#animisme
Explore tagged Tumblr posts
Text
Portraits de chamans
Nouvel article publié sur https://www.2tout2rien.fr/portraits-de-chamans/
Portraits de chamans
6 notes
·
View notes
Text
Instant storytime : j’ai pu aidé l’esprit du corbeau freux local hier 🐦⬛
Un juvénile était tombé au sol et ne semblait pas pouvoir voler. Tout maladroit et un peu timide, il appelait ses congénères au dessus mais aucun ne descendait. Je suis resté à ses côtés quelques heures pour lui parler et essayer de l’aider, assis à un mètre.
C’était probablement ma seule opportunité d’avoir un corbeau domestique hahaha, mais sur les conseils de la LPO je l’ai attrapé et leur ai amené, ils en prendront soin pendant un mois et le relâcheront dans une colonie plus tard.
Quand je suis revenu pour l’attraper il m’a vu et est sorti des buissons en marchant vers moi 🥹
C’était une drôle d’aventure. En repassant par ce square après avoir confié le petit aux bonnes personnes, j’ai remarqué deux corbeaux freux arriver en volant, faire deux tours en cercle au dessus de moi puis repartir.
La nature a un language qui va au delà des mots.
#storytime#corbeaux freux#corbeau#local wildlife#genius loci#animisme#french witches#french witchblr
3 notes
·
View notes
Text
El sentit i l'arrel de la religió, per D. H. Lawrence. La pintura és de Vsévolod Ivànov.
#art#pintura#Vsévolod Ivànov#religió#sagrat#religió antiga#atàvic#religió atàvica#religió primordial#vida#vibrant#animisme#D H Lawrence
1 note
·
View note
Text
La reine aux yeux de lune
Dans son nouveau roman Wilfried N’Sondé raconte le destin d'une jeune fille appelée à libérer son peuple du joug portugais à l'orée du XVIIIe siècle. Profitant de son initiation religieuse, elle va réussir à ébranler le royaume. Qui va devoir réagir...
En deux mots Des deux sœurs jumelles qui naissent en 1685 dans un Kongo sous domination portugaise, seule l’une survivra. Après un parcours initiatique, Kimpa Vita, comme on la surnomme, va se voir investie d’une mission, libérer son peuple et le mener vers la prospérité. Son influence ne cesse de croître, car le peuple et même les militaires la suivent. Une situation qui va affoler la…
View On WordPress
#Afrique#animisme#avenir#épreuves#colonialisme#combat#conflit#Congo#couvent#débauche#esclave#espoir#esprits#exploitation#Guerre#Initiation#jumelle#Kimpa Vita#Occupation#Pedro IV#Portugal#rébellion#résistance#Religion#sacrifice#Sainte#sorcière#sœurs#XVIIe siècle
0 notes
Text
Très joli livre finlandais (de langue suédoise).
Évidemment, en lisant la quatrième de couverture, je ne pouvais pas lutter.
La lecture a été étrangement à la fois plaisante et lénifiante. Un peu longue, un peu languissante donc. Et pourtant, c’est très beau, très joliment écrit. Assez poignant. Le destin d’une famille (où on se perd sans cesse) qui a vécu à Nevabacka, une ferme construite au XVIIe siècle en pleine forêt finlandaise par un soldat récompensé. Ferme qui finit par posséder ses habitants successifs, jusqu’au XXIe siècle, leur offrant tout à tour réconfort et dénuement.
Des personnalités se succèdent, des caractères, différents, des destins, souvent tragiques, qui épousent les remous de l’Histoire, et qui -pour ce qui est du début du XXe-, m’ont rappelé le fabuleux roman Gorge d’or.
Ce qui est crucial je pense, au-delà de ce défilé de destins, c’est l’attention permanente à la nature et le clivage permanent entre religion chrétienne et animisme primitif. L’autrice s’interroge dans une interview : que se serait-il passé, où en serions-nous en Finlande, si le christianisme ne s’était pas imposé ? Là j’ai pensé au livre estonien L’homme qui savait la langue de serpents. Le sujet est finalement très proche même si le traitement est très différent.
Certains personnages honorent les trolls et elfes de la forêt, notamment ceux de la fameuse Tourbière magique, d’autres se signent et referment vite leurs volets. Certains personnages parlent aux oiseaux, d’autres les craignent, d’autres les admirent mais les momifient. Les frontières se brouillent. Les deux royaumes de croyances ne sont pas totalement étanches. C’est tout l’intérêt du livre, ainsi que son attention à la vivacité des enfants comme à la lenteur inquiète des personnes âgées.
De belles pages pleines d’humanité dans un décor qui se fait personnage à part entière, vivant, complexe, enchanteur et inquiétant.
Un livre lent mais envoûtant.
#Maria turtshaninoff#littérature#livres#litterature#roman#livre#finlande#terre des promesses#éditions paulsen
3 notes
·
View notes
Text
10 wangsit dari tepi sungai Cileuleuy
Diyakini sebagai salah satu agama asli masyarakat di tatar Sunda, para penghayat kepercayaan Budi Daya mengharapkan perlakuan yang setara dengan para penganut agama lain di Indonesia.
Sejak Nusantara terbentuk dan berpenghuni berabad-abad silam, para penghayat kepercayaan Budi Daya di Kampung Cicalung, Lembang, Jawa Barat, meyakini nenek moyang mereka yang mendiami tatar Sunda telah mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa.
Keyakinan tersebut bisa dilacak dalam penyebutan Tuhan melalui penggunaan bahasa Sunda kuno dari era pra-Hindu, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab, dan bahasa-bahasa asing lainnya.
Beberapa sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Hyang Manon (Yang Maha Tunggal), Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa), dan Si Ijunajati Nistemen (Maha Pencipta).
Karenanya, Engkus Ruswana (62) selaku Ketua Organisasi Penghayat Budi Daya menolak tegas jika mereka dianggap sebagai penganut animisme dan dinamisme.
"Istilah itu sebenarnya didengungkan oleh para antropolog Barat untuk melecehkan agama nenek moyang kita. Karena mereka tidak memahami upacara ritual yang dilakukan, dipikirnya itu upacara menyembah roh halus dan kekuatan gaib," kata Engkus.
Keyakinan yang sempat terkikis dan menghilang tersebut kemudian diwartakan kembali oleh Mei Kartawinata setelah menerima Dasa Wasita atau 10 Wangsit. Kejadian turunnya wangsit berlangsung di tepi Sungai Cileuleuy, Kampung Cimerta, Subang, pada 17 September 1927.
Mei Kartawinata (1 Mei 1897 - 11 Februari 1967) menyebut hasil penggaliannya terhadap ajaran leluhur di Bumi Parahyangan dengan istilah pamendak alias temuan terhadap kepercayaan para leluhur.
Walaupun menolak disebut sebagai sinkritisme, Engkus tidak menampik jika ajaran Budi Daya banyak bersinggungan dengan budaya dan tradisi masyarakat Sunda.
