#membuat rambut anak tebal dan hitam
Explore tagged Tumblr posts
Text
[Sc fic] Seharusnya Hari Ini Adalah Hari Ulang Tahunmu
Cast: Choi Seungcheol
Genre: Slice of Life, Angst
Word Count: 969
Warning: Major character death but only mentioned, as it is the main of the story. It's not Seungcheol, no.
Summary: Semuanya berubah menjadi sunyi. Janji yang pernah disampaikan, pada akhirnya hanya menjadi janji. Dan hidup pun harus tetap berjalan seperti biasanya. Tapi bahu yang kuat itu, pada akhirnya gemetar hebat.
~
Pagi itu, seperti biasa, alarm dari ponsel berbunyi nyaring. Butuh lebih dari sepuluh detik untuk pemilik dari ponsel itu bergerak dalam tidurnya dan perlahan terbangun dari mimpi. Dengan muka kesal, laki-laki berambut hitam yang surainya tergerai menutup matanya itu mengulurkan tangan untuk mematikan alarm. Lima detik, dua puluh detik, satu menit, sampai akhirnya ia bangun dari tempat tidur dengan enggan. Kedua kelopak matanya masih terpejam, rambut berantakannya yang cukup panjang menghalangi pandangannya dari silaunya cahaya matahari. Dengan hembusan napasnya yang panjang, ia beranjak dari tempat tidur bersprei putih menuju kamar mandi.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, kaki laki-laki itu melangkah pergi meninggalkan pintu depan apartemennya tepat pada pukul 08:30. Setibanya di tempat parkir, ia masuk ke dalam mobil merahnya kemudian melaju menuju studio musik tempatnya bekerja sebagai produser musik. Tenggat waktu pengumpulan draft final tinggal sebentar lagi, ia harus bisa menyelesaikannya malam ini bersama Jihoon, teman sekaligus produser lain di lagu yang sedang ia kerjakan.
“Hai, Cheol.” sapa Jihoon tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer saat pintu studionya terbuka. Choi Seungcheol melempar tasnya ke atas sofa kemudian meletakkan dua gelas kopi di atas meja.
“Sudah sampai mana?” tanya Seungcheol setelah mendudukkan dirinya di atas kursi.
“Ada yang kutambahkan di bridge, menurutku lebih bagus kalau ada instrumen lain. Nanti kuperlihatkan.” jawab Jihoon yang dibalas dengan gumaman oleh Seungcheol.
Hening, tak ada suara selain suara dari komputer Jihoon, hingga akhirnya Seungcheol buka suara.
“Seperti rencana kita minggu lalu, draft ini harus selesai hari ini. Dan besok aku tidak ke studio.”
Kalimat terakhir Seungcheol membuat Jihoon menoleh. Raut kebingungan muncul di wajahnya. “Huh? Kenapa? Sehari setelah draft diserahkan kan biasanya—” Cahaya muncul di mata Jihoon saat ia akhirnya menyadari maksud temannya itu. “Oh… maaf, aku tidak sadar. Ambillah dua hari libur, kau membutuhkannya. Aku akan memberitahu yang lain supaya tidak mengganggumu.”
Senyuman mengulas di wajah Seungcheol. Bukan, bukan senyum senang karena sorot matanya terlihat sedih. Ia mengangguk ke arah Jihoon dan berkata, “Tak apa. Terima kasih.”
Hari berlalu dengan sangat lambat bagi Seungcheol. Berkali-kali ia melirik jam tangannya, yang rasanya tak bertambah lebih dari lima menit setiap ia melihat. Jihoon melirik ke arah temannya sejak duduk di bangku sekolah itu dengan khawatir. Beruntungnya hari itu tak banyak yang harus mereka kerjakan, hanya perlu mengecek beberapa hal dan menghubungi beberapa orang. Tapi tetap saja keduanya baru beranjak keluar dari studio saat jam tangan Seungcheol menunjukkan pukul 10 malam.
Seungcheol memacu mobilnya di jalanan Seoul yang masih penuh dengan orang-orang yang baru pulang kerja atau pulang berbelanja. Beberapa kali ia juga melihat murid-murid sekolah yang baru saja keluar dari tempat les. Salju yang turun dengan lumayan lebat tidak membuat anak-anak sekolah itu berdiam diri di rumah.
Tiga puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai Seungcheol terparkir di tempat biasa. Seraya mengeratkan jaket tebal yang ia kenakan, Seungcheol melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai apartemennya. Selama beberapa saat, semuanya terasa hening sampai akhirnya bunyi “ding!” keras terdengar dan pintu lift terbuka. Kaki Seungcheol melangkah keluar, membawanya menuju pintu apartemennya.
Pintu apartemen terbuka perlahan dan lampu menyala otomatis. Seungcheol melirik ke arah vas bunga di atas lemari sepatu saat ia melepaskan sepatunya. Sepertinya besok ia harus membeli bunga yang baru, karena yang ada di dalam vas sudah hampir layu. Dengan helaan napas yang berat, Seungcheol membawa kakinya melangkah menuju dapur.
Udara di dalam apartemen terasa hangat, berbanding terbalik dengan udara musim dingin di luar. Seungcheol menatap ke luar jendela ruang tengah yang tirainya sengaja tak ia tutup. Sejak salju turun pada bulan November kemarin, ia lebih senang membuka tirai jendela agar bisa melihat ke langit malam setiap saat. Sudut bibirnya ia tarik perlahan, menyunggingkan senyum yang terasa lebih hangat dibandingkan senyumnya tadi pagi.
Dengan perlahan, Seungcheol mengeluarkan satu kotak kue yang ia beli dua hari lalu dari dalam lemari es. Diletakkannya kotak kue itu di atas meja dapur, lalu ia mengambil piring dan meletakkan kue di atas piring. Ia membuka laci dan mengeluarkan dua buah lilin berwarna biru serta satu korek api. Sembari tersenyum, ia membawa kue itu ke meja di ruang tengah. Ia berdiri sejenak untuk mematikan lampu, kemudian kembali duduk di atas karpet di depan meja dimana ia meletakkan kue.
Seungcheol menyalakan layar ponselnya. Wajahnya disinari oleh cahaya dari ponselnya, membuat senyumnya yang merekah saat mendapati angka 23:57 terlihat.
“Sebentar lagi.” lirihnya.
Dengan hati-hati, Seungcheol meletakkan dua lilin yang tadi diambilnya ke atas kue. Kemudian dinyalakannya lilin itu dengan korek api. Cahaya temaram seketika memenuhi ruang tengah apartemennya yang sunyi. Bayangan dirinya yang terkena cahaya api dari lilin terlihat di dinding. Seungcheol menoleh pada bayangannya sendiri, lalu tersenyum.
Saat angka di layar ponselnya berubah menjadi 00:00, Seungcheol memejamkan matanya. Dalam kesunyian itu, hanya api pada ujung lilin yang bergerak, memainkan bayangan pada dinding seakan ia hidup. Seraya mengulas senyum, Seungcheol membuka mata dan meniup padam api lilin di hadapannya. Semua kembali gelap, kembali sunyi, dan kali ini Seungcheol tak lagi sanggup menahan air matanya.
“Seharusnya hari ini adalah ulang tahunmu yang ke-tiga puluh. Seharusnya kau masih bersamaku sampai lima puluh tahun lagi. Kenapa kau meninggalkanku lima puluh dua tahun lebih awal.”
Isak tangis itu terdengar semakin kencang. Kedua bahu yang selama ini terlihat sangat kuat kini gemetar hebat. Kesedihan yang menumpuk itu kini tumpah seluruhnya.
Seungcheol membenamkan wajahnya di atas kedua tangannya yang ia letakkan di atas meja. Setiap sudut apartemennya yang berubah sunyi sejak dua tahun lalu, kini dipenuhi gema isak tangisnya. Hatinya sakit, mungkin bila dibandingkan dengan puluhan panah menghujam tubuhnya maka ia akan dengan lantang berkata bahwa hatinya terasa jauh lebih sakit beribu kali lipat. Kekuatannya telah hilang, lenyap bersama hembusan napas terakhir dari orang yang diyakininya menjadi tujuan terakhirnya.
Salju terus turun dengan lebat di luar sana. Angin malam berhembus kencang, menabrak kaca jendela apartemen laki-laki yang masih meneteskan air mata. Entah kapan perasaan sedih itu akan membaik. Mungkin esok, mungkin di tahun yang akan datang, atau mungkin tidak sama sekali.
1 note
·
View note
Text
thank you for keeping me alive
pagi itu kamar dengan nuansa putih dan abu tersebut terkesan agak tenang. biasanya akan ribut dengan suara alarm yang berdering berkali-kali karena si penghuni kamar tak kunjung bangun. namun kali ini alarm tersebut tidak berbunyi, kedua insan yang dibaluti selimut tebal tengah tertidur pulas di atas kasur.
beberapa menitnya cahaya matahari memasuki celah-celah jendela membuat salah satu insan tersebut mengerjapkan mata pelan. ia mengerang kecil lalu membuka mata sepenuhnya ketika mendapati jam dinding menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh. matanya kemudian beralih ke arah lain, ke arah seorang perempuan yang tengah tertidur pulas di sampingnya. suara dengkuran halus terdengar di telinganya membuat pria itu tersenyum kecil.
pria bernama raga itu mengulurkan tangannya, merapikan anak-anak rambut di sekitar pelipis perempuan di depannya. “hana, wake up.”
hana tidak bergeming, suara dengkuran halus tetap terdengar membuat raga lagi-lagi tersenyum kecil.
“i guess you still dreaming,”monolognya sendirian.
raga memutuskan menutup matanya kembali, ini hari minggu ia tidak bekerja dan bisa tidur sepuasnya sampai siang. tepat beberapa menitnya raga kembali jatuh tertidur kembali sembari memeluk hana.
tak lama perempuan itu terbangun mendapati sebuah tangan besar di atas perutnya. ia menoleh ke samping, wajah raga terpampang disertai dengkuran halus pria itu. hana menyampingkan badannya dan menatap raga sambil tersenyum.
“raga, you would never know how much i love you. thank you for saving me.”
ucapan random hana yang setengah berbisik itu tentu tidak akan membuat raga bangun. hana masih mendengar suara dengkuran halus raga dan mata pria itu masih tertutup rapat.
sembari menatap raga, perempuan itu teringat kembali ketika pertama kali bertemu dengan raga. di trotoar jalan raya. well, hana sempat dirawat di rumah sakit jiwa. waktu itu tahun yang menyakitkan untuknya. kedua orang tuanya bercerai, ayahnya seorang pecandu alkohol dan masuk penjara karena tertangkap membawa mobil dengan keadaan mabuk. lalu disusul dengan kematian ibunya yang sakit karena gagal ginjal. belum lama setelah itu seolah-olah semesta sangat membencinya kakaknya, satu-satunya yang bisa ia andalkan, malah menjadi pecandu narkoba dan berakhir harus direhabilitasi.
hana sangat terpuruk, malam setelah mengetahui kakaknya ditangkap ia duduk di tepi trotoar jalan. tidak memperdulikan tatapan aneh orang-orang padanya. dengan hanya memakai piyama dan sebuah topi hitam yang membungkus badannya, hana bangun dan pelan-pelan berjalan ke tengah jalan. dirinya tak sadar, bahwa semenjak ayah ibunya bercerai ia menjadi depresi. depresi itu berkembang terus menerus tanpa disadari sampai akhirnya sekarang semua meninggalkannya. hana tidak ingin hidup lagi, lagi pula hidupnya sudah kacau.
namun malam itu, tuhan menggagalkan rencananya untuk mati ditabrak mobil di jalan raya yang besar itu. berkali-kali dan hampir saja mobil-mobil besar itu hendak menabrak dirinya namun hana tetap bisa berjalan pelan. bunyi klakson yang nyaring bahkan tidak bisa menyadarkan perempuan itu. sampai pada akhirnya seorang pria yang mobilnya hampir menabraknya juga turun dari mobil. tidak peduli itu di tengah jalan hingga ia diklakson oleh semua pengendara di jalan ia menghampiri hana dan menyadarkan perempuan itu.
hana menangis ketika akhirnya pria yang bernama raga itu mengajaknya menepi ke sisi trotoar. raga hanya bisa menepuk-nepuk pundak perempuan itu guna untuk menenangkannya. entah kebetulan atau bagaimana, raga yang berprofesi sebagai psikiater itu mengamati pelan-pelan kondisi hana. hingga tak lama hana pingsan, raga dengan cepat membawa perempuan itu ke dalam mobilnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
waktu itu di ugd, hana tidak mengerti kenapa bisa ia terbangun pagi-pagi dengan seorang pria yang tak dikenalnya. yang hana dengar adalah bahwa ia kekurangan nutrisi akibat tidak makan dan minum berhari-hari hingga akhirnya beberapa hari kemudian hana dirujuk ke departemen jiwa untuk didiagnosa lebih lanjut. hana sempat denial dirinya mengidap depresi, ia pikir ia baik-baik saja dan hanya stress namun kondisi kejiwaannya sangat berbeda dengan apa yang ia katakan. hana pasrah, pada akhirnya ia dibawa ke rumah sakit jiwa dan dirawat selama kurang lebih 3 bulan di sana.
pertemuannya dnegan raga tidak berakhir begitu saja, walaupun raga tidak bekerja di rumah sakit tempat ia dirawat namun beberapa kali raga mengunjunginya, membuat muncul perasaan nyaman di hati hana. bagi hana, raga seperti sebuah cahaya matahari di musim dingin pada bulan januari. wajah pria itu memang terkesan dingin, namun hatinya nampak hangat sehingga hana bisa merasakan ketulusan pria itu.
butuh setahun untuk keduanya menyadari perasaan masing-masing. malam itu, bulan april, raga mengunjungi toko bunga tempat hana bekerja. setelah dinyatakan lepas dari depresinya dan hana hanya perlu mengonsumsi obat secara rutin, hana memutuskan hidup kembali dan bekerja di sebuah toko bunga. kembali ke malam itu, hana selesai bekerja dan raga menunggunya di depan toko sembari tersenyum pada hana ketika perempuan itu menghampirinya. raga mengajak hana ke pantai malam itu, keduanya berbincang sepanjang perjalanan. sangat nyaman, hana sangat sangat merasa hidup kembali ketika bersama raga.
di sisi pantai, ditemani cahaya bulan, keduanya berdiri sembari memandang ke depan. raga menoleh, pria itu menatap lekat hana yang kini juga menoleh padanya.
“kenapa, raga?”
“you’re alive.”
hana tersenyum kecil dan menghadapkan seluruh badannya ke arah raga. “makasi ya raga.” hanya itu yang diucapkan hana sambil tersenyum lebar. “kalo bukan karna kamu mungkin aku udah jadi sisa-sisa bangkai di bawah tanah sana atau di laut sana,”lanjutnya kembali.
raga tersenyum kembali, ia mengulurkan tangannya dan mengelus pelan kepala perempuan itu. raga yakin hana tahu perasaannya, dan begitu juga dengan hana yang yakin bahwa raga tahu perasaannya.
“i really don’t wanna saying this but aku sudah sampai di tahap bahwa aku engga mau ngelihat kamu duduk di jalan trotoar itu lagi atau duduk termenung di depan jendela kamar rumah sakit jiwa kayak kemarin. aku mau kamu sehat, dan aku mau nemenin kamu.”
itu ucapan raga yang menyiratkan bahwa ia ingin selalu bersama hana. dan pada malam itu hana hanya mengangguk, tidak menjawab apapun, namun ia membalas pelukan raga menandakan bahwa ia sepenuhnya setuju dengan ucapan pria itu.
hingga sampai detik ini, ia masih bersama pria itu. tidur bersama di sebuah kamar luas milik raga. hana mendekatkan dirinya ke badan raga dan memeluk pria itu membut raga akhirnya terbangun pelan.
“hai, morning han.”
hana mendongak,”morning raga.”
“i dream about you,”ucap raga, mengecup pelan pucuk kepala perempuan itu.
“about me? kenapa?”
“i don’t know, all i heard is you said you’re telling me that you loving me so much and said thank you. i don’t know, rasanya kayak nyata banget denger suara kamu.”
hana tertawa kecil,”yang penting gak mimpi buruk.”
“well yes,”raga ikut tertawa lalu ia menunduk dan mendekatkan wajahnya ke arah hana.
hidung mereka bersentuhan, raga membuka matanya melihat hana yang juga menatapnya sembari tersenyum.
“thanks,”bisik hana
“for what?”
“for saving me and keeping me alive. i love you, and it will never stop, i can guarantee that.”
raga hanya tersenyum,” i love you more hana, i would never to stop loving you too.”
maka pagi itu, hana berkali-kali mengucap syukur dalam hatinya. tuhan dan semesta tidak lagi membencinya, mereka sangat menyayanginya dengan mengirimkan raga untuknya.
0 notes
Text
BISA BAYAR DI TEMPAT, CALL/WA 0822-4552-0172, Agar Rambut Tebal
KLIK https://wa.me/6282245520172, Shampo Untuk Menebalkan Rambut Bayi, Shampo Yang Menebalkan Rambut Bayi, Shampo Bagus Untuk Menebalkan Rambut, Shampo Yg Bagus Untuk Menebalkan Rambut, Shampo Yang Paling Bagus Untuk Menebalkan Rambut
Kelaya Hair Treatment Shampoo
Jl. Raya Tambak Medokan Ayu No. 9A
(Ruku 3 Lantai, Pagar Putih)
Surabaya
Ibu Adelia
0822-4552-0172
https://kelaya.co.id/
#thickhairremedies, #thickhairremedy, #thickhairrules, #sthickhair, #thickhairtips, #thickhairtip, #thickhairup, #thickhairupstyle, #thickhairv, #thickhairvibes
#cara menebalkan rambut anak secara alami#cara merawat rambut agar cepat panjang dan tebal#membuat rambut anak tebal dan hitam#menebalkan rambut bayi secara alami#supaya rambut tebal dan tidak rontok#menebalkan rambut secara alami dan cepat#buat rambut lebat#cara alami rambut tebal#cara agar rambut tebal dan cepat panjang#cara membuat rambut bayi hitam lebat
0 notes
Text
PRODUK TERLARIS, CALL/WA 0822-4552-0172, Grosir Terbesar Shampo Penghitam Rambut
KLIK https://wa.me/6282245520172, Grosir Terbesar Shampo Buat Hitamkan Rambut, Grosir Terbesar Shampo Apa Yang Bisa Menghitamkan Rambut, Grosir Terbesar Merk Shampo Yang Bisa Menghitamkan Rambut, Grosir Terbesar Shampo Bisa Menghitamkan Rambut, Grosir Terbesar Shampo Yg Bisa Menghitamkan Rambut
Kelaya Hair Treatment Shampoo
Jl. Raya Tambak Medokan Ayu No. 9A
(Ruku 3 Lantai, Pagar Putih)
Surabaya
Ibu Adelia
0822-4552-0172
https://kelaya.co.id/
#grosirterbesarrambutbersinar, #grosirterbesarrambutbersinarcantik, #grosirterbesarrambutbersinardanberkilat, #grosirterbesarrambutbersinardenganarganoil, #grosirterbesarrambutbersinarhitam, #grosirterbesarhitamrambut, #grosirterbesarhitamrambutku, #grosirterbesarhitamrambutnya, #grosirterbesarhitamrambutkeritingtetapindonesia, #grosirterbesarhitamrambutdanpanjang
#grosir terbesar cara alami membuat rambut hitam#grosir terbesar cara hitamkan rambut alami#grosir terbesar rambut lebat dan hitam#grosir terbesar cara membuat rambut hitam berkilau dan tebal#grosir terbesar cara menghitamkan rambut pria#grosir terbesar cara menghitamkan rambut secara alami dan cepat#grosir terbesar cara rambut hitam#grosir terbesar merawat rambut anak agar hitam dan lebat#grosir terbesar cara hitamkan rambut secara alami#grosir terbesar agar rambut hitam dan lebat
0 notes
Text
PRODUK TERLARIS, CALL/WA 0822-4552-0172, Shampo Penghitam Rambut
KLIK https://wa.me/6282245520172, Shampoo Minyak Kemiri Untuk Bayi, Shampo Yang Membuat Rambut Hitam Berkilau, Shampoo Hitamkan Rambut, Shampo Untuk Hitamkan Rambut, Shampo Buat Hitamkan Rambut
Kelaya Hair Treatment Shampoo
Jl. Raya Tambak Medokan Ayu No. 9A
(Ruku 3 Lantai, Pagar Putih)
Surabaya
Ibu Adelia
0822-4552-0172
https://kelaya.co.id/
#rambuthitamunik, #rambuthitamwangibersinar, #rambuthitamyangsangatindah, #rambuthitam7, #shampopenghitam, #shampopenghitamrambut, #shampopenghitamrambutalami, #shampopenghitamrambutmurah, #hitamberkilau, #hitamberkilau🙆
#cara alami membuat rambut hitam#cara hitamkan rambut alami#rambut lebat dan hitam#cara membuat rambut hitam berkilau dan tebal#cara menghitamkan rambut pria#cara menghitamkan rambut secara alami dan cepat#cara rambut hitam#merawat rambut anak agar hitam dan lebat#cara hitamkan rambut secara alami#agar rambut hitam dan lebat
0 notes
Text
Adab Muslimah Berpakaian, Berhias, dan Bergaul (dirangkum oleh Fadia)
Dalam berhias, berpakaian, dan bergaul telah ada adab dan tuntunannya dalam Al Qur-an dan sunnah. Sebagai seorang muslimah, kita harus bersyukur, karena ketentuan dari Allah membuat kita tetap terjaga dan terlindungi.
