adesaefulbahri
Tanpa judul
30 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Kali ini saya akan mengangkat tema tentang kelembutan hati, ekspresi diri, dan sifat lawanannya.
Akhir-akhir ini banyak orang yang berdalih mencintai Islam dan negeri ini dengan melakukan tindak kekerasan dan perilaku yang kasar dan bengis. Padahal, kelemahlembutan merupakan cermin seorang mukmin yang hatinya diliputi kasih sayang.
Sebaliknya, orang yang berperilaku keras dan berhati kasar merupakan cermin hati yang buruk, angkuh dan penuh kebencian. Islam adalah agama rahmatan lil 'alamin yang mengajarkan kasih sayang, cinta dan perdamaian kepada seluruh anak bangsa.
Lemah lembut adalah sifat yang terpuji di hadapan Allah SWT dan Rasul-Nya, bahkan di hadapan seluruh manusia. Fitrah manusia yang cenderung mencintai kelembutan merupakan wujud kasih sayang. Oleh karena itu, Allah SWT mengingatkan Rasul-Nya dalam Surat Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ 
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Lemah lembut bukan berarti kelemahan, plin plan tanpa haluan, ataupun lemah tanpa daya. Justru sebaliknya, lemah lembut mengandung banyak kekuatan yang dahsyat. Air bersifat lembut tapi kuat bila dibutuhkan, seperti pekerja steam yang menyemprotkan air untuk membersihkan kotoran kendaraan.
Air itu juga sejuk dan menyucikan bila digunakan untuk berwudhu. Air juga mendatangkan ketenangan tapi bisa menghanyutkan sebagaimana peribahasa yang menyebutkan “air tenang tapi menghanyutkan”. 
Selain air, angin juga memiliki sifat kelembutan tapi juga mendatangkan kekuatan yang dahsyat seperti kincir angin yang menghasilkan tenaga listrik, kipas angin yang berembus menyejukkan siapa saja. Semuanya menampilkan sifat kelembutan yang mendatangkan kekuatan dan manfaat.
Lalu bagaimanakah sifat kelembutan yang dimiliki hati seseorang? Tentunya, ia akan menghasilkan kekuatan yang lebih dahsyat.
إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Artinya : “Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek,” (HR Muslim).
Dengan kelembutan hati semua urusan akan menjadi indah. Kelembutan tangan seorang seniman akan menghasilkan karya seni yang indah. Kelembutan lisan para pendakwah akan menggugah hati siapa saja. Kelembutan wajah yang senyum memancarkan aura juga indah dipandang mata.
Kelembutan hati yang diekspresikan dalam amal perbuatan akan melahirkan perhatian, cinta, kasih sayang, ketulusan dan keikhlasan. Pantas saja, kalau Jalaluddin Rumi seorang penyair sufi dalam kitabnya “Matsnawi Ma'nawi” menuturkan kata bijak “Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam".
Allah SWT menggambarkan kelembutan hati Rasulullah SAW dalam firman-Nya:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ 
Artinya : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Surat At-Taubah ayat 128).
Bahkan saking lembutnya hati Nabi SAW, Abu Hurairah RA berkata:
قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Artinya : "Seorang ‘Arab badui berdiri dan kencing di masjid. Maka para sahabat ingin mengusirnya. Nabi SAW pun bersabda kepada mereka, “Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air atau dengan setimba besar air.  Sungguh kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberi kesusahan,” (HR Al-Bukhari)
Hal senada di atas, dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda :
يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيْقٌ يُحِبُ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَالاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ 
Artinya : "Wahai Aisyah, sunguh Allah itu maha lembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya” (HR Muslim)
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin, jilid III halaman 197 memaknai sikap lemah lembut dengan terkalahkannya potensi kemarahan terhadap bimbingan akal. Menurut Al-Ghazali, tumbuhnya sifat lemah lembut dalam diri manusia dapat diawali dengan melatih diri menahan amarah. Bukan termasuk orang yang lemah lembut bila menghadapi seseorang dengan kemarahan tanpa sebab yang dibenarkan. 
Perlu dibedakan antara berlaku lemah lembut dengan tujuan membuat orang simpatik dan berlaku lembah lembut dengan maksud menjilat. Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu berlaku lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan mendekati kita. Yang kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam rangka menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap tercela sebagaimana yang Allah firmankan :
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
Artinya : "Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (Surat Al-Qalam ayat 9)
Di dalam Kitab Bahjatun Nazhirin Juz 1 hal 683 disebutkan, “Betapa tingginya kedudukan lemah lembut dibanding akhlak-akhlak terpuji lainnya. Dan orang yang memiliki sifat ini pantas baginya untuk mendapatkan pujian dan pahala yang besar dari Allah SWT. Bila sifat lemah lembut ini ada pada seseorang dan menghiasi dirinya maka akan menjadi indah dalam pandangan manusia dan lebih dari itu dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya jika memiliki sifat yang kasar, angkuh, dan keras hati niscaya akan menjadikan dirinya jelek dan tercela di hadapan manusia.”
Kelembutan hati adalah pintu kebaikan dan kunci persatuan bangsa. Pribadi manusia yang diliputi rahmat dan kasih sayang akan melihat orang lain dengan cinta kasih dan sayang pula, termasuk kepada musuh yang membencinya. Kelembutan hati adalah pengikat persatuan dan perekat persaudaraan lintas etnis dan agama.
Dalam asmaul husna Allah memiliki nama lain Al-Lathif (Maha Lemah-Lembut) yang mengajarkan kita untuk bersifat lemah lembut. Bahkan seluruh ritual ibadah yang kita lakukan adalah untuk menuntun hati manusia agar bersikap lemah lembut. Lemah lembut kepada Allah, lemah lembut kepada sesama manusia, dan lemah-lembut kepada seluruh makhluk. Sebagaimana hadits Nabi SAW yang menegaskan :
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِـي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِـي السَّمَـاءِ 
Artinya : “Orang-orang yang menyayangi orang lain, mereka disayangi oleh (Allâh) Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah orang yang berada di bumi niscaya kalian disayangi oleh (Allâh) yang berada di langit (HR. Abu Dâwud). Demikianlah ulasan khutbah ini disampaikan, semoga kelembutan hati yang kita ukir menjadi bagian penting dalam mencintai dan memperbaiki negeri yang kita cintai ini.
