#mentalitas
Explore tagged Tumblr posts
Text
Putih itu unik,.
Pict: Kompasiana Kami pernah mendengar perihal beberapa hal yang takn disukai pelancong asing apabila datang ke republik ini. Diantaranya, seingat kami, yaitu suka ingin tahu (kepo) perihal hal-hal pribadi. Tak hanya nama namun juga tempat tinggal. Bagi masyarakat di negeri ini, terutama orang Melayu di Minangkabau merupakan hal yang lazim bertanya perihal letak rumah di kampungnya karena yang…
View On WordPress
0 notes
Note
ciao! scusa la domanda, ma credi davvero che a livello di 'organico' la nostra nazionale sia allo stesso livello di quella inglese? È che non riesco mai a capire se sei seria o meno, scusami 🫠
la nostra nazionale con tutti i difetti che ha e' superiore all'inghilterra. l'inghilterra e' una delle nazionali piu' 'gonfiate' della storia solo perche ha tipo 2 persone che giocano decentemente ma quando messi a giocare con altri giocatori di altre nazionali mostrano la loro vera natura di giocatori mediocri.
#sono seria quando lo dico#con la giusta mentalita e il giusto allenatore li avremmo battuti#come abbiamo sempre fatto
2 notes
·
View notes
Photo
PRIMA PAGINA Corriere Del Mezzogiorno di Oggi sabato, 14 dicembre 2024
#PrimaPagina#corrieredelmezzogiorno quotidiano#giornale#primepagine#frontpage#nazionali#internazionali#news#inedicola#oggi oggi#sfida#mentalita#luca#autonomia#corruzione#danilo#patron#paura#lill#reale#ella#notizia
0 notes
Text
Manusia memiliki 4 dimensi kecerdasan. Setiap dimensi memiliki tantangan dan hambatan yang tak mudah untuk dilewati. Tapi sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini, mau tidak mau keempatnya harus dilewati dengan tuntas dan sempurna menuju insan Kamil sebagai manusia yang sempurna. Apa saja 4 dimensi yang dimaksud? Simak penjelasannya...
#matra kecerdasan#dimensi kecerdasan#kecerdasan personalitas#kecerdasan mentalitas#kecerdasan moralitas#kecerdasan spiritualitas
0 notes
Text
Una persona forte
Una persona forte Parla poco e fa tanto Non e manipolabile e sa dire di no Sa stare bene da solo/a Si fa domande intelligenti per trovare risposte intelligenti Potresti trovarla a parlare da sola Non smette mai di imparare cose nuove Sa controllare le sue emozioni non parte in quinta ogni volta che le cose non vanno Ha paure come tutti ma non vive nella paura Rispetta le persone non alza…
View On WordPress
#amare se stessi#cambiamento#credi in te stesso#crescita interiore#Crescita personale#crescita spirituale#felicita#mentalita#miglioramento personale#mindset#Motivazione#pensiero positivo#psicologia positiva#successo
0 notes
Text
Buat Kita yang Hidupnya Lagi Ada Aja Ujiannya
"Orang yang tumbuh dalam keadaan serba mudah", nasihat Ibnu Qayyim suatu hari, "ia tak akan merasakan apa yang dihadapi oleh mereka yang terbiasa dengan ujian."
Orang yang biasa nyaman, kena masalah ringan rasanya terombang-ambing. Orang yang sudah biasa, ya sudah terbiasa.
Ini bukan tentang cari-cari masalah. Jangan berharap dapat ujian. Itu yang Rasul ajarkan.
Tapi, hakikatnya hidup ini adalah gelombang ujian demi ujian. Allah ciptakan seperti itu, justru agar kita bertumbuh dan makin kuat. Allah menyayangi kita dengan menguatkan kita; lewat diuji.
Orang yang sudah biasa menjalani hidup yang penuh tantangan; ia lebih cermat, hidupnya dinamis, dan ia belajar dari pengalamannya.
Dan berpindahlah kita dari mentalitas berbunyi "kenapa aku yang diuji?", menjadi mentalitas: "apa yang Allah ingin ku pelajari dari ujian ini?"
