#Wartawan Majalah Tempo
Explore tagged Tumblr posts
madurapost · 17 days ago
Text
Ahmad Wahib: Cendikiawan Muda dari Sampang yang Hilang di Persimpangan Jalan
PAMEKASAN, MaduraPost – Ahmad Wahib adalah sosok yang mungkin asing bagi banyak orang, tetapi pemikiran dan perjalanan hidupnya menyimpan kisah yang layak dikenang. Pemuda asal Kabupaten Sampang, Madura, ini dikenal sebagai cendekiawan muda yang kritis, progresif, dan penuh gagasan. Sayangnya, hidupnya berakhir tragis pada 31 Maret 1973 akibat kecelakaan lalu lintas di Jalan Senen Raya–Kalilio,…
0 notes
kbanews · 1 year ago
Text
Bambang Harymurti Ragu Pilpres 2024 akan Jujur: Ibarat Pertandingan Bola, Lapangannya Sudah Dibuat Miring
JAKARTA | KBA – Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti meragukan Pilpres 2024 ini akan berlangsung dengan jujur dan adil. Karena sejak awal terlihat ada desain agar kontestasi dalam meraih dukungan rakyat dibuat tidak fair. Hal itu disampaikannya dalam podcast di kanal YouTube @Abraham Samad SPEAK UP dikutip KBA News, Minggu, 31 Desember 2023. Wartawan senior ini awalnya…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
radila-u · 5 years ago
Text
Wolf Totem yang Tidak Selesai Hingga Review Buku Hidup Sederhana
Wolf Totem sebenarnya mulai saya baca pada tahun 2015. Tapi saat itu saya hanya sanggup membaca beberapa halaman, kira-kira mungkin kurang dari sepuluh halaman(?) Karena ga ngertiiii. Membaca berita yang bahasanya formal, atau sekalian baca jurnal, rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan sulitnya memahami buku ini. Jadilah, hanya saya sampul dan simpan rapi di rak bersama buku lain.
.
Di masa WFH ini, dari challenge-nya kak Nesha dan kebutuhan saya untuk latihan membaca, saya memutuskan 'memberanikan' diri untuk kembali mengulang membacanya. Surprisingly, ternyata justru tidak ada peningkatan pemahaman yang signifikan. Butuh waktu yang lama, suasana hening, dan konsentrasi penuh bagi saya untuk bisa melewati halaman demi halamannya. Selain itu juga sangat banyak kosakata yang belum pernah saya baca dimana pun atau yang memiliki makna lain dari yang biasa saya ketahui. Mungkin kalau setiap kata sulit yang ada saya lingkari dan bubuhkan artinya disana, setiap halaman buku ini pasti penuh dengan coretan.
.
Melihat story peserta challenge lain yang di-repost lumayan bikin saya minder sebenarnya hehe. Ada yang belum tujuh hari sudah selesai satu buku. Sedangkan saya? Sudah satu minggu tapi belum sampai seperlima bagian yang selesai, padahal sudah tiap hari dibaca. Untuk kedua kalinya, saya menyerah lagi untuk sementara dengan Wolf Totem. Ga sanggup lanjut, huhu. Mungkin nanti, kalau reading IELTS saya sudah 9 hehe. Aamiin. Daan, biar ga ngenes-ngenes amat dalam challenge ini, saya tetap lanjut baca, tapi buku lain (sepertinya cuma saya yang tidak menyelesaikan buku pertama tapi sudah lanjut buku kedua; melenceng dari rule).
Kembalilah saya ke salah satu buku favorit yang belum selesai dibaca karena saking sukanya hingga keasyikan, ternyata malah sudah hampir tamat. Dan bacanya justru dihemat biar tidak cepat selesai hehe. "Hidup Sederhana" dari Desi Anwar. Berikut review-nya.
.
Judul: Hidup Sederhana
Penulis: Desi Anwar
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan pertama 2014, cetakan kedua Desember 2014
Jumlah halaman: 286
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa disadari kita sangat ahli dalam membuat segala sesuatu menjadi rumit. Kita memikirkan kesalahan dan kekurangan masa lalu, mencemaskan masa depan, dan terkadang abai terhadap masa kini. Kita berkutat mencari kebahagiaan dari apa yang belum kita capai, dan melupakan sumber-sumber kebahagiaan yang bisa kita dapatkan dari hal-hal sederhana di sekitar yang sering terlupakan. Dalam buku ini, Desi Anwar memberikan sudut pandang, pengamatan, dan pengalamannya dengan cara yang ringan. Setiap bab dalam buku ini hanya terdiri dari kisaran kurang dari lima halaman, yang uniknya, dalam masing-masing bab tersebut terdapat gambar-gambar dari berbagai belahan dunia yang mewakili judul bab, dan dipotret sendiri olehnya.
.
Dari total 51 bab yang ada, saya memiliki tiga bab paling favorit yaitu Teh, Waktu dan Kesibukan, dan Suara di Dalam Kepala.
