#apartemen kecil
Explore tagged Tumblr posts
Text
Furniture Multifungsi Untuk Apartemen Kecil
Apartemen kecil seringkali menjadi pilihan bagi banyak orang, terutama di perkotaan. Meskipun ruang yang terbatas bisa menjadi tantangan, dengan pemilihan furniture yang tepat, Anda dapat memaksimalkan fungsionalitas dan kenyamanan ruang tersebut. Salah satu solusi terbaik untuk masalah ini adalah furniture multifungsi. Artikel ini akan membahas berbagai jenis furniture multifungsi yang ideal untuk apartemen kecil.
1. Sofa Bed
Sofa bed adalah salah satu pilihan furniture multifungsi yang paling populer untuk apartemen kecil. Selain berfungsi sebagai tempat duduk yang nyaman di siang hari, sofa bed dapat dengan mudah diubah menjadi tempat tidur saat ada tamu yang menginap. Banyak model sofa bed yang hadir dengan desain yang stylish dan modern, sehingga tidak hanya praktis, tetapi juga dapat menambah estetika ruangan.
2. Meja Lipat
Meja lipat merupakan solusi cerdas untuk ruang makan atau ruang kerja di apartemen kecil. Dengan desain yang kompak, meja ini dapat dilipat dan disimpan saat tidak digunakan. Beberapa model meja lipat juga dilengkapi dengan kursi yang dapat disimpan di dalamnya, sehingga Anda tidak perlu khawatir tentang ruang penyimpanan. Meja lipat dapat digunakan untuk makan, bekerja, atau bahkan sebagai area belajar.
3. Lemari Penyimpanan dengan Bangku
Lemari penyimpanan yang dilengkapi dengan bangku adalah pilihan yang ideal untuk apartemen kecil. Selain menyediakan ruang penyimpanan yang cukup untuk barang-barang Anda, bangku ini juga dapat digunakan sebagai tempat duduk tambahan. Model ini sangat cocok diletakkan di dekat pintu masuk, sehingga Anda dapat duduk sambil mengenakan sepatu atau menyimpan barang-barang sebelum masuk ke dalam rumah.
4. Tempat Tidur dengan Laci
Memiliki tempat tidur dengan laci di bawahnya adalah cara yang efektif untuk memaksimalkan ruang penyimpanan di apartemen kecil. Laci ini dapat digunakan untuk menyimpan pakaian, seprai, atau barang-barang lainnya, sehingga mengurangi kebutuhan akan lemari tambahan. Selain itu, tempat tidur dengan desain yang rendah dapat memberikan kesan ruangan yang lebih luas.
5. Rak Dinding
Rak dinding adalah solusi penyimpanan yang sangat efisien untuk apartemen kecil. Rak ini tidak memakan banyak ruang lantai dan dapat digunakan untuk menyimpan buku, dekorasi, atau barang-barang lainnya. Anda dapat menyesuaikan tinggi rak sesuai dengan kebutuhan, sehingga dapat memaksimalkan ruang vertikal yang ada. Dengan penataan yang baik, rak dinding juga dapat berfungsi sebagai elemen dekoratif yang menarik.
6. Furniture Modular
Furniture modular menawarkan fleksibilitas yang sangat dibutuhkan di apartemen kecil. Anda dapat mengatur dan menggabungkan berbagai komponen sesuai dengan kebutuhan ruang dan gaya hidup Anda. Misalnya, unit modular dapat digunakan sebagai sofa, tempat tidur, atau bahkan ruang penyimpanan. Dengan desain yang dapat disesuaikan, Anda bisa menciptakan konfigurasi yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari.
7. Meja Kopi yang Dapat Dibuka
Meja kopi yang dapat dibuka adalah pilihan furniture multifungsi lainnya yang sangat berguna. Meja ini dapat digunakan untuk menyimpan barang-barang, seperti majalah, remote, atau bahkan makanan ringan. Dengan desain yang menarik, meja kopi ini juga bisa menjadi titik fokus di ruang tamu Anda.
Kesimpulan
Memiliki apartemen kecil bukan berarti Anda harus mengorbankan kenyamanan dan fungsi. Dengan memilih furniture multifungsi yang tepat, Anda dapat memaksimalkan setiap inci ruang yang ada. Mulai dari sofa bed, meja lipat, hingga rak dinding, ada banyak pilihan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan gaya hidup Anda. Pastikan untuk mempertimbangkan desain dan fungsi saat memilih furniture, agar apartemen kecil Anda tetap nyaman dan estetis.
Apakah Anda ingin membuat apartemen kecil Anda lebih fungsional dan nyaman? Hubungi Pusat Interior Medan untuk solusi desain yang tepat di Lt. 1 KOMP. SETIA BUDI POINT, Jl. Setia Budi No.15 BLOK C, Tj. Sari, Kec. Medan Selayang, Kota Medan Nomor Hp: - 082374570543 (Admin 1) - 082277873412 (Admin 2)
0 notes
Text
Desain dan Pembangunan Interior Apartemen
Apartemen kini menjadi pilihan hunian yang populer, terutama di perkotaan dengan gaya hidup yang dinamis. Tingginya harga tanah serta keterbatasan lahan menjadikan apartemen menjadi solusi yang tepat untuk tempat tinggal. Namun, untuk menjadikan apartemen terasa nyaman, estetis, dan fungsional, dibutuhkan desain interior yang baik. Desain dan pembangunan interior apartemen yang tepat dapat memaksimalkan ruang terbatas dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Untuk itu, jasa kontraktor dan desainer interior sangat diperlukan.
Apa Itu Desain dan Pembangunan Interior Apartemen?
Desain dan pembangunan interior apartemen adalah proses perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan elemen-elemen dalam interior sebuah apartemen. Hal ini meliputi pemilihan material, furnitur, tata letak, pencahayaan, hingga dekorasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan gaya hidup penghuni. Pembangunan interior apartemen juga mencakup pekerjaan teknis, seperti renovasi ruang, pemasangan dinding, lantai, hingga sistem penyimpanan yang efisien.
Sebagai ruang terbatas, desain interior apartemen membutuhkan kreativitas untuk memaksimalkan setiap inci yang ada. Desain yang tepat dapat membuat apartemen terasa lebih luas, nyaman, dan estetis. Kontraktor interior berperan penting dalam mewujudkan desain yang diinginkan, memastikan kualitas material, serta pelaksanaan yang sesuai dengan anggaran dan waktu yang disepakati.
Mengapa Desain Interior Apartemen Itu Penting?
Desain interior apartemen bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang menciptakan ruang yang nyaman dan fungsional. Beberapa alasan mengapa desain interior apartemen sangat penting antara lain:
1. Optimalisasi Penggunaan Ruang
Apartemen sering kali memiliki ruang terbatas. Tanpa desain yang tepat, apartemen bisa terasa sesak dan tidak efisien. Dengan desain interior yang bijaksana, ruang dapat dimaksimalkan, menjadikannya terasa lebih luas dan terorganisir. Misalnya, dengan menggunakan furnitur multifungsi, desain penyimpanan built-in, atau pencahayaan yang dapat mengatur suasana ruang.
2. Menciptakan Suasana yang Nyaman dan Estetis
Desain interior apartemen juga mempengaruhi suasana di dalamnya. Kombinasi warna, furnitur, dan dekorasi yang tepat akan menciptakan suasana yang sesuai dengan gaya hidup penghuni. Ruang tamu yang nyaman, dapur yang efisien, atau kamar tidur yang menenangkan bisa tercipta dengan desain yang memperhatikan setiap detail.
3. Fungsionalitas yang Tertata Rapi
Selain estetika, fungsionalitas juga merupakan aspek penting dalam desain apartemen. Penyusunan furnitur, pemilihan material yang mudah dibersihkan, serta penggunaan penyimpanan yang efisien akan meningkatkan kenyamanan dan memudahkan aktivitas sehari-hari penghuni.
4. Menambah Nilai Properti
Desain interior apartemen yang baik dapat meningkatkan nilai properti. Jika suatu saat Anda berniat untuk menjual apartemen, ruang yang didesain dengan baik akan menarik minat pembeli lebih banyak. Desain yang fungsional dan modern dapat menjadi nilai jual yang signifikan.
Proses Desain dan Pembangunan Interior Apartemen
Proses desain dan pembangunan interior apartemen melibatkan beberapa tahap yang saling terkait. Berikut adalah tahapan-tahapan penting dalam proyek ini:
1. Konsultasi dan Identifikasi Kebutuhan
Pada tahap pertama, desainer atau kontraktor akan mengadakan pertemuan dengan klien untuk memahami kebutuhan dan keinginan mereka. Ini termasuk diskusi mengenai gaya desain yang diinginkan (misalnya, minimalis, modern, skandinavia), anggaran, dan bagaimana penghuni akan menggunakan ruang tersebut. Hal ini penting untuk menentukan arah desain yang akan dibuat.
2. Perencanaan dan Desain Konsep
Setelah memahami kebutuhan klien, desainer akan membuat rencana awal berupa desain konsep. Pada tahap ini, berbagai aspek akan dipertimbangkan, seperti tata letak ruangan, alur sirkulasi, pemilihan furnitur, material, warna, dan pencahayaan. Desainer akan menggambar sketsa atau visualisasi 3D untuk memberi gambaran yang lebih jelas kepada klien tentang desain akhir yang diinginkan.
3. Pengadaan Material dan Furnitur
Setelah desain disetujui, proses selanjutnya adalah pemilihan material dan furnitur. Kontraktor interior atau desainer akan memilih bahan-bahan yang sesuai dengan konsep dan anggaran yang telah ditetapkan. Pengadaan material berkualitas sangat penting untuk memastikan hasil akhir yang tahan lama dan estetis. Furnitur juga harus dipilih dengan hati-hati agar dapat memenuhi fungsi serta melengkapi desain yang ada.
4. Pembangunan dan Renovasi
Jika apartemen memerlukan renovasi atau pembongkaran dinding untuk menciptakan ruang yang lebih terbuka, tahap ini akan dilaksanakan. Kontraktor akan melakukan pekerjaan pembangunan, mulai dari pemasangan dinding, lantai, hingga instalasi sistem listrik dan air. Renovasi ini dilakukan sesuai dengan desain yang telah disetujui, dengan memperhatikan detail yang tepat agar hasil akhirnya sesuai harapan.
5. Pemasangan dan Finishing
Setelah pekerjaan struktural selesai, kontraktor akan mulai memasang furnitur, pencahayaan, serta elemen dekoratif lainnya. Pada tahap ini, penting untuk memastikan bahwa setiap elemen dipasang dengan baik dan sesuai dengan desain yang telah dibuat. Pengecekan kualitas dilakukan untuk memastikan setiap elemen, mulai dari furnitur hingga lampu, terpasang dengan benar dan rapi.
6. Sentuhan Akhir dan Penataan
Setelah semua elemen terpasang, kontraktor dan desainer akan memberikan sentuhan akhir pada interior apartemen. Hal ini termasuk penataan furnitur, pemasangan aksesori dekoratif seperti karpet, tirai, dan lukisan, serta pengaturan pencahayaan untuk menciptakan suasana yang diinginkan. Pada tahap ini, ruangan akan terlihat lebih hidup dan siap untuk digunakan.
Tips Memilih Kontraktor Interior Apartemen yang Tepat
Memilih kontraktor yang tepat sangat penting agar desain interior apartemen dapat terwujud dengan baik. Berikut adalah beberapa tips untuk memilih kontraktor interior yang sesuai:
1. Periksa Portofolio dan Pengalaman
Pastikan kontraktor atau desainer interior yang Anda pilih memiliki pengalaman dalam menangani proyek serupa. Periksa portofolio mereka untuk melihat gaya desain dan kualitas kerja yang telah mereka lakukan pada proyek sebelumnya.
2. Komunikasi yang Baik
Kontraktor yang baik akan mendengarkan kebutuhan Anda dengan seksama dan memberi masukan yang konstruktif. Komunikasi yang lancar sangat penting agar proyek dapat berjalan sesuai rencana dan kebutuhan Anda tercapai.
3. Pahami Anggaran dengan Jelas
Sebelum memulai proyek, pastikan untuk membahas anggaran dengan jelas. Kontraktor yang berpengalaman akan membantu Anda merencanakan anggaran dengan baik dan memberikan solusi desain yang sesuai dengan kemampuan finansial Anda.
4. Tanya Rekomendasi dan Ulasan Klien
Cari tahu pengalaman orang lain yang telah bekerja dengan kontraktor tersebut. Rekomendasi dari teman, keluarga, atau ulasan online bisa memberikan gambaran tentang kualitas kerja dan profesionalisme kontraktor yang Anda pilih.
Kesimpulan
Desain dan pembangunan interior apartemen memerlukan perhatian khusus karena ruang yang terbatas harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Dengan bantuan kontraktor interior yang berpengalaman, Anda dapat menciptakan apartemen yang tidak hanya estetis, tetapi juga fungsional dan nyaman. Setiap elemen, dari tata letak, furnitur, hingga pencahayaan, harus dirancang dengan hati-hati untuk memastikan kenyamanan dan efisiensi. Dengan pendekatan yang tepat, desain interior apartemen Anda dapat menciptakan ruang yang memenuhi semua kebutuhan gaya hidup Anda.
Desain dan Pembangunan Interior Apartemen: Mewujudkan Ruang yang Stylish dan Fungsional
Apartemen kini menjadi pilihan hunian yang populer, terutama di perkotaan dengan gaya hidup yang dinamis. Tingginya harga tanah serta keterbatasan lahan membuat apartemen menjadi solusi yang tepat untuk tempat tinggal. Namun, untuk menjadikan apartemen terasa nyaman, estetis, dan fungsional, dibutuhkan desain interior yang baik. Desain dan pembangunan interior apartemen yang tepat dapat memaksimalkan ruang terbatas dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Untuk itu, jasa kontraktor dan desainer interior sangat diperlukan.
Apa Itu Desain dan Pembangunan Interior Apartemen?
Desain dan pembangunan interior apartemen adalah proses perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan elemen-elemen dalam interior sebuah apartemen. Hal ini meliputi pemilihan material, furnitur, tata letak, pencahayaan, hingga dekorasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan gaya hidup penghuni. Pembangunan interior apartemen juga mencakup pekerjaan teknis, seperti renovasi ruang, pemasangan dinding, lantai, hingga sistem penyimpanan yang efisien.
Sebagai ruang terbatas, desain interior apartemen membutuhkan kreativitas untuk memaksimalkan setiap inci yang ada. Desain yang tepat dapat membuat apartemen terasa lebih luas, nyaman, dan estetis. Kontraktor interior berperan penting dalam mewujudkan desain yang diinginkan, memastikan kualitas material, serta pelaksanaan yang sesuai dengan anggaran dan waktu yang disepakati.
Mengapa Desain Interior Apartemen Itu Penting?
Desain interior apartemen bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang menciptakan ruang yang nyaman dan fungsional. Beberapa alasan mengapa desain interior apartemen sangat penting antara lain:
1. Optimalisasi Penggunaan Ruang
Apartemen sering kali memiliki ruang terbatas. Tanpa desain yang tepat, apartemen bisa terasa sesak dan tidak efisien. Dengan desain interior yang bijaksana, ruang dapat dimaksimalkan, menjadikannya terasa lebih luas dan terorganisir. Misalnya, dengan menggunakan furnitur multifungsi, desain penyimpanan built-in, atau pencahayaan yang dapat mengatur suasana ruang.
2. Menciptakan Suasana yang Nyaman dan Estetis
Desain interior apartemen juga mempengaruhi suasana di dalamnya. Kombinasi warna, furnitur, dan dekorasi yang tepat akan menciptakan suasana yang sesuai dengan gaya hidup penghuni. Ruang tamu yang nyaman, dapur yang efisien, atau kamar tidur yang menenangkan bisa tercipta dengan desain yang memperhatikan setiap detail.
3. Fungsionalitas yang Tertata Rapi
Selain estetika, fungsionalitas juga merupakan aspek penting dalam desain apartemen. Penyusunan furnitur, pemilihan material yang mudah dibersihkan, serta penggunaan penyimpanan yang efisien akan meningkatkan kenyamanan dan memudahkan aktivitas sehari-hari penghuni.
4. Menambah Nilai Properti
Desain interior apartemen yang baik dapat meningkatkan nilai properti. Jika suatu saat Anda berniat untuk menjual apartemen, ruang yang didesain dengan baik akan menarik minat pembeli lebih banyak. Desain yang fungsional dan modern dapat menjadi nilai jual yang signifikan.
Proses Desain dan Pembangunan Interior Apartemen
Proses desain dan pembangunan interior apartemen melibatkan beberapa tahap yang saling terkait. Berikut adalah tahapan-tahapan penting dalam proyek ini:
1. Konsultasi dan Identifikasi Kebutuhan
Pada tahap pertama, desainer atau kontraktor akan mengadakan pertemuan dengan klien untuk memahami kebutuhan dan keinginan mereka. Ini termasuk diskusi mengenai gaya desain yang diinginkan (misalnya, minimalis, modern, skandinavia), anggaran, dan bagaimana penghuni akan menggunakan ruang tersebut. Hal ini penting untuk menentukan arah desain yang akan dibuat.
2. Perencanaan dan Desain Konsep
Setelah memahami kebutuhan klien, desainer akan membuat rencana awal berupa desain konsep. Pada tahap ini, berbagai aspek akan dipertimbangkan, seperti tata letak ruangan, alur sirkulasi, pemilihan furnitur, material, warna, dan pencahayaan. Desainer akan menggambar sketsa atau visualisasi 3D untuk memberi gambaran yang lebih jelas kepada klien tentang desain akhir yang diinginkan.
3. Pengadaan Material dan Furnitur
Setelah desain disetujui, proses selanjutnya adalah pemilihan material dan furnitur. Kontraktor interior atau desainer akan memilih bahan-bahan yang sesuai dengan konsep dan anggaran yang telah ditetapkan. Pengadaan material berkualitas sangat penting untuk memastikan hasil akhir yang tahan lama dan estetis. Furnitur juga harus dipilih dengan hati-hati agar dapat memenuhi fungsi serta melengkapi desain yang ada.
4. Pembangunan dan Renovasi
Jika apartemen memerlukan renovasi atau pembongkaran dinding untuk menciptakan ruang yang lebih terbuka, tahap ini akan dilaksanakan. Kontraktor akan melakukan pekerjaan pembangunan, mulai dari pemasangan dinding, lantai, hingga instalasi sistem listrik dan air. Renovasi ini dilakukan sesuai dengan desain yang telah disetujui, dengan memperhatikan detail yang tepat agar hasil akhirnya sesuai harapan.
5. Pemasangan dan Finishing
Setelah pekerjaan struktural selesai, kontraktor akan mulai memasang furnitur, pencahayaan, serta elemen dekoratif lainnya. Pada tahap ini, penting untuk memastikan bahwa setiap elemen dipasang dengan baik dan sesuai dengan desain yang telah dibuat. Pengecekan kualitas dilakukan untuk memastikan setiap elemen, mulai dari furnitur hingga lampu, terpasang dengan benar dan rapi.
6. Sentuhan Akhir dan Penataan
Setelah semua elemen terpasang, kontraktor dan desainer akan memberikan sentuhan akhir pada interior apartemen. Hal ini termasuk penataan furnitur, pemasangan aksesori dekoratif seperti karpet, tirai, dan lukisan, serta pengaturan pencahayaan untuk menciptakan suasana yang diinginkan. Pada tahap ini, ruangan akan terlihat lebih hidup dan siap untuk digunakan.
Tips Memilih Kontraktor Interior Apartemen yang Tepat
Memilih kontraktor yang tepat sangat penting agar desain interior apartemen dapat terwujud dengan baik. Berikut adalah beberapa tips untuk memilih kontraktor interior yang sesuai:
1. Periksa Portofolio dan Pengalaman
Pastikan kontraktor atau desainer interior yang Anda pilih memiliki pengalaman dalam menangani proyek serupa. Periksa portofolio mereka untuk melihat gaya desain dan kualitas kerja yang telah mereka lakukan pada proyek sebelumnya.
2. Komunikasi yang Baik
Kontraktor yang baik akan mendengarkan kebutuhan Anda dengan seksama dan memberi masukan yang konstruktif. Komunikasi yang lancar sangat penting agar proyek dapat berjalan sesuai rencana dan kebutuhan Anda tercapai.
3. Pahami Anggaran dengan Jelas
Sebelum memulai proyek, pastikan untuk membahas anggaran dengan jelas. Kontraktor yang berpengalaman akan membantu Anda merencanakan anggaran dengan baik dan memberikan solusi desain yang sesuai dengan kemampuan finansial Anda.
4. Tanya Rekomendasi dan Ulasan Klien
Cari tahu pengalaman orang lain yang telah bekerja dengan kontraktor tersebut. Rekomendasi dari teman, keluarga, atau ulasan online bisa memberikan gambaran tentang kualitas kerja dan profesionalisme kontraktor yang Anda pilih.
Kesimpulan
Desain dan pembangunan interior apartemen memerlukan perhatian khusus karena ruang yang terbatas harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Dengan bantuan kontraktor interior yang berpengalaman, Anda dapat menciptakan apartemen yang tidak hanya estetis, tetapi juga fungsional dan nyaman. Setiap elemen, dari tata letak, furnitur, hingga pencahayaan, harus dirancang dengan hati-hati untuk memastikan kenyamanan dan efisiensi. Dengan pendekatan yang tepat, desain interior apartemen Anda dapat menciptakan ruang yang memenuhi semua kebutuhan gaya hidup Anda.
#desain interior apartemen#interior apartemen#interior apartemen minimalis#interior apartemen type studio#apartemen studio#interior desain apartemen#interior apartemen tipe studio#interior apartemen kecil#apartemen#desain apartemen#apartemen minimalis#interior apartemen 2 kamar#interior apartemen studio#interior apartemen 2 bedroom#interior apartemen 1 bedroom#desain apartemen studio#desain interior apartemen tipe studio
0 notes
Text
TERBAIK! WA 0822-6066-6630 Kontraktor Jasa Desain Interior Apartemen Kecil Surabaya Bubutan Siwalan Kerto
WA 0822-6066-6630 Kontraktor Jasa Desain Interior Apartemen Kecil Surabaya Bubutan Siwalan Kerto,Arsitek Jasa Interior Cafe Surabaya Manukan Wetan Kertajaya,Biaya Jasa Interior Dan Eksterior Surabaya Manyar Sabrangan Keputran,Borongan Jasa Interior Dapur Surabaya Margorejo Keputih,Custom Jasa Interior Desain Surabaya Medokan Ayu Kenjeran,Estimasi Jasa Interior Desain Kantor Surabaya Medokan…
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/10020ebc2f58498e244393845cd6dfbd/e7106369b6c861fe-e7/s400x600/75a55922fb8c61eb23e51ff109ebfe7af4b162eb.jpg)
View On WordPress
0 notes
Text
Tanpa Tangan #1
Lampu kota masih tetap sama. Tidak ada yang berubah darinya, walau sudah lama aku tak keluar untuk sekedar berdiri diam menatapnya.
Apa rasa ini namanya penyesalan?. Pertanyaan kenapa baru sekarang?, Kenapa baru ketika kehilangan kamu sadar?. Pertanyaan yang sampai kapanpun jawabannya tidak akan memuaskan dahaga akan masalah yang sebenarnya bukan masalah.
Hah... Helaan nafasku terlihat seperti asap yang keluar dari mulut naga. Dinginnya malam kota memang luar biasa. Namun, melihat lampu itu menyegarkan pikiran ku. Membuatku lupa akan rasa sakit yang sedang ku tahan.
Wah.. penyesalan memang datang terlambat, ya?
***
Bunyi klakson yang saling bersahutan dan adu mulut terdengar hingga balkon apartemenku. Hah.. apa lagi kali ini?. Mataku menyusuri jalanan mencari asal keributan. Oh. Kecelakaan?
Aku kembali ke kamarku memutar kursiku untuk kembali menatap layar laptop. Pagi-pagi saja sudah ada hal buruk. Kapan dunia akan tenang?
Namun, bukannya hidupku tidak tenang, hidupku biasa-biasa saja kecuali detik-detik mendekati deadline. Masa-masa itu adalah waktu paling menyeramkan di hidupku. Bahkan aku pernah mematikan jam dinding hanya karena dentingnya terasa seperti hitung mundur sebelum hukuman pancung.
Namun, aku tidak membenci pekerjaan ku. Aku mencintai nya lebih dari apapun, dan karena pekerjaan ini aku masih hidup. Hidup dalam konteks yang luas.
Entah berapa lama waktu berlalu, rasanya bila sudah melakukannya aku tidak bisa berhenti. Hingga suara dering ponselku yang sengaja ku besarkan membuatku kaget.
Nama itu muncul lagi, satu-satunya orang yang menghubungi ku disaat semua orang mengabaikan ku karena sifatku yang kelewat individual. Aku mengangkat panggilan itu dan menyalakan speaker.
"Halo, Jae!" "Hmm, kenapa Nor?" "Mr. Saito ingin bertemu denganmu." "Sudah ku katakan bahwa aku tidak menerima tamu, kan? " "Aku tau, tapi dia bukan orang yang bisa dilarang sembarang orang." "Aku tidak pernah mengikuti aturan, Nora."
Ku dengar helaan nafas frustasi dari ujung sana. Apakah memang ia sepenting itu hingga membuat nora menhianatiku? Mungkin ia memang benar-benar memiliki kuasa itu. Ah, sudahlah apa peduliku?
"Sudah aku tutup."
Aku mematikan ponselku agar tak seorangpun akan mengganguku. Aku menatap layar kotak itu lantas menghela nafas. Ku putuskan untuk rehat sejenak, lagipula bila sudah diganggu aku tidak akan bisa melanjutkannya.
Ya, para polisi itu masih berlalu lalang. Aku beralih menatap pejalan kaki yang melirik-lirik ketempat kejadian namun tetap berjalan. Ada juga pengendara sepeda motor yang sengaja berhenti untuk memuaskan dahaga rasa penasarannya. Ada juga orang yang sama sekali tidak perduli. Anak kecil yang bermain dengan ponselnya. Seseorang yang tampak modis seakan melakukan fashion show di jalanan itu. Manusia itu memang bermacam-macam, terlalu beragam untuk dituliskan.
Aku diam untuk beberapa saat. Rasanya menyegarkan untuk meneliti apa yang orang-orang itu pikirkan tentang kecelakaan yang terjadi. Walau aku tidak sepenuhnya bisa mengerti karena aku bukan mereka. Karena sedalam apapun hubungan kita, tidak mungkin untuk sepenuhnya memahami pikiran orang lain. Itu yang aku tau.
Kini bukan ponsel yang mengangetkan ku, melainkan bel apartemen. Ku biarkan hingga berbunyi tiga kali, dan suara itu berhenti. Mungkin ia menyadari bahwa tidak ada orang di rumah.
Aku kembali menatap keluar, mengabaikan tamu tak diundang itu. Hingga bel ku kembali berbunyi tanpa henti. Dia gila?!. Aku mengambil langkah besar membuka pintu dengan amarah. "Kalau tidak di bukakan pintu itu artinya tidak terima ta—,"
Seakan amarahku menguap ke udara. Tubuhku lemas hampir tak berdaya. Wajah lama itu membuatku sekujur tubuhku kehilangan tenaganya. Wajah yang kini tersenyum menatapku. Senyum yang masih sama. Tatapan mata yang tak berubah. Sialan! Kenapa dia harus kembali sekarang.