—ceritaedgar, Founder Gen Saladin
#renungan#catatan#kontemplasi#islamic#inspirasi#islamicquotes#daily reminder#quotation#tadabbur#edgarhamas
346 notes
·
View notes
Text
EFFORT
Saya kadang aneh dengan kebanyakan perempuan di Indonesia. Jamak mereka merasa dirinya harus dikejar, diraih, diusahakan. Mereka merasa sudah tertanam di DNA masing-masing bahwa perempuan harus diupayakan dan lelaki harus mengupayakan. Laki-laki harus mengejar mereka jika tertarik. Bahkan mereka rela jika menganggap diri mereka bagaikan trofi yang diperjuangkan. Ini dasarnya dari mana? Mentalitas begini yang justru melestarikan budaya patriarki, male-dom, dan objektifikasi perempuan. Seolah perempuan itu materi yang kadang perlu diperebutkan. Tidakkah cukup hikayat-hikayat masa lalu tentang perempuan yang selalu menjadi simbol piala; subordinat yang tidak pernah menjadi aktor utama alias figuran-figuran? Mengapa masih mempertahankan budaya subordinasi ini sementara peradaban kita telah berkembang? Bahkan, agama yang bersifat holistik sampai turun tangan membebaskan kita dari ketidaksetaraan kedudukan.
Padahal, hubungan itu yang seharusnya diperjuangkan. Sama-sama mengupayakan, sama-sama saling melengkapi. Tidak ada yang dibuat lebih berupaya, semua sama-sama punya upaya. Bertemu di titik tengah. Laki-lakinya ke situ, perempuannya juga ke situ. Karena upaya yang tidak seimbang hanya akan menghasilkan dominasi sepihak. Bahkan, ada yang akan fatique lebih dahulu karena usaha telah keluar banyak. Ini yang membuat hubungan langgeng karena semua pihak punya effort yang sama.
148 notes
·
View notes
Text
"Sekolah Is Bulshit??"
Potret Buram Pendidikan Kita: "Ketika sekolah tak lagi menjadi tempat belajar, tapi ladang profit, siapa yang sebenarnya dicerdaskan?"
Sebagai seorang guru yang juga seorang konten kreator, saya sering merasa gemas dengan wajah pendidikan Indonesia yang—alih-alih berkembang—justru terjebak di antara aturan kaku dan mentalitas yang tidak relevan dengan kebutuhan generasi saat ini. Pendidikan seharusnya membimbing dan membuka potensi anak-anak kita, tapi kenyataannya sistem pendidikan Indonesia malah sering berfokus pada kekurangan, bukan kelebihan anak. Setiap siswa diukur dengan standar yang sama meskipun keunikan mereka berbeda. Misalnya, ada anak yang luar biasa berbakat di bidang fotografi dan videografi, tetapi sistem mewajibkan mereka untuk mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dalam pelajaran menggambar. Bukannya didorong untuk mendalami potensi, mereka malah dicap "gagal" hanya karena bakat mereka tidak ada di jalur akademik konvensional.
Lebih parahnya, saya juga melihat anak-anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk merasakan realitas dunia kerja. Bayangkan saja, di SMK misalnya, mereka dipersiapkan untuk dunia kerja yang penuh tekanan deadline, disiplin tinggi, dan tuntutan kualitas, tapi banyak guru yang enggan memberikan latihan seperti itu karena khawatir akan Undang-Undang Perlindungan Anak. Ironisnya, akibat ketakutan itu, anak-anak malah tumbuh dengan mental "tempe" dan merasa mereka tidak perlu bekerja keras atau menerima teguran. Sejujurnya, dunia kerja tidak akan memperlakukan mereka sebaik itu, dan sikap menghindar ini tidak mendidik mereka untuk siap menghadapi tantangan hidup yang nyata.