1. Teh
Pilihan saya untuk bab ini mungkin dipengaruhi oleh kecenderungan saya yang memang menyukai teh. Salah satunya karena teh lebih ringan dan tidak mempercepat degup jantung sekuat kopi. Di bab ini kita diajak untuk sejenak duduk menyesap secangkir teh hangat favorit tanpa gula, susu, atau krimer, dan merasakan rasa dan aroma khasnya sesaat di mulut setelah menelannya. Istilah orang-orang sekarang, merasakan 'after taste'-nya. Nanti akan terasa beban yang ada perlahan akan sedikit menguap.
.
2. Waktu dan Kesibukan
Pada bab ini, Desi Anwar menceritakan tentang Mary, seorang guru keseniannya saat bersekolah di Inggris dulu yang sangat kreatif, inspiratif, dan mampu memunculkan sisi seniman setiap muridnya. Di balik semangat mengajarnya, dia masih bisa menghasilkan karya seni dan tetap membuat rumahnya rapi, sesuatu yang mungkin membuat kita berpikir bahwa dia tidak akan memiliki waktu untuk mengerjakan hal-hal lain. Ternyata tidak.
Sebelum beraktivitas, dia akan memulai paginya dengan berenang seratus lap, dan pergi ke berbagai tempat dengan berjalan kaki sehingga tidak heran dia memiliki postur tubuh yang tegap. Untuk makanan, dia biasa membuat roti sendiri dengan selai dari buah-buahan, alih-alih membelinya. Setiap akhir pekan adalah waktu untuk berkebun; merawat aneka tanaman hias dan herba yang digunakannya untuk memasak. Dia juga menyukai menghiasi rumahnya dengan aneka pernak-pernik indah buatan sendiri. Selain itu, dia juga masih mempunyai waktu untuk membaca buku favorit, pergi ke taman untuk melukis, dan tidur siang setelah menikmati secangkir teh.
"...kita tidak hanya terlalu sibuk untuk mengerjakan apapun, tapi juga sering kali menggunakan kesibukan kita sebagai dalih untuk tidak mengerjakan sesuatu yang benar-benar bernilai..."
"Sibuk itu tidak berarti produktif."
"Orang yang produktif jagoan dalam mengelola waktu dan mengatur hidup sehingga waktulah yang bekerja untuk mereka..."
Sangat menohok dan begitu berkebalikan dengan saya.
.
3. Suara di Dalam Kepala
Dalam keseharian, ada banyak jenis suara yang kita dengar. Suara omelan orang tua atau guru misalnya, yang dalam keadaan tertentu mungkin dapat kita abaikan. Namun ada satu suara yang terus ada bersama kita, yang sulit untuk dibungkam karena ia bersemayam di dalam pikiran kita.
"Kok bisa kamu bertindak sekonyol itu,"
"Yang salah itu pasti kamu sendiri."
Suara semacam ini dapat menjadi alasan kita menjalani aktivitas dengan amarah, memutar kembali kenangan buruk masa lampau hingga menangis di malam hari. Maka, daripada terlarut mendengarkan suara tersebut, kita bisa membuat tandingannya berupa suara yang kita sukai. Guru-guru favorit, atau sahabat-sahabat baik misalnya.
"Tidak seburuk yang kamu pikirkan,"
"Oh yah, lain kali kamu akan lebih baik."
.
Hidup Sederhana adalah buku ketiga Desi Anwar, seorang wartawan dan tokoh pertelevisian Indonesia yang juga merupakan penulis kolom majalah berita Tempo dan koran berbahasa Inggris, The Jakarta Globe. Dengan jam terbang tersebut, Desi Anwar membuat buku ini secara keseluruhan tidak hanya ditulis dengan bahasa yang sederhana seperti judulnya, namun juga sangat mengalir. Setiap babnya menginspirasi pembaca dalam melihat dan menikmati hal-hal di sekitar untuk menenangkan pikiran dari hiruk pikuk kesibukan sekaligus menemukan kebahagiaan sederhana tanpa sama sekali menggurui. Saya tidak tahu apa kata yang pas untuk mewakili perasaan ketika membaca buku ini. Tapi bagi saya rasanya seperti sedang berlibur di sebuah resort dan bangun di pagi hari yang cerah tanpa dihantui deadline tugas, dengan suguhan pemandangan alam yang tenang, indah, udara segar, sambil menikmati secangkir cokelat panas. Oleh karena itu, buku ini sangat cocok dinikmati di waktu santai. Dan kita akan temukan kebahagiaan-kebahagiaan yang tercecer dan terlupakan dari hal-hal sederhana.
|LPK, 30 Maret 2020
2 notes · View notes
ochalina · 5 years ago
Text
Perjuangan Masuk CPNS
Cerita aku kali ini mungkin juga dialami oleh ratusan ribu warga Indonesia yang pernah mendaftar CPNS. Saya cuma ingin berbagi kisah secuil betapa berat dan sulitnya jadi CPNS.