"Hai, Je, atau lebih baik ku panggil Jae, penulis novel romansa terkenal, Jae."
Aku refleks menutup pintu. Menimbulkan dentuman keras yang menyadarkan ku dari terkejutan. Nafasku menderu tak beraturan, seakan habis lari maraton. Suara jantungku pun tak kalah memekikkan telinga. Tubuhku gemetar seakan baru saja menghadapi hal paling menakutkan di dunia. Atau memang dia adalah hal yang paling aku takutkan di dunia?.
Dan bagaimana dia tau 'Jae' sedangkan tidak seorangpun yang tau siapa itu Jae, kecuali manajer dan kepala penerbit. Bahkan saat tanda tangan kontrak aku tidak pernah menggunakan nama asliku.
Bunyi bel kembali terdengar. Kali ini terasa menakutkan. Aku menarik nafas dalam. Melangkah menuju layar cctv yang menampilkan pemandangan di depan apartemen ku. Ia terlihat berdiri dengan senyum kekecewaan. Senyum yang membuatku gila. Padahal aku yang seharusnya kecewa, mengapa ia bertingkah seolah-olah dirinya lah yang paling tersakiti.
Aku menekan tombol yang menghubungkan dengan speaker di bel pintu ku. "Pergi, kehadiranmu tidak diterima disini!" ucapku mencoba setegar mungkin walaupun aku sadar suaraku bergetar.
Senyum itu semakin menunjukkan kesedihan. Senyum yang menyakitkan. Namun bukannya pergi ia tampak mencari sesuatu dari tas nya. Dan sebuah pena. Pria itu menuliskan sesuatu lantas menunjukkan nya pada kamera. Tak lupa membunyikan bel yang terdengar sama mengganggunya dengan tinta merah pada secarik kerts kuning itu.
Ding...
"Je, aku hanya ingin bertemu sebentar." tulisnya di notes kecil itu.
Ia lantas kembali menulis dan menunjukkan nya pada kamera. Tak juga meninggalkan denting bel itu.
Ding...
"Aku janji tidak akan mengganggumu."
Ding...
"Aku tau kamu marah atas apa yang terjadi di masa lalu, tapi karena itu aku ada disini. Aku ingin menjelaskannya padamu."
Cih menjelaskan apanya, semuanya sudah jelas bahwa kau bajingan brengsek.
Ia kembali menulis. Dia bodoh kah, padahal ada teknologi yang membuat suaranya akan terdengar pada bel itu. Kenapa melakukan cara kuno tak berguna.
Ding...
"Je, aku tidak akan pergi sampai kau membukakan pintu."
Kenapa ia begitu kekanakan? Kenapa setelah sekian lama kekeras kepalaannya itu tidak pernah hilang. Menunggu? Sedangkan dari dulu dia yang paling benci kalau disuruh menunggu. Padahal dari dulu, ia yang tidak memiliki kesabaran untuk itu.
Ia tiba-tiba mendekatkan diri pada kamera. Entah kenapa aku mendapatkan firasat buruk. Dan ternyata ia tidak sebodoh itu.
"Jeha, maaf"
Suara lembut yang masih sama itu terdengar dari speaker. Tatapan mata yang begitu tulus itu hampir membuatku lupa. Aku menampar diriku keras-keras. Mematikan layar cctv itu.
Ini apasih? Dia kenapa sih? Aku.. apa yang kulakukan...?!
Tubuhku jatuh merosot di dinding. Pandanganku memburam. Rasa panas menguasai pelipis mataku, sensasi yang benar-benar ku benci.
Kenapa aku menangis karena bajingan itu. Kenapa dia harus meminta maaf. Kenapa dia harus kembali. Sial, kenapa aku harus menangis karena mendengar pria itu memanggil nama yang sudah lama tak ku gunakan.
Kenapa...? Kenapa dia kembali sekarang?.
5 notes
·
View notes
Text
Littles
Suara bell tiba-tiba berbunyi di apartemen yang masih sepi suara itu, jam 6 pagi di hari Minggu, belum ada orang yang beraktifitas.
DUG DUG DUG
Mendengar suara itu, si gadis tidak lagi bisa berpura-pura tertidur. Lagipula siapa yang akan tidak sopan menggedor pintu orang lain di pagi hari, khususnya di hari Minggu?!!
Dengan masih mengernyit, mata yang menyipit, perempuan itu meninggalkan hangat dari pelukan kekasihnya, juga selimut tebalnya untuk melihat siapa yang ada di depan.
Perempuan itu justru semakin mengernyit, dari lubang pengintipnya ia melihat kakak perempuannya ada di depan pintu bersama kedua balita kembarnya.
Click
“AUNTIEEEEEE!!!”
Teriakan dari kedua bocah itu seketika memenuhi unit apartement beserta seisi lorongnya, membuat sang ibu buru-buru melangkah masuk, takut-takut mengganggu yang lain.
Keduanya menyerbu paha perempuan itu, karena tingginya yang belum seberapa, tetap semangat menyambut tantenya yang baru bangun tidur.
“Sorry, really need your help. i have to go to the hospital”
Seakan kakaknya bisa menebak apa yang dipikirkannya, anak kembar yang belum mengerti percakapan orang dewasa itu masih asyik bermain dan bercakap dengan mainan yang dibawanya masing-masing.
“Here I already prepared their meals, this-is what you should cook for them, and these are the list they couldn’t eat— you can bill me for the expenses okay? I really need your help sissy, -must go now!”
Bicaranya dengan kecepatan yang membuat adiknya sendiri termenung diam, berusaha mencerna semuanya. Kakak perempuannya menghampiri kedua balitanya dan mengecup pipi mereka masing-masing.
“You both are happy right? I granted your wish to go to Aunt’s house, now mommy gonna go for a while and you guys— don’t be naughty and give your auntie a hard time, alright? Bu-bye”
Lagi-lagi keduanya masih terlihat senang, mengecup balik pipi ibunya sebelum sang ibu meninggalkan mereka di tempat yang masih sedikit asing untuknya.
Click
Perempuan itu mengerjapkan matanya, apa.. yang baru saja terjadi.. tiba-tiba keponakannya berkunjung- atau lebih tepatnya terpaksa berkunjung?
Ia masih terduduk diam di kursi meja makan, menatap ke arah ruang tamu di mana keduanya sedang bercanda dan bermain, sampai tiba-tiba ia lengah dengan pengawasannya.
Salah satu dari gadis kecil itu membuka kamarnya, dan berteriak memanggil saudara kembarnya.
“PLAY HERE!! IT’S COOL IN HERE!!”
Dilanjut dengan tawanya dan kaki kecil itu mendepak lantai berlari dengan semangat, belum sempat dihentikan.
Oh tidak, Chan sedang tertidur di dalam. Hari ini seharusnya jadi hari istirahat Chan, setelah berminggu-minggu tidur di subuh hari dan kembali bekerja di pagi hari.
Bahkan, ia juga tidak tahu kekasihnya suka anak kecil atau tidak. Tidak pernah melihatnya bersinggungan atau berinteraksi dengan anak kecil sebelumnya, membuatnya sedikit tak enak hati kalau kedua keponakannya akan mengganggu.
“Wait guys! You can’t-“
“AUNTIE THERE’S SOMEONE SLEEPING!!”
Gadis itu tambah terbelalak dengan teriakan salah satu dari mereka, buru-buru ia masuk ke dalam kamar melihat pemandangan horror, keponakannya berloncat-loncat di ranjangnya. Bahkan tubuh Chan terlihat ikut sedikit terguncang karena ulah mereka.
“AUNTIEE LOOK WHO IS THIS!!!”
Anak kecil itu menunjuk pria yang perlahan terbangun, menyipitkan matanya berkat gorden yang sudah dibuka lebar oleh salah satu dari mereka. Laki-laki itu mengusap matanya, tubuhnya ikut berguncang dengan dua orang anak kecil terus berlomba-lomba meloncat lebih tinggi di atas kasur.
“Oh my God.. guys guys, come on come here”
Perempuan itu berbisik, yang tentu saja tidak mempengaruhi keduanya. Justru Chan yang memunggunginya tadi berbalik menghadapnya yang ada di pintu, berusaha memanggil kedua gadis kecil itu.
Oh she feels sorry for him
Kamar itu dipenuhi dengan berisik teriakan seru anak kecil, dan tak lama kekasihnya sepenuhnya terbangun. Tampaknya anak kembar itu juga tidak takut dengan pria asing yang sama sekali tidak pernah dikenal mereka.
Malahan keduanya tertawa tergelitik melihat, dengan berani menyentuh rambut keriting Chan, tapi justru malah membuat care takernya panik.
“Why your hair look like this mister?” One of them grab a small part of his curly hair and giggles.
“No baby.. no-no-no.. you can’t touch anyone without their permission okay? What do you say now?”
Tawa kecilnya diinterupsi karena tidak sopan pada pria asing di depannya, matanya membulat merasa bersalah.
“Awe it’s okay hahaha, who are you guys little girls hmm?”
Chan merespon dengan senyum lesung pipinya, tangannya menadah dan ditepuk dengan gadis kecil satunya, menjawab dengan riang.
“I’m Anne! That’s my sister Anna” Also answering on her behalf of her sister.
“I’m Chan”
“They are my nieces, twins. My sister just dropped by, she said she had an urgent, so.. yea”
Kekasihnya sedikit menjelaskan, sementara pria itu menggenggam tangan kecil yang menepuk tangannya tadi.
“Now.. girls come on, don’t bother uncle Chan because he needs to sleep, yea? Let’s go out”
Ajaknya berharap keduanya mengikuti, tapi tidak.
“Why? the sun is up already”
Chan yang mendengar itu malah tertawa kecil, pikiran anak kecil memang terlalu polos.
“It’s okay babe- I’m awake already”
“I’m really..sorry about this. You can just go back to sleep okay?”
“What do you mean? The sun is already up Anne said”
Ketiganya termasuk Chan tertawa serempak, bahkan sempat-sempatnya pria itu memberikan tangannya untuk ditos kedua anak kembar itu.
“Are you guys like mommy and daddy? Mommy and daddy says babe at home too”
Pertanyaan Anna membuat keduanya saling melirik.
“Yeah we are”
Jawab Chan mendahului kekasihnya yang berpikir menyiapkan jawaban.
“Now, what’s for breakfast? Did you guys aready have breakfast? Come on let’s go out”
Entah ia kurang mengenal kekasihnya sendiri, atau situasi yang menurutnya aneh ini sedikit menenangkannya. Bahkan Chan berhasil membawa kedua bocah kecil itu keluar dari kamar, tanpa paksaan atau teriakan.
33 notes
·
View notes
Text
5 Pos Keuangan
oleh: Bp. Tonny Hermawan Adikarjo Perbedaan antara orang kaya dan orang miskin, bukan saja tergantung dari uang yang mereka peroleh. Banyak orang yang punya penghasilan besar dan jatuh miskin karena mereka tidak bisa menata uang yang mereka miliki/ memiliki gaya hidup yang berlebihan. Biaya hidup itu murah, tetapi gaya hidup itu mahal dan tidak terbatas. Bagaimana cara menata uang? Ada 5 pos keuangan: 1. Pos needs/ kebutuhan Biaya yang harus kita keluarkan untuk kebutuhan sehari-hari. - biaya belanja untuk makan sehari2, biaya pakaian, biaya kebutuhan rumah tangga (keperluan kamar mandi, dapur), biaya kosmetik, listrik, air, transportasi, biaya jajan anak, iuran kebersihan, perbaikan kendaraan, dan biaya-biaya rutin lain 2. Pos wants / keinginan Biaya untuk memenuhi keinginan kecil kita. Kalau pun tidak terpenuhi, tidak masalah. Kita bisa menunda keinginan kecil itu. contoh: ingin beli barang elektronik yang tidak terlalu dibutuhkan: handphone keluaran terbaru; makan diluar, beli barang bermerk (tas, sepatu, pakaian), mempercantik rumah, rekreasi, perhiasan, hobi, berlanggnan tv kabel, memberi hutang (note: jika kita ingin meminjamkan uang, maka gunakan uang dari post want, bukan pos need kita). 3. Post debts / bayar utang (kalo punya) Ada 2 jenis utang: - utang baik: utang digunakan untuk keperluan usaha. - utang buruk: utang yang sifatnya konsumtif Utang adalah habit. Jangan biasakan. Yang tidak biasa, tidak akan nyaman jika punya utang, walau jumlahnya sedikit. 4. Pos savings/ tabungan Pos dana berjaga-jaga. Pos tabungan masa depan, dana berjaga-jaga jika ada sesuatu yang tidak kita inginkan. Dana pendidikan anak. Dana pensiun. 5. Pos investments / investasi Contoh instrumen investasi: deposito, obligasi, properti, emas batangan, valuta asing. Investasi ada 2 jenis, - Aset nyata: tanah, rumah, ruko, apartemen, logam mulia, barang koleksi - Aset keuangan (berupa bukti kepemilikan), biasanya dalam bentuk kertas. 1) Money market/ pasar uang: instrumen investasi yang punya jangka waktu maksimal kurang dr 1 tahun (wesel, sertifikat deposito, SBI, dll). 2) Capital market/ pasar modal: instrumen investasi yang punya jangka waktu lebih dr 1 tahun. contoh: obligasi, saham, reksadana Konsep ideal dalam penggunaan income. Persenan dari income masuk. Pos need: 50% Pos want: 10% Pos debt: 30% Pos saving: 10% Pos invest: - *misal masih butuh post debt, maka tidak perlu dana untuk investasi Jika tidak ada post debt Pos need: 50% Pos want: 15% Pos debt: - Pos saving: 15% Post Invest: 20% Catatan: Banyak orang tidak kaya karena ingin terlihat kaya. Menjadi kaya itu penting, terlihat kaya itu tidak penting. Ref: https://www.youtube.com/watch?v=jVt3WJdBxQg
9 notes
·
View notes
Text
Berbelanja di Aalborg, Denmark
Membeli kebutuhan sehari-hari adalah hal yang paling utama untuk bertahan hidup, seperti makanan pokok, cemilan, sabun untuk mandi, untuk bersih-bersih rumah dan lain-lain.
Alhamdulillah, berbelanja di Aalborg Denmark tidak terlalu sulit walau kita perlu teliti ketika membeli daging atau makanan yang bisa mengandung bahan-bahan non halal. Tidak jauh dari apartemen tempat kami tinggal, ada 3 toko yaitu Netto, Coop365, dan 7 eleven.
Di 7 eleven kami bisa membeli kartu perdana, pembayarannya cashless. Kemudian suami pergi ke Netto untuk membeli daging dan pisang karena kami belum makan sejak siang, tapi ternyata kartu debit yang biasa suami gunakan ternyata tidak dapat terdeteksi di mesin EDC. Kami juga tidak menukar uang cash di bandara saat itu.
Suami kebingungan, akhirnya ada seseorang yang bertanya, "apakah kamu tidak punya uang?" lalu suami menjawab, "bukan, aku tidak dapat menggunakan kartu visa debitku." Akhirnya mas mas ini membayarkan makanan yang kami beli, huhuhu terima kasih orang baik. :)
Keesokan harinya kami pergi berbelanja lagi, kali ini ke Coop365 karena di Netto khawatir tidak bisa lagi membayar karena tidak terdeteksi. Saat di Coop kami mencoba membeli satu barang dan bertanya ke kasir "apakah bisa membeli dengan kartu visa debit ini?" kemudian dia menjawab "Aneh sih kalau ga bisa, coba di cek saja dulu." dan alhamdulillah... bisa.
Akhirnya kami berbelanja bahan pokok seperti beras (~14kr), ayam (~30kr), sayur mayur, susu (~10kr) dan buah-buahan (~20kr). Beberapa buah-buahan tropis seperti pisang, mangga dan semangka memang agak mahal, seperti pisang yang harga nya 2.5kr untuk 1 buah, dan mangga dengan harga 13kr per buah.
Selain toko-toko itu, ada juga Fotex, Superbrugsen, Bilka dan Meny. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan tersendiri sebagai supermarket yang menyediakan berbagai macam kebutuhan rumah tangga.
Apa ada toko halal dan toko khas Asia/Indonesia?
Di Aalborg, ada satu toko halal yang bisa ditemui yaitu Toko QB. Toko ini menyediakan berbagai makanan halal seperti sosis, daging kebab, sayur mayur, snack halal dan beras. Kebanyakan mereka import dari Turki atau daerah timur tengah lain. Harga disini cukup mahal, mungkin karena import sehingga ada biaya transport yang cukup tinggi.
Bahan makanan Asia/Indonesia seperti Indomie, Samyang, sereh, rempah-rempah khas Asia, kangkung, tahu dan tempe bisa kita peroleh di Mekong. Harga nya relatif bersahabat, pemilik toko nya pun sangat baik dan ramah.
Bagaimana melihat kehalalan produk di Denmark?
Beberapa produk daging terutama ayam sudah banyak mencantumkan logo halal, namun untuk daging sapi hampir tidak pernah ditemui logo halal pada kemasannya. Kemudian, makanan lain seperti es krim, susu atau biskuit kami melihat kode-kode di belakang kemasan kemudian diinput ke dalam apps Halal Verifier Code. Jadi, kalau ada 1 bahan yang terdeteksi haram, bisa langsung diketahui. Terima kasih orang-orang yang sudah membuat apps ini.
Toko-toko disini secara kualitas sangat bagus dan nyaman, semua transaksi bisa dilakukan secara non-tunai (cashless). Transaksi di Indonesia juga sudah hampir menggunakan QRis semua ya, kecuali mungkin bayar parkir, toilet atau pedagang kecil yang masih memerlukan uang tunai ya.. hehehe.
Bagaimana pendapatmu tentang transaksi cashless? Apa memudahkan? atau lebih baik transaksi tunai saja ya?
2 notes
·
View notes
Text
30 Agustus 2024
Setelah nangis heboh, pikiran gue jauh lebih clear harus melangkah ke arah mana. Meskipun Bujang ngechat minta maaf berkali-kali karena udah ngajak balikan dan gajadi karena itu ternyata tindakan impulsivenya aja, tapi gue gak terpengaruh sama sekali. Gak ada pikiran pengen maksa masuk ke pelukannya, atau ngemis mohon-mohon dia buat stay dan menjamin dengan dia sama gue akan gue bawa sukses nantinya.
Enggak.
Dia udah rugi dengan tidak bersama gue. Siapapun yang jadi pasangan gue bisa gue pastikan akan mendapatkan keinginan dan motivasi yang tinggi untuk jadi lebih baik lagi dalam hidupnya. Siapapun yang bersama gue akan bangga dengan memiliki gue. Siapapun yang bersama gue akan dilancarkan rezekinya dan dilimpahkan segala hal-hal baik dalam hidupnya. Gue percaya sama hal itu.
Gue tidak mengatakan bahwa gue ini adalah sosok terbaik yang dijadikan pasangan di dunia, enggak. Gue cuma bilang bahwa siapapun yang nantinya akan sama gue bisa gue pastikan dia mendapatkan sesuatu yang berharga yang menjadikan kehidupannya jauh lebih baik daripada sebelum dia sama gue. Gue bisa jamin akan perluasan pandangan dia setelah sama gue. Gue sangat vibrant dan hal itu menjadikan segala hal yang gue sentuh atau ada di dekat gue akan mendapatkan satu hal baik meskipun itu hal kecil daripada sebelum mereka tau gue.
Gue kembali memfokuskan diri ke mimpi-mimpi gue. Fokus ke wall climbing dan extream sport, self care, skin care, makan makanan yang sehat, impian bisa tinggal di apartemen studio mewah, jadi konsultan marketing, ambil sertifikasi, dan berangkatin mamah papap umroh haji. Mungkin dua tiga tahun yang akan datang gue memutuskan untuk pindah kerja di Jepang atau Aussie.
Gue gak mau lagi kembali ke masa-masa gelap itu.
3 notes
·
View notes
Text
Hari Pertama
Tidak terasa sudah 8 bulan saya bekerja sebagai peneliti di industri. Masih hijau, namun saya sudah merasakan bahwa kehidupan baru ini relatif berbeda dengan kehidupan saat menjadi peneliti PhD. Jujur pekerjaan ini jarang terpikirkan saat dulu masih SMA, namun beginilah uniknya Allah SWT menuntun langkah manusia. Berhubung sedang liburan akhir tahun, saya ingin menuliskan beberapa seri tulisan mengenai kejadian-kejadian yang masih membekas di ingatan.
Hari pertama kerja
Hari pertama selalu berkesan. Bagi saya, hari pertama rasanya campur aduk antara antusias dan was-was. Antusias karena ini merupakan tantangan baru, was-was karena kota Dresden, apalagi tempat kerja saya di bagian timur terkenal masih tertutup terhadap orang luar. Dulu pun ketika menerima tawaran kerja ini tidak langsung saya iya-kan. Saya diskusi panjang dengan istri serta bertanya ke tetangga kami yang sudah lama menetap di Jerman mengenai kota ini. Tambah ngeri ketika mencari berita lewat google mengenai bagaimana sikap penduduk kota ini terhadap para muslim.
Hari pertama ke kota ini untuk melihat apartemen sudah terasa aura perbedaannya. Di Münster, tidak jarang penduduk lokal menyapa ketika berpapasan di jalan meskipun tidak saling mengenal. Di hari pertama di Dresden, yang kami dapat adalah tatapan tajam ke istri yang berjilbab. Karena itu, saya dan istri sempat menanyakan ke diri kami apakah keputusan ini adalah keputusan yang tepat.
Singkat cerita, alhamdulillah ternyata semua lancar pun sampai hari ini tidak pernah mengalami kejadian rasis. Di hari pertama sepulang kerja, istri menjemput di pintu dan kami berdua merasa sangat terharu. Lantas pikiran saya melayang melintasi beberapa periode waktu. Dulu saat melamar istri, saya masih kuliah S2 dan belum memiliki kepastian kerja. Alhamdulillah sekarang Allah SWT cukupkan rezeki untuk keluarga kecil kami.
Dari segi tempat tinggal pun mengalami peningkatan. Dulu saat masih di Solo kamar yang saya tempati 2.5 m x 3 m. Saat di Hsinchu, Taiwan saya menempati kamar dengan luas 3 m x 8 m dan diisi 4 orang. Selepas menikah, saya dan istri menyewa kamar kos ukuran 10m2. Kemudian di Münster bersama istri di apartemen dengan ukuran 33m2. Dan sekarang di Dresden dengan ukuran 80m2, setidaknya anak bisa berlarian di rumah.
Bukan sebab ‘tak sengaja’, atau ‘keberuntungan’ semata, tapi memang sebab demikian Allah hendak memberikannya. Nyatanya, memang banyak sekali hal baik yang Allah hadirkan dalam hidup, yang boleh jadi tanpa sekalipun kita memintanya. Alhamdulillah.
Dresden, 25 Desember 2023
13 notes
·
View notes
Text
Aether x lumine | woman 🔞
NSFW. Some use of english. Don't like don't read.
cw// rough sex, local profanities, incest.
-
Seluruh mahasiswa Akademiya tahu Lumine dan Aether merupakan kembar yang tak pernah akur. Seringkali Lumine membantah sang kakak, atau Aether mengejek adiknya. Ditambah sore ini, Aether baru saja terlibat perdebatan kecil karena si adik diperebutkan oleh ketua BEM, Childe, juga ketua senat, Ayato, untuk jalan malam ini.
Kala itu, Aether berteriak, "Sekarang jatah Lumine bersihin apartemen. Jadi gue yang bawa dia pulang."
Tentu saja Lumine protes. Selama perjalanan pulang, dia merutuki Aether sampai telinga cowok itu mungkin bakal lepas di tempat. Ocehan itu pun berlanjut hingga di rumah.
"Lo kenapa sih? Nggak seneng banget lihat gue nikmatin hidup. Iri tanda tak mampu," gerutu Lumine. Alisnya meninggi sebelah. "Oh, lupa. Emang nggak mampu. No one want you. You can't fuck anyone, Mr. Small Dick."
Apa Aether marah? Agaknya hal tersebut sudah tak perlu dijelaskan. Lumine dipastikan bermain dengan titik yang salah, dan ejekan tersebut melepas rem kesabaran Aether.
"You talk too much, Little Sister."
Ada dua kesalahan Lumine: mengejek Aether, atau mengira kontol cowok itu kecil.
Justru kebalikannya. Dan entah ini berkah atau kesialan, Lumine bisa langsung merasakannya sendiri.
He shows her how to fuck, by fucking her immediately.
Lupakan soal bersih-bersih apartemen. Yang ada kamar Lumine makin berantakan, kakinya menendang acak seprei dan selimut, diikuti cairan dari vaginanya yang membasahi kasur akibat penyatuan mereka.
Lebih mengejutkan lagi, Lumine menemukan dirinya tak ingin berhenti. Her brother really knows how to fuck for sure, to make her pussy begging for more.
"Aether—anjing! Lagi ...." Lumine kembali melenguh, membuat kembarannya itu bergerak makin cepat, menusuk lubang kewanitaannya itu kasar dan dalam.
She likes it that way, how his cock moving inside her pussy hard.
"Masih mau jual mahal? Ngeledekin punya gue kecil?" ledek Aether, walaupun dia sendiri kesulitan bicara akibat kenikmatan cengkeraman vagina Lumine. "Padahal memek lo ini sebegini pengen dikontolin."
"Iya, mau."
"Mau apa?" Sengaja Aether berhenti bergerak, senyum pongah terpatri di wajahnya tatkala Lumine mengangkat sedikit pinggangnya seolah angin bisa menumpunya, kemudian berusaha mendorong tubuhnya agar batang perkasa Aether bisa masuk lebih dalam.
"Mau dientot sama kontol Aether! Please, please, please. Fuck me so hard I can barely even walk after this."
"Request accepted."
Hanya dengan itu, Aether pun kembali bergerak memompa Lumine, gerakannya jauh lebih cepat dan kasar ketimbang sebelumnya.
"Nghh ... Enak."
"Enak?"
Lumine mengangguk seraya menengadah dalam posisinya yang tengah berbaring, matanya nyaris berputar ke belakang akibat hujaman di selangkangannya.
"Bilang siapa yang bikin lo enak," perintah Aether.
Tak ingin sang kakak menarik diri dan menghentikan sesi panas ini, Lumine langsung menjawab, "Lo, Aether. Lo dan kontol gede lo ini bikin gue keenakan. Nghh ... bangsat. Enak banget!"
"Dasar lonte. Dientot kakak sendiri malah seneng."
Semua kata-kata hinaan itu justru menjelma bagaikan minyak bagi api hasrat Lumine. Racauannya makin berisik dan liar. Entah apartemen Aether kedap suara atau tidak. Lumine sudah masa bodoh. Dia ingin berfokus pada satu titik saja.
"Ahh, Lumine. Memek lo jepit banget." Aether menggeram rendah, menggunakan telunjuk untuk menekan klitoris Lumine, membuat sang empunya melengking keenakan.
"Fuck! Fuck! Nggghhh ... mau muncrat." Lumine menggeleng cepat. Pengakuan itu menjadikan Aether makin berani. Sodokannya makin kuat, dan tangannya kini mencubit titik sensitif Lumine. Sentuhan ini sukses mengantarnya sampai ke ujung tanduk nafsu, tapi jelas dia terlalu meremehkan Aether jika berharap ini sudah puncak dari sesi senggama mereka.
"Aether ... Ahhh! Bangsat! Enakhhh ...." Bisa dia rasakan bagaimana kontol Aether membesar, membuatnya merasa penuh di bawah sana. Aether bisa merasakan bagaimana dinding kewanitaan Lumine berkedut di sekitar miliknya.
"Udah mau keluar?" sindir Aether. "Betulan lonte, ya, lo. Harusnya Ayato sama Childe nggak perlu rebutin lo. You'll take them both."
Membayangkan dua seniornya ikut menyetubuhinya membuat Lumine kepalang mabuk.
Aether pun tertawa. "Suka? Mau mereka lihatin gue ngentotin lo di sini, Adik Manis? Atau lo mau mereka gabung?"
Gangbang? Sial, berahi Lumine berganda seketika.
"Langsung lo bayangin?" Aether menampar selangkangan Lumine, lantas merasakan bagaimana kejantanannya makin dicengkeram. "What a bitch in heat. Should I make it come true?"
Lumine tidak bisa menjawab, kecuali jika desahan serta jeritan ekstasi itu bisa dikategorikan sebagai jawaban. Cewek itu meremas sprei sementara kakinya melebar, memberi akses bagi pria yang tengah menghujam kontolnya itu ke dalam dirinya.
"Mau keluar ...."
"Mau keluar?"
"Let me cum, Ther. Please," bujuk Lumine. Lupakan soal bagaimana judes dan cueknya dia sebelumnya. Kali ini dia melingkarkan lengan di leher kakaknya, menariknya mendekat hingga memungkinkan bibir mereka bertemu.
Sungguh, Lumine sudah tidak tahan. Dia sedikit waswas kalau Aether akan iseng menarik diri dan membuat pelepasannya gagal. Tapi, mana bisa Aether menolak ketika Lumine sudah terlihat sebegini pasrah dan memohon. Pun dia sendiri sudah dekat menuju puncak gairahnya.
"Tapi gue keluar di dalam," ujar Aether final.
Mata Lumine langsung berbinar. "Pejuin gue, Aether. Let me feel your warmth inside."
Adek gue ini lonte banget. Aether bergumam dalam hati. Meski begitu, bibirnya tersenyum puas.
"Lo bakal jadi cum dump gue, Lum. You'll be addicted with my cock, my cum, my way of fucking you inside out."
Seluruh kata-kata kotor itu diikuti entakan kuat, membuat Lumine bergelinjang nikmat.
"Iya ... iyahhh. Lo mau entotin gue juga ... bebas. Pake gue kapan aja, di man juga, sama siapa juga—ahhh, fuck! Aether! Keluarrrhhh."
Lewat nama itu, tubuh Lumine pun bergetar. Aether masih memberikan beberapa sodokan lagi hingga dia keluar di sana, memenuhi rahim Lumine dengan spermanya.
Keduanya sama-sama mengatur napas, dan Aether pun menyingkir dari atas Lumine, kemudian memeluknya.
"That feels good," katanya. "Gue nggak tahu lo bisa seliar ini, Lum."
"Lo juga yang bikin orang blingsatan." Lumine boleh saka protes. Meski begitu, dia tidak bisa berbohong. Dia suka diperlakukan begitu. It made their sex hotter, even sexier.
And by this, they will never be the same.
Lumine terpejam hingga kesadarannya tenggelam dalam lelap, membiarkan diri nyaman dalam rengkugan Aether. Namun, dia tahu semua ini masih jauh dari berakhir, dan dia sama sekali tidak keberatan. Aether has made her a woman—his woman, and so her body is his to control or to fuck.
Either way, Lumine tahu dia akan menikmatinya.
[]
14 notes
·
View notes
Text
Trip Around the Sun
-
[AO3]
Hidup baru Flamebringer jungkir balik bedanya dengan kehidupan di Terra. Hidup tenang di sebuah apartemen kecil, bersama pot-pot tanaman di balkoni, asbak di setiap ruangan. Ini adalah kehidupan yang tentram—kalau tidak menghitung janji temu dokter tiap dua minggu, dan mengusir bocah SMA yang datang ke apartemennya tiap hari Minggu jam sembilan pagi tanpa pernah terlewat sekalipun. [exeflame; au; istg I’m gonna write fluff this time; published 2020-07-12; word count: 13,432]
Enkaku adalah sebuah nama yang tak pernah ia akui sejak jemarinya menyapa kematian untuk pertama kali.
Ia tak menamai dirinya dengan sebutan apapun setelahnya. Ia cukup puas dengan jantung yang berdetak, napas yang berembus. Tak perlu menoktah nama lain pada takdirnya yang sudah retak. Namun mereka memanggilnya Flamebringer, maka ia menghela debuan di padang bersimbah darah dan memanggil dirinya dengan sebutan serupa.
Tak ada yang pernah memanggilnya Enkaku lagi, kecuali W dan itu bukan hal yang patut ia bicarakan dengan jantung yang masih berdenyut di antara tulang rusuknya. Bahkan di momen terakhir kematiannya, Flamebringer masih harus mengingatkan diri sendiri bahwa ia tak seharusnya mencari wanita itu di selipan memori yang telah kelabu. Bagi ia, bagi semua makhluk yang menapak di atas Terra, Enkaku telah lebur. Kerangkanya tersimpan jauh di bawah tanah, meski jantungnya masih berdetak sesekali.
Di hadapannya, memandang balik dari dalam cermin dengan wajah yang letih dan jengkel terhadap semesta, adalah Enkaku.
Flamebringer menghela napas dalam-dalam, mencoba menyerap sebanyak-banyaknya kesabaran dan melepaskan hasrat untuk melayangkan tinju pada cermin dua kaki dari tempatnya berdiri. Ingin rasanya mengambil retakan kaca dan mengiris nadi, mati untuk kedua kali agar ia selesai. Sampai kapan semesta mau mempermainkannya begini? Sudah betul mati di Terra, mesti pula ia dihidupkan kembali entah di dimensi mana. Namun lagi, pun meski ia lakukan, ia tak ragu akan kegigihan semesta untuk menyeretnya kembali. Lebih baik turuti kemauan bangsat satu ini sampai ia bisa dapat kesempatan mati lagi.
Jemari panjang naik ke dadanya. Aneh sekali rasanya melihat jari-jemari tanpa belulang dan tikas dari luka-luka semasa pertempuran. Dadanya hangat, sedikit lebih ringkih; ia maklum, tempat ini tidak terlihat seperti dunia dengan hasrat menghancurkan yang sama dengan Terra. Tidak dengan cara sama, setidaknya. Meski denyut jantungnya masih bertemu di ujung jemari, namun ia tahu. Sudut bibirnya tersungging dalam senyum sarat ironi.
“Senang kau?” tanyanya pada pantulan di cermin yang bersih. “Tubuh sekarat begini kau suruh aku mainkan sampai dia mati, begitu? Buang-buang waktu saja, tahu?”
Pantulannya tak menjawab, bibirnya mengatup segera setelah Flamebringer berhenti berujar. Tentu saja, memang ia mengharapkan apa? Tuntunan Tuhan? Tuhan sudah mati bersama Enkaku. Tak ada jejak kemuliaan dan mukjizatnya dalam nadi Flamebringer. Tidak di dunia yang telah ia tinggalkan, tidak pula di dunia asing ini.
Ia memejamkan mata sejenak, meneguk ludah. Mau bagaimana lagi, pikirnya getir. Mau diapakan lagi? Hidup saja sampai mati. Hidup saja sampai semesta lelah.
Saat matanya terbuka, pantulannya menatap ia balik dengan kerut samar di wajah. Pedar di raut muka nampak bagai percik api, namun lelah juga terpatri di sana. Ia nampak sengsara—nampak pilu.
-
Dunia ini tak jauh berbeda dengan Terra. Namanya Bumi, dan Flamebringer mengacungkan jari tengah pada langit biru segera setelah ia paham mengenai tempat yang terlalu padat akan manusia ini. Persetan kau, teriaknya dalam hati. Dunianya kacau karena perselisihan dan perang, kebencian akan perbedaan kasta, darah bertumpahan di atas tanah kering kerontang karena kebencian. Dunia inipun seperti itu—hanya saja lebih licik, lebih kejam. Ia tak terkejut. ‘Toh tidak ada yang baru juga. Orang bisa mati tanpa dibunuh dengan senjata, cuma ya memang kekerasan lebih efektif.
Ia menatap tangannya yang halus dan tak sekekar sebelumnya. Lebih baik mulai olahraga dan berlatih. Tidak di dunia ini, dunianya, dimanapun, kekerasan akan selalu lebih efektif.
Ia punya kalender di kamar tidur, ruang tamu, dapur, kamar mandi—yang benar saja. Satu alisnya terangkat, lama-lama makin tinggi saat ia menemukan satu-persatu kalender. Semua tanggalnya diberi catatan. Pergi ke kafe tiap Rabu, potong rambut sebulan sekali, pergi ke toko bunga beli benih tiap dua bulan, pergi ke dokter dua minggu sekali. Masih normal. Namun ada pula catatan kecil seperti hidup normal, jalan-jalan ke pemakaman umum, cari anjing untuk diusap, usir Samuel. Kata-kata seperti itu ada di setiap tanggal, setiap bulan.
Ia mengerutkan bibir, siapa lagi pula Samuel? Rentenir? Pengemis?
Meskipun Enkaku di sini lebih anteng, lebih punya pandangan yang—ya tidak optimis juga, tapi tidak pesimis. Ia berjalan di tengah, berpindah mengikuti rotasi semesta kemanapun ia tengah ingin membawanya. Ia tak terkesan ambisius dengan apapun, tidak frustasi sampai mau mampus, tidak terlalu bahagia juga. Imbang betul jadi manusia—itu sebutan makhluk di sini. Tidak ada ras seperti di Terra. Ternyata, rasnya dibedakan dengan kulit dan suku bangsa. Yah, tidak beda-beda amat juga, terutama soal ketidakadilan terhadap ras-ras tertentu. Sampah yang sama, peduli setan. Flamebringer tidak datang ke sini untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Cuma hidup, lalu menunggu mati saja rasanya sudah cukup menyusahkan.
Kamarnya sederhana dan tidak berdekorasi. Sekedar foto saja tidak punya. Ranjang, lemari, rak barang, dan sebuah meja dengan tumpukan jurnal di atasnya. Ia mengetahui sedikit banyak perjalanan Enkaku dari tiap lembarannya. Beberapa jurnal usianya sudah lebih dari dua-puluh-tahun. Oh, ia sudah tiga-puluh-empat? Lebih tua dari usia aslinya, meskipun wajah mereka tak banyak mengalami perubahan. Tetap saja. Sudah tua bukan alasan tidak menguatkan fisik, ia berpikir dengan wajah berkerut, mencubit perutnya yang lembek. Ia tidak kekar, tidak tambun; tidak lemah, tidak kuat juga. Dibandingkan dengan tubuh lamanya, yang ini sudah kelewat lembut.
Ia lahir dari keluarga berada, sekolah dengan baik, tidak punya banyak teman, mengidap penyakit yang sampai sekarang tidak dapat didiagnosa oleh dokter manapun yang mereka tuju, dan suka tanaman. Flamebringer menatap kalimat itu, nyengir. Lumayan; kalau orangnya senang berkebun, ia tidak punya masalah dengannya. Penyakitnya barangkali karena Oripathy dari tubuh lama. Entah apalah jampi-jampi semesta sampai penyakitnya bisa melewati dimensi dan garis kehidupan. Intinya: tidak dapat didiagnosa, tidak ada obat penyembuh, mati juga. Sederhana, tidak perlu jenius untuk mengambil kesimpulan kalau tidak di dunianya, tidak di dunia ini, Flamebringer tetap dikutuk dengan takdir mati muda.
“Ya sudah,” ia mendumel sendiri sambil membolak-balik jurnal untuk mencari informasi penting. “Untuk apa juga hidup lama-lama. Kurang kerjaan.”
Ia mendapat alamat praktik dokternya, kafe yang biasa ia datangi, tempat membeli benih bunga, dan tempat langganan potong rambut. Sampai diberi empat bintang di samping nama tempatnya. Ia mengamati surai birunya di cermin dan harus mengakui, potongannya rapi dan mendetail. Tidak ada penjelasan tentang mengapa ia punya kebiasaan jalan-jalan ke pemakaman tiap pulang dari periksa rutin ke dokter, atau siapa itu Samuel.
Namun pada jurnal yang memuat perjalanannya selama perkuliahan, terdapat jeda selama kurang lebih dua tahun sebelum halamannya terisi kembali. Tidak akan pernah sama, Enkaku menoreh dengan tulisan tangan yang ia yakin hanya bisa dibaca olehnya sendiri, tidak akan pernah lupa. Tidak akan mengejar sampai waktunya tiba. Ia rasa, sesuatu terjadi dalam waktu dua tahun catatannya menghilang—sesuatu yang membawanya kembali ke pemakaman umum dalam frekuensi yang mengkhawatirkan bagi orang biasa.
Ia menatap tulisannya dengan pandangan jijik dan heran. Sok puitis, bangsat, pikirnya. Sekarang siapa yang repot mengartikan kata-kata tidak jelas begini? Dia sendiri. Ini adalah epitome ��menyabotase diri sendiri” dalam artian yang sesungguhnya.
Udaranya sejuk dari lantai atas begini, pikirnya sambil merebahkan diri di balkoni. Di luar terik dan sesak, namun di bawah naungan balkoni lantai atas, ia aman dari hiruk-pikuk kota asing, di planet yang asing ini. Enkaku merokok, dan merupakan perokok berat, dinilai dari stok rokok di kabinet makanan di dapur, dan asbak di setiap ruangan di rumah ini.
Flamebringer menyalakan sebatang rokok, menghirup nikotin jauh ke lesung paru, dan mengembus asap ke udara. Sekalian berkontribusi pada kehancuran kalian semua, ia pikir dengan cengir sarat ironi. Semua pasti mati, pasti berakhir. Apapun yang ia lakukan, atau tidak lakukan, tidak akan ada bedanya. Flamebringer tahu diri. Ia cuma Sarkaz—manusia, oke, iya—biasa, semesta punya berkali lipat lebih banyak kuasa dibanding ia.
Ia mengubah pikirannya terhadap Enkaku. Pria ini tidak sesantai itu menunggu kematian. Ia aktif mengejar kematian, atas asas yang sama dengan yang Flamebringer punya. Kematian pasti datang, dan ia tak tertarik memperlambat waktu ajal menjemput. Datang ya datang saja, tidak perlu permisi apalagi sampai bertamu baru pergi kencan bersama ke alam baka.
Semua teknologinya hampir sama, perbedaannya hanya beberapa sektor yang lebih ditonjolkan. Teknologi berperangnya berbeda, orang biasa bisa pakai senapan, karena cara berperang manusia sudah diatur oleh politik. Ada undang-undang tentang kriminal dalam perang, malah. Ia hampir tertawa. Kalau yang begitu mau diaplikasikan ke Terra, mampus sudah ia mendekam di penjara sejak belia. Setidaknya, tidak banyak perbedaan yang berarti sampai ia mesti belajar dari awal mengenai adab di zaman ini. Penggunaan ponsel juga sama saja. Namun di sini ada internet, semacam interkoneksi di Terra tapi lebih wah. Ia mengedikkan bahu, lebih gampang mencari tahu apa yang terjadi tujuh-belas tahun lalu.
Ia menyesap rokoknya sampai ke ujung filter, menatap langit yang tertutupi gedung-gedung perkantoran yang menjulang. Hal buruk, pasti, pikirnya. Tidak mungkin yang lain dari sana, karena kemalangan selalu merasa sepi tanpa inang untuk dihinggapi. Ia menekan ujung puntung rokok ke asbak, melihat perciknya melembut sebelum mati. Seperti melihat perjalanan hidup sendiri, pikirnya sayu.
-
Enkaku suka berpakaian hangat dan tebal. Flamebringer menganga kala melihat koleksi pakaiannya. Mereka nyaman dipakai, lembut di kulit, dan memang betul cocok dengan kulit dan postur tubuhnya. Tapi ya... tidak perlu sampai satu lemari semuanya begini juga. Kebanyakan dari sweternya dua ukuran lebih besar, beberapa jaket dan kardigan juga. Saat ia mencoba memakai beberapa di hari Rabu, ia terkesan dengan seberapa berbeda ia terlihat dari biasanya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Flamebringer terlihat lemah lembut.
Ia tertawa sejenak di depan kaca. Lemah lembut, senang tanaman, suka bersih-bersih (dinilai dari betapa rapi dan bersihnya cermin dan permukaan barang di rumah ini), kurang lebih enak dipandang, postur tubuh bagus, dan merokok. Kombinasinya sudah pas jadi lelaki simpanan orang. Latif dan ramah tamah, enak dicumbu, namun cukup ‘jantan’ untuk tetap mengingatkan bahwa ia lelaki. Bisa saja ia simpanan om-om. Maksudnya, apartemen ini memang kecil tapi barangnya lengkap dan terlihat apik. Tawanya menggelegar lebih keras, bergaung di antara dinding kamar.
Siapa yang sangka, prajurit haus darah bisa pindah profesi jadi lacur pilihan lelaki kaya yang melenceng dari norma?
Kemudian ia meneguk ludah. Tidak perlu dipancing begitu, semesta pasti punya hal tidak waras yang disimpan untuknya di dimensi ini. Hal remeh-temeh macam jadi simpanan lelaki lain adalah perkara mudah kalau sudah diatur.
Ia menghela napas, menatap wajah Enkaku di cermin, dan bersiap untuk hidup dalam detak jantung yang telah ia rebut.
-
Kafe tempatnya pergi bagus dan nyaman. Kopinya tidak sampai membuat ia bercucuran air mata, namun cukup enak untuk membuatnya betah duduk selama empat-puluh menit di teras—menghirup kopi dan menyesap beberapa batang rokok sembari berpikir tentang apa yang harus ia lakukan sekarang. Ya, betul, hidup saja sampai mati. Tapi pekerjaannya apa? Kesehariannya dalam praktikal seperti apa? Yang ia biasa lakukan sehari-hari apa sebetulnya?
Meski datang ke kafe ini tiap hari Rabu adalah rutinitas, namun pegawai kafe nampak tak mengenalinya. Atau mungkin memang tak pernah bicara dengannya. Barangkali Enkaku juga melakukan hal yang sama, menghindari ke teras supaya jauh dari hiruk pikuk pengunjung lain. Keramaian di jalan raya dapat dimaklumi karena tak terdengar jelas; di dalam, ia jadi tahu kalau seorang gadis baru saja putus dari pacar barunya, ibu-ibu sosialita adu pamer liburan ke luar negeri; ricuh. Mending ditinggal.
Tak ada kontak keluarga di ponsel Enkaku. Teman juga masih tanda tanya. Cuma ada beberapa di sana: dokter, penjual bibit, emergensi, tukang listrik, pemilik apartemen, satpam dan resepsionis apartemen, dan Pak Arka. Ia memutar bola mata melihat nama itu. Dari percakapan sebelumnya di sebuah aplikasi chat, mereka bertemu sekitar dua sampai empat kali dalam sebulan. Lebih sering hanya dua kali.
Pak Arka terkesan sebagai lelaki cakap dan sopan, namun tidak suka pakai basa-basi, yang mana Flamebringer suka-suka saja karena ia malas bicara pakai embel-embel. Lelaki itu hanya akan bertanya ia di mana, meminta waktu bertemu, kemudian terus seperti itu. Tidak ada yang aneh sama sekali. Hanya saja, kadang Pak Arka bertanya ‘boleh melihatmu?’ tanpa mengajak bertemu, dan Enkaku akan mengirim fotonya. Tidak ada yang telanjang, tapi kesemuanya intim. Dari sana ia mengambil kesimpulan bahwa, ironisnya, Enkaku memang simpanan lelaki lain.
Ia mengangkat cangkir kopi, menenggak isinya untuk menyembunyikan cengir tak percaya di bibir. Ya kaget saja. Lucu, dan tidak masalah kalau memang Enkaku maunya begitu karena ini bukan kehidupan Flamebringer, tapi ya—ya... ini tetap bagian dari dirinya, dan ia berhak merasa bahwa ini menggelikan dan membuat jengah karena ia yang akan meneruskan pekerjaan ini. Mereka bertemu barangkali untuk bersenggama. Memangnya bagaimana biasanya Enkaku bertingkah dalam hubungan badan? Lembut seperti koleksi pakaiannya, menunduk di bawah Pak Arka, atau liar dan tidak sabaran seperti Flamebringer?
Meh, yang mana saja tidak masalah. Kalaupun tidak sama sepertinya, ya tinggal pura-pura saja. Usianya tiga-puluh-empat, tidak punya pekerjaan tetap, dan tidak tahu keterampilan macam apa yang ia punya selain berkebun. Keterampilannya yang biasa tak dapat dipakai di tubuh dan dunia ini. Ya jadi lelaki simpananlah solusinya, pikirnya dengan tawa dalam hati. Ini benar-benar aneh dan bikin histeris. Namun lagi, reflek keterkejutan Flamebringer sudah lama mengering karena kondisi di dimensi aslinya. Lagipula, dengan tubuh yang siap menyambut kematian ini, wajar saja kalau Enkaku tidak repot-repot bekerja atau membuka usaha.
Sayang saja—sudah repot-repot, malah modar.
Belum ada pesan dari Pak Arka untuk sekarang, dan sejauh yang ia tahu, Enkaku tak pernah menghubungi lelaki itu lebih dulu. Menunggu panggilan saja, berhubung ini pekerjaan. Pekerjaan yang menguntungkan, menurut isi rekeningnya. Sebenarnya lepas dari Pak Arka sekarangpun ia masih bisa bertahan hidup sekitar empat tahun tanpa melakukan apapun. Namun lagi, kurang tahu juga selama apa semesta ingin melihatnya di sini.
Tatapannya berubah muram saat mengingat informasi yang ia dapatkan melalui internet. Untuk masalah pekerjaan ia santai saja; terhibur, malah. Namun alasan mengapa Enkaku rajin mengunjungi pemakaman umum bukanlah karena ia sudah terlalu gila karena lelah hidup, atau menunggu keajaiban dari pesugihan dan perjanjian dengan setan. Ia datang untuk berkunjung.
Mengunjungi empat-puluh-dua mahasiswa dan seorang dosen yang tewas dalam kecelakaan bis di sebuah studi tur. Enkaku adalah satu-satunya orang yang selamat karena ia sakit dan tak mengikuti studi tur. Ia mendengus, betul ‘kan. Tidak perlu jauh-jauh mencari tragedi, di depan mata juga sudah ada, menatap balik dengan mata tajam dan seringai penuh darah korban.
“Pantas saja dikirim ke sini,” gumamnya sendiri. Tatapannya melekat pada bekas kopi di meja, jemari mengetuk-ngetuk pelan.
Tinggal satu yang belum jelas. Samuel.
Flamebringer sudah mencari di semua catatan Enkaku, di ponselnya; tak ada satupun yang menyebut tentang Samuel. Hanya kalendernya yang berkata demikian. Tebakannya bisa betul sejauh ini, mengenai Pak Arka dan teman-teman sekelasnya semasa kuliah. Mungkin saja ia akan benar lagi kali ini, mengenai Samuel. Rentenir, pasti. Kalau tidak ya pengemis, atau preman yang entah bagaimana terlibat dengan Enkaku. Yang mana saja, sejauh ini ia setuju dengan catatan Enkaku.
Siapapun, apapun Samuel dalam kehidupannya, lebih baik usir saja dari ambang pintu.
-
Flamebringer tidur di ranjang Enkaku, mengenakan pakaiannya, memakai peralatannya, menghisap rokoknya. Ia dengan setia menunggu panggilan pekerjaan dari Pak Arka, minum kopi enak yang harganya tidak bersahabat seminggu sekali, buang sampah dan membersihkan apartemen, menyapa balik resepsionis dan satpam. Ternyata, Enkaku adalah orang yang ramah. Atau ramah di luarnya saja, mana tahu. Orang ramah biasanya banyak kawan; kontak Enkaku isinya tukang listrik, demi Tuhan.
Selama beberapa minggu, ia menjalani hari di bawah bayangan Enkaku.
Sesekali, ia mengirimi Pak Arka foto saat diminta. Ia sebisa mungkin menirukan pose yang sudah-sudah agar tak terlihat mencurigakan. Meskipun sebenarnya ia juga tidak berpose muluk-muluk. Meskipun dunia mereka berbanding terbalik, namun ia rasa Enkaku tidak terlalu jauh dengannya soal sifat dan tabiat. Tidak mungkin juga kelakuan dan cara mereka menanggapi sesuatu bisa jauh berbeda, berhubung mereka orang yang sama. Hanya saja, mesti diakui kalau dibandingkan apati yang dianut Flamebringer, kepasrahan lebih cocok dengan Enkaku. Pria ini berpikir, kepalang tanggung, sekalian saja berendam kalau sudah basah, dan menjalani sisa harinya dengan ketertarikan yang dibatasi dinding tebal akan hidup dan dunia.
Ia pergi ke dokter, tertegun sesaat melihat Kal’tsit, dan mengedik. Ya kalau ada versi lain dari dirinya di sini, begitu juga dengan semua orang di Terra. Ia mengangguk saat Kal’tsit bicara, dan menjawab pertanyaannya dengan jelas karena baik di Terra maupun di Bumi, Kal’tsit adalah wanita yang dahsyat kadar intimidasinya. Ia diperiksa, diberi obat, ditanya-tanya lagi sebelum pulang, kemudian diperintahkan istirahat yang banyak. Menurut jurnal Enkaku, Kal’tsit adalah dokter yang menanganinya selama lima tahun terakhir. Ia tahu mengenai riwayat penyakit Enkaku. Barangkali itulah alasan mengapa mereka hanya memberinya rangkaian obat tanpa melakukan apapun yang berarti. Saat ini, yang mereka coba lakukan bukanlah menyelamatkan Enkaku, namun memperpanjang waktu.
Mereka dokter, mereka tak bodoh. Mereka tahu orang mati bahkan saat bertemu dengan napas yang masih saling bertukar.
Penjual benihnya mengenali Flamebringer dan ia mengertakkan gigi saat ia terpaksa harus menghabiskan waktu sepuluh menit untuk basa-basi mengobrol dengan wanita itu. Ya sudahlah, yang penting ia diberi benih ekstra. Iya, ia memang murah, bisa dibeli dengan dua paket benih. Dasar Pak Arka saja yang bodoh membayarnya puluhan juta untuk sekali senggama.
Yang mana, terjadi seminggu kemudian.
Ia tersenyum lamat-lamat saat melihat seorang pria yang cocok dengan deskripsi Pak Arka dengan baju yang ia kenakan. Tentu saja. Kepalanya mengangguk-angguk sembari ia melangkah, pringas-pringis saat ia berusaha menerima fakta bahwa ia tidur dengan Dokter. Tidak kaget, sih. ‘Toh di dimensinya mereka juga pernah menghabiskan malam berdua selama bekerja sama, tapi ini keadaan yang jelas beda. Jadi rasanya masih janggal. Kalau Dokter dan Pak Arka tidak jauh-jauh tabiatnya, setidaknya ia tahu ia sukanya bagaimana saat di ranjang.
