nama Bayi Perempuan Italia Huruf S Paling Bagus Sepanjang Zaman
Nama Bayi Perempuan Italia Huruf S Paling Bagus Sepanjang Zaman
Nama Bayi Perempuan Italia Huruf S – namaanakperempuan.net. Mencarikan nama untuk buah hati tercinta, Bunda perlu ketelitian serta kecermatan. Karena sebuah nama bisa berpengaruh terhadap sifat ataupun masa depan anak. Oleh sebab itu, pilihlah nama yang bermakna baik. Seperti nama bayi perempuan italia awalan huruf s. Nama ini bisa jadi solusi paling terbaik agar kelak putri anda menjadi sosok…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
anakperempuannet · 4 years ago
Text
Nama Bayi Perempuan Jepang Arab Inspirasi Terbaik Sepanjang Masa
Nama Bayi Perempuan Jepang Arab Inspirasi Terbaik Sepanjang Masa
Nama Bayi Perempuan Jepang Arab – namaanakperempuan.net. Ayah/Bunda ingin memiliki anak yang baik dan cantik? Kalau memang benar, anda harus berikan nama yang tepat. Seperti rangkaian nama bayi perempuan jepang arab dan artinya. Nama ini bisa menjadi sebuah doa agar si kecil memiliki paras cantik, indah dan berkepribadian baik. Tidak cuman bisa jadi doa, nama-namanya juga cocok buat nama…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
anakperempuannet · 4 years ago
Text
Nama Bayi Perempuan Dalam Al Quran 2 Kata Terbaik Sepanjang Masa
Nama Bayi Perempuan Dalam Al Quran 2 Kata Terbaik Sepanjang Masa
Nama Bayi Perempuan Dalam Al Quran 2 Kata – namaanakperempuan.net. Ingin memberikan rangkaian nama bayi 2 kata? Jika memang benar, kini anda sudah berada di situs yang tepat lho. Karena disini kami telah merangkumkan beberapa pilihan nama bayi perempuan dalam al quran 2 kata. Nama bayi ini dijamin bagus, indah dan penuh makna. Sebab, semua nama-namanya dipilihkan dari bahasa islam dan alquran.…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes