Tumgik
#dwifungsi
budisnts · 19 minutes
Text
Kita Yang Mudah Lupa
Tumblr media
Memori manusia terdiri dari banyak macam hal yang menghinggapinya dan bermuara di sana sebagai ingatan yang membawakan perasaan senang maupun getir, tak jarang juga manusia kehilangan lebih banyak hal dalam ingatannya atau memang manusia itu berusaha sekeras mungkin melupakannya. Menurut Gulo (1980) dan Reber (1988), lupa merupakan kondisi yang menyebabkan seseorang tidak lagi dapat mengenal dan memahami suatu hal yang pernah dipelajari atau dialami sebelumnya.
Sedangkan Zen RS mengatakan, "Lupa merupakan sahabat karib impunitas. Dengan lupa, praktik impunitas menjadi semakin mudah dijalankan", Zen sedang menerangkan kepada kita bahwa impunitas senantiasa menuntun ke sebuah bencana di mana tak akan ada lagi keadilan bagi para penyintas kejahatan negara yang makin hari makin banyak korban terus mengalaminya.
Jika kita membuka sedikit ingatan dalam impunitas yang diberikan kepada pembunuh Munir, pembunuhnya masih tetap bersembunyi di balik sebuah kabut yang dilindungi para gegeden. Sedangkan sampai hari ini keluarga Munir masih menuntut keadilan bagi suami, bapak, teman, pahlawan yang berjasa telah diracun oleh arsenik berdosis tinggi. Jikalau memang ada proses keadilan untuk para pelaku, itu bukan sebuah keadilan yang benar, keadilan itu dilaksanakan oleh negara hanya sebatas meredam tekanan dan protes dari massa.
Adapula kita bisa melompat jauh di mana rezim orde baru masih berkuasa, seorang mahasiwa Institut Teknologi Bandung tewas oleh pihak kepolisian pada 6 Oktober 1970. Peristiwa nahas itu dialami oleh Rene Louis Conraad, mahasiwa teknik elektro ITB yang sebelumnya menghadiri pertadingan sepak bola antara mahasiswa ITB dengan pihak kepolisian. Dengan kejinya para pelaku memukuli terlebih dahulu korban hingga tak sadarkan diri, setelah itu korban ditembak mati dan matanya dilemparkan. Kejadian itu bisa dianggap titik mula renggangnya hubungan para mahasiswa dengan aparat bersenjata serta penunutan agar dihapusnya dwifungsi ABRI.
Bertahun setelahnya ada juga peristiwa Malari (1974), Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Santa Cruz (1991) hingga deretan peristiwa ketika tahun-tahun menjelang runtuhnya Orde Baru. Kenapa seolah negara membiarkan ini terus terjadi? Mungkin dari banyaknya kejadian itu pula saya tidak mengalami atau menyaksikan, bahwa dengan ingatan seseoranglah untuk mendokumentasikannya saya bisa menyampaikan kembali pesan ini.
Berapa banyak juga masyarakat yang mengalami represif karena mempertahankan tanahnya dari gusuran proyek negara yang impulsif? Tak hanya masyarakat adat saja yang dianggap tanah hidupnya dianggap sebagai tanah kosong untuk dijadikan sebuah proyek oleh negara atau sekedar perusakan alam atas dasar tambang-tambang, tapi masyarakat kota juga mengalami hal yang sama dengan stigma "perkampungan kumuh". Beberapanya itu yang bisa sampaikan ada Halmahera, Rempang, Kabupaten Merauke, Mandalika, Dago Elos, Tamansari, dan masih banyak lagi konflik tanah yang dilakukan oleh tiran di negara ini. Konflik Tanah ini harus menjadi perhatian kita, siapapun yang belum mengalaminya harus bersimpati kepada kawan-kawan yang sedang dan terus berjuang. Mungkin kita juga lupa bahwa lumpur Lapindo terjadi di bawah kekuasaan seorang mantan presiden yang bulan ini (September, 2024) berpesta pora di sebuah festival musik.
Kemudian bulan september ini telah mencapai pertengahan, bagi yang luput atau tidak tahu sebelumnya, ada istilah yang menarik ketika bulan september itu tiba menjumpai kita yaitu "September Hitam". September Hitam sendiri mempunyai arti kita memasuki kembali sebuah lorong ingatan terhadap banyaknya kejadian yang tercatat ataupun tidak mengenai kekerasan negara terhadap rakyatnya di sepanjang bulan september dalam rentang waktu yang panjang. Mengapa masih ada segelintir orang yang tetap percaya dan menghadiri kegiatan-kegiatan september hitam? Dari pertanyaan itu menggiring saya untuk mengahadiri langsung kegiatan "Black September" di IFI Bandung 14 September lalu.
Dalam kegiatan itu saya hanya mengikuti Hearing Session dari Remake album Homicide yang berumur 20 tahun, yang tak direncanakan sebelumnya adalah itu bertepatan dengan dibunuhnya Munir Said Thalib pada 2004. Mendengarkan kembali album yang melegenda sembari ditampilkan visual bagaimana dari tahun 1998 sejak reformasi kekerasan negara hinnga ditutupnya daftar itu ketika Munir dibunuh. Entah kenapa rasanya malam itu seperti diriku hanyut dibawa oleh lantunan suara Herry Sutersna aka Morgue Vanguard serta melihat banyaknya peristiwa kelam dalam daftar, air mata pun tak sanggup menahan. Pedih, getir, takut, memposisikan bahwa esok atau lusa, saya bisa saja mengalami hal itu.
Ingatan-ingatan itu harus dirawat secara individu maupun kolektif. Menurut Schuman dan Schott (1989), mengikuti Karl Manheim, bahwa memori atau ingatan selalu terkait dengan peroses pencetakan generasi; perihal apa yang telah dialami oleh individu di awal masa mereka dewasa. Namun, ini bukan satu-satunya model memori yang muncul. Sama seperti Karl Marx mengenai kesadara kelas yang terpisah dari setiap pekerja, begitu juga ingatan kolektif merupakan suatu yang terpisah dari kepercayaan setiap warga negaranya. Sebab kenangan selalu melekat dan bisa mengejawatahkannya sebagai bentuk kolektivitas. Ingatan kolektif tentu saja menjadi nilai lebih untuk merawat jaman yang lebih baik menuju kebenaran sejarah.
Bagaimanapun hari ini saya hanya membahasakan keresahan yang menumpuk di dada, setelah sekian lama tak menulis akhirnya kembali menulis. Kepada ingatan kita yang mudah lupa, maka dari itu juga saya mencoba mendokumentasikannya lewat bahasa yang abadi. Mari mengorganisir keputusaan menjadi sebuah nyawa yang tak pernah padam. Merawat ingatan juga tak selalu tertulis rapih dalam kertas yang dibukukan, terkadang sejarah tersimpan dalam dendam dan darah pada jiwa-jiwa yang pernah berurusan dengan para tiran yang bajingan. Dan upaya-upaya ini untuk memotong impunitas yang telah mendarah daging.
Saya pinjam kalimat Zen RS untuk penutup, "Sebab lupa tak bisa membebaskan kita". Mari menolak Lupa.
Bandung, 21 September 2024.
0 notes
kbanews · 1 year
Text
Ratusan Relawan Anies Demo KPK, Desak Firli Bahuri Mundur
JAKARTA | KBA – Ratusan relawan Anies Baswedan melakukan demo di Gedung Merah Putih KPK di Jalan Kuningan Perseda, Jakarta Selatan, Jumat, 14 April 2023. Dari pantauan wartawan KBA News di lapangan, mereka bergerak mulai pukul 16:00 sore. Dengan membawa spanduk bertuliskan “Selamatkan KPK, Stop Dwifungsi KPK” hingga “KPK Milik Rakyat Bukan Milik Firli Bahuri”. Para pendemo pun bervariasi. Mulai…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
taufikaulia · 5 years
Text
Seks Bebas Bukan Amanat Reformasi
Tumblr media Tumblr media
Gimana ya, paham sih sebenernya karena demonstrasi hari ini lintas spektrum dan pemikiran. Banyak macem orang. Bisa jadi sebagian orang fokus ke isu yang satu dan sebagian lagi fokus ke isu yang lain.
Namun, sebelum gerakan moral ini semakin jauh melangkah, tulisan ini cuma ingin sekadar mengingatkan. Kalau semangatnya adalah #TuntaskanReformasi, maka mahasiswa tak sepatutnya memasukkan 'seks bebas' ke dalam agendanya.
Ada 6 amanat reformasi yang disepakati.
Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
Cabut dwifungsi ABRI.
Hapuskan budaya KKN.
Otonomi daerah seluas-luasnya.
Amandemen UUD 1945.
Tegakkan supremasi hukum dan budaya demokrasi.
Reformasi tidak mengamanatkan seks bebas.
Jangan pakai standar ganda, Bro. Korupsi ditentang karena merugikan negara. Sementara zina yang merusak tatanan masyarakat, malah dibela. Gak semua orang bisa korupsi, karena gak semua orang punya wewenang. Tapi semua orang bisa zina karena semua punya alat kelamin. Koruptor keenakan karema korupsi. Pezina juga keenakan karena zina. Apa gak sama aja seremnya?
Lantas dimana pijakan narasi dalam spandukmu itu? Ayo pimpinan-pimpinan mahasiswa yang masih jernih moral dan pikirannya (yang udah rusak, silakan abaikan pesan ini), lebih waspada dan perbaiki narasi. Saya yakin, banyak yang kecolongan. Mungkin niatnya sarkas atau ngelucu, tapi kebablasan.
Gak lucu juga kalau kiprah kalian hari ini berkontribusi pada aborsi janin atau lahirnya anak-anak hasil perzinahan di masa depan. Negeri ini butuh patriot, bukan pezina yang nurutin hawa nafsu.
Maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi dan penuh rasa malu berpeluang besar untuk diampuni. Sebaliknya, maksiat yang dilakukan, dikampanyekan, dan dibela tanpa rasa malu berpotensi besar untuk diadzab di dunia. (Abaikan kalau kamu udah gak percaya tuhan dan agama)
"Gak usah bawa-bawa tuhan dan agama, mas."
Pancasila dan UUD 1945 juga bawa-bawa tuhan dan agama. Ubah dulu konstitusi kita kalau mau saya gak bawa-bawa tuhan dan agama. Saya NKRI, saya Pancasila. Kamu?
Jakarta | Taufik Aulia
1K notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years
Text
Walaupun hanya menjabat sebagai kepala negara selama 22 bulan, Indonesia di tangan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengalami banyak perubahan besar. Di antaranya adalah soal Tionghoa, Papua, dan persoalan tentara yang pada masa orde baru memiliki fungsi ganda atau dwifungsi.
Sebelumnya, Presiden Soeharto membatasi berbagai hal yang berkaitan dengan Tionghoa. Hal tersebut dituangkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan Dan Adat Istiadat Cina.
Pelarangan tersebut termasuk juga tata cara beribadah serta perayaan pesta agama dan adat istiadatnya. Sekalipun dirayakan maka hanya sebatas lingkup keluarga saja. Warga Tionghoa jika ingin merayakan Imlek, pasti mengambil cuti khusus.
Namun ketika Gus Dur menjabat presiden, Inpres yang mendiskriminasi kalangan Tionghoa itu dicabut melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, pada 17 Januari 2000. Inilah pertama kali Hari Raya Imlek berskala nasional dirayakan secara terbuka. Warga Tionghoa tak perlu lagi bersembunyi untuk merayakan hari raya.
Sejak itu, Agama Konghucu kemudian ditetapkan menjadi agama resmi keenam di Republik Indonesia ini. Semula, kelompok Tionghoa banyak yang dipaksa untuk memilih satu dari lima agama resmi pemerintah. Namun semenjak era Gus Dur, mereka bisa kembali menganut kepercayaannya.
Masih di era Gus Dur, Menteri Agama RI yang ketika itu dijabat oleh Muhammad Tolchah Hasan mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Kebijakan tersebut kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan menetapkan Imlek sebagai Hari Nasional Baru melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
Selain Tionghoa, Gus Dur juga membikin perubahan besar mengenai persoalan Papua. Dulu, dua bulan setelah dilantik menjadi presiden, ia berkeinginan mengunjungi Irian Jaya dan berdialog dengan warga di sana. Gus Dur mengatakan, ingin melihat matahari terbit pertama di pulau paling timur di Indonesia itu.
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur bertemu dengan elemen masyarakat di Kantor Gubernur Provinsi Papua. Ia mempersilakan masyarakat untuk berbicara. Terdapat banyak curahan hati dan tuntutan dari warga di sana. Mulai dari ketidakpercayaan kepada pemerintah Indonesia hingga permintaan untuk merdeka. 
Salah satu poin permintaannya adalah mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Gus Dur pun mengabulkan itu. Dengan humor, Gus Dur membeberkan alasannya. Pertama, nama ‘Irian’ itu jelek. Kata itu, ungkap Gus Dur, berasal dari bahasa Arab yang berarti telanjang.
Lebih jauh Gus Dur mengungkapkan, dulu ketika orang-orang Arab datang ke Papua, menemukan masyarakatnya masih telanjang sehingga disebut Irian.
Kedua, ia beralasan bahwa dalam tradisi orang Jawa kalau anak sakit-sakitan, biasanya akan diganti namanya supaya sembuh yang biasanya diberi nama Slamet. “Saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua,” tegas Gus Dur.
Peneliti Gus Dur dan Papua, Ahmad Suaedy menduga mengapa Gus Dur yang menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa. Menurutnya, Gus Dur sedang berupaya menenangkan hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.
Tak hanya itu, Gus Dur juga memperbolehkan warga Papua Bendera Bintang Kejora dan menyanyikan lagu ‘Hai Tanahku Papua’ yang keduanya itu dilarang di era Soeharto. Namun Gus Dur beranggapan bahwa kedua hal tersebut merupakan bagian dari ekspresi identitas kultural.
Dalam sebuah kisah, Menkopolhukam era Gus Dur, Wiranto, pernah melapor soal pengibaran Bendera Bintang Kejora. Gus Dur bertanya, “Apakah ada merah putihnya?” Kemudian Wiranto menjawab, “Ada satu Bendera Merah Putih yang berkibat di sebuah tiang tinggi. 
Dengan santainya Gus Dur menjawab, “Ya sudah anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.”
Mendengar respons seperti itu, Wiranto tetap mengingatkan bahwa pengibaran Bendera Bintang Kejora berbahaya. Namun secara tegas, Gus Dur justru kembali menegur Wiranto bahwa pikiran itu yang harus diubah.
“Pikiran bapak yang harus berubah. Apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Sepak bola saja banyak benderanya,” kata Gus Dur kepada Wiranto, ketika itu.
Gus Dur merespons persoalan yang membuat banyak nyawa melayang dengan cara yang amat sederhana.
Selain dari itu, Gus Dur juga mereformasi tugas tentara yakni agar kembali ke barak. Sebab di era orde baru, hampir semua jabatan sipil dikuasai oleh tentara aktif. Mereka tergabung dalam sebuah wadah bernama Golongan Karya. Hal tersebut bertujuan demi menjamin netralitas para prajurit bangsa dan agar tentara benar-benar fokus melindungi negara dari ancaman yang lebih besar.
Kemudian, ia juga memisahkan TNI dan Polri agar bisa berjalan sebagaimana fungsi masing-masing. Lembaga Kepolisian memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan pengamanan wilayah sipil. Sementara TNI soal keamanan dan pertahanan negara secara militer. Dulu, di zaman Presiden Soeharto, keduanya bercampuraduk.
Gus Dur pun menggilir jabatan Panglima TNI yang sebelumnya hanya dipegang oleh Angkata Darat saja. Kini, Panglima TNI bisa dijabat oleh Angkatan Laut dan Udara. Panglima saat ini adalah Marsekal Hadi Tjahjanto yang berlatar belakang Angkatan Udara.
Di samping itu, Gus Dur juga berperan atau terlibat dalam berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI.
Jaringan Gusdurian beranggapan bahwa Gus Dur semasa menjadi presiden, tidak menginginkan negara berjalan secara totaliter sebagaimana yang dilakukan Soeharto sebelumnya. Tetapi, negara harus ada keseimbangan dan pengawasan. Sementara rakyat, bagi Gus Dur bukanlah objek tetapi subjek yang berdaulat.
Ciputat, 30 November 2020.
2 notes · View notes
inasridhoha · 4 years
Photo
Tumblr media
Jika Anda mendalami bidang bahasa, pasti Anda mengetahui bahwa bahasa Indonesia memiliki banyak sekali kata serapan, salah satunya dari bahasa Sanskerta. Kata serapan ini kita temui dalam pelbaga hal, dokumen, percakapan, bahkan dalam falsafah dasar negara Indonesia. Dalam sila pertama Pancasila, disebutkan mengenai keesaan tuhan. Seketika keesaan menjadi sebuah sifat yang tidak bisa dipisahkan dari ketuhanan. Tapi apa sebenarnya makna dari esa?
Saat masih kuliah saya pernah bertanya, kalau esa diartikan sebagai satu, bagaimana dengan agama lain yang memiliki konsep trinitas? Apakah berarti kita memiliki pencipta yang berbeda? Kenyataannya hidung kita tetap sama.
Esa, yang berasal dari Bahasa Sanskerta, memiliki makna yang berbeda dengan ‘eka’ yang diartikan satu. Dalam Sanskrit Loan Words in Indonesian (1997) karya JG de Casparis, esa diartikan ‘hanya satu’ (only one), dan mengacu pada tuhan.
Hal yang bersifat eka, juga bisa memiliki sifat jamak. Misalnya dalam perhitungan kita menemukan eka, dwi, tri, dan seterusnya. Atau dalam penggunaan beberapa kata seperti ekawarna dan ekafungsi, yang dapat menjadi dwiwarna dan dwifungsi.
Berbeda dengan esa. Entitas yang esa, tidak bisa memiliki sifat jamak. Tuhan yang Esa berarti tidak ada entitas lain yang dapat menjadi substitute. Atau bisa kita katakana Tuhan yang Berkuasa. Jika boleh saya berhiperbola, Tuhan yang Esa berarti Tuhan yang Maha Kuasa.
Dalam Islam, makna Tuhan yang Maha Kuasa tertuang dalam kalimat la ilaha illallah yang berarti Tiada tuhan selain Allah. Dalam kalimat tersebut terdapat penolakan akan tuhan yang kemudian disusul dengan penegasan entitas yang Esa.