Waktu itu, aku sudah 5 tahun kerja sebagai wartawan di Tempo Group. Sejak lulus kuliah aku memang jadi wartawan di Tempo, dimulai jadi calon reporter (carep) hingga naik jenjang ke M1 (bisa disebut sebagai editor). Gaji pun berangsur naik seiring naiknya jenjang karir. Saat itu, bagiku sudah cukup Alhamdulillah, dan aku bangga menjadi wartawan Tempo.
Baiklah, sekarang kita fokus saja pada proses masuk CPNS. Mungkin ceritaku ini sudah banyak tidak relevan dengan pendaftaran CPNS tahun ini. Maklum saja, aku daftar CPNS sudah 5 tahun lalu. Aku terdaftar sebagai CPNS sejak Maret 2015 di Kementerian Pariwisata (sekarang berubah nomenklatur jadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif).
-----
“Tik, Ibu dapet info katanya lagi ada pembukaan CPNS. Coba kamu cari tau aja, terus daftar. Siapa tau lolos bisa jadi PNS,” tiba-tiba suara Ibuku terdengar jelas saat aku sedang nonton tv. Tik adalah singkatan dari kata “cantik”. Jangan ketawa ya, ibuku memang memanggilku cantik sejak aku masih kecil :)
“hhmmm...” kataku.
“Ibu sih pengennya kamu gak jadi wartawan lagi. Ibu khawatir sama jam kerja kamu. Kalo lagi piket malem bisa pulang pagi, piket pagi tetep pulang malem. Belum lagi kalo tiba-tiba disuruh liputan yang bahaya-bahaya, ke kantor polisi, ke kamar mayat, duh ngeri ah.”
“Iya mom, nanti aku cari info soal CPNS itu ya. Aku lihat dulu persyaratannya gimana. Kalo ribet di awal aku gak minat ah,” sahutku cepat supaya Ibuku gak memberi wejangan lain.
Sebagai anak yang ingin berbakti pada orang tua, akupun mulai cari tau dari internet tentang pembukaan CPNS. Aku baca bagaimana persyaratannya, mulai cari info sana sini. Lalu aku menetapkan akan daftar, karena saat itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengubah proses masuk CPNS dengan sistem CAT dan mulai transparan dan akuntabel. (Ya ampun, bahasa apa ini!)
Intinya, aku yakin proses seleksi CPNS kala itu sudah mulai bersih dari KKN, siapapun bisa berkompetisi tanpa harus memberikan “uang pelicin”. Satu hal lagi yang membuatku mau mendaftar, prosesnya diawali dengan rangkaian tes dahulu baru menyiapkan pemberkasan yang harus dipenuhi.
Saat itu, pendaftaran CPNS hanya bisa untuk 1 Kementerian dengan satu posisi jabatan. Akhirnya aku menggunakan strategi dasar, mencari Kementerian yang menerima jurusan kuliah Komunikasi, dengan spesifikasi jurnalistik. Setelah mendapat beberapa kandidat Kementerian, aku cari-cari lagi yang saingannya gak banyak. Hahaha...
Awalnya aku ingin daftar di Kementerian Kominfo, karena sesuai jurusanku. Tapi emang dasar gak jodoh ya, mereka belum juga membuka pendaftaran di saat Kementerian lain sudah hampir menutup pendaftarannya. Akhirnya aku memilih Kementerian Pariwisata untuk posisi Analis Berita. Cocok dengan background pendidikan dan pengalaman kerjaku.
“Klik.. klik.. klik..,” aku sibuk mengunggah beberapa syarat awal untuk pendaftaran CPNS. Seluruh persyaratan aku baca dengan teliti agar tidak ada yang salah. Setidaknya aku harus lolos proses pendaftaran untuk membuktikan bahwa aku mengikuti keinginan Ibuku untuk ikut CPNS.
Yeaaayy.. akhirnya aku lolos administrasi!
Oke, tahap selanjutnya adalah tes CAT. Ada 3 bagian dalam tes CAT. Aku pun membeli buku latihan soal-soal tes CAT CPNS paling baru dan paling lengkap. (Hahaha... intinya mau coba seriusin ikut proses seleksinya).
Jujur saja, saat itu aku berpikir tidak mau sia-sia setelah mengikuti proses administrasi pendaftaran CPNS. “Siapa tau bisa lolos terus,” pikirku dalam hati.
Proses menunggu jadwal tes CAT itu aku gunakan untuk mengisi buku latihan, belajar di sela-sela pekerjaan sebagai wartawan. Saat itu memang aku masih bekerja, masih dikejar-kejar deadline menulis untuk Majalah Tempo, masih ke kantor untuk menaikkan berita reporter. Pokoknya masih sibuk lah.
Ternyata soal-soal tes CPNS itu susah-susah bangeeettt... Rumit, banyak jebakan, harus bisa logika, harus bisa hapalan, harus bisa hitung-hitungan, harus rasional. Intinya, belajar tiap hari udah kayak anak sekolah mau menghadapi ujian akhir nasional.