Sebelum ia menghampiri lelaki itu, ia menghabiskan waktu cengar-cengir di dalam kamar mandi restoran terlebih dulu. Ini benar-benar konyol. Mati di pertempuran, dipindahtangankan ke dimensi lain, mesti menghidupi sisa hari tubuh sekarat ini, belajar hidup di planet orang, dan sekarang ia akan (berencana) tidur (lagi) dengan pria yang pernah membunuh bersamanya dalam perang sipil Kazdel.
Dokter di dimensi ini sudah lebih tua darinya. Mungkin sekitar empat-puluhan, menuju lima-puluh. Wajar, mengingat Enkaku juga sudah kepala tiga. Perawakannya sama; tinggi dan tegap, rambut hitam, kulit sawo matang, dan punya tatapan yang tajam meski raut wajahnya mengasihi. Yang berubah hanya matanya, dan beberapa helai uban yang sedikit nampak di sisi kepala. Matanya hitam, bukan lembayung. Namun itu juga tidak mengejutkan, mengingat mata jingga Flamebringer juga telah berubah menjadi cokelat cerah. Ia rasa, karena perbedaan darah dan DNA di dimensi ini, karakteristik fisik seperti itu juga tiada.
Ia menyapa Flamebringer dengan senyum hangat. Khas kebapakan sekali—ia mengira-ngira apa Pak Arka sudah memiliki momongan. Pria ini lebih serupa dengan pembawaan Dokter setelah ia amnesia, dibanding pria apatis dan haus kemenangan saat Flamebringer pertama mengenalnya. Santun sekali saat mereka berbincang. Ia terlihat terbiasa dengan cara Flamebringer bicara, dan mencentang satu lagi spekulasi yang betul. Jadi memang pembawaan mereka tidak terlalu berbeda. Ia rasa Enkaku juga hanya ramah-tamah pada orang di daftar kontaknya karena mereka mengenalnya lama. Sama saja dengannya.
Pak Arka persis seperti Dokter di ranjang, minus tendensi sadistik yang ekstrim. Ia senang bila Flamebringer membalas, namun tetap memegang kendali di ruangan. Ia tetap lebih suka mendominasi orang lain, namun permainannya lebih langsam, lebih halus. Setelah selesai, ia memeluk dan membelai Flamebringer sampai tertidur.
Saat mereka berpisah, ia mencium bibirnya lembut, dan pergi menggunakan taksi karena membawa mobil sendiri sama saja mengundang pengintaian istri. Saat taksinya sudah menghilang di kerumunan jalan, ponsel Flamebringer berdering. Pak Arka telah mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya, dan sebuah panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Nomornya tak disimpan, jadi barangkali tak penting.
Ia melambaikan tangan saat sebuah taksi mendekat, dan memberitahu alamat rumah yang sudah ia hafalkan selama dua hari di apartemen. Nama daerah di dunia ini masih terasa asing di lidahnya. Ia paham saat orang bicara karena osmosis dari pengalaman Enkaku, tapi tetap saja asing semua. Ia mengembus napas dan bersandar pada kursi taksi, mengamati jalanan yang mereka lalui dan mengingat-ingat rute yang diambil, bangunan di sisi kiri dan kanan jalan, orang-orang berlalu-lalang.
Ia mengedip, merasa sesuatu tersendat di tenggorokannya. Sentimen. Ia boleh saja apatis dengan dimensinya, namun ia terlahir di sana. Dunia ini mempunyai hampir semua yang dipunya dimensinya, orang-orang yang sama, namun ini bukan tempatnya dan Flamebringer hampir terkekeh saat ia berpikir, rasanya seperti rindu kampung halaman. Tapi ia tak bisa kembali; bagaimanapun, ini bukan sekadar liburan.
Saat ia turun dari taksi, satpam apartemen menyambutnya dengan roman muka berhias kekhawatiran. Keningnya mengernyit. “Ada apa?”
“Anu... itu Pak,” sang satpam terbata, menoleh kebelakang sesekali. “Itu—Mas Samuel datang lagi. Sekarang menunggu di depan apartemen Bapak.”
Matanya melebar. Ho, pikirnya, datang juga akhirnya. Nah, sekarang tinggal melihat siapa dan apa urusannya dengan Enkaku. ‘Toh kalau rentenir juga tinggal dibayar, meskipun ia tidak tahu berapa banyak yang dipinjam sampai tidak bisa terbayar gaji dari Pak Arka. Kalau bukan juga tak masalah, yang penting tahu dulu—
Setidaknya begitu yang dipikirkan beberapa menit lalu, sebelum keluar dari elevator dan menemukan Executor duduk di samping ambang pintu apartemennya. Ia berhenti sejenak, alis terangkat tinggi di kening, bingung. Jadi Samuel adalah Executor di dunia ini. Lalu ia ada di sini... kenapa?
Samuel—ugh, aneh sekali memanggilnya begitu. Flamebringer saja tidak pernah bicara dengan Executor, boro-boro memanggil namanya—menengadah saat ia mendekat. Flamebringer tercengang; meskipun dari fisik tak tampak jauh berbeda dari perawakannya di Terra, namun Executor terlihat muda di sini. Samar ia menyadari bahwa pria itu mengenakan seragam yang—oh Tuhan, bibirnya terbuka sedikit saat ia menyadari di mana ia pernah melihat seragam itu. Executor—Samuel, yang mana saja, bahkan belum jadi pria; ia masih seorang pemuda belia di sini. Itu seragam anak sekolah menengah atas. Memang Executor lebih muda beberapa tahun darinya berdasarkan informasi dari buku panduan operator, tapi Samuel umurnya setengah��dari umur Enkaku.
Ia tak mampu mencegah seringai lebar di wajahnya, membuat Executor/Samuel menatapnya terkejut. Kenapa? Tidak pernah lihat orang senyum? Bukannya dia sendiri yang tidak pernah tersenyum? Oh, ya. Itu Executor. Barangkali berbeda dengan Samuel. Sedekat ini, ia baru memerhatikan bahwa matanya tetaplah biru, dan terlihat polos. Seringai Flamebringer naik lebih tinggi. Luar biasa, sungguh luar biasa. Hiburan tanpa henti menantinya di dimensi ini.
“Enkaku?” panggil Samuel hati-hati.
Ia tersentak dari menertawakan Executor dalam kepalanya saat suara berat Samuel menyapa telinganya. Belum cukup berat, ia pernah mendengar Executor bicara dan nadanya lebih monoton juga. “Hm?”
“Kau oke?”
Oke? Oke? Executor yang ini tidak memakai kata-kata formal? Kerasukan Setan dari mana? Luar biasa.
“Oke,” jawabnya. “Tentu saja oke.” Bagaimana tidak kalau hiburannya menyenangkan begini?
Mata Samuel menyipit. “Oke karena baru pergi dengan ayahku?”
Senyum Flamebringer luntur seketika. Oh. Oh. Tidak mungkin. Tentu saja, tidak mungkin, ‘kan, ya? Tidak mungkin. Baru saja ia merasa sumringah. Kenapa ada saja yang membuyarkan kesenangannya seperti ini? Dengan cara begini pula.
Wajar saja mengusir Samuel termasuk dalam daftar. Siapa yang mau berurusan dengan anak dari om-om yang menjadikanmu simpanan? Bukan Flamebringer, yang pasti. Ia mengatur napas, berusaha kembali tenang dan menguasai diri. Usir saja, usir.
“Ada urusan apa?” tanyanya dengan suara datar.
Bibir Samuel sedikit berkerut mendengar perubahan nada bicaranya, ia nampak seperti anak yang baru saja disumpahserapah orangtua Lumayan mirip, berhubung status Flamebringer sekarang juga sudah patut dipanggil bapak, meskipun hanya oleh satpam dan resepsionis apartemen. Ia berusaha mendekat, namun Flamebringer melangkah mundur untuk menghindarinya. Jangan banyak bacot, otaknya mengingatkan. Sudah ditanya cepat-cepat suruh dia hengkang dari depan apartemennya.
“Cuma mau melihatmu,” Samuel kemudian menjawab, suaranya kecil dan lesu. Seperti sudah pasrah, seperti sudah terbiasa.
Ha. Hah. “Hah?”
Samuel menghela napas, tangannya terkepal erat di sisi kaki. “Dengar,” ia memulai.
Flamebringer makin mengerutkan kening; gila saja mau dengarkan dia komplain soal Flamebringer tidur dan menghabiskan uang ayahnya sementara mereka berselingkuh di balik punggung nyonya rumah. Tidak mau. Betul memang kalender di seluruh penjuru rumahnya. Saatnya mengusir anak ini. Heh, sempat ia terkekeh dalam hati, anak. Tidak menyangka akan datang hari di mana ia bisa ada di situasi tak masuk akal ini. Namun lagi, mati dan pindah dimensi jauh lebih tak masuk akal, jadi ia diam saja.
Ia tak menggubris Samuel, dan beringsut untuk membuka pintunya. Baru saja kunci masuk ke lubang, telapak lebar dan jemari kokoh mencengkeram lengannya. Ia berjengit, Enkaku betul-betul tidak sebanding dengan seberapa kuat Flamebringer sebenarnya. Dulu.
“Dengar dulu, Enkaku,” Samuel berkata, berusaha menahan Flamebringer di tempat. Tampangnya kurang lebih masih minim ekspresi, namun matanya lebih mudah dibaca. Lebih jujur. “Aku tahu kau bilang aku masih muda, tapi tolong dengarkan. Beri aku kesempatan dulu, oke? Kenapa tidak coba pacaran denganku dulu? Coba saja, kau boleh pergi kalau tidak—“
Ia tak melanjutkan lagi kata-katanya saat Flamebringer menyentak paksa lengannya dari cengkeraman Samuel. Cepat-cepat ia memutar kunci apartemen, dan mendorong pintu terbuka. Gila, ini lebih gila dari anak klien yang ingin menghujat Flamebringer karena berselingkuh dengan ayahnya. Gila sudah dunia ini.
“Enkaku—Enkaku!” Samuel berusaha mengikutinya masuk, namun Flamebringer buru-buru menutup pintu. Meskipun begitu, ia masih sanggup menahan pintu dengan sebelah tangan, satunya mencengkeram ambang pintu sampai buku-buku jarinya memutih. “Aku bisa berikan apapun yang ayahku berikan, oke? Sex, apartemen, mobil, uang—berapapun dia membayarmu, aku bisa membayar lebih. Jadi tolong—“
“Sinting!” Flamebringer akhirnya bersuara, tidak tahan untuk tidak mengumpat mendengar ucapan Samuel yang makin lama makin membuat kepalanya berputar. Sinting, ia juga sinting karena tidak mengira ini akan terjadi. Jelas-jelas sampai ditulis di semua kalender meskipun tidak ada satupun jurnal maupun isi ponsel mengenai Samuel. Ia menggebrak pintu hingga tertutup, dan menggerendel semua selot kunci.
Ia tak mendengar suara Samuel lagi, dan pemuda itu tak mencoba memaksa masuk. Namun beberapa saat kemudian, ia mendengar, “Aku tidak akan menyerah,” sebelum langkah kakinya terdengar menjauh dari pintu. Saat ia mendengar dering elevator, baru ia berani bernapas lega. Kepalanya menggeleng tiada henti, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Enkaku mengusir Samuel bukan karena ia meniduri ayahnya, tapi karena Samuel ingin menidurinya. Sinting—sudah sinting semua. Punggungnya merosot turun dari sanggaannya di pintu, bingung dan kaget. Anak itu—apa? Lima-belas? Tujuh-belas tahun? Oh Tuhan, usia Flamebringer saat ini saja lebih dari dua kali lipatnya usia Samuel. Dan anak itu mau tidur dengannya? Mau senggama? Mau praktek kawin, main pintu belakang, adu pedang, dengannya? Dia saja masih bocah.
Dinilai dari reaksi satpam, dan cara Samuel bicara, serta kalender Enkaku, ini bukan kali pertama Samuel datang ke sini dengan maksud yang sama. Hah. Hah. Apa? Bagaimana? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Ia buru-buru membuka balkoni, dan mengeluarkan rokok. Baru saat ia sudah menyesap beberapa hisap nikotin, kepalanya mulai bisa berpikir jernih kembali. Untuk apa pula ia sampai panik begitu? ‘Toh hal-hal tidak diduga seperti ini sudah seharusnya diprediksi. Sudah semestinya ia bisa jadi cukup flexibel untuk menangani apapun yang berusaha dilemparkan semesta padanya. Ia mengembuskan asap rokok bersama dengan hela napas lelah. Ia mendongak pada langit biru Bumi, dan mengangkat jari tengahnya lagi.
“Mati saja kau, bangsat,” umpatnya, meskipun tahu, semesta sedang tertawa.
-
Sudah hampir setengah tahun sejak ia dilempar dengan tidak sopan ke sini. Sedikit tidaknya, ia mulai terbiasa dengan adab Bumi. Mulai berbincang dengan satpam dan resepsionis, perlahan menolerir penjual bibit yang terlalu ceria, mengurus tanaman di rumah, dan bersih-bersih. Ia tidak menyangka ia akan seniat ini, tapi ia tidak punya kegiatan lain. Ia coba olahraga, meskipun cuma sanggup dua-puluh menit karena tubuhnya tak kuat. Tapi selain nonton televisi, jalan-jalan, kencan dengan Pak Arka dan minum kopi, Flamebringer betul-betul tak punya kesibukan. Ia mendengus, santai sekali hidup manusia sekarat satu ini.
Orangtua Enkaku tak pernah menghubunginya sejak usianya dua-puluh-delapan. Ternyata ia ketahuan saat sedang pergi dengan Pak Arka, kena usir, dan dicoret dari silsilah keluarga. Ia tak sewot soal itu; Flamebringer pikir itu juga karena Enkaku memang punya apati yang sama dengannya, dan karena ia sudah kaya. Uang itu penting, bagi keduanya. Bisa beli senjata dan bibit bunga, bisa makan dan minum, bisa beli rokok. Kurang penting apa lagi? Jadi dengan cucuran uang dari perkerjaannya sebagai lacur eksklusif, ia sudah lebih dari berkecukupan, bahkan lebih dari saat ia masih bersama keluarganya.
Ia datang ke dokter dengan rutin, bayar dengan uang hasil keringat saat senggama, dan berkunjung ke pemakaman umum untuk pertama dan terakhir kalinya. Ia tidak mengenal orang-orang ini, tidak merasa kasihan dan sedih atas kematian mereka, tidak tahu cerita mereka pula. Yang bisa ia lakukan hanya menyampaikan salam terakhir, dan berpamitan. Enkaku sudah lenyap dari dunia ini. Flamebringer tidak perlu repot melakukan sesuatu yang tidak berguna untuknya, bahkan demi sebuah sentimen.
Samuel datang setiap ia pulang bertemu dengan Pak Arka, dan bila mereka hanya bertemu satu-dua kali, Samuel akan datang pada hari Minggu, jam sembilan pagi, tanpa pernah terlewat sekalipun. Dedikasinya tinggi, Flamebringer akui. Tentu saja, secara estetika, ia enak dipandang. Tubuhnya bagus, dan ia ambisius sekali mau kencan dengan Flamebringer. Namun lagi, meskipun ia legal (Flamebringer meneriakinya bocah suatu kali, dan Samuel berkutat dengan dompetnya untuk mengeluarkan KTP. Usianya delapan-belas) ia tetap tak tertarik tidur dengan anak kliennya. Canggung betul. Malam bersetubuh dengan ayahanda, di pagi hari bergumul di ranjang dengan ananda. Lagipula, mana sanggup Samuel membayarnya sama besar dengan Pak Arka.
“Uang darimana?” ia bertanya dengan nada datar suatu hari, wajahnya jengkel luar biasa karena diganggu saat sedang sikat gigi. Ia masih memegang gagang sikat di satu tangan, masih memakai piyama (betul, Enkaku tidur pakai piyama yang harganya hampir setara dua kali gaji Flamebringer di Terra). “Uang bapakmu juga kan? Mau bilang kau pakai uang ibumu? Lebih tidak etis lagi.”
Samuel nampak sedikit malu mendengar omongannya. Mungkin kena telak di ulu hati. Bagus, sekalian muntah karena fakta. Ia menggeleng, masih kukuh ingin bicara. “Aku juga bekerja, dan punya tabungan sendiri.”
“Iya, kerja sampingan di tempat bapakmu ‘toh? Tabungan juga mengumpulkan uang yang diberikan orangtuamu? Coba kau menghadap bapak ibumu, terus cerita kalau uang dari mereka, uang kerjamu juga, kau pakai buat tidur dengan om-om.”
“Tidak melulu harus tidur denganmu,” kata Samuel, tidak menepis bagian terakhir. Betul memang ia keras sekali berkeinginan bergumul di balik selimut dengan lelaki yang matang secara umur dan fisik. “Aku ingin kencan denganmu.”
“Aku tidak mau mengencanimu,” potongnya langsung.
Samuel mengangguk, sudah kebal ditolak rupanya. Tangguh juga anak ini, tapi tetap saja tidak mengubah fakta kalau ia merepotkan, dan menjengkelkan. Ia rindu Executor, meskipun mereka tak dekat. Setidaknya Executor tidak akan mengganggunya begini. Ia mau Executor asli yang bicara formal, lebih mirip mesin dibanding manusia, dan tidak datang tiap hari Minggu untuk membujuk Flamebringer agar mau jadi kekasihnya.
“Ya justru karena itu, apapun hubungan yang kau mau, aku akan sanggupi,” pemuda itu melanjutkan. Asing rasanya mendengar aku dari bibir yang selama ini ia ingat hanya merapal saya. Lebih manusiawi memang, namun asing. “Kalaupun harus sama dengan ayahku. Aku bisa, ya? Aku bisa.”
Flamebringer menghela napas. Ia mulai lelah dengan kegiatan tarik-menarik yang tidak akan ada gunanya ini. Lebih baik pangkas saat masih kuncup, meskipun Samuel sudah terbukti sebagai rumput liar yang masih akan tumbuh meski dicabut sampai ke akar. Ia mencabut sikat gigi dari mulutnya—Samuel menjelaskan panjang lebar begitu, lebih baik ia melanjutkan menyikat gigi belakang—dan memasang tampang yang lebih pengertian dari wajah judes beberapa saat lalu.
“Dengar,” katanya. “Pak Arka membayarku empat-puluh juta tiap bertemu, sering membelikan barang yang harganya mungkin lebih mahal dari SPP sekolah kelas elite-mu itu, dan masih mengiriku dua-puluh-lima juta per-bulan terlepas dari kami bertemu atau tidak. Ia bisa memuaskanku di ranjang, peduli padaku, tidak menggangguku, dan secara garis besar adalah kandidat yang lebih bagus. Yang bisa kau tawarkan apa kepadaku?”
Samuel diam dihujani perkataan menusuk seperti itu. Ia terperangah, tak berkata-kata sejenak. Mungkin ini pertama kalinya ia bicara begini panjang lebar dengan Enkaku, dan pertama kalinya dihantam kromo seperti itu. Wajah pasifnya mengeras makin lama ia diam. Mata birunya, yang barangkali ia warisi dari ibu, menatap tajam wajah cuek Flamebringer. Sejenak, ia terlihat seperti Executor.
“Betul,” ucapnya lambat, tekanan silabelnya pasti. “Tidak ada yang bisa saya tawarkan, yang tidak mampu dilakukan lebih baik oleh ayah saya. Tapi Anda juga masih belum mengembalikan cincin pemberian saya, dan masih terus meladeni kedatangan saya hingga kini.”
Alis Flamebringer naik. Oh? Sudah kembali lagi ke bahasa formal Executor? Tipikal yang marah jadi sopan? Atau memang pembawaan aslinya seperti itu, dan melenceng di pertengah jalan karena pergaulan yang lebih santai dari kehidupannya? Yang manapun, masih tidak mengubah fakta bahwa Enkaku punya urusan lebih jauh dengan Samuel dari sekadar yang dapat Flamebringer pahami.
“Cincin?” tanyanya.
Wajah Samuel mencelos. Ia nampak belia kembali, nampak sakit hati. “Anda... lupa? Atau memang sudah Anda buang?”
Cincin... memang ada kotak cincin di laci meja di kamarnya. Itu pemberian Samuel? Kalau sudah sampai memberi cincin—dan diterima—lalu kenapa sampai harus ada drama picisan usir-mengusir seperti ini? Flamebringer tidak mau tahu, tak mau urus. Namun lagi, wajah kecewa Samuel membuat jantungnya berdenyut. Ia menghela napas, memutar bola mata dan menatap langit-langit; frustasi. Ia tidak merasa apa-apa saat berhenti mengunjungi pemakaman, tapi menolak bocah ini dan Enkaku seolah kembali dari entah dimensi mana untuk membuat tubuhnya mengingat rasa yang Flamebringer tak pahami. Ia merutuk dalam hati. Ya kalau masih punya urusan dengan orang lain, jangan suruh ia datang ke sini dulu. Lagipula kalau memang suka, untuk apa pula usir-usir?
“Masih ada,” katanya kemudian. “Oke, begini. Aku masih meladeni karena kau terus-terusan datang. Kubilang sekali lagi, jangan mempersulit urusanku, oke? Aku tidur dengan ayahmu. Aku tidak mau tidur denganmu juga.”
“Anda bisa berhenti berhubungan dengan ayah saya,” usul Samuel dengan tampang polos.
Flamebringer nyengir, mengejutkan Samuel yang mungkin tak terbiasa dapat perlakuan sesantai ini dari Enkaku. Tidak lagi, setidaknya, bila menilik masa lalu mereka yang masih tak ia ketahui. “Bisa,” katanya, dan hampir kasihan saat wajah Samuel terlihat cerah. “Tapi bukan karena mau pacaran dengan kau juga.”
Alis Samuel berkerut. Ia nampak kecewa, namun terbiasa. Flamebringer menengadah lagi, minta bantuan semesta agar dijauhkan dari konflik romansa tidak penting seperti ini. Tentu saja tidak dijawab, tapi ia juga bingung mau bersikap bagaimana.
“Harus betul pacaran denganku?” tanya Flamebringer kemudian.
“Iya,” jawab Samuel.
“Kau—oke. Aku tidak mau punya hubungan asmara dengan anak seusiamu, aku juga tidak mau tidur denganmu karena kau pasti minta lebih. Minta jalan-jalan lah, minta dipeluk lah, minta jadi kekasih lah. Tidak minat,” katanya. Sudah paling baik begini. Bagaimanapun perasaan Enkaku terhadap Samuel, Flamebringer tetap bukanlah Enkaku. Kalau ia dikirim ke sini untuk mengambil kemudi tubuh Enkaku, maka kemudinya akan berjalan sesuai yang Flamebringer mau. Ia hanya akan memberi keringanan pada Enkaku dengan tetap terlibat dengan bocah sinting ini. “Tapi kau bisa berteman denganku, oke? Main ke sini, atau apalah. Asal kau tidak duduk-duduk di depan macam pengemis. Satpam apartemenku juga khawatir dengan kelakuanmu.”
Wajah Samuel masih sama pasifnya, sama datarnya, tapi matanya—oh, Tuhan, matanya berbinar. Ia menatap Flamebringer seolah tengah bermimpi. “Betul... boleh?”
Ia mengangguk. “Boleh, asal tidak pegang-pegang, dan tidak ambil kesempatan dalam kesempitan. Kau pilih saja, berteman denganku tanpa sama sekali mengajakku kencan. Atau kau bisa cari cara memanjat sampai ke lantai apartemenku karena namamu akan dimasukkan daftar hitam pengunjung apartemen setelah ini.”
“Baik,” Samuel serta merta menyanggupi, setitik saja tidak terdengar keraguan di suaranya. “Saya tidak akan minta kencan lagi.”
Flamebringer menyeringai. Gampang sekali mengolok anak-anak, pikirnya. Bagaimanapun, perasaan Samuel akan terus mengental seiring dengan kontak dekat dan rutin. Tapi itu sudah bukan urusan Flamebringer. “Hentikan bacot tolol soal ingin jadi kekasihku, oke? Jadilah anak normal yang tidak minat dengan om-om.”
“Oke,” kata Samuel lagi, kosakatanya kembali informal. Flamebringer mulai berpikir, barangkali Enkaku-lah yang membuat pemuda ini mulai bicara seperti manusia normal. Cukup dekat juga berarti dulu. Yang mana membuat ia ingin mengejek bayangannya sendiri. Atas tujuan apa dekat-dekat dengan anak lelaki yang lebih muda dengannya? Yang semasa mereka dekat mungkin masih belum balig.
Ia mengangguk, mulai berbalik untuk menyelesaikan sikat gigi. Tangan Samuel kembali mencegahnya. Ia menghela napas. “Datangnya lain kali saja, hari ini aku mau bersantai sendiri.”
“Itu...” ia terbata, terlihat agak tak nyaman. “Ayah—“
Raut muka Flamebringer langsung rata. “Aku tidak akan berhenti bertemu ayahmu cuma karena kau tidak suka. Ya sesukamu juga, mau terima oke, tidak juga tidak masalah.”
Samuel tampak seperti sedang menelan lemon berbalut cuka makan. Wajahnya masam sekali sampai Flamebringer hampir tertawa. Ia menghela napas, kemudian menggeleng. “Tidak apa. Aku boleh datang berarti minggu depan?”
“Hnm,” gumamnya, melepaskan lengannya dari Samuel, dan menelisip masuk. “Minggu depan oke. Sekarang, enyah.”
Ia tak menunggu jawaban Samuel sebelum menutup pintu di muka datarnya.
Satu minggu kemudian, Pak Arka menghubunginya—ingin bertemu. Flamebringer agak keki, sebetulnya. Karena esok Samuel pasti datang. Namun lagi, ia sudah memberitahunya dengan jelas bahwa ia akan tetap melanjutkan pekerjaan dengan Pak Arka. Jadi mau Samuel senang atau sebal, not his motherfucking business.
Ia kadang bertanya-tanya; kapan Enkaku dan Samuel kenal? Sebelum ia bekerja dengan Pak Arka? Atau sebelum? Pak Arka tahu tidak kalau puteranya suka nongkrong di depan pintu Flamebringer, merengek minta kencan? Darimana Pak Arka kenal dengan Enkaku? Apa hubungan Samuel dan Enkaku sebetulnya?
Sama dengan anaknya, tak ada satupun cerita mengenai Pak Arka di jurnal Enkaku. Mungkin karena ia membatasi mereka dalam kehidupan pribadinya, karena hubungan di antara ketiganya yang rumit. Enkaku lebih sensitif dari Flamebringer, rupanya. Karena boro-boro mau mempertahankan dinamika seperti itu selama bertahun-tahun, baru setengah tahun saja ia sudah menyerah. Persetan, kalau tidak suka ya tinggal suruh Flamebringer kembali jadi debu semesta setelah kematian.
Ia setengah berencana untuk bertanya pada Pak Arka, tapi rasanya—kagok. Kata-katanya tersendat di tenggorokan. Ia tak mampu bicara soal Samuel, tidak nyaman. Tidak saat Pak Arka mencumbunya halus, menelanjanginya dengan kesopanan yang membuat Flamebringer berpikir dari sini berarti tata krama zaman Viktoria anak itu. Meskipun wajahnya adalah wajah familiar Dokter, namun perlahan Flamebringer mulai menyadari sedikit perbedaan. Bila harus duduk diam dan menilik lagi, Pak Arka dan Samuel punya kemiripan satu sama lain. Meskipun, ia rasa, Samuel barangkali lebih condong pada DNA ibunya.