Mirisnya, makna esa menjelma menjadi eka. Dengan dasar tuhan yang satu muncul keharusan akan tafsir yang satu. Perintah jihad menjadi batas yang dapat membenarkan tindakan brutal dan aniaya terhadap yang berbeda tafsir. Saya sering bertanya, bagaimana bisa kalimat dari sumber yang sama dapat menciptakan perbedaan perilaku. Satu kalimat membuat kita berhati lembut, dan yang lain membuka jalan untuk menghalalkan kekerasan.
Mungkin pada mulanya bukan berangkat dari agama. Agama yang berasal dari Bahasa Sanskerta memiliki makna a-tidak, dan gama-kacau. Agama hanya berusaha mengatur dengan berbagai tafsir dan ritualnya agar tidak kacau. Tapi saya rasa jawaban semua ini terletak jauh lebih abstrak dari barisan aturan. Lebih dari sekedar laku yang dituangkan dalam barisan kalimat suci, yang kemudian dapat mendikte laku juga.
Mungkin konsep abstrak ini yang ingin dikemukakan oleh Schnieder dalam “multiplistas”. Keluwesan berpikir, melihat sesuatu secara holistis. Sehingga tafsir yang tunggal itu, dapat diterapkan dalam pelbagai segmen kehidupan.
1 note · View note
hindiabooks-blog · 7 years
Photo
Tumblr media
🚚 BERPOLITIK atau KEMBALI KE BARAK Militer Dalam Wacana #MasyarakatMadani Kumpulan Tulisan #AbdurrahmanWahid #AndiMallarangeng #ArbiSanit #HermawanSulistyo dkk 🌌 #BIGRAF 1999 cet. 1 292 hlm Bekas, baik, tanpa coretan ⛴ 50.000 🌌 🚙 Pemesanan DM @hindiabooks | fb.me/hindiabooks | WA +62-896-2225-3005 🌌 #berpolitikataukembalikebarak #wacana #paramiliter #demokrasi #sejarahmiliter #perang #gerilya #wijithukul #demokrasi #tni #dwifungsi #kapitalisme #buku #kopi #diskusibuku #indoreader #hindiabooks #stok_hindiabooks 🚢
0 notes
adioranan · 2 years
Photo
Tumblr media
Tangga dwifungsi sbg Rak Helm 🤭 https://www.instagram.com/p/Cg3dHUChjxc/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
jimshoneyofficial · 3 years
Photo
Tumblr media
Ladies, get to know Lisa Bag from @jimshoneyoffc tas elegan dengan sentuhan crafting detail Jims Honey . Lisa Bag diproduksi menggunakan bahan PU leather grade A sehingga memberikan tingkat durabilitas tinggi kepada Lisa Bag . Terdapat sling strap dan hiasan ornamen bunny di shoulder strap yang menjadi keunikan bagi tas ini serta dwifungsi (hand bag dan sling bag) . Last but not least, Lisa bag dipercantik dengan polkadot scarf pada sisi depan tas yang mempermanis tas ini Price : IDR 330.000 SALE 50% menjadi IDR 165.000 Tunggu apalagi, ladies, let's catch this precious catch! Details: Bahan : Kulit sintesis grade A dengan motif Size : 18 x 11,5 x 20,5 cm Berat : 500 gram - Terdapat 2 ruang berukuran besar di dalam tas - Terdapat 1 ruang berukuran sedang dengan resleting di bagian tengah tas - Terdapat 1 ruang berukuran kecil dengan resleting di bagian dalam belakang tas - Terdapat 1 sekat berukuran sedang di bagian dalam tas - Terdapat 1 sekat berukuran kecil di bagian luar belakang tas - Terdapat tali pendek yang menyambung pada tas dengan perpaduan scraft polkadot - Terdapat 1 tali panjang yang dapat disesuaikan #JimsHoney #iCarryJH #JHLisa #Lisabag (di Jakarta, Indonesia) https://www.instagram.com/jimshoneyofcstore/p/CXk8ebmFtK3/?utm_medium=tumblr
0 notes
maniacinema · 3 years
Text
Aum! : Perlawanan, Sinema dan Orde Baru
Tumblr media
Satriya (Jefri Nichol) muncul dari balik pakaian yang dijemur, berlari di lorong sebuah rumah susun. Ia berlari dan tetap mewaspadai sekitar, sesekali melihat ke belakang. Ia sembunyi, dan berlari lagi dari kejaran orang-orang yang mengenakan pakaian laiknya ‘preman’—umumnya ini bagian dari militer, kaki-tangan di era Orde Baru. Sampai pada Satriya menemui jalan buntu dan berbalik arah, lalu dari balik tembok muncul kepalan tangan tepat ke wajahnya.
Adegan berdurasi 1:30 menit itu menjadi pembuka dalam Aum! (2021). Setidaknya dari awal cerita, narasi aktivisme di akhir era Orde Baru sudah cukup kental. Satriya tampak sebagai representasi para mahasiswa yang berjibaku dengan aktivisme untuk memperjuangkan reformasi.
Di Pertunjukan (Bagian I) dalam Aum! ini, diceritakan bahwa ternyata Satriya memiliki saudara yang berprofesi sebagai militer, yakni Adam (Aksara Dena). Di tengah ketegangan akhir kejayaan Orde Baru, di mana militer tengah gencar-gencarnya memburu siapa saja yang dianggap sebagai pemberontak, Satriya sebagai mahasiswa ialah salah satu target militer.
Linda Salim (Agnes Natasya Tjie) sebagai produser dan tim produksi Pertunjukan lainnya, berupaya membuat film dengan sekepal narasi menyoal wacana reformasi di era Orde Baru. Bagi Linda dan teman-temannya, penuturan lewat sinema berisi wacana reformasi sama pentingnya dengan ribuan kepalan tangan mahasiswa di jalanan yang memperjuangkan tumbangnya sang diktator.
Praksis Gerilya Produksi Film di Akhir Orde Baru
Hakikatnya Aum! merupakan film dalam film. Pada Perjalanan (Bagian II) kita disuguhkan bagaimana proses produksi film independen di era Orde Baru. Khusus konteks film ini, Perjalanan sebagai proses produksi Pertunjukan. Hal inilah yang membedakan Aum! dengan film-film bertemakan reformasi lainnya. Di mana itu menggambarkan titik-titik penting dalam peristiwa ’98; demonstrasi mahasiswa, kerusuhan yang mengakibatkan etnis Tionghoa sebagai korban, dan kebejatan rezim Orde Baru. Namun setelah melewati 25 menit pertama dalam Aum! hadirlah Perjalanan dan menegaskan tema seperti ini ternyata sama pentingnya.
Bambang Kuntara Mukti sebagai sutradara Aum! termasuk jeli dalam memilih narasi produksi film independen di era Orde Baru untuk mendapatkan sisi human interest lainnya. Selain itu, produksi film independen juga menjadi tepat ketika hal ini ditekankan dalam menyuarakan kebebasan berekspresi.
Membuat film independen bukanlah hal yang mudah di Orde Baru. Membuat film independen sama saja seperti melawan negara. Pada era Orde Baru, mengutip Eric Sasono , terdapat satu-satunya organisasi perfilman bernama KFT (Karyawan Film dan Televisi). Ini berkaitan dengan pelarangan negara terkait adanya lebih dari satu organisasi profesi agar mudah dikendalikan. Otomatis, melanggar ketentuan KFT berarti sama sekali tak mungkin bisa masuk ke industri film dan televisi.
Dalam Perjalanan, hadir sosok Paul Whiteberg (Richard) sebagai wartawan dari Amerika Serikat yang meliput seputar reformasi ‘98 di Indonesia. Dari lensa kamera Paul inilah Perjalanan disajikan serupa film dokumenter. Awal kehadirannya tentu menjadi momok bagi para kru film, karena rezim Orde Baru sangat berhubungan dengan Amerika Serikat. Namun, Linda meyakinkan rekan-rekannya termasuk Panca Kusuma Negara (Chicco Jerikho) sebagai sutradara, bahwasanya Paul berada di pihak mereka.
Senada dengan Pertunjukan, dalam Perjalanan juga menarasikan ketegangan dan kewaspadaan mahasiswa terhadapa rezim Orde Baru. Pertama-tama, yang paling menonjol adalah saat produksi film, Linda kerap kali mengingatkan kru lainnya untuk tidak berisik dan sebisa mungkin bekerja dengan keadaan senyap. Hal itu tentu saja mengantisipasi suara dan wacana yang mereka tuang dalam film agar tidak terdengar oleh orang lain. Apalagi, di era Orde Baru, dwifungsi ABRI benar-benar berjalan dalam tatanan idealnya. Sehingga bisa jadi tukang sapu, pedagang bakso, dan profesi sipil lainnya diperankan oleh militer. Sebab itu, Linda tak henti-hentinya bersikap sangat hati-hati.
Penyajian narasi proses produksi film independen dalam Aum! bukan tanpa alasan, atau sekadar agar terlihat berbeda dari film bertemakan reformasi lainnya. Produksi film independen di era Orde Baru, sejatinya memang benar-benar dilakukan. Meski pergerakan dibatasi dan adanya penyensoran film, produksi film independen tetap bergerilya, baik kelompok maupun individu.
