Tumgik
#berpura pura
langitbersuara · 11 months
Text
Sepertinya kepergianmu tak lagi menyakitiku, entah memang rasa yang tak lagi sama atau memang aku hanya berpura-pura saja.
- R
3 notes · View notes
herricahyadi · 6 months
Text
Postingan
Saya hanya mau bilang sedikit. Kalau lagi pakai media sosial, Instagram misalnya, selalu luangkan waktu untuk merespon postingan temanmu. Meski dengan sekadar celetukan lucu, pujian, doa, dan reply-reply random. Kadang kita tidak sadar telah menjadi zombie yang angkuh: hambar melihat aktivitas orang lain dan sentralistik egois terhadap diri sendiri. Ini yang menjadikan media sosial akhirnya penjara pikiran yang menyesatkan. Memuat jiwa-jiwa jadi kosong melompong.
Gunakan momen postingan tersebut untuk terlibat percakapan dengan mereka. Bahkan sekadar komentar receh pun tidak bermasalah. Kita bisa tetap jadi orang yang ramah tanpa perlu berpura-pura. Bukan buat siapa-siapa atau cari perhatian manusia. Bukan. Tapi untuk menjaga diri kita sendiri dari karakter yang tidak memanusiakan manusia.
Ambil bagian membentuk sirkel yang positif dan saling terhubung dengan kebaikan-kebaikan.
244 notes · View notes
nurunala · 3 months
Text
Cerpen: Hujan atau Cinta
Mungkin, memang sudah seharusnya aku berterima kasih kepada hujan. Rintik-rintik kenangan yang menahan kita tetap di sini. Mendengarkan cerita satu sama lain. 
Kamu bercerita, aku bercerita—dan entah sudah berapa dusta yang aku cipta. 
Hujan menggenang lubang-lubang jalan. Burung-burung berteduh.
Hatiku mengaduh.
Inikah rasanya jatuh, terluka, tapi harus terus berpura-pura?
“Siapa dulu yang ketawa ngakak sampai jatuh dari pohon?”
Dahimu selalu berkerut jika sedang bertanya. 
“Amar? Yang celananya sobek?”
“Iya bener, Amar! Celananya sampai sobek ya? Oh iya!”
Kamu tertawa lepas sambil reflek menepuk lengan kiriku. 
Aku selalu suka tawa itu. Terutama saat pemicunya adalah aku. 
Sejak dulu, aku selalu ingin jadi sumber bahagia dalam hidupmu.
“Kamu, lama di sini?”
Akhirnya, kuberanikan diri bertanya. Mengukur kemungkinan berapa kali lagi kita bisa berjumpa. Untuk sekadar bertukar cerita, bernostalgia, atau … menumbuhkan lagi rasa? 
“Besok jam 6 pagi udah ke Jakarta lagi,” jawabmu datar. 
Besok pagi? Maksudmu, 14 jam dari sekarang? 
“Buru-buru amat. Baru aja sampai tadi pagi.”
Kamu menatap mataku sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangan ke depan. Seolah mengamati hujan yang belum juga mereda.
“Ayah cuma cuti sehari. Makanya habis resepsi Risma tadi, ayah sama ibu langsung keliling-keliling buat silaturahmi. Udah lama banget gak ke sini. Ada kali ya 5 tahun?”
Tepatnya, 6 tahun 2 bulan. 
Hari ini 27 Agustus 2023. Kamu dan keluarga meninggalkan desa ini untuk pindah ke Jakarta sejak 25 Juni 2017. Saat kita mau naik kelas 2 SMA. 
Banyak yang bilang aku pelupa. Tapi tentangmu, percayalah: aku pengingat yang baik. 
“Iya, sekitar 5 tahunan. Ya, lumayan. Kalau orang, kira-kira umur segitu udah TK lah.”
“Udah bisa maling jambu di kebun Pak Muchtar, ya?”
Pertanyaanmu memanggil kembali ingatan masa kecil kita. Hari-hari di masa lalu ketika kita lebih mudah bahagia karena belum banyak mau. 
“Kamu kan yang nyuruh?”  
Seperti tak terima dituduh, kamu langsung mengklarifikasi, “Aku gak nyuruh. Aku cuma bilang, aku pengen jambu air.” 
Kamu selalu begitu. 
Menyembunyikan ego di balik keluguanmu. Itu alasan kita berpisah 6 tahun lalu, kan? Saat kamu bilang, hubungan jarak jauh melelahkan dan enggak akan berhasil. 
