#17to17
Explore tagged Tumblr posts
Text
#9 - Hati-hati di Jalan, Banyak Orang Pusing!
Pagi ini saya ditabrak motor dari belakang di Perempatan Beran. Saya ingat baru saja mengerem karena kendaraan di depan saya berhenti. Satu detik kemudian saya merasa ada sesuatu yang menabrak motor saya, “Brukkk!” suaranya keras. Tidak lama setelah itu saya jatuh ke aspal. Saya refleks melindungi kepala karena takut ada kendaraan lain dari belakang yang tidak bisa berhenti tepat waktu. Syukurlah tidak ada. Lalu saya terduduk diam di aspal sambil melihat jari-jari saya gemetaran. Seorang bapak-bapak mengangkat saya dan memapah saya ke trotoar. Pendengaran dan kesadaran saya tiba-tiba berkurang, sampai-sampai si bapak mengguncang badan saya. “Mbak, nggak papa? Mbak, sadar mbak.” katanya. Meskipun gitu, saya bisa berdiri, jalan dipapah si bapak, lalu duduk di trotoar dan merasa ada bagian tubuh yang sakit. Seketika saya meletakkan tas punggung, perlahan melepas helm, dan membuka jaket. Lengan saya berdarah. Saat itu juga saya sepenuhnya sadar dan melihat sekeliling. Orang yang menabrak saya, Mas J, sedang mendorong motor saya dari tengah jalan ke pinggir.
Mas J lecet di bagian kaki dan lengan. Ia pakai sandal dan jaketnya tipis, sementara saya memakai sepatu dan jaket yang tebal. Ia terlihat khawatir, “Mbak, saya bawa ke rumah sakit ya?” Saya menggelengkan kepala, “Saya coba telepon bapak saya dulu, mas.” Satu-satunya hal yang saya khawatirkan adalah kerusakan di motor saya. Eman-eman banget ya allah. Saya menelepon ayah. Mas J duduk di sebelah saya sambil mengecek hp-nya dan menyalakan rokok. Ia sedang menenangkan diri. Sambil menunggu telepon diangkat, saya memperhatikan kerusakan motor saya; kaca spion remuk, badan motor lecet parah, dan plat nomor belakang patah. Oh, no, baru juga awal bulan. Ayah saya mengangkat telepon dan memberi instruksi sebagai berikut. Cek badan, kalau dirasa masih kuat, pulang; kalau ada bagian tubuh yang sangat sakit atau berdarah banyak, segera ke rumah sakit. Saya mengecek badan, tidak ada yang parah. Saya melirik ke Mas J yang duduk di sebelah saya, pipinya lecet, pergelangan kakinya lecet, dan lengannya lecet. Kami sama-sama lecet dan berdarah ringan. Saya lirik motornya, aman, tidak ada kerusakan selain lecet ringan.
Saya diminta ayah untuk pulang dan mengajak Mas J. Ayah saya mau si Mas J bertanggungjawab. Jujur saya tidak tega dengan Mas J. Dari awal dia terlihat merasa sangat bersalah dan khawatir. Bahkan ia menawarkan KTP-nya agar saya simpan sebagai jaminan ia akan bertanggungjawab. Hati saya luluh ketika saya menyimpan nomor WA-nya dan melihat foto profilnya: bayi, yang saya tebak usianya belum sampai dua bulan. Dilihat dari tampangnya, Mas J masih berusia pertengahan 20 tahun. Bisa jadi kami seumuran atau hanya berjarak 2-3 tahun. Sampai di rumah saya disambut ibu yang menangis. (Itulah kenapa saya tidak menelepon ibu meski posisinya lebih dekat. Saya tahu banget traits cengeng, sentimental, dan emosional saya ini datangnya dari mana). Setelah mempersilakan Mas J duduk, ibu mengobati luka saya dengan betadine. Lalu ibu mengambilkan air minum dan makanan ringan untuk Mas J. Si Mas bingung. “Ndak papa, mas. Diminum sama dimakan.” saya bilang.
Sambil menunggu ayah datang, ibu menanyai Mas J tentang kronologinya. Ada pemotor perempuan yang ngebut dan menyenggol motor Mas J hingga ia hampir jatuh. Mas J tidak terima dan berusaha menghentikan si perempuan. Saat itu lampu lalu lintas sudah berwarna kuning, artinya sebentar lagi akan berubah jadi merah. Kendaraan di sekitar saya melambat. Namun si perempuan malah semakin ngebut, dan Mas J berusaha mengejarnya. Kendaraan di depan saya berhenti, otomatis saya juga mengerem. Sayang, Mas J tidak siap mengerem dan akhirnya menabrak saya. Si pengendara perempuan melewati kami dan berteriak, “Sokor tibo!” (ind: “sokor” adalah ungkapan bahasa Jawa yang digunakan untuk mengata-ngatai kemalangan orang lain, “tibo” artinya jatuh). Sudah jatuh, dikata-katain oleh orang yang membuat masalah awal pula. Dunia ini memang nggak adil.
Mas J dan saya sama-sama buruh. Tadi pagi kami sama-sama dalam perjalanan ke tempat kerja. Jarak rumah dengan tempat kerja Mas J adalah 26 km (angka ini saya dapatkan dari fitur perhitungan jarak di Google Maps. Saya menarik garis dari batas area kecamatan tempat tinggalnya ke lokasi tempat kerjanya di Taman Pintar). Belum lama ini istrinya mengalami kecelakaan parah hingga tidak bisa berjalan selama satu bulan. “Waktu istri saya kecelakan, yang nabrak enggak mau tangung jawab malah langsung melarikan diri. Istri saya ditinggal dalam keadaan nggak sadar. Saya sakit hati dan marah karena itu.” Ah, saya jadi bisa memahami iktikadnya untuk mengganti biaya perawatan dan biaya kerusakan motor. Selain karena pada dasarnya ia orang baik, ia tahu rasanya saat orang yang ia sayangi terluka seperti itu.