Lalu ada lagi "jaminan" naik kelas yang dianggap seolah wajib, bahkan ketika siswa tersebut tidak memenuhi kualifikasi. Sebagai seorang guru, saya pernah tidak meluluskan sembilan siswa dan tidak menaikkan dua belas siswa lainnya—tentu saja ini kontroversial. Keputusan saya membuat beberapa siswa merasa malu, bahkan mereka akhirnya pindah sekolah. Kenapa ini jadi masalah besar? Karena banyak sekolah yang takut prosentase kelulusan mereka turun. Kenyataannya, sistem dapodik dan akreditasi sekolah masih sangat bergantung pada statistik kelulusan yang 100%. Jika anak tidak naik kelas atau lulus, sekolah bisa terancam nilainya, dan dampaknya, sekolah lebih memilih "memaksa" anak naik kelas, terlepas dari apakah mereka sudah layak atau belum.
Sekolah swasta, terutama, sering kali lebih mirip bisnis keluarga daripada lembaga pendidikan. Fokus utama mereka bukan lagi mencerdaskan bangsa, melainkan mengejar profit. Guru dituntut untuk bergelar S1, bahkan S2, tetapi gaji yang mereka terima jauh di bawah UMR. Dana BOS yang seharusnya untuk operasional guru, sering kali hanya lewat tanpa sampai pada guru yang benar-benar mengajar. Guru akhirnya harus bekerja sambilan, membuka les, atau bahkan berjualan online hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup selama satu bulan. Bagaimana kita bisa berharap pendidikan berkualitas jika guru-gurunya justru harus membagi pikiran antara mengajar dan mencari penghasilan tambahan?
Selain itu, kita juga menghadapi tantangan dari orang tua yang terlalu campur tangan. Berdasarkan analisis pribadi saya, banyak orang tua yang lahir di tahun 70-an hingga 90-an tampaknya memiliki “dendam terpendam” terhadap pengalaman mereka dulu yang penuh disiplin keras. Mereka pernah merasakan hukuman fisik dari guru, yang saat itu dianggap wajar. Kini, ketika anak mereka mengalami masalah di sekolah, orang tua ini sering menolak pendekatan serupa, bahkan mendampingi anaknya secara berlebihan, dan guru pun jadi sulit mengambil sikap tegas.
Banyak variabel yang membuat sistem pendidikan kita kompleks dan berat untuk berkembang. Sekolah terjebak pada kebutuhan mencari keuntungan, guru harus berjibaku untuk bertahan hidup, dan pemerintah terus merumuskan kebijakan yang sayangnya tidak berbasis kondisi lapangan. Tanpa perubahan mendasar, pendidikan kita akan terus jalan di tempat. Pendidikan seharusnya membebaskan, tapi realitas yang terjadi malah sebaliknya.
13 notes
·
View notes
Text
Embracing My Self
Kalau mendengar kata 'perjuangan', rasanya perjuangan terbesarku adalah perjuangan berdamai dengan diriku sendiri.
Dulu, aku pernah menjadi seseorang yang sangat sedih bila melakukan kesalahan. Rasanya malu sekali, dan berujung pasrah bila akhirnya aku disalah-salahkan. Kalau saat ini, kita mengenalnya dengan istilah inferior. Aku sering merasa rendah diri.
Padahal, aku bukannya tanpa prestasi. Sepanjang TK hingga SMA, beberapa penghargaan atas prestasi akademik bisa kuraih. Tapi, hal-hal itu tidak menghilangkan kerendah dirianku. Terlebih jika ada kesalahan atas kecerobohan yang kuperbuat. Sekejap, rasa percaya diriku akan merosot, kebaikan-kebaikan yang kupunya terlupakan sama sekali. Dan aku akan bermuram durja karenanya.
Mentalitas inferior ini cukup berpengaruh di kehidupan sosialku. Sewaktu SD, saat bermain dengan teman-teman, aku sering dijadikan 'anak bawang'. Karena dianggap selalu 'kalahan'. Akhirnya teman-teman 'berbaik hati' mengajakku bermain, tapi tidak dilibatkan dengan sebenar-benarnya dalam permainan.
Mungkin ada yang bingung dengan istilah anak bawang?
