Text
8 notes
·
View notes
Text
0 notes
Text
0 notes
Text
“Tegarlah seperti langit. Walau panas matahari menghantam, tapi ia tak pernah kalah, tetap cerah dan selalu indah.”
-Tulisan Indi
0 notes
Text
Mati, menurutku.
Mati.
Apa artinya?
Terbujur kaku tak bernafas?
Tak bisa makan?
Tak bisa bicara?
Tak bisa mendengar?
Tak bisa berjalan?
Apapun itu,
Aku tak peduli arti mati menurutmu.
Bagiku, mati adalah ketika raganya masih hidup tapi sudah tak ada di hati lagi.
Bukankah jika sudah mati, jika tetap di hati maka ia akan tetap hidup?
Hidup di dalam hati.
Sampai hati ini juga ikut mati.
-Tulisan Indi
0 notes
Text
0 notes
Text
My Pretty Dor!
Langit pagi hari itu tampak cerah. Matahari mulai menebarkan pesonanya, hingga hangatnya sudah sedikit terasa. Kicaun burung terdengar ramai, seolah ikut merasakan cemas yang dirasakan oleh Rara. Hari itu adalah hari pertama Rara menjadi seorang murid kelas X di SMA AVISTA, salah satu sekolah favorite yang ada di Jakarta. Terdapat 6 kelas untuk murid kelas X. Rara mendapatkan kelas yang berada tepat di depan tangga menuju ke lantai 2 sekolah, kelas X.5. Jika dilihat dari segi kepintaran, kelas yang dihuni Rara berada di urutan no.2 dari bawah.
“Ya, setidaknya kalo bunda ditanya orang, kan gak terlalu malu-maluin, masih ada kok kelas yang lebih dibawah kelas gue. Hehe” ucap Rara cekikikan dalam hati. Dalam persoalan akademik, Rara memang agak lemah, dari TK, SD, dan SMP Rara belum pernah mendapatkan ranking kelas. Berbeda dengan Ardan, kakak satu-satunya Rara. Ardan dari kecil selalu bagus dalam bidang akademik, hingga sekarang ia pun mendapatkan beasiswa di tempatnya kuliah, di salah satu universitas ternama di Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti Rara tidak pernah membuat bundanya bangga. Gadis yang memiliki paras cantik, dengan alis tebal di atas mata cokelat indahnya, serta tubuh yang ramping itu berbakat di bidang seni, terutama tari balet. Setiap ada perlombaan balet, Rara selalu ikut dan mendapatkan juara. Dan sekarang, gadis cantik itu pun menjadi pelatih di salah satu sanggar balet yang tidak jauh dari rumahnya.
….
Tiba di depan pintu kelasnya, Rara langsung melangkahkan kaki masuk ke kelas. Mata Rara tertuju pada bangku no.2 di ujung kiri persis sebelah jendela.
“Boleh duduk disini?” Tanya Rara ramah pada gadis yang duduk di sebelah bangku tersebut.
“Boleh, silahkan” jawab gadis itu dengan senyum lebar.
Setelah Rara duduk, ia pun mengeluarkan sebuah android dari tasnya, dan mulai sibuk menyapukan jempolnya ke layar kaca androidnya itu.
….
Merasa canggung mereka tak saling berbicara, dengan ragu akhirnya gadis itu buka suara.
“Hai, kalo boleh tau nama lo siapa?” Tanya gadis itu lembut.
Rara tersontak menoleh ke arah kirinya.
“Panggil aja gue Rara, kalo lo?” Respon Rara sambil tersenyum.
“Nama gue Vevi. Eh Ra, Temen lo pas smp ada yang masuk ke sma ini juga gak Ra?”
“Enggak Vi, enggak tau maksudnya. Hehe” jawab Rara cengengesan. Dari dulu Rara memang termasuk orang yang kurang kepo dengan orang lain. Ditambah lagi, jadwal dispennya selama di smp sudah tidak bisa dihitung dengan jari, membuatnya susah untuk sering bergaul dengan murid lain, hingga ia juga tidak mempunyai teman dekat, jadi wajar aja kalo dia gak tau.
“Loh? Kok bisa gak tau?” Tanya Vevi aneh.
“Kalo temen sekelas sih gak ada, tapi yang enggak sekelas kurang tau juga” Jelas Rara singkat.
“Oh…” Mendengar penjelasan Rara yang cuek, Vevi menghentikan pertanyaannya sampai disitu, meskipun ia masih merasa aneh.
“Kalo temen gue sih ada Ra. Cowok gue juga sekolah disini, namanya Berry. Dia kelas X.1. Orangnya emang pinter dari smp dulu” sambung Vevi menjelaskan.
“Wah asik dong..”
Merasa ada yang menepuk pundak mereka, langsung refleks Rara dan Vevi menoleh ke belakang.
“Eh sorry ngagetin. Hehe” ucap seorang cowok hitam manis yang duduk di belakang Rara dan Vevi.
“Ada apa?” Tanya Rara risih karena kaget.
“Kenalin, nama gue Wahyu. Kalo nama kalian siapa?” Ucap wahyu cengengesan.
“Gue Vevi”
“Gue Rara”
“Oke, lo si manis Vevi dan lo si cantik Rara. Semoga kita bisa jadi temen sekelas yang kompak, akur dan saling menyayangi ya” tuturnya penuh semangat.
Rara dan Vevi hanya bisa melongo melihat celoteh aneh dari Wahyu barusan.
“Eh eh, ada bu guru” ucap Wahyu buru-buru.
Spontan Rara dan Vevi langsung menghadap ke depan. Nampak seorang wanita berumur 40an tahun, dengan rambut diikat sanggul, dan memakai kacamata masuk ke kelas.
“Selamat pagi anak-anak..” Sapa bu guru sambil dikit tersenyum.
“Selamat pagi bu…” Jawab semua murid kompak.
