#dibalik jendela
Explore tagged Tumblr posts
thejournals-iam · 20 days ago
Text
21032025 00.50 Wib
Baiknya memang tidak perlu ada sedikitpun rasa penasaran tentang bagaimana keadaan pemandangan diluar jendela yang sebelumnya sudah kita tutup rapat, seindah apapun tetap saja akan membuka sesak yang sudah berlalu, menjadi sedih hanya buang waktu, juga merusak hari² yang harusnya sudah baik² saja dijalani
Jadi jendelanya biar saja tertutup rapat selamanya, kecuali benar² siap dengan segala rasa (konsekuensinya) yang akan timbul saat membukanya kembali, jangan terlalu berekspektasi, kamu sendiri yang semakin kecewa jika keindahan di luarnya tidak sesuai harapanmu
"Sebab, Hidup tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan, tetapi memberi apa yang kita butuhkan"
Dan seringnya kurang menyadari tentang apa yang benar² dibutuhkan dibalik apa yang sedang diinginkan, manusia terlalu banyak mau memang, terlalu sering berekspektasi yang tidak dibatasi, aku pun masih begitu, berekspektasi yang berujung kecewa sendiri :')
15 notes · View notes
komunitaspuanberaksara · 1 year ago
Text
Selasa Bercerita
Hujan mengguyur kota kecil ini, seharusnya aku menyeduh secangkir kopi, duduk di teras rumah dan menulis puisi rindu dan cinta.
Tapi yang ditawarkan kenyataan adalah, hanya ubi gorong gosong sebab lambung sudah tidak bersahabat dengan kopi, duduk dibalik jendela sebab teras rumah kena tempias, menulis utas sebab penyair butuh pengalaman sedang aku tak memiliki rindu dan cinta.
—@nonaabuabu
59 notes · View notes
arfatardi · 1 year ago
Text
Tumblr media
MALAM ITU, DAN MALAM INI (TENTANG AYAH)
Oleh: Arfat Ardi Setiawan
Dahulu, suatu malam saat aku masih kecil, tangan mungilku memeluk erat ayahku dari belakang, Kami mengitari kota dengan motor Supranya, lampu jalan yang redup, jalanan yang masih basah setelah diguyur gerimis, kendaraan yang lalu lalang, sebuah rekaman sudut kota kecilku yang masih melekat di dalam benak.
Potongan kenangan itu hadir kembali dalam bentuk siluet yang lewat satu persatu. Malam itu aku sering memerhatikan dengan penuh takjub lelaki-lelaki lusuh di pinggiran jalan; pejaja koran yang mendekap semua lembaran itu ke dadanya, pemilik toko kelontong yang menatap stoples jajan yang masih penuh, tukang parkir yang bising dengan peluitnya, pedagang sate yang membolak balik arang padahal tidak ada pembeli, pengumpul rongsok yang sampai membungkuk menarik gerobak reyotnya.
Malam itu sesekali aku bertanya, apa yang mereka lakukan? Mengapa harus sampai selarut ini? Apa mereka tidak lelah? Apa mereka tidak ngantuk?.
Seiring bergulirnya waktu sekarang aku sepenuhnya mengerti. Ternyata di balik peluh pejaja koran itu ada beras yang habis, di balik tatapan kosong pemilik toko kelontong itu ada tagihan sekolah anak-anak yang belum terbayarkan, di balik nyaringnya peluit tukang parkir itu ada istri yang sebentar lagi melahirkan, di balik goretan arang pedagang sate itu ada sewa kontrakan yang harus segera disetorkan, dibalik tumpukan rongsok itu ada harapan untuk kehidupan lebih baik bagi anak dan istrinya. Semua kemungkinan itu aku gambar sendiri dalam benak setelah statusku berubah menjadi seorang ayah.
Malam itu aku mengira mereka yang tengah termenung di pinggir jalan, atau sekedar mengasingkan diri di bangku taman, menatap langit sambil sesekali mengusap muka, aku kira mereka tengah menikmati malam, terpesona dengan kerlip bintang dan rembulan. Namun ternyata mereka tengah berdebat dengan pikiran, berdiskusi dengan jiwa yang begitu lelah, tentang satu perkara, yang menjadi alasan semua perjuanganya, ‘bagaimana cara mencukupi kebutuhan anak dan istri serta membahagiakan mereka’, sebuah alasan yang sederhana, namun telah membatu dari masa ke masa.
Memang ayah tidak seperti ibu yang menunggumu di hari-hari pertamamu sekolah, mengintip dari sudut jendela memastikanmu tak menangis di dalam, namun ia yang berkelahi dengan dunia agar sekolahmu tak terputus di tengah jalan. Memang ayah tidak seperti ibu yang meninabobokanmu di waktu malam, namun ia yang selalu menanyakanmu dari jauh dan mendekap kerinduan itu dalam-dalam. Memang ayah tidak seperti ibu yang mengajarkanmu tentang lemah lembut dan kasih sayang, namun ia yang memberimu contoh tentang kerja keras dan tanggung jawab.
Pernah tidak kau meminta sesuatu kepada ayahmu, mungkin sepeda baru seperti milik kawanmu, atau tas baru dengan gambar karakter favoritmu, atau mungkin hanya sekedar mainan baru yang sedang ngetren zaman itu, lalu ayahmu hanya berkata “In sya Allah Nak, doa dulu ya biar dikasih sama Allah”, pernahkah? Ketahuilah saat itu jawaban yang tak kau tau adalah ia tengah tak memiliki uang yang cukup untuk permintaanmu, atau sedang ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk didahulukan. Karena ayahmu, selama ia mampu untuk mengukir senyum di bibir mungilmu, atau mampu untuk menghilangkan sedih dari hati polosmu, ia akan pergi membelikanmu mainan yang kau minta walau harus dengan berjalan tanpa alas kaki. Bagaimana dengan keinginannya sendiri? Hah, telah lama ia telan semua itu bulat-bulat. Mengubur lalu melupakannya.