Tidak berduaan (berkhalwat) dengan yang bukan mahram
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW berkhutbah di atas mimbarnya: “Janganlah sekali-kali seorang perempuan pergi, kecuali bersama mahramnya dan janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan, kecuali bersama perempuan itu ada mahramnya.” (HR. Ibnu Hibban dan Muslim)
Definisi Mahram: Orang yang haram untuk dinikahi
Mahrom faktor garis keturunan
Orangtua kandung (ayah/ibu)
Anak kandung (laki-laki/perem puan)
Saudara kandung (laki-laki/perempuan)
Saudara kandung ayah (laki-laki/perempuan)
Saudara kandung ibu (laki-laki/perempuan)
Anak dari saudara kandung laki-laki/perempuan (keponakan laki-laki/perempuan)
Bagaimana dengan anak sambung? Apabila seorang muslimah menikah dengan suami yang sudah mempunyai anak kandung dari istri sebelumnya, maka anak tersebut pun menjadi mahromnya. Namun, jika anak angkat, tidak menjadia mahrom.
Imam Syafi’i menambahkan yang bisa sebagai mahrom adalah wanita-wanita yang dipercaya. Jadi misalkan pergi umroh dengan rombongan yang di dalamnya ada beberapa wanita yang dapat dipercaya, dapat menjadi mahrom dalam perjalanan.
Berbicara Baik dan Lugas
Ketika bergaul dengan yang bukan mahrom, kita perlu berbicara dengan baik dan tidak mendayu-mendayu, menjaga suara kita tetap tegas dan lugas. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan siapapun perempuan lain jika kalian benar-benar bertaqwa. Oleh karena itu, janganlah kalian merendahkan suara kalian sehingga orang-orang yang hatinya berpenyakit punya hasrat tidak baik (kepada kalian), tetapi katakanlah (kepada laki-laki) perkataan yang lugas.” (QS. Al Ahzab: 32)
Bagaimana jika dinas kerja keluar kota tanpa mahram?
Sebaiknya meminta atasan untuk meminta rekan kerja sesama muslimah untuk pergi bersama. Apabila bersama rekan kerja laki-laki, sebaiknya meninggalkan keburukan ini dan taat dengan perintah Allah.
Bagaimana jika kuliah ke luar negeri sementara suami tidak bisa ikut menemani?
Ketika sudah berumahtangga, lebih utama untuk selalu bersama suami. Untuk kuliah, sebaiknya memilih tempat yang tidak berjauhan. Namun, perlu dilihat lagi apakah bidang yang akan dipelajari itu adalah sesuatu yang khusus atau keahlian yang langka. Jika demikian, maka masuk ke Fardu Kifayah.
Aurat muslimah
Aurat muslimah ada seluruh tubuh kecuali muka dan tangan sampai ke pergelangan tangan (telapak dan punggung tangan).
Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia ketika berada bukan hanya di dalam shalat, namun juga di luar shalat. Juga aurat tersebut ditutupi ketika bersendirian kecuali kita dalam keadaan mandi (di tempat tertutup)” (Fathul Qorib)
Dengan sesama muslimah pun, kita tetap menjaga aurat kita dari dada sampai di atas lutut. Misalnya ketika berada di ruang menyusui, tetap menjaga aurat dari sesama muslimah.
Ketika bermalam bersama muslimah lain pun ada adabnya. Tidak boleh tidur dalam 1 selimut dan bersentuhan kulit.
Berjilbab/Berkerudung
Agar mudah dikenali (Sebagai identitas Muslimah) Sehingga tidak diganggu, sebagaimana firman Allah SWT:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Ahzab: 59)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasaan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka” (QS An Nur: 31)
Pakaian yang digunakan tidak boleh menyerupai pakaian laki-laki. Pakaiannya harus longgar, tebal (tidak menarawang) dan tidak membentuk siluet tubuh. Kain kerudung pun harus dijulurkan menutupi dada, tidak boleh dimasukkan ke dalam baju atau diikat ke belakang leher.
Tentang bercadar
Hukum dasar bercadar adalah wajib bagi para istri rasul dan anak-anaknya. Untuk para istri sahabat, ini adalah sunnah mustahabbah. Untuk para muslimah, mayoritas ulama tidak mewajibkan namun bercadar disunnahkan dan dimubahkan.
Tuntunan berhias
Disunnahkan untuk memotong kuku di hari Jumat juga mencukur/mencabut rambut kemaluan dan ketiak. Senantiasa menjaga kebersihan tubuh dan memelihara kesehatannya, sebagai tanggung jawab kita atas nikmat tubuh yang telah diberikan oleh Allah Swt. Diperbolehkan untuk memakai wewangian yang baunya ringan seperti deodoran atau lotion tetapi tidak bertujuan untuk menarik perhatian laki-laki bukan mahrom.
Disunnahkan untuk memendekkan kuku dan mewarnai kuku dengan henna untuk membedakan dengan tangan laki-laki.
Dalam berhias, ada beberapa hal yang diharamkan:
Mencukur alis atau minta dicukurkan alis
Sulam alis/sulam bibir karena ini sama dengan tato
Mencabut rambut apapun di wajah (termasuk kumis tipis perempuan)
Mengikir/meratakan gigi
Mengubah bentuk anggota tubuh dan mempercantik diri dengan operasi plastik, kecuali jika ada masalah medis yang berhubungan dengan fungsi tubuh
Memakai susuk, termasuk perbuatan syirik
Bolehkah mengecat rambut?
Disunnahkan untuk mewarnai uban dengan henna. Pastikan menggunakan bahan yang herbal atau yang sudah bersertifikat halal. Warna yang dimakruhkan adalah hitam, kecuali dalam peperangan. Karena dalam peperangan perlu menimbulkan efek psikologis kepada lawan bahwa pasukan Muslim masih muda dan kuat. Bagaimana jika mewarnai rambut padahal belum beruban? Kembali lagi ke tujuan awal. Apakah untuk bersolek dan tidak ditutup jilbab? Jika yang ini, maka tidak boleh. Atau untuk menyenangkan suami? Jika yang ini, maka boleh dengan catatan pewarna yg digunakan pun henna/herbal/bersertifikat halal.
Dengan mengikuti adab dan tuntunan dalam Al Qur-an dan sunnah dalam berhias, berpakaian, dan bergaul, insya Allah kita tetap terjaga dan terlindungi.
Janganlah fokus pada kecantikan dari luar. Yang lebih utama adalah jiwa yang cantik, bersumber dari kesolehan. Fokuslah pada inner beauty karena Allah melihat akhlak kita.
Frasa: Perempuan, Ilmu, dan Rasa
78 notes
·
View notes
Text
Binar-Binar dari Singapura
Seberkas cahaya jatuh di aspal Jakarta dan menembus awan Singapura semua itu serupa. Tidak ada yang berubah, namun mematik segelintir nuansa berbeda seperti sulit untuk di percaya. Sebuah misteri dengan sebongkah ketakutan sebelum menaiki Boeing QZ 268 menjadi hal konyol untuk ku sebab pertama kalinya. Tercengang? mungkin tidak begitu, namun aku hanya menyadari bahwa telah menapaki keasingan setiap langkah sejak dari check-in tiket sampai di Boarding. Melandas di Changi Airport dengan menyusup mega, dan kabut remang-remang menerpa sayap kanan-kiri burung besi yang sedang ku tunggangi, memberi hawa lain layaknya menyampaikan pesan untuk menampakkan dunia sisi lain.
Lepas melewati bandara persinggahan pesawat, Changi Airport, yang tidak sempat aku ukur luasnya, aku bersama sekerumun kawan satu benang merah menaiki bus yang tiba terlambat 10 menit dari perjanjian di lembar jadwal kegiatan. Giliran aku untuk naik dan menelisik satu persatu kursi dan melihat pemandangan mereka sedang berebut posisi. Mungkin terlalu lelap atau tidak sadar saja, mereka semua terlalu sibuk dengan barang bawaan dan teman segandeng tangan, tanpa sadar melewatkan kursi urutan paling awal. Tanpa pikir panjang–serta motifku karena rasa tertarik untuk melihat seluruh sudut jalanan–kutancapkan langkah gerak untuk dapat posisikan badanku di sana.
Sesuai harapanku di awal, melihat seisi Singapura melalui pembatas kaca bus cukup lebar dan cukup kentara. Itu sempurna bagiku yang ingin puas menjajah suasana jalanan malam. Sepanjang jalan, Aku hanya berkutat dengan pemikiran dan sesekali mengobrol ringan dengan teman sebangku yang baru ku kenal beberapa jam lalu, namanya Oksi. Mahasiswa baru anak Unpad, keperawatan. Lagak dari gesturnya, ia cukup riang dan memberikan banyak ruang untuk mengajak berbincang banyak hal dan hal itu kita lakoni berulang kali guna memecah sedikit kecanggungan. Kemudian, sisanya ku sibukkan mengikat diri bersama nuansa dari kota itu.
Mulanya tersentak dengan raut Singapura kala itu. Seluruh keramaian lampu yang ku amati sepanjang ditas awan, nyatanya tidak memberikan satu jawaban konkrit dari ekspetasi sebelumnya ku bayangkan. Kegemerlapan setiap gedung itu hanya memberikan gambaran tanpa memberi kejelasan. Rapatnya lampu di setiap jalan di antara hutan beton ramai dalam kedamaian. Benar-benar senyap tanpa geming. Kalut dengan kondisi Singapura yang damai, aku semakin masuk menikmati keadaan yang mereka ciptakan, ku sandarkan kepala di bahu jendela bus sembari meraba sudut-sudut alunan jalan.
Belum kudapati sepeda motor atau jalan berongga yang bisa saja menggeser posisi duduk para penumpang. Rupanya, cukup nyaman pilihan tempat duduk yang ku tentukan sedari awal. Dengan begini aku tidak perlu repot menjunjung leher lebih meninggi demi melihat badan jalan yang akan di lalui. Hasilnya, tersaji panorama lampu yang menempel di Singapore Flyer, cahaya buatan di Garden by the Bay, dan bulir lampu di Marina by Sand, sekalian kilauan kilat kaca Art Science Museum. Lampu-lampu itu dengan rapatnya menyala sangat terang, memukau indra penglihatan meski terpaut jarak pandang. Namun, cahaya itu layaknya berbinar tidak diperuntukan bagi manusia-manusia kusut ataupun semrawut meski mereka cukup kalut dalam sibuk. Sebetulnya itu cara pandangku saja, tujuannya yang pasti adalah menyiangi tiap sudut kota. Semuanya hening tanpa terkecuali, sekalipun tempat itu adalah cafe-bar dengan turis berbagai rupa rambut. Seluruhnya diam bersama gravitasi dan ketenangan. Ku bergumam, 'apakah dengan berbisik cara mereka berkomunikasi?' mungkin ini terlalu larut untuk mereka hendak beramai-ramai, atau mungkin ya, aku belum menelusuri tempat lain. Yang ku tahu adalah Singapura termasuk negara penuh ketetapan dan ketepatan, itu pun hasil dari menggulir sosial media. Berangkat dari sana, satu hal datang terpintas bagiku, sekonyong-konyong kerapian itu terlahir dari satu nenek moyang idealis dan perfeksionis.
Sinar matahari awal pagi menjatuhkan binar-binar surya di permukaan kasur putih lumayan kusut. Aku sudah terbangun sejak jarum jam menunjuk angka 06.35 AM (GMT+8). Aku menyusun segala untaian kejadian saat kemarin sampai tadi malam. Menyadari bahwa kasur dan selimut yang tadi lebih tebal dari selimut hijauku di rumah. Di sekeliling tak kutemukan kursi ergonimis biru dengan meja alas hitam berjajar buku dan beberapa yang lain berserakan. Di sini, seluruhnya rapi, putih; dengan tatanan ekonomis hemat ruang. Memposisikan bed di tengah dengan membiarkan tersisa ruang untuk berjalan di sisi kiri dan kanan. Terpasang satu petak lemari mungil pada ujung barat dekat jendela bersama menyisihkan kamar mandi bertempat di ujung selatan barjarak tujuh langkah dari bed super nyaman, sebutanku. Teman satu ruang denganku tampaknya betah berlama-lama menikmati bed super nyaman itu; pasalnya, deru suara alarm miliku dan miliknya benar-benar tidak ia gubris. Berulang kali ku berkoar untuk cepat bergegas, ya, nyatanya tidak meruntuhkan niatnya mengikat diri dengan selimut nyaman.
“Knock... knock... ini untuk makan pagi dan tepat 8.00 pagi ini harus sudah di lobi ya,” kata perempuan berparas cantik. Dari seragam dan logat bicaranya jelas ku kenali, ia salah satu panitia event ini. Sejak suara ketukan pertama-kedua, aku sudah sigap membukanya dan kakak itu memberikan informasi dengan ringkas saja, sebatas pengucapan dengan sekali gemuruh. Suara keras itu ternyata lebih mujarab untuk membangunkan Kak Vi, teman satu ruangku. Ringkasnya, kita mulai kalang kabut sejak suara kakak paras cantik tadi berseru–untuk kita menyiapkan diri dengan segala keributannya. Keluar dari hotel dan menyusuri Jalan Little India yang singkat itu sedikit memikat pandangan kita mengenal pagi negara ini. Sejauh mata memandang, ku hanya di hidangkan dengan gedung tinggi, ornamen bangunan dan mobil-mobil bersuara hembusan nafas. Tepatnya, perjalanan menuju NUS (National University of Singapore) kala itu seperti melakukan perjalanan ritual. Karena kita tahu, larangan bersuara keras dalam bus dan mengganggu orang lain bisa menimbulkan sedikit gertakan ringan. Sehingga, kita tersibuk dengan cakap-cakap kecil bersama teman sebaris, membicarakan hal-hal konyol tadi malam, menanyakan darimana kamu berasal dan mencoba berspekulasi dengan acara IDEAS (Internationa Delegate Education Academic and Society) tahun ini (05/02/2020). Setiba di lokasi, kami dirundung masa tunggu lumayan lama, beruntungnya tidak dihadirkan kebosanan yang kalut saat kita semuanya memang harus menunggu.
Berkenalan dari berbagai macam daerah dan arena–tentunya, semester baru-lama tidak masuk kriteria batasan obrolan kita. Sebuah lemparan pertanyaan mengarahku dari seorang laki-laki berkacamata bulat sembari ia mamasukkan tangannya ke jaket Bomber navy milikinya, “Eh lu Agustin darimana(kampus) sih?” jelas, ku sadari bahwa pertanyaan itu di sasarkan ke arahku. Tanpa menimbang, ku timpali jawabanya dengan jelas, padat dan bernada; mengatur tekanan, “Oh aku? kau pasti tahu lah, ‘UI’NSA,” sebelumnya dia tersontak dan raut wajahnya menaruh kagum dan percaya. Selebihnya, setelah mendengar lanjutan suku kata dan nada tekanan kedua, dia mulai terbahak. Masih dengan tawa lepasnya, ia mencoba mengatur rapi kacamatanya yang sempat miring. Dia adalah Kak Ragil asal Bekasi darah asli Jombang memiliki bidang sejurus denganku–Sastra Inggris. Banyak hal lain yang membangun obrolan sampai membuat semuanya kian akrab. Jujur saja, ingin ku sebut semua orang satu per-satu yang terlibat dalam obrolan selama beberapa hari itu, namun dalam keterbatasan waktu, semua tidak sampai teringat seutuhnya.
Waktu terus bergulir, sama halnya dengan kita semua saat itu lanjut di giring. Pada tempat pertama ini, kita di hamparkan beberapa pendahuluan tentang IDEAS, NUS, dan alur kegiatan di main events. Pendahuluan itu, menghantarkan banyak pesan, mungkin jika ingin ku tulis seluruh pembicaraan mereka, bisa habis dalam satu buku jurnal hitamku di rumah. Mereka semua adalah beberapa mahasiswa Indonesia dan lainya teman mereka asli berbahasa Singlish. Berbicara dengan wibawa menuturkan tiap bait kata dan frasa. Intinya mereka ingin menyapaikan hal baik dan yang ku tangkap, ’as far as wherever you live, you must keep it. If we’re different isn’t means we’re less’ sedikitnya itu yang bisa ku tulis. Pindah acara berikutnya, kita perlu menuju ke Hall meeting room, dan tempat itu berjarak tidak berdekatan. Untung-rugi melakukan perjalanan menuju tempat tersebut, namun beruntungnya mood kita semua tidak ada yang pernah kacau dan itu menjadi sebuah kondisi menguntungkan. Menaiki bus kampus, berbincang dengan pengguna bahasa Singlish, makan ice cream gratis, beli biji batrai termahal (dalam hidupku) dan lain sebagainya. Menjadi pengisi ruang waktu kita sampai tiba di Hall meeting room. Sejak saat itu, gelagak tawa kita mulai menurun. Hawa dingin ruangan itu turut serta dalam kekakuan nuansa. Semuanya duduk dengan anggun penuh intelektual. Seluruhnya memasang wajah serius bahkan ketika ingin minum air mineral saja, cukup menengguk secara perlahan penuh kehati-hatian. Acara disini menjadi puncak dari tujuan penerbangan kita semua dari titik Jakarta. Mulai dengan opening, discussing, ordering and deliver opinion, present ragion topic, sharing, solving one cases dan terakhir dengan closing event.
Teman tukar pikirku kala itu bersama Oksi dan Kak Nanda. Kita mengaduk topic dengan di balut pengetahuan masing-masing latar belakang asal kita, dan itu semua cukup seru. Buruknya, camera dan ponselku sangat buruk kondisinya. Sedikit foto yang bisa ku abadikan dan hampir seluruhnya buram dan sisanya ku menumpang di ponsel orang meski aku tahu ada kemungkinan bisa saja terhapus oleh pemiliknya. Tetap saja, aku terima apa adanya. Lagi pula ku juga tidak terlalu berminat memotret diriku sendiri. Totalnya kita bergeming dengan keadaan formal selama hampir 5 jam. Selebihnya, acara kita saling menimbrung bahkan pembahasan timbrungan itu masih berkutat dengan topik-topik dalam Hall meeting room sebelumnya.