Demikianlah ulasan ini saya sampaikan, semoga kelembutan hati yang kita ukir menjadi bagian penting dalam mencintai dan memperbaiki negeri yang kita cintai ini.
Ciputat, 14 Desember 2020.
11 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadap bersuci (thahârah). Ia bahkan menjadi syarat berbagai aktivitas ibadah tertentu. Bersuci merupakan perintah agama yang bisa dikatakan selevel lebih tinggi dari sekadar bersih-bersih. Sebab, tak setiap yang bersih adalah suci. 
Thaharah terbagi menjadi dua, yakni bersuci dari najis dan bersuci dari hadats. Bersuci dari najis dilakukan dengan berbagai cara tergantung dengan tingkatan najis: berat (mughalladhah), sedang (mutawassithah), atau ringan (mukhaffafah). Sementara bersuci dari hadats dilakukan dengan wudhu (untuk hadats kecil) dan mandi (untuk hadats besar) atau tayamum bila dalam kondisi terpaksa.
Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, perintah bersuci ini mengandung hikmah atau kebijaksanaan. Setidaknya ada empat hikmah tentang disyariatkannya thahârah sebagaimana disarikan dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘ala Madzhabil Imâm asy-Syafi’i karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji. 
Pertama, bersuci merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap fitrah manusia. Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk hidup bersih dan menghindari sesuatu yang kotor dan jorok. Karena Islam adalah agama fitrah maka ia pun memerintahkan hal-hal yang selaras dengan fitrah manusia.
Kedua, menjaga kemuliaan dan wibawa umat Islam. Orang Islam mencintai kehidupan bermasyarakat yang aman dan nyaman. Islam tidak menginginkan umatnya tersingkir atau dijauhi dari pergaulan lantaran persoalan kebersihan. Seriusnya Islam soal perintah bersuci ini menunjukkan komitmennya yang tinggi akan kemuliaan para pemeluknya.
Ketiga, menjaga kesehatan. Kebersihan merupakan bagian paling penting yang memelihara seseorang dari terserang penyakit. Ragam penyakit yang tersebar umumnya disebabkan oleh lingkungan yang kotor. Karena itu tidak salah pepatah mengungkapkan, "kebersihan adalah pangkal kesehatan".
Anjuran untuk membersihkan badan, membasuh wajah, kedua tangan, hidung, dan kedua kaki, berkali-kali saban hari relevan dengan kondisi dan aktivitas manusia. Sebab, anggota-anggota tubuh itu termasuk yang paling sering terpapar kotoran.
Keempat, menyiapkan diri dengan kondisi terbaik saat menghadap Allah: tidak hanya bersih tapi juga suci. Dalam shalat, doa, dan munajatnya, seorang hamba memang seyogianya suci secara lahir dan batin, bersih jasmani dan rohani, karena Allah yuhhibbut tawwâbîna yayuhibbul mutathahhirîna (mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri). 
Wallâhu a’lam.
Ciputat, 07 Desember 2020.
2 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Walaupun hanya menjabat sebagai kepala negara selama 22 bulan, Indonesia di tangan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengalami banyak perubahan besar. Di antaranya adalah soal Tionghoa, Papua, dan persoalan tentara yang pada masa orde baru memiliki fungsi ganda atau dwifungsi.
Sebelumnya, Presiden Soeharto membatasi berbagai hal yang berkaitan dengan Tionghoa. Hal tersebut dituangkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan Dan Adat Istiadat Cina.
Pelarangan tersebut termasuk juga tata cara beribadah serta perayaan pesta agama dan adat istiadatnya. Sekalipun dirayakan maka hanya sebatas lingkup keluarga saja. Warga Tionghoa jika ingin merayakan Imlek, pasti mengambil cuti khusus.
Namun ketika Gus Dur menjabat presiden, Inpres yang mendiskriminasi kalangan Tionghoa itu dicabut melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, pada 17 Januari 2000. Inilah pertama kali Hari Raya Imlek berskala nasional dirayakan secara terbuka. Warga Tionghoa tak perlu lagi bersembunyi untuk merayakan hari raya.
Sejak itu, Agama Konghucu kemudian ditetapkan menjadi agama resmi keenam di Republik Indonesia ini. Semula, kelompok Tionghoa banyak yang dipaksa untuk memilih satu dari lima agama resmi pemerintah. Namun semenjak era Gus Dur, mereka bisa kembali menganut kepercayaannya.
Masih di era Gus Dur, Menteri Agama RI yang ketika itu dijabat oleh Muhammad Tolchah Hasan mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Kebijakan tersebut kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan menetapkan Imlek sebagai Hari Nasional Baru melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
Selain Tionghoa, Gus Dur juga membikin perubahan besar mengenai persoalan Papua. Dulu, dua bulan setelah dilantik menjadi presiden, ia berkeinginan mengunjungi Irian Jaya dan berdialog dengan warga di sana. Gus Dur mengatakan, ingin melihat matahari terbit pertama di pulau paling timur di Indonesia itu.
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur bertemu dengan elemen masyarakat di Kantor Gubernur Provinsi Papua. Ia mempersilakan masyarakat untuk berbicara. Terdapat banyak curahan hati dan tuntutan dari warga di sana. Mulai dari ketidakpercayaan kepada pemerintah Indonesia hingga permintaan untuk merdeka. 
Salah satu poin permintaannya adalah mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Gus Dur pun mengabulkan itu. Dengan humor, Gus Dur membeberkan alasannya. Pertama, nama ‘Irian’ itu jelek. Kata itu, ungkap Gus Dur, berasal dari bahasa Arab yang berarti telanjang.
Lebih jauh Gus Dur mengungkapkan, dulu ketika orang-orang Arab datang ke Papua, menemukan masyarakatnya masih telanjang sehingga disebut Irian.