Tahukah kau, saat ayahmu mampu mengabulkan permintaanmu, atau saat menenteng sebuah kejutan kecil untukmu, selama perjalanan pulang, yang ada dalam hati dan pikirannya hanya lukisan senyum dan kebahagiaanmu, percayalah. Letih, peluh, luka, semua terabaikan hanya dengan bayangan senyum dari keceriaanmu.
Kalau ibu diibaratkan seperti rumah yang memberikan kehangatan dan kenyamanan, maka ayah merupakan pondasinya yang menopang semua beban rumah itu. kalau ibu diibaratkan sinar lentera yang menerangi, maka ayah adalah batang lilin yang rela meleleh untuk menjaga lentera itu tetap bercahaya. Kalau ibu diibaratkan bahtera yang melindungi kita dari terjangan ombak, maka ayah adalah angin yang senantiasa berhembus agar bahtera itu dapat berlayar.
Sayangnya, semua berbicara tentang kasih sayang ibu, namun sedikit yang merenungi perjuangan seorang ayah. Angin yang tak tampak namun selalu ada, gula yang larut namun selalu terasa, itulah ayah. Kadang ia tak pandai mengungkapkan kasih sayangnya melalui untaian kata atau bahasa kelembutan, namun dirimu sepanjang hidupnya akan menjadi alasan baginya untuk tetap kuat dan bertahan.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
جَاءَ رَجُلٌ إلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقالَ: مَن أَحَقُّ النَّاسِ بحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قالَ: أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّك�� قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أَبُوكَ.
"Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR. Imam Bukhari No. 5971, dan Imam Muslim No. 2548).
Dalam hadits di atas walaupun seorang ibu di sebutkan tiga kali, namun ada ayah di situ, ia disebutkan terakhir bukan berarti tak ada atau terabaikan. Maka kewajiban untuk berbakti dan menyayangi berlaku juga untuknya.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا، وَٱخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’”. (Qs. Al-Isra: 23-24).
Malam ini, melalui tulisan sederhana ini, sebuah pesan singkat untuk semua anak “Ayahmu, masih menyayangimu seperti dulu, dengan kasih sayang yang tak pernah luntur, dan masih menjadi salah satu pintu surga bagimu”, dan teruntuk semua ayah “Kalian hebat, perjuanganmu semoga menjadi ladang pahala bagimu, jazakumullah khoiron, semoga Allah ﷻ membalas kalian dengan seindah-indah balasan di dunia dan akhirat”.
Makkah, 15 November 2023
9 notes · View notes
miniondepok · 11 months ago
Text
Tidak ada new york hari ini
Tidak ada new york kemarin
Aku sendiri dan tidak berada di sini
Semua orang adalah orang lain
Bahasa ibu adalah kamar tidurku
Kupeluk tubuh sendiri
Dan cinta, kau tak ingin aku
Mematikan mata lampu
Jendela terbuka
dan masa lampau memasukiku sebagai angin
Meriang.. Meriang.. Aku meriang
Kau yang panas di kening
Kau yang dingin di kenang
Hari ini tidak pernah ada
Kemarin tidak nyata
Aku sendiri dan tidak menulis puisi ini
Semua kata tubuh mati semata
Puisi adalah museum lengang
Masa remaja dan negeri jauh
Jatuh dan patah
Foto-foto hitam putih
Aroma kemeja ayah dan senyum perempuan,
yang tidak membiarkanku merindukan senyum lain
Tidak ada pengunjung.. Tidak ada pengunjung..
Dibalik jendela, langit sedang mendung
Tidak ada puisi hari ini
Tidak ada puisi kemarin
Aku menghapus seluruh kata sebelum sempat menuliskannya
4 notes · View notes
naufalhafizh · 2 years ago
Text
Tumblr media
terima kasih
#draft
senja ditutup dengan gerimis dingin, selaras mengikut prakiraan tentang ketidakstabilan iklim pada kuartal dua tahun ini. siluet pohon-pohon baja makin terlihat mengabu, beserta dengannya gemerlap hingar-bingar videotron kian nampak beradu satu sama lain.
sistem pembuluh sistemik kurasa adalah pengibaratan yang layak bagi tol dalam kota malam ini; kepadatan lalu lintas kearah kota-kota satelit tengah berisikan jiwa-jiwa yang lelah dan suntuk, sangat mual dengan karbondioksida hedonisme dan polusi kepentingan golongan yang lengket mencipta kantuk.
dibalik jendela mobil yang berembun, matanya lihai menatap pendar ibukota secara dalam. suasana yang kian syahdu setelah lagu-lagu chrisye diputar menemani sisa perjalanan, cukup untuk memutar selaksa kenangan baginya.
mobil timor keluaran 1999 itu melesat, membelah jalan protokol nasional sembari mencipta deru-deru sekelebat. dibawanya pria kecil yang baru saja menenun kepatah-hatian dari seseorang yang disukanya, harap-harap baginya hal itu akan nampak lebih dari sekedar sela diksi tak berjiwa dengan nama:
"Kapan Ku Harus Berterimakasih?"
#
Angkasa begitu lihai meredup # Pada makhluk yang tak sepenuhnya hidup
Deras batin bergejolak # Untuk apa dirimu mengelak?
