Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Buat yang lagi nyari tempat tinggal
Barusan ngobrol sama temen yg sedang galau mau pindah rumah. Beliau nyari kondisi lingkungan yg kondusif utk anak2nya. Mulai dari one gate system, ada security 24 jam, tetangga2nya educated, dilengkapi CCTV, dll. Pokoknya semuanya bisa dikontrol. Yah begitu lah ya, impian semua orang. Tiba2 ingin menulis ini karena saya pernah melihat sendiri ada pasangan yang sampai bertikai karena persoalan tempat tinggal~
Ga ada yg salah sih pengen punya lingkungan hidup yg baik. Bahkan di dalam islam sebelum nyari tempat tinggal kita kudu lihat tetangganya dulu. Apakah kondusif atau engga sama keimanan kita. Dan kalau bisa memilih, pilih lah lingkungan yg dekat dengan mesjid. Yang jadi masalah ituu, kita pengen punya tempat tinggal ideal tapi kantong ga ideal. Wkwkwk. Yu know what i mean. Kan rata2 tempat tinggal "aman, nyaman" itu pricey ya. Ketika ada benturan antara harapan dan realita. Gimana dong?
Hamba sudah melewatinya. Setelah pindah dari kota ke kabupaten, dari perumahan yg dijagain security, hijrah ke perumahan yg bentukan bangunan seikhlasnya. Ga ada security. Ga ada pintu gerbang, Blong aja. Punya tetangga yg hobby bakar sampah. Sebelah rumah ngoleksi motor racing dgn suara knalpot yang menguji kesabaran, belom lagi kalo suara knalpot itu saut2an dgn speaker mesjid yg stereonya udah pecah saking volumenya dipaksain maksimal. wkwkwk. Trus sampah cuma diangkut 1 minggu sekali itupun kalo TPS aman. Kalau TPS penuh, bisa2 cuma diangkut sebulan 2x. Belum lagi tiap kemarau suka mati air. Pokoknya everything is uncontrol-able. Kebayang kan ya.
Tapi surprisingly hidup di lingkungan yg heterogen, dengan banyak ketidakidealan ini membuat cara berpikir saya berubah. Seolah-olah Allah tuh pengen mentraining saya untuk terbiasa berhadapan dgn hal2 yang di luar ekspektasi.
Setelah 2 thn tinggal di sini, ternyata saya baik-baik aja dengan semua ini. Pengen pindah rumah? Boleh lah kalo dibayarin wkwkwk. Tapi saya jg heran kok saya betah2 aja di sini. Udah berada di titik melihat hal2 yg ga enak itu (bakar sampah, asep knalpot dll) bukan masalah besar bagi saya. Justru saya jadi belajar bersahabat dengan ketidaksempurnaan. Belajar berkompromi dgn perbedaan. Ujung2nya belajar ridha qada dan qadarNya Allah.
Walaupun sampe di titik ini masih harus banyak belajar berlapang dada, tapi makin sadar kalau anak2 kita ga bisa terus2an tinggal di lingkungan yg steril. Ketika anak2 pulang bawa oleh2 berupa kosakata "kasar", ya kita ga boleh bosen "nyeseuh". Cuci lagi, cuci lagi. Cuci kekotoran itu dgn yg bersih2. Kuatin lagi value keluarganya. Masya Allah, ajaran ust Aad bahwa anak2 harus bisa dibenturkan dgn realita kehidupan ini sangat membekas di pikiran saya. Lucunya, orangtua pengen anak tangguh, tapi ga tega melihat anak menderita. Kita pengen anak2 kita imannya kuat, tapi ga ridha kalau Allah uji keimanan anak2 lewat lingkungan. Padahal kekuatan iman itu muncul kalau udah diuji kan. Allah sendiri yang bilang di AL Quran kalau Allah akan uji setiap hamba yg mengaku dirinya beriman.
Tinggal pakuat-kuat pengaruh aja nih. Siapa yg lebih mempengaruhi anak, ortunya atau lingkungannya? Siapa yg akan jadi tempat bertanya, dan perpulang anak? Teman2nya atau rumah? Dan itu ga bisa instant, perlu investasi semenjak mereka keciil. Anak yg bonding dan trustnya kuat sama ortunya pasti akan selalu bertanya pendapat ortuny ketika melihat hal2 yg bertentangan dengan fitrah di circle pergaulannya, bukan alih2 ikut terjerumus atau menjadi follower semata. Ah, siapapun yg sedang cari tempat tinggal, semoga Allah beri yg terbaik ya. Semangaat! ;)
1 note
·
View note
Text
Dulu Benci, Sekarang Cinta
Oke, dari sini aku paham cara memperkenalkan anak2ku dengan Kimia. Supaya ga trauma Kimia kayak Ibunya.
Kalau Math so far impressionnya masih baik karena diperkenalkan dengan cara project berdagang. Siapa siih yg gasuka dapet duit, ya kan? Kemaren tabina hepi banget dapet duit 60rebu, hasil dari jualan gelang dan cincin manik2 yg dia buat.
Dari project manik2 aja dia udah belajar: mengenal pattern, ngitung manik2, belajar teori warna utk membuat perpaduan warna manik2 yg menarik, mengasah motorik halus mencapit manik2 yg ukurannya keciil, lebih kecil dari upil dgn kedua tangannya. Bahkan dia belajar cara pakai tang utk menjepit stopper, kodokan, dan kokot udang buat sambungan gelangnya. Saat market day berlangsung, dia belajar ngitung kembalian pake uang real. Belajar ngitung profit, omset, dan modal --> Beuh udah lengkap banget ga nih, belajar pertambahan, pengurangan, perkalian, pembagian.
Belum lagi anak2 belajar softskill. Teknik2 marketing: bikin brand, mikirin packaging, presentasiin produk, cara meyakinkan calon pembeli, sampe ngerayu pembeli utk membeli lebih banyak dengan cara bundling harga. Wkwkwk. Masya Allah Tabarakallah. Belajar memang harus seseru ituu!
2 notes
·
View notes
Text
Belajar Mencintai Kekacauan
Ide-ide yang datang kepada kita harus kita perlakukan dengan hormat. Jangan sampai ide-ide ini disia-siakan di tangan kita. Di tangan si penggagas ide itu sendiri.
Menghargai ide yang datang adalah dengan cara mencintai proses. Proses itu rumit, proses itu kacau. Dan ini yang bikin kehidupan kek roller coaster, bukan? :D
Dari proses, kita belajar utk bersahabat dengan rasa kecewa jika tidak berjalan sesuai rencana. Dari proses, kita belajar menaklukan diri sendiri = ternyata hanya dengan konsistensi dan persistensi, ide2 yg awalnya abstrak bisa jadi nyata.
Karya adalah SEMUA yang terjadi di hari itu. Itulah proses, bukan sebuah benda.
Indahnya berkeluarga, kita selalu bisa mendiskusikan ide2 yang datang dengan pasangan dan anak2. Tantangannya adalah, membuat semua anggota keluarga merasa nyaman menyampaikan pendapatnya-walaupun tahu ga semua pendapat bisa dijalani. Dan beruntungnya saya diberikan pasangan si paling let's go. Yang selalu me-let's go-kan ide2 random saya sekalipun :))
Ini lah alasan saya ingin berkeluarga dulu: pengan punya keluarga Mastermind, yaitu sahabat berdiskusi ternyaman. Wadah dimana semua anggota keluarga berhak berpendapat, dan mengalirkan rasa tanpa takut di-judge. Tapi pada kenyataannya, tidak semudah itu mencapai titik ini.