Lihat Quirine Van Heeren dalam Jiwa Reformasi dan Hantu Masa Lalu: Sinema Indonesia Pasca Orde Baru (2019)  memberi contoh film independen yang diproduksi di era Orde Baru yakni Kuldesak (1999) yang diproduksi secara bawah tanah oleh empat sutradara Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani, dan Nan Achnas. Mereka, sebut Heeren, melanggar semua peraturan produksi film yang diberlakukan pada masa Orde Baru. Sekilas, Orde Baru melakukan praktik sebagaimana disebutkan Heeren, cursive practices (praktik miring) dalam mediasi film di tahapan produksi, distribusi, dan penayangan film guna mempropagandakan dan merepresentasikan nilai dan politik negara dalam film.
Masih mengutip Heeren, Kuldesak diproduksi secara sembunyi-sembunyi selama dua tahun (1996-1998) dan keempat sutradara itu mengabaikan peraturan legal-formal rezim Orde Baru soal produksi film untuk menghemat tenaga, waktu, dan biaya. Uniknya, para sutradara Kuldesak sengaja tidak mendaftarkan rencana produksi Kuldesak kepada Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan.
Paling tidak, narasi Aum! mendekati itu. Produksi film independen oleh mahasiswa dengan peralatan seadanya dan melanggar asas-asas peraturan membuat film di Orde Baru, menyatakan bahwa film ini mengingatkan tentang bagaimana represifnya Orde Baru dari perspektif pembuatan film.
Warisan Orde Baru Hari Ini
Hari ini, 23 tahun sudah reformasi berlangsung di Indonesia. Harapan para reformis yang memperjuangkan reformasi pada 1998 silam, menjadi aspek penting yang bisa ditarik pada Aum! Dengan pola naratif yang kompleks, Aum! mencoba memberikan penggambaran hidup di era Orde Baru, khususnya kepada saya yang tidak merasakan hidup di era tersebut.
Dengan adegan-adegan dalam Aum! bisa dikatakan sebenarnya tak jauh beda dengan keadaan saat ini. Lihat saja, ketika Linda tak bosan-bosan mengingatkan kru film lainnya agar sesenyap mungkin dalam bekerja. Walaupun berbeda konteks, hari ini kita juga tak bosan-bosan mengingatkan diri sendiri untuk bersuara, berpendapat, dan berekspresi dengan hati-hati terutama di media sosial agar tidak terjerat UU ITE.
Selain itu, Aum! secara halus menarasikan sifat militer Panca saat berlangsungnya produksi film. Orde Baru diketahui tak suka dengan pers, bahkan beberapa perusahaan pers seperti Tempo, DeTik, dan Editor dibredel. Panca sebagai sutradara yang idealis justru tidak suka jika kamera Paul menyorotinya. Padahal seperti yang dikatakan Linda, posisi Paul di situ untuk liputan. Selain itu Panca juga bertingkah semaunya sendiri, sampai-sampai Linda mengatakan, “Tidak ada tempat untuk orang yang keras kepala, apalagi semaunya sendiri”.
Dalam Pertunjukan, adegan para tentara menggelar konferensi pers, mereka mengingatkan aktivis dan mahasiswa agar berdemonstrasi secara tertib dan tidak melanggar hukum. Hari ini, narasi-narasi aparat seperti ini kerap kali ditemukan. Bagaimana mungkin berdemonstrasi secara tertib dan tanpa kekerasan di mana kekerasan sendiri ialah aparat. Menghadapi kekerasan dengan cara tanpa kekerasan sama dengan bunuh diri.
Hari ini juga, para orang tua dan sahabat korban peristiwa ’98 juga masih menuntut keadilan, mempertanyakan nasib orang-orang yang dihilangkan oleh rezim Orde Baru. Dalam Pertunjukan, masih dalam gelaran konferensi pers, seorang wartawan menanyakan nasib aktivis dan mahasiswa yang hilang. Sontak gelagat para militer itu langsung berubah, mendiskusikan apa yang harus disampaikan ke pers dan apa yang tidak, seakan-akan menyembunyikan sesuatu. “Kami telah membentuk sebuah tim pencari fakta. Kami pastikan kurang dari 14 hari, kami sudah menemukan fakta-fakta baik secara empiris maupun lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik,” terangnya kepada wartawan. Namun, sampai hari ini juga belum selesai dan masih ada aktivis dan mahasiswa yang dinyatakan hilang dalam peristiwa itu, dan artinya penyelesaiannya tidak menyeluruh.
Terlalu banyak korban dalam peristiwa ’98 yang belum diselesaikan negara hingga hari ini. Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) , empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal ditembak aparat militer dan 681 orang dari berbagai kampus  mengalami luka-luka. Pada rentang 13-15 Mei 1998 juga korban berjatuhan di Jakarta, Bandung, Solo, dan beberapa kota, sebanyak 1.300 lebih orang tewas dan ratusan perempuan diperkosa tanpa mendapatkan keadilan hingga sekarang. Itu data kasar yang sampai ke Kontras, saya yakin bisa jadi jumlahnya lebih banyak dari itu.
Singkatnya, hari ini “Orde Baru” masih bekerja dan difasilitasi negara. Pemerintah melanggengkan perlakuan Orde Baru kepada rakyat, dengan cara yang berbeda namun sama menyakitkannya. Reformasi mungkin saja terjadi, tapi sifat-sifat kediktatoran dan kekerasan negara itu mendarah daging.
Dalam konteks ini, saya mengaminkan pernyataan Errico Malatesta dalam Malatesta: Life and Ideas (2005) di mana ia mengatakan, pemerintah dan kelas istimewa alamiahnya selalu mempertahankan diri, mengembangkan kekuasaan; jika ketika mereka menyetujui reformasi itu karena mereka menganggap bahwa hal itu menguntungkan mereka atau karena mereka kehilangan kekuatan dan menyerah, karena takut akan alternatif yang lebih buruk bagi mereka.
Aum! dengan penuturannya sepanjang film menegaskan produksi film independen bagian dari perlawanan terhadap negara, baik di era Orde Baru maupun hari ini. Isyarat dalam Aum! bisa ditarik sebagai bahwasanya pembuat film independen sebenarnya dekat sekali dengan militer. Institusi penyiaran hari ini juga melanggengkan sikap militeristik era Orde Baru. Di negara yang militeristik, bisa jadi orang-orang terdekat kita—saudara, orang tua, sahabat, dll—bagian dari militer. Dan tentu saja, dari dekat sekali, memeriksa isi kepala kita sendiri perihal kelanggengan militeristik.
Penulis : Bagus Pribadi
Aum! | 2021 | Sutradara: Bambang "Ipoenk" Kuntara Mukti | Pemeran: Jefri Nichol, Chicco Jerikho, Aksara Dena, Agnes Natasya Tjie | Negara Asal: Indonesia | Durasi: 83 menit | Produksi: Lajar Tantjap Film
Bagus Pribadi
Tumblr media
Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi yang sedang skripsian. Agar tidak mengutuk waktu, ia nyambi jadi jurnalis di salah satu media lokal di Pekanbaru.
Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
ayojalanterus · 3 years
Text
Soroti Multifungsi TNI Era Jokowi, Rocky Gerung: TNI Ikut Nurunin Baliho-Jadi Komisaris-Jadi Satgas, Pertanda Rezim Ini Rapuh!
KONTENISLAM.COM - Pengamat politik dan akademisi Rocky Gerung menyebut multifungsi TNI sebagai pertanda rezim yang tak mempunyai harga diri.
Rocky Gerung menyoroti peran TNI di era rezim Jokowi yang juga melakukan berbagai aksi bernuansa politis, mulai dari menurunkan baliho Habib Rizieq, menduduki jabatan komisaris BUMN, hingga tergabung dalam satgas bentukan pemerintah.
"Jadi ini bukan sekedar dwifungsi tentara tapi multifungsi dari TNI. Nurunin baliho, jadi komisaris, jadi satgas segala macem. Artinya, rezim itu nggak punya pride, nggak punya harga diri untuk menganggap 'Kita kuat, rezim ini kuat' karena dilindungi oleh demokrasi tuh," kata Rocky Gerung sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Refly Harun pada Minggu, 7 November 2021.
Rocky Gerung mempertanyakan alasan rezim Jokowi masih kerap melibatkan TNI dalam berbagai manuver politik dalam Istana.
Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah pertanda rezim yang rapuh dan tak mempunyai harga diri.
"Jadi kalau dia masih mengundang tentara masuk ke Istana, itu artinya rezimnya rapuh sebetulnya. Tanda rezim rapuh itu mengajak ulang TNI untuk masuk dalam kekuasaan," ujarnya.
Rocky Gerung menganggap, sikap rezim Jokowi yang melibatkan TNI dalam kepentingan politis mereka melanggar konsep politik berbasis civilian values.
Dia menegaskan bahwa pemerintahan sipil merupakan sebuah pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai sipil, terlepas dari siapapun pemimpinnya.
"Padahal kita putuskan dari awal bahwa 'Kita kembalikan politik dalam wilayah civilian values' tuh. Seringkali orang salah menganggap bahwa pemerintahan sipil artinya pemerintahan orang sipil, yang berkuasa bukan orang sipilnya tapi nilai-nilai sipilnya," katanya.
Meski demikian, Rocky Gerung juga menemukan banyaknya masyarakat sipil di zaman sekarang ini yang berlagak layaknya seorang tentara.
Dia berpendapat, hal tersebut merupakan salah satu indikasi turunnya indeks demokrasi Indonesia di level internasional.