Misal, main petak umpet nih. Sebetulnya persembunyianku sudah ketahuan. Harusnya jika ketahuan, kan, aku otomatis kalah. Tapi karena aku 'anak bawang', aku akan dianggap tidak ketahuan. Agak menyebalkan, bukan? Rasanya powerless.
Berbeda untuk urusan akademik. Seusai pelajaran selesai, teman-teman yang belum paham dengan materi seringkali menghampiri mejaku untuk minta dijelaskan kembali.
Tapi, kelebihan akademikku tidak pernah bisa menghapuskan kabut hitam inferioritas yang menggelayut di benakku. Aku masih merasa gagal, dan bukan siapa-siapa.
Bersyukur, semakin bertambah usia, rasa inferioritasku mulai berkurang perlahan. Aku semakin berani show up dan berargumentasi. Tapi tentu saja tidak se-powerful itu. Aku masih selalu sedih jika melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan yang berulang.
Qadarullah, di bangku kuliah aku menemukan lingkungan yang amat suportif. Rasa inferioritas mulai tertepis jauh. Kalau pun berbuat salah, aku lebih legowo untuk meminta maaf dan mau belajar. Aku lebih percaya, diriku mampu di lingkungan sosialku.
Sampai suatu ketika, aku pernah mengikuti sebuah peer group untuk belajar bersama meningkatkan speaking. Temanku yang menjadi mentorku memberikan apresiasi padaku di sesi one on one. Lalu bertanya.
"Yang aku lihat, kamu begitu tenang saat belajar. Kamu juga berani untuk berbicara saat grup mulai terasa hening dan awkward. Kamu bisa memicu yang lain untuk berani speak up juga. Darimana kepercayaan dirimu itu kamu dapat?"
Ditanya demikian, aku jadi berpikir. Butuh waktu untukku menjawab.
"Sepertinya.. karena aku tahu kalau aku tidak sempurna."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku tidak sempurna, aku tahu aku selalu bisa melakukan kesalahan. Maka jalan saja dulu, nanti aku akan tahu letak kesalahanku dimana, dan membenahinya. Practice makes perfect."
Namun, ada kalanya kondisi tertentu membuat penyakit lamaku hadir. Saat aku hendak menikah, rasa inferiorku kembali mencuat. Aku sering mempertanyakan kenapa ada seseorang yang mau memilihku. Aku merasa tidak punya kelebihan yang bisa diandalkan. Aku merasa seringkali berbuat ceroboh. Dan seterusnya.
Beruntung, saat aku mencurahkan kegundahanku pada seorang kakak, beliau menghiburku dengan sebuah kalimat yang membesarkan hati.
"Atas kekurangan pasanganmu, bersyukurlah. Atas kelebihannya, bersabarlah."
Kalimat itu, masih tertanam kuat padaku hingga sekarang. Benar, apa salahnya jika pasanganku lebih baik dalam banyak hal dibanding aku? Aku cukup perlu banyak bersabar untuk belajar mengimbanginya. Dan jika pasanganku melakukan kesalahan, bukankah itu baik untukku, karena ada alasan bagiku untuk membantunya?
"Jangan terlalu dini merasa bersalah. Nanti kalau sudah jadi istri dan ibu, rasa bersalah akan muncul semakin banyak." Canda kakakku itu. Benar juga, aku harus menata emosiku sebaik mungkin.
Dan lagipula, apa salahnya berbuat salah? Bukankah, manusia adalah tempatnya salah dan lupa?
Akhir-akhir ini aku menonton sebuah youtube dari dr. Aisah Dahlan. Beliau tengah memberikan webinar tentang watak. Disitu ada sebuah kalimat beliau yang mengena buatku. Kalimatnya tidak persis, tapi kira-kira seperti ini yang kutangkap.
"Ketika melakukan sesuatu yang salah, cukup ketahui bahwa itu perbuatan yang salah. Tapi jangan pernah merasa bersalah." Ungkap beliau. "Ketika kita sadar kita salah, kita akan maju untuk berbenah. Namun perasaan bersalah hanya akan menahan kita tetap di tempat dan efeknya kita akan sulit untuk berubah."