Untuk bisa mencapai titik "Mastermind", kita perlu banyak latihan. Ga bisa ujug2 kompak. Cara melatihnya adalah dengan membiasakan membuat project bersama.
"Mau bikin project apa lagi ya?" ini yg sering jadi obrolan saya dan suami.
Segalanya berawal dari NGOBROL. Melibatkan anak2 sejak dini dengan project2 yg kita garap bisa melatih mereka menyampaikan pendapat, embrace ketidaknyamanan dalam menjalani proses, belajar kecewa dan belajar sedih jika pendapatnya ga dipakai, belajar menerima hasil musyawarah dengan lapang dada, belajar memahami value keluarga yg kami tanamkan pada setiap project.
Value apa yg ingin ditanamkan supertabi? Value ketauhidan, berani mencoba hal baru, berani mencintai proses.
Tugas orangtua adalah menularkan semangat dan aura optimis. Bahagia itu menular, bukan?
TIPS. Untuk awalan memulai project dgn anak:
Ajak ngobrol: Apa yg paling disukai anak? karena outputnya harus bikin anak ketagihan.
Bikin project dgn durasi yg pendek. Coba maksimal 3 hari.
Akhiri dengan ngobrol. 3 hal yg perlu dibahas: 1. Apa yg paling seru saat ngerjain project ini? 2. Apresiasi (ucapan terimakasih), 3. Mau sukses apa lagi setelah ini? Apapun hasilnya, anggap saja anak sukses. Rayakan!
Buat ibu2 yg suka overthinking dengan hasil akhir (RUMAH BERANTAKAN). Sesi beres2 HARUS DIBAHAS pada saat diskusi berlangsung. Anak2 harus berperan ikut beres2. Berhentilah ngerjain project sebelum tenaga habis total, supaya masih punya tenaga buat beres2 :))
UNTUK SIPALING PERFEKSIONIS (me, me, me!) : Mulai aja dulu. Mengeksekusi ide ga harus sempurna. Bisa jadi, kita yg memulai dan anak2 kita yg menyempurnakannya di masa yg akan datang. Ini bukan tentang kompetisi, tapi kolaborasi.
@gitpret
3 notes
·
View notes
Text
Mumpung masih kecil, ajak ngobrol!
Belum lama ini saya dapat curhatan dari ibu senior yg anak sulungnya udah masuk kuliah, anak bontotnya usia SMA. Ibu ini curhat karena merasa bingung, anak2nya udah pada susah diajak ngobrol :')
Yang sulung kuliah merantau, tiap pulang ke rumah sibuk sama hp. Begitupun anak bontotnya, sekolah full day, pulang2 udah ga mau diajak ngobrol. Alesannya udah capek sekolah, di rumah cuma pengen santai2 aja main hp. Sedangkan ibu ini ngerasa anak2 makin gede kok makin merasa kesepian ya, padahal kan kangeen banget sama anak2 yg udah jarang di rumah. Duh kebayang ya :')
***
Waktu main ke keluarga Sali, kami bahas obrolan menarik tentang generasi Fatherless. Betapa anak2 yg kecilnya ga deket sama ortu (terutama ayah), pas gedenya, tiap ketemu ayah, bingung mau ngobrol apa? Saking clue-less nya. Bingung mau bahas apa. Saking ga nyambungnya. Sedih ya :')
***
Dan hari ini, saya dapet insight dari buddy2-nya Supertabi. Tentang betapa berharganya waktu "ngobrol bareng" saat anak2 masih kecil. Sesederhana nontonin hujan yg turun saat berteduh di pelataran indomar*t. Semuanya bisa disambungin ke Asma Wasifat Allah. Kalau menghafal Asmaul Husna yg 99 itu sulit, kita coba dr yg lebih sederhana, yaitu 20 sifat wajib Allah.
Pak Arif Parenthanks bercerita, anaknya, Hawwin yg sekarang kls 4 SD sama sekali ga susah disuruh shalat. Tiap denger azan langsung bergegas. Bahkan kalo bapaknya telat shubuh, Hawwin yg bangunin. Masyaa Allah kok bisa gini? Ternyata sejak anak umur 2 thn tiap hari ga pernah luput dari dialog iman.
Pak Arif kasih contoh cerita menarik. Kebetulan di depan halaman rumah ada bunga pukul 8. Seperti namanya, bunga unik ini cuma mekar di jam 8 pagi. Suatu hari anaknya pernah tantrum ingin suatu benda yg belum bisa diberi ortunya. Pak Arif bilang,"nak, coba lihat bunga pukul 8 itu. Walaupun kamu nangis guling2 karena ingin bunga itu mekar di jam 12 malem, ga akan bisa. Karena Allah udah menentukan waktu mekarnya. Seingin apapun kita terhadap sesuatu, tapi kalau menurut Allah waktunya belum tepat, ya Allah belum kasih". Dan setelah itu anaknya berenti nangis.
*Bunga pukul delapan putih, Turnera ulmifolia
Masya Allah, emang bener namanya ga salah. Arif = Bijaksana. Nama keluarganya aja ParenThanks, agar terlahir anak2 yg penuh rasa syukur. Dan masih banyaak contoh2 dialog iman yg bisa kita contek2 inspirasinya.
Apa parameter Dialog Iman ini berhasil? Sampai anak bener2 cinta sama Allah. Cirinya? Ridho dengan perintah syariat. Ga merasa berat menjalankan ibadah, terutama shalat sehari 5x. Dan ini modal yg penting banget utk persiapan masa Baligh.
Jujur insight hari ini nabok banget sih, karena kami masih ada PR di dialog iman. Tabina ga sat-set kalau denger adzan berkumandang, cenderung santai, bahkan suka menunda2. Kadang nyuruhnya sampe drama, mulai pake suara lemah lembut ga mempan, kudu naik pitam dulu baru deh mau wudhu. Padahal anaknya udah 8 tahun. Bentar lagi mau 10 tahun. Duh mana anak sekarang Balighnya cepet banget T_T
Udah pernah konsultasi jg ke kakak Guru, kami dikasih PR utk memperbanyak dialog iman di rumah. Tuh kan, jadi inget PRnya ga tiap hari banget dikerjain :'\ Oke play with daddy harus difokuskan ke sini. Panggilan kepada Abba~
Ini nih serunya jadi warga CBE Whitebee. Kalau udah ketemu keluarga2 yg satu frekuensi, langsung dapet banyaak banget inspirasi yg bisa direnungi. Dapet ilmu gratis yg mahal. Ayok putus generasi fatherless. Yok Bisa Yok! Belajar dari Nabi Ibrahim, Nabi Ya'Qub, Nabi Zakariya, dan Luqman Al Haqim - yg dialog antara BAPAK sama anaknya diabadikan dalam Al Quran. Dialog iman memang lebih efektif dari Ayah. Kata2nya irit, tapi menghujam ke dalam dada.
Baik ayah atau ibu, keduanya harus berperan dalam dialog iman. Tapi ibu2 itu kan terkenal bawel ya. Kata-katanya segalon. Padahal intinya cuma dikit. Anak udah keburu kabur duluan :))
@gitpret
4 notes
·
View notes
Text
Petualangan Supertabi mencari jati diri
Setiap tahun, CBE mengadakan event yg bernama Family Festival. Ini adalah parade kumpulan keluarga yg mempresentasikan masing-masing project unik keluarga dan juga visi misinya.