"Sekarang bahkan orang sipil itu udah berlagak seperti tentara. Apel siaga, dikasih seragam, segala macem. Jadi sesuatu yang memburuk sebetulnya dan diamati oleh internasional, itu salah satu penyebab kenapa indeks demokrasi kita diturunkan," ujar dia.
Rocky Gerung juga menegaskan bahwa tak ada istilah independen dalam dunia militer karena tentara diatur dalam satu komando.
Atas hal tersebut, dia menilai bahwa apa yang dilakukan Dudung tak lepas dari perintah melalui bahasa tubuh Presiden Jokowi.
"Gak ada yang independen dalam tentara, tentara itu diatur dalam prinsip man of command, jadi ada keketatan komando, tidak mungkin Dudung mengambil inisiatif tanpa membaca bahasa tubuh Presiden Jokowi," tuturnya. [pikiranrakyat]
from Konten Islam https://ift.tt/309tu7D via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/11/soroti-multifungsi-tni-era-jokowi-rocky.html
0 notes
hindiabooks-blog · 7 years
Photo
Tumblr media
🚚 MILITER DAN GERAKAN PRODEMOKRASI Studi Analisis Tentang Respon Militer Terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia 🌌 #Cholisin #TiaraWacana 2002 187 hlm Bekas, sangat baik, tanpa coretan ⛴ 35.000 🌌 🚙 Pemesanan DM @hindiabooks | fb.me/hindiabooks | WA +62-896-2225-3005 🌌 #militerdangerakanprodemokrasi #demokrasi #wijithukul #demokrasi #tni #sejarahmiliter #perang #gerilya #dwifungsi #kapitalisme #buku #kopi #diskusibuku #indoreader #hindiabooks #stok_hindiabooks 🚢
0 notes
naofficial · 7 years
Text
Yellow Card
Viral Kartu Kuning
Bahasan kita kali ini sedikit keluar dari konten tumblr text saya biasanya yang kebanyakan konten nya berisi pengalaman hidup saya dan pelajaran apa yang saya ambil kemudian saya share dalam bentuk tumblr text. But, tidak akan jauh berbeda karena saya akan sedikit dan berusaha merelasikan dengan pengalaman hidup saya. Kata-kata yang saya gunakan juga akan semi-formal tidak bebas seperti biasanya. Pertama, saya sebenarnya pernah membahas atau sedikit memberikan pendapat saya tentang pemerintahan Indonesia di tulisan sebelumnya yang berjudul “Curhatan Rakyat Kecil” kalian bisal scroll down kalau kalian penasaran apa yang saya bahas di tulisan itu. Disetiap tulisan saya juga tidak lupa mencantumkan sisi agama karena saya adalah manusia yang beragama dan agama saya mengajar hal-hal yang harus dan wajib saya syiarkan. Okay let’s begin!
Viral kartu kuning memang sedang melanda negara Indonesia tercinta dimana kartu kuning tersebut di layangkan kepada bapak Presiden kita. Kronologinya akan saya jelaskan sedikit karena saya harap kebanyakan dari kalian sudah sangat hafal bahkan mungkin sudah mengkritisi lebih dulu. Jadi ketika dies natalis Universitas Indonesia ada seorang mahasiswa yang kebetulan Presiden Mahasiswa UI dia dengan berani nya di hadapan seluruh mahasiswa juga pejabat kampus memberikan kartu kuning yang dimana di mengangkat sebuah map atau kertas saya juga tidak tahu pasti dan membunyikan peluit. Kartu kuning sendiri dalam sepak bola yang saya tahu adalah tanda Peringatan dimana peringatan itu di berikan kepada pemain bola yang kedapatan melanggar aturan yang telah ditetapkan dalam olahraga sepak bola begitu yang saya tahu. Kartu kuning yang di berikan oleh Presma UI ini bukan tanpa alasan kartu kuning ini di berikan kepada pak Presiden dengan alasan bahwa bapak Presiden masih memiliki banyak PR yang harus di kerjakan sebelum periode nya selesai. Isu yang diangkat pun cukup menarik Pertama, gizi buruk dan wabah penyakit di Asmat Papua yang menewaskan puluhan orang Kedua, adanya tindak dwifungsi ABRI yang atau rencana pemerintah yang mengangkat pejabat Gubernur dari TNI/POLRI yang jelas jelas mengkhianati reformasi Ketiga, adanya draft peraturan baru organisasi mahasiswa yang dinilai mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa. Isu tersbut adalah isu yang ingin diangkat Zaadit (Presma UI) kepada Presiden Jokowi.
Banyak pro dan kontra dari tindakan yang dilakukan Zaadit. Ada yang bilang itu tindakan patriotik, berani dan tindakan yang memang seharusnya dilakukan mahasiswa sebagai agent of change tak sedikit pun yang bilang bahwa itu adalah tindakan yang tidak beretika tindakan yang tidak mencerminkan mahasiswa sebagai kaum intelektual muda. Banyak kritikan-kritikan yang di terima Zaadit. Now, bagaimana pendapat saya sebagai mahasiswa khusus nya mahasiswa politik yang dituntut ke kritisan nya dan di tuntut tidak apatis soal politik. Menarik memang membahas masalah politk saking menariknya kadang saya juga sampai tidak tertarik haha Pertama, masalah politik yang berimbas pada rakyat miskin sangat banyak di Indonesia. Hal yang dilakukan Zaadit saya sendiri tidak tahu apakah itu hal yang benar atau salah karena, disini saya menyoroti isu yang di angkat oleh dia bukan kartu kuning yang dia angkat, masalah kartu kuning menurut saya itu adalah cara dia, dan dia bebas untuk melakukan apapun selama itu tidak melanggar peraturan dan hanya mengacungkan kartu kuning adalah hal yang memang mengaget kan tapi itu hal yang biasa bila dibandingkan dengan yang dulu-dulu yang dilakukan mahasiswa tidak hanya Zaadit yang mengacungkan kartu kuning banyak hal-hal yang lebih GILA yang dilakukan mahasiswa untuk menarik perhatian pemerintah untuk di dengar aspirasinya. Jadi mengacungkan kartu kuning adalah hal biasa saja tidak salah juga tidak benar posisi biasa saja menurut saya. Karena bila dibandingkan aksi-aksi mahasiswa lain yang bahkan aksi yang kita tidak tahu dan tidak terekspos kamera mungkin karena saking gilanya.
Isu pertama yang diangkat Zaadit adalah isu kelaparan dan penyakit di Asmat Papua. Oke disini pendapat saya isu kelaparan dan gizi buruk tidak hanya melanda Papua karena sebenarnya jangan jauh-jauh ke Papua di Ibu kota saja saya yakin isu tersebut masih ada dan itu saya buktikan meskipun saya tidak lihat langsung ke dalam rumah mereka ketika saya berrkunjung ke Jakarta beberapa hari yang lalu dan melewati gang-gang kecil sekarang pertanyaan nya, Yakin mereka yang hidup di gang-gang sempit dan bantaran sungai juga rumah-rumah kumuh mendapat gizi yang tercukupi atau mereka makan hanya agar tidak lapar tanpa memperhatikan gizi ? Atau yakin mereka sudah makan 3x sehari? Isu gizi buruk ini adalah isu yang menyangkut kualitas SDM, tapi isu ini sebenarnya sangat dekat dengan kita dan tidak harus jauh-jauh ke Papua tapi juga jangan di sepele kan isu di Papua. Apakah masalah Gizi buruk dan Penyakit di Tanah air ini sudah selesai? Saya akui susah memang menjaga dan memastikan gizi yang cukup untuk semua warga negara dengan notaben negara yang besar dan kepulauan dengan jutaan penduduk. Tetapi jika di kembalikan kepada pemerintah ini kan tugas pemerintah? Tidak menurut saya ini tugas seluruh warga negara tanpa terkecuali kita. Ibnu Taimiyah pernah berkata kesuksesan suatu pemerintahan merupakan kesuksesan warga negaranya. So, pemerintah baik juga tergantung warga negaranya. Warga negara dan pemerintah harus bekerjasama. Pemerintah harus siap mendapat kritik dan saran karena kritik dan saran tersebut di perlukan agar pemerintah tidak jalan sendirian dan juga warga negara pun harus siap di atur dan di kritik begitu yang dilakukan oleh Umar bin Khattab pada Zaman kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Umar adalah salah satu contoh pemimpin yang wajib ditiru pemimpin zaman now karena track record nya yang bisa bekerjasama dengan warga negara. Juga masyarakat islam yang kala itu yang mau diatur oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Disini saya tidak akan memberikan solusi karena itu bukan ranah saya, saya hanya berperan sebagai observer, yang mengamati lingkungan saya. Karena dilingkungan saya pun masalah tersebut masih belum semua terselesaikan oleh pemerintah daerah meski pemerintah telah mengerahkan segala upaya karena kembali lagi mereka yang memerintah juga manusia bukan Tuhan. Banyak yang telah dilakukan warga negara untuk membantu mereka yang kelaparan dan gizi buruk dengan penggalangan dana tanpa pemerintah tahu dan tanpa pula terekspos oleh media sepertinya banyaknya platform-platform penggalangan dana untuk masyrakat gizi buruk, kelaparan dan penyakit. Well, pada inti nya isu yang diangkat Zadit sudah tepat tetapi isu ini tidak hanya di satu daerah di Indonesia masih banyak bahkan di dekat kita yang bahkan tetangga kita sendiri. Dapat poin nya? Haha
Isu kedua yang diangkat oleh Zadit adalah isu dwifungsi ABRI atau rencana pengangkatan Gubernur dari kalangan TNI/POLRI. Sebenarnya saya tidak terlalu concern dengan ini tapi disini saya menyayangkan bahwa sebenarnya masalah ini adalah masalah dari zaman Presiden Soeharto yang menurut saya sudah dapat di mengerti oleh pemerintah sekarang. TN/POLRI adalah lembaga negara yang sebenarnya harus bersikap netral dan sesuai dengan tugas nya untuk menjaga keamanan, pertahanan serta kedaulatan negara dan bersinergi dengan pemerintah mengenai masalah ini bukan malah ikut-ikut terjun dalam dunia politik. Negara sudah menjunjung nilai reformasi dengan menghapus kan dwi fungsi ABRI. Dan yang terpenting permasalahan di Indonesia bukan hanya masalah ini saja yang harus di gembor-gemborkan masalah ini selesaikan di internal pemerintah saja menurut saya dan saya yakin dan kita juga harus percaya bahwa pemerintah yang baik dan amanah tidak akan pernah menghkhianati rakyat nya. Dan mulai fokus pada masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan warga negara dan mau dibawa kemana masa depan negara. Pemerintah dan masyarakat harus memperhatikan bagaimana kualitas pemimpin-pemimpin negara masa depan. Karena menurut saya pemimpin-pemimpin negara masa depan adalah cerminan dan warisan pemimpin sekarang. Mari kita perbaiki negara sama-sama. Semoga mendapat poin nya haha.