Ayah saya datang. Setelah mendengar kronologi dan melihat kondisi motor saya, ia bilang, “Mas cukup ganti spion saja kalau bisa.” Mas J terlihat lega. Ayah saya melanjutkan, “Sama-sama (pe)kerja, jadi saya tahu susahnya cari uang. Sudah habis ini mas pulang atau lanjut kerja saja. Cari rezeki yang berkah buat istri sama anaknya.” Mas J pamit. Lalu saya masuk kamar dan rebahan. Lengan saya terasa sangat pegal, seakan habis dibuat main bulu tangkis selama berjam-jam. Darah di area siku saya sudah berhenti. Ibu saya membuatkan beras kencur yang dioleskan ke lengan saya. Kata ibu, “Nanti ada sensasi hangatnya. Biar enggak bengkak.” Saya suka aroma beras kencurnya. Saya rebahan sambil membaca-baca artikel ringan dan scroll YouTube. Saya nggak apa-apa. Cuma jatuh, lecet, shock, dan lebam di area lengan.
Yah, saya selalu memaknai ungkapan “hati-hati di jalan” dengan sungguh-sungguh. Jalan yang dipenuhi kendaraan bermotor, terutama kendaraan pribadi, itu berbahaya. Tiap orang mengendalikan kendaraannya masing-masing–di situlah letak bahayanya. Tidak semua orang akan selalu punya kendali atas dirinya dan kendaraan yang ia bawa. Terlalu banyak faktor yang tidak diperhitungkan bisa terjadi kapan saja. Pun saat kita sudah berhati-hati dan menaati semua rambu lalu lintas, belum tentu orang lain melakukan hal yang sama. Ada orang yang menyetir dengan sembarangan dan membahayakan orang lain, tapi bisa lolos dari risiko dan ruginya. Ungkapan “hati-hati di jalan” adalah pengingat sekaligus doa. Semoga kamu selalu dilindungi dalam perjalananmu dan sampai di tujuan dengan selamat.
Hati-hati di jalan! Drive safe.
4 notes
·
View notes
Link
Phantom Projects Theatre Group marks its 17th anniversary this year—and it's still casting young performers in their first professional roles.
Check out the write up Backstage did on our 17th anniversary!
0 notes
Text
#4 - Hal yang Tidak Kami Suka
Saya menanyai beberapa kawan mengenai hal yang tidak mereka suka dari Jogja. Pada hari Sabtu saya berhasil mendapat jawaban dari tiga kawan, dan hari Minggu ini saya mendapat jawaban dari tiga kawan. Total saya mengumpulkan jawaban dari enam orang mengenai hal-hal yang tidak mereka suka dari Jogja. Berikut adalah kata kunci yang muncul dari percakapan kami:
Pemerintahnya.
Macet
UMK rendah (Kota Yogyakarta Rp2.324.775; Kabupaten Sleman Rp2.159.519,22; Kabupaten Bantul Rp2.066.438,82; Kabupaten Kulon Progo Rp2.050.447,15; dan Kabupaten Gunungkidul Rp2.049.266,00)
Ketimpangan sosial
Lapangan kerja industri sempit
“Jawa”
Tata ruang yang buruk
Harga tanah yang mahal
Car-centric
Transportasi publik tidak efisien
“Jogja terlalu tradisional"
"Aku ga suka Jogja kalo ga ada km."
Keenam orang yang saya tanyai menyebutkan setidaknya tiga hal yang sama: pemerintah, upah murah, dan kemacetan. Poin lainnya mereka tambahkan setelah menyebut ketiga hal itu. Saya sengaja tidak bertanya mengenai hal yang mereka sukai dari Jogja, kecuali pada satu orang. Entah mengapa saya sedang tidak ingin mendengar hal-hal baik dari daerah ini.
Sebagian besar masalah dalam hidup kita berakar pada masalah sistemik. Seorang kawan baik yang saya tanyai soal hal apa yang ia sukai dari Jogja mengatakan ini, “Hal yang kusukai itu individualis, dan yang jadi masalah itu kan sistemik ya…” Ya saya sepakat sama itu. Poin yang disebutkan kawan-kawan saya memiliki akar yang sistemik. Saya pikir, saya tidak akan bisa menyukai daerah ini jika bukan karena hal-hal berikut: pantai yang cantik, langit yang indah, kawan-kawan yang saya sayangi, dan pilihan makanan yang beragam.
Saya sedang merasa seperti turis di daerah ini, ketika domisili di kartu tanda penduduk saya adalah DIY. Istilah turis yang saya pakai menggambarkan perasaan asing dan jauh. Padahal di benak saya, turis itu kan seseorang yang sedang berkunjung ke suatu tempat dengan tujuan liburan, rileks, dan menjauh dari aktivitas sehari-hari. Seorang turis tidak menetap lama di tempat yang ia kunjungi, sehingga ia cenderung memanfaatkan waktunya untuk menikmati hal-hal baik dari tempat itu. Namun saya sama sekali tidak merasa bisa rileks maupun enjoying this city. Beberapa minggu ke belakang, saya merasa semakin asing dengan daerah ini.
Ketika bertemu kawan-kawan baru dari sekolah musim panas, beberapa dari mereka menanyakan rekomendasi warung makan enak, tempat nongkrong asyik, bar yang keren, dan landmark apa yang harus mereka kunjungi selain Malioboro. Saya hanya bisa memberi sedikit jawaban. Entah karena saya sendiri memang jarang eksplor (jarang main) atau sebenarnya saya tidak peduli saja sama tourist attraction yang ramainya tidak kenal waktu itu. Saya sempat berpikir bahwa lama-kelamaan daerah ini akan lebih ramah pada turis ketimbang warga yang tinggal di dalamnya.