Ini terlihat dari inti ajaran Budi Daya yang mengajarkan konsep cara pandang hidup orang Sunda bernama "Tri Tangtu". Isinya tentang wawasan atau tuntunan menyangkut diri manusia sebagai makhluk pribadi, sosial bermasyarakat, dan ber-Tuhan.
Ada banyak nama yang disematkan untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), Agama Perjalanan, dan Agama Buhun, orang-orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai, atau Jawa-Jawi Mulya.
Mereka yang hendak melecehkannya cukup menyebutnya "Agama Kuring".
Dalam bahasa Indonesia, Kuring adalah kosakata untuk "Aku" atau "Saya". Prosekusi label "Agama Kuring" mengarah pada usaha mendiskreditkan pemeluk agama ini sebagai penganut agama semau gue.
Agama-agama leluhur orang Sunda sangat menghormati alam sebagai pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.
Bagi para penghayat, alam semesta adalah tempat belajar dan menghayati segala keteraturan. Gunung, lembah, air, api, tanah, angin, dan segala mahluk hidup menjalankan kodratnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
Karenanya, Mei Kartawinata meletakkan alam sebagai "kitab suci". Alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.
Dalam prosesnya, Mei Kartawinata mendirikan wadah untuk menampung para pengikut atau penghayat ajarannya yang namanya kerap berubah-ubah.
Pertama membentuk Perhimpunan Rakyat Indonesia Kemanusia'an sehingga ajarannya disebut Kemanusa'an. Setelah Indonesia merdeka dan bersiap melangsungkan pemilihan umum pertama, Mei ikut mendirikan Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai).
Usai pelaksanaan Pemilu 1955, nama tersebut berubah menjadi Organisasi Perjalanan alias Lalampahan.
Sepeninggal Mei Kartawinata, terjadi konflik internal yang membuat anggota terpecah menjadi beberapa organisasi yang melahirkan AKP, Budi Daya, dan Aji Dipa. Tidak ada perbedaan esensial antar tiga organisasi ini karena sumber ajarannya sama.
Menurut keterangan Engkus, Budi Daya sebagai organisasi terbentuk sejak 1980. "Pada era 1950-an ketika ramai pemberontakan DI/TII, kami juga disebut Agama Buhun, Agama Pancasila, dan Agama Kuring," imbuh Engkus.
Pertemuan kami dengan Engkus yang selalu terlihat mengenakan totopong (ikat kepala khas Sunda) berlangsung di Bale Pasekawan Waruga Jati, Kampung Cicalung, Lembang, Jawa Barat (3/3/2018).
Rute menuju kampung tersebut adalah jalan selebar tiga meter yang diwarnai tanjakan dan turunan. Sejauh mata memandang, terlihat bebukitan dan hamparan tanah yang ditanami beragam jenis sayur-sayuran, seperti terong ungu, brokoli, cabe rawit dan kriting, sawi putih, buncis, labu, timun, dan selada.
Bagi warga penghayat di Kampung Cicalung yang berjumlah 78 orang, Bale Pasekawan bukanlah rumah ibadah, tapi tempat pertemuan atau berkumpul alias ngariung dalam bahasa Sunda.
Tempat yang jadi pusat kegiatan para penghayat Budi Daya ini diresmikan pada 17 Mei 2012 oleh Bupati Bandung Barat H. Abubakar.
Luas Bale Pasewakan 1.400 meter persegi yang terdiri dari dua bangunan utama. Ada aula seluas 9 x 11 meter persegi dan panggung seluas 48 meter persegi.
Selain jadi tempat mengajarkan pelajaran Budi Daya sebagai pengganti pelajaran agama di sekolah bagi siswa SD, SMP, dan SMA penghayat kepercayaan, gedung ini kerap pula menampilkan pentas kesenian, seperti degung, jaipongan, salendroan, dan wayang.
Tidak heran jika terdapat alat musik tradisional seperti gendang, gong, dan gamelan di dalam Bale. Mereka yang ingin memanfaatkan Bale tidak harus para penghayat Budi Daya.
"Asal kegiatannya untuk kemaslahatan warga desa. Bukan kegiatan untuk politik praktis macam kampanye," tutur Ondo (52), salah satu penghayat saat kami temui di Kampung Cibedug yang berjarak sekitar 6,9 kilometer dari Cicalung.
Di kampung itu, terdapat Bale Pasewakan Rasa Jati yang usianya lebih tua karena berdiri sejak 1951. "Dulu bentuknya hanya gubuk bambu. Lama-kelamaan menjadi bangunan permanen seperti sekarang," jelas Ondo.
Adapun kegiatan yang sering berlangsung di Bale Pasewakan, antara lain peringatan turunnya wangsit kepada Mei Kartawinata pada 17 September, tahun baru dalam sistem kalender Jawa (1 Sura), dan renungan malam 1 Juni yang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Menganut kepercayaan yang diyakini milik nenek moyang di negeri ini ternyata tak semudah membalik telapak tangan.
Berbagai perlakuan diskriminasi dari masyarakat telah mereka rasakan. Apesnya lagi, negara turut melanggengkannya melalui berbagai peraturan yang mengikat secara yuridis, alih-alih memenuhi hak para penghayat kepercayaan sebagai sesama warga negara.
Misalnya kejadian yang dialami Asep Setia Pujanegara (47) ketika menikahi Rela Susanti (41) pada 23 Agustus 2001.
Kukuh ingin melaksanakan pernikahan seturut keyakinan penghayat, pernikahan mereka tidak mengantongi Akta Pernikahan dari Kantor Catatan Sipil.
Merasa haknya sebagai warga negara tidak dipenuhi, Asep mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Gugatan pasutri ini kemudian disetujui PTUN tertanggal 25 April 2002. Perkawinan yang dilangsungkan dengan cara adat Sunda itu dapat dicatatkan di Kantor Badan Kependudukan dan Catatan Sipil (BKCS) Kabupaten Bandung.
Pun demikian, Mahkamah Agung tetap bergeming. Asep bersama istri harus menunggu hingga terbitnya Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Hal itu membuat akta kelahiran anak pertama mereka hanya bisa mencantumkan nama ibu dan tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ayahnya. Dengan demikian, buah cinta pasangan ini dianggap sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Pada saat UU Adminduk disahkan, terjadi lagi problem teknis dalam pelaksanaan. Nama ayah hanya ditambahkan dalam catatan pinggir yang dituliskan di bagian belakang alih-alih pembaruan akta lahir.
"Alasannya menurut saya sih tidak masuk akal. Karena masalah nomor registrasi tidak boleh ganda," ujar Asep yang menjabat sebagai penanggung jawab pendidikan bagi warga penghayat kepercayaan Budi Daya.