Kedua, ia beralasan bahwa dalam tradisi orang Jawa kalau anak sakit-sakitan, biasanya akan diganti namanya supaya sembuh yang biasanya diberi nama Slamet. “Saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua,” tegas Gus Dur.
Peneliti Gus Dur dan Papua, Ahmad Suaedy menduga mengapa Gus Dur yang menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa. Menurutnya, Gus Dur sedang berupaya menenangkan hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.
Tak hanya itu, Gus Dur juga memperbolehkan warga Papua Bendera Bintang Kejora dan menyanyikan lagu ‘Hai Tanahku Papua’ yang keduanya itu dilarang di era Soeharto. Namun Gus Dur beranggapan bahwa kedua hal tersebut merupakan bagian dari ekspresi identitas kultural.
Dalam sebuah kisah, Menkopolhukam era Gus Dur, Wiranto, pernah melapor soal pengibaran Bendera Bintang Kejora. Gus Dur bertanya, “Apakah ada merah putihnya?” Kemudian Wiranto menjawab, “Ada satu Bendera Merah Putih yang berkibat di sebuah tiang tinggi. 
Dengan santainya Gus Dur menjawab, “Ya sudah anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.”
Mendengar respons seperti itu, Wiranto tetap mengingatkan bahwa pengibaran Bendera Bintang Kejora berbahaya. Namun secara tegas, Gus Dur justru kembali menegur Wiranto bahwa pikiran itu yang harus diubah.
“Pikiran bapak yang harus berubah. Apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Sepak bola saja banyak benderanya,” kata Gus Dur kepada Wiranto, ketika itu.
Gus Dur merespons persoalan yang membuat banyak nyawa melayang dengan cara yang amat sederhana.
Selain dari itu, Gus Dur juga mereformasi tugas tentara yakni agar kembali ke barak. Sebab di era orde baru, hampir semua jabatan sipil dikuasai oleh tentara aktif. Mereka tergabung dalam sebuah wadah bernama Golongan Karya. Hal tersebut bertujuan demi menjamin netralitas para prajurit bangsa dan agar tentara benar-benar fokus melindungi negara dari ancaman yang lebih besar.
Kemudian, ia juga memisahkan TNI dan Polri agar bisa berjalan sebagaimana fungsi masing-masing. Lembaga Kepolisian memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan pengamanan wilayah sipil. Sementara TNI soal keamanan dan pertahanan negara secara militer. Dulu, di zaman Presiden Soeharto, keduanya bercampuraduk.
Gus Dur pun menggilir jabatan Panglima TNI yang sebelumnya hanya dipegang oleh Angkata Darat saja. Kini, Panglima TNI bisa dijabat oleh Angkatan Laut dan Udara. Panglima saat ini adalah Marsekal Hadi Tjahjanto yang berlatar belakang Angkatan Udara.
Di samping itu, Gus Dur juga berperan atau terlibat dalam berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI.
Jaringan Gusdurian beranggapan bahwa Gus Dur semasa menjadi presiden, tidak menginginkan negara berjalan secara totaliter sebagaimana yang dilakukan Soeharto sebelumnya. Tetapi, negara harus ada keseimbangan dan pengawasan. Sementara rakyat, bagi Gus Dur bukanlah objek tetapi subjek yang berdaulat.
Ciputat, 30 November 2020.
2 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Sering kali kita ingin mengamalkan shalat tahajud atau shalat malam. Tetapi keinginan itu tidak kunjung terjadi karena kita tidak juga bangun dari tidur. Kadang ada juga dari kita yang bangun tengah malam tetapi berat untuk melaksanakannya. 
Ulama menyebutkan empat hal yang menghalangi atau mencegah kita untuk mengamalkan shalat malam. Syekh Zainuddin Al-Malibari menyebutkan empat hal tersebut dalam syairnya berikut ini :
ويفوت هذا بالكثير من اهتما * مك واشتغالك بالدنا متغافلا وحديث دنيا ثم لغو واللغط * كذا بإتعاب الجوارح وامتلا
Artinya: “Luput ini (shalat tahajud) kebanyakan karena kebimbanganmu * dan kesibukanmu pada dunia dengan lalai // bicara dunia lalu sia-sia dan berkicau * begitu juga meletihkan fisik dan memenuhi perut,”  (Zainuddin Al-Malibari, Hidayatul Adzkiya ila Thariqil Auliya pada Syarah Kifayatul Atqiya, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun], halaman 100). 
Sayyid Bakri dalam syarah atas syair ini melalui karyanya Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya menyebutkan faktor-faktor yang dapat mencegah kita untuk melakukan shalat tahajud yakni :
Kebimbangan kita atas kehidupan dunia disertai kelalaian dalam mengingat kehidupan akhirat.
Terlalu asyik membahas dunia, tenggelam dalam membicarakan hal yang batil / sia-sia, dan berbicara dengan suara tinggi.
Terlalu membuat badan letih dengan kerja-kerja berat pada siang hari.
Terlalu banyak makan yang membuat tidur lelap dan mengantuk berat.
Sayyid Bakri menambahkan, salah satu hal yang menghalangi kita untuk mengamalkan shalat tahajud adalah meninggalkan qailulah (tidur siang sejenak) dan melakukan dosa karena itu dapat mengeraskan hati dan menghalanginya dari rahmat Allah.
Demikian disebutkan oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya, (Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun), halaman 101.
Adapun waktu malam adalah waktu lalu-lalang para hamba Allah (mi’raj) ke langit melalui zikir dan terutama shalat tahajud yang begitu mulia. Shalat tahajud dianjurkan dalam Al-Qur’an untuk Rasulullah SAW (Surat Al-Muzzammil ayat 1-3) dan para sahabatnya (Surat Al-Muzzammil ayat 20).
Shalat tahajud dianjurkan dalam Al-Qur’an untuk Rasulullah SAW pada Surat Al-Isra ayat 79. Shalat tahajud pada ayat ini dapat menjadi sebab atas peningkatan derajat para hamba Allah di sisi-Nya.
Wallahu a’lam.
Ciputat, 23 November 2020.