3 notes
·
View notes
Text
#5 - Sekolah Musim Panas: Sekolah Lagi, Sekolah Terus (1/2)
Saya percaya belajar sejarah itu penting. Dalam konteks kerja akademik dan riset, misalnya, sejarah memiliki peran krusial untuk memahami proses pembentukan kondisi masa kini berdasarkan peristiwa di masa lalu. Waktu SMA, sejarah bukan mata pelajaran favorit saya karena penyampaian materi dari guru-guru sejarah saya membosankan. Memori paling membekas soal pelajaran sejarah adalah saat guru kami memberi tugas untuk menyalin narasi yang tertulis di lembar kerja siswa (LKS). Beliau kira, dengan menyalin narasi tersebut ke buku tulis, kami akan hafal dan mengerti sejarah. Format ujian sejarah kami kira-kira begini, membaca narasi sejarah di LKS dan buku paket, menghafalkannya, lalu menyalin hafalan ke dalam kolom jawaban. Saya sering dapat nilai pas-pasan karena jawaban saya tidak sama persis dengan buku. Yah, kalau urusan ingatan konten buku yang harus sama persis, saya bukan yang terbaik. Tapi kalau soal orang dan tempat, kemungkinan saya bisa mengingatnya dengan baik.
Pertengahan bulan Juli saya tidak sengaja mengklik story kawan saya, alumnus jurusan Ilmu Sejarah, yang membagikan informasi sekolah musim panas. Topik sekolah musim panas ini adalah sejarah lingkungan di Indonesia. Saya tertarik untuk mendaftar, namun saya ragu karena melihat keterangan kriteria peserta yang dicari, yaitu aktivis lingkungan, peneliti, sejarawan, dan pokoknya pegiat lingkungan. Latar belakang studi saya tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan sejarah lingkungan, bahkan saat kuliah dulu tidak ada materi sejarah. Akhirnya saya membulatkan niat. Toh, belum tentu diterima. Saya ngebut menulis motivation letter dalam sehari, dan merapikan CV di menit-menit terakhir. Sent. Pada tanggal pengumuman yang ditentukan, saya tidak mendapat surel. Rupanya surel itu datang terlambat. Saya diterima dan menjalani sekolah selama 31 Juli–7 Agustus, dengan 12 kelas, dua hari amatan dan kuliah lapangan, serta konferensi di hari terakhir yang dihadiri oleh lebih banyak akademisi (dosen dan peneliti dari berbagai institusi pendidikan).
Saya datang terlambat di hari pertama sekolah. Sebagian besar kursi sudah terisi, yang tersisa adalah kursi bagian depan. Pemateri sudah duduk di panggung. Masih terengah-engah setelah jalan cepat dari parkiran Lembah ke FIB, saya memutuskan duduk dulu di jejeran kursi paling belakang yang tidak ada mejanya. Seorang lelaki duduk di depan saya. Ia mengenakan topi rimba, kaos putih dibalut kemeja kotak-kotak yang tidak dikancingkan, celana jeans dan sepatu merk Just Do It. Ia menengok ke belakang. “Halo” katanya sambil mengulurkan tangan, “Jaka, dari Mongabay Indonesia.” Saya menyambut uluran tangannya dan ganti mengenalkan diri, “Wida” Dia menunggu lanjutan dari saya, “Dari UGM.” Ia bertanya lagi, “Dosenkah?” Saya menggelengkan kepala, “Bukan. Asisten peneliti di pusat studi di UGM.” Ia mengangguk. Entah dia dengar atau tidak. Kawan baik saya, Beby, datang dan mengajak saya duduk di baris depan. Saya duduk di baris kedua, sementara Beby dan temannya, Diery, duduk di baris pertama. Mereka bekerja di lembaga non-pemerintah dengan fokus bidang pelestarian pesisir, perikanan, dan pengembangan wilayah pesisir.
Sekolah ini mempertemukan saya dengan teman-teman baru dari berbagai bidang. Pada hari pertama saya duduk di sebelah Vivi, arsitek, pendiri yayasan museum, dan penulis buku. Saya berkenalan dengan Ayu dari Bali, seorang pegiat lingkungan yang bekerja di lembaga non-pemerintah di bidang polusi dan plastik. Saya bertemu Gilang, kakak kelas SMA saya yang bulan Januari lalu lulus dari S2 Antropologi, dan kini mengerjakan proyek penelitian bersama dosennya. Ada Kamila dari China (saya tidak sempat nanya asal daerahnya), pegiat isu perburuhan dan serikat buruh yang bekerja di Amerika Serikat. Saya menjadi teman baik dengan Hasha, mahasiswa Sastra Inggris dari Singapura. Ada juga Ronal dan Ayla, lulusan S2 Sejarah. Umar dari Madura, seorang sejarawan muda yang aktif mengelola cagar budaya. Umar (lagi) alumnus S3 Geografi dari London. Ryan dari Jember, satu-satunya peserta yang nanya rekomendasi tempat beli minuman beralkohol ke saya. Topan anak seni (ha ha) dari Surabaya, yang kini bekerja di salah satu pusat studi kampus. Ada pula peserta yang merupakan dosen, guru, aktivis, buruh akademik di institusi riset milik pemerintah, dan peserta yang tidak berafiliasi dengan lembaga apapun.
Saya melewati hari pertama dan kedua di kelas, mendengarkan pemaparan materi dari dosen-dosen. Pada hari kedua saya duduk di sebelah Hasha, dan kami bisa ngobrol lebih banyak. Saya mendengar keluhannya sebagai warga Singapura, soal hunian mahal yang membuatnya tidak bisa ngekos dan harus menempuh waktu empat jam bolak-balik dari apartemen ke kampusnya. Batin saya, “Kayanya negara kecil tapi mobilitas dari rumah ke kampus bisa selama itu, ya.” Di sana, hampir tiap rumah tangga mempekerjakan PRT untuk merawat anak-anak dan urusan domestik.