Tak lama setelah kamu mengatakan itu, kamu mengunggah foto dengan seseorang yang lain–alasan sebenarnya kita berpisah?  
Lalu kita berhenti saling mengikuti di media sosial. 
Setelah belasan tahun pertemanan …
Setelah setahun saling mengungkap perasaan … 
Kita tiba-tiba menjadi dua orang asing. 
Aku berusaha melupakanmu dan meneruskan langkah. Aku berusaha untuk baik-baik saja, memajang senyum dan tawa ke mana-mana. 
Berusaha percaya pada mereka yang berkata, ‘waktu akan menyembuhkan’. Argumen paling tolol yang pernah aku amini. 
Karena, bahkan hingga hari ini, 6 tahun kemudian … 
Saat takdir kembali mempertemukan kita di desa ini–tempat segalanya tumbuh dan bersemi, aku sadar: aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu. 
Bahwa menghapus ingatan tentangmu, adalah sama dengan menghapus seluruh ingatan di kepalaku. 
Bahwa ternyata luka ini, tak pernah benar-benar sembuh.
“Pohon jambunya, masih ada enggak sih?”
Tanyamu sambil melempar pandangan jauh ke sebuah rumah, lalu mengarahkan telunjukmu ke sana.
“Rumahnya yang di situ, kan?”
Aku mengangguk.
“Masih ada, kayaknya. Pohon jambu kan gak bisa tiba-tiba pindah ke Jakarta.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku, memicu senyum sinis di wajahmu. 
“Imran, si paling jago kalau nyindir orang.”
“Nadia, si paling …”
“Si paling apa?”
Dahimu berkerut lagi. 
“Si paling cantik,” ada lengkung senyum di wajahmu sebelum berubah jadi ekspresi kesal saat aku melanjutkan, “di Geng Jambu.”
“Yeeh kan aku emang cewek sendiri. Tapi …”
Ada jeda sebentar sebelum kamu melanjutkan kalimat. Seolah kamu ragu.
“... di ingatan kamu, aku kayak gitu ya? ‘Tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Kayak … seolah-olah itu semua kemauan aku.”
“Aku nggak bilang gitu.”
“Kamu tadi bilang, ‘tiba-tiba pindah ke Jakarta’. Maksudnya aku, kan?”
“Tiba-tiba atau enggak, di ingatan aku, kamu pergi.”
“Dan di ingatan aku, kamu menghilang.”
“Kamu kan yang minta aku menghilang?” tanyaku tak terima. 
“Aku? Aku minta kamu menghilang?” giliran kamu yang tak terima. 
“Kamu bilang, kamu capek sama aku.”
Mendengar ucapanku, kamu terdiam sebentar. Seperti menata kata dalam kepala. Lalu serupa hujan yang tiba-tiba menderas, kalimat demi kalimat meluncur dari mulutmu.
“Aku bilang, aku capek, karena kamu terus-terusan mempertanyakan kepergian aku ke Jakarta. Terus-terusan protes sama kita yang harus tiba-tiba pisah. Terus-terusan ngeluh karena kita jadi gak bisa lagi ketemu setiap hari. Aku gak pernah minta kamu menghilang.”
Nada bicaramu tiba-tiba meninggi. 
Sementara aku masih memproses kata-katamu, kamu bicara lagi.
“Kamu pikir aku gak sedih kita pisah? Kamu pikir aku gak pernah protes? Kamu pikir aku suka keluar dari zona nyaman aku, harus beradaptasi sama orang-orang kota yang sok tau, dikatain kampungan … Selama ini, kamu mungkin mikir aku egois. Tapi, aku tuh …”
Kalimatmu tertahan di sana. Kamu menghela napas dalam, dan matamu mulai berkaca-kaca. 
Hujan di luar sudah hampir reda, hujan di matamu jatuh begitu saja.  
“Maaf. Aku yang egois.”
Hanya itu yang bisa kukatakan. 
Kamu menyeka air mata dengan jemarimu, lalu memaksa bibirmu untuk tersenyum. 
“Aku yang maaf. Kenapa jadi marah-marah gini, ya?” 
“Karena aku emang nyebelin?”
“Iya. Nyebelin banget,” ujarmu sambil memanyunkan bibir sedikit. Kebiasaan yang selalu kamu lakukan setiap kesal padaku. 