2 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Tiga tahun lamanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi, lalu turunlah ayat: وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat," (Terj. QS. Asy Syu'ara: 214) Maka mulailah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menyeru kaumnya secara terang-terangan di tempat-tempat terbuka untuk menyembah Allah dan mengesakan-Nya. Suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di atas bukit Shafa memanggil kaum Quraisy, hingga orang-orang pun mengerumuninya, di antara mereka terdapat pamannya Abu Lahab, seorang tokoh Quraisy yang paling memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang telah berkumpul, Beliau pun bersabda, “Bagaimana menurut kalian, seandainya saya memberitahukan kalian bahwa di balik gunung ini ada musuh yang sedang menanti kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?” mereka menjawab, “Ya, yang kami ketahui tentang anda adalah kejujuran.” Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum datang azab yang pedih.” Abu Lahab pun berkata, “Celaka kamu sepanjang hari, apakah karena hal ini kamu kumpulkan kami?” maka terhadap Abu Lahab turunlah surat Al Lahab. Reaksi orang-orang Quraisy Ketika turun ayat, فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ "Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (Terj. QS. Al Hijr: 94) Maka dakwah tauhid ini semakin terdengar di pelosok-pelosok Makkah dan Beliau semakin tegas menjelaskan batilnya menyembah berhala, membuatkan permisalan-permisalan yang membuktikan kelemahan berhala serta menerangkan bahwa orang yang menyembah berhala dan menjadikannya seagai perantara antara dia dengan Allah berada dalam kesesatan yang nyata, bangkitlah kemarahan orang-orang Quraisy dan mulailah mereka melancarkan permusuhan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pengikutinya. Banyak pengikut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang disiksa di luar peri kemanusiaan, terutama sekali pengikut yang berasal dari golongan rendah. Sebagaimana yang dialami Yasir dan Sumayyah yang akhirnya mati syahid,  demikian juga yang dialami putera mereka ‘Ammar. Begitu pula siksaan yang ditimpakan Umayyah bin Khalaf dan Abu Jahal kepada Bilal bin Rabaah. Sebelumnya Bilal masuk Islam melalui perantaraan Abu Bakar. Suatu ketika Umayyah memergokinya, lalu ia menimpakan berbagai siksaan kepada Bilal agar ia meninggalkan agama Islam. Namun Bilal menolak dan tetap berpegang teguh dengan agama Islam. Ia pun dibawa ke luar kota Makkah dalam keadaan tubuhnya terikat rantai, setelah itu tubuhnya ditelentangkan di atas pasir-pasir yang panas kemudian diletakkan batu besar di atas dadanya, lalu dihujani dengan cambukan. Namun Bilal berkali-kali hanya mengucapkan “Ahad, Ahad (Allah maha Esa)…, ketika Abu Bakar melihatnya, Abu Bakar pun membelinya dan memerdekakannya di jalan Allah. Di antara hikmah dari penyiksaan ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kaum muslimin agar tidak mengumumkan keislaman mereka secara terang-terangan dan Beliau pun berkumpul dengan mereka secara diam-diam. Karena jika Beliau berkumpul secara terang-terangan dengan para sahabat, nantinya orang-orang musyrikin akan menghalangi mereka dari Beliau, sehingga Beliau tidak bisa membina mereka (tasfiyah) dan tidak bisa mengajarkan mereka Al Qur’an dan As Sunnah (tarbiyah). Bahkan bisa saja terjadi bentrokan yang mengakibatkan binasanya kaum muslimin, mengingat sedikitnya jumlah mereka. Oleh karena itu, mereka diperintahkan masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Lain halnya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Beliau tetap berdakwah dan beribadah secara terang-terangan  di hadapan orang-orang musyrik, sekali pun Beliau menerima gangguan dari kaum kaum Kafir Quraisy.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 16 November 2020.
1 note · View note
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Apa kabar teman-teman sekalian? semoga semuanya selalu dalam lindungan-Nya.
Kali ini saya akan menulis mengenai konsep dakwah yang dilakukan oleh para ulama di awal-awal masuknya Islam ke wilayah Nusantara.
Konsep dakwah kultural yang dilakukan oleh para ulama di awal-awal masuknya Islam ke wilayah Nusantara ini dengan cara membiarkannya budaya/adat setempat tetap berjalan seperti sebelum Islam datang, malah menggunakan budaya tersebut sebagai sarana untuk lebih lebih memberikan nuansa Islami di dalamnya. Kehadiran aroma islami pada budaya setempat tersebut sebagai pencerminan bahwa telah berlangsung suatu proses dakwah kultural pada masyarakat dan hal itu terus berlangsung sampai saat ini.
Dakwah kultural teraplikasi dalam masyarakat dapat terlihat pada Dakwah melalui kesenian. Kesenian yang banyak digemari oleh mayoritas suku jawa ketika itu adalah pagelaran wayang. Dalam seni suara, Para wali tampaknya tidak ketinggalan untuk menggubah lagu-lagu yang bernafaskan Islam sebagai salah satu cara untuk menggugah hati sang pendengarnya sehingga mereka dapat tertarik dengan lirik dan syair yang dilantungkan melalui tarik suara. Sarak adalah unsur pangadakkang (adat dalam bahasa Makassar) yang terakhir diterima dalam kesatuan sistem pangadakkang. Adak dan sara’ selanjutnya berkembang serasi dalam kehidupan kerajaan Gowa. Hal ini dimungkinkan karena dalam sejarah pengislaman Sulawesi Selatan para rajalah yang mula-mula memeluk agama Islam baru kemudian diikuti oleh para pembesar kerajaan dan akhirnya oleh rakyat.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 09 November 2020.
1 note · View note
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Sebagian kita, ada yang tujuannya memotivasi orang lain dengan cara menceritakan dosa/aib nya di masa lalu yang sudah Allah tutupi. Hal yang seperti ini baiknya tidak dilakukan, memotivasi orang lain yang paling baik adalah dengan memberikan teladan yang baik. Semoga dengan cara demikian, Allah Ta'ala memberikan hidayah-Nya melalui perantara kita. ⁣⁣⁣
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan berkenaan dengan dosa yang pernah dilakukan, maka sembunyikan, dan bertaubatlah.