Sisa waktunya, kita ingin lepas penat begitu saja. menyusuri jalan Orchard, menuju China Town, menyempatkan ke Mustafa Centre, dan kembali ke 81 Dickson. Sampai dua hari berselang, jadwal kita cukup padat dengan acara dan pertemuan. Sampai pada titik akhir, angka jarum jam tepat pukul 05.20 PM (GMT+8) di Changi terminal 3. Kali pertama sholat dalam bandara dengan alas seadanya diantara kerumunan asing sama sekali tak di kenal. Jadwal pemberangkatan kali ini terlambat, mengingat cuaca saat itu mendung gerimis ringan. Setiba di Bandara Soekarno-Hatta tepat pukul 23.35 malam. Beruntung ku di jemput oleh keluarga Embak Tanti yang rumahnya dekat Halim Perdana Kusuma. Jauh jarak dari Jakarta Timur menuju Tanggerang, Banten, tapi karakter baik mereka melampaui sebuah antara. Aku menceritakan kejadian ini dengan tidak adil, karena sangat sedikit cerita dari apa yang ku saksikan seutuhnya. Sama halnya dengan membaca novel. Menelisik setiap bait kata Norwegian Wood lebih mengasyikan dibanding hanya menonton film produksinya sekalipun karakter pemain begitu lihai ketika berlaku, hingga tampilan layar mencapai kualitas resolusi 1080p. Setidaknya visual tersebut bantu menarasikan plot karangan Haruki Murakami tersebut. Sedikitnya dari saya, yang dulu pernah singgah sebentar di sana, Singapura.
Agustin
2 notes
·
View notes
Text
Ngentot Sange Di Toilet
Jangan lupa di Repost ya!! Biar Di update lagi!!
Di forward!!
Ngentot Sange Di Toilet
Pada waktu itu aku masih duduk di SMP kelas II, pernah terjadi kejadian yang sangat mengasyikan dan lebih baik ini jangan ditiru. Pada waktu di SMP, aku termasuk anak yang cukup nakal dan sekolahku itu pun merupakan sekolah yang banyak menampung para anakanak nakal, sehingga tanpa kusadari aku pun bisa dibilang lumayan lebih banyak nakalnya dari pada baiknya.
Saat itu ada seorang teman sekelasku yang bernama Ika. Ika memang cewek yang paling dekat dengan cowok dan terkenal paling bandel juga nakal. Tidak jarang temanteman pun menyimpulkan bahwa dia cewek binal, karena dia berpenampilan agak seronok dibandingkan teman-temannya, yaitu dengan baju sekolah yang tidak dimasukkan ke dalam, melainkan hanya diikat antar ujung kain dan menggunakan rok yang sangat minim dan pendek, yaitu satu telapak tangan dari lutut. Ika seorang gadis yang cukup manis dengan ciri-ciri tinggi yang pada waktu itu sekitar 160 cm, berat badan 45 kg dengan kulit putih serta bentuk wajah yang oval. Ika memiliki rambut sebahu, hitam tebal, pokoknya oke punya tuh doi.
Setelah bel kelas berbunyi yang tandanya masuk belajar, semua muridmurid masuk ke kelas. Tetapi anehnya, empat anak yang terdiri dari 3 cowok dan 1 cewek itu masih mengobrol di luar kelas yang tempatnya tidak jauh dari WC, dan sepertinya terjadi kesepatan diantara mereka. Setelah pelajaran kedua selesai, temanteman cowok yang bertiga itu meminta ijin keluar untuk ke WC kepada guruku yang mengajar di pelajaran ketiga, sehingga membuatku curiga.
Di dalam hatiku aku bertanya, “Apa yang akan mereka perbuat..?”
Tidak lama setelah temanteman cowok meminta ijin ke WC tadi, malah Ika pun meminta ijin kepada guru yang kebetulan guru pelajaran Bahasa Indonesia yang lumayan boring. Rasa penasaranku makin bertambah dan temantemanku juga ada yang bertanyatanya mengenai apa yang akan mereka perbuat di WC. Karena aku tidak dapat menahan rasa penasaranku, akhirnya aku pun meminta ijin untuk ke WC dengan alasan yang pasti. Sebelum sampai di WC kulihat temanteman cowok kelasku yang bertiga itu kelihatannya sedang menunggu seseorang. Tidak lama kemudian terlihat Ika menuju tempat temanteman cowok tersebut dan mereka bersama-sama masuk ke kamar WC secara bersamaan.
Rasa penasaranku mulai bertambah, sehingga aku mendekati kamar WC yang mereka masuki. Terdengar suara keributan seperti perebutan makanan di ruangan tersebut. Akhirnya aku masuk ke kamar WC, secara perlahanlahan kubuka pintu kamar WC yang bersampingan dengan kamar WC yang mereka masuki, sehingga percakapan dan perbuatan mereka dapat terdengar dengan jelas olehku.
“Hai Tun, Sep, siapa yang akan duluan..?” tanya Iwan kepada mereka.
Dijawab dengan serentak dari mulut Ika seorang cewek, dia menjawab dengan nada menantang, “Ayo.., siapa saja yang akan duluan. Aku sanggup kok kalaupun kalian langsung bertiga..!”
Aku bertanya-tanya, apa sih yang mereka perundingkan, sampaisampai saling menunjuk dan menantang seperti itu. Tapi aku tetap terdiam membisu sambil memperhatikan kembali, apa yang akan terjadi.
Setelah itu, tidak lama kemudian Asep menjawab dengan nada ringan, “Yah udah, kalau begitu Kita bertiga barengbareng ajah. Biar rame..!” katanya.
Langsung disambut ucapan Asep tersebut oleh Ika, “Ayo cepetan..! Nanti keburu pulang sekolah.”
Dan akhirnya Utun pun berucap, “Ayo Kita mulai..!”
Setelah itu tidak terdengar suara percakapan mereka lagi, tetapi terdengar suara reslueting yang sepertinya dibuka dan juga suara orang membuka baju.
Tidak lama kemudian terdengar suara riang mereka bertiga dengan ucapan menanyakan pada Ika, “Hey Ka.., Siapa sih yang paling besar alat kelamin Kami bertiga ini..?”
Ika pun menjawab dengan nada malumalu, “Kayanya sih Utun yang paling gede, hitam lagi.” dengan sedikit nada menyindir dan langsung dijawab oleh Utun, “Hey Ka..! Cepetan buka tuh baju Kamu, biar cepet asik si Joni, Kita nih enggak kuat lagi..!”
Setelah terdengar Ika membuka bajunya, tidak lama kemudian terdengar suara temanteman cowok bertiga, Utun, Asep, Iwan dengan nada ganas, “Wauw.., benarbenar body Kamu Ka, kaya putri turun dari langit..!”
Tidak lama kemudian Asep bertanya pada Ika, “Ka.., kalau Aku boleh tidak meraba buah dadamu ini yang bagaikan mangkuk mie ini Ka..?”
Ika pun menjawab dengan nada enteng, “Yah sok aja, yang penting jangan dirusak ajah..!”
Utun pun sepertinya tidak mau kalah dengan Asep, dia pun bertanya, “Ka.., Aku bolehkan memasukkan alat kelaminku ke lubang gua rawamu ini kan Ka..?” sambil meraba-raba alat kelamin Ika.
Ika pun menjawab dengan nada mendesak, karena alat kelaminnya sepertinya sedang diraba-raba oleh Utun, “Aahh.. uhh.. boleh Tun.. asal jangan sangar yah tun..!”
Dan terakhir terdengar suara Iwan yang tak mau kalah juga, “Ka.., Aku boleh kan menciumimu mulai dari bibir hingga lehermu Ka.., boleh kan..?”
Ika menjawab dengan nada seperti kesakitan, “Awww.. Uuuhh.. iyaiya, boleh deh semuanya..!”
Suarasuara tersebut terdengar olehku di samping kamar WC yang mereka isi, yang kebanyakan suarasuara tersebut membuat saya risih mendengarnya, seperti, “Aaahh.. eehh.. aawww.. eheh.. owwoowww.. sedap..!”
Dan tidak lama kemudian terdengar suara Ika, “Kalian jangan terlalu nafsu dong..!” kata Ika kepada temanteman cowok tersebut, “Karena Aku kan sendirian.., sedangkan Kalian bertiga enggak sebanding dong..!”
Tetapi mereka bertiga tidak menjawab ucapan Ika tersebut, dan akhirnya terdengar suara jeritan kesakitan yang lumayan keras dari Ika, “Aaawww.., sakit..!”
Ika kemudian melanjutkan dengan ucapan, “Aduh Tun.., Kamu udah mendapatkan keperawanan Saya..!”
Dijawab dengan cepat oleh Utun, “Gimana Ka..? Hebatkan Saya.”
Setelah itu Utun pun mendesah seperti kesakitan, “Adu.. aduh.., kayanya alat kelaminku lecet deh dan akan mengeluarkan cairan penyubur.” kata-katanya ditujukan kepada temantemannya.
Tidak lama kemudian Iwan bertanya kepada Ika, “Ka aku bosan cuma menyiumi Kamu aja Ka.., Aku kan kepingin juga kaya Utun..!”
Iwan pun langsung bertukar posisi, yang anehnya posisi Iwan tidak sama seperti yang dilakukan Utun, yaitu memasukkan alat kelaminnya ke lubang pembuangan (anus) dari belakang, sehingga Ika tidak lama kemudian menjerit kedua kalinya.
“Aaawww.. Iiihh.. perih tahu Wan..! Kamu sih salah jalur..!” rintih Ika menahan sakit.
Tetapi sepertinya Iwan tidak menghiraukan ucapan Ika, dan terus saja Iwan berusaha ingin seperti Utun, sampai alat kelaminnya mencapai klimaks dan mengeluarkan cairan penyejuk hati. Hanya berlangsung sebentar, Iwan pun menjerit kesakitan dan alat kelaminnya pun dikeluarkan dari lubang pembuangan dengan mengatakan, “Aaahh.., uuhh.., uuhh.., enaak Ka, makasih. Kamu hebat..!”
Asep yang setia hanya meraba-raba payudara Ika dan sekali-kali menggigit payudara Ika. Tetapi ternyata akhirnya Asep bosan dan ingin seperti kedua temannya yang mengeluarkan cairan penyubur tersebut sambil berkata, “Ka.., Aku juga mau kaya mereka dong, ayo Ka..! Kita mainkan..”
==================
Add WA : 089530536004 untuk mendapatkan Cerita Terbaru
Jangan Lupa Follow IG : Artha.DEE
==================
Ika menjawab dengan nada lemas, “Aduh Sep..! Kayanya Aku udah capek Sep, sorry yah Sep..!”
Akhirnya Asep kesal pada Ika dan langsung saja Asep menarik tangan Ika kepada alat kelaminnya dengan menyodorkan alat kelaminnya.
“Ka.., pokoknya Aku enggak mo tahu.., Aku pinggin kaya mereka berdua..!”
Ika menjawab dengan nada lemas, “Aduh Sep.., gimana yah, Aku benar benar lemas Sep..!”
Aku tetap terdiam di kamar WC tersebut.
Ada sekitar 45 menit berlanjut, dan aku pun berpikir apakah mungkin mereka berbuat oral seks karena masih duduk di SMP. Hal ini mendorong rasa penasaran tersebut untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya aku dapat melihat mereka dari atas, karena kamar WC di sekolahku pada waktu itu tembok pembaginya tidak tertutup sampai dengan atas langit, sehingga aku dapat melihat mereka berempat. Karena kesal akibat Asep tidak dipenuhi permintaannya, akhirnya Asep menarik kepala Ika ke depan alat kelaminnya yang sudah menegang tersebut.
Asep berkata dengan nada mengancam kepada Ika, “Ayo Ka..! Kalo gitu kelomohi alat kelaminku hingga Aku merasakan enaknya seperti mereka..!”
Setelah berusaha memanjat untuk melihat adgean secara langsung, aku dapat melihat dengan jelas. Ika seorang cewek langsung saja mengerjakan apa yang disuruh oleh Asep, sedangkan temannya yang berdua lagi, Utun dan Iwan duduk di lantai, tergeletak menahan rasa enak bercampur sakit yang mereka rasakan tersebut.
Tidak berlangsung lama, Asep berkata kepada Ika, “Ka.., Ka.., Ka.., ahh.. aah.. awas Ka..! Aku akan mengirimkan cairan penyuburku yang hebat ini..!”
Kulihat Ika langsung menyopotkan alat kelamin Asep dari mulutnya, dan terlihat raut wajah Ika yang sayu dan sendu bercampur gembira karena dapat uang dan sedih karena keperawanannya sudah hilang oleh mereka bertiga. Dasar Asep sedang kesal, Asep menyemprotkan cairan penyuburnya kepada Ika dan kedua temannya dengan mendesis kesakitan terlebih dahulu.
“Aaahh.., uuhh.., Awas cairan penyuburku ini diterima yah..!” kata Asep sambil tangannya tetap mengocokkan penisnya.
Kulihat Asep menyempotkan cairan penyubur itu dari alat kelaminnya secara kasar.
Setelah ada 15 menit sehabis Asep mengeluarkan cairan penyuburnya, kulihat mereka langsung berpakaian kembali setelah mereka menyopotkan bajubaju mereka sampai tidak tersisa sehelai kain pun. Sebelum mereka keluar, aku langsung cepat keluar dari kamar mandi tersebut secara perlahanlahan agar tidak terdengar oleh mereka. Kemudian aku menuju ke kelas yang telah memulai pelajarannya dari tadi. Hanya berselang beberapa menit, mereka masuk ke kelas seorangseorang agar tidak ketahuan oleh guru kami.
Hari itu tidak terasa lama sampai bel keluar sekolah berbunyi. Kulihat mereka bertiga teman cowokku, Asep, Iwan, Utun sedikit lelah, seperti kehabisan nafas dan anehnya mereka berjalan seperti kehabisan tenaga.
Karena aku suka iseng ke temen, aku langsung bertanya kepada mereka bertiga, “Hey Kalian kayanya pada lemes banget. Habis ngebuat su.., sumur yah..?”
Langsung dijawab dengan enteng oleh perwakilan mereka bertiga, yaitu Asep, “Iya Bie, enak tahu kalo ngegali sumur tersebut dengan ramerame..!”
“Ohh gitu yah..?” jawabku dengan tersenyum karena tahu apa yang mereka perbuat tadi.
Tidak jauh dari tempatku berdiri, kulihat Ika berjalan sendirian dengan memegang tas kantongnya yang sehari-hari tasnya selalu di atas pundaknya. Sekarang hanya dibawa dengan cara dijingjing olehnya.
Langsung saja aku memanggilnya, “Ka.., Ika.. Ka.. tunggu..!”
Ika menjawab dengan nada lemas, “Ada apa Bie..?”
Karena aku juga ingin iseng padanya, kulangsung bertanya, “Ka.., kayanya Kamu kecapean. Habis tertembak peluru nyasar yang menghajarmu, ya Ka..?”
Ika pun menjawab dengan nada kesal, mungkin bahkan tersindir, “Yah.. Bie.., bukan peluru nyasar, tapi burung gagak yang nyasar menyerang sarang tawon dan goa Hiro, tahu..!”
Mendengar nadanya yang tersinggung, aku langsung meminta maaf kepada Ika.
“Ka.., maaf. Kok gitu aja dianggap serius, maaf yah Ka..?” kataku menenangkannya sambil tersenyum bersahabat.
Karena aku penasaran, aku langsung menyerempetmenyerempet agar terpepet.
“Ka.., boleh enggak Ka, Aku coba masuk ke goa Hiro tersebut..? Kayanya sih asik.. bisa terbang kaya burung..!” pintaku sambil tertawa pelan.
Karena Ika sudah kesal dan lelah, Ika menjawab, “Apa sih Kamu Bie..? Kamu mau goa Saya, nanti dong antri.., masih banyak burung yang mau masuk ke goaku, tahu..!”
Dan akhirnya aku tertawa dengan rasa senang.
Ini merupakan pengalaman hidup saya yang dijamin asli.
Tamat
==================
Add WA : 089530536004 untuk mendapatkan Cerita Terbaru
Jangan Lupa Follow IG : Artha.DEE
==================
72 notes
·
View notes
Text
Cerpen: Iri Kepadamu.
Oleh Ghaznia Mutaharry
Masjid kampus UPI, Al-Furqan terbilang masih sepi pagi itu. Seusai shalat dhuha, mataku langsung menyapu ke seluruh sudut ruangan lantai utama masjid. Namun aku tak kunjung menemukan sosokmu. Akhirnya setelah dzikir usai, aku memutuskan untuk mencarimu ke koridor luar. Dan benar. Kutemukan engkau sedang duduk bersila menghadap barat. Seorang diri.
“Assalamualaikum Yaz! Kenapa kau disini? Biasanya di dalam.” Tatapku aneh. Dari tatapanku seolah engkau tau kalau aku habis menunggumu di lantai utama masjid di mana biasanya kita berbincang seusai solat dhuha sambil berbaring. Kemudian engkau tersenyum.
“Melihat mereka, aku teringat kisah Abdurrahman bin Auf yang kakak mentoring kita ceritakan beberapa waktu lalu.” Mataku langsung mengikuti kemana arah matamu memandang. Aku sedikit terhenyak. Namun kemudian paham mengapa engkau begitu menikmati duduk berlama-lama di sini. Aku kemudian tersenyum.
Dua kakak-beradik berusia di bawah sepuluh tahun sedang berbagi roti sobek. Anak yang memakai peci hitam itu memberikan setengah roti sobeknya kepada sang adik yang aku perkirakan berusia dua tahun lebih muda darinya. Bagi orang lain mungkin perbuatan mereka tampak biasa saja. Tak bermakna. Namun aku tau bagimu hal tersebut amat membekaskan sesuatu. Dari sorot matamu saja aku sudah tau kalau engkau telah menangkap makna yang barangkali orang lain tak mampu melihatnya. Termasuk diriku.
Aku jadi ikut memerhatikan mereka sebagaimana yang engkau lakukan. Mencoba menangkap makna yang engkau dapat. Mencoba merasakan perasaan yang sedang tumbuh dalam dirimu.
Suasana begitu hening. Semilir angin berhembus perlahan. Memberikan ketenangan kepada setiap orang yang sedang duduk atau bercengkrama di sekitar masjid Al-Furqan.
“Kau ingat?” Katamu masih asik memandangi mereka. Sorot kedua matamu begitu meneduhkan. Engkau tersenyum begitu hangat seolah bisa merasakan keikhlasan yang tumbuh di antara hati kedua kakak-beradik itu.
“Ya aku ingat.” Jawabku tenang. Aku memutuskan untuk duduk di sampingmu. Mengambil posisi duduk yang sama. Yaitu duduk bersila.
“Kau bisa merasakan keikhlasan mereka?” Ujarmu yang masih tersenyum. Aku dan engkau semakin fokus memerhatikan kedua kakak-beradik itu. Tak lama kemudian buncahan tawa tampak terlihat dari keduanya. Wajah mereka begitu riang. Tawanya lepas. Seolah tak ada secuil bebanpun yang mereka tanggung. Walau suara mereka tak terdengar olehku dan aku memang tidak tau apa yang sedang mereka perbincangkan, tapi aku bisa merasakan kebahagiaannya.
“Hm… ” Aku menjawab pelan tanda mengiyakan. Engkau kemudian diam lagi untuk beberapa saat.
“Zid?” Pelan engkau memanggil namaku. Aku menoleh sekilas kemudian menatap lagi ke arah mereka. Senyummu masih mengembang sempurna.
“Entah seperti apa keikhlasan yang ditampakan oleh Abdurrahman bin Auf ketika beliau begitu bersemangat membantu kaum muslimin dengan harta kekayaannya pada zaman Rasulullah sehingga barangkali membuat orang-orang di sekitarnya iri terhadap keikhlasan beliau sama sepertiku yang saat ini iri kepada kedua kakak-beradik itu.” Aku langsung menoleh lagi ke arahmu begitu engkau selesai mengucapnya. Sekilas mengernyit dahi karena tak begitu paham dengan kalimatmu. Mengetahui ekspresiku, engkau lagi-lagi tersenyum seolah tau apa yang tengah hinggap di pikiranku.
“Bukan iri yang seperti itu, Zid. Tapi iri yang memotivasi diriku untuk melakukan hal yang lebih baik dari kedua kakak-beradik itu.” Aku makin mengernyit dahi. Karena setauku, engkau termasuk orang-orang yang hatinya begitu baik. Engkau rajin bersedekah, engkau rajin membantu para penjaga masjid membersihkan tempat shalat, bahkan pernah suatu kali aku memergokimu memberikan dua buah kerudung secara sembunyi-sembunyi untuk pedagang di sekitar masjid ini. Engkau menitipkan kerudung itu kepada penjaga masjid untuk kemudian diberikan kepada seorang pedagang saking engkau ingin agar engkau tak ketauan oleh orang lain dan hanya Allah yang mengetahui perbuatanmu.