Ia hampir bergidik saat itu juga. Buat apa memikirkan kemiripan Pak Arka dan Samuel saat ia hendak bercumbu dengan salah satunya? Lama-lama meladeni Samuel membuatnya sinting juga.
Mereka menghabiskan malam seperti biasa. Pak Arka menciumnya lembut sebelum pergi seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, dan mengirimkan sejumlah uang setelah pergi dengan taksi. Flamebringer pulang dengan langkah gontai. Sudah hampir jam sembilan, Samuel pasti tahu ia kemana. Entah darimana anak itu bisa terus-menerus tahu kapan ia dan Pak Arka bertemu. Mengintip? Atau mengamati gelagat bapaknya di rumah? Istrinya memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?
Ia menggelengkan kepala. Tidak perlu dipikirkan, ujarnya pada diri sendiri. Tinggal hidup, lalu mati. Jangan diambil pusing, jangan terlalu dalam terlibat dengan orang lain. Nanti tersangkut benang takdir baru tahu rasa.
“Selamat pagi, Pak Enkaku,” sapa satpam apartment. “Mas Samuel ada di atas, Pak. Butuh saya bantu, atau...?”
Ia tersenyum kecil. “Tidak perlu. Aku yang suruh.”
Si satpam nampak terkejut, namun cukup sopan untuk tak mengatakan apapun. Mereka menghargai kliennya, meskipun ini bukan apartemen elite kelas atas. Flamebringer selalu membawa bekas cumbu Pak Arka saat pulang, cupang di kiri dan kanan leher, turun sampai ke tulang selangka. Tak pernah sekalipun mereka menatap lancang padanya bahkan dengan penampilan seperti itu, bahkan meski mereka tahu ia bekerja seperti ini selama bertahun-tahun. Barangkali inilah alasan Enkaku tinggal di apartemen kecil ini, dan mengapa kontak pribadi mereka bisa masuk ke ponselnya.
“Naik dulu,” ia mengangguk pada satpam dan resepsionis. Keduanya mengangguk balik, tersenyum.
Executor—Samuel, menunggunya di depan pintu saat ia keluar dari elevator. Ia berdiri saat Flamebringer mendekat. “Selamat pagi,” sapanya.
Flamebringer meliriknya sebentar sembari membuka pintu. Samuel terlihat seperti anak muda pada umumnya—jeans, kemeja, jaket trendi, sepatu yang ia yakin harganya meroket karena brand value. Namun ia begitu rapi; ada aura tersendiri yang membedakannya dengan remaja seusianya. Ia membawa diri dengan cara seseorang yang lebih tua, yang tahu apa yang ia lakukan. Ya, kecuali cara merayu Enkaku, jelas. Bertahun-tahun masih kena tolak sudah cukup jadi bukti.
Ia, juga, membawa bunga. Salvia dan edelweiss. Flamebringer memutar bola matanya. “Masuk,” katanya, melangkah lebih dulu dan menutup pintu di balik punggung Samuel. “Sini,” ia menyodorkan telapak, meminta bunga yang di bawa pemuda itu.
Samuel nampak gelagapan dengan sikap ringkasnya. Ia menyerahkan ikatan salvia dan edelweiss pada Flamebringer, yang segera mencarikan tempat untuk meletakkan mereka. Ia merendam mereka dalam sebuah botol, dan meletakkannya di atas lemari sepinggang di ruang tengah. Samuel masih berdiri di depan pintu ketika ia mulai menggantungkan kardigan. “Kemarin antusias betul mau datang. Sekarang sudah masuk malah macam ikan keluar dari air,” sindirnya.
Pemuda itu menghirup napas dalam, kemudian melepas sepatu dan jaket yang dikenakan. “Permisi,” katanya.
“Sudah sarapan?” tanya Flamebringer. Samuel mengangguk. “Oke, duduk saja di sana. Nonton TV, main gim, apalah. Ambil makanan di kulkas kalau lapar, aku mau ganti baju.”
Saat ia keluar, Samuel sudah menyalakan TV, namun ia sendiri tengah membaca sebuah buku yang Flamebringer tahu ia ambil dari atas lemari. Anak ini familiar dengan apartemennya. Pernah masuk juga berarti. Ia kagok di awal mungkin karena sudah lama tidak menginjakkan kaki ke sini. Flamebringer menutup pintu kamar, dan duduk di sampingnya, menengok ke halaman yang ia baca.
“Kau suka ceritanya?” tanyanya basa-basi. Kalau ini Executor, mungkin akan dijawab tidak. Ia memang tak kenal lelaki itu, tapi dari tingkah dan cara bicaranya saja sudah ia terka kalau hobinya mungkin membaca Undang-Undang Laterano di waktu senggang.
“Tidak.” Bibir Flamebringer merekah dalam seringai, bingo. “Saya lebih suka baca karya non-fiksi.”
“Seperti Undang-Undang Negara?”
Samuel tersenyum. “Kau masih ingat.”
Seringai Flamebringer runtuh lebih cepat dari abu rokok yang sudah berat di ujung puntung. Oh, ya. Mereka kenal sejak dulu. Ia mengangguk, kemudian beranjak untuk membuat sarapan. Ia tak mengajak Samuel mengobrol, Samuel juga tak bersuara sementara ia membaca dan Flamebringer membuat sarapan. Baru saat ia selesai makan, ia berbalik dan menjatuhkan diri di samping Samuel lagi.
“Kapan aku dan kau bertemu pertama kali?” tanyanya, menatap layar televisi dan mengamati ekspresi heran Samuel hanya dari sudut matanya.
“Delapan tahun lalu,” jawabnya. “Ada apa?”
Flamebringer tak menjawab pertanyaannya, lebih memilih untuk melancarkan pertanyaan lain. “Kenapa bisa bertemu?”
“Enkaku?” wajah Samuel mulai khawatir. “Ada apa?”
Ia mendecakkan lidah. “Jawab saja.”
Samuel mengerutkan alis, namun tetap menjawab. “Kau bekerja di toko bunga di depan kantor ayahku. Ibu sering langganan dan mengajakku. Kita bertemu, kau kadang memberiku kue kalau Ibu sedang mengobrol dengan tante pemilik toko.”
Hatinya mencelos. “Toko bunga disebelah minimarket dan restoran ramen?”
Pemuda di sebelahnya meletakkan buku yang ia baca, dan membenahi posisi duduk agar ia dapat melihat Flamebringer dengan jelas. “Enkaku,” panggilnya. “Apa maksudmu bertanya seperti ini?”
Flamebringer menolehnya, tatapannya menusuk dan dingin. “Kau tidak mau jawab?”
Samuel nampak merasa bersalah, dan menggeleng. “Bukan begitu.”
“Jawab saja pertanyaanku kalau begitu,” ujarnya, menoleh kembali pada televisi dan membiarkan Samuel berkutat dengan kebingungan. Selama ia memberi informasi yang ia butuhkan, ia tak peduli dengan perasaan pemuda itu.
“Ya,” Samuel buka mulut beberapa saat kemudian. “Iya, toko bunga yang itu.”
Ia mengangguk lamat-lamat. Wajar saja wanita itu akrab sekali dengannya. Mantan bos, ternyata. Ia melanjutkan, “Cuma sekedar langganan beli bunga. Kenapa bisa kau sebegitunya bergelayut padaku?”
Napas yang ditarik Samuel terdengar keras, tajam. Seolah ia tak percaya dengan untaian kata yang meluncur dengan mudahnya dari bibir lelaki ini. “Anda...” suaranya bergetar sedikit. Flamebringer mengabaikan denyut jantungnya yang mulai tak nyaman saat menyadari bahwa Samuel mungkin merasakan kecamuk perasaan sampai kembali ke pola bicara yang formal. “Anda baik pada saya, dan mengajak saya bicara seperti orang biasa meskipun saya hanya anak sepuluh tahun. Lama-lama Ibu kadang menitip saya di sana kalau ada keperluan mendadak, Anda bilang tidak keberatan mengasuh saya sebentar karena di toko bunga juga tidak terlalu sibuk. Tante juga setuju, karena Ibu adalah pelanggan setia.”
Ia berhenti sesaat. Flamebringer menolehnya, kemudian mengembuskan napas dan meraih remot untuk mematikan TV. Ia berbalik dan menghadap Samuel, masih menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi dan mata yang mengamati. “Lalu?”
Samuel tersentak dari lamunannya. Wajah yang biasanya sedikit ekspresif kini kembali mengeras, menutup diri. Namun matanya jujur, ia khawatir. “Enka—“
“Lalu?” gertak Flamebringer.
Samuel mengertakkan gigi, membuang pandang. Ia baru bicara setelah agak lama. “Ya terus begitu, saya senang dekat dengan Anda karena Anda tidak memandang remeh atau rendah terhadap saya. Tapi Anda juga mengerti kalau saya masih belia. Anda bilang kita boleh jadi teman, saya bisa berkeluh kesah pada Anda. Saya mulai pergi sendiri menemui Anda sejak saya diizinkan, kita dekat dari sana.”
Flamebringer mual, mual sekali. Sesakit apa Enkaku sampai mau mendekati anak di bawah umur?
“Apa aku pernah melakukan sesuatu kepadamu?” tanyanya.
“Tidak,” Samuel menggeleng, kemudian wajahnya melunak. “Anda yang pertama kali menyadari bahwa saya menyukai Anda, dan mulai membatasi jarak di antara kita. Saat saya menyatakan perasaan, Anda menolak. Saya serahkan cincin saya karena saya masih terlampau sensitif saat itu. Saya tidak mau menerima bahwa Anda tidak hanya menolak, namun juga tidak ingin saya menghubungi Anda lagi.”
Ia menghela napas. Lega. Jadi bukan karena ia menyukai Samuel yang masih terlalu muda, hanya Samuel saja yang mengalami fase Hero Worship yang berlanjut hingga mengakar. “Tidakkah kau pikir kau hanya sedang mengalami—“
“Fase Hero Worship?” potong Samuel. Ia tersenyum kecut. “Anda juga berkata begitu dua tahun lalu.”
Dan Samuel masih mengejarnya hingga kini? Flamebringer mesti memberi penghargaan pada anak ini. Gigih betul. Ia tak akan mencoba meremehkan perasaan Samuel dengan mengatakan bahwa ia tak mengerti. Anak ini jelas jauh lebih inteligen dan bijak dari kawan-kawannya. Sudah dewasa sebelum waktunya karena lingkungan. Pemuda ini barangkali menyadari bahwa ia memuja Enkaku sedemikian rupa karena ia satu-satunya orang yang cukup dekat, yang menganggap Samuel sebagai lawan bicara yang setara, namun masih mengayomi karena ia masih sepuluh tahun, demi Tuhan.
“Kapan kau tahu aku mulai tidur dengan ayahmu?”
Jemari Samuel mengepal, rahangnya mengejang sesaat sebelum posturnya melemas. Flamebringer mengangkat alis. Drama picisan macam apa ini. Mungkin sesudah ini ia mesti pindah kota, pindah negara kalau perlu. Biar tak perlu repot dengan Samuel dan Pak Arka.
“Sejak awal,” katanya dengan geraman rendah.
Flamebringer menyentil kepalanya pelan, membuatnya terperangah. “Biasa saja jawabnya. Baik kau maupun Pak Arka bukan kekasihku. Apa hakmu, ataupun dia, untuk merasa kesal atas apa yang terjadi dalam hidupku? Kalau kau kesal karena kau khawatir dengan ibumu, ya boleh saja. Tapi cicak di kolong mejaku juga tahu kau kesal karena cemburu. Bisa tidak, berhenti berpikir pakai emosi? Kau berjanji padaku. Kau masuk ke sini, kau cuma teman. Kau tidak bisa bersikap demikian, minggat kau dari rumahku.”
Alis Samuel berkerut, kepalanya tertunduk sementara ia menenangkan diri. Flamebringer beranjak untuk mengambil segelas air, dan menawarkan padanya. “Aku stres lihat kau punya banyak emosi begitu. Biasanya kau seperti robot.”
Sesaat, wajah Samuel kosong. “Maaf?”
Oh, ya. Yang itu Executor. Meh. “Kau terserah mau apa, aku mau merokok. Kurasa aku juga tidak mau dengar kau bicara kalau kau begitu terus.”
Ia melenggang pergi dari ruang tamu, dan menutup pintu menuju balkoni dibelakangnya. Di luar agak mendung. Ia bersyukur balkoninya terlindungi. Kalau hujan juga tidak akan kecipratan air, kecuali anginnya kencang. Ia duduk di lantai balkon, dan mengeluarkan rokok dari saku celana. Masa bodoh Samuel mau melakukan apa. Ia bilang bisa berkunjung ke sini, tidak bilang ia punya tanggung jawab menghibur dan meladeni pemuda itu.
Hanya saja, tidak sampai sepuluh menit kemudian, pintu di belakangnya bergeser terbuka, dan Samuel melangkah ke balkoni. Ia menoleh sejenak, dan melanjutkan melamun sambil menatap jendela-jendela di gedung perkantoran di seberang jalan. “Tutup pintunya, nanti A/C-nya tidak dingin.”
Samuel patuh, dan menutup pintu sebelum duduk di sampingnya. “Anda masih merokok?”
Flamebringer mendengus, kemudian terkekeh kecil. “Ya jelas begitu ‘kan? Kau kalau mau menceramahiku soal mati karena kanker paru-paru, mending kembali ke dalam. Pulang sekalian. Kalau mau duduk di sini ya agak jauh, nanti asapnya terhirup pula.”
“Tidak,” jawabnya. “Sudah terbiasa. Silakan, saya tidak berminat mengomentari cara hidup Anda.”
“Bagus,” sahutnya.
Mereka diam lama, sampai Flamebringer habis beberapa batang rokok. Ia mengira Samuel sudah ketiduran, tapi pemuda itu sedang memperhatikannya. “Creep,” umpatnya, membiarkan bahasa lama dari Terra terdengar. Samuel tidak perlu tahu dia omong apa, biar kedepannya ia bisa mengumpat dengan lebih sejahtera.
“Anda ini...” Samuel memulai. Ia terlihat ragu sesaat, namun menelan keraguan dan melanjutkan, “Anda bukan Enkaku, ‘kan?”
Jantung Flamebringer mencelos. Ia menatap Samuel. Bagaimana bisa ia tahu secepat ini? Namun lagi, ia tak merasa ia mau berbohong. Biarkan saja. Mungkin dengan begitu, Samuel akan meninggalkannya.
Wajahnya netral saat ia berkata, “Bukan.”
“Oh,” Samuel berbisik. Ia meneguk ludah, kemudian menatap ke depan balkoni. “Baiklah.”
“Kenapa? Karena aku menanyaimu dari tadi?”
Samuel menggeleng. “Enkaku tidak akan pernah membiarkan saya kembali, meskipun dia menyayangi saya. Anda bersikap seperti saat Enkaku pertama mengenal saya, hanya saja lebih kasar dan cuek. Anda juga lebih bisa menerima perasaan saya, dan kecemburuan saya terhadap Ayah.”
Ia menghela napas, bersandar pada dinding kaca. Anak ini betul-betul menyukai Enkaku, huh? Ia tahu mereka orang yang berbeda dalam waktu singkat, dan masih mampu berpikir jernih di antara interaksi mereka. Cukup jernih untuk menganalisa dan mengambil kesimpulan. Cerdik dan setia sampai mampus dengan orang yang entah sudah mati, entah dikirim ke dimensi lain seperti Flamebringer.
“Aku tidak mengerti orang itu seperti apa,” mulainya. “Tapi kalau dia sayang kau, kenapa kau malah berpikir aneh kalau aku mengizinkanmu ke sini lagi? Kurasa setelah bertahun-tahun jadi simpanan Pak Arka juga tentu saja ia akan paham soal perasaanmu terhadap hubungan mereka. Apa yang aneh?”
Sudut bibir Samuel terangkat dalam senyum hambar. Ia menoleh, menaut netra Flamebringer dalam tatapan yang membuat ia hampir tercekik napas sendiri. Pedih, kecewa, pasrah—Samuel memberikan semuanya pada Flamebringer, dan ia terhuyung di bawah beban perasaan pemuda itu.
“Bukan kasih yang lebih dari sekadar teman. Enkaku... jatuh cinta pada ayah saya,” ucapnya dengan suara lirih. “Kalau ia dengar apa yang saya ucapkan pada Anda saat itu, saat saya mencoba menyamakan diri dengan Ayah, saya pasti sudah kena tampar.”
Hatinya terenyuh. Sebegitunya. Sebegitu bodoh dan rumitnya perasaan manusia. Ia mengedip, menelan kembali kata-katanya, dan berpikir. Inilah mengapa Enkaku lebih memilih pergi dari keluarga dibanding meninggalkan pria itu, pun meski ia beristri. Ia jatuh cinta. Pak Arka sendiri... Flamebringer tersenyum miris. Pak Arka menyukai Enkaku, dan mengasihinya begitu besar, namun tidak seperti Enkaku yang jatuh cinta. Itulah alasan mengapa ia tak menyadari bahwa orang yang ia sentuh bukanlah pria yang sama.
“Ibumu?” tanyanya kemudian.
“Ibu dan Ayah menikah karena dijodohkan. Ia cuma meminta agar Ayah tidak sembrono dengan perselingkuhannya agar tidak menggegerkan keluarga besar; Saya dengar saat mereka bicara,” ia menatap Flamebringer lagi. “Dua tahun setelah saya bertemu Enkaku.”
Ia menghela napas entah sudah keberapa kalinya. Jelas sudah. Sekarang, tinggal bagaimana ia akan menyikapi kedua lelaki ini. Ia mengeluarkan sebatang rokok lagi. “Kau—mau bagaimana sekarang? Kau sudah tahu aku bukan Enkaku. Aku tidak mengingat sejarahmu dengannya, dan meskipun aku terlihat seperti dia, terdengar seperti dia, aku bukan Enkaku.”
Samuel memberinya anggukan kecil. “Saya tahu. Tapi tetap tidak bisa merubah fakta bahwa Anda terlihat seperti orang yang saya kasihi. Butuh waktu bagi saya untuk memahami dan menerima kalau—“ ia diam, tidak sanggup melanjutkan.
“Dia sudah mati,” Flamebringer melanjutkan untuknya, hanya karena ia prihatin, dan karena Samuel memang harus mengerti bahwa Enkaku tak akan kembali.
Pemuda di hadapannya menarik napas panjang, namun ia menatap Flamebringer dengan mata yang tak berair. Air matanya disimpan untuk diri sendiri. Karena orang di depannya bukan sosok familiar yang tahu dan mengerti akan perasaannya.
“Dengar,” ujarnya. “Ambil waktu selama yang kau perlu. Tak usah datang dulu ke sini, sudahi saja dulu urusanmu dengan perasaan sendiri. Aku tahu sulit melihatku sementara kau tahu Enkaku sudah mati. Tapi aku juga tidak punya pilihan. Pulanglah, oke?”
“Baik...” lirih Samuel.
Sebelum bejalan menuju elevator, ia sempat berbalik untuk bertanya. “Siapa nama Anda?”
“Flamebringer,” jawabnya. “Tapi Enkaku juga namaku. Yang mana saja bisa kau pakai.”
Ia mengangguk, kemudian berlalu pergi.
Flamebringer menghela napas, memandang botol berisi salvia dan edelwiss. Apapun yang ingin Samuel katakan, semua itu bukan untuknya. Tidak seharusnya ia ikut pusing dengan masalah ini. Terutama bila Samuel tahu ia bukanlah orang yang ia harapkan. Ia bertanya-tanya; bila ia tak mati lebih dulu, apakah ia dan Executor bisa merangkai kisah seperti ini?
Barangkali tidak. Flamebringer tak memiliki ketertarikan kepadanya, begitu juga ia. Ia sendiri baru memikirkan plausibilitas itu ketika dihadapkan dengan seorang pemuda berwajah sama dengan Executor, yang mencintai dirinya di dunia ini. Tiap kehidupan dan dimensi punya cerita masing-masing, dengan jalur yang berbeda. Di sana, ia mati dengan separuh perasaan yang masih mencari W. Di sini, Enkaku mati dengan hati yang bertaut pada Pak Arka. Pada akhirnya, kesamaan yang mereka miliki hanyalah bencana dan kesialan.
-
Butuh waktu hampir satu tahun sebelum Samuel kembali.
Flamebringer hampir menyangka ia lupa, atau memilih untuk tak menemuinya lagi karena tak sanggup. Satpam apartemennya sampai bingung. Ia masih menjalani harinya seperti biasa. Mengurus tanaman, minum kopi kemahalan, ke dokter, bertemu dengan Pak Arka, dan berkeliling kota agar ia familier dengan tempat ini.
Ia tumbang sesekali. Semenjak ia mengambil alih tubuh Enkaku, Kal’tsit menyatakan bahwa kondisinya membaik, namun belum berkemungkinan sembuh. Ia tak masalah, sudah biasa yang kondisi begini. Namun ia juga lupa bahwa tubuh Enkaku tetaplah sekarat. Dari kesemuanya, ia beruntung ia hanya pernah tak sadarkan diri di luar rumah dua kali. Tak ada efek fatal dari hal tersebut—yang terdeteksi, setidaknya.
Singkatnya, ini sama saja dengan Terra. Hanya saja ia tak perlu berperang. Meskipun awalnya membosankan dan hampir membuatnya frustasi, namun lama-lama ia terbiasa juga. Ia berusaha melihat situasi ini sebagai hari-hari berlibur di Rhodes. Jalani saja, tanpa perlu banyak cakap. Kalau ia merasa frustasi, ya tinggal merokok, minum kopi, berkebun, berbelanja, atau menunggu Pak Arka agar ia bisa melampiaskan energinya di ranjang.
Di antara bulan demi bulan yang berlalu, ia lambat laun mulai menerima kehidupannya di sini, dan melupakan Samuel.
Karena itu, di suatu hari di bulan Mei, saat ia tengah menyirami pot-pot bunga di balkoninya, seseorang membunyikan bel apartemennya dan Flamebringer tersentak kaget. Tidak ada yang pernah mengunjunginya. Satpam dan resepsionis selalu menelepon bila ada keperluan. Pak Arka tak pernah mengajak bertemu di apartemennya. Jadi—siapa?
Saat ia melihat Samuel berdiri di depan pintu, dadanya berdenyut sesaat. Tidak menyangka saja.
“Halo,” sapa Samuel saat ia membuka pintu
Ia mengangguk pada pemuda itu dan mengangkat telapaknya sesaat. “Yo,” sahutnya. “Kau mau masuk? Atau cuma mampir?”
Samuel menyunggingkan senyum kecil. “Kalau boleh bertamu sebentar, saya akan sangat berterimakasih.”
Bola mata Flamebringer naik ke langit-langit. Seperti bicara dengan politikus saja rasanya. Ia mempersilakan pemuda itu masuk, dan memperhatikannya. Ia terlihat berbeda. Mungkin karena potong rambut. Ia punya undercut sekarang. Pakainnya sama rapi dengan sebelumnya, lebih stylish saja. Mungkin menerima kematian orang yang ia sayangi membawa banyak perubahan. Meskipun orang tersebut masih berdiri di depan Samuel, bernapas dan sekarat.
“Kau lebih tampan begini,” komentarnya, memberi gestur pada keseluruhan tubuh Samuel. “Tidak murung dan tidak kaku karena terlalu banyak emosi yang dijejalkan dalam-dalam.”
Pemuda itu menggaruk telinganya, sedikit kelihatan kikuk. “Saya hanya mengikuti saran Anda.”
Ia mengedikkan bahu. “Yeah, sure. Ambil saja minum dan makan sendiri di kulkas dan kabinet kalau lapar. Aku masih menyiram tanaman.”
Samuel mengangguk, dan mengikutinya ke balkoni.
“Bagaimana kabar Anda?” tanyanya.
Flamebringer tak tahan untuk tidak menyeringai. Konyol. Sudah seperti wawancara karyawan baru saja. Ia berbalik menghadap Samuel dengan senyum mengejek. “Dengar, kalau ada yang mau disampaikan langsung saja. Aku tidak butuh basa-basi.”
Ia berbalik lagi untuk mengurus tanamannya. Sudah hampir selesai ketika Samuel bicara lagi.
“Saya masih menyukai Enkaku, dan sulit rasanya kehilangan dia. Terutama bila sosoknya masih ada di hadapan saya, meskipun saya tahu itu bukan dia. Tapi saya menghabiskan waktu untuk berdamai dengan fakta bahwa yang terjadi sudah terjadi. Jadi... saya pikir, tidak ada salahnya mencoba dari awal. Sebagian karena saya egois dan masih ingin terus mengingat Enkaku, namun sebagian lagi karena saya juga berusaha untuk menormalisasi hidup dengan Enkaku yang... merupakan orang asing.”
“Jadi?” flamebringer mengangkat alis, takjub juga mendengar kalimat sebanyak itu keluar dari seseorang dengan wajah Executor.
“Jadi—“ ia menarik napas dalam, dan menatap Flamebringer dengan pandangan mantap. “Bagaimana kalau kita coba berteman?”
Ia memberinya senyum kecil, hanya sudut bibir yang terangkat. “Tentu. Tidak ada salahnya. Mau makan siang bersama?”
Dan begitu saja, harinya terus berlanjut di Bumi. Kali ini, dengan Samuel dalam hidupnya.
Ia tidak parah-parah juga. Ia semakin mirip Executor sekarang, bila Executor punya sisi lembut, dan setengah-biased terhadap Flamebringer. Ia kaku di awal, sebelum melunak setelah berbulan-bulan mengunjungi apartemennya. Mereka mulai bicara, mulai berdiskusi, dan Flamebringer mulai menolerir dan lambat laun menerima kehadiran Samuel sebagai hal yang tetap dalam hidupnya.
Pemuda itu sudah masuk kuliah sekarang. Ia masih bekerja di kantor ayahnya, dan berencana untuk magang di sana juga bila waktunya tiba. Ia hendak masuk ke jurusan teknik mesin, sesuai dengan bisnis ayahnya. Namun mengurungkan diri, dan alih-alih memilih memasuki jurusan hukum. Ayahnya berencana untuk memasukkannya menjadi legal officer karena Samuel tertarik dengan dunia bisnis juga. Ibunya setuju saja asal Samuel senang, dan asal ia ingat pulang ke rumah sesekali. Rupanya ia terlalu banyak bekerja dan belajar sampai kadang tertidur di kantor dan apartemen yang disewakan orangtuanya di dekat kampus.
Flamebringer kadang-kadang bercerita tentang Terra. Ia tidak tahu apakah Samuel menganggapnya berbohong, atau sudah gila. Tapi pemuda itu mendengarkan dengan seksama, dan selalu mengingat detail mengenai apa yang ia ceritakan.
“Jadi, saya juga ada di Terra?” tanyanya, ketika Flamebringer bercerita tentang Executor. “Saya paham dengan jalan pikirannya. Tapi dia tidak terasa seperti saya.”
Flamebringer tertawa. “Ya karena dia memang bukan kau, bodoh. Lagipula jalan hidup kalian berbeda, pantas saja kelakuannya juga bisa melenceng sedikit. Akumulasi dari tingkah seseorang juga dipengaruhi peristiwa dalam hidup. Kalau kau terlahir dalam posisi Executor, dengan latar belakang, tanggung jawab dan peperangan yang terjadi, maka kau akan jadi dia.”