Sebab pada hari penghakiman, selama dosa-dosa kita hanya diketahui oleh Allah saja, dan kitapun menutupi aib orang lain, kita memiliki peluang diadili Allah seorang diri dan tersembunyi dari semua makhluk. Kita didekatkan pada-Nya dengan sangat dekat, lalu Allah menyebut semua dosa-dosa kita terkait Hak-hakNya, lalu kita tidak bisa beralasan apapun dan mengakui semuanya, serta sudah yakin pasti binasa, tapi kemudian Allah Ta'ala berfirman : "Semua dosamu itu sudah Aku ampuni, karena Rahmat-Ku" (ringkasan dari hadits riwayat Bukhari dan Muslim no. 2768)⁣⁣⁣
Akan lain halnya ketika dosa-dosa kita sengaja kita ungkap kepada orang lain, atau karena kita pernah membuka aib orang lain, maka "Peradilan" itu harus dibuat terbuka, demi terpenuhinya rasa keadilan setiap makhluk. ⁣⁣⁣
Jika 'peradilan' kita kelak dibuat terbuka dihadapan seluruh makhluk, wallahu a'lam, mungkin bisa saja itu pertanda celaka. Dikarenakan kita sendiri yang membuka aib/dosa setelah Allah menutupnya, dan juga tersebab menyebarkan aib/dosa orang lain.⁣⁣⁣
Maka cukup akui dosa-dosa kita hanya di hadapan Allah, sesali, dan bertekad untuk tidak mengulangi, lalu memohon ampunan padaNya dengan sebenar²nya taubat. Dan jika berkenaan dengan hak dan kehormatan orang lain, maka meminta maaf kepada yang bersangkutan sampai ia ridha. Iringi dengan amalan shalih sebagai bukti taubat kita, dan perbaiki yang telah kita rusak.
Nas'alullah as salamah wal 'afiah.
Kutipan hadits:
"Sesungguhnya Allah mengadili hamba-Nya yang mukmin seorang diri pada hari Kiamat, tidak seorang pun yang melihatnya dan tidak seorang pun yang mendengarnya. Allah Ta’ala benar-benar menutupi aibnya sehingga tidak seorang pun yang mengetahuinya. Allah menunjukkan kesalahan-kesalahannya dan berkata kepadanya: “Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah kamu mengakui dosa ini?” Maka dia menjawab, “Ya wahai Rabb-ku, aku mengetahuinya.” Tiap kali ditunjukkan dosa-dosanya, ia terus mengakuinya sampai-sampai ia merasa pasti binasa. Lalu Allah Ta’ala berfirman kepadanya:
فَإنِّي قَدْ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ
“Sesungguhnya Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia, dan sekarang Aku mengampuni dosa-dosamu.” Kemudian diberikan kepadanya catatan amal kebaikannya.” (Diriwayatkan Bukhari, VIII/353 –Fat-h, dan Muslim, no. 2768)
Dan, Abu Hurairah radhiyallahu’ anhu bercerita bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
"Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.’ Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.” (HR. Bukhari 6069)
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 02 November 2020.
2 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Sungguh, kita akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa bila kita yakin, bahwa di balik penciptaan alam semesta ini, di balik setiap episode kejadian dunia ini, ada zat yang Mahakuat dengan kekuasaan-Nya yang mahahebat dan tak tehingga, yang mengatur dan mengendalikannya.
Dalam sebuah hadits dari Umar bin Khattab RA, yang diriwayatkan oleh Iman Ahmad, baginda Rasullah SAW, bersabda :
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُمكَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal maka Allah akan memberi rezeki  kalian sebagaimana Allah memberi rezeki burung, pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.”
Hadits ini menunjukkan, sesungguhnya orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah, maka ia dijamin akan mendapatkan rezeki sebagaimana burung. Lihatlah burung-burung itu, di pagi hari mereka dalam kondisi lapar. Karena lapar, mereka terbang entah ke mana, yang penting mereka terbang.
Burung tidak punya sawah, kebun, kantor, atau perusahaan. Yang penting mereka keluar dan bertawakal kepada Allah. Mereka keluar dari sarangnya dan terbang menyusuri bumi Allah yang sangat luar ini. Ia keluar tanpa membawa uang. Ia pergi dengan tangan dan perut yang kosong tanpa kekhawatiran. Senja hari, ia pulang dalam keadaan kenyang dan membawa makanan untuk anak-anaknya yang masih kecil.
Kita harus terbang. Kalau tidak terbang, rezeki pun tidak akan datang. Burung yang tidak terbang tidak akan mendapatkan apa-apa, ia akan terus lapar. Kita tidak boleh tidur-tiduran terus dan bermalas-malasan. Jika malas, kita tidak akan mendapatkan apa-apa.
Terbang itu adalah kata lain dari sebuah usaha (ikhtiar). Bila ingin mendapatkan rezeki, kita harus terbang. Itulah hakikat tawakal yang sesungguhnya. Kita harus keluar menjemput apa yang telat Allah tentukan untuk kita.
Kita menjemputnya di kantor, di sawah, di perusahaan, di jalan-jalan dan ditempat pekerjaan lainnya. Tawakal bukan kata lain dari malas. Malas adalah musuh tawakal. Sebab, tawakal itu penyerahan diri kepada Allah atas segala usaha yang telah kita lakukan.
Dalam mencari rezeki, tawakal menjadi pintu-pintu pembuka rezeki yang banyak. Sebab Allah berjanji, siapa pun yang bertawakal penuh kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya. Allah berfirman :
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Ketika kita hanya percaya kepada Allah, itulah tawakal. Ketika kita sadar bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi kecuali atas kehendak Allah dan apa pun yang terjadi semua atas kebijaksaan Allah, itulah tawakal. Tawakal ialah ketika kita menerima kehendak Allah dengan hati yang lapang, tanpa merasa marah atau bertanya-tanya tentang kehendak-Nya.
