#catatanintrover
Explore tagged Tumblr posts
parviscandelis · 5 years ago
Text
Bintang : Langit, selepas senja yang sangat indah, kau akan menyerahkan dirimu pada pekat.
Langit : Lalu?
Bintang : Mengapa kau tak biarkan cahaya tetap bertahta atasmu? Pekat itu amat menyesatkan bukan?
Langit : Barangkali kamu lupa wahai kawan, tanpa pekat tak akan ada kata gemerlap ataupun terang benderang. Bahkan tanpanya, kamu tak akan tampak segemerlap saat kelam tiba.
"Jika semua menginginkan gemerlap tapi enggan mengenal pekat, hakikatnya dia lupa diri tentang alasan gemerlap mampu tampak. Segala semesta memiliki lajur yang berbeda, bukan perkara putih ataupun gelap. Karena hakikat hidup adalah menjalani porsi dan pilihan yang penuh syarat."
Gunungkidul, 11 Agustus 2019
—desinuristanti—
4 notes · View notes
parviscandelis · 7 years ago
Text
Benarkah Kita (Saling) Kehilangan?
Apakah kamu takut kehilangan? Pertanyaan konyol yang baru saja kaulontarkan. Aku tersenyum masam, melihat air menggulung dan berkejaran, menabrakkan diri pada karang nan keras—seakan tak berperasaan. Kadang aku ingin menjadi makhluk egois yang memegang lenganmu erat, memeluk dan menghirup bau laut dari tubuhmu. Lalu meminta agar kamu tak berlalu.
Tapi bukankah aku bukan siapa-siapa?
Kehilangan apa? Jawabku dengan hati bergetar dan ingin segera pulang, menenggelamkan diri dalam cekungan bantal—hingga kemudian terisak meratapi keadaan.
Waktu itu tanpa kusadari kamu segera bangkit dan melangkah menjauh, menyisakan aku bersama deburan ombak. Pasir putih yang menghampar, tak lantas membuatku tenang karena sumber ketenanganku telah hilang.
Tidakkah kita ini lucu? Kamu yang mempertanyakan perihal ketakutan akan kehilangan dan kemudian kamu sendiri yang pergi sebelum sempat kujawab segala pertanyaan. Dengan enggan, kamu seakan kecewa dan menyalahkan atas dua kata yang menjadi pertanyaanku setelahnya.
Apa yang membuatmu kecewa?
Kamu yang tempo lalu menasihatiku agar tidak menjadi makhluk hawa yang mudah terbuai akan harapan. Lalu beberapa sekon lalu jelas kamu juga yang membuatku menjadi sosok antagonis hingga seakan memaksamu pergi dari pandangan. Bagaimana bisa kamu tanyakan kehilangan? Jika berharap saja tak kauijinkan.
Kita bukanlah dua makhluk semesta yang tengah baik-baik saja. Aku dengan hati yang telah begitu batu, namun selalu rela menjadi lilin. Dan kamu dengan segala luka dan satu set semangat menghadiahi sekotak penyesalan untuk dia yang telah meninggalkan.
Kamu yang masih tak berani melangkah dan memberikan kepastian, dan aku yang begitu takut menaruh kepercayaan. Malangnya—bagiku—kita seakan menjadi makhluk yang saling merindukan dan takut kehilangan, namun sama-sama tak mampu memperjelas keadaan.
Maka biarlah yang keruh menjadi bening pada saatnya. Kita yang tengah menjauh dengan dalih mengejar impian, biarlah tetap menjadikan alasan itu sebagai pembatas perasaan. Karena bisa saja ini hanyalah aku yang terlalu perasa dan akhirnya salah sangka atau juga mungkin kamu yang tak peka? Dan benarkah aku kehilangan?
Entahlah, biarkan enigma tetap setia menjadi pelengkap tanya dalam sujud yang ada. Kita tak perlu takut karena meski kelak kita bisa saja terjatuh hingga kembali terluka, percayalah bahwa segala duka akan membuat kita menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Selamat memaknai segala enigma dan duka, jangan lupa untuk selalu bahagia serta bersyukur atas apa yang telah ada.
Yogyakarta, 3 Februari 2018 -desinuristanti-
cc : @kitakalimantan
1 note · View note
parviscandelis · 7 years ago
Photo
Tumblr media
0 notes
parviscandelis · 7 years ago
Text
Anomali Umur dan Tingkat Kedewasaan Manusia
Kamu lebih terlihat dewasa daripada umurmu yang sebenarnya.
Saya hanya tersenyum mendengarnya, statemen semacam itu sudah berulang-ulang masuk ke telinga. Rasanya bosan juga dianggap sudah cukup dewasa, bahkan kadang umur yang terbilang masih anak bawang ini selalu saja mereka sanksikan kebenarannya. Yah, hanya karena pola pikir saya.