Hari ketiga dan keempat diisi dengan kuliah lapangan. Peserta sekolah dibawa ke Pantai Watu Kodok dan Pantai Siung di Gunungkidul, lalu Pesantren Al-Imdad dan Kebun Kali Code di hari selanjutnya.
Dua pantai yang kami kunjungi mewakili satu topik sejarah, yaitu resistensi warga terhadap privatisasi pantai dan penggunaan pranata mangsa dalam kehidupan sehari-hari. Pantai Watu Kodok mewakili narasi perjuangan warga menolak investasi swasta dan penguasaan pantai oleh pemerintah daerah. Narasumber bercerita mengenai upaya yang dilakukan, mulai dari konsolidasi, diskusi, jalur hukum, hingga penutupan jalan menuju pantai. Mereka juga mengadakan satu festival sebagai perayaan sekaligus simbol perlawanan terhadap pihak-pihak yang berusaha menguasai pantai tempat mereka mencari penghidupan. Saya tidak dapat melepaskan bias pribadi dalam melihat permasalahan di pantai ini. Meski tidak jadi dikuasai oleh pihak swasta, pantai ini tetap saja dikuasai oleh sebagian pihak. Hal itu, jika dilihat dari perspektif sejarah yang dibawa sekolah musim panas, adalah hal baik karena artinya warga punya kuasa atas hidupnya sendiri. Saya akan mencoba membahasnya sedikit lebih dalam di unggahan selanjutnya.
Jadwal selama sekolah musim panas kurang lebih seperti ini. Materi, coffee break, saya ambil snack dan merokok bersama peserta lain, materi, istirahat dan makan siang, materi, lalu pulang. Pada akhir kelas hari keempat saya pergi bersama Gilang ke toko es krim. Di sana kami ngobrol soal kabar personal dan kabar akademik. Kalau tidak salah hitung, saya dan Gilang tidak bertemu selama 7 tahun. Pasca lulus SMA, ia mengambil jurusan Antropologi di sebuah kampus swasta di Malang. Kemudian saat pandemi ia mengambil S2 Antropologi di Yogyakarta. Minat studinya adalah ekologi, lingkungan dan studi pembangunan, serta masyarakat adat. Tidak ada diantara kami yang menyangka akan dipertemukan lewat sekolah ini. Bahkan, kalau bukan saya yang menyapanya duluan di hari pertama, Gilang tidak akan ingat saya adalah adik kelasnya. Pada akhir hari keenam saya pergi ke kafe di Jalan Monjali bersama Beby, Diery, Rasya, dan mas Jaka.
Jadwal pada hari ketujuh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Peserta telah dibagi ke dalam lima kelompok. Tiap-tiap kelompok mempresentasikan hasil pembacaan dan refleksi mengenai topik yang dipilih, serta mengkontekstualisasikan topik itu dengan sejarah lingkungan di Indonesia. Kelompok saya membawa materi soal Ekososialisme. Saya pikir, kelompok saya tidak berhasil mengerjakan tugas ini. Kami gagal dalam hal komunikasi kelompok. Saya pribadi menyimpan dendam ha ha (saya bercanda, tapi setengah serius) soalnya merasa diskusi tidak bisa maksimal. Sejarawan muda dalam kelompok saya merasa asing dengan topik tersebut, namun tidak mengatakan itu di awal pembentukan kelompok. Sangat disayangkan, diskusinya kurang maksimal. Hal itu tidak mengurangi rasa syukur saya bisa bertemu dengan teman-teman baru yang keren.
Keikutsertaan saya dalam sekolah ini mengobati kerinduan saya pada suasana kuliah.
3 notes
·
View notes
Text
#3 - Tentang Jalan yang Kerap Saya Lalui
Baru hari ketiga saya sudah bingung mau menulis soal apa. Dari awal muncul keinginan untuk menulis selama 30 hari ini, saya tidak berniat membuat daftar topik atau tema tertentu. Tujuan saya cuma satu, saya ingin rutin menulis. Saya juga tidak menarget tulisan itu harus yang presentable, serius, atau melulu soal hal personal. Bahkan kalau bisa saya ingin mengurangi nulis hal personal seperti ini. Saya mau sedikit lebih serius. Platform daring saya pilih karena ada kepuasan tersendiri saat bisa mengklik tombol “Post”, dan tahu bahwa setidaknya akan ada satu orang yang membaca unggahan saya. Terkadang saya menulis di buku, terutama untuk topik yang masih mentah dan/atau terlalu personal. In hindsight, saya suka mendokumentasikan hari-hari yang telah berlalu lewat tulisan.
Jika membicarakan soal keseharian, ada beberapa tempat atau landmark yang saya lewati setiap hari. Selama enam tahun terakhir, sebagian aktivitas saya berlokasi di kampus dan kantor yang berada di area kampus. Sewaktu bekerja paruh waktu pun, lokasinya tidak jauh dari kampus saya. Makanya, saya melewati jalan yang sama, yaitu Jalan Magelang. Kata seorang teman SMA saya yang rumahnya di Ngaglik, “Jalan Magelang itu membosankan karena cuma lurus saja.” Kebetulan teman saya satu ini memang tipe orang eksperimental. Ia suka mencoba jalan alternatif menuju sekolah dan kampus untuk menghindari Jln. Magelang. “Aku lebih suka lewat jalan kecil yang berkelok-kelok dibanding jalan raya yang cuma lurus aja dan ramai.” Good point.