Rasa-rasanya perkataan beliau menjadi sesuatu yang mencerahkan perjalanan hidupku sejak lampau hingga kini.
Dulu, perasaan bersalah yang membuatku merasa frustasi, dan cenderung sukar untuk berbenah. Justru, kesadaran bahwa diri ini bisa salah, dengan diimbangi kemauan untuk berubah akan membawa dampak yang lebih baik. Baik secara dzahir maupun batin.
Apalagi, posisiku saat ini sebagai seorang istri dan ibu. Semoga Allah bantu untuk melalui segalanya dengan hati yang tenang. Karena, bukankah sakinah di rumah itu bergantung pada ketenangan setiap anggotanya? :)
116 notes
·
View notes
Text
Jadi gini.
Kalau mau bahagia, mentalitas miskinnya ditinggalkan; berhenti playing victim, berhenti berpikiran negatif--apalagi berlainan faktanya dan sekedar duga-duga gak berbukti--tentang orang lain, dan jangan ambil secara personal apa-apa yang, kalau dipikir-pikir ternyata sepele dan bisa dibicarakan. Kan, situasi orang beda-beda. Kalau cukup bijak, bakal sadar dunia ini gak cuma hitam putih. Gak cuma tentang siapa salah siapa benar.
Yang tahu dan sayang kamu, akan membantu kamu tumbuh. Yang terintimidasi dan benci kamu, bakal selalu lihat kejelekanmu (apa pun kebijaksanaan di kemudian hari yang kamu peroleh). Berupaya mengubah penilaian mereka ke kamu juga gak usah. Mereka gak akan mau lihat hal baikmu saat ini. Waktu yang buat mereka takzim ke kamu, nanti.
Untuk saat ini, paling logis memaklumi ketidakmengertian mereka, yang adalah karena mereka ada di situasi tidak menyenangkan. Tapi kesialan mereka bukan tanggungjawab kamu. Sudah waktunya prioritaskan yang penting. Kamu fokus sama orang-orang di kategori pertama, ya, yang selalu ada dan kehadirannya laik diperhitungkan.
Semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan dan hal-hal positif di sekitarmu. Kalau kamu sedang dalam proses pencapaian diri, fokus disitu. Jangan banyak paradekan diri sendiri--terlalu banyak self-confidence juga buruk. Intinya bahagia itu cuma butuh dialog ke diri sendiri dulu, banyak-banyak memaafkan, tahu mana yang membangunmu mana yang enggak.
Fokus happy, ya, biar bisa nular ke banyak orang.
#deehwang#secarikpesandisakubajumu#secarik pesan di saku bajumu#puisi indonesia#dee hwang#berkebun#photography
28 notes
·
View notes
Text
Taat kpd Allah swt, adalah selalu hal yang baik
di Surat al-Baqarah, Allah sebutkan beberapa nabi-nabi. Nabi Adam as disebutkan seorang diri, Nabi Nuh disebutkan seorang diri, namun Nabi Ibrahim as disebutkan bersama dengan kata keluarga. Keluarga Nabi Ibrahim as. Betapa kita tahu, kemuliaan beliau beserta dengan keluarganya. Dimana hal tersebut erat kaitannya dengan peristiwa Kurban atau yang menjadi hari raya kita umat muslim, Idul Adha.
Peristiwa tsb mengisyaratkan banyak hal. Utamanya, tentang berkurban. Bagaimana bisa terpikirkan oleh kita manusia biasa, jika ada di posisi tersebut pasti akan terheran-heran. Nabi Ibrahim yang telah 80 tahun menunggu kelahiran anaknya, justru diperintahkan untuk mengorbankannya. Siti Hajar dan bayi Nabi Ismail yang sudah berjuang di tengah gurun pasir sendirian, ditinggal oleh Nabi Ibrahim yang pun juga tidak bisa selalu membersamai mereka, diminta mengikhlaskan dan melapangkan hati untuk mengiyakan perintah Allah Swt.