Hari tes CAT pun tiba.........
Dag dig dug....
“Bu, besok aku tes CPNS. Doain yaaa supaya lolos. Besok tes nya jam 8 pagi, semoga gak telat ya.” saya minta restu Ibu.
Aku dapat jadwal jam 8 pagi di daerah Kramat Jati. Wow... cukup jauh dari tempat saya ngekos saat itu, di daerah Kebayoran Lama.
Krik... krik... krik... ruangan ujian benar-benar sunyi. Semua peserta sibuk dengan komputernya masing-masing. Begitu pun saya.
Syukur Alhamdulillah skor saya saat itu adalah yang paling tinggi di jadwal yang saya ikuti. Karena saya harus ke kantor, maka saya tidak memerhatikan lagi posisi skor saya. “Ah, nanti aja deh cek lagi kalau ada pengumumannya di internet. Pasrah aja,” pikirku dalam hati.
Ternyata aku lolos!! Ada 3 orang yang lolos untuk posisi Analis Berita di Kementerian Pariwisata. Aku, dan 2 orang lainnya. Tapi ternyata, 1 kandidat lainnya adalah temanku sesama wartawan dari media lain. Omaaiiiggaaattt... 
Kami menjalani tes lanjutan bareng-bareng. Masih dengan membawa deadline kerjaan masing-masing. Oiya, proses pengumpulan berkas-berkas persyaratan aku jalani di sela-sela pekerjaan wartawan. Bikin surat kesehatan, bikin surat berkelakuan baik, bikin surat kuning, dan lain sebagainya. Bolak-balik ke berbagai instansi pemerintah untuk memenuhi pemberkasan itu semua. Fiuuhh...
Dengan restu ibu dan bantuan papaku yang tak pernah berhenti, akhirnya semua pemberkasan bisa kulengkapi.
jeng.. jeng.. jeng...
proses tes lanjutan pun tiba. Yang masih kuingat, saat itu proses seleksi dilakukan dalam satu hari. Ada tes wawancara sampai tes psikologi. Seingatku itu hari Kamis, di mana aku sedang deadline menyelesaikan tulisan Majalah. Sambil membawa laptop, aku justru gak bisa konsentrasi untuk mengikuti proses seleksi lanjutan itu. Saat mengantri pun aku sibuk mengerjakan tulisan Majalah, bahkan aku sampai terlambat mendaftar untuk tes psikologi. Alhasil, aku dapat urutan 3 terakhir untuk tes psikologi, dan konsekuensinya, saat itu aku baru dipanggil jam 8 malam.
“Duh, jam segini baru tes psikologi kayaknya gak bakal lolos deh. Pasti pengujinya udah keburu capek, lelah, dan bosan dengan jawaban-jawaban peserta CPNS lain. Pasti udah tinggal nanya basa-basi aja,” batinku.
Lagi-lagi aku pasrah aja. 
Doa, solat tahajud, solat hajat, solat duha, curhat sama orang tua, minta doa restu Ibu, dan Lillahi Ta’ala. Itu terus yang aku lakukan sambil menunggu pengumuman akhir CPNS.
Mungkin kekuatan doa Ibuku lebih besar dari semua usaha dan doa-doaku ya. Lewat pengumuman, aku melihat namaku yang berada di posisi nomor satu untuk posisi Analis Berita di Kementerian Pariwisata. Intinya, aku Lolos CPNS!!
“Alhamdulillah.”
2 notes · View notes
andrietidie · 6 years ago
Text
Sosialis dan Agamist vs Kapitalis
Masih banyak yang gak SADAR bahwa SOSIALISME dan AGAMA itu PERJUANGAN nya SAMA..bahwa Sosialisme itu hanya ideologi kemasyarakatan yang penganut juga menganut Agama macam Kristen Ortodoks di Rusia atau TAO dan Konghucu di Cina. Sama2 memperjuangkan persamaan hak manusia, sama2 melawan RIBA-RENTE. melawan PENJAJAHAN, melawan sikap hidup ELITIST, dst.nya. JUSTRU nilai2 individualistik Demokrasi-Kapitalisme Imperialisme-Kolonialisme itu total bersebrangan dengan semua nilai-nilai agama.
Ketahui lah mana kawan seperjuangan, mana lawan yang menjajah dan sadari lah STOCKHOLM-SYNDROME (sindrom mencintai Penindas mu sendiri) akibat SATURASI nya PROPAGANDA Mass-Media yang melakukan CUCI-OTAK via IKLAN dan Berita yang menyerang ALAM-BAWAH-SADAR.
LAWAN pengaruh kekuatan Setan-Uang MAMMON yang terus membisiki anda dibelakang leher dan menjanjikan KEJAYAAN-FINANSIAL yang LEBIH dari TETANGGA...norak itu fyi...ini jaman orang NORAK setali tiga wang ada dimana-mana jaman kridit gampang ini (sub prime) dan semua "Salvatore Ferragamo" itu buatan Cina semua...kita butuh sikap-sikap PATRIOT yang TIDAK-NORAK agar Indonesia tidak masuk kategori KAMPOENGAN....Rombak-otak anda.