“Abdurrahman bin Auf adalah sosok pejuang yang pemberani. Sosok tentara Allah yang tak pernah gentar." seketika aku dan engkau langsung membayangkan bagaimana gagahnya fisik beliau; tubuh tinggi tegap, wajah kemerahan-merahan, rambut tak beruban, dan rupawan. Engkau kemudian melanjutkan kalimatmu.
"Kau ingat? Dalam suatu kondisi di perang uhud, di mana saat itu banyak diantara kaum muslimin yang lari, Abdurrahman bin Auf dengan gagahnya tetap berada di tempat dan terus berperang tanpa ragu demi kemenangan islam. Ia tidak takut sama sekali melawan musuh." Ujarmu tenang dengan penuh semangat. Sorot matamu berbinar. Membayangkan betapa kerennya beliau ketika itu.
"Tapi beliau tak hanya pemberani, melainkan ia juga sosok yang dermawan. Saat Rasulullah SAW akan melaksanakan perang tabuk, Abdurrahman menginfakkan 200 uqiyah emas. Tak hanya itu. Suatu ketika, saat Abdurrahman bin Auf mendengar bahwa Rasulullah SAW pernah bermimpi bahwa Abdurrahman memasuki surga dengan merangkak, Abdurrahman semakin rajin memberikan infak terbaiknya di jalan Allah. Ia menginfakkan lima ratus ekor kuda untuk pasukan kaum Muslimin, dan pada hari yang lain ia menginfakkan seribu lima ratus hewan tunggangan. Ia juga menjual tanah seharga empat puluh ribu dinar, yang kemudian dibagikannya kepada Bani Zuhrah dan orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin dan Anshar.” Katamu lagi penuh antusias. Hatiku semakin terbawa hanyut dalam tuturan ceritamu.
“Menjelang wafatnya, ia mewasiatkan lima puluh ribu dinar untuk diinfakkan di jalan Allah, empat ribu dinar bagi setiap orang yang ikut Perang Badar.”
Engkau terdiam sesaat, kemudian melanjut lagi.
“Dan ada satu kisah yang paling diingat dalam kisah beliau yakni pada suatu hari, saat kota Madinah sedang aman-amannya, tiba-tiba dari jauh terlihat debu tebal yang mengepul ke udara. Semula orang-orang mengira itu adalah angin ribut. Tapi ternyata bukan.” Suaramu tiba-tiba menghilang. Engkau lagi-lagi diam. Dan kali ini lebih lama. Suara nafasmu pun terdengar sedikit berbeda. Engkau seperti sedang menahan sesuatu. Dan akupun enggan menoleh. Aku tau apa yang akan kulihat bila aku menoleh ke arahmu.
“Kau ingat kelanjutannya apa, Zid?” Tanyamu pelan. Suaramu seperti benar-benar tercekat sesuatu. Tak bisa berkata lancar. “Hm… tentu aku ingat. Itu bukanlah angin ribut tapi 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya memenuhi jalan-jalan di kota Madinah.” Jawabku pelan. Engkau masih diam. Tak meresponku. Aku memutuskan kembali melanjutkan cerita.
“Kemudian Abdurrahman bin Auf datang kepada Aisyah dan berkata “Anda telah mengingatkanku suatu hadits yang tak pernah kulupa. Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah ‘azza wajalla!” Ucapku lagi. Suasana makin terasa hening. Padahal orang yang datang ke masjid makin banyak.
“Yaz.. ” Akhirnya aku memutuskan untuk menoleh. Dan dugaanku benar. Engkau tengah tertunduk. Dengan suara yang sesenggukan seperti sesak nafas. Kedua telapak tanganmu secara sempurna menutupi seluruh wajahmu. Yang terlihat hanya guratan rona merah karena air mata yang terus jatuh di kedua pipimu.
“Zid…, Abdurrahman bin Auf itu kadar imannya sudah tinggi. Amal baiknyapun sudah tak terhitung. Bahkan beliau adalah salah satu sahabat Nabi yang sudah di jamin masuk surga oleh Allah, tapi Rasulullah pernah memimpikan ia bahwa ia akan masuk surga dengan merangkak. Lantas bagaimana dengan diriku yang bukan apa-apa ini? Apakah aku bahkan layak untuk masuk ke surga-Nya Allah?”
Selesai
#self reminder#note to self#cerpen#kisah sahabat nabi#abdurrahman bin auf#islam#beranjak#terus beranjak
22 notes
·
View notes
Text
SUDAH TERDAFTAR BPOM, CALL/WA 0822-4552-0172, Cara Menebalkan Rambut
KLIK https://wa.me/6282245520172, Shampo Untuk Menebalkan Rambut Dewasa, Shampo Untuk Menumbuhkan Dan Menebalkan Rambut, Cara Menebalkan Rambut Alami, Cara Menebalkan Rambut Anak, Cara Menebalkan Rambut Bayi
Kelaya Hair Treatment Shampoo
Jl. Raya Tambak Medokan Ayu No. 9A
(Ruku 3 Lantai, Pagar Putih)
Surabaya
Ibu Adelia
0822-4552-0172
https://kelaya.co.id/
#thickhair101, #thickhair1stworldpeopleproblems, #thickhair2, #2thickhair, #2thickhairedbeauties, #thickhair4lyfe, #thickhair4life, #thickhair4lyf, #thickhair4days, #thickhair4u
#cara rambut tebal dan halus#rambut bayi biar cepat tumbuh lebat#cara agar rambut jadi tebal#cara membuat rambut tebal jadi tipis#rambut supaya lebat#perawatan untuk menebalkan rambut#cara buat rambut cepat panjang dan tebal#agar rambut anak hitam tebal#cara menumbuhkan rambut dengan cepat dan lebat#cara melebatkan rambut bayi dengan kemiri
0 notes
Text
My Pretty Dor!
Langit pagi hari itu tampak cerah. Matahari mulai menebarkan pesonanya, hingga hangatnya sudah sedikit terasa. Kicaun burung terdengar ramai, seolah ikut merasakan cemas yang dirasakan oleh Rara. Hari itu adalah hari pertama Rara menjadi seorang murid kelas X di SMA AVISTA, salah satu sekolah favorite yang ada di Jakarta. Terdapat 6 kelas untuk murid kelas X. Rara mendapatkan kelas yang berada tepat di depan tangga menuju ke lantai 2 sekolah, kelas X.5. Jika dilihat dari segi kepintaran, kelas yang dihuni Rara berada di urutan no.2 dari bawah.
“Ya, setidaknya kalo bunda ditanya orang, kan gak terlalu malu-maluin, masih ada kok kelas yang lebih dibawah kelas gue. Hehe” ucap Rara cekikikan dalam hati. Dalam persoalan akademik, Rara memang agak lemah, dari TK, SD, dan SMP Rara belum pernah mendapatkan ranking kelas. Berbeda dengan Ardan, kakak satu-satunya Rara. Ardan dari kecil selalu bagus dalam bidang akademik, hingga sekarang ia pun mendapatkan beasiswa di tempatnya kuliah, di salah satu universitas ternama di Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti Rara tidak pernah membuat bundanya bangga. Gadis yang memiliki paras cantik, dengan alis tebal di atas mata cokelat indahnya, serta tubuh yang ramping itu berbakat di bidang seni, terutama tari balet. Setiap ada perlombaan balet, Rara selalu ikut dan mendapatkan juara. Dan sekarang, gadis cantik itu pun menjadi pelatih di salah satu sanggar balet yang tidak jauh dari rumahnya.
….
Tiba di depan pintu kelasnya, Rara langsung melangkahkan kaki masuk ke kelas. Mata Rara tertuju pada bangku no.2 di ujung kiri persis sebelah jendela.
“Boleh duduk disini?” Tanya Rara ramah pada gadis yang duduk di sebelah bangku tersebut.
“Boleh, silahkan” jawab gadis itu dengan senyum lebar.
Setelah Rara duduk, ia pun mengeluarkan sebuah android dari tasnya, dan mulai sibuk menyapukan jempolnya ke layar kaca androidnya itu.
….
Merasa canggung mereka tak saling berbicara, dengan ragu akhirnya gadis itu buka suara.
“Hai, kalo boleh tau nama lo siapa?” Tanya gadis itu lembut.
Rara tersontak menoleh ke arah kirinya.
“Panggil aja gue Rara, kalo lo?” Respon Rara sambil tersenyum.
“Nama gue Vevi. Eh Ra, Temen lo pas smp ada yang masuk ke sma ini juga gak Ra?”
“Enggak Vi, enggak tau maksudnya. Hehe” jawab Rara cengengesan. Dari dulu Rara memang termasuk orang yang kurang kepo dengan orang lain. Ditambah lagi, jadwal dispennya selama di smp sudah tidak bisa dihitung dengan jari, membuatnya susah untuk sering bergaul dengan murid lain, hingga ia juga tidak mempunyai teman dekat, jadi wajar aja kalo dia gak tau.
“Loh? Kok bisa gak tau?” Tanya Vevi aneh.
“Kalo temen sekelas sih gak ada, tapi yang enggak sekelas kurang tau juga” Jelas Rara singkat.
“Oh…” Mendengar penjelasan Rara yang cuek, Vevi menghentikan pertanyaannya sampai disitu, meskipun ia masih merasa aneh.
“Kalo temen gue sih ada Ra. Cowok gue juga sekolah disini, namanya Berry. Dia kelas X.1. Orangnya emang pinter dari smp dulu” sambung Vevi menjelaskan.
“Wah asik dong..”
Merasa ada yang menepuk pundak mereka, langsung refleks Rara dan Vevi menoleh ke belakang.
“Eh sorry ngagetin. Hehe” ucap seorang cowok hitam manis yang duduk di belakang Rara dan Vevi.
“Ada apa?” Tanya Rara risih karena kaget.
“Kenalin, nama gue Wahyu. Kalo nama kalian siapa?” Ucap wahyu cengengesan.
“Gue Vevi”
“Gue Rara”
“Oke, lo si manis Vevi dan lo si cantik Rara. Semoga kita bisa jadi temen sekelas yang kompak, akur dan saling menyayangi ya” tuturnya penuh semangat.
Rara dan Vevi hanya bisa melongo melihat celoteh aneh dari Wahyu barusan.
“Eh eh, ada bu guru” ucap Wahyu buru-buru.
Spontan Rara dan Vevi langsung menghadap ke depan. Nampak seorang wanita berumur 40an tahun, dengan rambut diikat sanggul, dan memakai kacamata masuk ke kelas.
“Selamat pagi anak-anak..” Sapa bu guru sambil dikit tersenyum.
“Selamat pagi bu…” Jawab semua murid kompak.
“Pertama-tama ibu mengucapkan selamat datang di SMA AVISTA, semoga kalian bisa menuntut ilmu dengan baik serta meraih prestasi sebanyak-banyaknya di sekolah ini. Baiklah, perkenalkan nama ibu Hasnah, ibu adalah wali kelas kalian selama satu tahun ke depan. Ibu mengajar pelajaran Bahasa Indonesia.” Jelas bu Hasnah pada semua murid
“Sekarang ibu akan mengabsen nama kalian satu-satu, tapi berhubung absen kelas belum ada, ibu akan mengabsen kalian berdasarkan urutan peringkat hasil test kalian kemarin” lanjut bu Hasnah menjelaskan.
“Iya bu..” Jawab semua murid.
Bu Hasnah pun mulai menyebutkan nama mereka satu-satu.
….
…..
“VEVI KARTIKA”
“Saya bu..” Jawab Vevi sambil mengangkat tangan kanannya.
nama Vevi sudah di panggil.
Giliran Wahyu “WAHYU PRASETYA”
“Saya bu.”
….
….
Tiba di urutan no.17.
“DORA” panggil bu guru singkat.
“Saya bu..” Jawab murid cantik yang duduk di bangku no.2 ujung sebelah kiri. Iya, Rara. Nama Rara adalah Dora. Just D-O-R-A.
Spontan Semua murid melihat ke arah Rara.
“Tu emaknya pas ngandung dia ngidam nonton Dora mulu kali yak” celetuk salah satu murid cowok yang duduk di depan.
“Hahahahaha…” Semua murid tertawa, kecuali Vevi, Wahyu dan Rara.
“Gapapa Ra, mau nama lo ‘Dora The Explorer’ sekalipun, masih tetep cantik kok” bisik Wahyu dari belakang.
“Dora The Explorer palak lo peang” batin Rara medengar celoteh Wahyu barusan.
Dari dulu, setiap Rara masuk ke lingkungan baru, kejadian seperti itu selalu terjadi, karena itu Rara sudah terbiasa sabar menghadapi makhluk-makhluk yang suka membuat filosofi tentang namanya seenak jidat mereka saja.
“Hei hei..sudah sudah” bu guru menghentikan keributan yang disebabkan oleh nama Rara barusan dan melanjutkan mengabsen nama murid lainnya. Setelah mengabsen, bu Hasnah langsung memulai kegiatan belajar mengajar.
….
Pelajaran hari itu dimulai dengan pelajaran Bahasa Indonesia dan ditutup dengan pelajaran Matematika. Semuanya berjalan dengan lancar, hingga tidak terasa waktunya pulang sudah tiba. Pak Fuad, guru matematika, sudah beranjak keluar kelas. Semua murid pun juga bergegas keluar kelas.
“Eh Vi, lo udah ambil seragam batik di tailor belum?” Tanya Rara pada Vevi sambil berjalan ke luar kelas.
Seperti biasanya, untuk mendapatkan seragam batik baru, seluruh murid baru SMA AVISTA harus mengambilnya di tailor yang sudah di tentukan oleh pihak sekolah.
“Udah Ra, udah dari beberapa hari yang lalu malah. Lo sendiri Ra?”
“Belum Vi, gak sempet.” Jawab Rara dengan nada sedikit merengek.
Rara mengeluarkan androidnya, dan mulai mengetik sebuah pesan.
To : Mas Ardan sayang
Mas, jangan lupa ya abis mas pulang kuliah nanti ambilin seragam batik Rara, di tailor yang waktu itu Rara tunjukkin ke mas. Makasih mas:*
..
Send.
Message delivered.
…
Rara dan Vevi sudah tiba di depan gerbang.
“Eh Vi, duluan ya, bunda udah jemput tuh” pamit Rara pada Vevi sambil menunjuk sebuah mobil jazz putih di luar gerbang sekolah.
“Oke Ra, tuh Berry juga udah ada” balas Vevi sambil menunjuk seorang cowok ganteng yang tampak sedang menunggu seseorang, cowok itu duduk diatas motor ninja yang tidak jauh dari tempat Rara dan Vevi berdiri.
Mereka pun berpisah.
Sambil berlari-lari kecil, Rara langsung menuju ke mobil bundanya dan masuk ke pintu depan.
…..
……
Di dalam mobil, Rara langsung meraih sekaligus mencium tangan bundanya.
“Siap meluncur komandan?” Ucap bunda pada anak perempuan satu-satunya itu.
“Siaaaaap” jawab Rara penuh semangat. Bunda pun langsung menjalankan mobil.
“Gimana tadi sayang di sekolah baru mu? Kalo dilihat dari gerak-gerik kamu sih, bunda tebak kayaknya gak menyenangkan ya? Hehehe” ujar bunda pada Rara dengan nada meledek.
“Iya, gak menyenangkan gara-gara bunda. Bunda sih pakek kasih nama Rara Dora segala, jadi diledekin kan di kelas” protes Rara sambil mengambil minuman yang ada di sebelah tempat duduknya.
“Hahahaha…” Tawa bunda meledak “kok baru sekarang sih anak bunda yang cantik ini protesnya, kemarin-kemarin diledekin sama orang santai aja tuh. Atau jangan-jangan ada yang kamu taksir ya di kelas?” Goda bunda sambil kegirangan.
Burrrr..
Tersontak mendengar perkataan bunda barusan, air yang diminum Rara langsung menyembur keluar membasahi seragamnnya.
“Bunda apaan sih, bikin kaget Rara aja. Mana ada cowok yang Rara taksir di kelas, pada aneh-aneh semuanya, Rara aja baru kenal sama satu cowok di kelas. Namanya Wahyu, itupun orangnya pecicilan banget.” Jelas Rara jengkel.
“Kamu kan selalu gitu Ra, dari dulu sampe sekarang pasti kedapetan kelas ujung, wajar aja kalo teman mu aneh-aneh.” Ledek bunda padanya.
“Hah? Kok bunda tau Rara dapat kelas ujung lagi? Hehe.”
“Yaelaaaah Ra, itu mah pasti. Bisa-bisa hujan badai gempa halilintar deh kalo kamu dapat kelas orang-orang pinter” celoteh bunda.
“Hm..iyasih bun” Rara mengakuinya, sabda yang dilontarkan bundanya barusan memang benar. Dia berada di kelas kalangan orang pintar, itu impossible.
…
….
Tidak terasa, 30 menit berlalu, mereka pun tiba dirumah. Sudah tampak si ninja merah kesayangannya Ardan parkir di halaman rumah. Setelah bunda memarkirkan mobil di garasi, mereka pun keluar dan menuju ke pintu rumah. Tampak wanita tua langsung membukakan pintu, dia adalah bi Darsih. Bi Darsih seorang janda tua yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah minimalis itu. Sudah hampir 5 tahun ia bekerja disana, bahkan sebelum ayah Rara meninggal dunia. Ayah Rara sudah meninggal ketika Rara SD, kata dokter pemicunya adalah serangan jantung. Maka dari itu, sekarang bunda Rara menjadi orang tua tunggal menafkahi 2 orang anak yang sangat ia sayang. Bunda Rara kerja keras mencari uang agar mereka bisa hidup berkecukupan. Karena banyaknya pengeluaran, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan supir pribadi lagi, karena itulah Bunda Rara harus bolak balik mengantar Rara kemana-mana. Jika Ardan tidak ada kegiatan, maka Ardan lah yang bertugas mangantar jemput Rara. Maklum saja, Rara dari kecil selalu buta jalan, ia sangat susah menghafal jalan, syukur-syukur ingat jalan pulang ke rumah. Itu juga yang membuat bundanya dan Ardan takut membiarkan ia pergi sendirian menggunakan kendaraan angkutan umum, karena sudah maraknya kejahatan yang terjadi akibat perlakuan tidak senonoh beberapa pengemudi angkutan umum.
….
“Mas Ardan mana bi?” Tanya Rara pada bi Darsih.
…
“Daaaarrr…” Tiba-tiba muncul Ardan dari balik tembok, ternyata ia sudah bersembunyi dari tadi, siap-siap menjahili adik kesayangannya itu.
“Ih mas Ardan apaan siiiih, ngagetin aja…gak lucu tauk!” Ucap Rara sambil menepuk gemas lengan Ardan.
“Cieee yang kaget, berarti mas berhasil bikin kamu kesel. Abisnya kamu makin cantik kalo lagi cemberut.. Week” ledek Ardan sambil bersiap-siap lari menghindari serangan fisik dari Rara.
“Aaaaaa…bun liat deh mas Ardan ngeselin” rengek Rara pada bundanya.
“Hahaha.. Cup..cup… Maaf deh Ra, mas bercanda kok” tak tahan melihat wajah kesal Rara, Ardan langsung memeluknya dengan kasih sayang tulus dari seorang kakak.
…
“Awwww…” Ardan teriak kesakitan, refleks melepaskan pelukannya dari Rara.
Melihat peluang emas di depan mata, Rara tidak menyia-nyiakannya, digigitnya lengan Ardan barusan. Langsung ia berlari mendekat ke arah bundanya, seolah meminta perlindungan.
“Yes! Mission success.” Ucap Rara dengan ala-ala pengisi suara yang biasa ada di dalam sebuah game. “Makanya mas, jangan macem-macem sama Rara si ranger pink” dengan sombong Rara mulai berlagak menirukan gaya power ranger.