“Eh, udah ah bahas masa lalunya. Udah lewat juga. Bisa tethering bentar gak? Paket dataku abis, mau ngabarin Ayah kalau kita kejebak ujan di sini. Takutnya dia nyariin.”
Aku menghidupkan fitur personal hotspot di ponsel. 
“Passwordnya?” tanyamu sambil menunjukkan layar ponsel. 
“662016”
“Pelan pelan, dong … Enam .. Enam … apa tadi?”
“Dua Nol Satu Enam.”
“Enam Enam Dua Nol Satu Enam? Eh, ini … ”
Jangan bilang, kamu masih ingat. 
“Tanggal jadian kita bukan, sih?” tanyamu singkat dan lugu.
Ada banyak hal dalam hidup yang tak bisa kita pilih. Boleh jadi, salah satunya adalah cinta pertama, yang dengan segala kekonyolannya mewarnai masa remaja. 
Ketika jerawat pubertas pecah dan hidup tak tentu arah.
Cinta pertama adalah bunga yang mekar di taman jiwa. Wanginya semerbak membuai dan melalaikan. Ia menghiasi satu-dua musim, lalu seketika layu dan kehilangan pesona. 
Tetapi, anehnya, ia tetap di sana.
Menetap dalam ingatan. 
Abadi sebagai kenangan. 
“Bisa tethering-nya?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Bisa. Bisa. Bentar ya aku chat Ayah dulu …”
“Oke. Jangan download film.”
“Ya kali …” 
“Siapa tau …”
“Eh, Ran,” kamu menengok ke arahku sambil tersenyum. “Pertanyaanku belum dijawab tadi. Kamu… masih pakai tanggal jadian kita buat password?”
“Heh? Oh, itu. Males ganti-ganti. Susah tau Nad, ngapalinnya.”
Mendengar jawabanku, kamu mengangguk-angguk kecil. 
“Iya sih, setuju. Aku juga …” ada nada ragu di kalimatmu, tapi kamu tetap melanjutkannya, “... masih pake tanggal jadian kita buat passcode handphone, 060616. Dari dulu gak pernah ganti.”
Aku tak tahu harus merespons apa dan bagaimana. 
Haruskah terkejut? Haruskah bangga dan terharu? Haruskah jujur saja mengatakan bahwa sebagaimana password di ponselku, perasaan ini juga tak pernah berubah?
“Emang males banget sih ganti-ganti password,” kataku sambil ikut mengangguk-angguk. Aku berusaha mencari cara untuk keluar dari suasana yang terasa semakin canggung. 
“Hujannya udah agak reda, Nad. Lanjut, yuk!”
Aku berdiri, bersiap melanjutkan perjalanan. 
Tapi, kamu menarik tanganku untuk duduk di sampingmu lagi. 
“Sini dulu deh, mager banget. Udah lama juga aku gak mampir ke warung ini. Dulu setiap pulang sekolah, kita selalu ke sini, kan?”
Pertanyaanmu memecah kecanggungan. Mengembalikan kita ke dalam obrolan-obrolan panjang. 
Sudah sejak tadi hujan berhenti … dan kita masih di sini.
Ternyata bukan karena hujan kita bertahan.
Tetapi, aku terlalu takut menyebutnya cinta.
...
©nurunala
64 notes · View notes
hellopersimmonpie · 4 months
Text
Gue bakal jurnaling di sini pelan-pelan. Nyeritain progres mengenal diri sendiri untuk menjadi pengingat gue juga kalo kelak gue mulai ngerasain lelah lagi.
Tapi disclaimer, gue bukan influencer ADHD jadi mungkin nggak bisa menjawab semua pertanyaan yang masuk karena gue khawatir overwhelm.
Diagnosa ADHD itu life changing banget buat gue karena setelah didiagnosa, gue tuh jadi pelan-pelan belajar nggak masking atau berpura-pura normal. Sebagian besar orang ADHD merasakan sensory overload dan tidak mampu bekerja multitasking, termasuk gue. Sementara sebelum didiagnosa ADHD gue selalu memaksakan diri bekerja multitasking dan memaksakan diri untuk nyaman di tempat ramai, nyaman bersentuhan dengan orang lain, dan berasa aneh kalo kemana-mana bawa headphone dengan noise cancelling. Perkara headphone dengan noise cancelling ini, gue dulu tuh sering banget harus menjelaskan ke guru ngaji bahwa gue bukan terus-terusan dengerin musik. Headphone gue tuh justeru buat meredam bunyi dari luar. Karena gue nggak nyaman.