“Pertama-tama ibu mengucapkan selamat datang di SMA AVISTA, semoga kalian bisa menuntut ilmu dengan baik serta meraih prestasi sebanyak-banyaknya di sekolah ini. Baiklah, perkenalkan nama ibu Hasnah, ibu adalah wali kelas kalian selama satu tahun ke depan. Ibu mengajar pelajaran Bahasa Indonesia.” Jelas bu Hasnah pada semua murid
“Sekarang ibu akan mengabsen nama kalian satu-satu, tapi berhubung absen kelas belum ada, ibu akan mengabsen kalian berdasarkan urutan peringkat hasil test kalian kemarin” lanjut bu Hasnah menjelaskan.
“Iya bu..” Jawab semua murid.
Bu Hasnah pun mulai menyebutkan nama mereka satu-satu.
….
…..
“VEVI KARTIKA”
“Saya bu..” Jawab Vevi sambil mengangkat tangan kanannya.
nama Vevi sudah di panggil.
Giliran Wahyu “WAHYU PRASETYA”
“Saya bu.”
….
….
Tiba di urutan no.17.
“DORA” panggil bu guru singkat.
“Saya bu..” Jawab murid cantik yang duduk di bangku no.2 ujung sebelah kiri. Iya, Rara. Nama Rara adalah Dora. Just D-O-R-A.
Spontan Semua murid melihat ke arah Rara.
“Tu emaknya pas ngandung dia ngidam nonton Dora mulu kali yak” celetuk salah satu murid cowok yang duduk di depan.
“Hahahahaha…” Semua murid tertawa, kecuali Vevi, Wahyu dan Rara.
“Gapapa Ra, mau nama lo ‘Dora The Explorer’ sekalipun, masih tetep cantik kok” bisik Wahyu dari belakang.
“Dora The Explorer palak lo peang” batin Rara medengar celoteh Wahyu barusan.
Dari dulu, setiap Rara masuk ke lingkungan baru, kejadian seperti itu selalu terjadi, karena itu Rara sudah terbiasa sabar menghadapi makhluk-makhluk yang suka membuat filosofi tentang namanya seenak jidat mereka saja.
“Hei hei..sudah sudah” bu guru menghentikan keributan yang disebabkan oleh nama Rara barusan dan melanjutkan mengabsen nama murid lainnya. Setelah mengabsen, bu Hasnah langsung memulai kegiatan belajar mengajar.
….
Pelajaran hari itu dimulai dengan pelajaran Bahasa Indonesia dan ditutup dengan pelajaran Matematika. Semuanya berjalan dengan lancar, hingga tidak terasa waktunya pulang sudah tiba. Pak Fuad, guru matematika, sudah beranjak keluar kelas. Semua murid pun juga bergegas keluar kelas.
“Eh Vi, lo udah ambil seragam batik di tailor belum?” Tanya Rara pada Vevi sambil berjalan ke luar kelas.
Seperti biasanya, untuk mendapatkan seragam batik baru, seluruh murid baru SMA AVISTA harus mengambilnya di tailor yang sudah di tentukan oleh pihak sekolah.
“Udah Ra, udah dari beberapa hari yang lalu malah. Lo sendiri Ra?”
“Belum Vi, gak sempet.” Jawab Rara dengan nada sedikit merengek.
Rara mengeluarkan androidnya, dan mulai mengetik sebuah pesan.
To : Mas Ardan sayang
Mas, jangan lupa ya abis mas pulang kuliah nanti ambilin seragam batik Rara, di tailor yang waktu itu Rara tunjukkin ke mas. Makasih mas:*
..
Send.
Message delivered.
…
Rara dan Vevi sudah tiba di depan gerbang.
“Eh Vi, duluan ya, bunda udah jemput tuh” pamit Rara pada Vevi sambil menunjuk sebuah mobil jazz putih di luar gerbang sekolah.
“Oke Ra, tuh Berry juga udah ada” balas Vevi sambil menunjuk seorang cowok ganteng yang tampak sedang menunggu seseorang, cowok itu duduk diatas motor ninja yang tidak jauh dari tempat Rara dan Vevi berdiri.
Mereka pun berpisah.
Sambil berlari-lari kecil, Rara langsung menuju ke mobil bundanya dan masuk ke pintu depan.
…..
……
Di dalam mobil, Rara langsung meraih sekaligus mencium tangan bundanya.
“Siap meluncur komandan?” Ucap bunda pada anak perempuan satu-satunya itu.
“Siaaaaap” jawab Rara penuh semangat. Bunda pun langsung menjalankan mobil.
“Gimana tadi sayang di sekolah baru mu? Kalo dilihat dari gerak-gerik kamu sih, bunda tebak kayaknya gak menyenangkan ya? Hehehe” ujar bunda pada Rara dengan nada meledek.
“Iya, gak menyenangkan gara-gara bunda. Bunda sih pakek kasih nama Rara Dora segala, jadi diledekin kan di kelas” protes Rara sambil mengambil minuman yang ada di sebelah tempat duduknya.
“Hahahaha…” Tawa bunda meledak “kok baru sekarang sih anak bunda yang cantik ini protesnya, kemarin-kemarin diledekin sama orang santai aja tuh. Atau jangan-jangan ada yang kamu taksir ya di kelas?” Goda bunda sambil kegirangan.
Burrrr..
Tersontak mendengar perkataan bunda barusan, air yang diminum Rara langsung menyembur keluar membasahi seragamnnya.
“Bunda apaan sih, bikin kaget Rara aja. Mana ada cowok yang Rara taksir di kelas, pada aneh-aneh semuanya, Rara aja baru kenal sama satu cowok di kelas. Namanya Wahyu, itupun orangnya pecicilan banget.” Jelas Rara jengkel.
“Kamu kan selalu gitu Ra, dari dulu sampe sekarang pasti kedapetan kelas ujung, wajar aja kalo teman mu aneh-aneh.” Ledek bunda padanya.
“Hah? Kok bunda tau Rara dapat kelas ujung lagi? Hehe.”