Sudah CUKUP kita semua ber-SENANG-SENANG, kurang banyak kita BERKORBAN...mau berapa banyak lagi KORBAN pijakan kita di kepala mereka semua dalam proses pengen naik strata-sosial yang lebih tinggi? semua yang kita injak itu punya anak istri ibu bapa dirumah nya sehingga KERUSAKAN yang kita buat itu eksponensial di kali empat. KARMA itu ada....liat kita semua secara KOLEKTIF, apakah KARMA kita sebagai Indonesia itu BAGUS? jangan in-denial-mode lagi aah
Dari dulu FITNAH nya terhadap kaum Sosialis adalah ATHEIST, jahat, terbelakang, bodoh, tidak berbudaya, Satanist...itu Bung adalah potret mereka sendiri jika liat di cermin, atheis dan pornografi itu khas AS...en fyi, hidup itu jaoh lebih dari apa yang terlihat di foto-foto dan artikel di majalah Times, Newseek, The Economist, etc itu....jaoh Broery, baca-baca donk. Rusia sudah ber-agama Kristen-Ortodoks saat orang lain masih pake CAWAT dan Cina dengan TAO nya 500 Tahun sebelum cikal-bakal nya Kaum-Barat lahir yaitu PLATO. Ente gampang sekali kena makan FITNAH, pertanyaan nya adalah pihak mana yang terbelakang kini?
Perangkulan Arab Saudi dengan Cina, itu selain tidak ada yang lebih ALAMI dari itu sebagai Islamist dan Sosialis yang perjuangan nya diatas kertas SAMA-SEBANGUN. Itu akan MENYELAMATKAN dan menjanjikan MASA-DEPAN bagi Saudi yang sudah di fucked-up habis-habis-an oleh Paman Schmuel dan kini sisa 2 tahun bangkrut kalo menurut cakar2an IMF.
Saudi mengalihkan janji 100 miliar dollar nya utk beli senjata dari Trump yang sudah di cetak di karton dan di hadapkan pada Camera Wartawan itu...sesuai kemauan Tuhan pindah ke Cina 60 miliar langsung transfer gak pakai janji karena Cina beri dividen yang diatas dari pada Wallstreet yg simsimsalabim itu...omong2 semua asset kita di Wallstreet itu hari ini untungkah? jeblos lah...namanya juga Casino yang di rigged.
Semuanya bagi Indo hari ini memenuhi ungkapan "Sudah jatuh ditimpa tangga pula" sudah kena bunga tinggi The Fed kena gerus di Wallstreet pula...oh nasib. Saudi sebagai alas-kaki Barat masih lebih pandai dikit.
Semua jago-jago ekonomi Wallstreet kata CINA akan bangkrut demikian pula saudara dekat yang tau napa bisa jadi musuh buyutan, JAPAN yg bitch nya AS itu. JAPAN gabung dan berdamai dgn CINA adalah ALAMI sebagai saudara..yang gak alami dan bodoh itu justru gabung dgn kaum Atlantik. Emang akibat Perang-Tarif ini Cina mengalami defisit Neraca tahun ini, tapi surat2 berharga AS yang di dumping setiap hari secara diam-diam di Wallstreet (US Bonds masih laku macam kacang-goreng tau napa), US Bonds punya Cina masih 1,7 triliun masih cukup utk menunggu yei-yei semua bangkrut duluan kalo mau perang-ekonomi.
Plus jalur Sutra version 2 itu akan jadi matang seiring dengan waktu dan PEMASUKAN akan kembali menggelontor, nah NOW apa harapan mu Kaum Barat utk penghasilan masa-depan? NOL. zilt, zero, nadda...jadi pihak mana yang akan MATI duluan?
KORSEL sudah PANDAI dan gabung KORUT yang artinya masuk dalam jaringan dagang dengan Cina meninggalkan AS karena disuruh bayar miliaran terus tiap tahun hanya untuk menjaga pasukan AS berada disana, Korsel kini bilang dengan segala hormat tolong anda pulang aja yah.
Vietnam yang gabung ke UTARA itu kini sedang MELEJIT macam ketapel saking cepat nya...karena sangat tau sekali siapa kawan siapa lawan walau rakyat nya di perkoas habis2an masih banyak yg cinta mati sama tukang Perkoas nya itu...khas cuci-otak IKLAN dan Mass-Media Rothschild dan Rupert Murdoch asal Australia..Stockholm-Syndrome...tapi apa kata Pemerintah nya yang BKJT (belok kiri jalan terus) itu, rakyat ngikut.
KARENA? tetap duduk dan menunggu MUJIZAT di pojok KANAN jaoh itu namanya juga JAOH...jaoh dari KEMAJUAN mau sampai kapan pun ELVIS has left the building long time ago and never coming back.