Kalau tidak sedang buru-buru, saya mengendarai motor dengan laju yang lambat. Saya senang melihat-lihat jalan. Dari amatan saya yang tiap hari lewat Jln. Magelang, saya menyadari beberapa hal menarik dan beberapa perubahan di sepanjang jalan ini. Namun perlu saya beri keterangan sedikit bahwa rentang kilometer jalan yang saya lalui tiap hari adalah kilometer 14 hingga kilometer 5 saja. Pertama, banyak terdapat toko otomotif dan bengkel di sepanjang jalan ini. Suatu kali saya berangkat ke kantor pukul 9 pagi dan area jalan yang di pinggirnya ada toko otomotif dan bengkel pasti ramai. Sampai saya kira hari itu adalah hari otomotif sedunia, saat semua pemilik mobil dan motor membawa kendaraan mereka ke bengkel untuk diservis. Dosen saya juga mengakui bahwa Jln. Magelang kilometer tertentu telah berkembang menjadi pusat-pusat otomotif. Tidak heran jika seiring waktu, bertambah pula dealer toko otomotif yang menjual kendaraan bermotor baru dan bengkel-bengkel di sepanjang Jln. Magelang.
Saya coba mencari sejarah perkembangan toko otomotif dan bengkel di Jln. Magelang, tapi tidak ketemu. Tulisan paling mendekati yang saya temukan adalah bab pendahuluan sebuah tugas akhir. Dalam tulisan itu, disebutkan bahwa perkembangan industri otomotif didorong oleh semakin tingginya pengguna kendaraan bermotor. Hal tersebut mendukung munculnya toko otomotif dan bengkel yang menjual bagian tertentu dari kendaraan bermotor, atau spare parts, sekaligus melayani perbaikan dan servis rutin. Si penulis tugas akhir ini melakukan observasi mengenai manajemen bengkel di salah satu bengkel di Jln. Magelang. Melalui potongan-potongan informasi itu, saya berusaha menghubungkan perkembangan industri otomotif yang didorong oleh peningkatan permintaan kendaraan bermotor, dengan perkembangan toko otomotif dan bengkel. Tentu saja ide ini berhenti di situ saja, saya tidak punya data untuk membuktikannya.
Hal kedua yang saya perhatikan dari Jln. Magelang adalah perkembangan restoran. Dalam satu-dua tahun terakhir semakin banyak restoran baru di sepanjang jalan ini. Selain restoran, ada pula bar-bar baru yang menyusul di sebelahnya. Mungkin, di masa depan jalan ini akan mirip seperti Jln. Kaliurang yang didominasi warung makan dan apartemen. Hal ketiga yaitu sering terjadi kecelakan di sepanjang jalan ini. Saya sudah berkali-kali menyaksikan kecelakaan dan melewati lokasi kejadian yang masih ramai. Menurut hemat saya, ada beberapa titik di jalan ini yang memang rawan kecelakaan. Salah satu penyebabnya, mungkin, karena jalan ini lurus, halus, dan pada kilometer tertentu jarak lampu lalu lintas cukup jauh. Ketiga hal itu bikin para pengendara mengebut. Saya sering perlu menunggu lama untuk bisa menyeberang, sebab kendaraan dari arah berlawanan tidak mau berhenti. Rasanya, menyeberang di Jln. Magelang seperti itu seperti uji nyali.
Kadang saya merasa seperti turis di kota yang telah saya diami selama belasan tahun ini. Tempo hari saya melihat cuitan berupa tangkapan layar pembicaraan dua orang. Salah seorang diantaranya bilang begini: kalau soal udara jogja aman, tapi kalau soal gaji memang bikin ispa. Saya tertawa menangis membaca itu. Yah, daerah dengan ketimpangan paling parah ini memang separah itu. Sialnya, daerah ini terlanjur membangun citranya sebagai kota pendidikanlah, kota wisatalah, kota budayalah. Ada yang lupa bahwa daerah ini juga merupakan kota ketimpangan, kota kemiskinan, kota amburadul, dan kota polusi (meski jika dibandingkan dengan kota besar lain, yah, bolehlah daerah ini berada di peringkat bawah). Jalan Magelang yang semrawut saat rush hour menandakan kurangnya perhatian pemerintah pada transportasi publik. Saya pikir, kalau transportasi publiknya bagus dan dapat mengakomodasi kebutuhan mobilitas penduduknya, pasti banyak yang meninggalkan kendaraan pribadinya di rumah.
Sepertinya saya akan terus memiliki perasaan benci dan cinta pada kota ini. Saya benci pada Jln. Magelang yang saya lewati setiap hari karena ramai, penuh kendaraan yang ngawur, membosankan, dan semrawut. Namun saya juga menyukai jalan ini, for the sake of good memories.
2 notes
·
View notes
Text
#2 - Before the Porridge Gets Cold
Bubur
Pagi ini aku makan bubur sama seseorang. Kami pergi ke warung kaki lima yang menjual bubur khas Jakarta. Jam dinding yang digantung di gerobak bubur menunjukkan pukul 09:10 WIB. Setelah memesan dua mangkuk bubur (satu tanpa kacang) dan dua gelas es teh, kami duduk bersebelahan dengan seorang lelaki berusia kurang lebih 30-an. Tidak sampai lima menit, bubur kami datang. Dingin. Bubur kami sudah dingin. Saat aku mengaduk mangkuk, aku baru sadar bahwa bubur yang disajikan merupakan bubur lapisan bawah. Aku menemukan ada sedikit gosong kecoklatan di buburku. Itu bukan masalah buatku. Hal yang membuatku sedikit terganggu adalah rasa bubur yang sangat asin. Aku menduga, kami kloter pelanggan terakhir. Dugaanku terbukti saat ada pelanggan yang parkir di sisi warung, dan seketika si penjual bubur berteriak, “Habis, mas!”.