Isu ketiga isu ini lumayan mengganggu pikiran saya karena disini melibatkan langsung mahasiswa. Yang berisikan peraturan Kemeristekdikti yang dianggap akan mengancam kebebasan berpendapat dan keorganisasian mahasiswa. Nahh.. disini saya sendiri tidak tahu apa isi dari draft tersebut dan saya juga tidak terlalu memperhatikan penjelasan Kemenristek di acara Mata Najwa soal ini. Well, saya akan mencoba sedikit berkomentar saja secara umum. Disini jika memang benar peraturan tersebut akan mengancam kebebasan berpendapat mahasiswa saya jelas akan kurang setuju karena, mahasiswa juga representasi warga negara bedanya mahasiswa dianggap kaum intelek yang lebih banyak belajar dan dianggap ahli dalam bidang nya dan jurusan nya masing-masing dan dianggap memiliki data yang berhak di dengar aspiranya untuk negara yang lebih baik kedepanya meski terkadang mahasiswa tidak langsung terjun ke lapangan misalkan merasakan kelaparan, gizi buruk dan kemiskinan tapi dengan data dan pembelajaran mahasiswa akan bisa memberikan kritik dan saran. Jika aspirasi dibatasi maka, kita tidak akan pernah tahu apa yang dilakukan pemerintah, apa pemerintah sudah bekerja atau tidak karena, yang dibutuhkan adalah kerjasama antar warga negara dan pemerintah jika pemerintah menutup diri dari kritik dan saran dan semuanya serba dibatasi apa itu yang namanya kerjasama?. Jadi membatasi ruang gerak mahasiswa dalam memberikan aspirasi it’s mean membatasi aspirasi warga negara nya sendiri sedangkan warga negara sangat dibutuhkan dalam pembangunan negara yang lebih baik.
Pada intinya pemerintah memang harus menerima segala aspirasi warga negara sebagai bentuk peng-aplikasian negara demokrasi tetapi juga sebagai mahasiswa kita tidak boleh sembarangan dalam menyampaikan aspirasi, perhatikan etika karena mahasiswa yang dilihat adalah etika nya se pintar-pintar mahasiswa jika tidak punya etika sama saja. Mahasiswa juga jangan hanya pintar ber-aspirasi tanpa prestasi, prestasi mahasiswa jelas dibutuhkan sebagai bentuk kerjasama demi kemajuan negara. Pesan dari saya sebagai penulis tetap sama seperti apa yang pernah saya tulis, “kami tidak ingin bersuudzon kepada pemerintah, tapi buktikan dengan berkurang nya pemberitaan negatif dari pemerintah agar kami tidak suudzon, karena negara ini negara yang punya banyak potensi untuk maju. Jangan hanya pemberitaan korupsi sekian miliar, kemiskinan, dll tapi juga jangan ditutupi karena akan menggerogoti. Kami ingin mendengar berita positif bukan semata-mata untuk kami yang beraspirasi melainkan untuk jutaan penduduk negeri tercinta ini agar kami juga tidak mudah suudzon pada pemerintah”
Semoga bisa menginspirasi, terimakasih telah membaca, yang perlu kita lakukan adalah menghargai pendapat orang lain agar hidup lebih bahagia.
8 notes · View notes
prima94 · 7 years
Text
Ngebully Zaadit
Aksi kreatif yang dilakukan oleh Zaadit Taqwa (Ketua BEM KM UI 2018) memang bisa dibilang cukup berani, tapi saya rasa untuk seorang aktivis sudah mempertimbangkan konsekuensi di balik apa yang dia lakukan. Kalaupun belum dipikirkan reaksi apa yang akan muncul dari aksi tersebut, setidaknya dia sudah siap menanggung resiko. Berbagai macam respon datang dari arah yang ga terduga-duga, bahkan beberapa menteri ikut berkomentar soal aksi tersebut. Komentar dari para menteripun juga ga kalah pedasnya dari komentar para netizen.
Sejujurnya saya pribadi ngeri kalo baca komentar satu per satu dari mereka. Rasanya, mostly netizen memojokkan Zaadit dengan segala macam argumennya, yang kalau ditanya soal Asmat, Dwifungsi Abri, UU Ormawa belum tentu peduli. Kok jangankan peduli, ngerti ada soal beginian aja belum pasti. Apa yang dilakukan Zaadit hanya sekedar metode saja yang dikemas dalam bentuk simbol berupa kartu kuning dan pluit. Kalau kata Satria Triputra (Presiden Mahasiswa KM UGM 2015), “mbok ya jangan ramai pada metode tapi sepi pada substansi.” Kalau memang berkomentar maka sepilah pada metode tapi ramai pada substansi. Artinya, jangan mendebatkan metode yang digunakan Zaadit tapi, diskusikanlah substansi yang diangkat oleh Zaadit.
Seolah semua orang terfokus untuk mendebatkan aksi kartu kuning, tapi sedikitpun ga ada yang peduli dengan substansi dibalik kartu kuning. apalagi cemooh yang ditujukan ke Zaadit bahasanya bukan main, ga kalah ganas sama preman-preman pasar. Aksi Zaadit seolah disebut ga bermoral, terus kalau aksi bullying dengan menyudutkan seseorang disebut apa donk? adakah kata yang menggambarkan lebih buruk dari kalimat ga bermoral? jadi kebalik-balik gini kan? Yang menegur dengan landasan fakta dan data dibilang ga bermoral, tapi yang berkomentar kasar, jorok, hina didiemin aja atau malah dianggap wajar dan dimaklumin? Ayoklah, jangan kaya buih di lautan gini. Mudah dihempas dan mudah tercerai berai. Riuh menghantam, tapi rapuh pemikiran.
Manusia itu dikaruniai akal untuk berpikir, dikaruniai hati untuk berperasaan. jangan melupakan kodrati ini. Gunakan akal untuk berpikir lebih bijak sehingga output yang kita keluarkan tidak mengiris hati manusia lain. Kalau memang diri kita belum mampu untuk turun langsung berkontribusi terhadap permasalahan negeri, maka bersyukurlah masih ada orang lain yang peduli. Kalau memang kita peduli maka sampaikan pesan dengan cara baik-baik tentang bagaimana seharusnya persoalan diselesaikan. Jika perdebatan hanya semakin menampakkan ke rapuhan berpikir karena toh kita belum tentu mampu untuk membantu Asmat dan dua isu yang diusung lainnya, maka berhentilah mempermasalahkan metode.
Terimakasih untuk program TV Mata Najwa yang telah memberikan ruang bagi mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi sehingga kami dapat disaksikan diseluruh penjuru negeri. Kami, mahasiswa hanyalah sekumpulan orang bahkan hanya segelintir dari kami yang belajar untuk peduli.