Tawakal adalah ketika kita beriman dan yakin sebenar-benarnya dengan segala keputusan yang Allah berikan. Mudahnya, tawakal adalah ketika kita mengikatkan diri dan hati hanya kepada Allah dan pasrah dengan takdir-Nya. Seorang yang bertawakal, sadar bahwa tiada kekuatan untuk untuk memperoleh kebaikan atau menghindari perbuatan jahat, kecuali atas izin Allah. Yakin juga bahwa semua berkah dan bencana merupakan keputusan Allah.
Jadi, kapan kita bertawakal?
Tawakal itu dilakukan sepanjang hidup, sepanjang hari. Terutama ketika melakukan sebuah pekerjaan. Kita bertawakal kepada Allah sebelum melakukan sebuah pekerjaan, dengan harapan Allah memberi kita kekuatan dan petunjuk agar bisa melaksanakannya dengan baik.
Kita bertawakal kepada Allah saat melakukan sebuah pekerjaan, dengan keyakinan bahwa kita tidak bisa menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan bimbingan Allah dan berharap agar Allah selalu mengarahkan diri kita ke arah yang baik selama melakukan pekerjaan tersebut.
Bertawakal kepada Allah di akhir pekerjaan adalah dengan menyerahkan seluruh hasilnya kepada Allah. Inilah usaha yang bisa kita lakukan, berharap semoga dapat bermanfaat dan Allah menerima ini sebagai sebuah amal kebaikan.
Hadits tentang yang terbang itu menurut Imam Ahmad, menunjukkan kepada kita agar rajin berusaha dan bekerja. Hadits itu juga menunjukkan agar kita tidak meninggalkan dan tetap giat untuk bekerja.
Jika kita telah bertawakal kepada Allah saat kita berangkat menjemput rezeki sampai kita kembali lagi ke rumah kita dan menyadari sepenuhnya bahwa kebaikan itu hanya di tangan Allah, maka kita tidak akan kembali ke rumah melainkan dalam keadaan selamat dan mendapatkan rezeki, sebagaimana burung.
Harus ada keyakinan bahwa Allah pasti berbuat baik, sehingga seseorang tidak pernah berputus asa, selalu beramal soleh mengharapkan kebaikan dari Allah. Marilah kita membangun rasa optimis dalam hati, sehingga kita dapat menjadi hamba yang baik dengan berusaha menjalakan perintah dan menjauhi larangan-Nya dan semoga kita tergolong hamba Allah yang selalu bertawakal kepada-Nya. Aamiin.
Demikian, yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan, yang benar datangnya dari Allah SWT. Yang Maha Benar dan yang salah, khilaf atau keliru itu datangnya dari saya pribadi sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari salah, khilaf dan dosa.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 26 Oktober 2020.
3 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Dakwah paradigma kultural merupakan turunan dari penafsiran Islam yang bercorak kultural dan dinamis-dialogis. Menurut paradigma Islam kultural, Islam sebagai agama universal, terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan konteks budaya lokal tanpa takut kehilangan orisinalitasnya. Alur pemikiran ini menegaskan bahwa Islam pada dasarnya natural, selaras dengan kecendrungan alamiah manusia di manapun berada. Islam mampu mengakomodasi setiap budaya dan turut memberi warna kepada setiap budaya yang disinggahinya. Pandangan ini membedakan antara Islam dan budaya, termasuk budaya yang lahir pertama kali ketika persentuhan Islam dengan masyarakat Arab. Mereka menganggap pensakralan budaya Islam awal sama saja mencederai karakteristik universalisme Islam. Ketika pensakralan itu dilanjutkan sebagai sebuah idealisme dakwah, maka yang terjadi adalah normativitas dan formalitas beragama. Menurut paradigma kultural, inilah kesalahan yang terjadi pada mazhab dakwah harakah. Menurut paradigma kultural, kesalahan ini menjadikan paradigma dakwah harakah tampak kaku dan tidak peka terhadap unsur-unsur kebijaksanaan lokal dan kontekstual.
Untuk menghindari kesalahan yang sama, mazhab kultural menempuh jalur yang lebih lunak dan substansif dalam berdakwah. Mereka membedakan Islam dari dua sisi, normatif dan esoteris. Untuk menyosialisasikan Islam, dakwah kultural cenderung menekankan sisi substansif-esoteris sebagai pendekatan dakwah.
Paradigma kultural berpendapat sejarah Islam dari pertama kelahirannya hingga saat ini selalu diwarnai dengan proses akulturasi timbal balik. Pada saat Islam hadir dalam suatu pola budaya tertentu, terkadang ia memberikan corak dominan dalam budaya tersebut, pada saat yang lain Islam hanya memberi sentuhan warna saja. Pendukung dakwah ini berpendapat bahwa dakwah semua rasul tidak pernah lepas dari proses dialog dengan kultur setempat dimana mereka diutus.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 19 Oktober 2020.
3 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Kesuksesan seorang da’i terka­dang bergantung kepada strategi dakwah yang di lakukannya. Salah satunya adalah dakwah bil hikmah (berdakwah dengan hikmah). Dakwah bil hikmah adalah jalan dakwah para Rasul utusan Allah swt yang hendaknya diikuti oleh seorang da’i dan pejuang kebenaran. Ia berarti berjuang dengan penuh ilmu, kesabaran, kesadaran, kesesuaian perkataan dengan hadirinnya, kesuasuai antara perkataan dan perbuatan, dengan keluhuran budi dan keteladanan, serta tidak pernah lari dari jalan lurus syariat dan kebenaran. Jalan dakwah bil hikmah ini jelas tanda-tandanya dengan mengikuti cahaya Alquran dan sirah para nabi.
Para ulama melaksanakan cara berdakwah ini secara berurutan. Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah mengungkapkan: “Terkadang andaikata seseorang mengetahui kebenaran dan kebenaran itu jelas baginya, maka amat mudah baginya untuk mengikuti dan mengamalkannya. Inilah orang yang berdakwah dengan cara hikmah. Dia memberi peringatan dan mengingatkan kepada Alquran”. Berdakwah dengan hikmah merupakan cara khusus yang diterapkan terhadap orang-orang yang didakwahi dan mereka itu mengakui kebenaran lalu mengikutinya. Sedangkan kepada orang yang tidak seperti itu didakwahi dengan memberi pelajaran yang baik atau mendebatnya, seperti petunjuk Alquran. Hikmah merupakan mukaddimah bagi cara dakwah yang lain. Hikmah merupakan tingkatan paling tinggi dan sudah mencakupi cara-cara yang lain. Dalam mengaplikasikan berdawah dengan hikmah haruslah disesuaiken dengan audien dakwah, topik dan risalah serta beberapa sarana, faktor dan lingkungan yang mendukungnya.