“Iya iya, mas kalah kali ini. Tapi tunggu aja pembalasan dari mas” ancam Ardan pada adiknya.
Bundanya dan bi Darsih hanya bisa tertawa melihat tingkah laku adik kakak itu. Ya begitulah Ardan dan Rara, mereka sangat akrab satu sama lain. Umur mereka berjarak 4 tahun, meskipun terbilang jarak yang tidak dekat, tapi tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap dekat.
“Eh itu seragam batik mu udah mas ambilin, mas taruh di atas meja belajar kamu” ujar Ardan pada Rara.
“Oh oke mas ku sayang… Dah Rara mau bobok siang manja dulu. Bye mas, bun, bi” ucap Rara sambil berjalan menuju kamarnya..
“Makan siang dulu Ra” ucap bunda Rara.
“Udah kenyang bun, tadi di sekolah udah makan banyak.”
“Itu seragamnya gak dicoba dulu?” Tanya bundanya.
“Nanti aja bun, gampang” teriak Rara dari kamarnya.
*****************
Setelah Gian memarkirkan motor ninjanya di garasi rumah, ia menghampiri pak Sutimin yang sedang mengelap-elap kaca mobil, dan menyampaikan sebuah pesan. Pak Sutimin adalah supirnya.
Gianno Chandra, anak pertama dari 2 bersaudara, dan orang tua Gian terbilang kaya. Jika di dalam sebuah Ftv, Gian pasti selalu menjadi pemeran utama. Wajahnya yang tampan, ditambah rambut hitam dengan aksen jambul depannya yang keatas, dan badannya yang tinggi, serta kulitnya yang putih, menjadikan ia bak pangeran yang menjadi rebutan para gadis di setiap lingkungannya. Ditambah lagi otaknya yang cerdas dan bagusnya prestasi ia di bidang olahraga basket, membuat dirinya semakin sempurna di mata kaum hawa. Dan sifatnya yang cool bukan hambatan bagi Gian untuk memiliki banyak teman.
“Kak Gian, udah pulang?” Sapa seorang gadis imut menggunakan seragam SMP.
“eh iya La” jawab Gian agak terkejut.
Yang barusan menyapa Gian adalah adiknya, Ola. Ola murid SMP yang baru naik ke kelas VIII.
“Gimana sekolah barunya kak?” Tanya Ola.
“Ya gitulah La, biasa-biasa aja. Tetep gue kok cowok yang paling keren. Hehe” jawab Gian sambil bercanda.
“Pede banget sih kak, hfffttt. Kalo ceweknya gimana? Ada yang bening gak?
“Yakali bening, sayur kali ah. Gatau, gue gak terlalu merhatiin La” ujar Gian santai pada adiknya yang sedang duduk di sofa ruang tv itu.
“Hfffttt” Ola hanya menghela nafas mendengar jawaban dari kakaknya itu.
“Yaudah, gue mau ganti baju dulu. Abis ini mau main basket di rumahnya Berry” ucap Gian sambil berjalan menuju kamarnya.
********
Setibanya Gian di rumah Berry, Berry langsung mengajak Gian ke lapangan basket di belakang rumahnya. Mereka mulai memainkan bola basket. Berry adalah teman dekat Gian satu-satunya sejak SMP.
“Ian, pas gue mau nyamperin Vevi pulang sekolah tadi, gue liat cewek cantik” tutur Berry sambil fokus ingin merebut bola yang dikendalikan oleh Gian.
“Yaelah Ber, udah punya Vevi masih aja lirik yang lain” balas Gian santai. Tangannya dengan lincah mendrible bola, dan semakin dekat langkah Gian menuju ke daerah pertahanan Berry.
Tsahhh.
Shoot.
Yup, satu tembakan bola dari Gian berhasil menembus ring Berry.
“You get it bro” tutur Berry. Merasa haus, Berry pun berhenti sejenak.
“Bukan gitu Ian, siapa tau lo tertarik sama tu cewek. Kalo lo mau sih gue bisa minta bantuan Vevi, buat deketin lo sama dia, dia temen sebangkunya Vevi, namanya Rara” sambung Berry ke topik awal pembicaraan tadi, sambil mengambil botol minum yang ada di pinggir lapangan.
“Haha. Ada-ada aja lo Ber” respon Gian santai, sambil melempar bola basket ke lengan Berry.
Mereka pun melanjutkan permainan.
**************
Langit mulai gelap, adzan maghrib mulai berkumandang. Selesai sholat maghrib, bi Darsih mulai menyiapkan makan malam untuk keluarga kecil itu. Ardan dan bundanya sudah berada di ruang makan.
“Ra…ayo makan malam sayang” panggil bundanya dari tempat duduknya.
“Buruan Ra, keburu hidup lagi ni ikan nanti Ra” tambah Ardan.
….
“Iya bentar.. Bawel banget sih mas” teriak Rara dari dalam kamarnya sambil membuka pintu kamar. “Taraaaaaaa…Cassandra Lee datang”
Rara langsung menempati tempat duduk di sebelah Ardan.
“Aduh Ra, kalo Cassandra Lee kayak gini bentuknya, berarti mata si Randy Martin udah rabun stadium akhir tuh” ledek Ardan.
“Ledekin aja teroooss sampe mampos terkempos kempos” teriak Rara ke telinga Ardan. (Terkempos-kempos apaan sih? Wkekeke)
Setelah adegan saling ledek, mereka pun mengambil nasi dan lauk pauknya, lalu menyantap hidangan makan malam itu dengan nikmat.
….
Selesai menyantap makan malam, Ardan dan Rara duduk di sofa sambil nonton TV, sedangkan bunda mereka memilih ke kamar untuk beristirahat.
“Gimana jadi murid baru SMA? Menyenangkan?” Tanya Ardan pada adiknya.
“Etdaah mas….baru sehari, belum dapat feelnya kali” jawab Rara suntuk.
“Masa SMA itu menyenangkan, mas yakin nanti kamu akan merasakannya” ucap Ardan tersenyum sambil menggosok kepala Rara lembut.
…
Karena keasikan menonton TV, tak terasa waktu berlalu, tiba saatnya untuk umat Islam menjalankan ibadah sholat isya.
“Udah adzan isya, Rara sholat dulu ya mas”
“Iya, mas juga Ra” mereka pun beranjak ke kamar masing-masing untuk melaksanakan sholat isya.
….
…..
“Aamiin….” Ucap Rara dalam hati sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan, Rara menutup doanya seusai sholat. Setelah melepas mukenah, Rara melirik ke atas meja belajarnya. Diambilnya sebuah plastik yang berisi seragam batik, Rara langsung membuka plastik tersebut untuk mencoba seragam barunya itu.
…..
…….
******
Gian tiba di rumah. Sampai di ruang TV, ia melihat Ola yang sedang asik memainkan gadgetnya.
“Kalo gitu terus kerjaannya, gak heran kalo setiap ujian remedial terus” sindir Gian sambil duduk di sebelah Ola.
Spontan Ola kaget melihat keberadaan Gian yang tiba-tiba sudah berada di sebelahnya.
“Woiii… Ngagetin aja lo kak. Kalo gue mati kena serangan jantung gara-gara lo tadi, bisa patah hati Justin Bieber” gerutu Ola asal pada kakaknya.
“Selena Gomez aja di bikin patah hati sama si Justin, apalagi-” Gian terdiam sejenak.
“Apalagi apa?” Tantang Ola penasaran dengan kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Gian.
“Sudahlah, gak tega kak Seto nyakitin hati anak kecil” ucap Gian asal.
“Lo gak cocok jadi kak Seto kak.” gumam Ola dengan wajah serius.
“Terus jadi siapa?”
“Jadi Parto.” Jawab Ola kesal sambil menimpuk Gian dengan bantal.
“Enak aja” protes Gian “Eh ini apa?” Pandangannya berhenti pada sebuah plastik yang ada di atas meja.
“Itu dari pak Timin, katanya punya lo kak.”
“Oh iya gue lupa” Gian pun meraih plastik tersebut dan mengeluarkan isinya.
……..
“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” Serentak Gian dan Ola menjerit, kaget melihat rok dan baju batik yang dikeluarkan Gian dari kantung plastik itu.
“Kak please lo jelasin, bener ini punya lo? Apa ini alasan lo selama ini gak pernah punya cewek? Jawab kak!!!!” Tanya Ola dramatis sambil menarik-narik lengan baju Gian.
“Enggaklah, ini bukan punya gue. Jomblo gini gue normal La, ini pasti pak Timin salah ambil pas di tailor tadi” jelas Gian pada adiknya.
Karena mendengar teriakan Gian dan Ola barusan, pak Timin segera bergegas menghampiri mereka, mencari tahu apa yang telah terjadi.
“Ada apa atuh mas Gian, neng Ola? saya tadi mendengar mas dan neng teriak keras pisan euy” Tanya pak Timin khawatir.
“Nah ini dia nih panjang umur, bapak kok bisa salah ambil seragam? Yang bapak ambil itu punya cewek” ujar Gian pada pak Timin dengan nada sopan.
“Aduh mas, maaf. Saya gak tau atuh, tadi pas saya kesana, akang penjahitnya bilang kalo itu punyanya mas, soalnya cuma itu satunya-satunya seragam yang belum diambil” jelas Pak Timin dengan nada penuh bersalah.
“Ya sudah tidak apa-apa pak, biar besok saya cari orang yang punya baju itu” Gian pun mempersilahkan pak Timin kembali ke depan tanpa memarahinya, karena itu memang bukan salah pak Timin, ia hanya menjalankan apa yang telah diminta oleh Gian. Meskipun hasilnya berdampak buruk untuk Gian di sekolah besok.
Ada yang menarik perhatian Ola dan Gian, ketika pandangan mereka berdua terhenti di nametag yang ada di baju tersebut.
“DORA” baca mereka serentak, mata Gian dan Ola saling berpandangan aneh.
“Baru kali ini gue denger, ada orang namanya Dora kak. Just D-O-R-A, singkat, padat tanpa racikan bumbu penyedap” Ola pun mulai bersabda “jangan-jangan bentuknya juga kayak Dora, rambutnya pendek segi empat, kepalanya bulet, badannya bantet, kalo kemana-kemana bawa backpack, boots, peta, dan kawan-kawannya” lanjut Ola, “terus suka loncat-loncat, sambil ngomong ‘mau kemana ki’-” bukkk.
Ola terhenti karena satu timpukan bantal empuk dari Gian . “Kalo ngomongin orang yang enggak-enggak nomor satu, giliran tentang pelajaran anyep. Salah apa gue punya adik kayak lo” gerutu Gian.
“Iih kak Gian gak asik” tutur Ola sambil mengusap kepalanya.
“Udah ah, gue mau ke kamar” Gian mengambil seragam tersebut dan beranjak meninggalkan adiknya.
….
***********
Di kamar Rara, hal serupa terjadi.
“Mas Ardaaaaaaaaaaaan” Rara teriak, kaget melihat seragam cowok yang ia keluarkan dari plastik itu.
Mendengar teriakan Rara memanggil namanya, Ardan langsung bergegas menghampiri Rara.
“Ada apa Ra? Mana malingnya, sini mas gorok lehernya”
“Maling apaan, leher mas nanti yang Rara gorok. Ini baju yang mas ambil bukan punya Rara.” Ujar Rara kesal sambil membentangkan baju dan celana milik seorang cowok.
“Astaga, mas gak tau Ra.” ucap Ardan kebingungan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Kok gak di cek dulu sih mas?” Tanya Rara dengan nada kesal.
“Kata bapak penjahitnya itu punya kamu. Yaudah, langsung mas bawa pulang aja, kan bukan salah mas Ra, tukang jahitnya yang salah kasih ke mas” Ardan melakukan pembelaan.
“Terus Rara besok pakek baju apa? Nanti kalo guru lihat Rara gak pakek seragam jadi kena marah” rengek Rara sambil menghentak-hentak manja kakinya.
“Hmmm, besok pake aja dulu seragam SMP kamu, kalo ditanya guru, ya kasih tau aja apa yang sebenarnya terjadi” usul Ardan pada adiknya.
“Rara malu kalo besok dijadiin pusat perhatian sama temen-temen, gara-gara pake seragam SMP” keluh Rara.
“Mending pusat perhatian kali Ra, ketimbang pusat perbelanjaan, rame, kan sumpek tuh. Hehe” gumam Ardan bercanda.
“Ih gak lucu tauk mas” Rara cemberut.
“Kamu sih masak gitu aja malu, kan udah biasa jadi pusat perhatian orang kalo lagi tari balet”
“Kan itu beda mas” batin Rara.
…
“Udah, gak usah sedih gitu ah, muka kamu asem kayak mangga mentah kalo lagi cemberut Ra. Nih ya mas bilangin, andai ada produser film yang tau sama kejadian ini, pasti udah terinspirasi buat film “Seragam Yang Tertukar”.“
“Nikita Willy kali ah. Iyadeh, besok Rara pakek seragam SMP dulu. Oh iya, terus ni baju mau Rara balikin ke siapa?” Ucap Rara sambil melihat baju tersebut, mata Rara pun tertuju pada nametag yang ada di baju itu, “Gianno Chandra” baca Rara.
“Kalo dilihat dari segi nama ya Ra, kayaknya orangnya ganteng deh, kayak artis-” Ardan terhenti sejenak, ia menyipitkan mata seolahh sedang berpikir keras “coba kamu bantu mas sebutkan nama-nama artis ganteng”
..
“Teuku Rasya?” sebut Rara asal.
…
“Nah itu dia, kayak Teuku Rasya”
…
“Emangnya Teuku Rasya ganteng mas?”
..
“Gak terlalu sih Ra. Coba sebutin lagi yang lain”
..
“Al ghazali mas?”
…
“Enggak deh, terlalu cuek Ra.”
…
“Aziz gagap?”
…
“Kamu kira pemaen OVJ Ra. Gimana kalo Herjunot Ali?”
…
“Enggak ah mas, ketuaan”
…
“Yaudah, kalo David Becham Ra?”
…
“Itukan pemaen bola mas. Zzz. Bodo ah, mau ganteng kayak siapa aja Rara gak peduli. Tapi kenapa feeling Rara bilang, orangnya pemarah ya”
“Ibu tiri kali ah, pemarah. Udah Ra, kayak gimana pun nanti orangnya, minumnya teh botol sosro. Wkakakak” tawa mereka pun pecah sekaligus mengakhiri percakapan tidak jelas mereka.
…
*********
Hari kedua Rara sekolah di SMA barunya pun harus ia lewati dengan mengenakan seragam SMP. Meskipun di lubuk hatinya yang paling dalam ia merasakan malu, tapi sebisa mungkin Rara mencoba untuk stay cool. Setelah tiba di sekolah, apa yang sudah ia duga sebelumnya, benar terjadi. Rara menjadi pusat perhatian semua murid. Tiba di kelasnya, ia langsung bergegas menghampiri tempat duduknya.
“Ra, kok seragam lo beda?” Tanya Vevi yang sudah duduk di bangkunya dengan heran.
“Iya Vi, ini seragam SMP gue. Kemaren tukang jahitnya malah kasih baju cowok ke mas Ardan.” Jawab Rara.
“Mas Ardan siapa? kakak lo?”
“Iya Vi. Gue liat di nametag bajunya, nama yang punya baju itu Gianno Chandra, kira-kira dia murid kelas X berapa ya” gumam Rara.
“Gianno Chandra? Itu mah si Gian Ra, gue kenal kok sama dia. Dia temen SMP sekaligus sahabatnya cowok gue. Gian kelas X.1, sekelas sama Berry” terang Vevi.
“Serius Lo Vi? Vi temenin gue dong balikin bajunya nanti, please.” Pinta Rara pada Vevi dengan wajah memelas.
“Iya iya, gue sms Berry dulu ya buat ngasih tau ke Gian lo mau ketemu sama dia” ucap Vevi sambil mengeluarkan iPhonenya, ia pun mulai mengetik sebuah pesan.
To : Berry❤
Ber, tolong bilangin ke Gian ya. Pulang sekolah nanti ada yang mau ketemu sama dia, mau balikin seragam batiknya Gian.
Send.
Delivered.
“Makasih Vevi manis” ucap Rara sambil mencubit pipi Vevi gemas.
“Iya Ra..” Balas Vevi tersenyum.
Belum sampai semenit.
Drrrttt..drrttt. Masuk balasan sms dari Berry.
“Nih di bales Berry” ucap Vevi membuka sms dari Berry.
“Wih, cowok lo gercep juga Vi. Hehe” tutur Rara cengengesan.
From : Berry❤
Oke Vevi sayang.
…
Vevi senyum tersipu malu, melihat Rara juga ikut membaca embel-embel kata ‘sayang’ dalam balasan sms dari Berry.
“Haha. Biasa aja kali Vi, gak usah merah gitu pipi lo” goda Rara.
“Hehe iya Ra. Ngomong-ngomong, lo udah punya cowok Ra?” Tanya Vevi kepo.
“Cowok gue masih di rahasiain sama Tuhan Vi, alias jomblo. Hehe. Lagian, gue belum pernah pacaran sama sekali.” jujur Rara pada Vevi.
“HAAHHHHHH lo belum pernah pacaran Ra?” suara Wahyu dari belakang mengagetkan Rara dan Vevi.
“Lo dari tadi nguping Yu?” Tanya Vevi geram.
“Iya. Hehe” jawab Wahyu cengengesan, “Yang lo bilang tadi beneran Ra?” Tanya Wahyu serius pada Rara.
“Kalo iya kenapa?” ucap Rara sewot.
“Gue rada gak percaya gitu Ra. Masak Dora yang cantiknya kayak Ariel, gak pernah pacaran sama sekali. Eh jangan Ariel deh, seksi banget. Cinderella aja, bajunya sopan.” Celoteh Wahyu gaje.
“Ada kok kalo mau yang lebih sopan.” Ujar Rara serius.
“Siapa tu?”
“Valak. Puas lo?” Jawab Rara kesal.
“Hiii serem amat sih Ra.”
Vevi hanya tertawa melihat percakapan Rara dan Wahyu. Tampak seorang laki-laki berumur hampir 50an tahun, dengan gaya berjalan agak koboy, masuk ke dalam kelas. Rara dan Vevi langsung bergegas merapikan posisi duduk mereka. Bapak itu mengambil posisi berdiri di depan kelas.
“SElmat pagi anak-anak” dengan logat bataknya yang khas, bapak itu menyapa semua murid di kelas.
“SElamat pagi pak…” Jawab semua murid kompak.
“Eh kok kalian jadi ikutan pulak pakek logat batak kayak saya?”
“Kebawa suasana pak” celetuk asal salah satu murid cowok.
“Hais, ada-ada saja kau ini. Baiklah, pErkEnalkan, nama bapak, Situmorang. Panggil saja Pak Morang. Bapak guru sEjarah di kElas X.” Jelas pak Morang pada semua murid, “sEkarang, bapak mau absEn kalian dulu.”
Pak Morang mulai mengabsen.
….
….
Giliran Rara.
“DORA”
“Saya pak” Takut dimarahi karena seragamnya berbeda, dengan pelan suara Rara menjawab sambil mengangkat tangan kanannya dengan ragu-ragu.
“Eh kEnapa sEragam mu itu bEda dEngan yang lain?” Tanya pak Morang pada Rara.
“Maaf pak, kemarin baju yang tukang jahitnya kasih, ternyata bukan baju saya pak, tapi baju anak cowok.” Jelas Rara dengan muka takut.
“Oh bEgitu..sudah sudah, tak pErlu takut bEgitu muka mu, nanti hilang cantik mu itu Dora.” tutur pak Morang. “Nama kau itu mEngingatkan saya pada cucu saya dirumah, dia itu suka sEkali nonton film kartun, judulnya itu kalo tidak salah ‘Dora Di KEplor’.”
“'Dora The Explorer’ pak” celetuk Wahyu.
“Nah iya, itu maksud saya” pak Morang ngeles. “Baiklah, saya lanjutkan absEn”
Pak Morang pun melanjutkan mengabsen dan memulai perajaran sejarah untuk pertama kalinya di kelas itu sampai jam mengajarnya selesai.
….