Dokumentasi pertama kalinya supertabi ikutan Family Festival (2023)
Kami adalah contoh home team yg masih mencari jati diri tentang core kami. Sebagai ADHDers yg impulsif, saya dan suami punya banyak ide kegiatan.
Mulai dari bangun bisnis keluarga, berkebun, ngompos, bikin produk2 fermentasi seperti yogurt dan kombucha, Home Cafe (cooking class), outing, camping, Fun Math, English time, Book and Tea (Literasi), angkat barbel, olah vokal, sepedaan bareng, renang bareng, ngaji bareng, nonton bareng, menggambar bareng, sampe bobok bareng (halah, yg terakhir pake ditulis sagala wkwk). Pokoknya semua ke-random-an ini kita jalanin bersama :))
Walaupun banyak Family Project yg kami buat, tapi ga semuanya istiqomah. Setidaknya dgn trial error ini kami jadi lebih mengenal karakter keluarga kami. Macam "oh ini cocok, ini ga cocok. Oh ini digas, ini direm dulu."
Kegiatan yg masih eksis dan konsisten sampe sekarang: bisnis keluarga, Ramadan camp tiap taun (itikaf bareng bocil2 + anak orang), fun math, english time, home cafe (experiment berbagai resep kopi), ngaji bareng.
Kegiatan yg udah berjalan tapi masih moody-moody-an: Olahraga (angkat barbel, renang, sepedaan), shaum sunnah, side project bisnis (maen microstock)
Kegiatan yg kami suka banget hasilnya tapi males bikinnya: produk fermentasi, cooking class (baking)
Kegiatan baru mulai dan masih meraba2: Berkebun, komposting, ternak ikan.
Kegiatan literasi cuma cocok utk saya dan Tabina. Tp ga cocok buat suami. Sore2 saya dan anak gadis suka baca buku favorit bareng sambil ngeteh dan dengerin lagu bangsawan misal seriosa :))
Kegiatan crafting cocok buat suami, tabina & babang, tp kurang di saya.
Kegiatan yg saya dan anak2 suka, tapi suami ga mau ikut praktek: Olah Vokal wkwkwk. Btw olah vokal tu bukan karena kita pengen jadi artis atau ikut opera. Tapi karena kami merasa butuh memperbaiki artikulasi dan bukaan rahang. Sangat berguna buat saya praktek tahsin, melafalkan huruf hijaiyah ga boleh miring2. Dan sangat berguna utk Tabina yg tiap presentasi di depan kelas suaranya keciiil, siga chipmunk :)
But it's ok kita tetep lanjutin.
Dari semuanya,
Ada jg project yg hanya berlangsung 1x dan ga bisa diulangin: Hijrah ke Soreang: Beli rumah, renov, bikin desain rumah sendiri dgn software Adobe Illustrator (Saya lupa cara pake Autocad T_T). Ini adalah project ter-epicnya supertabi sih. Penuh pengorbanan dan kesabaran. Tp saya jadi berpikir bisa2 aja diulangin kok. Sering2 aja rombak rumah. Hahaha.
Seiring berjalannya waktu, project2 ini akan terus bertambah, atau mengerucut, sesuai kebutuhan dan keunikan masing2 anggota keluarga kami. Saat ini memang masih random sih, tapi tujuannya memang utk memperkenalkan ragam kegiatan utk anak2 kami. Akan ada waktunya dimana project ini diinisiasi oleh anak, dan mereka sendiri yg menjadi project leadernya. Kami gantian jadi supporter :)
2 notes
·
View notes
Text
Supertabi
"SUPERTABI, SUPER FAMILY!" itulah yel yel yg kami gaungkan di depan khalayak yg hadir di acara parents camp 2 tahun yg lalu.
Masih teringat jelas saat saya mempresentasikan visi misi keluarga kami.
"MISI: Menjadi keluarga mandiri. Mandiri secara finansial (membuat perusahaan sendiri), mandiri secara pendidikan (homeschooling) dan mandiri secara pangan (berkebun)" Kemudian disambut iringan tepuk tangan meriah, "WUIHHH, BERAAAT!" kata mereka.
Kalo diinget inget, antara pengen ngakak juga pengen nangis. Pengen ngakak karena bikin nama, yel2, dan visi misinya kilat banget waktu di mobil perjalanan menuju lokasi parents camp. Wkwkwk.
Pengen nangis krn MALUU. Ngerasa nyari2 masalah sendiri. Ini bercanda? Ngapa susah-susah amat sih bikin masterplannya. Kenapa ga kayak keluarga laen aja: Menjadi keluarga yg bahagia. Kan lebih mudah aplikasinya gitu lho giit. Mimpi sih boleh ya setinggi-tingginya, tapi mendeklarasikan impian besar yg sulit digapai di hadapan orang banyak itu kan.. uji nyali ya.
Itulah moment saat kami memperkenalkan keluarga kecil kami di hadapan para hometeam CBE (Community Based Education) lainnya.
Kemudian petualangan supertabi pun berlanjut. Pusing sendiri memikirkan bagaimana cara untuk membumikan Visi misi yg rasanya terlalu muluk itu.
Mandiri Finanasial? Untuk bisa bertahan hidup saja, rasanya jatuh bangun. Membangun bisnis kecil tanpa berbekal pengalaman yg mumpuni itu tidak mudah. Tidak ada THR, tidak ada tunjangan kesehatan, asuransi, apapun. Kadang toko ramai, tidak jarang juga sangat sepi berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Perasaan ingin berhenti sering menghampiri. Berharap suami apply job saja ke perusahaan lain, itu pun pernah kami angkat jadi bahan diskusi.
Alhamdulillah, Allah masih takdirkan @tabinaria.id survive sampai saat ini. Sudah masuk tahun ke 8 berbisnis. Menerjang badai pandemi dan resesi. Dan Tabinaria tetap menjadi satu2nya sumber pendapatan kami.
Homeschooling? Ternyata ga semulus dan semudah yg kami rencanakan. Ternyata Tabina itu tipe anak yg sangaat suka berteman. Kebutuhan motorik kasarnya juga besar, agak kurang terpenuhi jika kami memaksakan "sekolah di rumah". Memang teorinya anak harus sering diajak keluar utk belajar langsung dgn alam dan berjumpa dgn manusia lintas usia, namun bisnis kami yg belum menentu ini belum bs memberi kepastian kapan dan seberapa sering bs kami ikhtiarkan waktu luang utk memenuhi kebutuhan gerak dan sosial anak kami.
Setelah berdiskusi dgn suami dan para ortu homescholler, yang paling memungkinkan adalah mencari jalan tengah. Tetap mempercayakan anak ke lembaga pendidikan, namun pilih sekolah yg sesuai dgn visi misi keluarga kami, cari sekolah yg gak full day dan ga ngasih PR sehingga kami bisa jalani customized curriculum. Kegiatan home education bisa kami jalani maksimal saat anak pulang.
Alhamdulillah, nemu White Bee school of life yg sejalan banget sama apa yg kami mau. Awalnya kami hanya berniat ikutan kelas online, tapi ternyata Tabina lebih suka sekolah reguler. Akhirnya dari kelas online, kami switch ke kelas reguler di hari pertama sekolah mulai.
Menjalani home-education itu ga melulu harus homeschooling kok. Bisa juga collabs dgn lembaga yg sejalan. Tidak sepenuhnya menitipkan anak di sekolah, tp kita juga harus bikin kurikulum mandiri di rumah. Sekolah hanyalah mitra.