Setelah bubur habis, aku dan kawanku berpisah. Sebelum aku naik ke motorku, ia bilang, “Before the porridge gets cold.” Aku yang bingung hanya bisa mengernyitkan dahi. Ia menjelaskan, “Aku tiba-tiba teringat judul buku yang kamu baca, Before the Coffee Gets Cold. Hehe.” Kami lalu berpisah. Dia ke utara, dan aku ke selatan. Buku yang ia sebut tadi merupakan buku fiksi yang belum lama ini aku tuntaskan. Sebetulnya, buku itu adalah serial. Setahuku, total ada tiga buku dalam serial ini. Buku yang sudah kubaca adalah buku ke-2, yaitu Before the Coffee Gets Cold: Tales from The Cafe. Aku sempat bertanya ke kawanku, “Kalau bisa pergi ke masa tertentu, kamu mau pergi ke waktu apa dan di mana?” Jawabnya, “Aku mau ke masa lalu menemui D. N. Aidit dan membantunya mengelola Partai Komunis.” …..alright, boy.
2 notes
·
View notes
Text
#1 - Pekerjaan (Rumah) yang Tak Pernah Selesai
Sejak pagi Jogja diguyur hujan. Mendung mulai datang sekitar pukul 08:40 WIB. Waktu itu saya baru mau menjemur pakaian yang sudah selesai dicuci. Beruntunglah sebagian halaman belakang saya ditutupi atap. Saya tetap bisa menjemur pakaian meski hujan. Hanya saja, atap itu tidak bisa menahan angin yang masuk dari samping. Akhirnya saya meletakkan jemuran di dalam gudang. Selesai dengan jemuran basah, saya beralih ke jemuran kering. Sekarang giliran saya menyetrika baju-baju kering ini. Saya menghabiskan 2,5 jam duduk di depan meja setrika. Tiap 30 menit saya berdiri dan ambil minum. Sampai aktivitas menyetrika selesai, di luar masih hujan.
Kantor tempat saya bekerja akan selalu libur tiap hari libur nasional. Namun rumah tempat saya singgah tidak pernah libur. Tiap hari libur saya tetap bekerja, hanya saja jenis pekerjaan dan lokasinya berbeda. Kerja yang saya lakukan di hari libur adalah pekerjaan rumah, atau kerja takberbayar. Bagi orang tertentu, mereka menggantungkan pemasukan dari melakukan pekerjaan rumah ini. Sementara bagi sebagian besar orang, pekerjaan rumah adalah jenis pekerjaan yang memang tidak perlu dibayar. Saya belum bisa mengelaborasikan lebih lanjut mengenai pekerjaan rumah sebagai kerja takberbayar dan kerja perawatan, yang menurut saya, pantas untuk dibayar.
Pekerjaan rumah adalah kerja yang tidak pernah selesai. Baru tadi pagi mencuci piring dan alat masak, siang hari wastafel sudah penuh dengan piring kotor lagi. Rumah perlu disapu setidaknya tiga kali dalam sehari. Baju perlu dicuci setiap hari, dan disetrika dua hari sekali jika tidak ingin menumpuknya di akhir pekan. Rumput liar mesti dipangkas dua minggu sekali. Piring makan kucing dicuci seminggu sekali. Halaman depan disapu setiap hari. Halaman belakang disapu dua hari sekali. Tirai jendela diganti dan dicuci dua minggu sekali. Pekerjaan rumah seakan tidak ada habisnya, namun tetap dilakukan agar orang-orang di rumah bisa istirahat dengan nyaman dan esoknya siap bekerja lagi.
-------------------------------------------------------------------------&
Mulai hari ini sampai tanggal 17 bulan depan, saya mau mencoba menulis rutin. Konsep proyek kecil ini mirip seperti 30 Hari Bercerita, saya cuma mengganti kata bercerita dengan menulis. Saya berusaha mengelabui kepala saya agar mau menulis--kegiatan mengubah ide menjadi tulisan. Kalau saya pakai kata bercerita, nanti kepala saya mikirnya ya bercerita itu kan tidak harus melalui tulisan, bisa lewat lisan. Angka 17 adalah angka favorit saya. Sekian
2 notes
·
View notes
Text
Rupanya saya memang tidak bisa dipaksa menulis, baik oleh orang lain maupun diri sendiri. Keinginan saya untuk bisa produktif menulis didasari oleh rasa tertinggal. Maklum, saya tidak suka membandingkan satu orang dengan orang lain, namun saya nomor satu kalau soal membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Mau dibuat 30 Hari Menulis kah, 5 Hari Bercerita kah, sama saja. Kalau saya ya tentu maunya bisa menulis kapan saja, terutama saat ada pekerjaan yang mengharuskan saya menulis.
1 note
·
View note
Text
#8 - Sekolah Musim Panas: Sekolah Lagi, Sekolah Terus (2/2)
Tulisan ini merupakan rangkuman catatan dari beberapa topik atau materi yang disampaikan di sekolah musim panas. Setelah mencoba memadatkan semua materi ke dalam satu unggahan, saya akhirnya memutuskan untuk menulis beberapa saja. Saya kira, lebih baik membahas 2-3 topik dibanding memampatkan 12 materi. Tulisan ini memuat tiga topik utama, yaitu peran sejarah dalam melihat krisis lingkungan di Indonesia dan sejarah gerakan lingkungan di Indonesia; dan sedikit tentang hukum lingkungan. Ketiganya merupakan topik yang disampaikan oleh tiga pemateri yang berbeda. Sejarah, gerakan, dan hukum adalah tiga hal krusial yang perlu diperhatikan saat membahas isu lingkungan.