Banyak perjalanan dakwah seorang da’i dan penyeru kebenaran yang mengalami kegagalan karena sang da’i tersebut tidak mampu memahami perngertian hikmah, akibatnya segala pemikiran da’i tidak mampu disampaikan kepada obyek dakwah. Hikmah adalah modal dakwah yang memberi keleluasaan kepada para da’i untuk bergerak dan mengukur kemampuan obyek dakwah berdasarkan perbedaan karakter orang, tempat, waktu dan pertimbangan kondisional lainnya, yang semuanya tetap di dasari petunjuk wahyu Alquran dan pengamalan sirah para Nabi utusan Allah swt.
Ciputat, 12 Oktober 2020.
1 note · View note
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Siangku cerah, matahari bersinar, ku buka laptop di mejaku lalu join kuliah siang hari ini via WhatsApp Grup. (gausa sambil nyanyi bacanya)
Pada kesempatan siang hari ini mata kuliah filsafat dakwah akan membahas mengenai sasaran dakwah atau yang biasa disebut dengan mad’u. Pasti kalian penasaran kan apa yang dimaksud dengan mad’u tersebut? Mari kita bahas.
Mad’u merupakan seseorang yang menjadi sasaran dalam berdakwah atau da’I, Sasaran dakwah (mad’u) bisa mencakup semua manusia dari berbagai lapisan masyarakat dilihat dari sosiologisnya, psikologisnya, usianya, sosial ekonomisnya maupun tingkat intelektualnya. sehingga mad’u merupakan seseorang yang penting dalam berdakwah maupun dalam penyampaiyan berdakwah sebab tak ada mad’u maka tidak ada dakwah dalam berdakwah itu bicara mudah berbuat adalah sulit mengerti adalah lebih sulit dan membuat supaya orang mengerti itu lebih sulit.
Gagasan dakwah yang menempatkan mad’u sebagai sentral dakwah, menghendaki strategi dakwah yang empatik, simpati, dan humanitas. Empati dan simpati dalam dakwah menghendaki sikap yang mengandaikan dai dalam posisi mad’u. Adapun dakwah humanis menghendaki pengakuan terhadap sisi kemanusiaan mad’u secara utuh, baik pemikirannya, kejiwaannya, maupun problematikanya.
Terkait dengan persoalan hak-hak mad’u, maka apa yang dijelaskan melalui teori sosial tentang keharusan hubungan yang kondusif syarat keberlangsungan sebuah kontrak sosial, sangat releven dengan praktik dakwah nabi dengan membentuk piagam tertulis madinah yang menjadikan asas dalam pembentukan masyarakat sipil melalui sebuah kontrak sosial yang mengikuti semua golongan.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 05 Oktober 2020.
3 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Kompetensi Dakwah berarti kemampuan dan kecakapan yang harus dimiliki oleh seorang da’i / pendakwah agar ia mampu bekerja dan melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sebagai pembangun dan pengembang masyarakat Islam. Disini saya akan berbagi sedikit mengenai kompetensi dakwah yang harus dimiliki oleh seorang da’i.
1. Kekuatan Intelektual (wawasan keilmuan)
Dalam KBBI intelektual adalah cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan ulama besar dunia, Yusuf Al-Qardhawi, seorang da’i perlu melengkapi diri dengan tiga senjata, yaitu:
- senjata iman (silah al-iman),
- akhlak mulia (al-akhlak al-karim),
- ilmu pengetahuan dan wawasan.
2. Kekuatan Moral (Akhlak Da’i)
Kualitas moral dan keluhuran budi pekerti (akhlaq al-karimah), menurut filosof akhlak Ibn Maskawaih, merupakan produk atau buah dari usaha dan ikhtiar manusia sepanjang hayatnya. Karena itu, setiap orang perlu mengasah, mengasuh, dan mengembangkan potensi serta kekuatan moralitasnya (moral power) secara konsisten.
Dalam bahasa modern, kekuatan moral dipahami sebagai komitmen etis dalam arti keyakinan yang kuat pada kebaikan atau apa yang diyakini sebagai kebaikan, lalu bertindak atas dasar keyakinan itu sehingga seorang bersikap benar dan mulia. Bertolak dari pandangan ini, maka seorang disebut kuat secara moral manakala ia memiiki kemampuan menyangkut empat hal ini:
- memiliki komitmen yang kuat pada kebenaran dan kebaikan.
- mampu mengidentifikasi apa yang baik dan apa yang buruk.  
- mampu melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.  
- mampu memengaruhi orang lain agar berbuat baik (al-amr bi al-ma'uf) danmencegahnya dari keburukan (al-nahy-u 'an al-munkar).
3. Kekuatan Spiritual
Kekuatan Spiritual Kekuatan spiritual berasal dari hati yang paling dalam, kekuatan ini mampu  menggerakan semua organ yang ada dalam tubuh kita, kemudian dilanjutkan ke otak untuk menginterpretasikan hasrat atau keinginan yang datang dari jiwa (spiritual) kita untuk diaplikasikan menjadi sesuatu yang nyata.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 28 September 2020.
3 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Terdapat langkah-langkah dalam filsafat dakwah dan masing-masing saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
Dakwah mengajak kepada seluruh umat manusia agar membangun kehidupan yang damai antara satu sama lain.
Untuk mewujudkan kedamaian perlu adanya suatu sistem atau hukum yang kuat. Maka dakwah menyeru kepada manusia agar meninggalkan segala penindasan dan mengajak mereka kepada hukum dan keadilan
Namun tidak semua tingkah laku manusia dapat diawasi oleh hukum, maka dakwah menyeru kepada manusia dalam kesadaran akan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Yang terakhir dakwah juga menyeru kepada manusia mengenai kesamaan derajat, persamaan hak dan kesetaraan gender.