Mandiri pangan? ini yg lucu. At first, we dont have a clue, dont know how to start. Gardening is not our things at all. Walaupun saya lulusan arsitektur lanskap, tapi saya gak ngerti cara nyemai benih sampe panen wkwk. Ga hobi juga. Tapi menariknya, entah ilham dari mana saya selalu berdoa ke Allah utk dimampukan soal ini.
Dan selang 2 tahun dari presentasi itu, saya baru tergerak memulai berkebun. Awalnya gara2 suka nonton channel Li Zi Qi, Bumiku Satu, jadi dicipta-cipta gitu keinginan utk bercocok tanam. Pengeeen banget punya kebun sayur. Dari ga tertarik soal sampah, trus sekarang jadi tertarik bikin kompos aja itu sudah kemajuan, bukan? Saat ini kami sudah mulai di tahap cimit, yah baru sekitar 10%. Sedang berkenalan dgn karakter tanaman yg beda2, ada tanaman hias, herbs, buah, bunga dan sayur. Belum banyak sih, tapi slowly but sure kita menuju ke arah sana.
Jangan pernah under estimate the power of doa. Walau rasanya impian ini terlalu muluk dgn kapasitas kami yg baru segini-gini aja, saya optimis kalau terus minta petunjuk ke Allah, pasti Allah kasih jalan keluarnya :) SUPER TABI SUPER FAMILY!
2 notes
·
View notes
Text
Produktif versi "saya yang dulu" VS "saya yang sekarang"
Dulu saya sering ikut training motivasi2, baca buku self development, dan artikel2 produktifitas. Setelah menikah dan punya anak, kadang saya merasa tersiksa karena tidak se-produktif dulu. Ga bisa baca buku dengan tenang tanpa iklan, ga bisa melakukan hobi dgn leluasa, bahkan ga bs merawat diri dengan baik. Bisa mandi aja udah alhamdulillah. Dan itu membuat saya merasa inferior, insecure, dan sering cranky.
Tapi setelah menjalani kehidupan, mengkaji kembali arah dan tujuan hidup, saya merasa jadi ibu itu produktif banget kalau dilihat dari perspektif amal sholih. Ibu hamil yg kesakitan aja setiap detiknya dapat limpahan pahala walaupun sedang bedrest kan :')
Sampai pada suatu hari, saya bertemu dengan guru tahsin, kita sebut ustadzah. Umurnya baru 24 thn (jauh lebih muda dari hamba wkwk). Tapi anaknya sudah mau 3. Dan walau beliau ini masih muda, tapi kharismatik gitu lho dan saya sangat respect. Beliau cerita bahwa beliau ini anak bungsu dari 12 bersaudara. WOW!
Kebayang ga sih, saya yg baru punya 2 anak aja kadang merasa pengen tutup pabrik liat babang yg hiperaktif. Ini 12 bersaudara, wich is kurang 10 lagi nih, Gita! :))
Dan yang Masyaa Allah, dari 12 anak itu saya melihat keberhasilan didikan orang tuanya, karena anak2nya ga jauh dari interaksi dengan Al Quran. Contohnya ustadzah yg ngajar saya, beliau ini hafidzah. Hapal Al Quran, bacaannya jg bersanad, dan bisa terjemahin al quran dgn lancar. Dan ternyata kakak2nya bahkan kakak iparnya pun aktivitasnya mirip2. Jadi Guru pengajar Al Quran.
Ga lama dari pertemuan pertama, saya mendapat kabar bahwa ibundanya ustadzah meninggal dunia krn pecah pembuluh darah di otak. Wah kebayang ya sedihnya. Aktivitas tahsin hanya libur beberapa hari dan kembali masuk. Tapi saya melihat ustadzah so stroong. Beliau bilang, "ucapkan Alhamdulillah saat kita ditinggal dengan orang yang kita sayang, agar itu memudahkan perjalanan mereka di alam barzah." Beliau bercerita tentang ibunda dgn tenang, tapi saya yg nangis. Langsung teringat saudara2 di palestina yg mengucapkan Alhamdulillah manakala melihat setiap anggota keluarganya yg syahid T_T
Beberapa bulan berlalu. Suatu hari ustadzah bercerita bermimpi bertemu dgn ibunda. Di mimpi itu, beliau melihat ibundanya sangat bahagia. Penampilannya cantik, bersih, dan kembali muda, memakai gaun indah serba putih. Dan uniknya, ayah dan juga kakak2 ustadzah pun bermimpi hal yg sama!
Ustadzah bilang, kalau kita memimpikan bertemu dengan orang yg sudah meninggal bisa jadi itu hal yg nyata. Maksudnya? Saat kita tidur, Allah menggenggam ruh kita. Dan Allah pun menggenggam ruh orang yg telah meninggal. Bisa jadi ruh kita saling berjumpa di dalam genggamanNya. Allahu Akbar T_T
Dan amalan apa yg bisa mengantarkan ibunda beliau? Saya pikir, apalagi kalau bukan kesabaran dan keikhlasan beliau dalam membesarkan, merawat, dan menjaga ke-12 anaknya. 12x menahan sakit saat hamil dan melahirkan setahun sekali, dan jangan ditanya sabarnya kayak apaa menghadapi anak 12 anak :')
------
Produktif itu dilihat dari sejauh mana tujuan kita tercapai bukan?
Balik lagi ke tujuan hidup.
Rasulullah selalu berdoa setiap bada subuh. Ada 3 hal yg selalu beliau minta: Ilmu bermanfaat, Rizki yg halal, dan kemampuan utk beramal shalih.
Jadi sebenernya utk dikatakan produktif itu ga banyak ngadi2. Ga harus sama persis sama buku the 5 am club. wkwk. Sekarang yg saya kejar adalah "waktu yg barakah".
Sering ngerasa waktu yg Allah kasih ini jadi lebih barakah kalau saya pegang 3 kunci di pagi hari:
Jaga Shalat 5 waktu = tepat waktu, ga ngaret (Terutama yg paling krusial adalah shalat subuh. JANGAN TELAT SHALAT SUBUH. Lebih baik lagi bisa sempat tahajjud dan qabla subuh),
sempatkan dzikir pagi,
baca quran sebelum menjalani aktivitas.
Dampak dari waktu yg barakah: Allah mudahkan saya mencapai target2 pekerjaan, deadline, pekerjaan rumah, memasak, dll sehinggal dalam 1 hari saya rasanya bisa menyelesaikan banyak hal. bahkan beresin deadline2 di luar target utama. Kayak dapet bonus tambahan waktu gitu lho, biasanya sering ngerasa 24 jam ituu kurang. Tapi kalau dapat waktu yg barakah, bisa lho ngerjain hal2 yg rasanya mustahil krn kerjaan harian ibu itu udah banyaak. Misal bisa workout, journalling, ngedesain flyer utk komunitas, ngerjain side project dll. Percayalah, bisaa!
Mari kejar barakah di setiap aktifitas kita.
2 notes
·
View notes
Text
Tanda hati yang suci adalah ia tidak akan kenyang dan tidak akan merasa cukup dalam membaca Al Quran. Selalu ingin berinteraksi dengan Al Quran.
1 note
·
View note
Text
Morning Pages
Anggap saja ini morning pages walaupun saya menulisnya di jam 14.40 siang.
