#tanpa_tangan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Tanpa Tangan #1
Lampu kota masih tetap sama. Tidak ada yang berubah darinya, walau sudah lama aku tak keluar untuk sekedar berdiri diam menatapnya.
Apa rasa ini namanya penyesalan?. Pertanyaan kenapa baru sekarang?, Kenapa baru ketika kehilangan kamu sadar?. Pertanyaan yang sampai kapanpun jawabannya tidak akan memuaskan dahaga akan masalah yang sebenarnya bukan masalah.
Hah... Helaan nafasku terlihat seperti asap yang keluar dari mulut naga. Dinginnya malam kota memang luar biasa. Namun, melihat lampu itu menyegarkan pikiran ku. Membuatku lupa akan rasa sakit yang sedang ku tahan.
Wah.. penyesalan memang datang terlambat, ya?
***
Bunyi klakson yang saling bersahutan dan adu mulut terdengar hingga balkon apartemenku. Hah.. apa lagi kali ini?. Mataku menyusuri jalanan mencari asal keributan. Oh. Kecelakaan?
Aku kembali ke kamarku memutar kursiku untuk kembali menatap layar laptop. Pagi-pagi saja sudah ada hal buruk. Kapan dunia akan tenang?
Namun, bukannya hidupku tidak tenang, hidupku biasa-biasa saja kecuali detik-detik mendekati deadline. Masa-masa itu adalah waktu paling menyeramkan di hidupku. Bahkan aku pernah mematikan jam dinding hanya karena dentingnya terasa seperti hitung mundur sebelum hukuman pancung.
Namun, aku tidak membenci pekerjaan ku. Aku mencintai nya lebih dari apapun, dan karena pekerjaan ini aku masih hidup. Hidup dalam konteks yang luas.
Entah berapa lama waktu berlalu, rasanya bila sudah melakukannya aku tidak bisa berhenti. Hingga suara dering ponselku yang sengaja ku besarkan membuatku kaget.
Nama itu muncul lagi, satu-satunya orang yang menghubungi ku disaat semua orang mengabaikan ku karena sifatku yang kelewat individual. Aku mengangkat panggilan itu dan menyalakan speaker.
"Halo, Jae!" "Hmm, kenapa Nor?" "Mr. Saito ingin bertemu denganmu." "Sudah ku katakan bahwa aku tidak menerima tamu, kan? " "Aku tau, tapi dia bukan orang yang bisa dilarang sembarang orang." "Aku tidak pernah mengikuti aturan, Nora."
Ku dengar helaan nafas frustasi dari ujung sana. Apakah memang ia sepenting itu hingga membuat nora menhianatiku? Mungkin ia memang benar-benar memiliki kuasa itu. Ah, sudahlah apa peduliku?
"Sudah aku tutup."
Aku mematikan ponselku agar tak seorangpun akan mengganguku. Aku menatap layar kotak itu lantas menghela nafas. Ku putuskan untuk rehat sejenak, lagipula bila sudah diganggu aku tidak akan bisa melanjutkannya.
Ya, para polisi itu masih berlalu lalang. Aku beralih menatap pejalan kaki yang melirik-lirik ketempat kejadian namun tetap berjalan. Ada juga pengendara sepeda motor yang sengaja berhenti untuk memuaskan dahaga rasa penasarannya. Ada juga orang yang sama sekali tidak perduli. Anak kecil yang bermain dengan ponselnya. Seseorang yang tampak modis seakan melakukan fashion show di jalanan itu. Manusia itu memang bermacam-macam, terlalu beragam untuk dituliskan.
Aku diam untuk beberapa saat. Rasanya menyegarkan untuk meneliti apa yang orang-orang itu pikirkan tentang kecelakaan yang terjadi. Walau aku tidak sepenuhnya bisa mengerti karena aku bukan mereka. Karena sedalam apapun hubungan kita, tidak mungkin untuk sepenuhnya memahami pikiran orang lain. Itu yang aku tau.
Kini bukan ponsel yang mengangetkan ku, melainkan bel apartemen. Ku biarkan hingga berbunyi tiga kali, dan suara itu berhenti. Mungkin ia menyadari bahwa tidak ada orang di rumah.