Padahal menurut Engkus, nomor registrasi tak perlu diperbarui. "Cukup lembaran blangko akta kelahirannya saja yang dibuat baru dengan menambahkan nama ayah bersanding dengan ibu."
Engkus juga pernah jadi korban diskriminasi saat ibundanya meninggal di Desa Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Warga sekitar menolak jenazah almarhumah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) karena dianggap tidak beragama.
"Kata mereka, 'Ini khusus kuburan orang beragama, yang tidak beragama tidak boleh.' Setelah melalui rapat desa, diputuskan jenazah harus disalatkan, baru boleh dikuburkan," kenangnya.
Diskriminasi di sektor pendidikan berlangsung lebih lama lagi. Keturunan para penghayat kepercayaan dipaksa memilih pelajaran agama yang diakui negara.
Regenerasi penghayat jadi terhambat karena kebanyakan anak-anak tidak mengikuti penghayat kepercayaan orang tuanya.
Siswa penghayat kepercayaan juga kerap menjadi sasaran perundungan di sekolah dalam bentuk verbal. Akibatnya siswa bersangkutan meminta pindah sekolah karena tidak tahan jadi sasaran bully.
Setelah sekian lama berjuang, mulai 2016 keluar keputusan Kemdikbud yang menyatakan bahwa murid-murid penghayat kepercayaan mendapatkan pelajaran rohani sesuai kepercayaannya.
Berhubung tidak semua sekolah memiliki guru agama dari kalangan penghayat --karena teknis dan kurikulumnya masih dibahas, beberapa siswa dikembalikan ke organisasi atau komunitas penghayat kepercayaan untuk mendapatkan pelajaran keagamaan.
Asep salah satu yang mengabdikan diri sebagai guru pengajar penghayat kepercayaan. "Untuk sementara saya mengajarkan mata pelajaran untuk semua jenjang pendidikan dari SD hingga SMA. Pelajaran biasanya berlangsung setiap hari Minggu di Bale ini. Panduannya sudah ada. Sisanya saya gabung dengan buku-buku karya Pak Mei Kartawinata."
Seiring dikabulkannya gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan perihal Penganut Kepercayaan oleh Mahkamah Konsitusi (7/11/2017), Engkus berharap tidak lagi ada perbedaan dan diskriminasi terhadap warga penghayat kepercayaan.
"Kita semua punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Selama ini penghayat kepercayaan selalu dianggap lebih rendah. Hak-hak pelayanan sosial untuk kami selalu terkebiri," katanya.
Padahal, kata Engkus, jika berkaca pada sejarah, perlakuan semacam itu sebenarnya dilakukan oleh penjajah untuk merendahkan bangsa kita.
#penghayat kepercayaan#agama#budaya#agama nusantara#budi daya#buhun#jawa barat#mei kartawinata#engkus ruswana#subang#Sungai Cileuleuy#diskriminasi#Lalampahan#Aji Dipa#Sunda#UU Adminduk
2 notes
·
View notes
Text
UN ATHÉE EN ENFER .
J'ai vu un athée dans les tourments de l'enfer.
Dans sa vie, il ne croyait pas que Dieu existe.
Il dit ceci: « Les choses
que j'ai dites et écrites contre l'exstence de Dieu étaient toutes fausses.
Le premier jour que je suis arrivé en enfer,
j'ai
compris que DIEU est RÉEL et EXISTE.
MAIS IL EST TROP TARD POUR QUE JE CROIE EN DIEU MAINTENANT.
Je suis tombé dans les mains
de ce Dieu et je sais que je ne peux pas y échapper.(Hébr 10:29 à 31)»
🔳 Commentaires
Les musulmans croient à dieu ( Allah) , les animisme ou les féticheur croient à dieu ,
Etc
Laissez moi vous dire le DIEU dont ll est question ici C'est le vrai DIEU le Seigneur JÉSUS CHRIST ,Le sauveur de tout homme ( jean 3v16 ) C'est LUI, le vrai DIEU
Si tu n'as pas Jésus comme ton Dieu,ton Seigneur et sauveur
C'est aujourd'hui le jour de réconciliation,en acceptant dans ta vie .
SHALOM
. Frère Michael de Nigeria
0 notes
Text
In production producing 'Gellerups Shadows' with Teater Animisme at Teater Refleksion.
0 notes
Text
Suku Bauzi: Keunikan dan Kehidupan Masyarakat di Papua
Suku Bauzi adalah salah satu suku yang mendiami wilayah Papua, Indonesia, yang jarang dikenal luas namun memiliki tradisi dan budaya yang unik serta sangat kaya. Suku ini menghuni daerah pesisir dan pedalaman di Papua bagian tengah, terutama di sekitar wilayah Kabupaten Nabire dan sekitarnya. Masyarakat Bauzi dikenal dengan cara hidup tradisional yang sangat erat dengan alam sekitar dan memiliki ciri khas yang membedakan mereka dari suku-suku lain di Papua.
Artikel ini akan membahas tentang kehidupan suku Bauzi, kebudayaan mereka, serta tantangan yang mereka hadapi dalam era modernisasi.
1. Lokasi dan Lingkungan Hidup Suku Bauzi
Suku Bauzi tinggal di wilayah yang terletak di sekitar pesisir utara Papua, khususnya di daerah Kabupaten Nabire, yang mencakup daerah pesisir pantai, rawa-rawa, dan hutan tropis. Daerah ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat melimpah, dengan banyaknya sungai, danau, serta hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Dengan letaknya yang berbatasan dengan laut, masyarakat Bauzi banyak bergantung pada hasil perikanan sebagai salah satu mata pencaharian utama. Selain itu, mereka juga memanfaatkan hutan tropis yang lebat sebagai sumber kayu, bahan pangan, dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Keberadaan suku Bauzi di wilayah yang masih cukup terpencil membuat mereka hidup dalam kemandirian yang tinggi, dengan pola hidup yang sangat bergantung pada alam sekitar.
2. Kehidupan Sosial dan Struktur Masyarakat
Suku Bauzi memiliki struktur sosial yang sangat berbasis pada kekerabatan dan ikatan keluarga. Seperti banyak suku di Papua, masyarakat Bauzi dibagi menjadi beberapa kelompok kekerabatan yang saling terkait dalam suatu sistem yang sangat hierarkis dan terorganisir. Setiap kelompok keluarga atau klan memiliki pemimpin yang dihormati, yang berfungsi untuk mengatur urusan adat, menjaga ketertiban sosial, serta menyelesaikan konflik yang mungkin terjadi dalam komunitas.
Pada tingkat yang lebih luas, suku Bauzi hidup dalam desa-desa kecil yang tersebar di sekitar wilayah tempat tinggal mereka. Kehidupan mereka sangat bergantung pada gotong royong dan kerja sama antar anggota komunitas. Misalnya, dalam berburu, berkebun, atau membangun rumah adat, setiap anggota masyarakat bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama.