Setelah beberapa jam berlalu, 3 mata pelajaran sudah mengisi otak semua murid. Akhirnya bel yang ditunggu-tunggu oleh semua murid pun berbunyi. Waktunya pulang.
“Vi, jadi kan lo nemenin gue ketemu sama cowok yang punya baju ini?” Tanya Rara sambil menunjuk sebuah kantung plastik di tangan kirinya.
“Duh Ra maaf banget, bukan gue gak mau, ini barusan Berry sms gue. Dia minta temenin gue beli kue tart buat ultah mamanya besok.” Ucap Vevi dengan nada merasa bersalah, sambil memegang iphonenya.
“Oh gitu ya Vi.” Tampak wajah kecewa Rara, tapi tidak mau menambah pikiran Vevi, Rara mencoba tegar. “Yaudah, gapapa biar gue sendiri aja. Dimana gue bisa nemuin tu cowok Vi?” Tanya Rara nyengir.
“Kata Berry, Gian nunggu di taman sekolah yang dekat parkiran motor itu loh Ra. Tau kan?”
“Oh..enggak sih. Hehe. Tapi gapapa, nanti biar gue cari” ucap Rara santai.
“Beneran Ra gapapa? Maaf banget ya Ra” tutur Vevi sambil mengelus pundak Rara.
“Iya gapapa Vi, buruan sana samperin Berry. Hehe”
“Iya Ra, dah gue duluan ya. Bye” Vevi pun meninggalkan Rara.
Rara mulai bergegas melakukan pencariannya.
“Oke semangat Ra, kata Vevi ‘taman sekolah dekat parkiran motor’.” ucap Rara dalam hati sambil berjalan menoleh kiri-kanan.
…
….
*******
Sudah hampir 10 menit Gian berdiri di dekat pohon cemara yang ada di taman sekolah
“Mana sih tu cewek, kok gak dateng-dateng.” batin Gian.
….
…
“Gianno Chandra?” Terdengar seorang cewek memanggil namanya.
Spontan Gian langsung menoleh ke arah sumber suara.
Gian terdiam.
“Oh jadi bener lo Gianno Chandra, ni seragam lo ada sama gue, kemaren tukang jahitnya salah kasih.” Jelas cewek itu.
Gian masih terdiam.
…..
“Heii, kok diem? Masak siang-siang kesambet sih” gerutunya sambil mengibas-ngibas tangannya ke depan wajah Gian.
Masih tak ada respon dari Gian.
Matanya tak berkedip.
“Woi!” Teriak cewek itu sekaligus melayangkan sebuah tendangan madun ke tulang kering kaki Gian.
“Awwwww” erang Gian kesakitan, membuat Gian tersadar.
“Lo mesum ya, ngeliatin gue sampe mau copot mata lo!” Ujar cewek itu pada Gian.
“Enak aja lo, kalo ngomong jangan sembarangan. Iya, gue Gianno Chandra. Kenapa?” Ucap Gian nyolot.
Cewek itu menarik nafasnya sepanjang mungkin dan menghembuskannya. “Lo gak denger gue ngomong dari tadi, ini baju seragam lo ada sama gue” jelas cewek itu sambil menarik tangan kanan Gian, memberikan sebuah kantung plastik.
Melihat cewek itu memegang tangannya, Gian gugup. Tapi sebisa mungkin ia mencoba untuk tetap calm. Ketika melihat seragam yang dikenakan cewek itu, pandangannya terhenti pada nametagnya, mata Gian melotot tak percaya.
“D-O-R-A. DORA.”
Iya, dia adalah Dora sekaligus Rara.
Mengingat dugaan Ola kemarin mengenai Dora, “Ola, lo salah 100%” batin Gian dalam hati.
Merasa berada di dalam bahaya melihat sikap Gian yang menurut Rara semakin melampaui batas, Rara langsung melepas tasnya yang lumayan berat dan,
Bukkkk. Ditimpuknya ke kepala Gian.
Gian pun tersadar “Aww!! Lo gila ya. Lo bisa gue aduin ke polisi karena udah melakukan tindakan KDRS, Kekerasan Dalam Rumah Sekolah” ujar Gian nyolot pada Rara.
“Gue punya hak buat melakukan perlindungan dan pertahanan diri dari makhluk berbahaya kaya lo!” Balas Rara tak mau kalah. “Semakin lama gue disini sama lo, keberadaan gue semakin terancam. Mending gue pergi sekarang!” Lanjut Rara sambil beranjak pergi.
“Wei Dor! Ini seragam batik lo ada sama gue.” Teriak Gian sambil bergegas menghampiri Rara.
Rara langsung teringat sesuatu, langkahnya pun terhenti dan menepuk pelan keningnya, “oh iya, gue lupa” ia membalikkan badan.
Gian mengeluarkan sebuah kantung plastik dari dalam tasnya.
Rara pun langsung merebut kantung plastik itu dari tangan Gian dan bergegas pergi.
Langkah Rara terhenti mendadak, dan kembali menghadap ke Gian.
“Gue kasih tau sama lo, nama gue Dora. Gue gak biasa dipanggil Dor!” Ujar Rara sinis.
“Terserah gue dong mau panggil lo apa aja. Mulut-mulut gue. Jadi itu hak gue kalo mau manggil nama lo ‘DOR’!” balas Gian nyolot gak mau kalah.
Rara hanya bisa menarik nafas dan mencoba untuk tetap sabar, malas meladeni Gian lagi, ia pun akhirnya langsung bergegas meninggalkan Gian.
….
……
********
Rara sudah sampai di gerbang sekolah, melihat bundanya belum menjemputnya, refleks ia langsung teringat sesuatu hal.
….
FLASHBACK🔙
….
Kemarin, di perjalanan dari sekolah menuju ke rumah, bundanya menyampaikan suatu hal pada Rara.
“Ra, besok bunda gak bisa keluar kantor. Jadwal meeting bunda full dari pagi sampe malam, jadi besok kamu minta jemput mas Ardan ya Ra, mas Ardan gak ada kuliah kok besok” ucap bunda.
“Oke bun.”
…..
FLASHBACK END.
…
“Astaga, gue lupa bilang ke mas Ardan. Gue juga gak bawa handphone sekarang, disini juga udah gak ada siapa-siapa lagi.” Rengek Rara dalam hati sambil menengok kiri-kanan.
“Gimana caranya gue pulang” mukanya sudah memerah, matanya sudah mulai terasa panas, dan air matanya pun akhirnya menetes. Rara menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis seperti anak kecil. Tiba-tiba..
Ngenggggg…. Cittttttt…
Seorang cowok mengendarai ninja hitam ngerem mendadak di depan Rara. Sambil membuka helmnya,
“Woi! Mau mati lo. Berdiri di tengah jalan”
Terdengar suara cowok yang dikenalnya, Rara langsung mengangkat wajahnya yang sudah banjir air mata.
“elo?! Lo kenapa Dor?” Tanya cowok itu panik. Ya, siapa lagi yang manggil Rara dengan panggilan ‘Dor’ kalo bukan si Gian. Gian langsung melepas helm dan turun dari motornya menghampiri Rara.
“Kok lo nangis gini?” Tanya Gian sambil memegang kedua lengan Rara. Tampak rasa khawatir di raut wajah Gian terhadap Rara.
Tak ada jawaban dari Rara, hanya terdengar suara isakan tangis. Tangan Gian masih berada di lengan Rara.
“Atau gara-gara gue ngomong kayak tadi sama lo, lo jadi nangis gini. Maafin gue, gue gak maksud buat ledekin nama lo, gue cuma pengen cara gue manggil lo beda sama yang lain. Dan menurut gue, panggilan ‘Dor’ gak jelek kok.” Jelas Gian dengan tulus dan merasa bersalah.
“Kok lo jadi melankolis gini sih, lagian gue nangis bukan gara-gara lo. Bunda gue gak bisa jemput, gue juga gak bawa handphone mau ngubungin kakak gue. Gue gak bisa pulang sendirian.” Ucap Rara sambil mengusap air matanya.
Mendengar penjelasan Rara barusan, Gian menghela nafas dan segera menurunkan tangannya dari lengan Rara. Gian langsung naik ke atas motornya dan memasang helm,
“Ayo cepet naik.” Perintah Gian pada Rara.
“Naik kemana?” Tanya Rara aneh.
“Tuh ke atap sekolah. Ya ke motor gue lah”
Seumur-umur Rara belum pernah dibonceng oleh cowok lain selain mas Ardan. Maka dari itu, setiap ada cowok lain yang mau memboncengnya ia selalu menolak, karena tidak terbiasa.
“Enggak. Lagian gue kan baru kenal sama lo, nanti taunya lo punya niat jahat sama gue.” Jawab Rara ketus pada Gian.
“Yaudah, terserah lo!” Gian langsung menghidupkan motornya dan pergi.
Ngenggggg….. Motor Gian pun melaju, dan lama kelamaan sudah tak tampak lagi dari tempat Rara berdiri.
Selang beberapa detik, menyadari Gian pergi meninggalkannya, ada rasa kecewa, sedih dan penyeselan yang menyelinap hati Rara. Merasa putus asa, Rara kembali menangis dan menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba, tidak beberapa lama kemudian.
Ngengggg….citttt.
Spontan Rara mengangkat kepalanya. Seorang cowok yang sempat membuat hatinya kecewa tadi, kembali lagi. Ya, dia adalah Gian. Gian melepas helm dan turun dari motor mendekati Rara
“Kok lo baik lagi?” Tanya Rara bingung.
“Gue gak mau pas besok nonton berita di TV, terus liat lo jadi salah satu korban penculikan, semua orang di sekolah pasti bakal rame ngomongin tentang lo. Dengan orang ngerumpi dimana-mana, bisa berdampak buruk selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Dan pada akhirnya, tingkat konsentrasi gue selama belajar juga bakal terganggu. So, gue yang akan nganter lo pulang sekarang”
Rara hanya bisa menahan emosinya mendengar penjelasan Gian yang membuat dirinya agak jengkel, tapi membuat hatinya lebih tenang.
Melihat tidak ada reaksi dari Rara, Gian mengambil sepotong kayu yang panjangnya kurang lebih 1 meter, tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kemudian Gian meraih tangan Rara, memberikan kayu itu kepadanya
“Nih lo pegang ini”
“Buat apa?” Tanya Rara.
“Kalo lo emang ngerasa takut gue punya niat jahat, ini bisa dijadiin buat pelindung. Pukul gue sekeras-kerasnya kalo gue ngapa-ngapain lo.” Ucap Gian meyakinkan dan memberikan kayu itu ke tangan Rara.
Rara terdiam, mengerutkan dahi.
“Udah, buruan naik.” Ucap Gian sambil melepas helm yang ia pakai, dan memasangnya di kepala Rara lalu menutup kacanya, “Buat nutupin muka lo, gue gak mau orang ngeliat mata lo bengkak abis nangis, terus mikir gue abis ngapa-ngapain lo.” Gian pun naik ke atas motornya.
Rara membuang kayu yang diberikan oleh Gian tadi, dan menyusul Gian naik ke atas motor “Dasar bawel, buruan jalan.” Ucap Rara sambil menepuk pundak Gian pelan.
Gian menghidupkan motor dan mulai menggasnya.
……
……..
********
To be Continued.
1 note
·
View note
Text
Beruang Hitam Mini
Semacam ‘peluk’ dari mereka yang believe it or not bisa baca energi kita dan kasih penghiburan
Kalimat diatas langsung Nahda rasakan sendiri ketika masa-masa bedrest dirumah selama 2 tahun.
Tahun 2019, ada keputusan dokter yang sulit Nahda terima, “sekarang ngejernya ijabsah aja ya, ga usah ijazah”. Deg! setelah denger kalimat ini, Nahda diam membisu selama beberapa hari, bingung harus apa. karena cita-cita perawat itu sejak SMP sudah Nahda pikirkan dan impikan. Setelah itu, Nahda harus mengajukan surat pengunduran diri, surat yang sebenarnya ga pernah mau Nahda buat.
Dokter membuat keputusan itu karena luka post op Nahda yang belum sembuh, karena itu banyak aktivitas yang terhambat dan istirahat yang lebih banyak. Buat sebagian orang keputusan itu simpel, tapi buat Nahda, itu masa-masa penerimaan paling sulit.
Umi udah frustasi ngeliat anak pertamanya ini yang bengong, melamun dan diam setiap hari, “semoga kakak segera dapat suami ya, yang bisa bikin kakak seneng dan bahagia terus” kalimat yang sering Umi keluarkan kalo lagi merawat luka post op Nahda. Tapi Nahda belum butuh itu, karena Nahda yakin semua orang ingin mendapatkan pasangan yang sehat dan kondisi sedang baik. Disaat Umi berdoa seperti itu, Nahda cuma pingin berdoa “Nahda butuh temen yang bisa ada buat Nahda, temen yang tulus, Nahda butuh kucing buat temen saat ini”
Singkat cerita, Nahda dipertemukan dengan kucing saat jalan pagi, kucing berbulu tebal hitam mengkilat, bulu agak hitam coklat di bagian perut, hidung pesek, dan mata bulat kuning. karena sudah dua kali ketemu, dengan kondisi kucing hitam itu mengais-ngais tempat sampah, Nahda coba bawa kerumah, untuk dikasih makanan kucing sisa kucing Nahda dulu. Awalnya Umi menolak, karena kucing hitam itu kondisi bulu yang berantakan, mata yang belekan dan kuping berjamur. Tapi kucing hitam itu rajin setiap pagi kerumah buat minta makanan kucing, lama-lama kucing itu berani mendekat dan tidur di teras rumah.
Seminggu kemudian, kami beri nama kucing itu “Item”, karena bulunya yang hitam mengkilat. Hitam lucu, baik, manja, empati dan tenang. Nahda dari dulu selalu memelihara kucing, tapi baru kali itu menemukan kucing dengan karakter yang friendly. Jika item dirumah, setiap pagi atau Nahda kesakitan, item nemenin Nahda perawatan luka. Tangan Item bakal nyentuh badan atau muka atau rambut Nahda, semacam energi sabar buat Nahda. Item bakal nemenin Nahda terus, sampai perawatan luka selesai, atau tidur disamping Nahda.
Ga hanya sedang perawatan luka aja, kadang Item nemenin Nahda kalo Nahda tiba tiba nangis atau sendirian di rumah. Item suka mengeong setiap pagi, setiap minta jatah makanan. Tiap malam, Item suka tidur diantara Umi sama Abi. Item suka ajak temen-temen kucingnya buat main kerumah, iya minta jatah makanan buat ke temennya.
Sekarang Item udah ga dirumah ini lagi, Item di curi orang. Sedih banget waktu itu, karena Item jadi salah satu penyemangat Nahda saat dirawat. Item juga udah sehat, bulunya sudah bagus, ga pernah belekan lagi di matanya, badannya juga besar seperti beruang hitam mini. Kangen banget sama Item. berharap ada yang rawat Item dengan baik dan penuh kasih sayang..
1 note
·
View note
Text
LEXICON
lex•i•con /ˈleksiˌkän,ˈleksiˌkən/
noun the vocabulary of a person, language, or branch of knowledge. a dictionary
Denallie Ginevra Sadmego Kerap disapa dengan Allie, puan kelahiran Jakarta 31 Juli 1988 ini terlahir dengan rambut hitam nan tebal, mata berwarna coklat tua, serta berat tiga kilo. Anak sulung dari pasangan Batara Sadmego dan Agni Drisana ini tumbuh menjadi wanita yang didambakan oleh kedua orangtua.
Sejak kecil Allie di didik menjadi mandiri oleh sang Bapak. Berlatar belakang seorang TNI, menjadikan Bapak sosok kepala rumah tangga yang sangat disegani. Meskipun begitu, Bapak berbeda dengan yang lainnya. Memang disegani, namun Bapak merupakan sosok lelaki humoris dan ceria, bahkan terkadang bisa lebih bawel dibandingkan Ibu.
Sedangkan Agni merupakan sosok Ibu, sekaligus wanita yang sangat amat tangguh. Seorang mantan sekertaris pengacara yang merelakan karirnya untuk mengurus suami dan kedua anaknya. Dibandingkan dengan Batara, Allie dan Edrea banyak menghabiskan waktu dengan Agni. Menjadi seorang TNI, membuat Batara mesti absen dari aktivitas dirumah.
Allie dibesarkan dikeluarga yang sangat harmonis, kasih sayang kedua orang tuanya tak pernah lekang oleh waktu. Ibu merupakan sosok yang penyayang, selalu mengedepankan kedua anaknya di atas apapun.
Allie bekerja sebagai seorang Art Director di salah satu majalah fashion terkenal, Harpers Bazaar untuk Indonesia dan memiliki agensi periklanan lokal. Karirnya dimulai saat ia berusia duapuluh tiga, tak lama setelah ia lulus perguruan tinggi. Allie, meniti karir dimulai dari seorang anak magang dan sejak saat itu, Allie mendedikasikan hidupnya untuk bekerja, demi membanggakan dan menaikkan derajat kedua orang tua.
Selama bertahun-tahun lamanya, prioritas hidup Allie adalah pekerjaan, keluarga, dan dirinya sendiri, hingga seorang tuan bernama Satria Dewangga, hadir dalam hidupnya.
Melewati segala perdebatan panjang, Angga adalah satu-satunya lelaki yang berhasil membawa Allie ke pelaminan. Cinta Angga pada Allie berhasil meruntuhkan pertahanannya selama bertahun-tahun.
Meski begitu, Allie tetaplah Allie. Lama hidup sendiri, membuat Allie tidak terbiasa hidup bergantung dengan orang lain, terlebih pada Angga. Allie, bisa melakukan apapun sendiri.
Namun, pernikahan yang idam-idamkan justru berbanding terbalik dengan harapan. Beragam terpaan badai, mulai datang satu persatu. Buah bibir orang sekitar mulai mempertanyakan kapan keduanya dianugerahi buah hati.
Angga yang sangat menginginkan sebuah keluarga, dan Allie yang merasa belum pantas membangun sebuah keluarga yang lengkap. Seperti kutub Utara dan Selatan, keduanya mulai berlawanan satu sama lain, hingga akhirnya sebuah panggilan suara mengucapkan kalimat yang seharusnya dilontarkan sedari lama.
✦✦✦
Melalui ribuan halaman dari kamus hidupnya, Allie berharap dapat memberikan gambaran penuh akan hidupnya yang penuh suka cita, dengan cinta, kasih sayang, amarah, canda, dan juga tawa.
Ribuan halaman ini akan menceritakan tentang apa yang belum pernah ia ceritakan. Rumit, tapi indah. Ia mengakui itu.
Jadi, sudikah untuk menjadi saksi hidupnya?
─────────SELESAI. 2021, of Noirette
0 notes
Text
Alnature Sameer Hair Serum Penumbuh Rambut Brewok Botak Penghilang Uban Alami
Alnature Sameer Hair Serum Penumbuh Rambut Brewok Botak Penghilang Uban Alami
ALNature Sameer Hair Serum diperkaya dengan bahan-bahan alami serta diformulasikan khusus untuk rambut. Membantu melembabkan rambut, menyuburkan rambut, menguatkan rambut dari akar dan juga membantu dalam perawatan rambut rontok.
Sammer Hair Serum bekerja dengan cara membantu menutrisi kulit kepala agar tetap sehat dan lembab serta melindungi pigmen warna rambut dari kerusakan, sehingga nantinya sel-sel kulit kepala dapat menghasilkan rambut baru dan membuat rambut menjadi sehat ternutrisi, hitam, kuat dan bebas dari uban.