Sejarah berperan dalam upaya memahami krisis lingkungan secara lebih adil. Dalam materinya, Dr. Elena Burgos-Matinez berpendapat bahwa sejarah dapat menghindarkan pandangan esensialis pada keseharian penduduk desa dan kepulauan kecil yang kerap menerima dampak buruk dari industri ekstraktif dan praktik neokolonial. Melalui materi tentang keberlanjutan sejarah krisis lingkungan di Indonesia, sejarah ditempatkan sebagai konteks dalam melihat satu kasus permasalahan lingkungan.
Hukum sebagai senjata dalam konflik lingkungan: hukum lingkungan modern di Indonesia dibentuk oleh, sekaligus turut membentuk, perebutan kekuasaan antara kepentingan menjaga lingkungan dan kepentingan memanfaatkan sumberdaya. Studi komparasi enam negara di Asia Tenggara menunjukkan belum semua negara mengakui secara eksplisit hak atas lingkungan (atau hak untuk membuat gugatan atas permasalahan lingkungan). Mereka yang protes terhadap masalah lingkungan terancam mendapat serangan balik. Dalam kasus Indonesia, misalnya, tantangan yang dihadapi aktivis lingkungan adalah gugatan di pengadilan, red-tagging (dituduh berafiliasi dengan kelompok kiri seperti komunis), hingga ancaman nyawa. “In Indonesia, the courts are not only a space of resistance but also avenues to articulate a new vision of the relationship between society and the environment.” Hal ini dapat dilihat pada kasus polusi di Danau Toba tahun 1989. Meski pengadilan tidak memenangkan gugatan, institusi mau mengakui WALHI sebagai perwakilan dari Danau Toba. Hasil tersebut membawa kabar baik, sebab pasca kasus itu, lembaga dapat menjadi wali dalam pelaporan kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia.
Sejarah gerakan lingkungan di Indonesia, dan keterkaitannya dengan gerakan agraria serta gerakan masyarakat adat. Gerakan lingkungan internasional banyak dimulai pasca Konferensi Stockholm tahun 1972. Konferensi itu mendorong pengarusutamaan isu lingkungan di ranah pemerintah dan warga. Sekitar tahun 1960–1980-an di Indonesia, mulai banyak terbentuk organisasi lingkungan seperti mapala, organisasi non-pemerintah, dan pusat studi lingkungan di kampus tertentu.Pada tahun 1980-an, gerakan lingkungan semakin berkembang. Misalnya dengan mengusulkan perwalian bagi makhluk hidup non-manusia, seperti alam, dan pohon. WALHI selaku organisasi lingkungan kemudian menggugat pemerintah mewakili salah satu kasus kerusakan lingkungan. Organisasi ini turut mendorong wacana bahwa masyarakat bisa berperan dalam perencanaan pembangunan. Bisa dicek UU no. 4 Tahun 1982 → UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup → UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Gerakan agraria, lingkungan dan adat. Salah satu hal yang disadari oleh gerakan agraria dan gerakan lingkungan adalah bahwa pemerintah mencoba mengaburkan garis dan definisi hutan/kehutanan. Kondisi ini memunculkan gerakan counter-mapping. Gerakan agraria, gerakan lingkungan, dan gerakan adat itu berkaitan satu sama lain. Ketiga gerakan ini menghadapi, salah satunya, ketimpangan lahan (“ketimpangan agraria”) yang turut menyumbang krisis lingkungan.
1 note
·
View note
Text
#7 - Writing Sucks.
Writing sucks when you don’t know what to write. Writing sucks because you don’t know how to write. I love writing, yet I still don’t know how to do it. It sounds dumb and pathetic. It is as if you know you love someone, but you don’t know how to love them. But at least you can still put some effort into learning about them. It is also appropriate to directly ask them their love language; in what kind of love would you feel loved the most? Or something like that.
Writing sucks. Most of my friends are decent writers, some of them are already recognized by many people, some of them even have their own audiences. I could’ve asked them about writing. About how to form cohesive sentences and paragraphs. About how to turn these jumbled trains of thoughts of mine into something digestible by an average human being. By average I mean by mass audience. But here I am, trial and error-ing.
Writing will always be a hassle for me. That’s why I don’t have the courage to apply to any kind of work that requires me to have good writing skills. I may love to write, but I am a bad writer. I may not be the worst writer out there, but I am one of the worst. Even though I love writing. What an oxymoron.
Writing will always be one of my favourite activities. Writing keeps me thinking, though sometimes I don’t think while I type. I just wish I was born into a family who loves writing as much as I do. I wish for one day I would be surrounded by a community, a long-term one, who loves writing as much as I do.
I love writing, but I don’t know how to write. What if the real problem is that I can not think, instead of I cannot write? I mean, I spent a lot of time reading and researching only to find myself getting confused with all the information.
Still, writing sucks. And I will always love writing.
1 note
·
View note
Text
#6 - Ketika Jalan Kaki adalah Hobi, Alih-alih Bagian dari Keseharian
Seharusnya tulisan keenam ini merupakan lanjutan dari tulisan kelima soal sekolah musim panas. Namun baru setengah jalan mengembangkan kalimat dari poin yang sudah saya susun semalam, saya berhenti. Tiba-tiba saya merasa lelah. Mungkin poin yang berusaha saya tulis itu terlalu banyak. Saking banyaknya poin utama, tulisan setengah jadi itu semakin rumit bukannya semakin mudah dibaca. Dari dulu, saya punya masalah dengan konsistensi dan penggunaan energi. Biasanya setelah mendapat ide untuk menulis, saya merasa semangat dan menggebu-gebu. Separuh jalan kemudian saya capek sendiri. Saya kira alangkah baiknya kalau energi itu dipakai sedikit-sedikit, secara konsisten dari awal sampai akhir. Yah, namanya juga belajar. Tapi ada kalanya belajar itu harus cepat.