Saya ingin menaklukkan beberapa habits:
Bangun sebelum subuh. Biar berasa ramadhan setiap hari
Baca Quran setiap hari. Sebagai muslim, saya malu nulis ini karena harusnya udah jadi habit dari jaman baheula. Tapi nyatanya saya masih struggle utk bisa ngejar 1 juz per hari. Akhirnya utk menyiasati ini, saya ikut kelas tahsin. Gapapa ga 1 juz, tapi bacaannya berkualitas. Makhraj dan Hak2 hurufnya tertunaikan dgn baik.
Renang. Udah kepala 3 tapi rasanya renta banget ya Allah. Gampang encog dan bersahabat dgn koyo. Kalo ga dijaga kesehatannya apakabar 10-20 thn kemudian? Mending uangnya diinvestasiin buat hidup sehat daripada buat bayar rumah sakit ga sih :') Alhamdulillah saya nemu komunitas MSS (Muslimah Swimming Squad), lumayan lah bs renang rutin seminggu sekali. Diajarin gaya dada yg enakeuun dan ga bikin capek. Teknik pernafasannya lebih gampang daripada teknik pernafasan renang konvensional yg lewat mulut itu. Dan kerennya lagi, para coachnya ga mau dibayar T_T jadi kita hanya bayar tiket masuk. Ya Allah meuni bageur2 pisan, mereka tuh udah di titik mental "Apa yang bisa saya beri?". Malu sama kita2 yg masih punya mental "apa nih yg bisa saya dapet/ambil"
Sepedaan. Awalnya karena harus terapi motorik kasar babang tiap pagi ngajak dia main sepeda ke luar rumah minimal 30 menit sehari. Eh ternyata seru juga. Akhirnya jd pengen lebih banyak pake sepeda daripada motor. Minimal ke pasar lah. Semoga Allah catat sbg amal soleh mengurangi jejak karbon di muka bumi. Aamiin
Morning pages/journalling. Sebagai ADHD, yg isi kepalanya ruwet pagujud. Pengeen banget bisa membiasakan diri spare waktu minimal 20 menit buat nulis aliran rasa hari ini, ngelist apa yg harus dikerjain. Untuk apa? untuk menghempaskan perasaan overwhelming yg bikin saya tergesa2 dan cranky.
Meal prep. Biar sat set di dapur
Ngompos dan berkebun. Cita2 dari dulu pengen punya "dapur hidup". Channel yutub favorit: Li Zi Qi atau versi lokalnya Bumiku Satu.
Baca Buku. Ini sebenernya habit yg effortless waktu jaman belum punya 2 bocil. Dulu sering banget baca buku self development. Tp sekarang ga mau membatasi diri kudu buku yg berat2 atau gimana. Mau dimulai dari buku living books. Saya mau balik jadi Gita umur 8 thn yg ketagihan baca buku Secret Garden, Lilttle Prince, Heidy, Lima Sekawan :)
Shaum Sunnah. Maluuu sama Tabina, anak ini dari kls 2 SD udah rutin shaum senin kamis padahal ga ada yg nyuruh T_T. Gegara Tabina sering liat gurunya di sekolah shaum sunnah, dia jadi ikutan dan ketagihan. Masyaa Allah. Dapet pendidikan adab yg ga bs dipelajari lewat buku manapun, kecuali dari akhlak guru :')
Dzikir pagi dan petang no debat.
Segitu dulu deh. Sedikit dulu biar istiqomah.
Evaluasi per Mei 2024
Sudah berjalan & konsisten: 2,3
Sudah berjalan & perlu ditingkatkan: 1, 9, 4, 5, 10
Baru mulai: 7
Belum mulai: 6,8
2 notes
·
View notes
Text
Hal-hal yang terjadi setelah log out socmed
SERU!
Serius, saya merasa kembali menjadi anak kecil yang setiap harinya menemukan hal baru. Ini beberapa catatan
Hidup tanpa sosmed membuat saya gabut. Alhasil saya mencoba hal2 baru yg sebelumnya belum pernah terpikirkan:
Tiba2 pergi ke pasar pake sepeda (biasanya pake motor), dan kepikiran mau berangkat kelas tahsin pake sepeda which is lumayan jauh woy melewati bukit dan tanjakan terjal, wkwk.
Tiba2 jadi sering maen ke kolam renang. Belajar renang gaya dada, ditemenin ataupun sendirian.
Jadi rutin olga weight lifting lagi, setelah berbulan2 bolos.
Lebih seneng nongkrong di halaman sambil nanem2 sayur
Saya mendengarkan cerita anak2/suami dengan lebih seksama. Ga sambil pegang hp. Dan saya perhatiin anak saya (terutama si babang) jadi lebih sering peluk, cium, dan bilang "aku sayaang uma!". Aduh jd berbunga bungaa.
Saya mampu menyelesaikan banyaak sekali pekerjaan yg sebelumnya tertunda bahkan terlupakan.
Lebih peduli dgn sekitar. Saya selalu merasa kalo saya introvert, tapi saya baru sadar kalau saya sangat menikmati bertemu dgn orang2 baru. Ngobrol dan kenalan sama org random. Aneh tapi seru. Serandom kehidupan yg Allah takdirkan.
Jadi balik nulis lagi seperti sekarang :)
Baru segitu tapi dampaknya mencengakan buat saya yang mageran ini. Hahaha.
Ternyata saya baru mengamalkan hukum fisika (Hukum I Newton) : Benda diam akan tetap diam, benda bergerak akan terus bergerak lurus beraturan (selama ga ada resultan gaya). Maksudnya apa? Kalo saya lagi scrolling sosmed, biasanya kan posisi badan = duduk diam/rebahan. Dan badan akan terus diam selama lanjut scrolling. Rasanya beraat banget kalo harus beranjak dr posisi santuy buat switch ke aktivitas yg perlu effort. Dan memang begitulah cara otak kita bekerja, pengen nyaman terus, apalagi pas banjir dopamine.
Dan sebaliknya, sekalinya badan kita bergerak, bakal sulit buat berhenti :)
Kalian gitu juga ga sih? Susaah banget mau memulai sesuatu, tapi kalau sekalinya udah dikerjain, malah jadi susah berhenti :))
2 notes
·
View notes
Text
Kembali ke tahun 80-90an
Ini sudah 2 minggu saya log out sosmed. Especially Instagram karena di situ saya lama menghabiskan waktu luang.
Sebelumnya, saya pikir saya ini orang sibuk. Banyak hal yang tidak sempat saya selesaikan. Setelah log out, ternyata saya tidak sesibuk itu. Haha!
Apa yg membuat saya log out?
Suatu hari saya melihat sebuah short video. Isinya berisi hal2 yg biasa dilakukan oleh anak kelahiran 80-90an sebelum ditemukan smart phone. Videonya sebenernya lucu sih, nostalgia bangeet kayak liat anak2 main panjat pohon, main kotor2an di kubangan air, main sepeda jauh2 sampai lintas kampung, hunting film di tempat penyewaan dvd. Pokoknya hal2 sederhana yg sering kita lakuin pas bocil. But i dont know, i burst into tears. I wish I can go back. Kangeen banget sama kepolosan masa kecil yg jauh dari hiruk pikuk dunia maya yg penuh dengan pencitraan.
Ok, lets do this
akhirnya saya pun menjadikan hp sebagaimana alat komunikasi kayak dulu. Cuma buat chat, dan telpon. And see whats happen.