Komposisi :
✅ cocos nucifera oil
✅ olea europea oil
✅ aleurites mollucana extract
✅ simmondsia chinensis (jojoba) seed oil
✅ eclipta alba extract
✅ argania spinosa (kernel) oil
✅ tocopherol phenoxyethanol
Manfaat ALNature Sameer Hair Serum
✅ Aman di gunakan oleh semua kalangan dari mulai bayi, anak anak dewasa dan orang tua (tanpa efek samping)
✅ Menutrisi pigmen kulit kepala
✅ Menjaga Kehitaman Rambut dan mencegah uban
✅ menumbuhkan, menyuburkan dan merawat rambut, alis, brewok, jambang, kumis, jenggot
✅ menguatkan akar dan mengatasi kerontokan rambut
✅ merawat dan memperbaiki rambut yang rusak akibat sering di blow, catok, smoothing, semir, keriting atau terkena kimia lainnya menjadi hitam berkilau dan halus kembali
✅ terbukti sangat ampuh dan aman untuk anak-anak untuk mempercepat pertumbuhan rambut yang hitam, tebal dan sehat berkilau sejak dini
✅ mencegah tumbuhnya uban
✅ menyuburkan dan mempercepat panjangnya rambut
✅ menebalkan, menghitamkan dan mengkilapkan rambut
✅ mengatasi ketombe dan mencegah rambut bercabang
Cara Penggunaan :
Tuangkan ALNature Sameer Hair Serum, oleskan secara merata pada rambut dan kulit kepala sambil dipijat ringan, lakukan secara rutin 2 kali sehari setiap habis mandi untuk hasil yang maksimal
Pesan Wa: +62 812-8709-3466
Klik : https://elnature.id/
0 notes
Text
(Dokumentasi) Tip Membuat Karakter Fiksi yang Memorable
Karakter tokoh merupakan salah satu elemen penting yang jadi fondasi cerita.
Sebelum membahas seperti apa sih karakter tokoh yang memorable, kita uraikan dulu apa itu karakter. Karakter berbeda secara pengertian dengan tokoh. Menurut KBBI, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain atau bisa juga disebut watak. Sedangkan tokoh adalah rupa atau bentuknya sebagai manusia. Tokoh memiliki karakter yang membedakan satu dengan yang lain, punya peran yang berpengaruh pada cerita, sekecil apa pun.
Kita mengenal tokoh protagonis dan antagonis. Protagonis yaitu tokoh utama dalam cerita, nggak selalu harus baik. Kalau nggak ada tokoh ini maka cerita nggak akan berjalan. Antagonis juga nggak selalu jahat, tetapi menentang tujuan tokoh utama. Contoh, misalkan di film Joker, si Joker ini protagonis meskipun dia jahat, karena kalau nggak ada si Joker maka ceritanya nggak ada. Beda lagi jika Joker munculnya di film Batman. Maka protagonisnya berubah jadi Batman sedangkan Joker masuk tokoh antagonis. Kalau dalam materi B. Indo kita mengenal lagi istilah tritagonis yaitu tokoh pembantu atau penengah yang biasanya muncul di akhir cerita (Wikipedia).
Selain ketiga jenis tersebut, ada juga istilah hero atau villain. Hero adalah tokoh yang baik, sedangkan villain tokoh yang jahat. Hero dan villain ini bisa saja menempati peran protagonis atau antagonis, yang nanti bakal memunculkan istilah oplosan: hero protagonis, hero antagonis, villain protagonis, dan villain antagonis. Pengertian masing-masing bisa teman-teman campurkan saja sama yang sudah saya jelaskan di atas ya. Tapi memang kita lebih sering menemukan tokoh yang hero protagonis dan villain antagonis sehingga kebanyakan kita jadi menganggap kalau protagonis itu pasti baik dan antagonis pasti jahat.
Sekarang kita lari ke karakter. Seperti yang saya jelaskan di awal, karakter ini adalah watak yang dimiliki tokoh-tokoh rekaan kita. Entah itu tokoh antagonis maupun protagonis. Karakter ini yang menjadikan mereka khas dan berbeda sehingga mudah diidentifikasi. Seperti halnya manusia asli, tokoh juga harus dibuat seperti itu. Tokoh rekaan yang baik memiliki beberapa dimensi: dimensi 3, dimensi 4, dan dimensi 5. Dimensi 3 menyangkut realitas yaitu kedaan fisik, pekerjaan, keluarga, sosial, budaya, kebiasaan, segala hal yang dimiliki si tokoh secara fisik dan kelihatan di mata. Dimensi ke-4 menyangkut spiritual. Tokoh-tokoh yang sudah masuk 4d akan sadar bahwa di luar dunia fisik ada sesuatu yang lebih tinggi. Mereka mungkin masih bingung, tapi pikiran-pikiran mereka sudah mengarah ke sana. Kalau dalam istilah, tokoh-tokoh seperti ini sudah mengalami yang namanya spiritual awakening. Mereka lebih mencari jati dirinya dan mempertanyakan banyak hal. Tokoh-tokoh 4d ini banyak kita temui di sastra ya. Sedangkan untuk dimensi ke-5, tokoh-tokoh yang sudah masuk dimensi ini sudah menyembuhkan luka-luka yang mereka dapatkan di masa lalu. Mereka sadar memiliki kekuatan dan bisa menciptakan realitas mereka sendiri. Biasanya sudah bijaksana dan tercerahkan sehingga mampu membantu orang lain.
Dalam fiksi, tokoh 3d, 4d, dan 5d ini bisa kita padukan penggunaannya. Kita bisa membuat satu tokoh masih di 3d, tokoh lain 4d, dan lainnya 5d. Seperti halnya dalam hidup saja. Nggak semua orang sama, kan? Penggunaan tingkatan ini akan membuat perbedaan atau ciri khas yang membuat cerita yang kita bawakan lebih kaya dan memikat. Sesuatu yang lebih detail dan dijelaskan dengan baik tentunya lebih memikat.
Terus, bagaimana cara menerapkannya?
Sebenarnya nggak sesulit pengertiannya. Kita bisa membuatnya lebih simpel dengan perincian yang mudah dimengerti dan sesuaikan dengan kebutuhan. Misalkan, kamu butuh cerita yang tokohnya lebih cocok hanya dengan karakter 3d. Boleh saja. Kamu bisa menuliskan mulai dari bentuk tubuhnya seperti apa, warna matanya apa, pekerjaannya apa, orang tuanya bagaimana, dll—tanpa menyentuh state 4d dan 5d-nya pun bisa. Novel-novel genre populer biasanya seperti ini. Dan memang di ranah ini pun segala hal tetap bisa kita ceritakan dan pembaca nggak akan sadar kalau kita memang maunya menceritakan tokoh kita hanya sampai state itu. Tapi … tokoh yang dieksplor secara 3d ini juga butuh banyak hal untuk membuatnya tampak realistis hidup.
Kita ibaratkan manusia saja. Apa cukup hanya bergerak berdasarkan punya keluarga, punya pekerjaan, punya hewan peliharaan misalnya. Saya rasa sih nggak cukup. Kita perlu motif yang menggerakkan tokoh itu untuk melakukan sesuatu. Si tokoh ini punya otak dan perasaan. Punya pengalaman yang membentuk dirinya yang sekarang. Punya kenangan, harapan, cita-cita, segala macam yang saat ini kamu miliki sebagai manusia asli. Semua hal itu pada bentuk tunggalnya kita sebut kepribadian. Kepribadian ini yang merupakan ciri khas setiap individu.
Kita banyak mengenal teori atau pendapat yang kemudian disederhanakan menjadi tipe-tipe kepribadian yang bisa mudah kita akses tesnya di internet. Sebut saja MBTI, DISC, karakter tempramen, dll. Ada INTJ, ENTP, ISFJ, atau koleris, sanguinis, plegmatis, dll. Teori-teori yang bertebaran ini bisa kita manfaatkan dalam penulisan tokoh fiksi untuk penyempurnaan 3d-nya. Setiap tokoh akan punya reaksi yang berbeda sekalipun dihadapkan pada situasi serupa. Mungkin sekelompok orang tampak ketakutan saat bertemu bahaya. Akan tetapi, isi pikiran dan hati masing-masing orang ini tentunya akan berbeda. Ada yang memikirkan kekasihnya, utangnya, ada yang memang ingin mati, dan lain sebagainya.
Dari sini kita akan bertemu SEJARAH TOKOH yang isinya pengalaman sedih, bahagia, traumanya, mimpi buruknya, fobia, kalau dipreteli satu per satu akan banyak sekali. Karena itu, di balik satu tindakan seorang tokoh dalam novel ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi. Kamu nggak bisa bikin tokoh yang fobia ketinggian tiba-tiba naik ke bianglala dengan santai tanpa drama yang bikin dia merasa hampir mati. Kalau antara sejarah tokoh dan tindakan yang si tokoh ambil nggak sinkron—bisa dikatakan kamu gagal membuat tokoh itu hidup. Bahkan kesannya akan hole. Pembaca nggak bodoh. Ingat itu.
Bagaimana sih agar tokoh yang kita buat mudah diingat oleh pembaca?
Rencanakan tokoh rekaanmu dengan baik.
Saya tadinya mau tulis dengan matang tapi nggak jadi. Saya yakin, soal matang itu bisa terjadi seiring waktu. Karena kematangan di sini masuknya ranah apakah si tokoh sudah dewasa pola pemikirannya atau belum. Jadi dengan baik aja. Maksudnya di sini adalah, kamu sudah mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada si tokoh. Mulai dari fisik sampai hobi, warna kesukaan, dll.
Kamu bisa membuat daftar yang memuat karakteristik si tokoh. Serinci mungkin kalau memang kamu mau. Kamu bisa tuliskan hal-hal yang sekiranya kamu butuhkan. Di bawah ini saya beri contoh daftarnya, ya.
Nama Prancis : Narsha Francois
Nama Korea : Kang Yeon Hee
Nama Ayah : Kang Sung Joon (Musisi)
Nama Ibu : Selene Francois (FD)
Kewarganegaraan : Prancis
TTL : Seoul, 1990
Usia : 26 Tahun
Tinggi/Berat : 169cm/49kg
Zodiak : Cancer
Goldar : O
Profesi : Perancang Busana / wakil CEO FS Mode
Pendidikan : Sekolah Mode Paris
Pindah ke Paris : Saat usia 8 tahun
Karier : Sukses
Anak ke : Tunggal
Mata : Agak besar, bentuknya mirip elang. Dalam penuh fokus. Memancarkan ketajaman dan ketakutan di waktu bersamaan. Memandang setiap orang seolah tak percaya pada siapapun.
Warna kulit : Putih langsat
Rambut : Tak pernah tersentuh cat. Hitam berkilau dengan ujung bergelombang. Poni sepanjang dagu yang seringkali dibiarkan tergerai dan disibakkan asal-asalan. Lebih suka digerai daripada diikat. Jika pergi bekerja, ia menjepit poninya dengan jepit berwarna perak beraneka bentuk, seperti mahkota kecil.
Bibir : bibirnya tak tebal tak juga tipis, proporsional dengan bentuk hidungnya bagus. Dia seringkali mengenakan lipstick berwarna tea rose. Hanya satu warna itu. Jarang tertawa lepas. Senyumnya selalu singkat dan misterius.
Penampilan : Terkesan tegas dan menggambarkan seorang gadis mandiri yang teguh pendirian.
Style : Karena dia adalah trendsetter, dia seringkali terlihat mengenakan dress yang anggun. Pintar memadu padankan pakaian. Lebih senang mengenakan warna-warna gelap.
Pembawaan : Pemarah, dingin, sinis, memendam keinginannya yang sudah lama ia rindukan. Kisah masa lalunya membuatnya menjadi seorang gadis yang teguh dan tak mudah percaya pada orang tetapi diam-diam begitu kesepian. Pemegang sabuk hitam karate. Memiliki banyak senjata di apartemennya.
Sifat : Berpendirian kuat. Tak mudah goyah, tak mudah percaya, sulit diyakinkan, pandai bela diri, pemberani, berkarakter, suka mengabaikan jika tak ingin mendengar, tak sabaran. Di sisi lain, rapuh, kesepian dan rindu dirinya yang dulu.
Tujuan Hidup : Mencari siapa pembunuh Ayahnya, melindungi FS Mode dan Ibunya serta mencari jati dirinya.
Hambatan hidup : Ego, rasa takut dan cinta.
Cita-cita : Pianis
Impian : Menjadi dirinya sendiri, menjalankan hidup sesuai kehendak hatinya.
Cara bicara : Jujur apa adanya. Realistis. Tak bicara yang tidak diperlukan.
Kebiasaan : Memicingkan mata seolah mencurigai lawan bicaranya. Menghindari segala hal berbau Korea dan musik. Membawa pistol di tas tangan ke mana pun pergi. Menyimpan benda-benda tajam dan senjata di apartemennya. Dia hanya bisa masak masakan Eropa.
Julukan : Gadis pemarah.
Pakaian sehari-hari : Celana panjang dan baju longgar.
Dia di mata orang lain : Menyebalkan, pemarah, cuek, begitu disiplin, pantang menyerah, mudah curiga.
Kendaraan : Mobil dengan sopir atau taksi. Lebih sering pergi ke mana pun sendirian.
Tempat fav : La Proche, puncak menara eiffel, pont des arts bridge.
Min+Mak : Sampanye. Dia menyukai makanan pedas. Tak suka diajak makan di restoran Asia.
Warna : Hitam, silver.
Hal yang disuka : Menikmati sebotol sampanye sampai mabuk. Mendengarkan musisi jalanan di jembatan gembok cinta.
Hal yang dibenci : Berhubungan dengan segala hal yang berbau Korea.
Hal yang ditakuti : Kegelapan, suara alunan piano di tempat yang gelap, dia benci setiap kali di rumah sendirian.
Band/Penyanyi Fav : Tak menyukai musik, tetapi setelah melihat Seo Joo, ia suka setiap kali Seo Joo memainkan pianonya.
Film : Tak suka film roman. Tak suka film horor. Dia suka film bergenre fantasi.
Jika bersalah : Ia akan langsung minta maaf tanpa ragu.
Jika menginginkan sesuatu : Ia akan mengejarnya sampai dapat.
Jika dalam kondisi kalut : Marah dan menangis di waktu bersamaan. Dia tak segan mengatakan apa yang diinginkannya, kemudian melakukan segala hal yang dianggapnya benar untuk mencapainya.
Dalam keadaan tertekan : Menyendiri sementara waktu untuk memikirkan solusi terbaik. Tapi dia tak pernah lari dari masalah.
Nah, beberapa penulis menggunakan daftar lengkap seperti itu untuk mengidentifikasi tokoh mereka. Tapi, apakah memang harus selengkap itu dan kita jadikan pegangan yang nggak boleh bergeser? Jelas enggak. Pembuatan daftar seperti itu secara praktek sebenarnya membuat kita lebih mengenal si tokoh. Bahkan ada juga dibuat percakapan antara penulis dan si tokoh dengan tujuan agar penulis lebih mengenal si tokoh dan memperlakukannya seperti manusia asli. Saya pernah membuatnya. Masih di cerita yang sama. Silakan disimak.
Q : Hai Narsha, apa kabar?
A : Selama ini aku baik. Terima kasih sudah bersedia hadir menyapaku. Tapi maaf sekali, aku sibuk. Jika ada yang ingin disampaikan, silakan bicara dengan sekretarisku.
Q : Oh, Oh, sabarlah sedikit. Bantu aku. Aku sangat membutuhkan bantuanmu. Sebenarnya, tujuan hidup kamu apa sih?
A : Harusnya kau tanya pada dirimu sendiri. Kenapa kau menciptakan aku? Bukankah kau menciptakanku karena ingin menunjukkan betapa tersiksanya ketika menjalani hidup yang bukan kau mau?
Q : Ah ya, kamu benar. Ketika pertama kali menulis kisahmu, aku berpikir tentang masa-masa SMA-ku. Aku menjalani kehidupan yang bukan aku mau.
A : Kenapa justru kau yang mengadu padaku? Jika tak ada yang penting, biarkan aku pergi.
Q : Oh, ayolah. Aku mulai ingat kau ini bukan orang yang bisa lama berbasa-basi. Baiklah, aku akan bertanya lagi. Mengapa kau begitu ingin tahu kebenaran mengapa ayahmu meninggal?
A : Karena aku tak bisa menemukan artikel tentang kematian ayah di internet. Sejauh ini aku mencari-cari dan semua artikel mengatakan bahwa ayah pindah keluar negeri dan tak pernah ada kabar. Padahal jelas aku tahu ayah meninggal. Kenapa ibu menyembunyikan kematian ayah dari publik. Aku sungguh ingin tahu.
Teknik di atas berguna kalau kamu merasa sulit mendalami karakter tokohmu. Dari percakapan imajiner itu, kamu bisa mencari sudut pandang yang kira-kira cocok untuk menceritakan kisah tokoh tersebut.
Apakah harus seperti itu?
Nggak. Itu hanya salah satu cara. Jujur, naskah di atas yang saya rinci sedemikian rupa sampai sekarang justru belum selesai. Tapi naskah yang hanya saya rangkai dalam hati justru lebih cepat selesai. Intinya adalah kita merangkai, entah itu dalam bentuk tertulis atau hanya dalam pikiran. Pada dasarnya, setiap hari kita mengumpulkan informasi dari hidup dan itu sumber yang nggak terbatas. Karakter-karakter yang terbangun dari sana cemderung lebih hidup dan kuat, meski mungkin nggak selengkap penjabaran secara tertulis.
Jadi, saran saya, tetap tulis rincian yang mungkin kamu butuhkan supaya nggak lupa. Selebihnya, dari sisi psikologinya kamu bisa ambil dari pengalaman-pengalaman kamu maupun orang-orang yang kamu kenal.
Jabarkan Bentuk Fisik Ketika Berpengaruh ke Pola Cerita
Saya banyak ketemu fiksi dengan penjabaran bentuk visual saja. Contoh, si A adalah seorang cowok ganteng dengan alis tebal, bibir penuh dan senyum menawan. Apa menurut kamu penggambaran seperti itu ngaruh? Buat saya sih enggak. Saya bahkan nggak bisa bayangin bentuk visual kalau hanya dijabarkan dengan kata-kata umum seperti itu. Yang khusus pun susah. Misal bibirnya sumbing, rambutnya ungu—itu nggak pengaruh ke saya. Jadi, ketika membaca saya lebih mengingat sifat atau ciri khas karakter itu. Misalkan, dia seorang guru yang suka mencuri. Bold saya hanya di situ karena itu yang pastinya pengaruh ke cerita.
Saya tahu, nggak semua pembaca seperti saya. Tapi pasti banyak juga yang seperti saya. Jadi, tugas penulis yang berat itu menarik minat pembaca-pembaca tipe cuek seperti saya ini. Karena nggak mudah. Segala sesuatu bisa mereka komentari. Pembaca penurut akan mengikuti kalau kita berhasil ambil hati tipe pembaca seperti ini.
Jadi, bagaimana cara agar penjabaran kita pengaruh ke cerita dan nggak hanya sekadar tempelan? Intinya adalah, ketika menjabarkan tokoh, jangan biarkan alurmu berhenti. Tetap jalankan. Jangan deskripsi itu membuat si narator jadi stuck dan alur terhambat. Jabarkan dalam konteks menceritakan tentang sesuatu yang saat itu sedang terjadi. Contoh lain bisa teman-teman lihat novel Pelik karangan Bunda Ary Nilandary. Di pembukaan itu saya suka bagaimana cara beliau menggambarkan tokohnya.
Kalau kamu punya pendapat lain, silakan berbagi padaku.😘
0 notes
Text
3. Lucid Years
Masa itu dimulai pada sebuah September, ketika kampus MIT merona merah dalam semangat awal semester musim gugur. Suatu hari dalam susunan awal rumah Lego milik Will yang tinggi.
Ia pasti sudah kenal betul setiap sudut jalan itu, kata Nicolas. Will mudah mengingat, dan ia pengingat yang baik. Ia akan turun dari asrama Baker, dan mengambil Amherst yang lurus membentang ramping di tepi sungai Charles. Musim panas telah usai dan matahari turun lebih cepat, tetapi para mahasiswa masih senang berlama-lama di sepanjang setapak di tepinya. Pepohonan yang berbaris di antara jalan dan tepi sungai telah mengering, daun-daunnya jatuh berserakan di jalan. Poplar, siprus, sycamore--dengan akar yang menjalar hingga ke dalam sungai dan tertutup kabut tipis yang dingin. Harvard akan kembali mengirim tim dayung ke sebuah turnamen internasional di akhir tahun, perahu-perahu mereka melewati barisan pepohonan itu setiap hari. Menyusuri sungai, statis dalam ritme kecepatan sapuan lengan-lengan dayung yang pasti dan suara riak air yang khas setiap menitnya, kian ke hilir.