“Yaelaaaah Ra, itu mah pasti. Bisa-bisa hujan badai gempa halilintar deh kalo kamu dapat kelas orang-orang pinter” celoteh bunda.
“Hm..iyasih bun” Rara mengakuinya, sabda yang dilontarkan bundanya barusan memang benar. Dia berada di kelas kalangan orang pintar, itu impossible.
…
….
Tidak terasa, 30 menit berlalu, mereka pun tiba dirumah. Sudah tampak si ninja merah kesayangannya Ardan parkir di halaman rumah. Setelah bunda memarkirkan mobil di garasi, mereka pun keluar dan menuju ke pintu rumah. Tampak wanita tua langsung membukakan pintu, dia adalah bi Darsih. Bi Darsih seorang janda tua yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah minimalis itu. Sudah hampir 5 tahun ia bekerja disana, bahkan sebelum ayah Rara meninggal dunia. Ayah Rara sudah meninggal ketika Rara SD, kata dokter pemicunya adalah serangan jantung. Maka dari itu, sekarang bunda Rara menjadi orang tua tunggal menafkahi 2 orang anak yang sangat ia sayang. Bunda Rara kerja keras mencari uang agar mereka bisa hidup berkecukupan. Karena banyaknya pengeluaran, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan supir pribadi lagi, karena itulah Bunda Rara harus bolak balik mengantar Rara kemana-mana. Jika Ardan tidak ada kegiatan, maka Ardan lah yang bertugas mangantar jemput Rara. Maklum saja, Rara dari kecil selalu buta jalan, ia sangat susah menghafal jalan, syukur-syukur ingat jalan pulang ke rumah. Itu juga yang membuat bundanya dan Ardan takut membiarkan ia pergi sendirian menggunakan kendaraan angkutan umum, karena sudah maraknya kejahatan yang terjadi akibat perlakuan tidak senonoh beberapa pengemudi angkutan umum.
….
“Mas Ardan mana bi?” Tanya Rara pada bi Darsih.
…
“Daaaarrr…” Tiba-tiba muncul Ardan dari balik tembok, ternyata ia sudah bersembunyi dari tadi, siap-siap menjahili adik kesayangannya itu.
“Ih mas Ardan apaan siiiih, ngagetin aja…gak lucu tauk!” Ucap Rara sambil menepuk gemas lengan Ardan.
“Cieee yang kaget, berarti mas berhasil bikin kamu kesel. Abisnya kamu makin cantik kalo lagi cemberut.. Week” ledek Ardan sambil bersiap-siap lari menghindari serangan fisik dari Rara.
“Aaaaaa…bun liat deh mas Ardan ngeselin” rengek Rara pada bundanya.
“Hahaha.. Cup..cup… Maaf deh Ra, mas bercanda kok” tak tahan melihat wajah kesal Rara, Ardan langsung memeluknya dengan kasih sayang tulus dari seorang kakak.
…
“Awwww…” Ardan teriak kesakitan, refleks melepaskan pelukannya dari Rara.
Melihat peluang emas di depan mata, Rara tidak menyia-nyiakannya, digigitnya lengan Ardan barusan. Langsung ia berlari mendekat ke arah bundanya, seolah meminta perlindungan.
“Yes! Mission success.” Ucap Rara dengan ala-ala pengisi suara yang biasa ada di dalam sebuah game. “Makanya mas, jangan macem-macem sama Rara si ranger pink” dengan sombong Rara mulai berlagak menirukan gaya power ranger.
“Iya iya, mas kalah kali ini. Tapi tunggu aja pembalasan dari mas” ancam Ardan pada adiknya.
Bundanya dan bi Darsih hanya bisa tertawa melihat tingkah laku adik kakak itu. Ya begitulah Ardan dan Rara, mereka sangat akrab satu sama lain. Umur mereka berjarak 4 tahun, meskipun terbilang jarak yang tidak dekat, tapi tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap dekat.
“Eh itu seragam batik mu udah mas ambilin, mas taruh di atas meja belajar kamu” ujar Ardan pada Rara.
“Oh oke mas ku sayang… Dah Rara mau bobok siang manja dulu. Bye mas, bun, bi” ucap Rara sambil berjalan menuju kamarnya..
“Makan siang dulu Ra” ucap bunda Rara.
“Udah kenyang bun, tadi di sekolah udah makan banyak.”
“Itu seragamnya gak dicoba dulu?” Tanya bundanya.
“Nanti aja bun, gampang” teriak Rara dari kamarnya.
*****************
Setelah Gian memarkirkan motor ninjanya di garasi rumah, ia menghampiri pak Sutimin yang sedang mengelap-elap kaca mobil, dan menyampaikan sebuah pesan. Pak Sutimin adalah supirnya.
Gianno Chandra, anak pertama dari 2 bersaudara, dan orang tua Gian terbilang kaya. Jika di dalam sebuah Ftv, Gian pasti selalu menjadi pemeran utama. Wajahnya yang tampan, ditambah rambut hitam dengan aksen jambul depannya yang keatas, dan badannya yang tinggi, serta kulitnya yang putih, menjadikan ia bak pangeran yang menjadi rebutan para gadis di setiap lingkungannya. Ditambah lagi otaknya yang cerdas dan bagusnya prestasi ia di bidang olahraga basket, membuat dirinya semakin sempurna di mata kaum hawa. Dan sifatnya yang cool bukan hambatan bagi Gian untuk memiliki banyak teman.
“Kak Gian, udah pulang?” Sapa seorang gadis imut menggunakan seragam SMP.
“eh iya La” jawab Gian agak terkejut.
Yang barusan menyapa Gian adalah adiknya, Ola. Ola murid SMP yang baru naik ke kelas VIII.
“Gimana sekolah barunya kak?” Tanya Ola.
“Ya gitulah La, biasa-biasa aja. Tetep gue kok cowok yang paling keren. Hehe” jawab Gian sambil bercanda.