Sekarang gue sudah mulai berani ngomong ke temen-temen gue bahwa pas kerja tuh gue selalu pake TWS. Jadi misal gue nggak denger pas dipanggil, bisa via chat aja atau didatengin. Gue juga udah mulai belajar untuk menjauhi hp tanpa rasa trauma kalau ada orang yang marah pas balesan gue lama. Gue juga mulai belajar untuk mengatur pekerjaan sedemikian rupa untuk meminimalkan multitasking. Dan mulai berani bilang bahwa gue terkadang nggak nyaman dengan sentuhan dan nggak nyaman di tempat yang terlalu ramai.
Berjuang dengan sensory overload itu bagi gue udah bukan hal yang ngebuat gue merasa seperti alien. Karena gue mulai bisa mengenal diri dengan baik, aware kalo gue bisa depresi karena sensory overload dan gue bisa bertindak preventif untuk itu.
Dulu sewaktu belajar tazkiyatun nafs pasca gue melewati fase PTSD setelah ibu wafat, gue menyadari bahwa memahami psikologi manusia tuh sebenarnya bisa membantu kita merawat jiwa dengan baik. Gue tuh berharap kalo kelak gue pelan-pelan jadi lebih taat, gue menjadi taat dengan penuh compassion dengan memahami karakter gue.
Tentu selalu ada perjalanan berat untuk menggapai cita-cita yang kita pengen. Tapi endurance yang didapat dari tindakan yang tidak compassionate ke diri sendiri akan menghasilkan jiwa yang tidak compassion kepada semuanya. Tapi jika kita bisa menyayangi diri sendiri dengan baik, jiwa kita juga akan mendekat kepada Allah sebagai hati yang ridho.
semua pada akhirnya ingin menjadi hamba Allah yang dipanggil seperti dalam surat Al Fajr.
"Wahai jiwa yang tenang...."
Jiwa yang tenang, yang ridho terhadap takdir, yang berusaha merawat segala titipan dengan baik. Lalu kembali kepada Allah sebagai jiwa yang ridho dan diridhoi.
Gue menulis ini dengan semangat hidup yang berapi-api wkwk. Tapi memang sebaik-baik hidup adalah mempersiapkan pertemuan dengan Allah.
67 notes · View notes
kang-islah · 6 months
Text
Di tengah banyaknya orang-orang yang membangun Profil diri untuk memikat hati seseorang yang la senangi. Kau tidak perlu melakukannya, engkau adalah engkau yang sama seperti biasanya.
Tak berpura-pura untuk menutupi keburukan dengan banyaknya status yang membangun citra diri, seperti orang-orang yang kukenal saat ini: Terlihat baik di story, tapi bertolak belakang dengan kehidupan sehari-hari.
Kang Islah
116 notes · View notes
fajarsbahh · 1 month
Text
Teman yang palsu lebih aku takutkan daripada musuh. Musuh mengayunkan pedang di hadapan wajahku, sementara teman yang palsu menusukan pisau di punggunggku dengan berpura-pura memelukku.
©Fajar Sidiq Bahari (@fajarsbahh)
30 notes · View notes
gadiskaktus · 2 months
Text
Tumblr media
Selama ini aku sering tersenyum. Berpura-pura baik-baik saja. Tapi nyatanya aku semakin lelah dengan dunia dan segala drama nya. Aku sering menipu diri, katanya kuat menjalani, tapi setengah mati berdiri di kaki sendiri.
Sudah sedewasa ini, apalagi yang dinanti, bisa jadi akhir hidup yang duluan menemui. Tapi apakah aku selama ini hanya mencari validasi? apakah benar ini yang aku cari? bagaimana aku bisa menjadi diri sendiri jika selama ini aku hobi menipu diri?
Sekarang aku sudah tidak peduli, bagaimana orang menilai baik atau buruk hidupku ini. Yang pasti aku ingin menjalani hidup dengan damai. Aku tidak ingin lagi menipu diri sendiri, kalau lelah aku bilang lelah, kalau sakit bilang sakit, kalau tidak suka, marah, kalau kecewa, kalau suka, aku akan bilang pada diri. Kamu jangan menipu diri lagi ya, kalau mau menangis ya menangis saja, tapi jangan lupa kembali bangkit ya.
14 07 24
_Di tulis menuju Yogyakarta.