Tiga hari pertama, i surprised! Ternyata saya baru sadari, ada habit jeleek banget yg udah terlanjur memfosil di diri hamba. Yaitu, tiap buka lockscreen hp, jempol saya auto-klik icon Instagram. Dan tiap klik, saya ga bs masuk ke IG saya karena log out. Deg! Baru deh nyadar. Loh, otak aku kayaknya ga nyuruh aku buka IG, tapi kenapa tangan aku refleknya gini ya?
Kebayang ga dalam 1 hari berapa kali saya buka hp dan auto klik Icon IG. Dan setiap scrolling kan ga mungkin cuma 5 menit gitu lho. Dan sebelnya habit jelek ini kayak udah terinstall di unconsious mind. Arggh. Dan udah 2 minggu berlalu, saya masih sering melakukan habit yg sama :')
Saya bersyukur sudah mengambil keputusan ini. Dan sekarang tiap kali gagal masuk ke laman IG, saya alihkan jempol saya ke app Quran buat ngejar target harian tilawah 1 juz. Masya Allah Tabarakallah ughteaa :))
Ini baru permulaan. Dan hal2 amazing lainnya akan saya tulis di jurnal berikutnya :D
2 notes
·
View notes
Text
Come Home
Son, in life you’re gonna go far If you do it right You’ll love where you are Just know that wherever you go You can always come home.
Son, sometimes it may seem dark But the absence of the light is a necessary part Just know, that you’re never alone You can always come back home.
2 notes
·
View notes
Text
Sepertinya Anak Ibu Autis
Biasanya, setiap mau masuk usia sekolah, baru deh ketauan perkembangan anak2 yang kurang optimal. Dulu, waktu Tabina mau masuk usia SD, ada coach yg mengidentifikasi Tabina dgn gangguan fokus. Lalu kami mencari cara utk meminimalisirnya, yaitu dengan hydroterapi. Hasilnya, memang ada progress. Tp masih banyak yg perlu dibenahi. Walaupun mungkin jika Tabina ternyata punya ADHD seperti kedua orangtuanya, ya wajar saja dan kami sudah berdamai dengan genetik seperti ini :')
Tapi Babang..
Saya tidak menyangka babang memiliki spektrum Autisme
Sampai pada suatu hari, kami ingin mendaftarkan Babang masuk TK dan mengikuti trial class. Ibu Direktur yang sudah terbiasa menangani anak2, merasa Babang ini spesial.
Tentu saja saya denial. Selama ini, Babang ga ada hambatan bicara sama sekali. Ga ada speech delay. Kemampuan berbahasanya bahkan bisa saya katakan di atas rata2, karena di umur 4 thn Babang sudah bisa 2 bahasa, bahasa Indo dan English utk berkomunikasi dan bercerita.
Ibu Direktur bilang kontak mata babang kurang, dan terlihat asik sendiri, tidak mempedulikan instruksi guru2nya.
Tapi kalau masalahnya di instruksi, ya saya setuju. Karena sudah hampir 2 thn Toilet Training masih belum lulus T_T
Walaupun awalnya sempat kaget dan denial, pada akhirnya Saya bersyukur dengan penemuan ini karena banyak pertanyaan2 "kenapa babang begini, kenapa babang begitu" yg akhirnya terjawab sudah. Setelah pembicaraan dgn Ibu Direktur, saya membawa Babang ke sahabat saya dr. Rara yg sering menangani konsultasi tumbuh kembang anak. Menurut analisis beliau, sepertinya Babang ini Asperger Sindrom atau Gifted. Tapi utk penegakkan diagnosa saya diarahkan ke psikolog dan terapis.
Jika babang memang autis, berarti selama ini dugaan orang2 salah. Babang-ku ga "nakal". Hanya saja babang punya sedikit masalah di otaknya yg membuat ia berbeda dalam memproses intruksi dan perintah :')
Dengan begini petualangan Supertabi bertambah lagi. Yaitu petualangan mencari psikolog, dan terapis :') Doakan Babang ya kawan kawin
2 notes
·
View notes
Text
Babang
Waktu saya baru memiliki Tabina, anak pertama yg angel, so sweet, tenang, dan bikin sanak saudara + para tetangga iri -- saya memutuskan, ingin memiliki anak yang banyaak!
Lalu
Lahirlah Babang. Anak ke-2.
Ternyata sungguh diluar prediksi BMKG, bahwa anak ke-2 ini jauh dari kakaknya. Kaya ada bom yg meledak di latar film Rambo. DHUARR. Babang yang unik sangat menguji batas kesabaran, ketabahan, keimanan kedua orang tuanya.
Berbekal pengalaman menghandle anak sebelumnya jadi tidak ada artinya, karena dua manusia cilik ini sungguh bertolak belakang.
Walaupun begitu, kehadiran babang membuat hari-hari kami jauuh lebih berwarna warni. Lebih banyak teriakan, luapan emosi - tapi sebanding dengan banyaknya canda tawa di rumah kami. Babang ini tipe clown of the family. Kocak paraah, suka ngebanyol, suka becanda (walau kadang annoying), dan juga keras kepala.
Pernah suatu malam saya in low-energy-mode. Bayangkan, 1 tahun toilet training ga ada progress. Babang di umur 4 tahun masih suka pup dimana-mana. Literary dimana2 karena kami sudah lepas pospak. Dan kejadian menemukan kotoran di penjuru rumah udah jadi kejadian yg biasa aja, muka saya udah flat, udah ga punya keinginan marah-marah seperti dulu, Saking bosennya. Yasudah tinggal dibersihkan. Lalu menasihati babang lagi dan lagi.
Akhirnya di malam itu, saya tidak ingin menasihati apa2. Hanya berujar, "Babang, kamu itu anak yang baik. Kamu tau itu kan?" Di saat mendengar perkataan itu, wajah babang terlihat berpendar. Saya tau dia lagi ge-er, happy, bangga, diakui. Dia mengangguk tanpa ragu. "IYAA!" dia jawab sambil tersenyum-senyum.
Sejak kejadian itu masih pup dimana2? Masih lah :)) Tapi ada kejadian yg membuat saya jadi terkesima. Saat saya lelah dengan pekerjaan rumah, tanpa sadar saya melakukan cuci piring dengan wajah cemberut.
Tiba-tiba babang berkata, "Umma, kamu itu ibu yang baik. Kamu tau itu kan?" I just blink my eyes. Bingung mau ngomong apa. Hanya mengangguk dan menyelesaikan cucian piring dengan senyuman lebar. All day. Tiap inget kata2 ini, saya kembali tersenyum. Pujian "kamu ini benar-benar orang yg baik, kamu tau itu kan?" itu saya dapatkan di buku Toto chan. Kata2 ini selalu diulang kepala sekolah kepada Toto Chan mana kala Toto Chan terlibat suatu masalah. Anak kecil yang sudah dikeluarkan dari SD karena dicap nakal, memiliki rasa berharga dan berubah menjadi anak yg baik karena the magic of this words. Ya mungkin saya akan memperbanyak afirmasi positif, daripada nyerocos marah2 yg sama sekali ga efektif dalam menghadapi Babang
.
.
.