Suku Bauzi, seperti banyak suku di Papua, memiliki pola hidup yang sangat egaliter, meskipun ada pemimpin adat dan orang-orang yang lebih dihormati berdasarkan pengalaman hidup atau kemampuan dalam hal tertentu, seperti berburu atau menyelenggarakan upacara adat.
3. Mata Pencaharian dan Pola Hidup Ekonomi
Mata pencaharian utama suku Bauzi adalah berburu, meramu, dan bertani. Mereka hidup dari hasil alam sekitar yang sangat melimpah, seperti berbagai jenis ikan, hasil hutan seperti buah-buahan dan umbi-umbian, serta hewan liar seperti babi hutan dan kanguru. Untuk berburu, mereka menggunakan alat-alat tradisional seperti tombak dan perangkap.
Bertani juga merupakan kegiatan penting bagi masyarakat Bauzi. Mereka menanam berbagai jenis tanaman yang cocok dengan iklim dan tanah di sekitar mereka, seperti sagu, ubi jalar, pisang, dan sayuran lainnya. Sagu merupakan bahan makanan utama bagi banyak suku di Papua, termasuk suku Bauzi, dan sering digunakan dalam berbagai upacara adat serta menjadi sumber karbohidrat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Selain berburu dan bertani, suku Bauzi juga mengumpulkan bahan-bahan alami dari hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti kayu untuk membangun rumah, daun-daunan untuk membuat pakaian tradisional, serta tanaman obat-obatan untuk menjaga kesehatan.
4. Budaya dan Kepercayaan Suku Bauzi
Suku Bauzi, seperti banyak suku asli di Papua, memiliki kepercayaan animisme yang sangat kuat. Mereka percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini, baik itu alam, hewan, maupun manusia, dipengaruhi oleh roh-roh yang mendiami alam sekitar mereka. Mereka memiliki sistem kepercayaan yang menyatakan bahwa roh leluhur dan kekuatan gaib memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam berburu, bertani, maupun dalam menjaga hubungan sosial antar anggota komunitas.
Upacara adat dan ritual menjadi bagian penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Bauzi. Upacara-upacara ini sering kali dilaksanakan untuk menghormati roh leluhur, memohon keselamatan, atau merayakan keberhasilan dalam berburu atau panen. Salah satu upacara yang paling terkenal adalah upacara panen, yang melibatkan seluruh komunitas dalam sebuah perayaan besar dengan tarian dan musik tradisional.
Masyarakat Bauzi juga sangat menghargai nilai kebersamaan dan gotong royong. Mereka saling membantu dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hal berburu, berkebun, membangun rumah, atau mengurus anak-anak. Nilai ini juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka yang sangat terikat dengan alam dan tradisi.
5. Rumah Adat: Rumah Bauzi
Suku Bauzi membangun rumah tradisional yang terbuat dari bahan-bahan alami yang ditemukan di sekitar mereka, seperti kayu, daun-daunan, dan ilalang. Rumah tradisional suku Bauzi ini disebut rumah Bauzi atau kadang disebut honai, yang memiliki bentuk yang sederhana namun sangat praktis untuk bertahan hidup di lingkungan yang berat. Rumah ini biasanya terdiri dari beberapa ruangan yang digunakan untuk tempat tinggal, menyimpan barang, serta ruang untuk melakukan kegiatan keluarga.
Rumah Bauzi memiliki atap yang terbuat dari daun-daunan atau ilalang yang sangat rapat untuk melindungi penghuni rumah dari hujan dan dingin. Dinding rumah biasanya terbuat dari batang-batang kayu yang disusun secara vertikal, memberikan perlindungan terhadap angin dan hujan. Rumah Bauzi juga dirancang untuk menjaga kehangatan di dalam rumah, terutama pada malam hari yang bisa sangat dingin di daerah pegunungan atau pesisir.
6. Tantangan yang Dihadapi Suku Bauzi
Meskipun suku Bauzi telah berhasil mempertahankan cara hidup tradisional mereka, mereka kini menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah semakin terbukanya akses ke dunia luar. Seiring dengan berkembangnya infrastruktur dan komunikasi, masyarakat Bauzi mulai terpapar oleh pengaruh budaya luar yang semakin mengikis kebiasaan-kebiasaan tradisional mereka.
Selain itu, kerusakan lingkungan akibat penebangan hutan, perusakan ekosistem pesisir, serta eksploitasi sumber daya alam lainnya menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup mereka. Suku Bauzi sangat bergantung pada alam sekitar mereka untuk bertahan hidup, dan perubahan besar dalam ekosistem dapat berdampak langsung pada mata pencaharian mereka, seperti berburu, bertani, dan memanfaatkan hasil alam.
Akses terbatas terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur juga memperburuk keadaan mereka, yang semakin kesulitan dalam beradaptasi dengan perubahan zaman. Oleh karena itu, menjaga keberlanjutan budaya dan kehidupan masyarakat Bauzi di tengah arus modernisasi adalah tantangan besar yang perlu dihadapi bersama.
7. Kesimpulan
Suku Bauzi adalah contoh masyarakat adat Papua yang memiliki tradisi, kebudayaan, dan cara hidup yang sangat kaya dan unik. Dengan mata pencaharian yang bergantung pada alam sekitar, kehidupan sosial yang erat berbasis pada gotong royong, serta kepercayaan yang sangat spiritual, suku Bauzi menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Namun, seperti banyak suku adat lainnya, mereka kini menghadapi tantangan besar akibat perubahan zaman dan pengaruh dunia luar. Melalui pemahaman dan dukungan yang tepat, diharapkan suku Bauzi dapat terus mempertahankan tradisi mereka, sambil mengadaptasi diri dengan perkembangan zaman demi kelangsungan budaya dan kehidupan mereka yang berkelanjutan.
0 notes
Text
DANS LA MAISON D'AMOUR
Monde Alien
A partir des States
Mais Dieu # à Paris
En janvier 2015
A la poursuite des Slans
J'ai raconté
Ma chatte a fait peur
Féline prise dans l'antimatière
Dans le virtuel
Contre un vaisseau noir de l'empire
Soviético-rat-Predator
Animisme utilisé
Du racisme l'Ange blanc demandé
Pour se protéger
Alien l'espace se fait
Et puis de la Terre
Et de ses habitants aliénés
Des jeunes
Rats à leur façon
Antisoviétisme primaire évitons
Le chat Bleu à Roubaix
Et si c'était une minette
Provok corps et tête
Lundi 21 octobre 2024
0 notes
Text
MENGENAL SUKU JAWA
Suku jawa adalah suku terbesar dalam POPULASI di rantau nusantara .
Tersebar di seluruh nusantara baik di indonesia , singapore, malaysia, brunei darussalam , bahkan di luar negeri seperti di hongkong , taiwan, suriname, belanda , arab saudi .