“Pede banget sih kak, hfffttt. Kalo ceweknya gimana? Ada yang bening gak?
“Yakali bening, sayur kali ah. Gatau, gue gak terlalu merhatiin La” ujar Gian santai pada adiknya yang sedang duduk di sofa ruang tv itu.
“Hfffttt” Ola hanya menghela nafas mendengar jawaban dari kakaknya itu.
“Yaudah, gue mau ganti baju dulu. Abis ini mau main basket di rumahnya Berry” ucap Gian sambil berjalan menuju kamarnya.
********
Setibanya Gian di rumah Berry, Berry langsung mengajak Gian ke lapangan basket di belakang rumahnya. Mereka mulai memainkan bola basket. Berry adalah teman dekat Gian satu-satunya sejak SMP.
“Ian, pas gue mau nyamperin Vevi pulang sekolah tadi, gue liat cewek cantik” tutur Berry sambil fokus ingin merebut bola yang dikendalikan oleh Gian.
“Yaelah Ber, udah punya Vevi masih aja lirik yang lain” balas Gian santai. Tangannya dengan lincah mendrible bola, dan semakin dekat langkah Gian menuju ke daerah pertahanan Berry.
Tsahhh.
Shoot.
Yup, satu tembakan bola dari Gian berhasil menembus ring Berry.
“You get it bro” tutur Berry. Merasa haus, Berry pun berhenti sejenak.
“Bukan gitu Ian, siapa tau lo tertarik sama tu cewek. Kalo lo mau sih gue bisa minta bantuan Vevi, buat deketin lo sama dia, dia temen sebangkunya Vevi, namanya Rara” sambung Berry ke topik awal pembicaraan tadi, sambil mengambil botol minum yang ada di pinggir lapangan.
“Haha. Ada-ada aja lo Ber” respon Gian santai, sambil melempar bola basket ke lengan Berry.
Mereka pun melanjutkan permainan.
**************
Langit mulai gelap, adzan maghrib mulai berkumandang. Selesai sholat maghrib, bi Darsih mulai menyiapkan makan malam untuk keluarga kecil itu. Ardan dan bundanya sudah berada di ruang makan.
“Ra…ayo makan malam sayang” panggil bundanya dari tempat duduknya.
“Buruan Ra, keburu hidup lagi ni ikan nanti Ra” tambah Ardan.
….
“Iya bentar.. Bawel banget sih mas” teriak Rara dari dalam kamarnya sambil membuka pintu kamar. “Taraaaaaaa…Cassandra Lee datang”
Rara langsung menempati tempat duduk di sebelah Ardan.
“Aduh Ra, kalo Cassandra Lee kayak gini bentuknya, berarti mata si Randy Martin udah rabun stadium akhir tuh” ledek Ardan.
“Ledekin aja teroooss sampe mampos terkempos kempos” teriak Rara ke telinga Ardan. (Terkempos-kempos apaan sih? Wkekeke)
Setelah adegan saling ledek, mereka pun mengambil nasi dan lauk pauknya, lalu menyantap hidangan makan malam itu dengan nikmat.
….
Selesai menyantap makan malam, Ardan dan Rara duduk di sofa sambil nonton TV, sedangkan bunda mereka memilih ke kamar untuk beristirahat.
“Gimana jadi murid baru SMA? Menyenangkan?” Tanya Ardan pada adiknya.
“Etdaah mas….baru sehari, belum dapat feelnya kali” jawab Rara suntuk.
“Masa SMA itu menyenangkan, mas yakin nanti kamu akan merasakannya” ucap Ardan tersenyum sambil menggosok kepala Rara lembut.
…
Karena keasikan menonton TV, tak terasa waktu berlalu, tiba saatnya untuk umat Islam menjalankan ibadah sholat isya.
“Udah adzan isya, Rara sholat dulu ya mas”
“Iya, mas juga Ra” mereka pun beranjak ke kamar masing-masing untuk melaksanakan sholat isya.
….
…..
“Aamiin….” Ucap Rara dalam hati sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan, Rara menutup doanya seusai sholat. Setelah melepas mukenah, Rara melirik ke atas meja belajarnya. Diambilnya sebuah plastik yang berisi seragam batik, Rara langsung membuka plastik tersebut untuk mencoba seragam barunya itu.
…..
…….
******
Gian tiba di rumah. Sampai di ruang TV, ia melihat Ola yang sedang asik memainkan gadgetnya.
“Kalo gitu terus kerjaannya, gak heran kalo setiap ujian remedial terus” sindir Gian sambil duduk di sebelah Ola.
Spontan Ola kaget melihat keberadaan Gian yang tiba-tiba sudah berada di sebelahnya.
“Woiii… Ngagetin aja lo kak. Kalo gue mati kena serangan jantung gara-gara lo tadi, bisa patah hati Justin Bieber” gerutu Ola asal pada kakaknya.
“Selena Gomez aja di bikin patah hati sama si Justin, apalagi-” Gian terdiam sejenak.
“Apalagi apa?” Tantang Ola penasaran dengan kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Gian.
“Sudahlah, gak tega kak Seto nyakitin hati anak kecil” ucap Gian asal.
“Lo gak cocok jadi kak Seto kak.” gumam Ola dengan wajah serius.
“Terus jadi siapa?”
“Jadi Parto.” Jawab Ola kesal sambil menimpuk Gian dengan bantal.
“Enak aja” protes Gian “Eh ini apa?” Pandangannya berhenti pada sebuah plastik yang ada di atas meja.
“Itu dari pak Timin, katanya punya lo kak.”
“Oh iya gue lupa” Gian pun meraih plastik tersebut dan mengeluarkan isinya.
……..
“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” Serentak Gian dan Ola menjerit, kaget melihat rok dan baju batik yang dikeluarkan Gian dari kantung plastik itu.