Jadi, masih pengen punya anak banyak ga? engga dulu :')))
3 notes
·
View notes
Text
Menyambut peran menjadi Ibu
Menyambut peran menjadi Ibu
Kemarin saya melihat pemandangan yang bikin sedih. Ada anak usia 1 thn yang terjatuh saat berlarian. Lantas menangis heboh. Saat mau digendong oleh ibunya, anak itu menolak. Anak itu malah berlari ke pelukan bibinya (ART) untuk mencari rasa tenang 😶 Menurut saya ini sedih banget. Ini bukan sekedar jealous anak lebih deket sama orang lain daripada sama ibunya sendiri. Lebih dari itu! Bayangin,…
View On WordPress
3 notes
·
View notes
Text
Jangan skip jadi istri
Ini adalah part lanjutan dari postingan sebelumnya, yaitu: Terpapar Homeschooling.
5 tahun awal pernikahan, bagi saya itu adalah masa-masa yang soo hard. Menyedihkan. Banyak sekali ketidakcocokan saya dan suami. Jangankan ngobrolin hal-hal besar yang kontradiktif seperti homeschooling, ngobrolin hal sepele aja bisa berujung kesel dan berantem. Banyak banget ketidakcocokan yang saya rasakan di awal pernikahan. Diinget-inget dulu baru nikah seminggu aja kita tuh udah berantem heboh. Wkwk. Yaampun di saat orang-orang masih mengalami masa-masa honeymoon, kita udah pa-sebel-sebel. Siapa yang gini juga? :))
Hal yang memperkeruh suasana hati adalah saya merasa capek berjuang sendirian. Sebelum punya anak, saya merasa banyak sekali mencari tau, belajar, membaca, gabung komunitas2 berfaedah, ikut seminar/workshop dan apapun itu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu seputar parenting. Mulai dari ilmu maternity, kelahiran, soal laktasi dan menyusui, WWL, MPASI dan gizi anak, ilmu-ilmu tentang tumbuh kembang anak, optimalisasi golden age, kesehatan anak, pre-school activity, dan juga berbagai metode untuk menstimulasi gaya belajar anak, mulai dari montessori, teori wardolf, charlotte mason sampai Fitrah based education dll. Warbyasaa. Banyaak sekali hal-hal yang harus saya pelajari. Di satu sisi saya merasa sangat haus ilmu, tapi di sisi lain saya merasa overwhelming dengan semua itu. Tired.
Sedangkan saya melihat pasangan, kok dia santai banget. Lebih sering saya melihat dia rebahan sambil scroll timeline sosmed daripada baca2 artikel atau buku yang berhubungan dengan parenting, ga nyari komunitas fatherhoood juga. Semua saya forward. Saya ajak ke seminar ini itu, kadang mau kadang engga. Saya share link tentang ina dan itu. Tapi keinginan belajarnya ga greget. Ga se-menggebu-gebu saya. You know, harapan yg terlalu tinggi itu memang bikin kecewa yaa kan :’))
Dan parahnya saya tidak bisa menyampaikan ketidaknyamanan ini kpd suami. Ini menyebalkan. Pengennya numpahin kata-kata dari a-z biar plong, tapi ditimbun-ditimbun-ditimbun teruus semuanya. Yang bisa keluar malah cuma secuil kata-kata yang bikin pasangan misspersepsi dan akhirnya marah-marah. Whyyy :’)
Banyak sekali ketidak-idealan kondisi kami di waktu itu. Mulai dari tinggal di rumah keluarga besar, karena tinggal dengan banyak manusia yg beragam, sering saya merasa seperti kurang dapat privacy. Kami berdua juga belum punya pekerjaan tetap. Adanya tunggakan hutang yg mencekik akibat kegagalan bisnis sebelumnya. Bab Hutang ini ngeri-ngeri sedap sih. Psikologis orang yang berhutang itu senggol bacok bener. Makin besar hutangnya, makin emosian. Di lain sisi, qadarullah harus mengurus orangtua yang stroke sehingga fokus kami sering terpecah.
Kondisi ini sangat membuat kami kacau. Sering berantem. Kami belum selesai dengan basic needs masing-masing. Lebih banyak saling menuntut daripada saling mengerti. Jadi sebenernya, bukan karena pasangan ga support saya, tapi kami belum get connected. Gimana mau kompak, belum nyambung. Masih banyak perselisihan di antara kami. Dan itu sangat menguras energi. Sementara, menurut saya mendidik anak adalah pekerjaan team work. Ada peran ayah yang ga bisa diambil ibu, begitupun sebaliknya.
Hingga suatu ketika, saya tersentil dengan sebuah kajian parenting yang dibawakan ust Budi Ashari. Singkatnya, seorang wanita belum bisa jadi ibu yang baik sebelum ia menjadi istri yang baik bagi suaminya.
Jleb.
Kata-kata ini terus terngiang2 di kepala saya. Dan juga menjadi bahan refleksi selama ini; apakah saya sudah menjadi istri yang baik bagi suami saya?”
Lalu saya pun mencari kajian2 serupa, dan hal yang sama dikatakan oleh Ust Bendri, bahwa menjadi istri yang baik adalah modal besar utk menjadi ibu yg baik. Dan ternyata ini adalah statement ulama2 terdahulu.
Saya merenungi dalam-dalam, apa yang disampaikan para asatidz ini. Diam-diam, saya jadi malu sendiri. Bener juga ya. Saya lebih banyak digging how to be good mother dibanding how to be good wife. Setelah punya anak, saya lebih banyak melayani anak, daripada nanya2 kebutuhan suami. Bener2 saya skiip jadi istri. Saya langusung JUMP ke chapter jadi ibu. Oke, walaupun niat saya baik ingin menjadi ibu yang terbaik utk anak2, tapi ternyata ini ga tepat. Ada tahapannya. Dan saya harus perbaiki.
Akhirnya saya mulai lebih relax. Mengendurkan syarat dan otot yang sebelumnya tegang. “Oke, anakku ga kuliah besok kok. Sans”. Kita bukan robot parenting yang harus plek-plek ikutin teori. Semua teori harus disesuaikan dengan keadaan unik keluarga masing-masing. Dan kita harus memahami skala prioritas. Saat itu prioritas yang utama adalah menyelamatkan hubungan saya dan pasangan.
Saya mulai mengurangi intensitas asupan2 materi parenting dan lebih banyak menggali ke dalam diri.
“Aku tuh kenapa ya dijodohin Allah sama dia? memangnya apa kelebihanku utk melengkapi dia? Apa kelebihan dia utk melengkapi aku?”
Saya yakin setiap orang itu punya kelebihan atau cahayanya masing2. Saya memilih utk fokus kepada cahaya pasangan, sehingga segala kegelapannya menjadi tidak relevan dan mengerdil dengan sendirinya.
Saya lebih banyak bertanya dan ingin mendengarkan dia bercerita. Setiap malam, kami pillow talk. Saya ingin mendengar bagaimana masa kecilnya, bagaimana ia dibesarkan, seperti apa keluarganya, ayahnya, ibunya, adiknya. Saya ingin tau kejadian2 apa yg tidak bisa ia lupakan, apa yang membuat ia senang, apa yang membuat ia sedih, apa yg membuat ia bangga (pride)?
Ternyata pillow talk rutin ini membuat saya semakin memahami pasangan. Tidak sulit, yang saya lakukan hanya mendengarkan. Mendengarkan dan mencoba memahami. Oh ternyata ada innerchild atau unfinished business di masa lalu yg masih membekas. Saya jadi paham Kenapa dia begini, dan kenapa dia begitu. Saya jadi maklum.