“Anda tidak pernah merasa aneh melihat wajah dia di sini, sebagai saya?”
“Ya aneh,” ia mengakui. “Karena aku dan dia sama sekali tidak bersinggungan, dan kau datang sebagai orang yang dekat dengan Enkaku. Lagipula, wajahmu masih berekspresi dibanding raut mukanya. Satu Rhodes menyebutnya robot, karena betulan tidak pernah melihat ia merubah mimik muka.”
Samuel menatapnya dengan alis berkerut, berusaha menelan cerita yang diberikan, dan membuat Flamebringer terbahak karena ia secara tak sengaja baru saja membuktikan perkatannya barusan.
Ia tetap menemui Pak Arka, dan Samuel tak pernah menyinggungnya lagi mengenai itu. Sesuai janjinya dulu.
Saat ia tumbang di hadapan Samuel, dunia seolah perlahan berotasi terbalik. Ada yang berubah, meskipun Flamebringer tak bisa dengan jelas mengatakan itu apa.
Samuel panik, dan membawanya ke dokter Kal’tsit. Ia tak perlu dirawat inap, dan kembali ke apartemen dengan kondisi lebih baik. Satpam apartemen membantunya naik sampai ke atas bersama Samuel. Saat pintu tertutup, dan ia sudah menghempas napas di atas sofa empuk, Samuel meraih tangannya, dan berkata, “Boleh aku menginap?”
Untuk pertama kalinya sejak hampir satu setengah tahun mereka memutuskan untuk berteman, Samuel berhenti menggunakan cara bicara kelewat formal dengannya. Ia tak tahu, entah karena khawatir, atau karena ia melihat bayang-bayang Enkaku di wajah pucat Flamebringer, namun wajahnya terlihat cemas, takut. Flamebringer tersenyum dalam hati; ia tak mau melihat Enkaku mati untuk kedua kali.
“Aku tetap akan mati entah kau suka atau tidak,” ucapnya. “Luruskan dulu kepalamu, Samuel. Aku bukan Enkaku, jangan salah memberikan perasaan khawatir cuma karena kau melihat wajahnya yang tumbang.”
Samuel menggeram rendah, frustasi. “Bukan begitu—“ ia tersendat, meremas jemari Flamebringer dalam genggamannya. “Saya sudah menerima, oke? Saya mencoba dan terus mencoba untuk menerima. Saya juga menghargai Anda sebagai diri Anda sendiri, bukan sebagai Enkaku. Saya tahu batasannya; saya tahu ia sudah tiada, saya tahu bahwa Anda yang sedang berdiri di depan saya. Tapi Anda juga teman saya. Saya peduli, saya—“
Ia tak sanggup melanjutkan lagi, kehabisan napas dan tercekat oleh air mata yang tak pernah bisa jatuh di wajah kosong Samuel. Flamebringer melunak. Bagaimanapun, Samuel masih remaja yang beranjak dewasa. Meski lebih bijak dan matur, meski gigih dan berkepala dingin, ia bukanlah anak yang terlahir di peperangan Terra. Keras dan tak tergugahnya hati Samuel, tak bisa disamakan dengan kerasnya keteguhan hati anak-anak Terra, apati yang mereka telan bulat-bulat sedari dini agar mereka dapat menyingkirkan perasaan dan bertahan hidup. Flamebringer tak bisa menyamakan Samuel, atau siapapun dari dunia ini, dengan para penghuni Terra.
Maka, ia menggenggam balik jemari Samuel, dan menariknya ke dalam pelukan. “Hush,” bisiknya. “Berisik. Biarkan aku istirahat dulu, oke?”
Samuel terdiam, tak berkutik di rengkuhannya. Namun kemudian, ia memeluk erat tubuh Flamebringer, yang berpura-pura tak merasakan air mata Samuel meresap ke sela sweter dan membasahi kulit. Ia membiarkan pemuda itu menangis dalam diam; menangisi yang terkasih, yang tak membalas tautan perasaannya, yang pergi tanpa kata selamat tinggal, yang kini entah tersesat di dimensi mana dan meninggalkan nyawa lain di hadapan Samuel. Pasti sulit, pikir Flamebringer, melihat hantu dari orang yang ia sayangi, meski tahu itu bukan dia.
Erat jemari Samuel mencengkeram sisi tubuhnya, punggung bergetar oleh isak yang ia redam. Flamebringer sesekali mengelus punggungnya, namun tak bicara. Tak menawarkan kata-kata pelipur lara. Tidak perlu, ini adalah sesuatu yang mesti Samuel proses sendiri, sebelum ia paham seutuhnya dan siap menerima uluran tangan untuk menjalani harinya kedepan.
Samuel tak berkata, jangan pergi. Cuma berulang-ulang berbisik Enkaku, Enkaku, selamat tinggal, selamat tinggal Enkaku, dengan suara lirih, dengan air mata yang masih membasahi bahu Flamebringer.
Saat ia terbangun, malam telah turun. Samuel masih terlelap, kepalanya bersandar di pangkuan Flamebringer. Sisa air mata mengering di sisi wajahnya. Ia masih menggenggam jemarinya, meskipun tak lagi erat dalam kantuk. Ia menghela napas, menyapu jari-jemari di antara surai putih yang rutin Samuel warnai.
Enkaku, di suatu waktu, mengusulkan Samuel—yang taat aturan, yang berpenampilan rapi, yang tidak pernah macam-macam apalagi melanggar peraturan—mewarnai rambutnya. Ia bilang, Samuel cocok dengan warna putih. Maka Samuel, yang hidup matinya barangkali sudah digantungkan di telapak Enkaku, betulan mewarnai rambutnya dan mengejutkan seisi sekolah. Orangtuanya juga terkejut, namun tak mempermasalahkan hal itu. Pak Arka bahkan dengan sengaja menggunakan kuasanya sebagai “orang kaya” agar Samuel tetap dapat mengenakan warna rambut yang ia suka, saat pihak sekolah memanggilnya lantaran rambut Samuel melanggar peraturan mengenai penampilan siswa.
Cinta mati, kata orang. Flamebringer telah melihatnya. Di antara pertempuran Terra, cinta mati dibawa sampai ke artian harfiah karena tak ada satupun orang di Terra, yang pernah menyentuh senjata, pernah berpikir bahwa nyawa mereka tak akan melayang hari ini. Mereka semua siap mati tanpa diingat. Cinta mati yang sesungguhnya.
Namun baru kali ini Flamebringer melihat cinta mati sepilu ini, dari pemuda sebelia ini. Ia mengerti bahwa Enkaku telah lebih dulu mencintai Arka, namun ia juga paham bahwa Enkaku melihat apa yang ia lihat. Ia tak akan mau mengotori anak sesuci ini. Tidak mau merusak hati yang masih rapuh dengan segala kerumitan dan pahitnya kasih.
“Kenapa kau harus jatuh cinta pada waktu yang salah?” bisiknya.
Di pangkuannya, Samuel terlelap dalam untaian memori yang ia lepaskan satu-persatu. Genggamannya mengerat di jemari Flamebringer.
Ia menatap sayu pemuda itu. Ia tak pernah mencinta sampai begini; apa yang ia punya dengan W bukanlah sesuatu semurni ini. Sudah terlanjut kotor dan picik, meski ia tahu W peduli. Namun mereka berdua sama-sama paham. Mereka punya kehidupan yang tak mampu mengakomodasi afeksi.
“Hei,” ia menggoyangkan bahu Samuel pelan-pelan. “Hei, Samuel.”
Pemuda itu bangun setelah beberapa menit. Barangkali kelewat lelah oleh tangis. “Flamebringer?”
Oh. Hatinya berdenyut sesaat. Sebegitunya tekadnya melepaskan Enkaku. Ia tersenyum canggung. “Uh, mau menginap saja? Kurasa terlalu malam untuk pulang. Apartemenmu lumayan jauh dari sini.”
Samuel mengedip pelan, seolah belum sepenuhnya tersadar. “Boleh?” tanyanya, polos sekali.
“Boleh, tapi kau tidur di sofa. Ranjangku kecil,” ucapnya.
Samuel mengangguk, dan menuruti tarikan lengan Flamebringer saat ia menyuruhnya membasuh muka sementara ia menyiapkan pakaian ganti untuk Samuel. Pakaiannya pas di bagian bahu, tapi sedikit kepanjangan di lengan baju dan celana. Tidak heran juga, Flamebringer sekepala lebih tinggi darinya.
Saat ia hendak mematikan lampu dan kembali ke kamar, Samuel bangkit sedikit dari sofa dan berkata, “Selamat malam, Flamebringer.”
Ia tersenyum simpul. “Selamat malam, Samuel.”
Sebelum ia terlelap, ia menatap langit-langit kamarnya dan berpikir; untuk kedua kalinya, nama Enkaku telah mati bersama debu semesta.
-
Rasanya lebih mudah bernapas setelah itu. Perlahan, Samuel mulai terbuka, seutuhnya. Bukan karena ia adalah bayangan Enkaku; dan ia mulai terbuka, seutuhnya, karena ia juga dapat menghargai Samuel sebagai seseorang yang telah berusaha sejauh ini. Terkadang Samuel menginap, dan, sesekali—sekitar satu kali dalam dua sampai tiga bulan—Flamebringer menginap di apartemennya. Biasanya itu karena mereka keluar di daerah dekat kampus Samuel dan pulang terlalu larut.
Pak Arka... Ia sesungguhnya tak tahu apakah pria itu tahu bahwa ia berteman dekat dengan anaknya, lagi. Namun ia tak memperlakukan Flamebringer berbeda dari sebelumnya. Masih begitu santun dan mengasihi, masih dengan kebiasaannya di ranjang, masih dengan ciuman lembutnya sebelum pergi. Flamebringer tak jatuh cinta dengannya, namun ia—nyaman. Karena Pak Arka adalah satu hal yang pasti, yang tak berubah. Seperti karang yang tak tergerus air, bahkan meski dihempas ombak setiap saat. Tempatnya berlabuh saat napasnya tercekat di tenggorokan, mengingat Terra dengan rasa sakit yang membutakan. Tempatnya bertumpu dari perasaannya yang kadang tak dapat dimengerti.
Samuel membuatnya merasa. Meskipun ia bukan robot konstipasi seperti Executor, namun Flamebringer tak pernah merasa bingung akan cara mengungkapkan perasaan, tak pernah membatasi perasaannya sendiri. Namun setelah melihatnya retak di malam itu, setelah ia memutuskan untuk membuka diri, ia merasa kewalahan dengan perasaan-perasaan baru yang ia alami.
Ini pertama kalinya ia membiarkan sisi sentimentalnya lepas. Karena ini pertama kalinya pula ia berada di tempat di mana ia dapat membiarkan hal itu terjadi. Terra bukanlah tempat bagi mereka yang berhati lembut. Bahkan Sarkaz lemah lembut yang Shining selalu lindungi itu, Flamebringer tahu ia menguatkan hati kala pertempuran tiba demi keselamatan para petarung. Jadi, ini semua juga merupakan hal yang baru baginya. Dan di antara terombang-ambing kala ia mencoba membiasakan diri dengan keadaan emosional yang baru, Pak Arka menjadi titik gravitasi yang menjaganya agar tak melayang dan meninggalkan orbit.
Salah satu hal yang membuat Flamebringer bingung harus bereaksi apa, adalah bagaimana Samuel membiasakan diri untuk dekat dengannya—secara fisik. Ia tak masalah dengan hal itu—lihat juga bagaimana sulitnya pemuda itu untuk menyentuh orang lain karena memang ingin, karena mau menunjukkan kedekatan antara orang yang mengenal satu sama lain. Rangkulan di pundak, berpegangan tangan, memeluk, semua ia pelajari perlahan dalam bulan-bulan mereka mulai menata kembali pertemanan mereka.
Namun hal itu juga membuat semakin mawas terhadap... kehadiran Samuel. Muka, suara, mimik, emosi, tubuh, pergerakan—semua hal soal Samuel rasanya dikeraskan dua kali lipat di kepala Flamebringer. Ia tahu tanda-tanda ini. Ia pernah melewatinya, lagipula, tidak perlu berpura-pura bodoh bahwa ia tertarik dengan Samuel setelah sekian lama mereka mengenal satu sama lain.
“Bodoh,” ia berkata suatu hari, asap rokok mengepul di sekitarnya. Samuel tengah dalam perjalanan menuju apartemennya, berjanji membawa burger yang Flamebringer ingin coba. “Bodoh,” ulangnya, wajahnya berkerut. “Tolol sekali, baru suka sekarang.”
Ia tak mau bilang. Tak mau membuat bayangan Enkaku kembali dan memukul mundur perkembangan Samuel sejauh ini. Ia juga tak mau dianggap sebagai pengganti. Ia sanggup—tentu saja. Namun untuk apa perjalanan selama hampir tiga tahun sejak ia dikirim ke sini, kalau harus kembali ke langkah awal?
Rasanya mau terjun dari balkon saja, saking merasa tololnya. Perasaannya berkecamuk, tidak paham harus diapakan. Ia tak tahu harus merasa bagaimana, dan mesti memberi kepastian pada hatinya mengenai keputusan yang akan ia ambil. Ia tidak suka bohong atas perasaannya. Tidak mau pura-pura tidak tahu. Namun ia juga tak bisa begitu saja bilang, oh, hey kid, tahu tidak? Sekarang aku suka kau, haha, ya setelah terlambat tiga tahun.
Ia rasa, sampai sebegitunya hal ini memengaruhinya, karena saat ia bertemu dengan Pak Arka bulan selanjutnya, ia malu setengah mati saat ia menangis. Entah kerasukan setan apa. Saat lelaki itu membelai rambutnya halus, bergumam lembut di telinga Flamebringer, air mata besar-besar jatuh dari pelupuk matanya. Ia tak tampak menawan saat menangis, ia tahu. Tapi ia tak bisa berhenti.
Pak Arka dengan cemas bertanya, ada apa? Ada yang sakit? Enkaku? dan memeluknya erat saat ia menggeleng lemah, berkata tidak tahu, tapi tidak tahan saja.
Lengan kokoh terus merengkuhnya sementara ia menangis di dekapan Pak Arka, sampai ia tertidur karena kelelahan menangis. Pria itu tak bertanya apapun, hanya menciumnya sedikit lebih lama dari biasa saat ia hendak pergi.
“Hei,” Flamebringer bertanya di suatu siang, saat Samuel sedang berselonjor di sofa. Pak Arka tak menghubunginya agak lama, barangkali memberinya waktu untuk menenangkan diri. Tapi bagaimana bisa mau tenang kalau sumbernya setiap minggu datang ke apartemen?
“Hnm?” sahut Samuel, menoleh padanya.
Pintu balkonnya hari ini dibuka. Flamebringer baru beli kipas, yang ia letak di ujung ruangan agar ia bisa menonton sambil merokok, tanpa kepanasan karena A/C dimatikan. Ia menyesap rokok sampai ke tenggorokan, sebelum mengembus asap. Pandangannya tak teralih dari jendela-jendela gedung kantor di luar.
“Kau rindu Enkaku?”
Samuel tak menjawab, lama sekali. Maklum saja, pikirnya. Itu bukan pertanyaan yang menyenangkan. Mungkin tidak seharusnya ia bertanya. Namun ia ingin tahu, entah atas tujuan apa kecuali menyakiti diri sendiri.
“Iya,” Samuel berkata, setelah kebisuan yang melekat terlalu lama di udara.
“Oh.”
Keduanya tak mengatakan apapun lagi. Di luar terik, orang-orang di TV berteriak dan tertawa; Flamebringer menarik napas penuh nikotin, dan mengembuskan asap berbalur kekecewaan.
-
Pak Arka tak berkata apapun saat Flamebringer mulai melucuti pakaiannya, melompat naik ke rengkuhan lelaki itu saat Arka menggendongnya ke ranjang. Ciumannya kasar, tiap tautan bibirnya dan Arka terasa seperti keputusaasaan yang diteriakkan besar-besar. Ia mencumbu Arka dengan urgensi yang tak mampu ia jelaskan, seolah ia tak ingin melepaskan, seolah ia tak ingin lupa bahwa ia masih ada di sini.
Untuk pertama kalinya, Flamebringer-lah yang berinisiatif mengajak bertemu. Ia menolak ajakan bertemu Samuel, dengan alasan pekerjaan, dan berusaha tak memikirkan bagaimana Samuel akan langsung tahu bahwa ia berbohong. Alasan mengapa ia selalu tahu kapan mereka bertemu, adalah dari akun email ibunya yang ia retas diam-diam. Ibunya menyewa seseorang untuk mengamati kapan saja Pak Arka dan Flamebringer bertemu. Semua ini semata demi memastikan tak ada saksi mata, ataupun anggota keluarga yang mempunyai potensi untuk membawa perselingkuhan ini pada atensi publik. Jadi ia tahu, bahwa bukan Pak Arka yang meminta bertemu, melainkan Flamebringer sendiri.
Desah rendah meluncur dari bibirnya saat Arka menghentak masuk, lagi dan lagi. Keduanya kakinya mengapit era pinggang lelaki itu, berusaha menariknya lebih dekat. Ia tak mau berpikir soal reaksi Samuel, tak mau menerka-nerka apa yang ia pikirkan saat ini.
Usai mereka bersenggama, Pak Arka menatapnya sedih dengan raut wajah yang terlalu mirip dengan Samuel. Ia menyampirkan seuntai surai ke belakang telinga Flamebringer, membelai pipinya lembut, namun tak mengatakan apapun.
Hal ini terus berlanjut, hingga berbulan-bulan kemudian. Ia selalu menolak apabila Samuel mengajak keluar, dengan alasan bekerja. Selalu tak ada di apartemen tiap ia mencoba berkunjung. Selalu menghindar karena Flamebringer adalah orang tolol yang tak mengerti cara menangani perasaan sendiri. Konyol, karena bahkan Samuel, yang notabene lebih muda dan sensitif, tetap berusaha untuk berdamai dengan urusan perasaannya. Namun ia tak mengerti cara memberitahu Samuel bahwa ia suka, bahwa ia tak mau mencoba bersama dengan ia dengan wajah yang persis dengan orang dulu ia cintai. Maka ia berlari, dan terus berlari dari Samuel.
Sampai suatu hari, Samuel berhenti menghubunginya.
Ia menghubungi Pak Arka, dan untuk pertama kalinya pula, mereka bertemu di apartemen Flamebringer. Di mana ia menghabiskan malam di ranjang kecil, memeluk Flamebringer sementara ia mendekam tanpa suara.
-
“Aku tak mengerti,” ucap Kal’tsit saat ia tumbang untuk ketiga kalinya dalam satu bulan. “Perkembanganmu sudah begitu bagus selama dua tahun belakangan. Apa yang terjadi?”
Flamebringer mengulum lidah. Ia mengedikkan bahu, tak menatap wanita itu saat ia berkata, “Patah hati.”
Kal’tsit menghela napas, dan menulis resep obatnya di secarik kertas. “Urus patah hatimu,” ucapnya, menekan kertas resep ke dada Flamebringer yang semakin mengurus. “Kalau tidak mau kupaksa tinggal di ruang inap.”
Yang, tentu saja, tidak ia lakukan.
Namun semesta tertawa padanya, dan memutuskan bahwa ia mesti menghadapi persoalan ini bahkan saat ia tak siap dan tak mengerti. Karena, mengapa tidak? Makin ia menderita, makin yahud.
Saat ia tergeletak tak sadarkan diri di depan pintu apartemen, Samuel baru saja melangkah keluar dari elevator. Ia tak mendengar jeritan pemuda itu, tak melihat wajah yang memucat diliputi kecemasan dan rasa takut, tak merasakan saat tubuhnya dibopong masuk ke dalam. Yang ia rasakan hanya aroma Samuel di sekelilingnya, dan hangat dekapannya saat ia memeluk Flamebringer erat-erat.
“Hei,” sapanya saat Flamebringer akhirnya sadarkan diri. Senyumnya agak bergetar, matanya memerah meski tak berair. Pasti mengejutkan, melihatnya tergeletak begitu saja.
“Hei,” sapanya balik dengan suara serak, tersenyum. Karena ia rindu Samuel, dan persetan perasaan bodohnya. Kenapa ia bisa selama itu menjauh? Tolol.
Samuel membantunya mengambilkan air, dan meletakkan kembali gelas yang kosong ke atas meja. Ia kembali memeluk Flamebringer, yang terduduk di pangkuannya, namun terlalu lemas untuk berpindah posisi. Nyaman juga begini, mending manfaatkan kesempatan daripada denial lagi. Ia juga sudah lelah. ‘Toh, ini juga yang disarankan Kal’tsit. Hantam sajalah, persetan bagaimana hasilnya.
Pada akhirnya, Flamebringer selalu siap akan kesendirian. Ia hanya takut akan penolakan Samuel, karena perasaan seperti ini terlalu baru untuknya. Tidak terasa seperti W, sama sekali tidak. Karena mereka berdua saling mengerti bahkan tanpa kata. Karena mereka berdua sama-sama manusia kotor yang retak oleh takdir. Mereka berbagi tempat berlindung, untuk sejenak mengambil napas dari kerasnya guncangan hidup di Terra. Namun menyukai Samuel terasa seperti terbang tanpa sayap; seperti aroma kopi yang terlalu mahal dan burger di malam buta; seperti aroma nikotin yang ikut melekat di kaus Samuel; seperti senyum halusnya pada Flamebringer yang terasa seperti sebuah rahasia, hanya untuk Flamebringer seorang.
Ia mengangkat jemarinya, membelai sisi wajah Samuel yang mulai ditumbuhi jenggot tipis-tipis. Mungkin ia belum bercukup hari ini. Ibu jarinya mengusap lembut pada tulang pipinya yang tinggi. “Hei,” panggilnya pelan.
Angin semilir di malam yang diisi oleh hiruk-pikuk kota. Empat belas lantai di atas jalanan, di sebuah apartemen kecil, di pangkuan Samuel, ia merasa bahwa dunia terasa terlalu sunyi. Hanya iringan napas mereka yang memenuhi telinganya. Maka ia tersenyum, dan membisikkan sebuah rahasia pada pemuda itu.
“Jangan benci aku,” ucapnya.
Pemuda itu menggeleng. “Tak akan pernah,” janjinya, dan untuk sejenak saja, Flamebringer mengizinkan dirinya percaya.
Samuel tak bereaksi apapun saat Flamebringer mengecup bibirnya. Namun kemudian ia menutup mata, dan mengembus napas halus, yang Flamebringer telan dengan lenguh rendah. Kedua tangannya mendekap tubuhnya mendekat, seolah ia ingin merasakan detak jantungnya dari balik lapisan kain. Bibir mereka bergerak dalam gesekan perlahan; langsam, sensual.
Untuk pertama kalinya selama beberapa bulan belakangan, Flamebringer akhirnya merasa bahwa ia dapat bernapas lega. Ia tak tahu siapa yang dilihat Samuel saat ini; ia atau Enkaku. Namun itu tak jadi masalah. Ia sudah mengungkapkan kecamuk dalam dadanya, sudah mengudarakan kejujuran. Ia tak mempunyai hutang apapun dengan hati yang berdenyut tiap kali Samuel memagut bibirnya. Pun meski ia hanya melihat Enkaku, setidaknya biarkan Flamebringer merasakan ini sekali saja.
Saat bibir mereka mengecup lembut untuk yang terakhir kali sebelum memisahkan diri, Flamebringer membuka mata dan tersenyum sayu. Samuel terlihat lelah, namun ia tak terlihat benci, tidak juga jengkel atau sedih. Hanya lelah.
“Kau menghindariku berbulan-bulan karena ini?” tanyanya.
Flamebringer terkekeh pelan. “Tololnya, iya.”
Pemuda itu terlihat tak yakin sesaat, mirip betul dengan saat ia menanyakan identitas Flamebringer dulu, dulu sekali. Rasanya aneh mengingat ia tak terlahir di dunia ini, dan baru menapak jejak di sini kurang dari empat tahun lalu. “Kau suka padaku?”
Ia cuma memberikan cengiran, satu bahunya mengedik di cengkeraman telapak Samuel. “Iya.”
“Kau tidak mau bilang karena tidak mau aku menganggapmu Enkaku?” tanyanya lagi.
Flamebringer mendengus, mengingat kebodohannya. Padahal, yasudah. Biarkan saja kalaupun ia ditolak karena Samuel masih menyimpan rasa pada Enkaku. Ia bisa belajar untuk menerima dan pulih, melangkah ke arah lain kalau memang mau melepas penat dari sakit hati.
“Ya,” katanya.
Samuel mengerutkan alis. Surai putihnya bergoyang; ia perlu potong rambut lagi. “Kau ada di sini, di sofa ini, ketika aku melepaskan Enkaku. Kau yang menemaniku selama aku menangis. Kenapa kau masih bisa berpikiran begitu?”
Ia berdecak, menyenggol lemah dada Samuel dengan bahunya. “Aku tahu aku tolol, oke? Tapi kau bilang padaku kau masih rindu Enkaku, ya mana kutahu kalau perasaanku langsung kacau karena itu.”
Sejenak pemuda itu terlihat bingung. “Kapan—“ memori melekat di kepalanya, dan ia bertanya, “saat kau bertanya siang hari itu?”
Ia mengangguk, dan Samuel menghela napas. “Tentu saja aku masih merindukan Enkaku. Kurasa sebagian dari diriku akan selalu merindukannya, tapi aku sudah rela. Kau tahu itu. Aku tak pernah melihatmu sebagai Enkaku sejak saat itu. Aku berteman denganmu karena aku suka perangai dan cara kau memperlakukanku. Aku dekat denganmu karena kau orang yang menarik.”
Flamebringer mendengarkan penjelasannya dengan debar jantung yang makin lama makin kencang. Dekat begini, ia yakin Samuel bisa mendengarnya. “Oke. Aku minta maaf karena sudah berpikir begitu. Perasaan membuatku jadi dungu, oke?”
Samuel tersenyum mengiyakan. “Betul.”
Flamebringer tertawa, sedikit serak, banyak leganya. Ia mengecup bibir Samuel sekali lagi, dan menatap matanya.
“Aku suka kau.”
“Aku juga.” Senyum Samuel melembut, mengusap helai rambut Flamebringer yang jatuh ke mata. “Hanya kau saja yang tidak sadar, karena terlalu takut mengakui perasaan sendiri.”
“Hnm,” angguknya, menikmati belaian Samuel. “Pak Arka banyak membantu juga.”
Tangan Samuel berhenti sejenak. Flamebringer menatapnya tanpa berkedip, menilik reaksinya. “Kau... masih akan bertemu dengan ayahku?”
Ia mengangguk, hampir tertawa pada sakit hati dan kekecewaan yang langsung terpatri di wajah Samuel yang makin lama makin terpahat oleh puber. “Untuk berpamitan, Tolol,” katanya, sengaja menekankan bagian terakhir.
Untuk sejenak, pemuda itu cuma menatapnya kosong, sebelum ia terlihat kaget, dan tersenyum sumringah. Pertama kali dalam berbulan-bulan sejak terakhir ia melihat senyum begitu di wajah Samuel. Ia terima saja saat pemuda itu memeluknya erat.
“Terimakasih,” ujarnya. “Aku tahu tidak mudah juga. Karena kau sudah bersama Ayah sejak lama.”