Ujarku disergap jerit hati # Intuisimu melengking, menebas mati
Siang-siang yang kian usang # Melepas sauh menghadap pasang
Bersiap kembali pada semula # Tiada kasih membelah cakrawala
Batin ini regas # nyatanya, tercerabut pada alasan yang sama sekali tak berlandas
Resah # tak terbilang tiap singgah. Ku hampir menyerah
Hilang arah # Berlarut-larut menjelma gelisah
dibinanya arwah-arwah bisu 'tuk menghadap pada palung berwajah firdaus;
sebuah realita penuh kegelapan yang berideologikan pemaknaan surgawi dibalik perang nafsu yang kian teruk.
dalam sudut pandang penonton, palung firdaus ialah manifestasi yang logis atas hipokritisme rasa insan. mengalir seakan hal itu adalah solusi paling simetris dalam membunuh perasaan.
dan kau, adalah sekian dari penuntun yang menggiringku pada jurang itu. kau lihai memilih alur, seakan kau tengah membawa bom waktu yang sewaktu-waktu meledak. kau menghindar seiring perjalanan, memilih tuli disamping ragaku yang terus-terusan kelimpungan mencari makna akhir kita.
hingga tepi jurang, kita saling tatap. kulihat manik mata indah yang dulu sangat kudambakan. kulihat lesung di pipimu, yang dulu menjadi alasanku untuk tetap bersemangat menjalani hari sebagai seorang teman. kulihat hidungmu yang memerah, yang menjadi bahan bagiku untuk selalu menjahilimu kala kita semeja.
entah kapan kali terakhir kudengar suara mungil itu, yang dengannya jantungku berdegup begitu indah.
dan ya, hingga akhir, tak ada satupun dialog terujar diantara kita. kita berakhir menjadi makhluk yang tak sepenuhnya hidup. batin kita bergolak pada raga masing-masing, bertanya, berputar dalam logika semrawut yang kita ciptakan sendiri.
kau tinggalkan jasad ini, disaat penuntun lain mendorong jiwa yang dibawanya. kau sisakan diriku seorang untuk lantas memilih pilihannya sendiri, entah mengikuti mu kembali, atau jatuh lantas menjadi jiwa yang baru.
namun kala itu, satu hal yang begitu janggal terlintas, suatu hal yang selalu kuucapkan pada setiap yang kutemui, begitu rumit untuk kukatakan.
aku membusuk kebingungan, terus berdiri dimulut jurang. termenung atas kapan waktu yang tepat untukku mengucap terima kasih.
hingga kau sirna, dan aku terjatuh.
###
10 notes · View notes
hmnlatudiza · 1 year ago
Text
random, teringat bagaimana bapak duduk memakai sarung sambil mengajak cucu laki-lakinya, mengintip takbir keliling dibalik jendela tempat sholat dirumah bagian depan. duduk lesehan, hampir mirip seperti tersungkur tak punya tenaga, tapi raut wajahnya bahagia. wajah yg tidak bisa dilihat lagi kemudian.
entah meriah atau tidak, entah banyak tidaknya orang2 yg mengingat bapak, pada akhirnya tetap sama. nyatanya senyum bapak tidak kembali ada, dan wajah bapak yang dingin hari itu telah menjadi tanda tegas, sekejam itu waktu tidak bisa diulang. ia hilang.
bapak jarang meminta banyak hal besar, karenanya ketika bapak meminta suatu hal sudah seperti wajib bagiku menjalankannya, namun tidak ku duga permintaan bapak untukku pergi melanjutkan pendidikan adalah permintaan besar terakhirnya. aku sudah ingin menikmati masa masa bersama bapak di hari tua, pekerjaan atau validasi orang2 bukan hal besar bagiku, tapi kemudian kini justru aku sedikit menyesal, kenapa aku memenuhi permintaan itu dan kehilangan masa-masa terakhir untuk berpamitan.
sampai akhir, waktu bersama bapak tidak ku dapatkan.
bahasa cinta waktu berkualitas ku dibantai, kini sepertinya bahasa cinta satu itu tak akan lagi ada dalam pikiran dan hatiku. tidak berguna. ia sudah hilang, pergi, bersama hilangnya cintaku bersama bapak.
3 notes · View notes
neeloufar · 1 year ago
Text
asal dia tahu ya yaaRabb…
aku selalu menunggunya di balik pintu. sambil mendoakan keselamatannya, kebahagiaannya, kesuksesannya, di jalan yang lurus dan penuh dengan berkah dan ridhaMu. aku sangat memahi sekali saat ini dirinya sendiri lah yang menjadi musuh terbesar. egonya, nafsu, dan hal hal duniawi.
asal dia tahu selelah apapun diriku menunggunya di balik pintu ini. keinginanku ialah tetap sama yaitu menunggu kedatangannya.
asal dia tahu berkali kali aku ingin menyerah dan ingin berbalik atau bahkan keluar dari pintu ini, doaku selalu dan tetap indah untuknya.
asal dia tahu betapa inginnya diriku dirinyalah yang aku harapkan untuk pulang dan mengetuk pintu ini. pulang memelukku, mengecup keningku lalu mengatakan, “aku selamat, terimakasih doanya selama ini. sekarang kamu tidak sendiri lagi. mari mulai berdoa bersama sama. diriku, dirimu, dan Tuhan kita”. kemudian dengan rasa syukur terbaik, dalam hatiku terdalam aku berterimakasih kepadaMu bahwa doaku tepat sasaran persis seperti apa yang aku munajatkan kepada Rabbku. terimakasih telah menyelamatkannya. terimakasih telah menyatukan kita Allah Rabbul’alamin. akhirnya setelah sekian lama aku berdoa untuk meminta hati, engkau berikan aku ia yang Engkau letakan indah dalam hati dan doaku. dengan jalan yang indah dan penuh dengan berkah, rahmah, dan ridhaMu. lalu kemudian doaku berubah kuminta dunia dan akhirat terbaik untuk kita berdua.