Jika bukan karena mentalitas berkorban, baik dari segi ego dan akal, maka perintah itu tidak akan pernah dilaksanakan.
Tapi lihat, hal tersebut dilakukannya, hanya demi membuktikan ketaatan mereka kepada Allah swt. Demi Allah swt semata.
"Taat kepada Allah swt adalah selalu hal yang baik", pesan ust. Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. Apapun bentuk ketaatannya, merupakan suatu hal yang baik. Sekalipun dari peristiwa Nabi Ibrahim as yang terlihat, kok tega ya.. tapi sekali lagi, ketaatan kepada Allah swt adalah selalu hal yg baik. dan itu dibuktikan oleh keluarga Nabi Ibrahim as, dengan mentalitas berkorbannya.
9 notes
·
View notes
Photo
PRIMA PAGINA Il Romanista di Oggi venerdì, 25 ottobre 2024
#PrimaPagina#ilromanista quotidiano#giornale#primepagine#frontpage#nazionali#internazionali#news#inedicola#oggi quotidiano#anno#viii#giovedi#ottobre#kiev#anche#roma#contro#gara#solo#vincere#altro#tutto#mentalita#adesso#sono#sessantamila#detto#tempo#meteo
0 notes
Text
STRAWBERRY PARENT
Sebagai generasi Z yang identik dengan generasi rapuh dan memiliki mentalitas yang kurang tangguh, saat tengah menyelami peran sebagai orangtua baru ini, kami cukup sadar kalo dalam mengasuh dan mendidik anak hanya mengandalkan ikhtiar ilmu dan mental yang kami miliki, maka rasanya cukup mustahil kalau generasi Shalahudin Al-ayubi mampu lahir dari generasi kami. Sebab terlalu banyak bias informasi dan distraksi saat beraksi. Entah dari luar atau dalam diri kami sendiri yang menjadi penyebabnya. Rebahan, gadget, scrolling media sosial, baper saat mendapati komentar, mudah menyerah, dikit dikit butuh me time, healing, dll. Itu semua rasanya menjadi tantangan berat untuk kami.
Hidup dalam derasnya arus informasi parenting saat ini, membuat kami bersyukur sekaligus tetap mengukur sebab ada banyak hal yang harus tetap kami filterisasi karena taksemua hal selaras dengan apa yang menjadi prinsip dan keyakinan kami sebagai orangtua muslim dalam mengasuh dan mendidik anak.
Banyak konten bertebaran hanya sekadar memvalidasi perasaan dan emosi kami sebagai orangtua baru yang merasa mudah lelah dan merasa tak pernah dimengerti, seolah tak ada solusi pasti terkait hal ini. Sehingga seringkali itu yang menjadi pembenaran untuk kami larut dalam ketidakmampuan.
Larut menjadi orangtua yang mudah baper saat menerima komentar orang dalam proses mengasuh hingga lupa fokus memaksimalkan peran. Yang padahal kami sadar kalau konsepnya, “kita tidak bisa mengendalikan omongan orang lain kepada kita, melainkan tentang bagaimana respon kita”. Sering merasa paling capek mengasuh padahal para sahabat dan shahabiyah dulu ujiannya lebih berat, namun mereka tetap tangguh tanpa gaduh seperti kami hari ini yang baru diuji anak GTM saja ngereog sana sini.
Kami sadar buku yang kami baca belum banyak, Apemahaman dan ilmu kami masih minim, bacaan alquran kami terbata-bata, hafalan kami bahkan mungkin tak ada, hari-hari kami lebih banyak potensi maksiatnya.
Lingkungan yang sudah degradasi moral serta peran negara yang abai, membuat kami sadar bahwa dalam proses mengasuh dan mendidik ini, tak ada yang menjamin anak yang tengah diamanahi kepada kami ini akan jadi seseorang yang shalih dan terlindungi. Maka kami sadar hanya pertolongan Allah lah yang akan mewujudkannya—anak yang shalih. Allah yang melengkapi kekurangan kami dalam mengasuh dan mendidik
Pun begitu kami tetap optimis dan berupaya melayakkan diri menjadi orangtua yang taat dengan cara mengkaji ilmu dan tsaqofah islam. Bekerja sama memaksimalkan peran dan tak lupa bahwa teori parenting itu hanya 1 %, sisanya pertolongan Allah.