Betul. Ia memang bukan Enkaku, namun Arka telah bersamanya dari awal ia datang ke dimensi ini, hingga sekarang. Ia juga yang merengkuh dan menjaga Flamebringer saat ia terlelap, saat ia terlalu lelah karena perasaannya. Kadang ia berpikir, apakah pria itu juga mencintai Enkaku, namun memilih untuk tak menunjukkan karena tak ingin mengekangnya. Karena ia tak ingin melibatkan Enkaku dalam permasalahan keluarga besar mereka.
“Jadi,” katanya kemudian. “Tawaranmu empat tahun lalu masih berlaku?”
Samuel tertawa, langsung mengerti apa yang ia bicarakan. “Tentu saja, tapi aku tak bisa membayarmu empat-puluh-juta tiap kita bertemu, karena kita bertemu sering. Atau memberimu uang bulanan dua-puluh-lima juta, atau memberikanmu barang seharga bayaran kuliahku—karena lebih besar dari SPP sekolah. Belum bisa, setidaknya.”
Ia nyengir kuda mendengar humor dari pemuda itu. Jauh sekali dari Samuel yang kaku di awal pertemanan mereka. “No probs, kau bisa bayar tagihan rumah sakitku saja sudah perkasa sekali di mataku.”
Mata biru Samuel lembut dan penuh kasih mendengar ucapannya. Flamebringer mendadak merasa jengah.
“Aku tahu kau suatu saat akan pergi juga, dan tidak akan kembali karena tubuhmu tidak mampu bertahan,” ujarnya, duka menguntai dari tiap silabel. “Aku bisa terima. Tapi jangan pergi seperti ini lagi, ya? Jangan tinggalkan aku tanpa penjelasan begitu.”
“Tidak akan,” janjinya, tersenyum di balik bibir Samuel saat ia mengecupnya lagi. “Tidak akan pernah lagi.”
-
Pak Arka memeluknya erat saat ia berkata akan pergi. Ia tak terlihat marah, atau kecewa; hanya sedikit sedih dan tatapan mengasihi yang sama. “Sebelum kita berpisah, boleh aku tahu siapa namamu?”
Flamebringer merasa jantungnya naik ke tenggorokan untuk sesaat, sebelum tenang kembali saat Arka tersenyum padanya. Tentu saja, kalau anaknya saja bisa langsung cepat mengenalinya, ya tidak mungkin pria yang sudah begitu lekat dengan Enkaku seperti Arka tidak merasakan apapun.
“Flamebringer,” ujarnya.
Pak Arka mengangguk. “Boleh saya mencium kamu untuk terakhir kali, Flamebringer?”
Ia tak menjawab, hanya merengkuh wajah lelaki itu, dan mengecup bibirnya dalam-dalam; merasakan tuangan perasaan yang selama ini selalu disimpan rapat-rapat oleh Lan Arka. Kasihnya, rindunya, sakitnya, pedihnya, cintanya. Rasanya sedang dibuai dalam tornado perasaan. Jemari Arka mengusap sisi pinggangnya, membelai tengkuk dan rambutnya. Flamebringer merasa pilu, pilu, pilu saat Arka menciumnya lembut, penuh perasaan, penuh keputusasaan, dan penerimaan.
Saat mereka berpisah kembali, jantungnya serasa diremas kuat-kuat melihat betapa mata hitam Arka dipenuhi gurat lara. Ia mengambil keputusan yang betul dengan memilih bersama Samuel, karena ia tahu bahwa semua pusaran kasih yang Arka punya, bukanlah ia yang mesti menuai.
“Kapan kau tahu?” tanyanya.
“Sejak pertama kita bertemu,” ujarnya. “Saya mesti meminta maaf, karena terkesan memanfaatkan kehadiran Anda di sini. Tetapi saya cuma manusia. Enkaku adalah orang terkasih bagi saya, dan meskipun saya tak tahu bagaimana Anda bisa sampai di sini, saya tahu ia telah lenyap.”
“Tidak perlu,” kata Flamebringer, dan maju untuk menciumnya lagi. “Aku juga. Maaf, aku memanfaatkanmu untuk lari dari ketololanku soal perasaan.”
Pak Arka terkekeh kecil mendengar ucapannya. “Tidak apa. Itu juga membantu saya menyadari bahwa sudah sepatutnya saya berhenti mengejar bayang Enkaku dari Anda. Saya yakin perasaan Anda sudah menuntun Anda pada tempat yang membuat Anda bahagia.”
Tawa lepas meluncur dari bibir Flamebringer. “Aneh tidak ‘sih, tahu kalau aku mengencani anakmu sekarang? Apalagi aku kelihatan seperti—ini.”
Arka menarik poni panjangnya ke belakang telinga, persis sama seperti cara Samuel melakukannya. “Anda bukan Enkaku, saya mengerti dan menghargai itu. Anda adalah seseorang yang tak terkait dengan masa lalu saya maupun Samuel. Jadi tidak sepatutnya ada penilaian miring terhadap keputusan Anda. Saya cuma berharap Samuel bisa membahagiakan Anda, dan Anda bahagia di sisinya.”
Ia tersenyum, tulus. Wajar saja Enkaku bisa cinta padanya.
“Boleh aku tanya, kenapa kau tak pernah bilang kau cinta pada Enkaku?”
Lelaki itu menatapnya sedih, dan mengembus napas berat. “Mencintai Enkaku bukanlah kebebasan yang bisa saya dapatkan di kehidupan kali ini, Flamebringer. Terkadang, kita mau tak mau harus takluk pada takdir, dan mencurangi nasib semampu kita.”
Ia mengerti; ia rasa ia mengerti. Dikecupnya sekali lagi bibir Arka, sebelum memeluknya erat. “Semoga, entah di dimensi mana, kau bisa dapat kebebasan itu.”
Lan Arka memberinya senyum manis saat ia membungkuk dan berkata, “Terimakasih, Flamebringer. Selamat tinggal.”
“Selamat tinggal, Arka,” ucapnya, melambai dan berbalik pergi.
Samuel menunggunya di sofa ketika ia kembali ke apartemen, membaca modul kuliahnya yang tebal. “Bagaimana?” tanyanya.
Flamebringe berpura-pura berpikir sejenak, sebelum menyeringai. “Kurasa bakat menciummu turun dari ayahmu, Samuel.”
Ia tertawa saat Samuel hendak memukulnya dengan modul, berlari menjauh sebelum mendekat dan membiarkan pemuda itu memeluknya.
“Jadi sewa oom, Mas Samuel?” candanya.
“Jadi,” jawab Samuel tanpa urat malu. “Sewa oom sampai tua.”
“Ew, bangsat, najis,” tawanya. “Aku sudah tua.”
Samuel menciumnya. “Sampai aku tua.”
Tidak buruk juga, bersama Samuel sampai dia ringkih. Atau sampai tubuh Flamebringer tumbang lebih dulu, entah mana yang sampai duluan. “Boleh,” katanya. “Lumayan juga dapat sugar daddy sampai modar.”
Di telinganya, Samuel mendengus. Namun kemudian ia menatap Flamebringer seperti ia menatapnya setiap hari—lembut, penuh kasih, penuh janji yang akan ia tepati. “Aku suka kau, tahu?”
Flamebringer memberinya cengir kecil. “Yeah, tahu. Aku juga, kau tahu?”
Saat Samuel menciumnya lagi, dalam dan intens, satu tangan Flamebringer mengacungkan jari tengah pada langit biru di luar ruang tengah. Mampus kau, bangsat, umpatnya. Makan saja pahitnya kekalahan karena Flamebringer akan menang, akan terus menang. Karena ia akan mencoba bahagia, sampai mati, dengan lelaki tolol ini.
-
#arknights#Trouvaille 2020#shiki writes#from ao3#exeflame#executor#flamebringer#modern au#written in indonesian
4 notes
·
View notes
Text
Desain Interior Apartemen Studio
Apartemen studio adalah pilihan hunian yang populer, terutama di kota-kota besar dengan ruang terbatas. Desain interior untuk apartemen studio memerlukan kreativitas dan perhatian khusus agar ruang kecil dapat dimaksimalkan fungsinya tanpa mengorbankan kenyamanan. Dengan pendekatan yang tepat, apartemen studio bisa menjadi tempat tinggal yang nyaman, fungsional, dan tetap estetis.
Karakteristik Apartemen Studio
Apartemen studio biasanya terdiri dari satu ruangan besar yang berfungsi sebagai ruang tamu, kamar tidur, dan dapur sekaligus, dengan hanya sedikit atau tanpa pembatas antara area-area tersebut. Oleh karena itu, desain interior untuk apartemen studio harus mampu menciptakan perasaan ruang yang lebih luas sekaligus memastikan bahwa setiap area berfungsi dengan baik.
1. Pemisahan Ruang yang Cerdas
Meskipun apartemen studio tidak memiliki banyak dinding pembatas, penting untuk menciptakan pembagian ruang secara visual. Salah satu cara untuk memisahkan ruang tidur dan ruang tamu adalah dengan menggunakan furnitur yang memiliki fungsi ganda. Misalnya, tempat tidur dengan laci penyimpanan di bawahnya atau rak buku yang cukup tinggi untuk berfungsi sebagai pemisah antara dua area tersebut. Anda juga bisa menggunakan tirai atau panel geser sebagai pemisah yang bisa dibuka atau ditutup sesuai kebutuhan.
2. Penggunaan Warna Terang dan Netral
Untuk menciptakan kesan ruang yang lebih luas dan terbuka, pilihlah warna-warna terang dan netral untuk dinding, furnitur, dan aksesori. Warna seperti putih, abu-abu, krem, atau beige membantu menciptakan suasana yang lebih lega dan terang. Penggunaan warna monokromatik atau palet warna yang selaras juga dapat mengurangi kesan sempit pada ruang apartemen studio.
Namun, Anda tetap bisa menambahkan aksen warna cerah seperti biru, hijau, atau kuning melalui bantal, karpet, atau lukisan untuk memberikan dinamika dan karakter pada ruangan.
3. Furnitur Multifungsi dan Terintegrasi
Karena ruang terbatas, furnitur multifungsi sangat ideal untuk apartemen studio. Pilih furnitur yang tidak hanya hemat ruang, tetapi juga memiliki beberapa fungsi. Misalnya, meja makan yang bisa dilipat menjadi meja kerja, atau sofa yang dapat diubah menjadi tempat tidur. Tempat tidur dengan rak penyimpanan di bawahnya juga bisa sangat berguna untuk mengurangi kebutuhan akan lemari atau tempat penyimpanan lainnya.
Furnitur terintegrasi, seperti kitchen set yang memiliki area penyimpanan tersembunyi atau unit TV yang sekaligus menyimpan barang-barang, juga sangat cocok untuk apartemen studio. Dengan begitu, apartemen studio tetap terorganisir dan rapi tanpa kehilangan fungsinya.
4. Pencahayaan yang Efektif
Pencahayaan yang baik dapat membuat ruang terasa lebih luas dan nyaman. Di apartemen studio, pencahayaan alami sangat penting untuk menciptakan suasana terang dan terbuka. Oleh karena itu, usahakan untuk menggunakan tirai tipis atau gorden yang dapat membiarkan cahaya alami masuk, jika memungkinkan.
Selain itu, pencahayaan buatan yang baik juga harus dipertimbangkan. Gunakan pencahayaan terfokus seperti lampu meja atau lampu dinding untuk menyoroti area-area tertentu, seperti ruang makan atau meja kerja. Lampu gantung dengan desain minimalis atau lampu lantai juga bisa memberikan sentuhan modern dan elegan pada ruangan.
5. Penyimpanan yang Efisien
Salah satu tantangan dalam mendesain apartemen studio adalah memastikan ada cukup ruang untuk penyimpanan. Tanpa penyimpanan yang tepat, apartemen studio bisa terasa sesak dan berantakan. Manfaatkan setiap sudut dan celah untuk menambahkan tempat penyimpanan, seperti rak dinding, lemari gantung, atau meja dengan ruang penyimpanan di bawahnya.
Selain itu, gunakan furnitur dengan ruang penyimpanan tersembunyi, seperti ottoman atau tempat tidur dengan laci di bawahnya. Untuk barang-barang yang jarang digunakan, pertimbangkan untuk menyimpannya di ruang vertikal, seperti rak tinggi atau ruang penyimpanan di atas lemari.
6. Penggunaan Aksesori yang Sederhana
Meskipun apartemen studio memiliki ruang terbatas, Anda tetap bisa menambahkan sentuhan personal melalui aksesori. Pilih aksesori yang minimalis dan sesuai dengan tema desain ruangan. Sebagai contoh, pilih karpet dengan desain sederhana, bantal dekoratif yang serasi, atau lukisan dengan warna-warna netral dan modern.
Tanaman hias juga bisa menjadi pilihan untuk memberikan kesegaran pada ruang studio. Tanaman kecil atau tanaman gantung tidak hanya memberikan sentuhan hijau, tetapi juga menambah elemen alami yang menyegarkan mata.
Tips Tambahan untuk Memaksimalkan Desain Apartemen Studio
1. Gunakan Cermin untuk Menambah Kesan Luas
Cermin dapat memberikan ilusi ruang yang lebih besar. Memasang cermin besar di salah satu dinding ruangan atau di pintu lemari bisa membuat ruangan terasa lebih lapang dan terang. Cermin juga dapat memantulkan cahaya alami yang masuk, menambah pencahayaan di seluruh ruangan.
2. Pertimbangkan Penggunaan Dinding Geser atau Panel
Untuk menciptakan privasi antara area tidur dan ruang tamu, pertimbangkan untuk menggunakan dinding geser atau panel. Dinding geser dapat dibuka atau ditutup sesuai kebutuhan dan memungkinkan Anda untuk mengatur ruang dengan lebih fleksibel. Panel atau tirai juga bisa memberikan kesan ruang yang lebih tertata tanpa membutuhkan banyak ruang fisik.
3. Pilih Furnitur yang Tidak Terlalu Besar
Karena ruang di apartemen studio terbatas, hindari memilih furnitur yang terlalu besar atau bulky. Pilih furnitur dengan desain ramping yang tidak akan memenuhi seluruh ruangan. Sofa dengan kaki yang terbuka, meja makan kecil, atau kursi yang ringan dan mudah dipindahkan adalah pilihan tepat untuk menciptakan ruangan yang lebih terbuka dan tidak sesak.
4. Manfaatkan Teknologi dan Smart Home
Dengan semakin berkembangnya teknologi, Anda bisa memanfaatkan perangkat pintar untuk meningkatkan kenyamanan di apartemen studio. Misalnya, penggunaan lampu pintar, sistem pendingin udara pintar, atau bahkan furnitur yang dapat dikontrol dengan aplikasi dapat meningkatkan fungsionalitas apartemen studio sekaligus menghemat ruang.
Kesimpulan
Desain interior apartemen studio mengharuskan kita untuk berpikir kreatif dalam memaksimalkan ruang yang terbatas. Dengan penggunaan furnitur multifungsi, pencahayaan yang efektif, serta pemisahan ruang yang cerdas, Anda dapat menciptakan ruang studio yang nyaman, fungsional, dan estetis. Meski terbatas, dengan desain yang tepat, apartemen studio dapat menjadi tempat tinggal yang modern dan menyenangkan.
#interior apartemen type studio#apartemen studio#desain interior apartemen#desain apartemen studio#interior apartemen#interior apartemen tipe studio#interior apartemen studio#interior apartemen minimalis#apartemen studio minimalis#interior type studio#desain interior apartemen tipe studio#desain apartemen tipe studio#interior apartemen studio minimalis#interior desain apartemen#desain apartemen#apartemen#apartemen minimalis#interior apartemen kecil
0 notes
Text
Alex Marini
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/b15a219164c27efbd8a491c9f876b7c5/8a9fa98a7ca10bc8-30/s540x810/a087164db823769fffb98c9468ff7c10747a5499.jpg)
Menghabiskan waktu enam puluh sampai sembilan puluh jam dalam sepekan sebagai residen pediatri, kadang kala membuat seorang Regina Alyskia Bahrain kelelahan. Sebagai calon dokter spesialis anak, Regina nampaknya harus sering berlatih untuk tetap mengedepankan profesionalitas ditengah rasa kantuk yang sering kali datang sebab kurangnya waktu istirahat.
Weekend, hari yang seharusnya menjadi waktunya beristirahat kali ini nampaknya tidak sesuai dengan perkiraan, sebab ia baru ingat jika orang tuanya memiliki agenda yang harus dihadiri olehnya.
"Shit..." Sambil menggosok-gosok matanya yang setengah terbuka, Regina pun bangkit dari kasurnya. Ia menghela nafas panjang ketika suara sang Ibunda yang menggelegar terdengar dari luar kamarnya.
"Iya, Mi! Udah bangun!" Seru Regina yang tak lama setelah itu suara yang mengganggu tidurnya berangsur menghilang bersamaan dengan suara tapak kaki yang juga ikut menjauh.
Rutinitas pagi Regina sangatlah sempurna. Teriakan sang Ibunda yang tak pernah absen setiap pagi sudahlah cukup membuatnya kenyang tanpa harus sarapan. Mungkin saja jika ia memutuskan untuk tetap tinggal di apartemen, paginya akan terasa damai. Dan justru hal itulah yang malah membuatnya merasa tidak betah tinggal sendirian, sebab suara teriakan sang Ibunda jauh lebih membuatnya merasa seperti di rumah.
Regina beranjak dari kasur miliknya untuk kemudian merapikan bantal dan juga selimut miliknya yang kusut sambil melamun memikirkan agenda hari ini.
Ia tahu mereka akan pergi untuk bermain golf, hanya saja perkataan sang Ayahanda tentang seseorang yang ingin sekali bertemu dengannya membuat gadis itu sedikit khawatir. Ia khawatir jika asumsinya sejak kemarin menjadi kenyataan. Meskipun sebetulnya kedua orang tuanya tidaklah menyinggung apapun terkait perjodohan. Namun tetap saja ia tidak bisa menghilangkan rasa was-was itu saat kedua orang tuanya terlihat mencurigakan ketika ditanyai siapa yang ingin bertemu dengannya.
Regina
Selalu ada banyak hal yang bikin hari Sabtu gue terganggu. Entah itu karena Mami yang tiba-tiba minta diantar ke pasar traditional pagi-pagi buta, Refal yang kadang nyuruh gue ini itu, atau kalau nggak Papi minta ditemani pergi ketemu temannya.
Gue nggak pernah ngerti olahraga golf, pun ini juga pertama kalinya gue datang langsung buat lihat gimana bentukan lapangan golf. Ternyata sama aja, ya? Iya, sama aja kayak lapangan-lapangan pada umumnya — hijau. Gue pikir bakalan beda karena katanya olahraga ini punya budget yang lumayan fantastis. Mungkin kalau dilihat baik-baik, yang bikin beda dari lapangan pada umumnya adalah lapangan golf cenderung nggak landai. Ada bagian sisi lapangan yang kelihatan bergelombang dibandingkan dengan lapangan bola yang semua orang tahu dari berbagai sisi kelihatan rata.
"Kamu tahu ndak kenapa olahraga golf itu mahal?" Gue menoleh kearah Papi begitu selesai meneliti apa Istimewanya tongkat golf yang ada di tangan gue sekarang.
"Tongkatnya mahal?" ujar gue dengan asal yang bikin Papi terkikik kecil. Kayaknya orang juga bakalan berpikir sama kayak gue waktu ngeliat baja mengkilap satu ini deh?
"Bukan tongkat aja yang mahal, tapi semua peralatan yang dipakai juga sama mahalnya. Ada juga lapangan." Gue lumayan agak ternganga ketika lapangan masuk dalam list yang bikin golf jadi malah. Ini lapangan loh? Cuma hamparan tanah kosong sama rumput?
"Jangan salah kamu. Sewa lapangan golf itu juga mahal, pemeliharaan sama air untuk bikin lapangannya tetap bagus juga butuh uang yang banyak."
Nggak salah. Iya, nggak salah. Perspektif orang soal golf itu olahraga mahal emang nggak salah kalau lapangan aja jadi alasan kenapa olahraga satu ini punya orang-orang berduit.
"Ngomong-ngomong ini teman Papi kok nggak datang-datang, ya?" celetuk gue karena udah hampir dua puluh menit kita berdua nunggu.
Mami hari ini nggak jadi ikut karena Refal nggak jadi pergi dan malah pacarnya yang mau datang ke rumah. Mungkin pikir Mami nggak bakal enak kalau tuan rumah semuanya pergi dan biarin tamu yang jauh-jauh datang dari Surabaya nggak disambut langsung.
"Sabar, pasti udah dijalan."
Yang nyebelin disini adalah Refal selalu lepas tanggung jawab kalau udah berkaitan sama orang-orang yang ada di bisnis Papi. Kalau ditanya kenapa alasannya, dia bilang jokes mereka nggak masuk di telinganya. Ya... Nggak salah juga, namanya bapak-bapak? Maksud gue adalah, Isn't is good opportunity for him, buat belajar hal baru? Kalau gue yang pergi kan makin nggak ngerti, karena ranah gue bukan di bisnis?
"Emang Papi kenal sama orangnya dimana?" tanya gue penasaran, karena kayaknya sejak kemarin kelihatan excited banget dibandingkan ketemu teman-temannya yang lain.
"Di Bali. Papi dikenalin sama Pandu waktu itu. Terus Papi ngobrol-ngobrol banyak sama beliau soal properti." Skill bapak-bapak tuh gitu, ya? Paling gampang nyari teman, asalkan nyambung aja.
"Mas Haris, gimana kabarnya..." Gue dan Papi spontan menoleh kearah sumber suara.
Deg.
Gue terdiam seribu bahasa ketika sadar siapa orang yang ada didepan gue saat ini. Oke, katakanlah gue bodoh atau lupa, did my father mentioned his name before or I'm just being deaf at the moment?
Sial, jadi yang dimaksud Papi itu Regis Marini...
"Mas Regis... Gimana tadi perjalanannya?"
"Puji Tuhan bisa keluar dari macet." Otak gue tiba-tiba ngeblank begitu pandangan gue dengan beliau bertemu.
"Ini anakku, namanya Regina." Dengan senyum kikuk gue menjabat tangan beliau. Agaknya beliau juga sadar kalau gue sedikit tremor.
"Dia jadi residen di rumah sakitmu." Ujar Papi yang bikin Om Regis kelihatan makin penasaran.
"Departemen apa kalau saya boleh tahu?"
"Saya di bagian Pediatric, Pak." Jawab gue yang membuat Pak Regis langsung mengangguk-angguk kecil.
Dalam hati gue cuma bisa senyum karena gue yakin beliau nggak kenal gue. "Mungkin Pak Regis belum lihat saya karena tidak lama setelah itu Pak Theodore yang jadi direktur." Gue ingat pernah bertatap muka dengan Pak Regis itu cuma tiga kali, itupun bukan cuma gue sama beliau, tapi seluruh residen yang ada di rumah sakit. Jadi kemungkinan buat beliau tahu Regina yang mana udah kelihatan susahnya kayak gimana.
"Benar juga. Gimana rasanya punya atasan seperti Theodore?" Jebakan. Benar-benar salah gue ikut Papi kesini hari ini...
"Sejauh ini menurut saya Pak Theodore sangat bertanggung jawab. Beliau juga bukan tipe orang sungkan dengan bawahannya." Jawab gue nyari aman karena gue tahu kalau gue ngomong banyak karir gue udah pasti berakhir.
"Santai saja dengan saya. Theodore hari ini tidak ikut saya karena ada urusan lain, jadi kamu tetap aman hahaha." Mau nggak mau gue ikutan ketawa kaku dengan perasaan bingung. Bingung kalau tiba-tiba gue cuma di prank terus Pak Theodore beneran datang.
"Datang sendirian Mas berarti?" tanya Papi ingin memastikan.
"Nanti anakku Alex nyusul. Kamu kenal Alex, kan?" Senyum gue seketika memudar saat itu juga, berbarengan dengan sosok tinggi berpakaian serba hitam tak lupa leather jacket miliknya yang tertangkap oleh indra penglihatan gue berjalan mendekat.
Astaga, kenapa gue nggak kepikiran kalau dia juga kemungkinan ada disini...
"Ini dia anaknya..." Alex sempat beradu tatapan dengan gue untuk sesaat lalu kemudian menyunggingkan senyum ke arah Papi.
"Alex, ini Om Haris. Ini orang yang Papa ceritain kenal di acara Pandu." Mereka berjabat tangan dan saling menyapa satu sama lain.
"Terus ini ada Regina, dia juga residen di rumah sakit kita kayak kamu." Gue sempat diam lumayan lama waktu Alex menyodorkan tangannya didepan gue untuk mengajak jabatan tangan.
"Alex." Katanya yang gue balas dengan senyum kaku, "Regina."
Alex Marini...
Nggak banyak yang bisa gue ungkapkan soal cowok satu ini. Berawal dari hilangnya kunci apartemen gue waktu itu, gue akhirnya tahu kita bertetangga. Pun setelah itu kita nggak benar-benar mengenal satu sama lain karena nggak ada hal yang mendasari, gue tetap senang dia bukan tipe orang yang dingin.
Setahun menjadi tetangga seorang Alex Marini nggak membuat gue akhirnya bisa berteman baik dengan dia. Kita cuma akan bertegur sapa singkat ketika bertemu, lalu kembali dengan urusan masing-masing.
"Lo suka golf?" Gue sedikit terperanjat ketika suara miliknya itu berada di sekitar gue.
"Menurut lo?" tanya gue balik yang bikin dia terkikik geli setelah melihat gimana cara gue memegang baja mahal satu ini.
Senyumnya...
Alex punya sesuatu didalam senyumnya itu. Tapi gue nggak tahu itu apa.
"Lo tahu bokap kita temenan?" tanya gue sambil memperhatikan dua orang insan di ujung yang sedang asik bercanda tawa, sebelum akhirnya menoleh menatap Alex yang sedang mengambil ancang-ancang bak seorang pro dengan mata yang fokus pada bola putih sebagai sasaran pukulannya.
"Mungkin?" ujarnya sebelum akhirnya mengayunkan tongkat miliknya itu yang mengenai tepat sasaran.
Begitu memutuskan untuk nggak lagi tinggal di apartemen dan kembali tinggal ke rumah, interaksi antara gue dan juga Alex pun juga ikut berhenti. Gue ingat kita kembali bertegur sapa setelah Damian dan Alessia pacaran. Pun memang ketika ada kesempatan.
"Kenapa pindah?"
"Pardon?" Dia kembali tertawa kecil yang bikin gue pun seketika terdiam.
"Lo kenapa pindah apartemen?" Ini nggak salah kan? Dia nanya kayak gini setelah setahun berlalu?
"Pengen balik ke rumah aja. Suka kangen masakan Mami." jawab gue klise yang dia respon dengan anggukan kecil.
One of the worse thing about homesick itu ya ini. Sekalipun gue bisa aja bolak-balik ke rumah, tapi feelsnya beda banget waktu gue mampir cuma buat minta makan, dibandingkan pulang yang benar-benar pulang terus langsung disuguhi masakan Mami.
"Kenapa?" tanya gue bingung. "Kenapa apa?" respon dia balik.
"Kenapa baru nanya sekarang?" Karena harusnya dia nanya hal ini begitu tahu gue nggak lagi tinggal di lingkungan apartemen yang sama kayak dia lagi.
"What's stopping you?"
What's stopping him to ask me those questions at the first place?
"You."