Yogyakarta, 10 Februari 2018 Prima Andriani
3 notes · View notes
rockrzone · 4 years
Text
Archieves
I. Pidana
Pidana Bersyarat
Calon Tersangka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Triple Filter dalam Memeriksa Berkas Perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring)
Pidana Denda dalam KUHP
Dwifungsi Bukti Pelanggaran (Tilang) dalam Perkara Pelanggaran Lalu Lintas
Perkembangan Alat Bukti dalam Perkara Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Permasalahan Yuridis Barang Bukti dalam Perkara Splitsing
Bewijs Minimmum Alat Bukti Saksi dalam KUHAP
UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Sanksi dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Tinjauan Yuridis Ketidakhadiran Terdakwa dalam Persidangan Tanpa Alasan yang Sah
Perbarengan (Samenloop/Concursus)
Eksistensi Physical Evidence dalam Kisah Nabi Yusuf
Konsep Dekonstruksi Biaya Perkara dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Rumusan Hukum Rapat Kamar Pidana MA RI 2012 - 2019
Parameter Rehabilitasi dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010
Implikasi Pernyataan Sikap Terdakwa Terhadap Putusan dalam Perkara Penggabungan Dakwaan
Keterangan Ahli
Teori Pembuktian Acara Pidana dalam Logika Matematika
Pertanggungjawaban Pidana
Percobaan (Poging) dan Permulaan Pelaksanaan
Penyertaan (Deelneming)
Buku “Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana - Eddy O.S. Hiariej”
Buku “Teori & Hukum Pembuktian - Eddy O.S. Hiariej”
Tindak Pidana dengan Ancaman Penjara ≥ 15 Tahun
Buku “Menemukan Substansi dalam Keadilan Prosedural - KY” 
Perma Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik
Sistem Jalur/Trek Pemidanaan
Nilai, Asas, dan Norma
Teori Kausalitas dalam Hukum Pidana
Parameter Tindak Pidana Berencana dalam PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS
Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dan Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces)
SEMA Nomor 9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa
Jenis Sistem (Stelsel) Pemidanaan
Acara Pemeriksaan Singkat
Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan dalam KUHP
Merenungi Unsur Rumah dan Pekarangan Tertutup dalam Gekwalificeerde Diefstal
Ius Constituendum Saksi Mahkota
Perluasan Dapat Dipidananya Orang dan Perbuatan
Jenis Dolus (Kesengajaan)
Perkara yang Dikecualikan untuk Kasasi
Konsep Plea Bargaining dalam Mekanisme Jalur Khusus RKUHAP
Perbedaan Antara Barang Bukti dan Alat Bukti
Sengketa Pra Yudisial
Prosedur Musyawarah Diversi
Penjara dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA
Binatang sebagai Subjek Hukum
Ketidakhadiran Saksi Korban Delik Aduan di Persidangan Mengakibatkan Dakwaan Tidak Dapat Diterima
Bea Meterai Alat Bukti di Pengadilan
Bestanddeel Delict (Unsur Delik yang Tertulis) dan Element (Unsur Delik yang Tidak Tertulis)
Definisi Feit (Perbuatan) dalam Ne Bis In Idem
Rekomendasi Buku Hukum Pidana Materiil
Elektriciteitsarrest (Putusan tentang Listrik)
SEMA Nomor 10 Tahun 2005 tentang Bimbingan dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan terhadap Hakim/Majelis Hakim dalam Menangani Perkara
Perubahan Surat Dakwaan yang Tidak Sesuai KUHAP Mengakibatkan Dakwaan Tidak Dapat Diterima
Delik Perzinaan di Persimpangan Norma Agama dan Hukum Negara
Fenomena Split Bill dalam Kacamata Hukum Perdata
Prosedur Musyawarah Diversi Tanpa Korban
Lawan atau Lari? Batas Pembelaan Diri dalam Hukum Pidana
Bimtek Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Jaminan Pembayaran Utang Debitur
Penerapan Delik Permufakatan Jahat dan Percobaan dalam UU Narkotika
II. Perdata
PP Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali
Kewenangan Absolut Permohonan pada Pengadilan Negeri
Pencatatan Perubahan dan Pembetulan/Perbaikan Nama
Asas Ne Bis In Idem Tidak Melekat dalam Penetapan
Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Implikasi Peraturan Menteri Agama Nomor 20 tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan Terhadap Kewenangan Absolut Pengadilan Negeri Memeriksa Permohonan Pembetulan/Perbaikan Redaksional Akta Perkawinan bagi Pemohon yang Beragama Islam
Tahap-Tahap Pelaksanaan Eksekusi
Indikator Syarat Materiil dalam Alat Bukti Elektronik
Saksi Keluarga dalam Perkara Perceraian 
Jangka Waktu Verzet dalam Pasal 129 HIR/Pasal 153 RBg
Teknik Membuka Sidang Perceraian
Kewenangan Ex Officio Hakim Terhadap Kompetensi Relatif dalam Gugatan Sederhana
Wewenang Relatif Gugatan
Surat Kuasa
Rumusan Hukum Rapat Kamar Perdata MA RI 2012 - 2020
Alasan Ketidakhadiran yang Sah
Derden Verzet (Bantahan)
Provisi
Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad)
Panggilan Umum Terhadap Pihak yang Tidak Diketahui Tempat Tinggal atau Diamnya dalam Acara Perdata
Perubahan, Pencabutan, dan Gugurnya Gugatan
Panggilan dalam Mediasi
Pemeriksaan Setempat
Res Ipsa Loquitur vs Prima Facie
Perbedaan Pasal Antara HIR dan RBg
Syarat Gugatan
Uang Paksa (Dwangsom)
Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
Yurisprudensi Kumulasi Gugatan dalam Perkara Perceraian
Konsekuensi Ketidakhadiran Saksi dalam Perkara Perdata
Garis Lurus, Menyamping dan Keluarga Semenda dalam KUHPerdata
Efektifitas Penyampaian Relaas Melalui Lurah/Kepala Desa
Buku “Small Claim Court dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia Konsep Norma dan Penerapannya Berdasarkan PERMA 2/2015 & Perma 4/2019 - M. Syarifuddin”
Ketidakhadiran Penggugat yang Tidak Dapat Diputus Gugur
Alat-Alat Bukti dalam HIR/RBg
Pemutusan Hubungan Orang Tua dan Anak dalam Perspektif Hukum Perdata
Multitafsir Frasa “Cidera Janji” dalam Putusan MK tentang Jaminan Fidusia
Choice of Forum dalam Perjanjian Tidak Dapat Menegasi Asas Actor Sequitur Forum Rei
Definisi Jual Beli dalam KUHPer
Bentuk Wanprestasi
Biaya, Rugi, dan Bunga dalam KUHPerdata
Teknis Administrasi Persidangan secara Elektronik
Pernyataan Lalai
Aspek Legalitas Cek Bertanggal Mundur
Parameter Gugatan Sederhana
Surat Tugas dari Institusi
Eksistensi Perjanjian Diam-Diam
Buku “Hukum Acara Perdata Indonesia - Sudikno Mertokusumo”
Dasar Hukum Panggilan Lisan oleh Hakim
Derden Verzet, Tempus Fugit, dan Pelaksanaan Eksekusi
Dasar Hukum Replik, Duplik, dan Kesimpulan
Dasar Hukum Bentuk Jawaban
Penggugat/Tergugat Meninggal Dunia
Dasar Hukum Bantuan Pengukuran Tanah Saat Pemeriksaan Setempat
Reafirmasi Putusan MK Terhadap Prosedur Eksekusi Jaminan Fidusia
Sistem Publikasi Tanah
Kedaluwarsa Penuntutan Hak Atas Tanah
Mencegah Kadaluarsa
Perikatan dan Perjanjian
Gugatan Wanprestasi Tidak Harus Menunggu Jangka Waktu Kredit Berakhir
Satu Akta Hanya Dapat Memuat Satu Peristiwa Hukum
Hak Kebendaan dan Hak Perorangan
Pemanggilan Notaris oleh Hakim
Buku “Hukum Acara Perdata - Yahya Harahap”
Buku "Hukum Pembuktian - Prof. R. Subekti, S.H."
Prosedur Perubahan Data pada Paspor Biasa
Permohonan yang Dilarang pada Pengadilan Negeri
Perma Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik
Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Konsekuensi Ketidakhadiran Prinsipal Individu dalam Gugatan Sederhana
Tabel Surat Tercatat SEMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat
Genealogi Hakim Perdata Pasif
Asas Kepribadian dalam Hukum Perjanjian
III. Etc.
Harapan adalah Musuh Alami Kebahagiaan
Tentang “Kepercayaan”
Tentang “Peduli Amat”
Tentang Kutipan yang Paling Sengaja Disalahpahami: Agama Adalah Candu 
Tentang “Seni Kepemimpinan”
Tentang “Teman”
Masa Depan adalah Sejarah yang Berulang
Tentang “Kecakapan Hidup”
Tiga Tahapan dalam Hakim Membuat Putusan
Logical Fallacy (Sesat Pikir)
Ending adalah Bagian Terpenting
Matikan TV Anda
Sajak Pengemis Tua
Pengaburan Data Putusan dalam SK KMA No.: 2-144/KMA/SK/VIII/2022;
Biaya Peluang (Opportunity Cost)
Falsifikasi
Kemungkinan dan Peluang
Knalpot Bising Adalah Wujud Kesombongan yang Nyata
Dikotomi Kendali (Dichotomy of Control)
Langkah Pemeriksaan Saksi yang Dapat Mengundurkan Diri
Hal yang Dilakukan KM Ketika Menerima Perkara
Berita Acara Sidang
Glosarium Hukum
Aset dan Kewajiban Model Robert Kiyosaki
ODMK dan ODGJ dalam KUHP, KUHAP, dan HIR/RBG
Indikator Syarat Materiil dalam Alat Bukti Elektronik
Dongeng Seorang Bapak, Anak, dan Seekor Keledai
Para Keyboardist yang Paling Memengaruhi Style Bermain Saya
Jacques Derrida
Heraclitus
Albert Einstein
Sun Tzu
Leonardo da Vinci
Niccolò Machiavelli
René Descartes
Tiga Pisau Analisis (Philosophical Razor)
Jenis-Jenis Bukti (Evidence)
Akhlak Malu
Prinsip Pareto (80:20 Rule)
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Das Ding an Sich
Enam Pertanyaan Imam Ghazali
Apakah Ketiadaan Ada?