Ciputat, 21 September 2020.
2 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Dalam kajian filsafat dakwah terdapat 3 aspek yang harus diperhatikan, diantaranya:
1. Epistemologi Dakwah
Epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan, yang membicarakan mengenai hakikat ilmu yakni menyelidiki keaslian pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
Ada 3 bentuk epistemologi yang berkembang dalam keilmuan keislaman
Episteme Bayani (pola pikir yang bersumber pada Nash, ijma, dan ijtihad).
Episteme Irfani (Pola pikir yang berpangkal pada dzauq, qalb, atau intuisi.
Episteme Burhani (Mendapat pengetahuan dari teks atau Nash (Al-Qur'an dan Sunnah).
2. Ontologi dakwah
Ontologi adalah cabang metafisika mengenai realitas yang berusaha mengungkapkan ciri-ciri segala yang ada, baik ciri-cirinya universal maupun yang khas. Landasan ini adalah suatu pengetahuan yang mengacu kepada apa yang diambil dalam menelaah, yakni apa yang hendak diketahui melalui kegiatan penelaahan tersebut. Aspek ontologi dalam ilmu dakwah berkaitan dengan apa yang menjadi objek kajian pada ilmu dakwah. Objek kajian tersebut adalah objek material dan objek formal.
3. Aksiologi Dakwah
Aksiologi berarti panggilan/ajakan untuk memahami kebenaran (teologis) Islam, maka nilai kebenaran mendasar merupakan landasan aksiologis bagi pengembangan dakwah.
Ciputat, 14 September 2020.
6 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Filosofi dakwah adalah pikiran atau pemikiran kritis terhadap aktivitas dakwah dengan menggunakan daya analisis dan kekuatan akal dalam melihat, memahami fenomena dakwah dalam kaitannya dengan upaya memposisikan marhalah al da’wah secara alami dan qur’ani.
Pemikiran terhadap aktvitas dakwah yang dilakukan secara sistematis, mengakar, mendalam akan menemukan kebenaran walaupun kebenaran itu bersifat nisbi atau relatife. Pemikiran yang objektif, sistematis, logis dan mengakar akan menemukan kebenaran yang tidak berseberangan dengan kebenaran yang haqiqi yang dibawa oleh wahyu. Kebenaran yang dibawa oleh wahyu itulah yang absolut, karena datangnya dari Allah yang Maha Kuasa.
Dakwah secara harfiah dimaknai dengan proses mengajak, menyeru, memanggil atau mengundang. Lafazdz dakwah yang semakna dengan itu dalam berbagai konteks dari ayat dan hadis menggunakan lafazh amar ma`ruf, nahi munkar, wa`zhu, tabsyir, inzar dan sebagainya. Jika dianalisis komposisi, posisi urut akativitas dakwah dalam al-Qur`an maka akan ditemukan bahwa, mengajak dan meyeru lebih dahulu daripada melakukan amar ma`ruf nahi mungkar.
Logikanya adalah ajaklah seseorang kepada kebaikan, setelah meraka mengikuti jalan yang dibentangkan, suruhlah melakukan kebaikan. Apabila telah berbuat kebaikan maka baru dipelihara kebaikan dengan mencegah agar tidak terjerumus kepada keburukan, kejahatan dan kehinaan.
Cara mengajak kepada jalan Tuhan (agama Allah) dilakukan dengan hikmah dan mauizah al- hasanah (Qs. An-Nahl : 125). Menyuruh berbuat kebaikan dengan cara-cara yang ihsan dan berkeadilan setelah diberi petunjuk operasionalnya. Mencegah kemungkaran, kekejian dan berbuat kehinaan dilakukan dengan kekuasaan dan kebijakan. Jika tidak mampu dilakukan dengan nasihat dan doa (Hadits).
Dari uraian singkat ini dapat dipahami bahwa mengajak kepada jalan “Agama Allah” lebih utama dan yang paling utama dilakukan sebelum memerintah dan melarang melakukan perbutan keji dan mungkar.
Semoga bermanfaat.
Ciputat, 07 September 2020.
5 notes · View notes
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
Sejak diberlakukannya sistem belajar di rumah untuk memutus rantai penyebaran virus corona, pelajar, mahasiswa, maupun guru dan dosen mengalami pengalaman baru.
Yang mana biasanya kita melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan bertatap muka, kini harus memanfaatkan teknologi yang ada. Mulai dari aplikasi Zoom, Google Meet, YouTube, WhatsApp dan aplikasi lainnya.
Alhamdulillah, kini kita sudah melewati itu semuanya. Semoga di semester ini kita medapatkan nilai-nilai yang memuaskan dengan tidak adanya pengurangan sks di semester berikutnya. Aamiin.
Dan ini adalah catatan terakhirku.
Terimakasih dan sampai jumpa dilain kesempatan.
Cirebon, 25 Juni 2020.
1 note · View note
adesaefulbahri · 4 years ago
Text
TigaTiga bulan #dirumahaja terasa cepat berlalu, namun ternyata sudah lama juga. Sudahkah kita mulai terbiasa?
Di bulan pertama mungkin kita belum terbiasa, itu adalah hal yang sangat wajar karena sebagian besar waktu kita dilakukan di luar rumah. Namun bila di bulan ke tiga kita masih seperti sebelumnya, bukankah seharusnya itu menjadi sebuah pertanyaan?
Ada ataupun tidak adanya corona, seharunya kemampun beradaptasi adalah hal yang patut kita latih dan biasakan bukan?
Beradaptasi dengan beraktivitas di rumah atau dari rumah menjaga sebuah hubungan dengan komunikasi jarak jauh (daring), melatih disiplin diri untuk memaksimalkan hari, mulai mencari tau dan belajar hal-hal baru, dan mulai terbiasa dengan jarak yang akan menjadi kebiasaan kita nantinya.
Cirebon, 18 Juni 2020.
2 notes · View notes