“Kak please lo jelasin, bener ini punya lo? Apa ini alasan lo selama ini gak pernah punya cewek? Jawab kak!!!!” Tanya Ola dramatis sambil menarik-narik lengan baju Gian.
“Enggaklah, ini bukan punya gue. Jomblo gini gue normal La, ini pasti pak Timin salah ambil pas di tailor tadi” jelas Gian pada adiknya.
Karena mendengar teriakan Gian dan Ola barusan, pak Timin segera bergegas menghampiri mereka, mencari tahu apa yang telah terjadi.
“Ada apa atuh mas Gian, neng Ola? saya tadi mendengar mas dan neng teriak keras pisan euy” Tanya pak Timin khawatir.
“Nah ini dia nih panjang umur, bapak kok bisa salah ambil seragam? Yang bapak ambil itu punya cewek” ujar Gian pada pak Timin dengan nada sopan.
“Aduh mas, maaf. Saya gak tau atuh, tadi pas saya kesana, akang penjahitnya bilang kalo itu punyanya mas, soalnya cuma itu satunya-satunya seragam yang belum diambil” jelas Pak Timin dengan nada penuh bersalah.
“Ya sudah tidak apa-apa pak, biar besok saya cari orang yang punya baju itu” Gian pun mempersilahkan pak Timin kembali ke depan tanpa memarahinya, karena itu memang bukan salah pak Timin, ia hanya menjalankan apa yang telah diminta oleh Gian. Meskipun hasilnya berdampak buruk untuk Gian di sekolah besok.
Ada yang menarik perhatian Ola dan Gian, ketika pandangan mereka berdua terhenti di nametag yang ada di baju tersebut.
“DORA” baca mereka serentak, mata Gian dan Ola saling berpandangan aneh.
“Baru kali ini gue denger, ada orang namanya Dora kak. Just D-O-R-A, singkat, padat tanpa racikan bumbu penyedap” Ola pun mulai bersabda “jangan-jangan bentuknya juga kayak Dora, rambutnya pendek segi empat, kepalanya bulet, badannya bantet, kalo kemana-kemana bawa backpack, boots, peta, dan kawan-kawannya” lanjut Ola, “terus suka loncat-loncat, sambil ngomong ‘mau kemana ki’-” bukkk.
Ola terhenti karena satu timpukan bantal empuk dari Gian . “Kalo ngomongin orang yang enggak-enggak nomor satu, giliran tentang pelajaran anyep. Salah apa gue punya adik kayak lo” gerutu Gian.
“Iih kak Gian gak asik” tutur Ola sambil mengusap kepalanya.
“Udah ah, gue mau ke kamar” Gian mengambil seragam tersebut dan beranjak meninggalkan adiknya.
….
***********
Di kamar Rara, hal serupa terjadi.
“Mas Ardaaaaaaaaaaaan” Rara teriak, kaget melihat seragam cowok yang ia keluarkan dari plastik itu.
Mendengar teriakan Rara memanggil namanya, Ardan langsung bergegas menghampiri Rara.
“Ada apa Ra? Mana malingnya, sini mas gorok lehernya”
“Maling apaan, leher mas nanti yang Rara gorok. Ini baju yang mas ambil bukan punya Rara.” Ujar Rara kesal sambil membentangkan baju dan celana milik seorang cowok.
“Astaga, mas gak tau Ra.” ucap Ardan kebingungan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Kok gak di cek dulu sih mas?” Tanya Rara dengan nada kesal.
“Kata bapak penjahitnya itu punya kamu. Yaudah, langsung mas bawa pulang aja, kan bukan salah mas Ra, tukang jahitnya yang salah kasih ke mas” Ardan melakukan pembelaan.
“Terus Rara besok pakek baju apa? Nanti kalo guru lihat Rara gak pakek seragam jadi kena marah” rengek Rara sambil menghentak-hentak manja kakinya.
“Hmmm, besok pake aja dulu seragam SMP kamu, kalo ditanya guru, ya kasih tau aja apa yang sebenarnya terjadi” usul Ardan pada adiknya.
“Rara malu kalo besok dijadiin pusat perhatian sama temen-temen, gara-gara pake seragam SMP” keluh Rara.
“Mending pusat perhatian kali Ra, ketimbang pusat perbelanjaan, rame, kan sumpek tuh. Hehe” gumam Ardan bercanda.
“Ih gak lucu tauk mas” Rara cemberut.
“Kamu sih masak gitu aja malu, kan udah biasa jadi pusat perhatian orang kalo lagi tari balet”
“Kan itu beda mas” batin Rara.
…
“Udah, gak usah sedih gitu ah, muka kamu asem kayak mangga mentah kalo lagi cemberut Ra. Nih ya mas bilangin, andai ada produser film yang tau sama kejadian ini, pasti udah terinspirasi buat film “Seragam Yang Tertukar”.“
“Nikita Willy kali ah. Iyadeh, besok Rara pakek seragam SMP dulu. Oh iya, terus ni baju mau Rara balikin ke siapa?” Ucap Rara sambil melihat baju tersebut, mata Rara pun tertuju pada nametag yang ada di baju itu, “Gianno Chandra” baca Rara.
“Kalo dilihat dari segi nama ya Ra, kayaknya orangnya ganteng deh, kayak artis-” Ardan terhenti sejenak, ia menyipitkan mata seolahh sedang berpikir keras “coba kamu bantu mas sebutkan nama-nama artis ganteng”
..
“Teuku Rasya?” sebut Rara asal.
…
“Nah itu dia, kayak Teuku Rasya”
…
“Emangnya Teuku Rasya ganteng mas?”
..
“Gak terlalu sih Ra. Coba sebutin lagi yang lain”
..
“Al ghazali mas?”
…
“Enggak deh, terlalu cuek Ra.”
…
“Aziz gagap?”
…
“Kamu kira pemaen OVJ Ra. Gimana kalo Herjunot Ali?”
…
“Enggak ah mas, ketuaan”
…
“Yaudah, kalo David Becham Ra?”