Simple as one two three : Begini aja kalau liat Peta-Dunia gerakan KEHANCURAN itu menjalar dari BARAT ke TIMUR dan gerakan PEMBANGUNAN dan KESEJAHTERAAN itu menjalar dari TIMUR keluar ke-mana-mana...nah situ mau ikutan GERAKAN yang MANA ?
BARAT itu DEMOKRASI-KAPITALIS dan TIMUR itu SOSIALIS...satu nya mengusung setan uang MAMMON diatas kepala mereka dan kalian dibawah kaki mereka sebagai Kafir...dan satunya lagi dari Timur itu adalah PERSAMAAN HAK MANUSIA sebagai sosok SOSIAL dan melakukan kontrol supaya MAMMON tidak bisa berada diatas dari MASYARAKAT. Now pilih mana?
...dan jika mau bawa AGAMA maka ketahuilah bahwa nilai-nilai agama-agama itu JUSTRU hal yang di perjuangkan oleh Kaum Sosialis...sama-sama melawan RIBA-RENTE...jadi ? buat kaum AGAMIST maka ungkapan "Lawan dari Lawan mu adalah Kawan mu" itu sangat JELAS jika mau ikuti nasehat orang pandai macam Sun Tzu The Art of War yang kata : Ketahui lah Lawan mu dan kenali lah Kawan mu".
...yang jadi MASALAH disini sejak tempo-doeloe adalah MAMPU kah KAMU MENGETAHUI ? dari sini kadang saya merasa sedih...kata siapa tuh...dan untuk menghadapi KRISIS didepan mata ini maka nasehat dari sini adalah? "Kuatkan hatimu, keraskan Poops mu. Karena hanya itu yang bisa masuk ke otak mu. Hopelessly Barat wannabe dan Stockholm-Syndrome (korban perkoasan yang justru mencintai tukang perkoas nya sendiri) bunch...duhhh, cape deh.
3 notes · View notes
ilmarfhazhra9e · 2 years ago
Text
Laut Bercerita
adalah novel karya penulis asal Indonesia bernama Leila Salikha Chudori. Ia juga merupakan seorang wartawan di majalah Tempo. Novel terbitan tahun 2017 ini, mengangkat tema persahabatan, percintaan, kekeluargaan, dan rasa kehilangan. Dengan berlatarkan waktu di tahun 90-an dan 2000, novel ini mampu membius para pembacanya untuk menerobos ruang masa lalu dan kembali melihat peristiwa yang terjadi di tahun yang bersangkutan.
Dengan kata lain, novel setebal 394 halaman ini, mengingatkan para pembacanya akan era-era reformasi di tahun 1998 yang bernas akan kepahitan dan kekejaman bagi para pembela rakyat. Leila selaku penulis memang menegaskan bahwa novel ini hanya historical fiction, tetapi ia menulis berdasarkan pada fakta yang ada. Hal itu karena sebelum Leila mulai menulis novel ini, ia melakukan riset wawancara terlebih dahulu secara langsung pada korban yang berhasil kembali atau kerabat korban.Tidak hanya itu, sang penulis juga mengaku bahwa ia memerlukan penyelidikan mendalam terkait karakter dari tokoh-tokoh yang ada, tempat serta peristiwa yang sudah berlalu. Berdasarkan hal-hal itulah yang membuat novel ini seakan hidup saat dibaca. Kemudian, untuk menyelesaikan novel ini, kurang lebih memakan waktu 5 tahun. Menariknya, novel ini berhasil digarap ke dalam bentuk film pendek yang berdurasi kurang lebih 30 menit dan disutradarai Pritagita Arianegara.
Cerita dalam novel Laut Bercerita terbagi menjadi dua bagian dengan jarak waktu yang jauh berbeda. Adapun bagian pertama diceritakan melalui sudut pandang tokoh bernama Biru Laut beserta para kawan sesama aktivisnya seraya menyelesaikan visi atau tujuan mereka. Sementara pada bagian kedua, kisahnya diambil dari sudut pandang Asmara Jati, adik dari Laut yang mempunyai tujuan atau visi yang cenderung berlainan dengan Laut.
1 note · View note
saiddelco · 3 years ago
Text
Septi Ciptakan Metode Keren Belajar Online
Tumblr media
Hidayatullah.com–Tak sedikit murid yang kini merasa kewalahan, jenuh, bahkan stres akibat pembelajaran daring (online). Para orangtua pun turut kerepotan mendampingi putra-putrinya.Padahal, menurut pendiri School of Life Lebah Putih, Septi Peni Wulandari (46 tahun), belajar online sebenarnya sesuatu yang sangat menarik. Kok bisa?Menurut ibu dari tiga anak ini, sebenarnya internet bisa memberi ruang yang luas tanpa batas kepada anak-anak. Hanya saja, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat ini datangnya mendadak karena pandemi, tanpa ada pelatihan dan persiapan. Akibatnya, anak, orangtua, atau guru menjadi terkaget-kaget.