30 notes · View notes
wasiilahalhasanah · 12 days
Text
Tidak perlu lebih baik dari orang lain, cukup lebih baik dari diri kita yang kemarin. Hidup bukan tentang siapa yang terbaik tapi hidup itu tentang siapa yang berbuat baik dan tanpa harus berpura-pura baik.
22 notes · View notes
milaalkhansah · 8 months
Text
Aku tak mau sendirian lagi
aku bisa ke mana-mana sendiri, tetapi sama kamu..., aku maunya selalu ditemani.
Aku bisa melakukan semuanya sendiri, tetapi sama kamu..., aku maunya selalu dibantu.
Aku bisa memendam dan menanggung banyak hal sendiri, tetapi sama kamu..., aku maunya selalu bercerita dan didengarkan.
Selama ini, aku melakukan banyak hal sendirian. Beberapa hal aku lakukan karena terpaksa, sebagian yang lain aku lakukan karena dipaksa keadaan. Tetapi sama kamu nanti, jangan buat aku menjalaninya sendirian lagi, ya?
Karena saat kita bersama nanti, aku tak mau lagi berpura-pura bahwa aku bisa kuat menanggung semuanya sendiri.
59 notes · View notes
esbatubulet · 1 month
Text
Sebelum meminta maaf dan memberi maaf pada orang lain, lakukan hal itu pada diri sendiri terlebih dahulu. Sudah berapa kali kamu membohongi hatimu dengan berpura-pura baik-baik saja padahal sedang terluka hebat..
24 notes · View notes
gizantara · 3 months
Text
Hari ini sebuah kutipan pendek menolongku.
"Cepatlah ikhlas, supaya kamu cepat naik kelas."
Kutipan itu aku baca dari akun instagram (at)rasakebenaran yang merupakan 'akun dakwah' Kristen. Terus gimana ceritanya kutipan itu menolongku?
Tumblr media
Beberapa hari lalu, aku bertemu temanku (dia mungkin membaca ini).
"Aku ngerasa harus nangis deh. Ada sesuatu dalam diriku yang harus di-release tapi bahkan aku nggak ada 'pintu' kesedihan untuk mengakses emosi-emosi ini."
Untuk ukuran orang yang perasa sepertiku, nggak nangis di saat seharusnya nangis tuh bikin hatiku ngerasa nggak fungsional. Ada alarm yang harusnya menyala, kan? Kemudian aku pikir, "apa yang bikin alarmnya mati?"
Menurut pengalamanku, diam adalah respons terakhir ketika semuanya gagal, atau ketika kita merasa kegagalan itu akan terjadi. Ini bersesuaian dengan realita yang aku hadapi di depan. Aku tahu aku akan menyerah dan aku sudah mempersiapkan hati untuk kegagalan (atau penundaan) ini. Katanya, otak kita memang memutuskan semua respons diam/freezing ini secara otomatis yang bertujuan untuk melindungi diri dari rasa kewalahan.
Freezing juga dapat didefinisikan “berpura-pura mati”. Tapi mengaktifkan mode ini setiap hari, secara konsisten dalam jangka waktu yang lama, membuatku menutup diri, atau “mati di dalam”. Hampir mustahil rasanya untuk keluar dari kondisi membeku kecuali/sampai kita merasa aman dalam tubuh kita. Dan akhirnya baru sadar, "lack of support" itulah yang bikin aku ngerasa nggak aman pada siapapun.
Di samping itu, aku juga menghadapi gagal demi gagalku sendirian tanpa punya back up plan selain pasrah. Yang sangat aku butuhkan saat itu adalah seseorang yang ada untuk aku tapi kemudian aku menyadari bahwa cuma aku yang peduli diriku sendiri. Tapi yang kaya gini-gini tuh pasti setiap orang pernah ngerasain (bisa jadi orang lain lebih parah). Cuma belakangan ini, rasanya jadi hampa ketika kehilangan "sense of fight" itu. Mungkin pada dasarnya manusia memang diciptakan untuk berjuang dan bersusah payah, makanya saat aku nggak tau lagi apa yang mau aku perjuangkan, rasanya hampa.
Kayanya aku jadi sadar. Sadar bahwa berkorban itu bukan hanya berjuang mengerahkan sesuatu melainkan ada jenis berkorban dalam konteks berhenti memperjuangkan sesuatu (menyerah berserah).