…
“Itukan pemaen bola mas. Zzz. Bodo ah, mau ganteng kayak siapa aja Rara gak peduli. Tapi kenapa feeling Rara bilang, orangnya pemarah ya”
“Ibu tiri kali ah, pemarah. Udah Ra, kayak gimana pun nanti orangnya, minumnya teh botol sosro. Wkakakak” tawa mereka pun pecah sekaligus mengakhiri percakapan tidak jelas mereka.
…
*********
Hari kedua Rara sekolah di SMA barunya pun harus ia lewati dengan mengenakan seragam SMP. Meskipun di lubuk hatinya yang paling dalam ia merasakan malu, tapi sebisa mungkin Rara mencoba untuk stay cool. Setelah tiba di sekolah, apa yang sudah ia duga sebelumnya, benar terjadi. Rara menjadi pusat perhatian semua murid. Tiba di kelasnya, ia langsung bergegas menghampiri tempat duduknya.
“Ra, kok seragam lo beda?” Tanya Vevi yang sudah duduk di bangkunya dengan heran.
“Iya Vi, ini seragam SMP gue. Kemaren tukang jahitnya malah kasih baju cowok ke mas Ardan.” Jawab Rara.
“Mas Ardan siapa? kakak lo?”
“Iya Vi. Gue liat di nametag bajunya, nama yang punya baju itu Gianno Chandra, kira-kira dia murid kelas X berapa ya” gumam Rara.
“Gianno Chandra? Itu mah si Gian Ra, gue kenal kok sama dia. Dia temen SMP sekaligus sahabatnya cowok gue. Gian kelas X.1, sekelas sama Berry” terang Vevi.
“Serius Lo Vi? Vi temenin gue dong balikin bajunya nanti, please.” Pinta Rara pada Vevi dengan wajah memelas.
“Iya iya, gue sms Berry dulu ya buat ngasih tau ke Gian lo mau ketemu sama dia” ucap Vevi sambil mengeluarkan iPhonenya, ia pun mulai mengetik sebuah pesan.
To : Berry❤
Ber, tolong bilangin ke Gian ya. Pulang sekolah nanti ada yang mau ketemu sama dia, mau balikin seragam batiknya Gian.
Send.
Delivered.
“Makasih Vevi manis” ucap Rara sambil mencubit pipi Vevi gemas.
“Iya Ra..” Balas Vevi tersenyum.
Belum sampai semenit.
Drrrttt..drrttt. Masuk balasan sms dari Berry.
“Nih di bales Berry” ucap Vevi membuka sms dari Berry.
“Wih, cowok lo gercep juga Vi. Hehe” tutur Rara cengengesan.
From : Berry❤
Oke Vevi sayang.
…
Vevi senyum tersipu malu, melihat Rara juga ikut membaca embel-embel kata ‘sayang’ dalam balasan sms dari Berry.
“Haha. Biasa aja kali Vi, gak usah merah gitu pipi lo” goda Rara.
“Hehe iya Ra. Ngomong-ngomong, lo udah punya cowok Ra?” Tanya Vevi kepo.
“Cowok gue masih di rahasiain sama Tuhan Vi, alias jomblo. Hehe. Lagian, gue belum pernah pacaran sama sekali.” jujur Rara pada Vevi.
“HAAHHHHHH lo belum pernah pacaran Ra?” suara Wahyu dari belakang mengagetkan Rara dan Vevi.
“Lo dari tadi nguping Yu?” Tanya Vevi geram.
“Iya. Hehe” jawab Wahyu cengengesan, “Yang lo bilang tadi beneran Ra?” Tanya Wahyu serius pada Rara.
“Kalo iya kenapa?” ucap Rara sewot.
“Gue rada gak percaya gitu Ra. Masak Dora yang cantiknya kayak Ariel, gak pernah pacaran sama sekali. Eh jangan Ariel deh, seksi banget. Cinderella aja, bajunya sopan.” Celoteh Wahyu gaje.
“Ada kok kalo mau yang lebih sopan.” Ujar Rara serius.
“Siapa tu?”
“Valak. Puas lo?” Jawab Rara kesal.
“Hiii serem amat sih Ra.”
Vevi hanya tertawa melihat percakapan Rara dan Wahyu. Tampak seorang laki-laki berumur hampir 50an tahun, dengan gaya berjalan agak koboy, masuk ke dalam kelas. Rara dan Vevi langsung bergegas merapikan posisi duduk mereka. Bapak itu mengambil posisi berdiri di depan kelas.
“SElmat pagi anak-anak” dengan logat bataknya yang khas, bapak itu menyapa semua murid di kelas.
“SElamat pagi pak…” Jawab semua murid kompak.
“Eh kok kalian jadi ikutan pulak pakek logat batak kayak saya?”
“Kebawa suasana pak” celetuk asal salah satu murid cowok.
“Hais, ada-ada saja kau ini. Baiklah, pErkEnalkan, nama bapak, Situmorang. Panggil saja Pak Morang. Bapak guru sEjarah di kElas X.” Jelas pak Morang pada semua murid, “sEkarang, bapak mau absEn kalian dulu.”
Pak Morang mulai mengabsen.
….
….
Giliran Rara.
“DORA”
“Saya pak” Takut dimarahi karena seragamnya berbeda, dengan pelan suara Rara menjawab sambil mengangkat tangan kanannya dengan ragu-ragu.
“Eh kEnapa sEragam mu itu bEda dEngan yang lain?” Tanya pak Morang pada Rara.
“Maaf pak, kemarin baju yang tukang jahitnya kasih, ternyata bukan baju saya pak, tapi baju anak cowok.” Jelas Rara dengan muka takut.
“Oh bEgitu..sudah sudah, tak pErlu takut bEgitu muka mu, nanti hilang cantik mu itu Dora.” tutur pak Morang. “Nama kau itu mEngingatkan saya pada cucu saya dirumah, dia itu suka sEkali nonton film kartun, judulnya itu kalo tidak salah ‘Dora Di KEplor’.”