Suku Jawa tidak dinisbatkan kepada seluruh penduduk pribumi penghuni pulau Jawa. Di pulau Jawa sendiri terdapat beberapa suku bangsa lain selain suku Jawa. Sebutan bagi suku Jawa lebih identik bagi masyarakat yang memegang teguh filosofis atau pandangan hidup Kejawen. Secara geografis meliputi Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Jawa Timur pun juga masih varian karena di dalamnya masih ada suku Madura, suku Tengger maupun Suku Osing di Banyuwangi. Kebudayaan suku Jawa merupakan hasil dari peninggalan sejarah kerajaan besar Jawa khususnya Majapahit dan Mataram Baru.
Filosofis hidup suku Jawa yang paling dasar sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, Budha dan juga kepercayaan animisme-dinamisme. Orang jawa pada umumnya sangat menjunjung tinggi keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup baik terhadap sesama manusia maupun dengan lingkungan alam. Dalam etika keseharian sangat mengedepankan norma kesopanan, kesantunan dan kesederhanaan. Oleh sebab itu, dialog bahasa Jawa memiliki beberapa tingkatan bahasa sesuai dengan lawan bicara yang dihadapi.
● FILOSOFIS HIDUP
Orang jawa pada dasarnya memiliki banyak sekali filsafat hidup yang dijadikan sebagai pedoman bermasyarakat. Namun terdapat tujuh filosofis dasar yang setidak-tidaknya menggambarkan perilaku budaya suku Jawa, yaitu :
■ Urip iku urup, (hidup itu menyala), maknanya adalah bahwa hidup sebagai manusia haruslah memiliki manfaat bagi manusia lain dan lingkungan alam sekitar.
■ Ojo Keminter Mengko Keblinger, Ojo Cidro Mundak Ciloko, (jangan menjadi orang yang sombong dengan kepandaian dan jangan menyakiti orang agar tidak dicelakai), maknanya hidup haruslah rendah hati dan selalu sportif.
■ Ojo Ketungkul Marang Jenenge Kalenggahan, Kadunyan lan Kemareman, (jangan menjadi orang yang hanya mengejar jabatan, harta dan kenyamanan), maknanya jangan terlalu mengutamakan jabatan/pangkat, harta dan kenikmatan dunia.
■ Wong Jowo Kuwi Gampang Ditekak-tekuk, (orang jawa itu mudah untuk diarahkan), maknanya bahwa orang Jawa itu mudah untuk beradaptasi dengan berbagai situasi lingkungan.
■ Memayu Hayuning ing Bawana, Ambrasta dur Hangkara (membangun kebaikan dan mencegah kemungkaran), maknanya adalah hidup didunia harus banyak-banyak membangun atau memberi kebaikan dan memberantas sikap angkara murka.
■ Mangan ora mangan sing penting kumpul (kebersamaan harus diutamakan), maknanya adalah bahwa kebersamaan dan gotong royong itu lebih penting dari yang selainnya.
Nrimo Ing Pandum, (menerima pemberian dari yang kuasa), maknanya adalah harus selalu bersyukur terhadap apa yang sudah dimiliki dan diberikan oleh Tuhan.
● AJARAN KEJAWEN
Kejawen bagi masyarakat Jawa asli sudah hampir menjadi seperti agama tersendiri. Ajaran kejawen pada dasarnya merupakan kompilasi dari seni, budaya, adat ritual, sikap sosial, serta berbagai pandangan filosofi masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang teguh ajaran asli kejawen, panutan ajaran ini menjadi nilai spiritualitas tersendiri. Masyarakat Jawa banyak memiliki kitab kejawen yang disadur dari kitab-kitab karya para Mpu pada masa kerajaan Jawa.
Syekh Siti Jenar yang terkenal dengan konsep gagasan ‘manunggaling kawula lan gusti’, merupakan salah satu tokoh yang tidak dapat dilepaskan dari munculnya ajaran kejawen. Sebagai inti ajaran, kejawen mengajarkan manusia pada apa yang disebut ‘Sangkan Paraning Dumadhi’ (kembali kepada sang pencipta). Kemudian membentuk dan mengarahkan manusia untuk sesuai dengan Tuhannya (manunggaling kawula lan gusti). Bahwa setiap manusia harus bertindak sesuai dengan tindakan dan sifat Tuhan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka orang Jawa biasa melakukan ’laku’ atau tindakan untuk membentuk pribadi yang sesuai dengan Tuhan. Diantaranya adalah dengan melakukan ‘pasa’ atau berpuasa dan juga ‘tapa’ atau melakukan pertapaan. Disinilah letak kejawen sebagai bentuk spiritualitas suku Jawa.
● WAYANG KULIT
Wayang kulit merupakan salah satu kebudayaan suku Jawa yang cukup khas. Wayang sendiri berasal dari kata ‘ayang-ayang´ yang artinya adalah bayangan (baca juga : sejarah wayang kulit). Wayang kulit Jawa memiliki perbedaan dengan wayang golek Sunda (baca : sejarah wayang golek). Bagi suku Jawa, cerita pewayangan selalu menggambarkan bentuk kehidupan manusia di dunia, yakni peperangan terhadap angkara murka dan perjuangan untuk membangun kebaikan. Hal itu sesuai dengan prinsip filosofis hidup yang selalu dipegang teguh oleh orang Jawa.
Permainan kesenian wayang kulit mulai tersebar luas ketika para wali songo sering menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah Islam. Pada umumnya cerita dan penokohan pada kesenian wayang kulit diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Namun dalam versi pewayangan Jawa, cerita tersebut sudah banyak dilakukan perubahan. Wayang purwa sebutan lain bagi wayang kulit biasa dimainkan oleh seorang narator yang disebut dalang. Dalang ini bertugas untuk mengatur jalannya cerita dan memainkan gerak para tokoh wayang kulit.
Selain memiliki unsur kesenian, wayang kulit juga dipercaya oleh orang Jawa memiliki nilai magis tersendiri. Pagelaran wayang kulit dipercaya mampu mendatangkan kekuatan-kekuatan magis dari arwah leluhur ataupun kekuatan magis yang berasal dari Tuhan. Maka dari itu pagelaran wayang kulit merupakan media utama ketika orang Jawa melakukan ruwatan. Ruwatan merupakan bentuk acara atau upacara untuk membuang ‘bala’ (kesulitan dan kesialan). Dengan diruwat orang Jawa berharap kehidupannya bisa keluar dari segala kesulitan dan bencana.
● KERIS
Keris merupakan senjata tradisional suku Jawa. Keris sendiri selain sebagai senjata tradisional suku Jawa juga menjadi lambang kedaulatan beberapa raja-raja di kerajaan luar Jawa.
Bagi orang Jawa, keris tidaklah sesederhana hanya merupaka senjata saja. Lebih dari itu, keris merupakan senjata pusaka yang diyakini oleh sebagai orang memiliki atau menyimpan kesaktian. Oleh sebab itu keris disebut juga sebagai ‘tosan aji’ (alat yang memiliki kesaktian).