Benar bahwa sebelum ini aku sudah janji, kalau aku gagal aku nggak akan marah ke Allah. Tapi kayanya sepekan ke belakang, aku jadi marah ke diri sendiri karena nggak bisa berbuat apa-apa ketika semuanya berjalan nggak sesuai rencana. Aku marah ke diri sendiri dan berandai-andai jika saja aku seperti orang lain yang punya sumber daya tertentu untuk menghamba lebih gacor.
Tapi aku salah. Penghambaan terbaik haruslah dimulai dari keridhaan kita terhadap takdir. Jadi baik berhasil atau gagal, selama aku ridha Allah Maha Bijaksana atas setiap percepatan dan penundaannya, itu sudah cukup.
Jadi sekarang nggak mau di mode freezing lama-lama. Aku mau (dan bisa kok) cepat ikhlas, soalnya aku mau naik kelas. Hanya tinggal menunggu waktu untuk aku bisa mencair kembali sepenuhnya dan menyesuaikan bentukku dengan "wadah" yang menampungku (re: Islam), begitu kan sifat benda cair?
Akhir kata, aku menemukan satu doa yang bagus sekali. Rasulullah mengajarkan kita ada baiknya membaca doa berikut ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
“Dengan nama Allah yang menguasai diri, harta, dan dinku. Tuhanku, ridhakan aku (kondisikan aku untuk ridha) terhadap ketentuan-Mu (qadha). Berkahilah aku (tambahkan kebaikan) pada semua yang ditakdirkan (qadar) untukku sehingga aku enggan menyegerakan apa yang Kau tunda dan enggan menunda apa yang Kau segerakan.”
— Giza, mudah-mudahan semakin dewasa dalam menyikapi qadha dan qadar Allah dan menerima diperjalankan di sabil apapun selama itu lillah.
27 notes · View notes
putariwan · 1 year
Text
Sekolah
Segalanya bermula ketika eiysa berpindah masuk ke sekolahku... Tinggi lampai... Putih... Bijak dan kelakar... Itulah yg menjadikan dia kegilaan pelajar lelaki² di sekolahku... Termasuklah aku...
Selalu aku membayangkan dia sedang terkangkang berbogel didepanku.... Dengan kakinya yg panjang... Pehanya yg putih... Cipapnya yg pink merekah menunggu lidahku untuk di jilat.... Slurppp....
Aku suka memerhatikannya dari jauh... Kadang² ketika waktu pj aku akan ke bilik darjah dan menyelongkar begnya... Mana² alatan tulisnya yg masih terbau bauannya akan ku cium...
Dan ketika waktu rehat... Aku akan kembali ke kelas dan mengambil seluar atau baju sukannya yg kadangkala disalinnya... Aku akan mencium² bauan masyamnya yg masih melekat di situ...
Seluar trekknya.... Aku akan mencium di tempat di mana cipapnya berada... Sedap sungguh bau cipapnya.... Membuatkan batang pelirku mengeras.... Hurmmmmm... Aku kena beli satu set baju sukannya... Akan ku tukar nanti.... Dapatlah aku melancap sambil mencium bau cipapnya... Bau teteknya... Dan bau ketiaknya... Hehehehe....
Bunyi tapak kaki menghampiri kelas... Cepat² aku meletakkan baju nya dan kembali dan berpura² tudur di mejaku... Teman² sedarjahku telah balik dan membuat bising.. aku pura² terbangun... Dan terus pergi ke bilik air.... Di bilik air.... Aku mengeluarkan batang pelirku dan sabun kecik yg selalu aku bawa.. lalu aku mula melancap sambil membayangkan aku sedang menjilat cipap eisya...
Eisyaaa... Satu hari nanti... Aku akan mendapatkan lubang pukimu.... akan ku jilat sepuas²hatiku.... Akan ku buat hingga kau meminta² agar aku fuck dirimu berulang kali eisya sayangku.... Dan terus akubmemancutkan benihkubke dinding bilik air.... Arghhhh.. arghhhh sedapnya...
Selepas membeli satu set pakaian sukannya.. aku membasuhnya 2, 3 kali... Agar bajunya tidak kelihatan seperti baru... Aku longgokkan bersama² pakaian kotorku agar ia tidak berbau seperti baru...
Hari yg di nanti² telah tiba... Loceng rehat berbunyi... Dan aku tergesa² meninggalkan kelas... Biar semua orang melihatku keluar dari bilik darjah... Lalu aku ke tandas... Selepas agak² tiada orng dah dalam kelas.... Aku kembali ke kelas dan menyelongkar meja eisya... Terus aku tukarkan baju pjnya... Dannn...