“'Dora The Explorer’ pak” celetuk Wahyu.
“Nah iya, itu maksud saya” pak Morang ngeles. “Baiklah, saya lanjutkan absEn”
Pak Morang pun melanjutkan mengabsen dan memulai perajaran sejarah untuk pertama kalinya di kelas itu sampai jam mengajarnya selesai.
….
Setelah beberapa jam berlalu, 3 mata pelajaran sudah mengisi otak semua murid. Akhirnya bel yang ditunggu-tunggu oleh semua murid pun berbunyi. Waktunya pulang.
“Vi, jadi kan lo nemenin gue ketemu sama cowok yang punya baju ini?” Tanya Rara sambil menunjuk sebuah kantung plastik di tangan kirinya.
“Duh Ra maaf banget, bukan gue gak mau, ini barusan Berry sms gue. Dia minta temenin gue beli kue tart buat ultah mamanya besok.” Ucap Vevi dengan nada merasa bersalah, sambil memegang iphonenya.
“Oh gitu ya Vi.” Tampak wajah kecewa Rara, tapi tidak mau menambah pikiran Vevi, Rara mencoba tegar. “Yaudah, gapapa biar gue sendiri aja. Dimana gue bisa nemuin tu cowok Vi?” Tanya Rara nyengir.
“Kata Berry, Gian nunggu di taman sekolah yang dekat parkiran motor itu loh Ra. Tau kan?”
“Oh..enggak sih. Hehe. Tapi gapapa, nanti biar gue cari” ucap Rara santai.
“Beneran Ra gapapa? Maaf banget ya Ra” tutur Vevi sambil mengelus pundak Rara.
“Iya gapapa Vi, buruan sana samperin Berry. Hehe”
“Iya Ra, dah gue duluan ya. Bye” Vevi pun meninggalkan Rara.
Rara mulai bergegas melakukan pencariannya.
“Oke semangat Ra, kata Vevi ‘taman sekolah dekat parkiran motor’.” ucap Rara dalam hati sambil berjalan menoleh kiri-kanan.
…
….
*******
Sudah hampir 10 menit Gian berdiri di dekat pohon cemara yang ada di taman sekolah
“Mana sih tu cewek, kok gak dateng-dateng.” batin Gian.
….
…
“Gianno Chandra?” Terdengar seorang cewek memanggil namanya.
Spontan Gian langsung menoleh ke arah sumber suara.
Gian terdiam.
“Oh jadi bener lo Gianno Chandra, ni seragam lo ada sama gue, kemaren tukang jahitnya salah kasih.” Jelas cewek itu.
Gian masih terdiam.
…..
“Heii, kok diem? Masak siang-siang kesambet sih” gerutunya sambil mengibas-ngibas tangannya ke depan wajah Gian.
Masih tak ada respon dari Gian.
Matanya tak berkedip.
“Woi!” Teriak cewek itu sekaligus melayangkan sebuah tendangan madun ke tulang kering kaki Gian.
“Awwwww” erang Gian kesakitan, membuat Gian tersadar.
“Lo mesum ya, ngeliatin gue sampe mau copot mata lo!” Ujar cewek itu pada Gian.
“Enak aja lo, kalo ngomong jangan sembarangan. Iya, gue Gianno Chandra. Kenapa?” Ucap Gian nyolot.
Cewek itu menarik nafasnya sepanjang mungkin dan menghembuskannya. “Lo gak denger gue ngomong dari tadi, ini baju seragam lo ada sama gue” jelas cewek itu sambil menarik tangan kanan Gian, memberikan sebuah kantung plastik.
Melihat cewek itu memegang tangannya, Gian gugup. Tapi sebisa mungkin ia mencoba untuk tetap calm. Ketika melihat seragam yang dikenakan cewek itu, pandangannya terhenti pada nametagnya, mata Gian melotot tak percaya.
“D-O-R-A. DORA.”
Iya, dia adalah Dora sekaligus Rara.
Mengingat dugaan Ola kemarin mengenai Dora, “Ola, lo salah 100%” batin Gian dalam hati.
Merasa berada di dalam bahaya melihat sikap Gian yang menurut Rara semakin melampaui batas, Rara langsung melepas tasnya yang lumayan berat dan,
Bukkkk. Ditimpuknya ke kepala Gian.
Gian pun tersadar “Aww!! Lo gila ya. Lo bisa gue aduin ke polisi karena udah melakukan tindakan KDRS, Kekerasan Dalam Rumah Sekolah” ujar Gian nyolot pada Rara.
“Gue punya hak buat melakukan perlindungan dan pertahanan diri dari makhluk berbahaya kaya lo!” Balas Rara tak mau kalah. “Semakin lama gue disini sama lo, keberadaan gue semakin terancam. Mending gue pergi sekarang!” Lanjut Rara sambil beranjak pergi.
“Wei Dor! Ini seragam batik lo ada sama gue.” Teriak Gian sambil bergegas menghampiri Rara.
Rara langsung teringat sesuatu, langkahnya pun terhenti dan menepuk pelan keningnya, “oh iya, gue lupa” ia membalikkan badan.
Gian mengeluarkan sebuah kantung plastik dari dalam tasnya.
Rara pun langsung merebut kantung plastik itu dari tangan Gian dan bergegas pergi.
Langkah Rara terhenti mendadak, dan kembali menghadap ke Gian.
“Gue kasih tau sama lo, nama gue Dora. Gue gak biasa dipanggil Dor!” Ujar Rara sinis.
“Terserah gue dong mau panggil lo apa aja. Mulut-mulut gue. Jadi itu hak gue kalo mau manggil nama lo ‘DOR’!” balas Gian nyolot gak mau kalah.
Rara hanya bisa menarik nafas dan mencoba untuk tetap sabar, malas meladeni Gian lagi, ia pun akhirnya langsung bergegas meninggalkan Gian.
….