Aku kembali menatap keluar, mengabaikan tamu tak diundang itu. Hingga bel ku kembali berbunyi tanpa henti. Dia gila?!. Aku mengambil langkah besar membuka pintu dengan amarah. "Kalau tidak di bukakan pintu itu artinya tidak terima ta—,"
Seakan amarahku menguap ke udara. Tubuhku lemas hampir tak berdaya. Wajah lama itu membuatku sekujur tubuhku kehilangan tenaganya. Wajah yang kini tersenyum menatapku. Senyum yang masih sama. Tatapan mata yang tak berubah. Sialan! Kenapa dia harus kembali sekarang.
"Hai, Je, atau lebih baik ku panggil Jae, penulis novel romansa terkenal, Jae."
Aku refleks menutup pintu. Menimbulkan dentuman keras yang menyadarkan ku dari terkejutan. Nafasku menderu tak beraturan, seakan habis lari maraton. Suara jantungku pun tak kalah memekikkan telinga. Tubuhku gemetar seakan baru saja menghadapi hal paling menakutkan di dunia. Atau memang dia adalah hal yang paling aku takutkan di dunia?.
Dan bagaimana dia tau 'Jae' sedangkan tidak seorangpun yang tau siapa itu Jae, kecuali manajer dan kepala penerbit. Bahkan saat tanda tangan kontrak aku tidak pernah menggunakan nama asliku.
Bunyi bel kembali terdengar. Kali ini terasa menakutkan. Aku menarik nafas dalam. Melangkah menuju layar cctv yang menampilkan pemandangan di depan apartemen ku. Ia terlihat berdiri dengan senyum kekecewaan. Senyum yang membuatku gila. Padahal aku yang seharusnya kecewa, mengapa ia bertingkah seolah-olah dirinya lah yang paling tersakiti.
Aku menekan tombol yang menghubungkan dengan speaker di bel pintu ku. "Pergi, kehadiranmu tidak diterima disini!" ucapku mencoba setegar mungkin walaupun aku sadar suaraku bergetar.
Senyum itu semakin menunjukkan kesedihan. Senyum yang menyakitkan. Namun bukannya pergi ia tampak mencari sesuatu dari tas nya. Dan sebuah pena. Pria itu menuliskan sesuatu lantas menunjukkan nya pada kamera. Tak lupa membunyikan bel yang terdengar sama mengganggunya dengan tinta merah pada secarik kerts kuning itu.
Ding...
"Je, aku hanya ingin bertemu sebentar." tulisnya di notes kecil itu.
Ia lantas kembali menulis dan menunjukkan nya pada kamera. Tak juga meninggalkan denting bel itu.
Ding...
"Aku janji tidak akan mengganggumu."
Ding...
"Aku tau kamu marah atas apa yang terjadi di masa lalu, tapi karena itu aku ada disini. Aku ingin menjelaskannya padamu."
Cih menjelaskan apanya, semuanya sudah jelas bahwa kau bajingan brengsek.
Ia kembali menulis. Dia bodoh kah, padahal ada teknologi yang membuat suaranya akan terdengar pada bel itu. Kenapa melakukan cara kuno tak berguna.
Ding...
"Je, aku tidak akan pergi sampai kau membukakan pintu."
Kenapa ia begitu kekanakan? Kenapa setelah sekian lama kekeras kepalaannya itu tidak pernah hilang. Menunggu? Sedangkan dari dulu dia yang paling benci kalau disuruh menunggu. Padahal dari dulu, ia yang tidak memiliki kesabaran untuk itu.
Ia tiba-tiba mendekatkan diri pada kamera. Entah kenapa aku mendapatkan firasat buruk. Dan ternyata ia tidak sebodoh itu.
"Jeha, maaf"
Suara lembut yang masih sama itu terdengar dari speaker. Tatapan mata yang begitu tulus itu hampir membuatku lupa. Aku menampar diriku keras-keras. Mematikan layar cctv itu.
Ini apasih? Dia kenapa sih? Aku.. apa yang kulakukan...?!
Tubuhku jatuh merosot di dinding. Pandanganku memburam. Rasa panas menguasai pelipis mataku, sensasi yang benar-benar ku benci.
Kenapa aku menangis karena bajingan itu. Kenapa dia harus meminta maaf. Kenapa dia harus kembali. Sial, kenapa aku harus menangis karena mendengar pria itu memanggil nama yang sudah lama tak ku gunakan.
Kenapa...? Kenapa dia kembali sekarang?.
3 notes
·
View notes