yaaruhhhii.. aku masih di balik pintu menunggu kedatanganmu, tidak duduk apalagi berbalik arah. aku masih tegap berdiri dengan kokoh karena Allah yang menopang tubuhku. aku selalu menunggumu pulang kemana doa itu mengarah. kemana hati itu menuju. aku tahu. aku juga merasakannya. sayang sekali Allah tidak menaruh jendela pada rumah ini, jadi aku tak bisa mengintip langkahmu masih jauh ataukah sudah dekat. dengan yakin aku pastikan pintu ini hanya untukmu karena hanya dirimulah yang tahu dimana tempat indah ini berada. pasti sangat sulit dan menyakitkan di luar sana. maafkan aku, demi Tuhanku ragaku belum bisa menemanimu, membersamaimu. tapi jangan khawatir doaku selalu membersamaimu, meniti jalanmu untuk menemuiNya dan menuju kepadaku. aku memintakan cinta yang agung, keberkahan yang mudah, dan kesabaran yang tiada batasnya kepada Rabbul’alamin. semoga semuanya sampai dengan baik dan tepat kepadamu.
selama Allah masih menempatkanmu di hatiku, selama itu aku masih disini dan tetap akan selalu dibalik pintu ini. aku menunggumu yaaruhhii. Allah bersamamu. fiiammanillah.
3 notes · View notes
hypocrishit · 2 years ago
Text
Sebotol anggur buruh pemula
Bunyi pesan masuk berlomba lomba memecah keheningan, tetapi aku hanya terfokus pada ingatan perjanjian mabuk malam nanti ; tempat beli minuman, tempat tujuan, apa yang akan dilakukan, sampai bunyi telepon menyadarkanmu beberapa detik kemudian.
Setelah makan malam dan menunggu beberapa jam dan membikin janji pertemuan dengan seorang lelaki-yang sedikit jarang kuajak berinteraksi- di gerbang sebuah komplek perumahan, aku mulai menstarter manual motor dan mengeluarkan uang dua ribu rupiah untuk jasa parkir yang membantuku. Aku berangkat dari cafe kecil di pinggir jalan besar, tidak jauh dari gerbang kompleks yang akan kutuju. Jam menunjukkan pukul dua belas. Laki-laki berjaket warna jingga sudah sedia dipinggir jalan dua arah tidak jauh dari titik perjanjian.
“Kau dari mana ?” Sapa ahmad sambil mengantongi kedua tangannya dalam jaket tudungnya. Aku membalas senyum lebar petanda maaf karena membuatnya menunggu lama. “Kita harus pakai motormu, motorku ban nya bocor” lanjutnya.
Lima belas menit perjalanan menuju indekos sederhananya. Ahmad mengambil alih setir motorku siap melaju dengan kecepatan sedang. Aku menggeser duduk ku sedikit kebelakang, dan membiarkan kaki ku menggantung untuk kuayunkan selama perjalanan, berharap malam ini akan membuat perasaanku stabil dan mulai melamun lagi.
“Kau mau beli minum dimana?” teriak ahmad ditengah deru angin malam. “Tidak tau, kau tau penjual minum dimana?” Aku balas berteriak dismping telinga kanannya. Motor melaju pelan, kita singgah di sebuah ruko usang dengan sedikit jendela persegi panjang di tengahnya -ciri khas toko minuman- dan memulai kata kunci pembeli pada tiap jualan “belii,, permisi, beli..” tidak ada yang menyaut, toko tampaknya sudah kosong sejak lama, seperti tidak sedang berjualan. “Kutau satu penjual minuman, dia di paccerakkang”, ahmad mulai menstarter manual motor biruku, dan melaju ke tempat yang kusebut.
Memori, khayalku. Beberapa minggu yang lalu, kawanku yang lain yang memperkenalkan tempat ini, meski sedikit mahal tetapi tidak terlalu jauh dari tempat kami. Saat tiba, Sepasang mata muncul dibalik jendela kecil bagian pintu ruko “mau beli apa?” Katanya. “Amer satu” kata ahmad, lalu berbalik sebentar untuk memastikan ia sudah memesan porsi yang cukup. Aku mengangguk tanda benar. Kami melanjutkan perjalanan menuju indekos sederhana.
“Kau kerja dimana? Bagaimana pekerjaanmu?” Ahmad tiba tiba menegur, “nanti saja, kita tampung bahasan ini saat minum” sedikit teriak, Ahmad mengangguk setuju.
————————————
“Kau mau pake seloki?” Ahmad menawarkan. “Tidak, minuman begini enaknya gelas besar” jawabku “okelah, sans” ahmad menimpali. Kami meneguk anggur merah ditemani kerupuk harga seribuan. Setengah botol masih tersisa, aku sudah merasa mual dan kesulitan meneguk gelas gelas berikutnya. Ahmad yang menyadari hal tersebut “kau sudah? Cepat sekali”, “uwek tidak enak” jawabku dengan ekspresi masam. Sisanya dihabiskan ahmad dan tidak terlihat mabuk. Aku bergumam “deh, kuatnya. Saya nda bisa ma”.
Percakapan tentang pekerjaan dimulai, aku menunjukkan penyesalanku karena pilihan yang keliru dan kejadian kejadian minggu pertama. “Seharusnya saya nda minta pekerjaan itu, jadi buruh itu sulit. Kita memang dipaksa bekerja dibawah tekanan”. Sambil menggoyangkan kepalanya keatas dan kebawah secara berulang, ahmad menimpali “sudahlah, sebulan setelah kau terima upah, keluar saja. Itu eksploitasi cok”. Aku merenung “iya, nanti deh. Kunikmati dulu”.