Hari ini ada salah seorang teman saya yang mengulang tanggal kelahirannya tepat yang ke-20 tahun. Selama saya bersamanya, saya tak pernah menganggap dia semuda itu, karena pada akhirnya kedewasaan tidak mampu diukur dengan bilangan angka yang sering kita sebut umur. Banyak sekali orang di luar sana, yang cukup matang secara umur, namun faktanya masih begitu anak-anak dalam segi pemikiran.
Mereka menjadi anak-anak yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.
Kedewasaan dibentuk dari kehidupan di setiap harinya. Kadang situasi kehidupan yang sulit akhirnya membentuk seseorang yang belum cukup dewasa secara umur, sudah dewasa secara pemikiran. Ini sangat banyak terjadi.
Jadi, untuk apa sih kita ini selalu menggolongkan sesuatu berdasarkan umur? Mungkin malah ekstremnya sampai membeda-bedakan dalam pergaulan hanya karena umur. Yang kadangkala kita tahu lebih muda ketimbang kita, lantas kita remehkan. Untuk apa? Toh, umur hanyalah sebuah angka yang tak bisa menjamin tingkat kedewasaan seseorang.
Nggak perlu saling tuduh menuduh, langsung aja koreksi diri kita sendiri. Pandang orang dari pemikirannya, ilmunya, nggak perlu kita remehkan orang lain hanya karena umurnya yang lebih muda dari kita. Pun juga ketika ada orang yang lebih tua dari kita namun melakukan atau menyampaikan hal yang kurang tepat, kita juga sah-sah aja untuk mengingatkannya.
Jadi, nggak perlu berdebat masalah siapa yang lebih tua dan muda. Kita hidup di dunia untuk sama-sama mencari cahaya, belajar menemukan setiap pembelajaran dari manapun dan siapapun itu.
  Yogyakarta, 4 Februari 2018 -desinuristanti-
cc : @kitakalimantan
3 notes · View notes
parviscandelis · 7 years ago
Text
Ketika kita membuat kesalahan, bahkan membiarkan diri kita sendiri menjadi pecundang. Maka meski terasa begitu menakutkan. Kita harus kembali untuk sekadar memperbaiki keadaan. Meski sepenuhnya kita menyadari bahwa tidak akan mampu kembali sempurna seperti sebelumnya. Namun setidaknya jangan biarkan diri sendiri menjadi pecundang untuk selama-lamanya. Bisa jadi, yang membuat kita ragu dan hidup terasa penuh keengganan adalah karena banyak janji yang belum ditunaikan.
—desinuristanti🌱
0 notes
parviscandelis · 7 years ago
Text
(Seharusnya) Kamu Tak Mempertanyakan
Akan ada masanya, di mana kamu merasa menyesal pernah memilih beranjak. Menyesal pernah memasang topeng acuh pada seseorang yang (dulu) selalu ada untukmu. Seseorang yang begitu gigih ada di sampingmu ketika kau membutuhkannya, namun juga tetap setia di belakangmu saat kau mengacuhkannya.
Detik, menit, jam dan bulan berlalu, hingga tak terasa tahun telah berganti. Kamu yang begitu asyik dengan hidup barumu dengan orang lain yang kamu anggap lebih baik darinya. Tiba-tiba saja merasa kehilangan, atas perhatian yang selalu mengganggumu setiap malam, meski selalu kauabaikan. Juga celoteh-celoteh yang dulu selalu kau katakan cerewet, hingga mungkin kala itu kauanggap dia gila karena terus ada meski kauabaikan.
Ketika kini kau rasakan kehilangan semua yang (dulu) kau acuhkan, kamu mencoba mencarinya. Namun yang kautemui adalah dia yang tengah berubah menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya.
Entah kamu yang terlalu asyik berlari hingga tak menyadari bahwa yang mengejarmu telah tertinggal jauh di belakang, atau kamu yang terlalu tenang merasa bahwa dia tak akan pernah berhenti untuk berjalan di belakangmu. Yang pasti dia telah berhenti, dia telah memilih mengakhiri semuanya.
Ini bukan masalah siapa yang berubah atau siapa yang salah. Juga bukan perihal melupakan dan meninggalkan. Kalau kamu menuduhnya berubah, harusnya kamu pikirkan bagaimana rasanya diacuhkan setiap waktu. Mungkin juga kamu perlu merasakan bagaimana sesaknya menatap punggung seseorang yang bahkan tak mau menoleh kearahmu kecuali ketika tetesan gerimis hadir di netramu.
Bukan perasaannya yang berubah, namun logika dan akalnya yang telah bertumbuh lebih baik. Karena melepaskan dan mengikhlaskan baginya terasa lebih melegakan, toh kamu sudah terlihat lupa dengan sosok yang ada di belakangmu. 
Jadi, untuk apa kamu mempertanyakan kembali? Bahkan kamu merasa kehilangan?
Oh, mungkin kamu amnesia, bahwa yang memilih acuh dan pergi adalah dirimu sendiri.
Purworejo, 1 Februari 2018 -desinuristanti-
cc @kitakalimantan
19 notes · View notes