Dalam beberapa legenda sejarah terdapat beberapa keris yang dianggap begitu istimewa. Keris Mpu Gandring yang direbut oleh Ken Arok, mampu menjadikan Ken Arok sebagai penguasa kerajaan Singasari. Keris Nagasasra dan keris sabuk Inten yang terkenal dari kerajaan Demak. Keris Sunan Kudus yang disebut ‘sunan kober’ dan merupakan senjata pamungkas dari Arya Penangsang juga telah mampu memberikan kekuasaan.
Sebagai ‘tosan aji’, keris begitu sangat dipercayai kesaktiannya karena proses pembuatannya yang dilakukan oleh para Mpu (sebutan bagi pembuat keris) senantiasa diiringi dengan laku spiritualitas seperti puasa dan bertapa. Selain kemampuan meracik kualitas bahan material, para Mpu juga memasukkan berbagai mantra dan do’a pada keris yang dibuatnya. Bahkan jumlah ‘luk’ (lekukan) yang ada pada keris menyimpan makna kesaktian yang tersembunyi.
● AKSARA JAWA
Suku Jawa memiliki huruf tulisan yang disebut dengan aksara Jawa. Aksara Jawa terdiri dari 20 karakter huruf yang menyimpan makna dan filosofi masing-masing. Huruf-huruf tersebut adalah Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga. Banyak sekali versi sejarah dan legenda yang mengemukakan asal-usul munculnya aksara Jawa ini. Namun yang paling terkenal diantara kalangan masyarakat Jawa adalah cerita babad Ajisaka.
Babad Ajisaka mengisahkan tentang pengembaraan seorang penguasa kerajaan Jawa Kuno yang didampingi oleh seorang abdi (pembantu). Dalam perjalanannya, Ajisaka meninggalkan keris miliknya di tengah hutan dan menyuruh abdinya tersebut untuk menjaga keris tersebut dan jangan sampai diberikan kepada siapapun kecuali pada Ajisaka sendiri.
Ajisaka kemudian melanjutkan pengembaraannya seorang diri.
Setelah sekian waktu, Ajisaka kembali ke kerajaan dan setelah sekian lama memerintah kerajaan ia baru teringat akan keris pusakanya yang ia tinggalkan semasa pengembaraan. Dari situ lantas Ajisaka mengutus seorang utusan untuk pergi ke hutan mengambil keris tersebut. Ia berpesan pada utusannya bahwa jangan sampai kembali ke kerajaan sebelum ia membawa keris pusakanya.
Di tengah hutan utusan kerajaan ini mendapati keris pusaka Ajisaka yang tengah dijaga oleh seorang abdi. Kedua orang yang pada hakekatnya merupakan utusan Ajisaka ini kemudian saling berebut keris karena mereka sama-sama memegang teguh amanah perintah majikannya. Dua orang ini kemudian terlibat pertarungan yang menjadikan keduanya tewas. Ajisaka baru teringat kalau ia meninggalkan keris tersebut bersama dengan salah satu abdi setianya. Ajisaka menyusul ke dalam hutan, namun ia mendapati kedua utusannya telah tewas. Untuk menghormati utusannya yang setia inilah kemudian Ajisaka merumuskan tulisan yang kemudian dikenal sebagai aksara Jawa. Filosofisnya,
■ HaNaCaRaKa : terdapat dua utusan setia
■DaTaSaWaLa : saling berkelahi/bertarung
■PaDaJaYaNya : sama-sama saktinya
■MaGaBaThaNga : sama-sama matinya
● BAHASA JAWA
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang memiliki stratifikasi atau tingkatan bahasa. Orang Jawa sangat menjunjung tinggi etika kesopanan dan kesantunan termasuk dalam hal berbahasa. Dalam bahasa Jawa dikenal yang namanya undhak-undhuk atau tata krama di dalam bertutur kata. Setidaknya terdapat tiga struktur tingkatan bahasa yang ada dalam bahasa Jawa, tingkatan tersebut :
Ngoko, bahasa ngoko merupakan bahasa yang digunakan apabila lawan bicara merupakan orang yang sebaya umurnya atau kerabat yang sudah dekat dan akrab. Secara khusus juga digunakan oleh orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda.
Madya, bahasa madya merupakan bahasa yang digunakan kepada lawan bicara yang umurnya lebih tua atau sekadar penghormatan kepada orang yang sama sekali kurang dikenal.
Krama, bahasa krama merupakan tingkatan tertinggi dalam bahasa Jawa. Digunakan untuk berbicara kepada orang yang yang lebih tua atau dituakan, serta kepada orang yang memiliki status sosial tinggi di masyarakat.
Bahasa Jawa sendiri masih terbagi kedalam beberapa dialek yang berbeda-beda. Seperti dialek orang Jawa di Jawa Timur dengan orang Jawa di Jawa Tengah atau Jawa Barat, memiliki struktur pengucapan dan logat yang berbeda. Namun prinsip undhak undhuk masih tetap berlaku meskipun dialek dan pengucapan memiliki perbedaan.
● SENI TARI
Orang Jawa dikenal sebagai masyarakat yang berbudaya.
Sangat banyak sekali seni tari yang merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa masyarakat Jawa. Bahkan antara orang Jawa di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, memiliki tarian khasnya masing-masing.
Benang merah seni tari suku Jawa terletak pada tata tari yang luwes, kalem dan santun. Menggambarkan filosofis hidup suku Jawa yang cenderung menerima, selalu adaptif dengan segala situas dan kondisi serta mengutamakan tata krama.
Sebagaimana kepercayaan yang dianut suku Jawa, dalam kesenian tari yang diciptakan pun tidak terlepas dari unsur magis dan sakralitas. Kesenian tari seperti reog, tari sintren, tari kuda lumping merupakan contoh kesenian tari yang sangat kental dengan kekuatan supranatural.
Di lingkungan keraton Jogjakarta dikenal tari ‘bedhaya ketawang’ yang sangat disakralkan oleh orang Jawa disana. Sakralitas ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa tari bedhaya ketawang ini sengaja diciptakan oleh Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan sebagai bentuk suguhan bagi penguasa Kerajaan keraton Jogja penguasa tanah Jawa.
Tarian ini ditarikan oleh 9 orang wanita dan hanya dipentaskan untuk acara-acara tertentu saja yang berkaitan dengan hajat keraton/kerajaan. Pagelaran tari bedhaya ketawang diiringi oleh musik gamelan yang ritmenya sangat halus dan pelan. Gerakan tarinya pun juga sangat halus, sehingga membuat orang yang melihatnya seolah-olah tersihir dengan gerak dan alunan musiknya . Dipercaya bahwa ketika dilakukan pagelaran tari ini, secara supranatural Nyi Roro Kidul selalu hadir dan ikut menari bersama dengan 9 wanita yang menarikan tarian ini.