Kupandangi Ahmad meneguk slot terakhir anggur, merenung “kuat sekali anak ini, apa karena dia terbiasa minum yang lebih keras, makanya dia seperti minum air putih -tidak berpengaruh apa apa-“.
“Kau kalau ngantuk, tidur saja d kasur! Saya bisa ji di lantai. Sans kalau disini” ahamd menyadari kantukku saat mataku tidak sepenuhnya terbuka. Aku bersandar di tembok dengan rasa tenang dan sedikit pusing yang dihasilkan anggur merah, aku memperbaiki posisi duduk ku, menyusun satu sampai dua bantal dibagian ujung kasur, dan siap merabahkan tubuh.
kami terlelap.
————————————
Apr 23
6 notes · View notes
journeyvie · 2 days ago
Text
Belakangan ini hujan seringkali hadir tanpa permisi, tak peduli pada waktu, tak peduli pada keadaan orang-orang yang masih diluar Rumah itu, ia datang lalu mengguyur seisi bumi. Kau tau? Jika ditanya siapa manusia penyuka hujan, maka Akulah jawabannya, Aku manusia penyuka hujan, hehe. Bagiku, hujan selalu mampu mendamaikan segala kekalutan yang mendekap erat hatiku.
Tadinya Aku duduk diam di sudut kamar, dengan jemari yang asik menari dilaptop kesayanganku, entah apa saja yang sudah ku tulis, entah berapa lama Aku duduk diam sendirian, meramu segalah jenis keriuhan, lalu hujan tiba-tiba datang menemani, membuat sunyiku sedikit teralih dengan tetesannya.
Aku menyukai hujan, bagiku hujan tak hanya membuat kedinginan, tapi juga menyadarkan, dibalik dingin yang kurasa, aku benar-benar 'merasakan' setidaknya, ini bukanlah mati rasa. Haha.
Aku menyukai hujan, Itulah sebabnya kala ia datang, jemariku seketika menghentikan tariannya, menarik kursi plastik ke sudut jendela besar dikamarku, alih-alih menutup jendela itu rapat-rapat, aku malah membukanya, lalu mulai menjulurkan tangan—merasakan desiran dingin yang berjatuhan.
Aku menyukai hujan, sungguh! "DUAAR!" Mataku melotot, kaget! Dengan cepat tanganku menutup jendela dan terduduk disudut kasur, tirai-tirai dijendela besar itu juga sudah tertutup sempurna.
"Huaaa!"
Inilah kekuranganku, Aku menyukai hujan, tapi tidak dengan gemuruh petir dan juga gledeknya itu, Aku takut, tidak punya keberaniaan lebih, alih-alih bisa menenangkan diri, Aku justru mematung di sudut kasur, dengan gemetar yang kadang-kadang membuatku telihat konyol.
Entahlah, apakah trauma masa kecil? atau Aku memang pengecut!
Suara menggelegar dilangit-langit itu membuatku takut, kilatan petir yang menyilau itu juga seolah ingin mengejarku, Aku betul-betul tidak berani, jantungku lagi-lagi berpacu.
Aku bernostalgia ke beberapa tahun lalu, kala usiaku masih beliau, kala momen ini datang Aku pasti akan berlarian ke kamar Abah dan Ibu. Tapi sekarang usiaku sudah 23, namun ketakutannya tak juga hilang, masih sering merasakan kalut.
Bayangkan saja ketika Aku di rumah sendirian, Aku harus berlari kepelukan siapa? Tak ada Ibu ataupun Abah, kejadian ini seringkali terjadi ketika dulu di Kos—Aku hanya bisa diam mematung, dengan tubuh yang diselimuti kain-kain tebal, demi apapun, takut! Suara menggelegar itu benar-benar membuat nyaliku ciut.
Seiring berjalannya waktu Aku tak lagi merasakan ketakutan yang berlebih, perlahan bisa mengendalikan diri, tidak separah dulu takutnya, kendati tidak lagi menuju kamar Ibu kala petir menggelegar di hamparan langit, tetap saja aku akan duduk diam dikamar, merapal banyak doa dan harap. Hahaha😭
Aku menyukai Hujan, sungguh! namun itulah kekuranganku, Aku tak menyukai gelegar petir dan juga kilatannya.
Sama seperti halnya ketika Aku menyukai laki-laki yang bisa diajak komunikasi, laki-laki yang bisa ku ajak bertukar pikiran mendalam, mendiskusikan banyak hal menyenangkan, apapun yang dibicarakan akan terasa nyambung dan nyaman, sesederhana saling paham 1 sama lain, saling memahami.
NAMUN—
namun rupanya Aku belum siap menerima jikalau faktanya Ia dekat dengan banyak orang, apalagi dekat dengan perempuan. Sungguh! Aku cemburu!
Aku tak bisa menerima fakta itu:(
Apakah ini terlalu berlebihan?
Aku memahami akan selalu ada konsekuensi dari apa yang kita pilih, namun bisakah? Bisakah hatiku berdamai dengan ketakutanku tersebut? Kendati aku sangat menyukainya.
Ya Tuhan! Berat :(
—Viee
07 April 2025
Ditulis kala hujan mulai mereda, tentu saja dengan kilatnya yang sudah tak lagi ada.
17.14 WIB
0 notes
haiimdrama · 17 days ago
Text
Hai damai
Hari ini kamu tidak kerumah ya
Aku menunggu dibalik jeruji jendela
Menunggu dengan hati yang berharap ikhlas untuk menghadapi segala
Sekali lagi
Hai damai
Hari ini kamu tidak kerumah ya
Aku menunggu dibalik jeruji jendela
Mataku sudah sembab dengan segala drama kehidupan
Nafasku lesu tak ada harapan untuk esok
Apakah dengan ini kau akan kerumah?