“Seperti orang diceburkan ke kolam untuk latihan (berenang) sendiri,” seloroh Septi, sapaan akrabnya.Tapi Septi yakin anak-anak bisa, karena mereka pembelajar sejati. Dan para guru serta orangtua, kalau mau belajar, insya’ Allah juga bisa. Sebab, seluruh materinya dapat diakses, tidak terbatas, asalkan terhubung internet. Cuma sistem manajemen learning-nya yang perlu dilatihkan kepada guru, anak, maupun orangtua.
“Saya sudah menjalani pembelajaran online dengan anak-anak sejak tahun 2000-an. Dan anak-anak mendapatkan dunianya,” ungkap penemu Jarimatika —metode pengajaran matematika menggunakan jari-jari tangan sebagai alat bantu—ini.
Pembelajaran online yang dilakukan Septi disebut Home Based Education (pendidikan dari dalam rumah). Konsepnya, Septi menjadi teman belajar anak-anaknya. Sementara itu, online menjadi teman belajar mereka.
Lantas, apa penyebabnya hingga PJJ menjadi sesuatu yang menjenuhkan, bahkan sampai membuat frustrasi? Kepada Achmad Fazeri, wartawan Suara Hidayatullah, satu dari sepuluh tokoh yang mengubah Indonesia versi Majalah Tempo (2007) ini memaparkan ulasannya. Termasuk tawaran solusi sebuah metode keren. Apa itu?
0 notes
lintasbatasindonesia · 4 years ago
Link
Tumblr media
Surabaya. lintasbatasnews.com - Mara Salim Harahap,  wartawan senior di media online Laser News Today, tewas dengan beberapa luka tembak di dalam mobilnya. Dia diduga diberondong tembakan oleh kelompok tak bertanggungjawab.
Kematian wartawan itu menggenapi beberapa kasus kejadian yang menimpa wartawan Indonesia, termasuk terakhir wartawan Kontributor Majalah Tempo di Surabaya, disekap dan diancam bunuh oleh oknum aparat saat hendak mewawancarai salah seorang tersangka KPK yang menggelar resepsi pernikahan anaknya.
Menyikapi itu, Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) melalui penasehat hukumnya, Erles Ray Rego Raja Laka SH. MH,  selain menyampaikan duka cita yang mendalam, juga turut perihatin akan situasi kebebasan berpendapat di Indonesia melalui media.
Bahkan ada ancaman serius di dalam profesi jurnalis yang merupakan pilar demokrasi dunia.
Erles mengajak semua jurnalis bersatu. Bahkan mendesak kepada Jendral Pol Lestyo Sigit selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia ( Kapolri ) untuk mengusut tuntas kasus penembakan terhadap wartawan Marsal (Mara Salem Harahap) tersebut.
Pengacara kondang ibu kota ini meyakini bahwa Polri akan mengungkap dan menginvestigasi seluruh kekerasan yang menimpa terhadap wartawan.
"Kasus seperti ini harus menjadi perhatian semua pihak, dan dikawal sampai kepada persidangan," ujarnya pada Senin (21/06/2021).
Secara komprehensif KJJT juga mengajak Dewan Pers, dan organisasi wartawan seprofesi untuk menjadikan fokus utama perhatian, agar kasus serupa tidak terjadi di kemudian hari.
KJJT adalah bagian kecil dari organisasi profesi di Indonesia, selain PWI, AJI dan IJTI KWRI, PWRI, PPWI atau lembaga Asosiasi Pers lainnya, sehingga kejadian seperti ini harus jadi fokus perhatian agar tidak terjadi menimpa kepada yang lain.
"Kalau perlu kita akan minta hearing dengan Komisi III DPR RI karena negeri ini bukan negara "bar bar" atau hukum rimba. Tapi hukum positif yang berlaku, negara kita negara hukum," ujar Erles didampingi Ketua KJJT, Slamet Maulana biasa disapa Ade.
Erles yang diberi kepercayaan untuk menjadi penasehat hukum KJJT juga akan menindaklanjuti kasus tersebut dengan mengirim surat ke Kapolri, DPR RI dan Presiden agar kasus seperti ini jadi perhatian.
"Ini menyangkut demokrasi, menyangkut hajat hidup orang banyak, menyangkut profesi mulia wartawan dan menyangkut nyawa manusia," ujar Erles Rareral.
Masyarakat Indonesia diyakini Erles bukan masyarakat tak bermoral. Cara cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah tidak harus melakukan dengan cara tidak  manusiawi.
Dia melihat ada kepentingan besar di balik kejadian ini, dan motif-motif tertentu sehingga wartawan jadi sasaran. Padahal, wartawan adalah profesi mulia, pekerjaan wartawan adalah profesi yang dilindungi Undang - undang dan individunya merupakan pribadi yang memiliki sense of crisis tinggi.