8 notes
·
View notes
Text
: Kelemahan
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/c459d4dc759cba9e697783ce28572dba/002af06918ca805c-f9/s540x810/b7ad9bc1d3d0567dcde1753c7add18d9830ccb8a.jpg)
Ini sudah jam pulang sekolah. Karena tadi berjanji untuk pulang bersama, sekarang Yofie berjalan niat menuju ruang kelas milik Jurael. Mereka sama berada di kelas 2 SMA, hanya saja berbeda ruangan kelasnya.
“Yofie!” panggil seseorang yang kini berjalan cepat ke arah Yofie.
“Joel? Kenapa?” tanya Yofie heran.
“Mau nyamperin Jurael?”
Yofie mengangguk.
“Yofie, Jurael tuh bahaya, mending mulai sekarang kamu jaga jarak dari dia” sembari menggenggam tangan Yofie, Joel berusaha meyakinkannya.
“Bahaya?” Yofie memiringkan kepalanya, ia sungguh tidak paham dengan apa yang di maksud oleh Joel.
“Karena dia itu-
Ucapan Joel terhenti, lidahnya seketika kalu, genggaman tangannya kepada tangan Yofie pun sudah terlepas, lalu pelan-pelan ia memundurkan langkahnya. Karena menyadari Jurael yang saat ini sudah berdiri tepat di belakang Yofie.
Tubuh Yofie pun sama ketakutannya, karena seperti Joel, dirinya juga adalah seorang Alpha.
Jurael mengeluarkan aroma feromon tanda kemarahan, ia tidak suka melihat Joel yang tadinya dengan sangat lancang menggenggam tangan Yofie.
Kembali rra ingatkan. Feromon itu adalah aroma tubuh alami, yang bisa di gunakan untuk memikat, tapi bisa juga di gunakan untuk membunuh.
Kini sudah Jurael genggam erat tangan Yofie. “Ayo pulang kak, aku udah lapar, nanti kakak mau masak makan malam buat kita kan?”
Walau tubuhnya gemetar, Yofie tetap mengangguk menuruti Jurael. Mereka pun pergi, meninggalkan Joel yang masih mematung.
Tidak perlu waktu lama untuk mereka sampai di apartemen milik Yofie. Sejak awal SMA Yofie memang tinggal sendiri. Tak ada alasan khusus, ia hanya ingin mandiri.
Dan apa hubungan Yofie dengan Jurael? Sejak kecil mereka sudah selalu bersama, lahir dan di besarkan bersama. Sebab orang tua mereka yang berteman dekat.
Meski umur mereka hanya berjarak beberapa bulan, Jurael punya kebiasaan memanggil Yofie dengan embel embel ‘Kakak’. Namun sebenarnya ia tidak pernah benar-benar menganggap Yofie sebagai seorang kakak. Karena faktanya ia menyukai Yofie, bahkan Jurael sudah sering mengungkapkan perasaannya kepada Yofie. Anehnya Yofie selalu menganggap hal itu sebagai candaan, padahal nyatanya Jurael sangat serius.
Entah Jurael menggenggam tangannya, memeluknya, atau selalu manja kepadanya, Yofie tidak pernah merasa risih bahkan sampai mengeluh. Mungkin karena Yofie lah yang serius menganggap Jurael sebagai seorang adik.
Tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Setelah gender mereka di tentukan, mungkinkah Yofie masih bisa tahan dengan setiap kontak fisik yang biasa Jurael lakukan padanya?
~🐮🐯~
Seperti permintaan Jurael ketika tadi di sekolah, saat ini Yofie sedang memasak untuk makan malam mereka.
Sedang mengaduk bumbu, tiba-tiba Yofie rasakan tubuh hangat seseorang yang sedikit lebih besar darinya, kini memeluknya dari belakang. Memeluk pinggang rampingnya dengan dagu yang sudah bertumpu nyaman di atas bahu sempit miliknya. Yang tidak lain orang itu adalah Jurael.
“Aku suka bau feromon kakak, enak.. you’re an attractive Alpha” ucap Jurael sambil mulai meletakan wajahnya pada tengkuk leher Yofie, lalu di hirupnya aroma tubuh alami Yofie dengan nikmat.
Jantung Yofie berdetak tidak karuan. Tidak seperti saat bersama Joel tadi, kali ini aroma feromon yang Jurael keluarkan sangat lembut. Hingga membuat tubuh Yofie terasa lemas karenanya.
Merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri, cepat Yofie dorong tubuh Jurael untuk sedikit menjauh darinya.
“A-aku lagi masak! Jangan ganggu dulu biar cepat siapnya” bentak Yofie.
“Kak? Wajah kakak kenapa merah banget? Lagi gak enak badan?” tanya Jurael dan tangannya mulai menyentuh pipi Yofie.
“Gak kok! Udah, mending kamu duduk diam aja” Yofie tarik Jurael untuk duduk di bangku meja makan.
~🐮🐯~
Yofie mulai menata makanan yang selesai ia masak ke atas meja.
“Kakak, i’m Enigma” ucap Jurael memecahkan keheningan.
Yofie tersenyum. “Iya, aku tahu kok”
“Sama kaya Alpha lainnya, kakak juga takut sama aku?”
Yofie ingin menjawab ‘Iya’ namun ia urungkan. Karena takut jawabannya bisa membuat suasana hati Jurael buruk, dan ia akan membuat keributan setelahnya.
Yofie menggeleng. “Gak mungkin aku takut sama kamu” bohongnya.
Sebuah senyuman terukir pada wajah tampan Jurael. Kemudian ia berdiri dari duduknya. “Kalo gitu peluk aku”
Padahal ini adalah hal biasa yang sering Jurael minta padanya. Anehnya Yofie merasa kaget, namun ingin terlihat normal, tentu ia menuruti Jurael.
“Aku sayang sama kakak” gumam Jurael yang sudah memeluk Yofie erat.
Setelah 10 menit pelukan mereka pun terlepas.
“Ayo makan kak-
Betapa kagetnya Jurael ketika melihat wajah Yofie yang semakin memerah. Bukan merah merona, tapi merah padam seperti orang demam. “Kak, are you okay?” Paniknya.
Yofie hanya menunduk, tangannya mencengkeram baju Jurael. “I’m okay, but.. bisa gak kamu stop buat ngeluarin feromon kamu?”
“Ahh.. aku gak sadar kak, feromon aku bikin kakak pusing ya?”
Bukan hanya pusing, tetapi membuat Yofie tidak waras. Karena aroma feromon yang Jurael keluarkan adalah feromon untuk memikat. Membuat Yofie terangsang hebat karenanya.
Jurael sedikit menunduk untuk menatap jelas wajah Yofie. Wajahnya masih merah dan tampak tersiksa.
Seolah paham dengan apa yang terjadi. “Kakak.. lagi di fase rut?” tanya Jurael ragu-ragu.
Yofie yang di tanya hanya diam.
“How can i help you?”
Spontan Yofie mundur sambil menutupi wajahnya. “Gak! Aku gak papa kok!”
Jurael diam sesaat, sebelum mulai menarik Yofie masuk kembali ke dalam pelukannya. “Kalo di tahan, itu bakal nyiksa kakak, biarin aku bantu kakak ya? Aku gak keberatan kok” tutur Jurael.
Mulai Jurael longgarkan pelukannya. Di singkirkannya makanan yang tadi masih tersusun rapi di atas meja, berganti dengan tubuh Yofie yang Jurael angkat dengan mudah untuk duduk di atas meja makan itu.
Tidak tega melihat kesayangannya semakin tersiksa. Tanpa pikir panjang Jurael tarik tengkuk leher Yofie, lalu mulai mencumbu bibir tipisnya lembut. Membuat tubuh panas Yofie semakin tidak tertahankan.
Jurael memperdalam ciumannya, hingga Yofie melenguh pelan dari dalam sela-sela ciuman yang Jurael pimpin.
Walau sudah tidak tahan, namun Yofie masih cukup sadar dengan keadaan yang berbahaya saat ini. Yofie dorong kuat tubuh Jurael.
“Pulang”
“Tapi kak-
“Pulang Jurael..” mohon Yofie.
Merasa sedikit bersalah dengan apa yang barusan ia lakukan. “Maaf.. habis ini kakak jangan lupa makan, ya”
Jurael mengusap kepala Yofie, sebelum dirinya benar-benar pergi.
Suara pintu apartemen tertutup, menandakan Jurael sudah pulang.
Setelahnya Yofie masuk ke dalam kamar. ia terduduk lemas sambil menatap dirinya sendiri dari balik kaca. Menyadari bagian bawahnya yang telah menonjol minta untuk di puaskan, Yofie berlari masuk ke dalam kamar mandi. Lalu memuaskan dirinya sendiri di sana. Menyedihkan? Tapi beginilah adanya.
Yofie adalah Alpha, sedangkan Jurael adalah Enigma. Jika Yofie menyerahkan dirinya kepada Jurael maka jati dirinya sebagai seorang Alpha akan hilang. Dirinya akan menjadi setara dengan seorang Omega, dan Yofie tidak menginginkan hal seperti itu.
Enigma terlalu berbahaya, seorang Alpha manapun pasti akan menjadi sangat tidak berdaya jika bersamanya.
Karena Jurael adalah kelemahannya, Yofie harus menjauhinya.
7 notes
·
View notes
Text
CW/NSFW/ONESHOOT/BLOWJOB/HARSWORD
ㅤㅤㅤ⠀ㅤㅤㅤ⠀𝐴𝑓𝑡𝑒𝑟 𝑙𝑎𝑠𝑡 𝑛𝑖𝑔ℎ𝑡.
"Yang di belakang, apa yang terjadi? Terjadi sesuatu?" tanya kepala Seminar melalui microfon nya.
"T-tidak, tidak terjadi apa-apa." jawab Yasfa sambil membenahi duduk nya, sedangkan tangan Zulfan masih berada di area kewanitaan Yasfa, beruntung paha Yasfa tertupi oleh tas miliknya.
"Hei, kamu gapapa? Wajah kamu memerah, sakit?" tanya seorang Mahasiswi pada Yasfa yang duduk di samping nya.
Tidak tau saja wajah Yasfa memerah karena baru saja mencapai puncak klimaks nya.
"Gapapa, terimakasih." Yasfa membalas dan tersenyum untuk meyakinkan bahwa ia baik baik saja.
Detik berikutnya, mata Yasfa memincing dan menatap tajam pada Zulfan dengan umpatan yang ia tunjukan untuk orang yang telah membuatnya kacau.
"Zulfan Bajingan."
Yang di umpati malah menyeringai puas dengan tindakan yang baru saja dia lakukan kepada gadisnya.
Setelah insiden siang tadi di acara seminar Yasfa dan Zulfan pulang bersama, Zulfan menemani gadis itu yang mempunyai acara bersama teman satu fakultasnya. Akhir - akhir ini Zulfan tidak mau melepaskan Yasfa seorang diri. Dia selalu membuntuti atau ikut bersama gadis itu ke manapun.
Setelah acara itu selsai, entah mengapa Yasfa berpikiran untuk membalas perbuatan Zulfan tadi siang di aula. Dia menyeringai kecil saat lihat Zulfan yang masih sibuk dengan ponselnya.
" Ayo balik, gue mau nginep di apart lo "
" Tumben banget Yas "
" Apart gue lagi ada perbaikan, keberatan lo? "
" Gak gitu gue seneng cantik, lo bisa tidur di kasur gue. Gue bisa di sofa "
" Bagus "
Sesampainya di Apartemen Zulfan, Yasfa langsung melepaskan pakaian nya dan hanya menyisakan celana dalam dan bra nya saja, membuat Zulfan langsung menelan ludah. Melihat tubuh Yasfa dengan sempurna itu membuat bagian selatan nya mulai mengeras kembali, dia sudah mati - matian untuk menahan nya sedari tadi. Tapi apa ini? Yasfa dengan seenaknya membuka itu dengan suka hati memang kurang ajar.
" Gak ada adab banget langsung buka , bukan nya di kamar mandi "
" Ya gue kan gerah nya disini "
" Terserah, gue mau ke kamar deh pegel ni badan. Kalau lo mau tidur bilang aja biar gue pindah "
" Iya "
Yasfa yang menatap kepergian Zulfan jelas sudah hafal bahwa dia adalah pria yang kelebihan hormon, perlahan dia mengikuti Zulfan yang sedang berbaring di kasur dengan terlentang. Sepertinya kelelah, namun Yasfa tidak mengurungkan niatnya untuk membalas dendam kepada Zulfan.
Yasfa menghampiri nya, Zulfan sepertinya sudah mulai memejamkan matanya karena kelelahan. Dengan perlahan Yasfa duduk diatas pangkuan Zulfan yang sedang terlelap, mencium seluruh wajahnya dan turun mencium bibirnya lembut.
Zulfan belum terlelap sepenuhnya, sungguh sebenarnya dia menahan nafsu dari siang untuk tidak melampiaskan nya kepada Yasfa, namun jika sudah begini apa boleh buat, di sudah tidak kuat lagi.
Yasfa memperdalam ciuman nya, menghisap bibir Zulfan dengan begitu lembut dan teratur. Zulfan dibuat mabuk kepayang dengan ciuman nya, tangannya mulai menyentuh gundukan yang sekarang tepat di atas penisnya yang mulai mengeras. Yasfa dengan sengaja menggerakan pinggulnya untuk menyentuh penis milik pria itu.
Gadis itu melepaskan ciuman nya, mengusap bibir pria itu yang basah karenanya. Menyeringai perlahan dan menatap pria itu dengan senyuman nya.
" Sekarang lo yang harus rasain hukuman gua "
" Jangan aneh aneh lo, Yas "
" ssssttttt- anak baik gaboleh nakal sayang"
Dengan perlahan Yasfa membuka seluruh pakaian yang di kenakan oleh Zulfan, dan terakhir menurunkan celana dalam milik pria itu yang langsung disambut oleh kejantanan Zulfan.
Yasfa terkejut, tidak menyangka bahwa milik Zulfan sebesar ini. Apakah akan cukup di dalam mulutnya?
"Kenapa? Kaget lo punya gua segede gini?" tanya Zulfan dengan pongahnya.
Enggan membalas pertanyaan Zulfan, Yasfa menunduk dan langsung menggenggam kejantanan Zulfan. Mengulum kepala kejantanannya dengan pelan, hal itu sukses membuat desahan pertama Zulfan lolos.
"Ahh—" desah Zulfan memejamkan matanya menikmati miliknya berada di mulut Yasfa.
Tak lama Yasfa melahap kejantanan Zulfan sekaligus, memasukinnya semaksimal mungkin dan menghisapnya di dalam tenggorokan, kepalanya mulai bergerak pelan dan sesekali keluar masuk kan Kejantanan Zulfan di mulut.
"Eughh— humhh—" desah Yasfa tertahan, tangan Yasfa tidak tinggal diam ; ia memainkan kedua bola kembar Zulfan kemudian meremasnya pelan.
"Ahh— shh. . ." desis Zulfan saat di rasa miliknya sedangkan di manjakan oleh Yasfa, kepalanya ia gerakan karena nikmat dan tangannya memegang kepala Yasfa yang sesekali meremas rambutnya menyalurkan rasa nikmat yang di rasa.
"Umhh— flop. ." desahan dan bunyi hisapan di lepas, lidah nya Yasfa julurkan dan tangannya mengurut Kejantanan Zulfan narik turun.
Ujung Lidah Yasfa mendekat ke area kepala Kejantanan Zulfan, dengan kurang ajar ia menjilat dan menggelitiki lubang kencing Zulfan, gerakannya memutar sengaja menggoda Zulfan.
"Arghh— shh umh. . . " mata Yasfa teralih, ia menatap ekspresi Zulfan tanpa menghentikan kegiatan menggoda lubang kencing nya.
"Umhh— cuph— heuh. ." di sela kegiatannya Yasfa mengecup pucuk kejantanan Zulfan berkali-kali. Kemudian meremas kembali dengan sensual, sesekali mengurutnya lagi.
Kali ini mulut Yasfa menyambar dua bola kembar milik Zulfan, mengemut keduanya dan menghisapnya.
"Arngh— mulut lo anjing banget Yasfa angh. ." umpat Zulfan, Dia langsung mengubah posisi nya menjadi duduk. Kepalanya ia tundukan untuk melihat aksi Yasfa.
Dari atas sini bisa Zulfan lihat betapa sexy dan panasnya Yasfa yang hanya mengenakan celana dalam saja. Tangannya terulur kembali untuk mengusap kepala Yasfa, sesekali meremasnya saat kenikmatan berlebihan menyerangnya.
Kepala Yasfa mendongkak dan pandangan kedua matanya bertemu. Di sela-sela kegiatan nya Yasfa dapat melihat wajah Zulfan memerah menahan nafsu.
Tangan Zulfan memegang kepala Yasfa, diangkatnya pelan kepala Yasfa yang otomatis hisapan pada kejantanan nya terlepas.
"Ssh— cukup sayang, gua ingin setubuhi lo, gua udah ga—"
"No, gak semudah itu, sayang. ." ucap Yasfa memotong perkataan Zulfan. Yasfa mendorong kembali Zulfan untuk Terlentang.
Sedangkan ia sendiri kembali berhadapan dengan milik Zulfan. Tanpa aba-aba langsung melahap lagi milik Zulfan sampai ujung tenggorokan nya.
"Ashh— berhenti yasss ahh.."
Tidak dapat Zulfan pungkiri, nyatanya ia tidak bisa menolak apa yang di berikan Yasfa pada Kejantanan milik nya meskipun mulut berkata dan menyuruhnya berhenti, namun tidak dengan reaksi tubuhnya.
Mendengar desahan suara Husky nya. Yasfa semakin bersemangat dan langsung mengurut Kejantanan Zulfan menggunakan mulut dengan cepat, sesekali mengerit gemas batang coklat kejantanan nya menggunakan kedua gigi.
Mengemut, menghisapi, mengerit dengan gigi itu yang Yasfa lakukan. Tak lama kemudian, Yasfa menggerakan kepalanya dengan cepat, mengocok milik Zulfan di dalam mulut.
"Aahh— f-fuckhh hah. . ." umpat Zulfan, tangannya memegang kepala Yasfa dan ikut menggerakan kepala Yasfa agar makin cepat.
Menekan kepala Yasfa untuk memasukinya lebih dalam yang sukses membuat Yasfa tersedak.
"Ughh— hukh— eungh. . ." lenguh Yasfa dan tersedak di sela kuluman milik Zulfan.
Saat merasakan Kejantanan Zulfan yang berkedut di dalam mulut menandakan Orgasme akan datang sebentar lagi, maka dari itu, Yasfa segera menghisap kuat Kejantanan Zulfan di dalam mulut sembari meremas nya kuat, dan tak lama. . .
"A-ssh- fuckh baby yeah— argh. . .-"
Lenguhan serta desisan panjang Zulfan terdengar indah dan merdu di telinga Yasfa sendiri saat ledakan Klimaks memenuhi mulut Yasfa.
Saking banyakan Sperma dan tidak muat di tampung semua pada mulut Yasfa, akhirnya Yasfa mengeluarkan sebagian spermanya dari mulut dan itu melumuri area leher Yasfa akibat sperma yang di keluarkan.
Tanpa rasa jijik sama sekali, Yasfa langsung menelan habis sisa cairan sperma yang berada di dalam mulutnya dengan habis tanpa tersisa.
Tangan Yasfa belum berhenti mengurut kejantanan Zulfan, kemudia ia mendongkakan wajahnya untuk ia sejajarkan dengan kejantanan Zulfan.
Yasfa mengurut kembali milik Zulfan untuk mengosongkan semua sisa sperma yang masih di dalam lubang kejantanan Zulfan, sengaja Yasfa sejajarkan dengan wajahnya agar sperma tersebut mengenai wajah Yasfa.
"Hah— ssh. . . " desis Zulfan saat ia mengeluarkan sisa sperma pada wajah Yasfa.
Saat dirasa sperma Zulfan kosong, Yasfa menampar-nampar kejantanan Zulfan pada wajah nya, melumuri wajahnya dengan sisa sperma, kemudian ia tersenyum puas.
"Your punishment have done babe."
" Ah anjing gua kan pengen lobang lu Yasfa "
" in your dream bajingan "
" fuck u "
Yasfa meninggalkan Zulfan yang terkapar lemas setelah aksinya tadi. Dia tau Zulfan akan tersiksa jika belum tuntas keinginan nya di penuhi, tapi bukan Yasfa namanya jika perlakuan yang mengganggu nya tadi siang tidak ia balaskan.
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/c906c4ad5f55d6de4b650ff1ac4289b5/90f7489793fa5f99-b9/s540x810/6a7f4da059f4ef7c6e7fa2d6036bb2d57702ccac.jpg)
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/ccfc76f2c4d736ca71d2096994ed953d/90f7489793fa5f99-e8/s540x810/1b324489465b70980f0c1f5dfc85c480a2567c5b.jpg)
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/799cd4e4a3ef873956da9288f6912cb5/90f7489793fa5f99-d6/s540x810/00e9294057affe82f44f756e36a3313d6a5e13ba.jpg)
9 notes
·
View notes
Text
#3 - Tentang Jalan yang Kerap Saya Lalui
Baru hari ketiga saya sudah bingung mau menulis soal apa. Dari awal muncul keinginan untuk menulis selama 30 hari ini, saya tidak berniat membuat daftar topik atau tema tertentu. Tujuan saya cuma satu, saya ingin rutin menulis. Saya juga tidak menarget tulisan itu harus yang presentable, serius, atau melulu soal hal personal. Bahkan kalau bisa saya ingin mengurangi nulis hal personal seperti ini. Saya mau sedikit lebih serius. Platform daring saya pilih karena ada kepuasan tersendiri saat bisa mengklik tombol “Post”, dan tahu bahwa setidaknya akan ada satu orang yang membaca unggahan saya. Terkadang saya menulis di buku, terutama untuk topik yang masih mentah dan/atau terlalu personal. In hindsight, saya suka mendokumentasikan hari-hari yang telah berlalu lewat tulisan.
Jika membicarakan soal keseharian, ada beberapa tempat atau landmark yang saya lewati setiap hari. Selama enam tahun terakhir, sebagian aktivitas saya berlokasi di kampus dan kantor yang berada di area kampus. Sewaktu bekerja paruh waktu pun, lokasinya tidak jauh dari kampus saya. Makanya, saya melewati jalan yang sama, yaitu Jalan Magelang. Kata seorang teman SMA saya yang rumahnya di Ngaglik, “Jalan Magelang itu membosankan karena cuma lurus saja.” Kebetulan teman saya satu ini memang tipe orang eksperimental. Ia suka mencoba jalan alternatif menuju sekolah dan kampus untuk menghindari Jln. Magelang. “Aku lebih suka lewat jalan kecil yang berkelok-kelok dibanding jalan raya yang cuma lurus aja dan ramai.” Good point.
Kalau tidak sedang buru-buru, saya mengendarai motor dengan laju yang lambat. Saya senang melihat-lihat jalan. Dari amatan saya yang tiap hari lewat Jln. Magelang, saya menyadari beberapa hal menarik dan beberapa perubahan di sepanjang jalan ini. Namun perlu saya beri keterangan sedikit bahwa rentang kilometer jalan yang saya lalui tiap hari adalah kilometer 14 hingga kilometer 5 saja. Pertama, banyak terdapat toko otomotif dan bengkel di sepanjang jalan ini. Suatu kali saya berangkat ke kantor pukul 9 pagi dan area jalan yang di pinggirnya ada toko otomotif dan bengkel pasti ramai. Sampai saya kira hari itu adalah hari otomotif sedunia, saat semua pemilik mobil dan motor membawa kendaraan mereka ke bengkel untuk diservis. Dosen saya juga mengakui bahwa Jln. Magelang kilometer tertentu telah berkembang menjadi pusat-pusat otomotif. Tidak heran jika seiring waktu, bertambah pula dealer toko otomotif yang menjual kendaraan bermotor baru dan bengkel-bengkel di sepanjang Jln. Magelang.
Saya coba mencari sejarah perkembangan toko otomotif dan bengkel di Jln. Magelang, tapi tidak ketemu. Tulisan paling mendekati yang saya temukan adalah bab pendahuluan sebuah tugas akhir. Dalam tulisan itu, disebutkan bahwa perkembangan industri otomotif didorong oleh semakin tingginya pengguna kendaraan bermotor. Hal tersebut mendukung munculnya toko otomotif dan bengkel yang menjual bagian tertentu dari kendaraan bermotor, atau spare parts, sekaligus melayani perbaikan dan servis rutin. Si penulis tugas akhir ini melakukan observasi mengenai manajemen bengkel di salah satu bengkel di Jln. Magelang. Melalui potongan-potongan informasi itu, saya berusaha menghubungkan perkembangan industri otomotif yang didorong oleh peningkatan permintaan kendaraan bermotor, dengan perkembangan toko otomotif dan bengkel. Tentu saja ide ini berhenti di situ saja, saya tidak punya data untuk membuktikannya.
Hal kedua yang saya perhatikan dari Jln. Magelang adalah perkembangan restoran. Dalam satu-dua tahun terakhir semakin banyak restoran baru di sepanjang jalan ini. Selain restoran, ada pula bar-bar baru yang menyusul di sebelahnya. Mungkin, di masa depan jalan ini akan mirip seperti Jln. Kaliurang yang didominasi warung makan dan apartemen. Hal ketiga yaitu sering terjadi kecelakan di sepanjang jalan ini. Saya sudah berkali-kali menyaksikan kecelakaan dan melewati lokasi kejadian yang masih ramai. Menurut hemat saya, ada beberapa titik di jalan ini yang memang rawan kecelakaan. Salah satu penyebabnya, mungkin, karena jalan ini lurus, halus, dan pada kilometer tertentu jarak lampu lalu lintas cukup jauh. Ketiga hal itu bikin para pengendara mengebut. Saya sering perlu menunggu lama untuk bisa menyeberang, sebab kendaraan dari arah berlawanan tidak mau berhenti. Rasanya, menyeberang di Jln. Magelang seperti itu seperti uji nyali.
Kadang saya merasa seperti turis di kota yang telah saya diami selama belasan tahun ini. Tempo hari saya melihat cuitan berupa tangkapan layar pembicaraan dua orang. Salah seorang diantaranya bilang begini: kalau soal udara jogja aman, tapi kalau soal gaji memang bikin ispa. Saya tertawa menangis membaca itu. Yah, daerah dengan ketimpangan paling parah ini memang separah itu. Sialnya, daerah ini terlanjur membangun citranya sebagai kota pendidikanlah, kota wisatalah, kota budayalah. Ada yang lupa bahwa daerah ini juga merupakan kota ketimpangan, kota kemiskinan, kota amburadul, dan kota polusi (meski jika dibandingkan dengan kota besar lain, yah, bolehlah daerah ini berada di peringkat bawah). Jalan Magelang yang semrawut saat rush hour menandakan kurangnya perhatian pemerintah pada transportasi publik. Saya pikir, kalau transportasi publiknya bagus dan dapat mengakomodasi kebutuhan mobilitas penduduknya, pasti banyak yang meninggalkan kendaraan pribadinya di rumah.
Sepertinya saya akan terus memiliki perasaan benci dan cinta pada kota ini. Saya benci pada Jln. Magelang yang saya lewati setiap hari karena ramai, penuh kendaraan yang ngawur, membosankan, dan semrawut. Namun saya juga menyukai jalan ini, for the sake of good memories.
2 notes
·
View notes