Hai damai
Akhirnya kau kerumah
Setelah sekian lama aku menunggumu
Apakah kau tahu?
Setelah kau datang
Aku tak lagi merasakan apapun
Aku mati rasa
Dan tak bernyawa
Apakah kau tahu?
Aku belum berdamai
Walau kau datang kerumah~
1 note · View note
risadrei · 2 months ago
Text
EPISODE 2 ; Jumpa
Didepanku terletak sebuah bangunan dengan campuran putih dan oranye yang menyelimuti dari atas ujung kubah hingga dinding. Setiap sisi dirancang berbagai jendela yang berbentuk setengah lingkaran dengan tiang putih yang menyangganya. Ciri khas bangunan yang mewariskan gaya arsitektur Belanda yang melekat. Gedung yang diwariskan dari kolonial Belanda untuk dijadikan fungsi bentuk komunikasi dan ekspresi melalui sepucuk surat.
Aku menelan ludah. Badanku terasa berat untuk maju. Sungguh pagi yang buruk untuk menerima ceramah panas dari Kepala Pos, pak Mir. Aku mengusap rambut, ujung jari menyentuh helai rambut yang terjatuh berantakan. Merapikannya kembali dibalik telinga. Rambutku sudah mulai panjang.
Aku menghela nafas, menggunakan tenaga untuk mendorong pintu. Wajahku disambut oleh udara ruangan.
Seorang perempuan menyamperi ku. Ia satu tahun lebih tua daripadaku. Rambutnya diikat menghasilkan gelombang tebal yang menyentuh punggung. "Darwi? Yang benar saja? Lihat tuh jam, sudah 15 menit lewat!" Ia melipat kedua tangan di dada. Alisnya berkerut halus. "Kalau kamu telat mulu dalam setiap acara, nanti kamu nikahnya sama cowok yang males-malesan lho."
"Siapa juga yang mau nikah?" Aku mendengus mendengar komentar Lia. "Pak Mir dimana? Aku minta tolong jangan mengadu kalo aku telat ya?" Aku bertanya dengan suara kecil, memohon kepada Lia.
“Eh, itu si Dar. Woi Dar! Hoki lu hari ini. Pak Mir hari ini izin telat. Katanya nanti dia akan berkunjung kesini bersama anaknya.” Teriak rekan kerjanya, Herno, sambil mengangkat menara kertas pos untuk disortir.  
“Sungguh? Syukurlah, sepertinya dunia di sisiku hari ini."  Aku mengelus dada. Rasa lega menggenangi tubuhku. Melihat sekitar, semuanya sibuk bergegas kesana kemari. Suara dentingan kayu terdengar setiap ada beban yang menginjak. Udara ruangan yang ditemani bunyi klik dari setiap tombol mesin ketik yang ditekan. 
Kriiiiiiiinggg...
Terdengar teriakan lonceng bel dari atas pintu yang terbuka pelan. Menampilkan Pak Mir dengan seorang sosok perempuan dibelakangnya. "Pagi semua" ucap Pak Mir dengan suara rendah dan sedikit serak. Wajahnya serius menunjukkan kerutan di dahi dan kulit yang mulai kendur. Tak lama disambut balik "Pagi pak" dengan serempak oleh semua orang di ruangan. Termasuk Lia. “Maaf atas keterlambatanku semua, hari ini kalian ada tamu. Perkenalkan anak perempuan saya Nairi Monasar. Ia maksa ikut dari pagi karena pengen tahu tempat ini.” sebut Pak Mir, menghela nafas. Ciri khas galaknya yang menyusup di setiap kata memberi beban pada atmosfer ruangan. Pak Mir lalu meninggalkan ruangan untuk pergi ke ruang kantor pribadinya.
Nairi Monasar…Nairi Monasar…nama yang indah, seperti orangnya. “Apakah kamu Darwi? Bapak sering menceritakan kamu kepadaku. Salam kenal, saya Naira.” Perempuan itu tersenyum manis. Rambutnya terurai dengan anggun. Kedua tangan dibelakang. Dia memiringkan kepalanya, wajahnya penuh penasaran. Ku menahan nafas. Wajah cantik dengan jelita riangnya bisa menerangi setiap sudut ruang.
0 notes
pojokingatan · 3 months ago
Text
Lama kita tak bicara. Semua masih sama. Dan tak perlu ku ulang lagi bukan?
Hidupku berputar, dr matahari terbit di kaki ibuku yang bergetar hingga terlelap dibawah kaki ibuku yang masih tak diam. Badanku remuk. Setiap malam aku selalu bermimpi, tulang belulang dibalik gumpalan tipis daging ku ini, telah patah berkeping keping. Ketika terbangun aku berpikir, mungkin esok aku harus bersiap berjalan merangkak atau mulai belajar berjinjit dengan tongkat.
Tapi, itu hanya mimpi. Nyatanya, aku masih bangun jam tujuh kurang lima belas, berjalan menuju kamar bercat biru langit, yang lapuk. Dengan mata yang sayu, menyeret jejak yang lemah, kemudian menyapa perempuan tua yang sedang duduk dikursi rodanya dengan matanya yg selalh lekat didaun jendela yang retak.
"Apakah tidurmu nyenyak semalam, bu ?:
Lama terdiam. Setelah itu dia akan bercerita tentang mimpi mimpi yang menghampirinya semalam. Bapak yang memberinya buah nangka, kakak pertama yang terlihat murung, atau kakak kedua yang terlihat sedang tidur dengan baju terakhirnya. Kubilang mungkin mereka rindu. Atau mungkin ibuku yang rindu, kataku dalam hati.