● SENI MUSIK
Alat musik tradisional Jawa biasa disebut dengan gamelan. Gamelan sendiri merupakan gabungan dari beberapa alat musik pukul seperti gong, kendang, saron, bonang, kenong, demung, slenthem, gambang serta kempul. Gamelan biasa digunakan untuk mengiringi kesenian tari atau kesenian suara yang biasa disebut dengan karawitan. Gamelan juga biasa digunakan sebagai pengiring pagelaran wayang kulit.
Pada zaman dahulu alat musik gamelan biasa dijadikan media dakwah para walisongo. Mereka menggunakan gamelan sebagai alat untuk memberi hiburan kepada masyarakat sebelum atau sesudah mereka memberikan ceramah-ceramah agama. Dengan media ini masyarakat Jawa mudah untuk dikenalkan dengan Islam dan sekarang mayoritas Suku Jawa merupakan orang-orang yang memeluk Islam. Selain di Jawa alat musik gamelan juga dikenal pada beberapa suku bangsa yang lain seperti pada kebudayaan Sunda, bahkan kebudayaan Suku Banjar yang ada di luar Jawa juga menggunakan gamelan sebagai salah satu alat musiknya.
■ Kebudayaan Suku Jawa merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. Banyak sekali kebudayan suku bangsa lain di Indonesia yang sedikit banyak berakulturasi dengan budaya masyarakat Jawa. Baik dalam bahasa, filosofis, maupun kesenian-keseniannya. Hingga saat ini adat-istiadat suku Jawa ini masih sangat dipegang teguh dan terus ditradisikan, khususnya dalam lingkungan Keraton daerah istimewa Jogjakarta.
"WONG JOWO OJO ILANG JAWANE"
#SabdaPalon
Copas dari Wulan Widia
0 notes
Text
Oleh Dimas
Djiwo - SVVANANTAKA
Grup raw black metal domestik dengan moniker Djiwo kebali dengan opus terbaru sembilan tahun pasca EP Cakra Bhirawa. Mengeksplor kearifan lokal Jawa dan Bali, saya tertarik dengan segala hal berbau pagan, animisme dan kepercayaan nenek moyang. Djiwo seakan ingin mengingatkan untuk kembali ke asal muasal dan esensi manusia terutama kepercayaan domestik. Sama seperti spirit pagan ketika black metal gelombang kedua merebak di Norwegia sana.
Sebuah album yang mungkin bisa disebut kitab kuno. Balutan raw black metal sound hampir busuk namun atmosferik sekaligus dingin dan mencekam, lirik sanskrit yang mengangkat kisah-kisah mitologi kepercayaan nenek moyang. Di trek “Vgra Kapalikas” mungkin dari kisah Adi Shankaracharya jika saya tidak salah tafsir. Terasa nuansa doom tipis-tipis di beberapa trek. Ini bukan hal kuno dan usang, bahkan beberapa orang menyebutnya ‘katro’. Persetan hal tersebut. Jilat pantat budaya barat. Makan tai!
Yang menarik bagi saya adalah trek “Krodha bomacara” yang penuh agresi dan atmosfir keji. Krodha sendiri artinya sifat marah atau amarah. Krodha merupakan salah satu bagian dari sadripu. Pengertian dari sadripu adalah enam musuh yang ada dalam diri manusia. Bagian-bagian dari sadripu antara lain kama, lobha, krodha, mada, moha, dan matsarya. Menurut saya, Svvanantaka merupakan salah satu album yang wajib diputar secara berurutan dari trek pembuka hingga akhir. Haram hukumnya jika diputar secara acak atau satu trek saja. Bakar dupa di ruang remang, jauhkan gawai, kosongkan jiwa dan berikan seutuhnya pada Svvanantaka demi pengalaman spiritual paripurna.
Author by Admin
©Extreme Moshpit
0 notes
Text
chronique tiktok ep 01 : du tarot aux valeurs puritaines, la spiritualité en ligne comme porte d’entrée vers « l’alt-right »
Si le lien entre new-age et extrême droite ne date pas d’hier, les néo-nazis ayant malheureusement coopté des pratiques païennes (« savez-vous qu’en vénérant la déesse Freya, vous pouvez vous reconnecter à vos racines nordiques et honorer l’Europe en faisant un maximum d’enfants blancs ? ») avant même que le web n’existe, dans les chambres d’écho créées par l’algorithme TikTok, les barrières à l'entrée de l’extrémisme n’ont jamais été si basses. Le principal point d’entrée de ce monde nébuleux est la théorie du féminin sacré, selon laquelle il y aurait chez les femmes une essence propre qui, une fois révélée, leur permettrait de s’émanciper. Reconnu par la Miviludes comme dérive sectaire, il a déjà envahi les librairies. En face de Wittig et de Beauvoir, on trouve des éditions aux couleurs pastel promettant de réveiller la déesse qui sommeille en nous.
« L’énergie masculine et féminine sont complémentaires » serait-elle le nouveau « un papa, une maman » ? Comme lune et soleil, hommes et femmes seraient très différents autant sur le plan spirituel que matériel. Outre un essentialisme qui doit envoyer Wittig en orbite dans sa tombe, le witchtok est un fourre-tout d’astrologie, spiritualité hindoue, animisme africain et médecine alternative. Alors qu'il se concentrait sur le tarot, le mysticisme sur TikTok est de plus en plus lié à des notions binaires de rôles de genre rétrogrades. On y trouve un nombre alarmant de vidéos mettant en garde les jeunes filles contre les effets néfastes du sexe, avec de vagues références aux « différences inhérentes entre les genres », alliant spiritualité et pseudo-science, comme cette théorie qui voudrait qu’une prétendue libération d’hormones post-coïtales lierait votre âme à vie avec celle de votre premier partenaire. Dans l’optique d'une « vie douce », on décourage les femmes d’être trop impliquées dans leur travail, ce qui nuirait à leur « essence féminine ». Il faudrait rejeter le capitalisme pour être une « petite amie au foyer » et passer la journée à faire du pain en brûlant de la sauge, ainsi que renoncer à conduire une voiture et à prendre des décisions, choses « masculines ». Ainsi s’est développé tout un marketing qui vise à repackager le bon vieux « papa-travaille-et-maman-prend-soin-des-enfants » à la sauce 2020.
Présentée comme la génération la plus éduquée, la génération Z est aussi incroyablement solitaire dans un monde de plus en plus absurde. Cependant, des voix critiques émergent au sein du witchtok pour avertir des dangers de cette idéologie. Pour la tiktokeuse Neha Chandrachud, « Le féminisme des années 2010 tendait à l'égalité et a poussé les femmes à travailler comme les hommes. Mais accablées par la charge mentale, car toujours responsables du travail émotionnel et des tâches ménagères, elles sont très fatiguées. Si le fait de se retirer de la vie active peut être vécu comme un “va te faire foutre" au capitalisme, la droite chrétienne mise sur le fait que les femmes continueront à se retirer, jusqu’à nous reléguer à l'arrière-plan de la société. » En effet, force est de constater que si votre pratique spirituelle repose sur des idées si patriarcales que vous finissez par vous aligner sur la droite chrétienne, alors vous n’êtes sûrement pas la sorcière que vous croyez être.