21 notes
·
View notes
Text
Di Balik Keshalihan Pemuda Ismail, ada Ayah dan Bunda yang Tangguh
(Poin-poin Khutbah Idul Adha yang disampaikan @edgarhamas di Masjid Al Jihad Kranggan, Kota Bekasi 10 Dzulhijjah 1444 H)
Ibrahim, nama mulia itu terulang 69 kali dalam lembar suci Al Qur'an. Beliau, kisahnya menjadi inspirasi bagi milyaran umat manusia. Namun kali ini aku akan mengajakmu lebih dekat dengan sosok istimewa yang tak kalah hebatnya: sang putra, Ismail alaihissalam. Tadabbur tentang beliau akan ku mulai dengan sebuah pertanyaan: di usia berapakah Ismail kecil saat beliau ditinggal di lembah Bakkah bersama ibunya?
Dalam Kitab Umdatul Qari karya Al Ainiy, kala itu usia Nabi Ismail baru 2 tahun; sedang banyak butuh bonding dengan ayah dan ibunya, sedang saat itu sang ayah pergi ke medan juang di Palestina. Namun lihatlah; sang Ismail bertumbuh menjadi manusia hebat yang lurus pembawaannya, santun akhlaqnya dan lembut budi pakertinya. "Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar..." (QS Ash Shaffat 101)
Betapa takjubnya kalau kita peka, ada fakta penting ketika Ismail mendengarkan perintah Allah lewat lisan ayahnya untuk menyembelihnya. Ayat 102 surat Ash Shaffat mengabadikan momen itu, ketika Nabi Ibrahim berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”
Apa jawaban Ismail? Apakah beliau berkilah? Kabur? Lari tunggang-langgang? Menganggap orangtuanya sebagai toxic?
Ternyata jawaban Ismail begitu tulus sekaligus berhati besar menyambut perintah Allah itu, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Jawaban yang hanya datang dari lisan manusia yang keyakinannya utuh dan murni, akidahnya kokoh tanpa banyak basa-basi. Aku semakin bergetar ketika membaca tafsiran ulama, berapa usia nabi Ismail saat ada di momen berat itu?
Ya, para mufassir mengatakan bahwa kala itu usia nabi Ismail sekitar 13-16 tahun!
Muda, tapi cara pandangnya bijaksana, bahkan melebihi orang-orang yang lebih tua dari beliau. Itulah yang membuatku ingin mengajakmu untuk mentadabburi: apa faktor-faktor yang mampu menciptakan mentalitas seperti yang dimiliki oleh Nabi Ismail muda?
1. Kemurnian Akidah jadi faktor penentu lingkungan sebelum yang lain.
Simak apa yang didoakan oleh Nabi Ibrahim ketika pertama kali menempatkan istri dan anaknya di lembah Makkah, "Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat..." (QS Ibrahim 37)
Yang jadi faktor utama yang membuat Nabi Ibrahim tenang menempatkan keluarga di lembah Makkah, bukan karena fasilitas, bukan karena resource melimpah; tapi karena di situ ada Baitullah! Dan visi Nabi Ibrahim begitu murni: agar anak keturunannya melaksanakan shalat. Barulah kemudian Nabi Ibrahim melanjutkan doanya sebagai pelengkap, "maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur..." (QS Ibrahim 37)
2. Ayah dan Ibu yang Shalih Shalihah
Ismail muda mendapat contoh terbaik tentang keyakinan total pada Allah sekaligus mentalitas ikhtiar yang terbaik dari ibunya: Ibunda Hajar. Kala Nabi Ibrahim meninggalkan keduanya di lembah Makkah yang tandus tak bertanaman itu, Ibunda Hajar bertanya pada suaminya, "apakah yang engkau lakukan ini adalah perintah Allah?"