Wajahnya murung. Selalu murung. Dengan ribuan lelucon yang bertahun tahun selalu kuceritakan, dia masih setia dengan pikirannya yang murung. Pikiran tak berguna, merasa jadi beban anak, suami yang dan anak yang sudah pergi mendahuluinya, penyakit yang tak kunjung sembuh dalam setiap cara pengobatan tlah dilalui tubuhnya.
Dia tentu lelah, harus terus mengontrol pikiran dan peeasaannya setiap saat. Tentu, dia tak mau gagal lagi. Setidaknya kali ini. Seperti kenyataan bahwa dia tidak lagi bisa mengendalikan badannya yang tak henti bergerak sesuka mereka.
Ibuku. Penyitas parkinson setadium lanjut. Dengan beberapa komplikasi penyakit lain yang memaksanya harus bertahan dengan diet protein dan gula exstrim. Hidup yang menyedihkan bukan. Membayangkan se-sesak apa dadanya dengan umpatan umpatan itu.
Apa dosaku tuhan? Pertanyaan ibuku setiap saat. Yang selalu kujawab diplomatis, bahwa ibuku tak punya salah, dia bersih seprti mata air yang selalu menetas dipipinya. Tuhan hanya sedang menguji anakmu yang nakal dan bermulut besar ini saja, sekuat dan seikhlas apa dia bisa menjaga dan membuatmu tersenyum.
Ibuku tersenyum kecut. Dan segalanya kembali berputar dlam rasa sakit dan fruatasi.
0 notes
scatterhitampragmatic-play · 4 months ago
Text
Menyelami Dunia Buku : Perjalanan Tanpa Batas dalam Setiap Halaman
Tumblr media
Buku adalah jendela dunia yang tak terbatas. Dengan setiap lembar yang dibalik, kita melangkah ke dalam dunia yang berbeda, menjelajahi imajinasi, dan merasakan petualangan yang tak pernah berakhir. Sama seperti menemukan kejutan kecil dalam scatter hitam pragmatic, dunia buku penuh dengan misteri yang menunggu untuk diungkap.
1. Buku sebagai Portal ke Dunia Lain
Setiap buku adalah pintu menuju alam semesta yang berbeda dan bertema yang sangat menarik dan memberikan informasi yang tidak diketahui. Apakah itu fiksi ilmiah yang membawa kita ke masa depan, atau novel sejarah yang menggali kedalaman masa lalu, buku memberikan kebebasan untuk melintasi batas-batas waktu dan ruang. Di dalam halaman-halaman itu, kita bisa menjadi pahlawan, penjelajah, atau bahkan penyihir—semua tergantung pada pilihan cerita yang kita ambil.
2. Kata-kata yang Menghidupkan Imajinasi
Ada kekuatan dalam kata-kata. Saat kita membaca, kita menghidupkan karakter, tempat, dan perasaan yang hanya ada dalam imajinasi. Setiap kalimat membangun dunia, dan setiap paragraf mengundang kita untuk lebih mendalam terlibat. Seperti menemukan elemen kejutan dalam "scatter hitam pragmatic", kata-kata dalam buku sering kali memberi kita pelajaran yang tak terduga dan momen pencerahan.
3. Buku sebagai Teman Setia
Buku bukan hanya benda mati; mereka adalah teman yang selalu siap menemani dalam setiap kondisi. Ketika dunia terasa berat, buku menawarkan pelarian. Ketika merasa kesepian, karakter-karakter di dalam buku menjadi sahabat. Dalam setiap halaman, buku mengajarkan kita untuk terus maju, menemukan kebijaksanaan, dan mencari arti dalam kehidupan.
4. Perjalanan Melalui Genre yang Berbeda
Sama seperti petualangan yang tak terduga, dunia buku menawarkan berbagai genre untuk dijelajahi. Dari kisah-kisah petualangan yang mendebarkan, drama yang menguras emosi, hingga misteri yang penuh teka-teki—setiap genre memberi pengalaman yang unik. Dalam pencarian kita, mungkin kita akan menemukan cerita yang lebih dekat dengan hati, seperti kejutan kecil yang datang tak terduga.
Kesimpulan
Buku adalah dunia tanpa batas yang mengundang kita untuk terus menjelajah. Setiap halaman adalah kesempatan untuk menemukan hal baru—kehidupan, perasaan, dan petualangan yang tak terbayangkan sebelumnya. Sama seperti "scatter hitam pragmatic", dunia buku mengajarkan kita untuk terbuka pada kejutan-kejutan kecil yang memberi makna besar dalam hidup kita
0 notes
muara-sa · 5 months ago
Text
Ending scene
Hujan deras sekali di luar. Aku melihat dari balik jendela. Pemandangan yang sama selama 2 bulan terakhir. Langit abu-abu, seperti tidak ada tanda-tanda untuk reda. Hujan masih deras di luar. Kata rindu buat hati semakin tidak mengerti harus bagaimana.
Tentang hari (-hari) yang tidak ingin diingat, tapi masih ingin diingat. Sebagai tanda bahwa kita pernah melewati hari melelahkan, hari menyedihkan, dan hari yang menguatkan.
Menjalani hari-hari yang sama. Pergi pagi pulang sore/malam. Kembali ke ruangan kotak yang tidak terlalu besar tapi sangat cukup untuk tinggal sendiri.