Selepas jam kerja saya pergi salah satu mal di Sleman. Saya pengin jalan kaki. Awalnya saya mau ke Wisdom Park. Niat itu saya urungkan setelah melihat langit berwarna abu-abu. Saya mencari pilihan aman, yaitu ke mal. Seseorang pernah bilang pada saya, “Kayanya kamu gak cocok tinggal di pesisir, soalnya kamu gak suka basah. Kamu gak suka kehujanan.” Lalu saya timpali, “Aku suka pesisir. Kalau bisa milih, aku mau kok tinggal di pesisir. Tapi siapa sih yang mau kehujanan di jalan? Apalagi kalau bawa laptop.” Dia terdiam, dan sedetik kemudian tertawa.
Area parkir cukup sepi ketika saya datang. Setelah parkir dan mengamankan karcis, saya masuk mal. Saya sering masuk mal hanya untuk jalan-jalan kaki. Terutama pada hari-hari saat cuaca sedang buruk, atau saat saya sedang manja tidak mau kepanasan. Biasanya saya mulai dari mengitari lantai satu. Masuk ke tiap toko yang menarik buat saya. Keluar toko. Jalan lagi ke lantai berikutnya. Masuk toko. Keluar toko. Begitu terus hingga saya sampai di lantai paling atas. Kali ini saya mampir ke toko aksesoris dengan niat membeli sesuatu. Sudah seminggu ini saya mengikat rambut pakai karet gelang karena karet rambut saya hilang. Memakai karet gelang untuk rambut itu tidak nyaman sebab terasa sangat kencang. Saat mau melepasnya, seakan ia lengket sama rambut. Jadi rambut tertarik-tarik dan kulit kepala terasa pedih, padahal saya melepasnya secara perlahan. Saya juga iseng beli anting-anting berbentuk kucing.
Waktu memilih anting-anting, ada pegawai yang duduk di dekat area display. Ia sedang mengecek stok anting-anting. Posisi pegawai itu tidak menghalangi saya melihat-lihat, sih. Namun entah apa yang saya pikirkan, saya malah bilang, “Misi ya mbak.” Padahal saya bermaksud bilang maaf apabila mengganggu pekerjaannya. Mbak pegawai tersebut malah berdiri dari kursinya, lalu melanjutkan pekerjaannya sambil berdiri. Saya tertegun. Mbak pegawai terlihat terganggu, ia menghembuskan napas perlahan. Saya bisa membayangkan, tugas mengecek stok anting-anting artinya adalah kesempatan ia bisa duduk. Kalau tidak sedang mengecek barang, ia pasti berdiri di pintu masuk toko atau berjaga di pojok-pojok toko. Ya ampun, maaf, mbak...
Habis dari toko aksesoris, saya beli es krim McFlurry Es Kopyor Jelly. Enak, tapi terlalu manis buat saya.
Kalau mal itu punya tangga, sudah pasti saya milih jalan lewat tangga. Saat memakai eskalator, kebanyakan orang akan berdiri diam sampai mereka tiba di lantai tujuan. Sementara jika memakai tangga, semua orang akan terus berjalan. Kadang saya bisa mendahului orang yang berdiri diam di sisi kiri eskalator sambil bilang permisi. Selagi jalan kaki di dalam mal, saya berupaya untuk terus jalan. Jadi saya tidak berhenti kecuali sedang mampir melihat-lihat barang. Ada kepuasan tersendiri saat bisa jalan kaki yang lama dan jauh. Bisa jadi itu perasaan lega karena bisa menggerakkan tubuh setelah seharian hanya duduk saja. Bisa jadi itu perasaan senang karena bisa melakukan hobi jalan kaki sambil melihat-lihat.
Tiap habis jalan kaki, perasaan saya membaik. Jika sebelum jalan kaki perasaan saya buruk, sedih, marah, atau banyak pikiran, jalan kaki membuat perasaan saya lebih ringan. Jika sebelum jalan kaki perasaan saya sedang baik-baik saja, jalan kaki membuat kondisi saya semakin baik. Selain menceritakan pengalaman personal, lewat tulisan ini saya juga menyuarakan harapan. Semoga suatu saat daerah tempat tinggal saya ini berbenah diri. Transportasi publik nyaman dan efisien sehingga menjadi pilihan utama mobilitas semua orang. Lalu kendaraan pribadi akan berkurang. Jalan-jalan yang dulunya macet menjadi lebih lengang. Trotoar jalan yang sempit menjadi lebar dan aman bagi para pejalan kaki. Semakin banyak orang yang nyaman berjalan kaki dan bersepeda. Syukur-syukur jika lebih banyak area jalan yang diubah jadi area taman dan area duduk-duduk. Membayangkan itu saja sudah membuat saya merasa senang.
1 note
·
View note
Text
17 to 17: A Brief History of Phantom Projects
In 1997, Phantom Projects is created by then 17-year old Steve Cisneros. The troupe produces a show that would tour schools and youth groups for 5 months straight.
In 2000, the troupe formed a partnership with the La Mirada Theatre, and began bringing a season of theatre to their stage, aimed at filling the venue with teen audiences. Shows based on classic literature, such as TO KILL A MOCKINGBIRD & THE GRAPES OF WRATH are performed, and thousands of teens are bused to the venue to witness the productions.
In 2007, Cisneros created the Young Artist Project, which brings together 10 young performers, giving them just 14 days to create an original show. The same year, the group received $65,000 in federal grants to continue their mission. The YAP becomes an annual part of the season.
In 2010, the troupe inherited $500,000 worth of costumes, and opened Phantom’s Costumes, which serves theatres throughout the U.S. and Canada.
In 2013, Phantom Projects starts licensing out the rights to their original shows to outside groups.
3 notes
·
View notes