0 notes
Text
NaNoFinMo 2024: It's Officially Started!
Gawat, ternyata Desember akhirnya berlalu juga, dan selesai sudah jeda yang dibutuhkan untuk menjeda dari novelku. Sekarang kita memasuki bulan yang disebut dengan National Novel Finishing Month, atau NaNoFinMo, atau juga disebut dengan "Now What?" Month. XD Target untuk bulan Januari sederhana, yaitu meluangkan waktu 1 jam dalam sehari untuk memikirkan soal novelku: membaca referensi, menata ulang kerangka, atau, ya, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Dan, sebagai awalan, aku akan menjawab pertanyaan dulu. (Melanjutkan yang pos sebelumnya.)
2.
Write 2-3 sentences (or more—wax on if you want to!) about the heart of your story.
Tentang berbagai bentuk rasa peduli; rakyat pada tanahnya, raja pada tahtanya, prajurit pada kerajaannya, adik pada kakaknya, suami pada istrinya. Kesemuanya benar, dan tulus pula, tapi ketika perasaan dengan kepentingan yang berbeda saling berbenturan, siapa yang suara hatinya paling layak didengar?
3.
Write a 2-3 paragraphs describing the strengths of your novel.
Novel sejarah dengan latar abad ke-19 itu menarik, terutama ketika perjalanan peristiwanya diceritakan dengan sudut pandang yang berbeda-beda: seorang rakyat, pangeran, putri, pedagang di pasar, prajurit kerajaan, hingga kelompok masyarakat adat di dalam hutan yang berjarak dari semua peristiwa itu. Setiap tokohnya memiliki pandangan dunia yang berbeda, dan dalam interaksi antartokohnya mereka sama-sama belajar untuk mendengarkan dan memahami.
Kekuatan lainnya adalah ciri khas intrik kerajaan zaman dulu yang penuh dengan pengkhianatan---sebab peduli pada satu sisi berarti berkhianat pada sisi lain. Maka dalam kurun waktu kira-kira dua puluh tahun (dari awal Perang Sepoy hingga berakhirnya Perang Jawa) itu kesemua tokohnya menjumpai pengkhianatan dari orang tersayang, dan juga melakukan pengkhianatan pada orang lain pula.
4.
Now, write 2-3 paragraphs describing the not-so-great parts of your novel.
Pendalaman karakter pada beberapa tokohnya kurang, terutama pada tokoh-tokoh yang secara personal jauh dan tidak terlacak oleh penulis, seperti seseorang dari India yang menjadi prajurit Kerajaan Inggris. Detail tentang deskripsi tingkah laku yang dilakukan tokohnya juga pada beberapa bagian kurang detail, seperti aktivitas bercocok tanam, perlengkapan berkuda, dan lainnya.
Beberapa bagian terlalu terburu-buru dan kurang "nekat", padahal sebetulnya bisa saja menarik kalau diteruskan, misalnya detail dalam peperangan selama Perang Sepoy atau Perang Jawa. Intiya, detail-detail masih kurang. Bentuk-bentuk animisme-dinamisme(?) atau kepercayaan spiritual baru muncul satu kali, padahal seharusnya berkelindan dalam kehidupan.
Oke, semua pertanyaan sudah selesai dijawab. Sebelum aku lanjut ke set pertanyaan berikutnya, aku mau menyalin penutup dari buku panduannya: It’s your job to keep working with it, even if you feel like it’s hard or you should just light the draft on fire and throw it off a cliff. INI BENER SEKALIIIII TwT Ayo, semangat! Demi novel yang lebih noveable(?).
0 notes
Text
Filsafat Alam dari Thales
Filosofi Alam dari Thales Thales berpendapat bahwa segala sesuatu di jagat raya memiliki jiwa. Jiwa tidak hanya terdapat di dalam benda hidup tetapi juga benda mati. Teori tentang materi yang berjiwa ini disebut hylezoisme. Argumentasi Thales didasarkan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa raga karena mampu menggerakkan besi.
Thales hidup pada masa 625 - 454 SM. Seorang saudagar sukses dan politikus di Miletos, yang merupakan muara Sungai Meander, sekarang adalah Provinsi Aydin yang masuk dalam negara Turki modern. Thales adalah filsuf pertama dalam tradisi filsafat barat, untuk itulah ia dijuluki sebagai Bapak Filsafat. Banyak sumber menyebut, Thales menggunakan kecerdasannya sebagai ahli nujum terkemuka. Cerita menyebut, dia dapat meramalkan kapan terjadi gerhana matahari dengan akurat. Banyak pendapat menyebut, ilmu nujum dipelajari dari orang Babylonia, yang memang terkenal lebih awal mempelajari astronomi.
Lewat disiplin observasi dan eksperimen yang telah dilalui, Thales menyimpulkan bahwa "Segala sesuatu itu air". Air yang cair itulah pokok, sumber segala sesuatu. Thales bergumen bahwa air adalah substansi yang membentuk alam semesta. Ia juga mengatakan bahwa keberadaan bumi mengapung di atas air. Semua berasal dari air, dan pada pangkalnya akan menjadi air. Demikianlah simpulan Thales tentang teori segala sesuatu. Simpulan inilah, yang kemudian disepakati para ahli sebagai gagasan pertama yang menjelaskan tentang asal - usul pembentukan alam semesta.
Pandangan filsafat Thales menyebut, tidak ada perbedaan bentuk dan sifat, antara kehidupan dan kematian. Semua dalam satu entitas yang sama. Semua itu ada masanya, bisa kita ambil contoh: Suatu materi pada awalnya berbentuk tanah, lalu bertransformasi dalam wujud rumput, ke makhluk lain melalui proses makan dan dimakan. Semuanya bisa timbul dan tenggelam, hanya beda bentuk. Bisa jadi jiwanya sama. Itulah mengapa, Thales menyebut setiap benda, entah itu kita menyebutnya hidup, atau mati, semuanya memiliki jiwa.
Barangkali, lebih condong jika kita menyebut, aliran filsafat Thales masih menyimpan corak animisme. Animisme percaya bahwa benda hidup dan mati sekalipun memiliki jiwa. Simpulan ini didapatkan pula dari pandangan bahwa besi berani (Magnet), meskipun benda mati mampu menarik besi - logam, yang menurutnya tanda sesutau yang berjiwa. Begitulah kita memahami Thales, ya.. 1) segala sesuatu berasal dan akan berakhir sebagai air; 2) Semua benda itu berjiwa, entah dalam keadaan hidup atau mati.
0 notes