Dulu saya pernah ikut family coaching. Di sana ada psikolog yg membahas tentang luka pengasuhan atau innerchild. Waktu itu saya bertanya kepada pemateri, “apa yang bisa kita lakukan sebagai istri/suami, agar pasangan kita pulih atau berdamai dengan innerchild?”
Dan jawabannya, jadilah salurannya. Saluran aliran rasanya. Orang-orang seperti itu memendam emosinya dalam waktu yang lama. Mereka menumpuk sampah emosi di dalam ransel yang masih mereka bawa kemanapun mereka pergi. Tugas kita hanya mendengar dan menerimanya. Itu home-therapy yang paling mudah. Jadilah pendengar yang baik. Untuk beberapa kasus yang parah saya sarankan harus bertemu dgn ahlinya ya (psikolog).
Berangsur-angsur, pola komunikasi kami pun membaik. Amarah-amarah yang saya pendam selama ini perlahan-lahan terkikis. Tergantikan dengan rasa nyaman. Rasa nyaman ini mahal banget yaa. Saya baru bisa mencurahakan perasaan saya kepada pasangan di tahun ke 6 pernikahan. Saat ini saya bisa ngobrol apapun dengan pasangan tanpa takut di-judge. Tanpa takut berantem. Kaya curhat ke sahabat gitu, ga ada yang ditutup-tutupi. Udahannya plong bangeet.
Saat itu kami pindah ke rumah baru. Sudah tidak bersama keluarga besar, tapi masih tinggal bersama orangtua (mertua saya). Ada tantangan2 baru yang menurut saya lebih beraat dari tempat tinggal sebelumnya. Tapi Alhamdulillah, suami saya mau menjadi pendengar setia setiap keluh kesah saya :’)
Sesimple pillow talk a.k.a ngobrol santuy tiap malem sebelum bobok, bisa memperbaiki hubungan kami. Durasi pillow talk bervariasi. kadang cuma setengah jam. Kadang bisa sampe berjam-jam tergantung keseruan obrolan kami :))
Menurut saya, sebelum masuk ke parenting, bab menjadi istri yang baik itu bener2 ga bisa diskip. Tugas kita sebagai istri itu banyak, ga sekedar memenuhi kebutuhan biologis pasangan tapi juga kebutuhan psikologisnya.
- sebagai pakaian (menutupi aib/kekurangan pasangan)
- sebagai sahabat (bisa menjadi pendengar yg baik, temen main, temen haha hihi, temen ngobrol yang nyambung, tempat yang nyaman untuk berbagi)
dan masi banyak lagi…
Hubungan yang sehat adalah fondasi penting dalam mendidik putra-putri kami. Terbukti, Ibu yang punya masalah dengan pasangannya, biasanya lebih galak ke anak dibanding ibu yang punya hubungan yg sehat dengan pasangannya, hehe. Setelah bisa ngobrol apapun dengan pasangan, baruu deh lebih enak merumuskan TUJUAN KELUARGA. Mau dibawa kemana keluarga ini.
To be continue lagi.. Anak udah bangun nih. Bye :D
4 notes
·
View notes
Text
Terpapar Homeschooling
Kapan saya terpapar gagasan Homeschooling?
Jauuh sebelum menikah. Sekitar 2012 atau 2013, lupa tepatnya. Dalam sebuah perjalanan di bus. Saya duduk di sebelah ibu single parent. Dan dia berceritaa tentang banyak hal. Trigger kita ngobrol diawali chit chat soal pekerjaan. Dia adalah seorang freelancer writer dan saat itu bagi saya yang bekerja 12 jam per hari di studio konsultan arsitek, pekerjaan freelance adalah hal yg keren! Hhh, i wish i can do that too. Dari situ kami ngobrol banyak hal. Berujung pada anak2 beliau
“Sekolah dimana teh anak-anaknya?” saya bertanya
“Homeschooling” jawabnya ceria
Hmm…strange (((dalem hati)))
“apa itu?” tanya saya polos
“Yaa.. belajar di rumah, belajar apapun di manapun, kapan pun, suka-suka anakku”
“Gurunya?”
“Aku, buku, dan lingkungan sekitar~”
Hmm.. apa yg membuat dia sangat percaya diri bahwa dia bisa jadi guru buat anak-anaknya? Padahal beliau tidak ada background guru sama sekali. Dan profesinya penulis freelance. Dan bagaimana anak-anaknya tumbuh? ijazahnya? itu lah awal rasa ingin tahu yang saya pendam yang membuat saya terus menerus bertanya. Dan kesan yang saya rasakan ketika pertama kalinya mengenal istilah homeschooling adalah “Hm, MENARIK. Tapi aneh!” Di titik itu, seperti kebanyakan orang, saya berpikir homeschooling = ga sekolah. Jadi ini ide yg seru (ga sekolah, wkwkwk), tapi beresiko. Ga sekolah = ga pinter. Hhh, pilihan yang sulit.
Kemudian perjalanan hidup berlanjut
Saya pun menikah dan alhamdulillah dikaruniai Tabina, putri pertama. Saat masih mengandung Tabina, saya masuk ke dalam sebuah komunitas Institut Ibu Profesional (dulu masih IIP namanya, sekarang IP) di Bandung. Dan di situlah cakrawala segala hal yang berhubungan dengan motherhood dan parenting sangat menggugah jiwa saya.
Entah mengapa saya merasa sangat terpanggil menjalani peran ini (sebagai ibu) dengan kemampuan terbaik saya, Dan sekali lagi saya terpapar dengan istilah homeschooling. Ternyata, di komunitas itu ada beberapa orangtua yang menghomeschoolingkan anaknya, termasuk foundernya IP yaitu Bu Septi Peni Wulandani. Wow, menarik. Dan saya amati ortu-ortu yang memilih jalur homeschooling ini adalah tipe orang-orang yang cerdaas. Masa sih orang cerdas (ga mau nulis orang pinter, soalnya orang pinter itu persepsinya jd dukun. Wkwk geleuh). Masa sih orang cerdas ga mau anaknya jadi cerdas juga? Dari situ baru saya paham bahwa homeschooling = ga sekolah. Ga sekolah bukan berarti Ga Belajar! Ini kemerdekaan belajar yang sesungguhnya, bahwa belajar tidak harus dibatasi oleh tembok yang bernama sekolah. Belajar bisa dimanapun dan kapanpun.
Semuanya jadi benang merah yang sempurna ketika saya mulai mempelajari Fitrah Based Education yang digagas oleh Ust Harry Santosa (alm). Saya seperti melihan framework yang utuh dan saling terkait. Bahwa pendidikan itu sangat holistik. Pendidikan sekuler hanya menitikberatkan kebutuhan jasad. Padahal manusia terdiri dari jasad dan jiwa. Sejak SD kita dicekokin bahwa kebutuhan primer manusia itu sandang, pangan, papan. Inilah cikal bakal pendidikan sekuler yang memisahkan kebutuhan fisik dan jiwa. Baru deh sekarang pada koar-koar mental health :)
Ya! Saya sangat terpesona bahwa pekerjaan menjadi ibu dan orang tua adalah sebuah kehormatan. Bukan hanya mengandung dan menyusui ternyata mendidik anak adalah kewajiban saya.
Tapi di saat yang bersamaan, saya terjebak di lubang hitam yang membuat saya sedih dan hampir putus asa. Ada hal yang membuat saya tidak sanggup mempraktikan semua ilmu yang saya pelajari. Yaitu…
(to be continue)
Gita Pertiwi, 2022
@gitpret
2 notes
·
View notes