Socrates' Triple Filter Test
Kelas Kata
Karakteristik Sains
Diklat “Bekerja dengan Media”
Diklat “Argumentasi Gagasan Pengadilan di Media Massa”
Hadis tentang Hakim
Pengalaman Saya Empat Belas Hari Menghadapi COVID-19
Ikhtisar UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Syarat Menjadi Hakim Tinggi
Zero Waste
Michel Foucoult
Pierre Bourdieu
Bocah Gembala yang Mengalahkan Raksasa
Hierarki Kebutuhan Maslow
Golden Circle
Kancing Kemeja
Johari Window
Kucing dan Nabi Yusuf
3M: Money, Merit, Maintenance
Kelas Inspirasi Pelatihan Hakim Berkelanjutan Bersama Wakil Menteri Hukum dan HAM
Dialog Hyman Roth
Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946) - Radbruch
Punishment by Analogy in National Socialist Penal Law (1936) - Preuss
Interpretation and Analogy in Criminal Law (1986) - Naucke
Saksi dalam Ayat Al-Qur'an
The Principle of Analogy in Sino-Soviet Criminal Law (1984) - Giovannetti
Tentang "Parfum"
Buku “Seni Hidup Minimalis”
Buku "Filofosi Teras"
Buku “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”
Jean Baudrillard
0 notes
ikbalrmaulad · 7 years
Text
Sudut-sudut Kartu Kuning (yang dipegang) Zaadit
Ide untuk menulis ini muncul ketika semalam membaca novel berjudul “Tuhan Maha Romantis” karya Azhar Nurun Ala. Inspirasi memang bisa muncul kapan saja dan di mana saja termasuk membaca novel romantis ini. Bukan novel yang menyajikan keadaan politik sebagai inti cerita tapi sajian interpretasi penulis pada puisi karya WS Rendra berjudul Pertemuan Mahasiswa pada halaman 93 hingga 98 membuat saya teringat kejadian terbaru.
Baru saja, sekitar 5 hari yang lalu publik Indonesia sedang heboh dengan Aksi Pemberian Kartu Kuning kepada Presiden Joko Widodo. Aksi itu dilakukan saat acara Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia. Pelaku pemberi kartu adalah seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, bernama Zaadit Taqwa, yang ternyata juga sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia saat ini.
Ada yang penasaran apakah ada orang dibalik keberanian Zaadit melakukan aksi tersebut?
Ada juga yang menanyakan tentang etis-tidaknya aksi tersebut dilakukan pada seorang presiden.
Ada juga yang mengatakan bahwa Zaadit tak tahu apa-apa tentang Asmat, tak perlu unjuk gigi seperti itu, terkesan mencari popularitas.
Namun saya memandang dari sudut lain. Saya mengacungkan jempol atas keberanian aksi tersebut. Terlepas dari apapun motif dibaliknya--yang semoga saja tulus dari hati.
Menurut saya publik sedang gemas dengan keadaan Indonesia saat ini, termasuk saya. Bisa jadi kartu kuning adalah ekspresi kegemasan Zaadit--semacam ingin mencubit pipi bayi.
Berdasarkan kabar, ada 3 tuntutan utama dibalik nekadnya Zaadit, yaitu kejadian gizi buruk di Asmat, Papua, lalu kebijakan dwifungsi TNI/Polri, serta peraturan menteri tentang organisasi kemahasiswaan. Menurut saya coba sejenak fokus pada tuntutan bukan pada aksi. Banyak sudut yang bisa dilihat, memang. Soal aksi, seperti saya katakan sebelumnya bahwa publik Indonesia--tentu bukan yang apatis--sedang gemas, lama tak terdengar kabar tentang aksi mahasiswa sebagai pemegang masa depan negeri ini, padahal dulu sampai bosan melihat berita di televisi tentang aksi demo mahasiswa sebagai respon kebijakan pemerintah. Kini kesannya kebijakan pemerintah mulus-mulus saja, tak ada cela pada pemeritahan yang sedang berkuasa ini. Apa benar tak ada cela? Tak perlu dijawab disini, bayangkan saja sendiri.
Kini, rasa-rasanya media sosial dan internet lebih dapat dipercaya dibanding berita televisi soal ini. Ini bukan suatu kebencian. Saya cuma melihat sesuatu yang berbeda dari kabar yang beredar di media sosial dengan yang ditayangkan televisi. Bukan soal palsu atau asli, bukan soal akurat atau tidak, tetapi pada jenis kabar yang disajikan, mungkin juga sudut sajian.
Sebagai orang yang belum tahu apa-apa, mungkin saja ada aksi-aksi turun ke jalan, tapi kan tak kita lihat di televisi. Sekarang setelah ada aksi Kartu Kuning Zaadit, ramai-ramai orang membahasnya. Pro dan kontra tentu saja ada, sudah biasa. Tapi, tidakkah rindu dengan tontonan seperti ini, bahwa ada mahasiswa yang respon dengan kebijakan pemerintah, dalam arti positif tentunya. Mereka adalah orang-orang yang melihat celah kecil di antara susunan “kesempurnaan” pemerintahan saat ini.
Yang tak kalah heboh adalah satu tuntutan dari beberapa tuntutan yang diberikan, yaitu kejadian gizi buruk di Asmat. Bahwa Zaadit perlu melihat medan di Asmat sana, tak usah sok benar. Padahal bagi orang yang tak peduli dengan kepopuleran Zaadit bisa melihat bahwa kejadian di Asmat benar-benar terjadi, itu fakta. Kritikan soal Zaadit apakah bisa mengenyangkan orang-orang di Asmat sana?! Ah, perih, malu juga—saya pun belum berbuat apa-apa untuk mereka.
Untuk diketahui juga bahwa tuntutan bukan hanya soal Asmat. Ada tuntutan lain di sana. Seperti jadi buta pada yang lain. Ada dua tuntutan lainnya. Aturan menteri tentang organisasi kemahasiswaan. Kebijakan dwifungsi TNI/Polri(?) Apa kabarnya yang dua ini? Mengapa tak seheboh yang satu?
Tak kalah ramai adalah tentang Zaadit dan kawan-kawannya yang kabarnya akan dikirim ke Asmat agar bisa mengetahui medan di sana. Pro-kontra pun terjadi soal medan, penanggung jawab, dan lain-lain. Ah, tak perlu di bahas soal pro dan kontra itu. Tetapi yang akan saya katakan adalah, apapun medannya bukankah pemerintah atas tetap perlu menyelesaikan ini?!
*dalam renungan, sepi, sendiri.
**masihbarubisabicara
(By the way, novelnya bagus, ada banyak sudut ilmu yang bisa ditangkap dari novel “Tuhan Maha Romatis” bagi orang-orang yang bisa menangkapnya. Tapi bukan tentang novel saya menulis ini) Sekadar tahu bahwa tulisan ini bukan resensi novel itu atau sejenisnya :D
2 notes · View notes
ayojalanterus · 3 years
Text
Andika Perkasa Tak Ingin TNI Ambil Tugas Lembaga Lain, Termasuk Ikut Campur Nyopotin Baliho?
 KONTENISLAM.COM - Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa mengaku tak ingin militer mengambil tugas lembaga atau kementerian lain dan tetap berpegang pada perundangan. Hal itu disampaikan Andika saat membuka penyampaian visi misinya dalam uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon Panglima TNI di Komisi I DPR, Sabtu (6/11). "Bagaimana mengembalikan tugas, yang kita lakukan ini dengan bener-bener berpegang peraturan perundangan. Jangan kelebihan. Dan harapan saya juga tidak akan mengambil sektor kementerian atau lembaga lain," kata dia. Andika ingin militer menjalankan tugas sesuai amanat undang-undang TNI. Dia juga mengeluh, meski tugas TNI telah diatur undang-undang, implementasinya memiliki banyak kelemahan. "Tugas yang kami laksanakan selama ini sudah diatur UU, detailnya implementasinya banyak kelemahan. Itu yang menjadi prioritas utama saya," kata dia. Mantan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) ini juga sedikitnya menyampaikan delapan fokus dalam visinya memperbaiki TNI. Selain berkeinginan agar TNI menjalankan tugas sesuai UU, dia juga menyorot sejumlah hal, seperti operasi perbatasan, siber, peningkatan peran intelijen, hingga diplomasi militer. Andika, misalnya, mengungkapkan keinginan agar matra TNI kini bisa lebih serius dengan siber. Menurut dia, dunia siber adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak dan harus dipelajari. Selain itu, eks Kepala Dinas Penerangan TNI AD ini juga ingin agar kesatuan antar-matra TNI selalu ditingkatkan agar saling mengetahui kelebihan maupun kekurangan satu sama lain. Menurut dia, kesatuan antar-matra, apalagi dalam operasi bersama adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.[cnnindonesia] Sebagaimana diketahui, TNI sempat menurunkan baliho Habib Rizieq di markas FPI daerah Petamburan, Tanah Abang. Hal tersebut membuat beberapa politisi geram, salah satunya datang dari Fadli Zon. Ia sempat mempertanyakan kewenangan tugas pokok dan fungsi dari TNI. Dilansir dari akun twitter resminya. "Apa urusannya Pangdam Jaya memerintahkan mencopot baliho? Di luar kewenangan n tupoksi TNI. Sebaiknya jgn semakin jauh terseret politik, kecuali mau hidupkan lg “dwifungsi ABRI” imbangi “dwifungsi polisi”.
from Konten Islam https://ift.tt/3qd8YOg via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/11/andika-perkasa-tak-ingin-tni-ambil.html
0 notes