Will telah hadir di asrama Baker MIT sekian lama sebelum hari itu, jauh sebelum orang-orang mengenalnya.
Ia akan berbelok, melintasi halaman auditorium Kresge dengan atapnya yang melengkung dan berkilau memantulkan langit. Hari itu ia rapi dalam kemeja lengan panjang berwarna abu-abu. Sehelai jas hitam yang terlipat menggantung di tangan kanan, ransel hitam dan pipa Rotring manggantung di bahu kiri. Daun-daun repih di bawah langkahnya, hampir terdengar berirama. Koor latihan rutin mingguan paduan suara mahasiswi jurusan bergema pelan di sepanjang halaman itu, hari itu mereka membawakan sebuah gubahan milik Bob Dylan. Gemanya bergulir halus dan perlahan-lahan menghilang begitu ia mencapai tepi ruas abu-abu Mass. Ave. Will menyeberang, lalu berhenti sejenak dan mengantre di bawah kanopi hijau konter penjual kopi.
Laki-laki di belakang konter itu seorang Meksiko, selalu menyapanya dalam bahasa Spanyol yang nyaring, bueños dias, qué té gustaria? Jawab Will, dos Americanos, por favor. Muchas gracias. Setelah itu ia menyampirkan jas hitamnya di lengan, menenteng nampan holder berisi dua cangkir kopi di tangan yang sama, kemudian kembali masuk ke dalam gang-gang kecil yang dingin menuju Great Dome.
Nicolas menantinya di tangga gedung.
Ia membungkuk dengan wajah tersembunyi di balik surat kabar The MIT Tech yang terbuka penuh satu halaman. Enggan mendongak, meski Will tahu bahwa ia tahu bahwa Will sudah di sana. Nicolas sendiri. Tanpa Chiara, tanpa timnya. Will hadir terlalu awal. Namun biar hujan badai sekalipun, Nicolas akan selalu lebih dulu. Demikian, sejak mereka lahir.
“Selalu sampai duluan. Itu koran hari ini?” sapa Will. Ia menjatuhkan ransel di anak tangga, menurunkan pipa dari bahu, mengulurkan satu cangkir kopi sebagai barter dengan surat kabar. Nicolas mengulurkan surat kabar, menggantinya dengan kopi, tetapi yang pertama kali ia buka dengan penuh semangat adalah klep penutup pipa. Ada sekilas rasa bangga yang mengikuti gerak-gerik itu. Will tahu, tak terlalu sulit dibaca.
“It’s not a competition. Udah gue bilang naik shuttle aja. Jangan jalan kaki,” ujar Nicolas, sambil menunjuki kancing kemeja abu-abu Will yang terbuka di bagian dada. “Button up, please.”
Will dengan patuh mengancingi kemejanya. “Gue lewat Kresge. Chester mau taruhan lima puluh dolar, paduan suara mahasiswa bakal nyanyi apa buat acara fakultas bulan depan. Dia bilang Nirvana. Gue bilang Radiohead.”
“Queen,” sahut Nicolas.
“No way,” Will tertawa, memasukkan lengannya satu per satu ke dalam jas hitam yang ia bawa. “Mereka sudah bawain Queen tahun lalu, kata Chester. Satu album.”
“I’m game, then. And welcome to the Great Dome, brother.”
Ia berdiri sambil memikul kembali pipa milik Will, dan mereka mendaki sisa anak tangga menuju lobi gedung. “Simbol dan kebanggaan MIT, dibangun mengikuti versi adaptasi Thomas Jefferson dari kuil Pantheon. Arsitek dan insinyurnya juga alumnus kampus ini, tim dipimpin--”
“Bosworth,” tukas Will.
Sunyi yang hadir berikutnya hanya sesaat, tetapi menganga cukup lebar dan hanya terisi oleh suara napas mereka ketika keduanya mencapai tepi selasar gedung. Dua pasang kaki itu menyeberang, dan Will masih merasakan tatapan kakaknya sebelum ia berbicara lagi.
“William Welles Bosworth,” lanjutnya, mendengarkan tekanan suaranya sendiri yang sedikit terlalu keras pada nama depan yang akrab itu. “Membangun Great Dome, 1916. Been here before, Nick. It’s a library.”
Nicolas memalingkan wajah, mengangguk mengerti. “Great.”
“A few times.”
Ia menunggu saat-saat ini selama bertahun-tahun. Untuk berada di dekat Nicolas lagi, merasakan kekuatan yang datang begitu saja dari keberadaannya. Will masih mengingat tahun-tahun terdahulu ketika pengakuan dari Nicolas masih berarti segalanya--tahun-tahun itu terasa belum bergitu jauh. Hari-hari seperti pertama kali ia di sekolah dasar, hari-hari pertama setiap ia memasuki sekolah yang sama dengan Nicolas. Anak-anak lain tak seperti mereka, tak ada yang begitu. Anak-anak lain tak menunggu di muka pintu kelas agar kakak mereka hadir dan mengajak bermain di jeda istirahat. Anak-anak lain tak bermain dengan saudara mereka di sekolah, mereka sudah cukup saling membenci selama di rumah. Nick tak sama. Nick bergegas mencari Will setelah bel pertama usai kelas, memastikan dirinyalah yang pertama ditemui Will begitu pelajaran berakhir.
William aman selama Nicolas ada.
Sisa-sisa kenyamanan masa kecil itu seolah memantul di tiang-tiang tiruan kuil Pantheon yang berjajar di sisi mereka sepanjang selasar gedung. Masih terasa sama, meski belasan tahun telah lewat dan kini tubuhnya bahkan telah tumbuh melewati tinggi tubuh Nicolas. Will menoleh untuk mendapatkan gambaran dirinya, merasakan kemiripan mereka yang membuatnya bangga. Ia membiarkan dirinya sejenak menikmati ketenteraman itu lagi, sebelum sepasang mahasiswi memapasi mereka dan menatap keduanya bergantian.
Will pun menurunkan pandangan, mengangkat surat kabar dan memindai tajuk berita di halaman depan. “Are we not supposed to be seen together?” bisiknya. “Terutama di sini.”
Nicolas menyesap kopi dalam diam. Uap hangat mengaburkan lensa kacamatanya segera. “Hanya hari ini. Nggak apa-apa.”
“Ah, iya. Kartu akses,” William merogoh saku, dan mengulurkan sekeping persegi plastik mika berwarna biru. Foto Nicolas tercetak di sana, diambil ketika ia seusia Will sekarang. “Gue mungkin pulang malam banget.”
“Keep it,” tukas Nick. “Gue mungkin nggak pulang.”
Sejumlah mahasiswa mendorong pintu gedung dari dalam, keluar dan memenuhi selasar dalam celotehan ringan sehingga keduanya menyingkir ke tepi. Beberapa di antara mereka mengenal Nicolas. Will mendapati tatapan-tatapan bingung terangkat ke arahnya, yang mengira bahwa dirinyalah yang mereka kenal. Tatapan seperti itu mulai terasa familier. Ia membalikkan punggung, sementara Nicolas telah turun lagi sejauh satu anak tangga.
“Namanya Serkin,” ujar Nick pelan, memandang ke seberang bahu Will dan membalas sapa para mahasiswa dengan anggukan singkat. “Benjamin Serkin. Gue udah cerita tentang lo, he’s probably texting you right now.”
“Wait, you’re not coming in?”
Ini akan menjadi yang pertama, setelah begitu lama. Sekilas Will teringat pada tahun terakhirnya di sekolah dasar, ketika ia harus kembali ke tempat yang sama setiap hari tetapi tanpa Nicolas lagi. Bayang-bayang Nick masih akan ada sampai beberapa waktu. Pada dirinya, pada apa-apa di sekitarnya, dan saat itu ia masih sangat kecil.
Selama waktu itu, akan selalu ada saat-saat atau sesuatu yang terjadi yang membuatnya berharap Nick masih bersamanya. Seperti sekarang.
William belum pernah menghadap seorang pun profesor di MIT sebagai dirinya sendiri.
“Masuk aja, Will,” tukas Nick, dan itu kalimatnya yang terakhir.
Ia masih tak tahu untuk apa ia dipanggil menghadap. Nick sudah berbalik, sudah terlihat jauh bahkan sebelum ia menutup pintu kembali, dan kini Will sendiri. Brenda Miller di balik meja pustakawan mengangat alis mata, kacamata turun hingga ke ujung hidungnya. Menunjuki cangkir kopi di tangan Will, ia menegur, you can’t take that in. Will mengangguk, memohon maaf. Cangkir kopi kemudian ia tinggalkan di meja Brenda yang kemudian berkata, Nicolas, right?
Meskipun, lorong-lorong itu mulai terasa bersahabat. Will menyukai dominasi warna abu-abu yang melapisi kursi-kursi, dinding, dan rak-rak buku. Aroma kertas tua akan ikut dalam udara tipis yang terhirup olehnya setiap beberapa langkah. Warna-warni punggung buku, tebal-tipis cetakan judul, dan gelombang yang tercipta oleh susunannya tak pernah tak membuat ia menoleh. Di satu ruas, cahaya lebih terang dan sekumpulan mahasiswa sedang berdiskusi mengerumuni satu meja. Uranium dan plutonium hanya berselisih dua elektron tiap satu atom, Wayne. Ya, sahut Will dalam hati, tapi keduanya ada di grup atom yang berbeda, itu sebabnya efeknya terhadap panas juga berbeda. Apa ini tentang reaktor? Ia nyaris ingin menarik satu kursi dan duduk di salah satu sudut, tapi Ben Serkin sudah menunggu.
Will ingat Profesor Serkin. Laki-laki itu berada di akhir dekade keempat hidupnya, dengan mata abu-abu kecil dan rambut berwarna keperakan. Kelas Kalkulus, Departemen Matematika, ruang 3-120. Suatu hari di awal Februari lalu, badai salju hebat turun di atas Cambridge sehingga hanya segelintir mahasiswa hadir. Kuliah tetap diadakan. Will hadir, menggantikan Nicolas, dan diam di kursi barisan belakang. Namun dengan kelas yang nyaris kosong, kiranya saat itulah Serkin menyadari ada yang tak sama.
“Saya tidak tahu pasti jumlah volume buku di perpustakaan ini,” ujar Serkin, nyaris mengejutkannya. Ia memergoki kepala Will yang sedang tak henti menoleh menatap barisan judul di punggung buku. “Setidaknya, per awal semester ini. Kau tahu?”
Ia tak sendiri. Tak seperti yang didengar Will dari Nicolas, Ben Serkin bukan satu-satunya yang duduk menunggunya di sana. Will tiba di sebuah meja dalam ruang yang tersekat oleh tiga rak buku. Duduk sejajar di satu sisi meja, tiga orang profesor kampus menunggunya.
Ini menjadi seperti sebuah sidang ujian tugas akhir.
Kecuali, Will hadir tanpa membawa kesiapan apapun.
“Oh, tidak, Sir,” sahut Will. “Tapi dengan sampel satu rak, misalnya yang itu, dan empat tingkat setiap rak dan rata-rata jumlah buku di setiap rak, dikalikan jumlah rak buku, dikalikan lagi jumlah rak di setiap perpustakaan jurusan, dikurangi persentase peluang buku yang hilang atau rusak, sudah bisa jadi algoritma estimasi volume buku di perpustakaan seluruh kampus MIT per semester atau per tahun.”
Usia Will sembilan belas tahun saat itu. Ia masih terlihat sehat dan penuh semangat--kombinasi yang cenderung membuatnya terlihat sedikit berantakan. Rambut ikalnya tak pernah lebih pendek dari ujung bawah telinga, tetapi matanya bersinar. Ia masih memiliki kebiasaan enggan berlama-lama menatap orang lain, tapi ia mengenali siapa yang ada di sisi kiri Serkin. Richard Hammond, salah satu profesor di Teknik Kimia. Will berada di kelasnya beberapa kali. Namun tatapan laki-laki itu asing. Ia tak mengenali Will, mungkin sekali lupa. Sedangkan yang ada di sebelah kiri Serkin, ia tak tahu. Will tak pernah melihatnya sebelum ini.
“Statistika dasar, Matematika kelas sepuluh.”
Will berkata begitu karena tak ada gunanya lagi berbohong. Ia hanya tak tahu apa yang sudah diceritakan Nicolas tentangnya, dan sebanyak apa yang diketahui para profesor ini.
“William, kan?” tanya Serkin.
“Hakim. William Hakim.”
“Duduklah, Mr. Hakim,” ujar Hammond.
Will menghadapi setumpuk buku, sehelai surat kabar, dan lembar-lembar kertas yang ditumpuk dan berserakan di antara dirinya dan para profesor itu ketika menarik kursi. Kertas-kertas itu lembar jawaban kuis dan tes mahasiswa. Dari sebuah tumpukan, Ben Serkin menarik satu lembar yang kemudian didorongnya kepada Will. Kertas meluncur menyeberangi meja, Will menahan lajunya dengan ujung jari.
Lembar jawaban kuis itu milik Nicolas, angka sembilan puluh tiga yang ditulis dan dilingkar dengan tinta merah terpampang di sudut kanan atas. Kuis ini diambil bulan Maret, salah satu yang bobotnya sepuluh persen dari nilai akhir. Nilai akhir semester lalu diumumkan pada bulan Juni. Nick seharusnya sudah aman.
Kecuali ketika Will menyadari dan ingat betul, meskipun dipenuhi angka dan bukan huruf-huruf, tulisan tangan di atas kertas itu adalah miliknya. Sepertinya Ben Serkin tahu.
Beberapa tahun sebelum kehadiran Will di kampus itu, pernah ada cerita tentang sindikat mahasiswa yang membocorkan soal ujian. Organisasi yang sistematis, begitu terencana. Nicolas menceritakannya, dan Will mendengarkan cerita itu lagi dari para mahasiswa yang ia kenal di asrama Baker. Ia juga pernah mendengar kisah tentang kumpulan mahasiswa yang menggunakan teori peluang Matematika untuk memenangkan permainan-permainan judi terbesar di Las Vegas, bahkan melibatkan beberapa orang profesor. Ada banyak sudut gelap lain yang sembunyi di balik tembok kampus Ivy League ini. Siapapun yang di sana cukup lama pasti akan menemukan setidaknya satu.
Saat ini Will bertanya-tanya untuk perkara inikah dirinya di sini. Perkara seremeh ini. Yang benar saja.
“Kuis itu diambil bulan Maret,” ujar Serkin, mengulang kata-kata di dalam kepalanya dan membuat Will semakin yakin akan apa yang terjadi setelah ini. “Hari itu Selasa. Saya selalu memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk memilih hari lain lain, atau mengambil di kelas yang lain, bila mereka benar-benar tak bisa hadir atau melewatkan hari kuis. Nicolas Hakim tak berkata apa-apa tentang tak bisa hadir di hari itu.”
“Anda ragu Nicolas bisa berhasil dengan nilai ini?” tanya Will lugas, sambil menunjuki muka kertas.
“Saya ragu Nicolas bisa berada di dua tempat di waktu yang sama, William.”
Will melepas kancing jas dan menarik tubuhnya ke punggung kursi, sementara Ben Serkin bergeming menunggu jawaban. Kesunyian yang sejenak di antara mereka terasa mengintimidasi--Will terdorong untuk mulai berbicara di setiap detiknya. Namun ia bisa saja memulai dari arah yang salah. Maka Will memilih menggunakan detik-detik itu untuk memperhatikan Serkin. Rambut keperakan, kulit yang berwarna lebih gelap sisa liburan musim panas. Cincin yang erat melingkar di jemari kiri membuat buku jarinya sedikit menggembung. Cincin itu sudah lama; pernikahannya setia.
“Nicolas magang di lab meteorologi Cambridge sejak libur musim dingin.”
Suara Serkin terdengar lebih rendah ketika ia bicara lagi. Tubuhnya tegak, terdorong ke arah meja, seakan hendak mendekati Will. Dua yang lain di kedua sisinya masih diam.
“Hari itu hari kerja, Nicolas tak mungkin ada di dua tempat di saat yang sama. Saya senang memperhatikan mahasiswa, Will, dan saya sudah memperhatikanmu. Saya memanggilmu ke sini karena ingin mendengarkan kau menjelaskannya sendiri.”
“Apa nilai akhir semester Nicolas akan tetap aman?”
“Kau punya penjelasannya, kalau begitu.”
“Saya tidak bilang demikian, Sir.”
“Ini bukan tentang nilai akhir Nicolas.”
“Kalau begitu ini tentang apa, Profesor Serkin?”
Mereka masih saling tatap dengan keras kepala selama dua-tiga detik, memikirkan jawaban, sebelum akhirnya menarik punggung ke sandaran kursi. Ia berpaling kepada Richard Hammond di sisinya. Bisiknya, go ahead.
Hammond meraih surat kabar di sisi tumpukan kertas. The Tech, pers resmi kampus. Seperti satu edisi yang dibawa Will saat ini. Namun halaman depannya tak sama, itu edisi yang berbeda.
Surat kabar pun menyeberangi meja menyusul hasil kuis Nicolas.
“William, saya sudah mengajar di MIT selama delapan tahun,” ujar Hammond.
Ia masih mengatakan sesuatu selama Will merentangkan halaman, menatap foto-foto, dan tak terlalu menyimak lagi. Will sudah pernah membaca edisi itu, rasanya ia masih menyimpan satu eksemplar di suatu tempat di asrama Baker.
Di halaman itu, ada foto kekacauan di sebuah laboratorium yang membuatnya merasa familier. Foto itu diambil tahun lalu.
“Saya tak dekat dengan Profesor McClusky, tapi kami tak pernah punya masalah,” ujar Hammond ketika Will kembali memperhatikannya. “Saya juga mengajar Chester Winston. Dia pandai, walaupun agak... defensif. Tahun lalu, ada kekacauan di lab kimia profesor McClusky. Ada ledakan di sana. Entahlah itu tungku Bunsen, tabung yang terlalu panas, atau apa. Winston mahasiswa yang sedang bermasalah dengan McClusky. Dia sering bermasalah dengan McClusky, in fact. Jadi dia tersangka utama. Tapi Winston tak ada dimana pun di dekat lab hari itu. Dia terlihat di kelas saya, di kelas profesor Hayes, di ruang makan asrama Baker, di gelanggang olahraga. Tapi tidak di lab. Belum ada yang tahu penyebab ledakan, jadi McClusky, penanggungjawab lab dipanggil dekan dan administrative board kampus.”
“Seolah-olah Winston, seperti Nicolas, berada di dua tempat berbeda dalam waktu yang sama, kan?” ujar profesor ketiga di ruangan itu.
Ia tak memperkenalkan diri, maka Will mengingat-ingat struktur wajahnya. Tajam, kurus, alisnya tinggi dan rambut yang berminyak. Ia akan mencari tahu tentang orang ini nanti.
“Kecuali,” lanjutnya. “Mereka punya accomplice. Satu orang lain yang ikut bekerja sama, yang jejak keberadaannya tidak terekam oleh kampus.”
Tuduhan itu hampir tak terasa, meski Will melihatnya datang bersamaan dari tiga pasang mata di seberang meja. Bukan karena tak sepenuhnya benar. Ia juga yakin ketiga profesor ini tak berpikir begitu dangkal. Melainkan, karena Will sungguh-sungguh tak tahu sebanyak yang mereka kira.
Ia tak tahu tentang McClusky. Tidak tentang ia dipanggil dekan, tidak tentang sidang administrative board. Will hanya tahu tentang ledakan lab Kimia, sebab ia kenal Chester.
Will sangat kenal Chester.
Tahun itu, bagiku adalah bagian masa silam dengan keping-keping yang berserakan. Hingga saat ini aku tak berusaha untuk menyusunnya. Tak akan membawa Will kembali, maka kuputuskan untuk memulai dari awal saja. Keping-keping waktu itu kubiarkan porak-poranda seperti sebuah kota usai bencana.
Namun, bagi Will segalanya baru saja dimulai.
Aku menelusuri jejaknya kembali dimulai dari hari ini.
*
15 notes
·
View notes