Ketika Nabi Ibrahim menjawab, "ya", respon Ibunda Hajar begitu dahsyat, "jika memang begitu, maka Allah sekali-kali tak akan meninggalkan kami!"
3. Kedekatan emosional antara orangtua dan sang anak.
Jika kita memerhatikan, saat Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih Ismail, beliau tidak langsung melakukannya dengan tergesa dan kasar. Tidak. Justru, Nabi Ibrahim dengan bijaknya mengabarkan lebih dulu pada anaknya dengan panggilan yang sangat baik, "yaa bunayya!" Wahai anakku sayang. Dan setelah Nabi Ibrahim selesai menyampaikan perintah Allah itu, beliau mengakhirinya dengan sebuah kalimat dialogis, "Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu..." (QS Ash Shaffat 102)
Seorang anak akan tumbuh mencintai model hidup orangtuanya jika memang terjadi dialog yang hangat dan kedekatan yang baik. Moga kita bisa mengambil inspirasinya!
#renungan#catatan#kontemplasi#islamic#inspirasi#islamicquotes#daily reminder#quotation#tadabbur#edgarhamas
311 notes
·
View notes
Text
Akhirnya bisa bercerita tentang sebuah proses ini. Di tahun 2022 lalu, ditantang sama @careerclass buat bikin Workshop kepenulisan tapi dengan benchmarking yang sangat berbeda. Kebetulan pernah rajin ikut workshop di beberapa tempat sebelumnya dan belajar kalau proses bikin workshop ini nggak mungkin kulakukan sendiri.
Gayung bersambut sama Bentang Pustaka, rumah yang menjadi tempat terbitnya 4 bukuku di lima tahun terakhir. Ngobrol soal tujuannya, breakdown tujuan menjadi small goals, dst sampai akhirnya tersusun kurikulum workshop yang sampai saat ini aku bisa katakan, belum ada yang sejauh ini workshopnya. Terharu.
Dari mulai materi hingga bukunya bisa diterbitkan, langsung di bawah label Bentang Pustaka. Dan setotalitas itu para stakeholders di workshop ini mau mewujudkannya jadi nyata. Workshop ini memakan waktu 10 bulan, sebuah waktu yang wajar mengingat proses sebenarnya untuk bisa sampai di tahap tsb bisa bertahun-tahun. Peringkasan waktu menjadi beberapa bulan aja ini sudah luar biasa menurutku.
Semacam simulasi menjadi penulis sesungguhnya itu seperti apa. Dinamika, kendala, bahkan sampai ke bagaimana penulis bisa memarketingkan bukunya. Karena mau gak mau, kita akan belajar dari sudut pandang industri, buku ini harus bisa terjual dan memberi untung. Ada banyak sekali orang yang terlibat dalam buku ini tidak hanya penulis, editor, tapi ada orang percetakan, kurir, bagian gudang, karyawan-karyawan lain yang rezekinya melewati buku ini.
Menjadi penulis profesional dan menulis sebagai sebuah aktivitas itu beda banget. Ada risiko tulisanmu tidak disukai, di rate bintang 1 di goodreads, dan lain-lain. Ada proses yang akan membangun mentalitas dan sudut pandang yang baru.
Alhamdulillah akhirnya workshop ini selesai. Dan besok buku ini akan diluncurkan di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Aku mengucapkan terima kasih kepada Career Class yang memberi tantangan, Bentang Pustaka dan timnya yang luar biasa berdedikasi, dan juga kepada para penulis yang bisa bertahan hingga titik ini. Nggak mudah bukan berarti nggak mungkin :) Tahun depan, ada stakeholders baru yang akan masuk insyaAllah dalam workshop kepenulisan itu. Dan bakal makin "seru". Buat yang bertanya-tanya mungkin ada di mana workshopnya, ada di dalam programnya Career Class ya :)
25 notes
·
View notes
Text
Mentalitas untuk jadi pengusaha itu ga sesederhana jangan pernah mau kerja sama orang dan jadilah bos bagi dirimu sendiri juga orang lain.
4 notes
·
View notes