……
********
Rara sudah sampai di gerbang sekolah, melihat bundanya belum menjemputnya, refleks ia langsung teringat sesuatu hal.
….
FLASHBACK🔙
….
Kemarin, di perjalanan dari sekolah menuju ke rumah, bundanya menyampaikan suatu hal pada Rara.
“Ra, besok bunda gak bisa keluar kantor. Jadwal meeting bunda full dari pagi sampe malam, jadi besok kamu minta jemput mas Ardan ya Ra, mas Ardan gak ada kuliah kok besok” ucap bunda.
“Oke bun.”
…..
FLASHBACK END.
…
“Astaga, gue lupa bilang ke mas Ardan. Gue juga gak bawa handphone sekarang, disini juga udah gak ada siapa-siapa lagi.” Rengek Rara dalam hati sambil menengok kiri-kanan.
“Gimana caranya gue pulang” mukanya sudah memerah, matanya sudah mulai terasa panas, dan air matanya pun akhirnya menetes. Rara menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis seperti anak kecil. Tiba-tiba..
Ngenggggg…. Cittttttt…
Seorang cowok mengendarai ninja hitam ngerem mendadak di depan Rara. Sambil membuka helmnya,
“Woi! Mau mati lo. Berdiri di tengah jalan”
Terdengar suara cowok yang dikenalnya, Rara langsung mengangkat wajahnya yang sudah banjir air mata.
“elo?! Lo kenapa Dor?” Tanya cowok itu panik. Ya, siapa lagi yang manggil Rara dengan panggilan ‘Dor’ kalo bukan si Gian. Gian langsung melepas helm dan turun dari motornya menghampiri Rara.
“Kok lo nangis gini?” Tanya Gian sambil memegang kedua lengan Rara. Tampak rasa khawatir di raut wajah Gian terhadap Rara.
Tak ada jawaban dari Rara, hanya terdengar suara isakan tangis. Tangan Gian masih berada di lengan Rara.
“Atau gara-gara gue ngomong kayak tadi sama lo, lo jadi nangis gini. Maafin gue, gue gak maksud buat ledekin nama lo, gue cuma pengen cara gue manggil lo beda sama yang lain. Dan menurut gue, panggilan ‘Dor’ gak jelek kok.” Jelas Gian dengan tulus dan merasa bersalah.
“Kok lo jadi melankolis gini sih, lagian gue nangis bukan gara-gara lo. Bunda gue gak bisa jemput, gue juga gak bawa handphone mau ngubungin kakak gue. Gue gak bisa pulang sendirian.” Ucap Rara sambil mengusap air matanya.
Mendengar penjelasan Rara barusan, Gian menghela nafas dan segera menurunkan tangannya dari lengan Rara. Gian langsung naik ke atas motornya dan memasang helm,
“Ayo cepet naik.” Perintah Gian pada Rara.
“Naik kemana?” Tanya Rara aneh.
“Tuh ke atap sekolah. Ya ke motor gue lah”
Seumur-umur Rara belum pernah dibonceng oleh cowok lain selain mas Ardan. Maka dari itu, setiap ada cowok lain yang mau memboncengnya ia selalu menolak, karena tidak terbiasa.
“Enggak. Lagian gue kan baru kenal sama lo, nanti taunya lo punya niat jahat sama gue.” Jawab Rara ketus pada Gian.
“Yaudah, terserah lo!” Gian langsung menghidupkan motornya dan pergi.
Ngenggggg….. Motor Gian pun melaju, dan lama kelamaan sudah tak tampak lagi dari tempat Rara berdiri.
Selang beberapa detik, menyadari Gian pergi meninggalkannya, ada rasa kecewa, sedih dan penyeselan yang menyelinap hati Rara. Merasa putus asa, Rara kembali menangis dan menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba, tidak beberapa lama kemudian.
Ngengggg….citttt.
Spontan Rara mengangkat kepalanya. Seorang cowok yang sempat membuat hatinya kecewa tadi, kembali lagi. Ya, dia adalah Gian. Gian melepas helm dan turun dari motor mendekati Rara
“Kok lo baik lagi?” Tanya Rara bingung.
“Gue gak mau pas besok nonton berita di TV, terus liat lo jadi salah satu korban penculikan, semua orang di sekolah pasti bakal rame ngomongin tentang lo. Dengan orang ngerumpi dimana-mana, bisa berdampak buruk selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Dan pada akhirnya, tingkat konsentrasi gue selama belajar juga bakal terganggu. So, gue yang akan nganter lo pulang sekarang”
Rara hanya bisa menahan emosinya mendengar penjelasan Gian yang membuat dirinya agak jengkel, tapi membuat hatinya lebih tenang.
Melihat tidak ada reaksi dari Rara, Gian mengambil sepotong kayu yang panjangnya kurang lebih 1 meter, tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kemudian Gian meraih tangan Rara, memberikan kayu itu kepadanya
“Nih lo pegang ini”
“Buat apa?” Tanya Rara.
“Kalo lo emang ngerasa takut gue punya niat jahat, ini bisa dijadiin buat pelindung. Pukul gue sekeras-kerasnya kalo gue ngapa-ngapain lo.” Ucap Gian meyakinkan dan memberikan kayu itu ke tangan Rara.
Rara terdiam, mengerutkan dahi.
“Udah, buruan naik.” Ucap Gian sambil melepas helm yang ia pakai, dan memasangnya di kepala Rara lalu menutup kacanya, “Buat nutupin muka lo, gue gak mau orang ngeliat mata lo bengkak abis nangis, terus mikir gue abis ngapa-ngapain lo.” Gian pun naik ke atas motornya.
Rara membuang kayu yang diberikan oleh Gian tadi, dan menyusul Gian naik ke atas motor “Dasar bawel, buruan jalan.” Ucap Rara sambil menepuk pundak Gian pelan.
Gian menghidupkan motor dan mulai menggasnya.
……
……..
********
To be Continued.
1 note
·
View note