Tanpaku sangka pantiesnya juga ada bersama2 baju pjnya.... Yahooo... Aku memenangi jackpot.... Terus aku masukkan pantiesnya ke dalam kocek seluarku dan terus aku berlalu keluar dari bilik darjah... Aku terserempak dengan kumpulan eisya ketika hampir dengan kantin...
Aku berpura² menekan perutku di hadapan mereka.... Dan terus berlalu ke kantin... Cepat² aku habiskan makananku... Dan terus ke port kegemaranku... Tandas di sebelah bilik cikgu...
Aku mengeluarkan jackpot ku... Panties eisyaa... Lalu mula mencium sambil mengagak² di mana tempat lubang cipapnya dan biji kelentitnya... Aku mencium dan menjilat² pantiesnya...
"Sedap sungguh bau pukimu eisya"... Sambil aku melajukan lancapanku.... Aku membayangkan eisya datang dan berdiri di atas mukaku yg berbaring di atas tilam memakai uniform sekolah dia masukkan kepalaku di dalam kainnya dan mula berjoget2 kecil... Bibir cipapnya menari² di atas mukaku... Lalu dia menyingsing kain uniformnya seraca mengangkang ke arah mukaku... Bibir cipapnya terbuka... Dan menjelmalah idamanku... Biji kelentitnya bergoyang² turun bersama bontotnya ke mukaku...
Aku jelirkan lidah...
331 notes · View notes
synanymore · 2 months
Text
Sudah saatnya kau bisa kembali bernafas dengan lega tanpa perlu menggenggam harapan atas hadirnya yang masih saja terasa abu. Untuk kali ini saja, jangan pernah kau olok dirimu lagi dengan kebahagiaan palsumu, jangan lagi mengusik hati kecilmu dengan beragam luka yang sengaja kau reka.
Untukmu yang sangat pandai berpura-pura bahagia.
23 notes · View notes
aduhlurunulula · 4 months
Text
Ini adalah tentang harap yang tak sejalan
Mungkin kamu tak pernah mengira bahwa hidupmu akan seporak poranda ini,
Merasa jalan hidup yang dilalui akan selalu mulus tanpa hambatan,
Selalu merasa aman dari berbagai macam godaan, yang kau sembunyikan dibalik topeng bodoamatan
Nyatanya kini kamu kesulitan,
Dihadapkan pada kenyataan, bahwa hidup seringkali tak sejalan dengan apa yang telah kamu rencanakan.
Sudahilah berpura-pura kuat itu,
Jangan memaksakan diri hanya karena perkara gak enakan,
Bukankah Tuhanmu juga mengatakan ; Bahwa Dia tidak membebankan kamu diluar dari apa yang tidak kamu sanggupkan.
Terimakasih sudah memaksa untuk sanggup sampai pada titik ini,
Semoga setelah ini tak ada lagi rasa terpaksa pada setiap alur kehidupan yang dilalui,
Karena harus diketahui, bahwa setiap langkah akan mendapat ganjaran sesuai niat dalam hati.
-Lu'lu
22 notes · View notes
fake-protagonist · 20 days
Text
Tumblr media
Sekuat mana kita melangkah, menghayunkan kaki menapak jalan ke depan, kita akan selalu kalah dengan perasaan sendiri.
Dan malam ini akan aku biarkan ia menghancurkan aku, untuk kesekian kalinya kerana berpura - pura kuat, tak berperasaan itu perlu banyak tenaga,dan hati yang kebal dan cekal, lalu dibiasa kan dengan “tak apa, aku dah terbiasa”. Seakan luka dah terlalu sebati dalam jiwa.
19 notes · View notes
Text
Kita ini apa? Tidak tau.
Tapi...
Terkadang, tidak tau itu berarti "jangan simpan orang lain dalam hatimu..."
Terkadang, tidak tau itu berarti "aku ingin kamu terus peduli padaku tanpa batas waktu..."
Terkadang, tidak tau itu berarti "hatiku seluas samudra, tapi kamu selalu menginginkan sayap..."
Dan,
Bagian ter-menyedihkan dari segalanya adalah kenapa ketika kita sebenarnya sudah tau jawabannya, tapi masih berpura-pura seolah-olah tidak tau?
Tumblr media
82 notes · View notes