Pagi itu dingin sekali. Masih musim dingin. Bekas salju masih terlihat di beberapa sudut jalan raya besar. Hari kamis. Kemarin aku meninggalkan sepeda di kampus. Alhasil aku harus pergi dengan transportasi umum untuk sampai ke kampus. Ditanganku, ada sebuah bingkisan untuk orang yang saat itu mengisi hari-hariku. Bingkisan kecil sekaligus sebagai perayaan kecil ulang tahun adikku saat itu.
Berkutat sedari pagi dengan tulisan yang tidak bisa dipahami hanya dengan dilihat. Sesekali berbincang dengan orang-orang. Menebar tawa dan canda. Rasanya ingatan rinci tentang hal itu satu-satu sudah menghilang.
Hingga pada akhirnya sore hari tiba.
Ponsel ku berdering berkali-kali. Membicarakan hal yang sama. Kekhawatiran itu banyak muncul. Kesedihan. Semua menjadi satu. Aku pun tidak tau harus seperti apa. Aku membuka laman reservasi penerbangan padahal belum tau apakah bisa pulang atau tidak. Mencari-cari tiket untuk pulang meski entah apa benar pulang atau tidak.
Teman satu ruanganku pasti bingung, kenapa tiba-tiba aku menjadi panik. Menangis.
Pada akhirnya aku meninggalkan ruangan dan pulang bersama sepeda yang kemarin aku tinggalkan di kampus. Sebelum pulang, aku sempat berjanji untuk pulang bersama sahabatku.
Masih ingat betul. Ba'da maghrib itu, di persimpangan dekat kantin teknik. Lebih tepatnya di depan kantin teknik, aku memarkir sepedaku sembari menunggu sahabatku. Untuk kesekian kalinya, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Ibu- mengatakan apa yang kami khawatirkan- yang ternyata menjadi nyata.
Suara isak dibalik telepon. Aku ikut menangis. Aku tidak tau harus bagaimana. Beberapa kali, Ibu menelpon untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Padahal Ibu juga tidak baik-baik saja. Menyuruhku untuk berhenti menangis padahal aku tidak pernah menangis di depannya atau dibalik telepon.
Malam itu dan beberapa malam setelahnya, orang-orang baik benar-benar tidak pernah membiarkanku sendiri. Meski aku ingin sendiri, atau aku ingin menangis sejadi-jadinya, orang-orang baik tidak pernah membiarkanku sendiri.
Jumat sore itu, aku pergi sendiri ke belakang stasiun. Berjalan dari tempat tinggalku. Ada lapangan baseball di sana. Tenang sekali suasana sore itu. Meski hatiku masih berantakan, aku menemukan diriku yang duduk sendiri menunggu matahari tenggelam, membawa satu tas kecil berisi minuman yang aku beli sebelumnya- aku membeli dua entah satu untuk siapa. aku saja yang tidak suka membeli satu. terlihat menyedihkan karena sendiri- dan foto bapak ibu.
Banyak hal terjadi. Hujan di luar sudah reda entah pukul berapa tadi. Rasa ingin bertemu sering hadir- meski nyatanya sulit untuk hadir dan bertemu.
0 notes
sellaindah · 7 months ago
Text
Di balik tembok besar itu, aku melihatmu sedang duduk sendiri di kursi itu.
Aku melihatmu dibalik pentilasi udara, sungguh mudah menebak jelas itu dirimu.
Yang punya badan mungil dan serba menutup pikiranku kala itu.
Aku duduk disini, mematrimu dari balik tembok besar.
Aku kehujanan, tapi berteduh di balik jendela
Tak lama, urusanmu selesai.
Aku menyemprotkan anti bacterial seperti biasa ke lenganmu dan lenganku.
Kau bertanya apa kabarku, aku menjawab ‘ habis jatuh, lututku berdarah’ kau panik tapi aku suka.
“ jatoh di mana? Ada ada ajaaa” aku hanya tertawa, lalu kamu mencubit ku kecil
Tak lama aku mengajakmu makan, entah kamu suka atau tidak. Tapi akhir-akhir ini, nampak banyak keterpaksaan.
Kau tidak jelaskan punyamu, dan aku pun sama.
Entah ini hubungan macam apa, seperti tulisan ini kita banyak tanda koma, titik. Dan spasi yang panjang.
Dan sekarang, nampaknya telah selesai.
0 notes
andumkatresnansposts · 7 months ago
Video
youtube
Imelda, Remaco, Irama Mas
00:00 Nusantara II - Tony K./Yok K./Yon K. 02:19 Percaya Padaku - Yok K./Yon K. 04:28 Kolam Susu - Yok K. 06:48 Mana Hatimu - Yok K. 09:36 Buat Apa Susah - Murry/Tony K./Yon K. 12:37 Diana - Tonny K./Yon K. 14:50 Tiada Lain Dihatiku - Tony K./Yok K./Yon K. 17:52 Kembalilah Kepadaku - Tonny K./Yon K. 19:45 Waktu - Yok K./Yon K. 22:08 Desember - Tonny K./Yon K. 24:59 Semanis Rayuanmu - Murry/Tony K./Yon K. 26:12 Tak Mungkin Kembali - Yon K 28:54 Terpaut Di Pekanbaru (Zaenal Arifin) 32:11 Iklan Cinta (Chilung R./Zaenal) 34:37 Tangis Dalam Cinta (Chilung R./Zaenal) 38:18 Mencari Idaman Hati (Zaenal) 40:53 Wanita (Chilung R./Zaenal) 43:23 Aku Sangat Sayang Padamu (Chilung R./Zaenal) 46:14 Ditinggal Pergi (Zaenal Arifin) 50:18 Dibalik Jendela (Chilung R./Zaenal) 53:13 Cinta Dalam Hati (Chilung R./Zaenal)
0 notes