"Jangan sampai demokrasi dibungkam dengan peluru dan senjata. Mengungkap kejahatan, menguak mana yang benar dan keliru, adalah bagian tugas profesi wartawan karena nuraninya terpanggil ingin menegakkan kebenaran," ucap Erles.
Selanjutnya, Ade Ketua KJJT dia mengajak seluruh anggota KJJT melakukan konsolidasi, dan meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya profesi yang mengancam belakangan.
Untuk itu, KJJT dalam keberlangsungan oganisasinya akan terus memberikan input, injeksi dan suntikan strategi dan tak tik dalam menjalankan profesi di tengah riuh kondisi carut marut moral bangsa ini.
"Selain Iptek, dan pemberian masukan agar bidang pengamanan dan profesi di KJJT bisa lebih taktis dalam menjalankan tugasnya," jelentrehnya (21/06/2021).
Terakhir, KJJT mendesak semua pihak, mulai Presiden, Kapolri, Ketua DPR dan Penglima TNI untuk memberikan perlindungan secara serius kepada keamanan dan keselamatan masyarakatnya termasuk profesi wartawan.
"Kami seluruh keluarga besar KJJT dari pengurus, pendiri dan anggota menyampaikan duka cita kepada keluarga yang ditinggal, dan berdoa agar diberi kesabaran dan keikhlasan. Meski rekan Marsal telah mendahului kita, kami disini seluruh  wartawan bersatu untuk terus melanjutkan perjungannya," tutup Ade.  (*)
0 notes
memorandumcoid · 4 years ago
Text
2 Oknum Polisi Penganiaya Wartawan Tempo Resmi Tersangka
2 Oknum Polisi Penganiaya Wartawan Tempo Resmi Tersangka
Nurhadi setelah memberikan keterangan di Mapolda Jatim beberapa pekan lalu Surabaya, Memorandum.co.id – Dua oknum Polisi yang terlibat dalam kasus penganiayaan jurnalis Majalah Tempo, Nurhadi resmi menjadi tersangka. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Koordinator Advokasi Aliansi Anti Kekerasan Terhadap Jurnalis, Fatkhul Khoir, Minggu (9/5/2021). Dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
cinews-id · 4 years ago
Text
0 notes
rmolid · 4 years ago
Text
0 notes
ejharawk · 7 years ago
Text
Remy Sylado Sang Raja Tulisan
Tumblr media
Sekadar mengingatkan, judul di atas, juga tulisan yang nanti muncul setelah tanda “read more” saya ambil dari memoar Remy Sylado yang diterbitkan Majalah Tempo edisi 20 Januari 2013. Pada ujung memoar itu tertulis nama Nurdin Kalim dan Dian Yuliastuti yang kemungkinan jurnalis Tempo.
Alasan saya menyalin kembali tulisan tersebut dan mengunggahnya di blog ini datang setelah bertamu ke rumah beliau di Bogor (19/1/2018). Saya bersama empat teman lain seperti tampak pada foto di atas datang dalam rangka mewawancarai beliau untuk kolom “figur” yang terbit di Beritagar.id saban Jumat.
Entah sudah berapa kali saya bertemu Om Remy, begitu saya menyapanya. Hanya saja ini pertama kalinya saya berkunjung ke rumahnya. Sebelumnya kami bertemu di tempat lain dan mengobrol sepintas lalu saja.
Awal saya bisa menyambangi rumahnya yang asri tapi --harus saya akui-- nun jauh itu lantaran bertemu di acara pengumuman pemenang lomba penulisan kritik, opini, dan reportase/fitur film yang diadakan Pusbang Film Kemendikbud. Om Remy menjadi salah satu juri.
Sebelum acara dimulai saya menghampiri beliau yang datang dengan setelan jins biru. Biasanya beliau berpakaian serba putih. “Mantap setelan ini, Om. Bukan putih-putih lagi,’ kata saya membuka obrolan. “Bosan pakai putih-putih terus,” jawab beliau.
Kemudian saya mengeluarkan novel karangannya yang berjudul “Gali Lobang Gila Lobang” cetakan pertama. Penerbit Nuansa Cendekia telah menerbitkan ulang novel tersebut dengan desain kulit muka baru pada 2013.
Tumblr media
Saya minta beliau untuk menandatanganinya. Tahu saya lahir di Makassar, pembicaraan kemudian menggunakan bahasa daerah Makassar. Saya takjub juga dengan beliau. Bahasa Makassar-nya fasih betul. Sedang saya kerap tergagap membalas ucapannya dalam Bahasa Makassar. Maklum, saya sudah jarang sekali menggunakan bahasa ini.
Singkat cerita, saya lalu meminta nomor telepon beliau dan menyampaikan maksud ingin ke rumahnya untuk wawancara. Dikasihnya saya dua nomor. “Yang satu ada WhatssApp-nya, satunya lagi khusus untuk terima telepon saja,” katanya.
Berhubung sedang tak punya pulsa, dua hari sebelum bertamu saya mengirim pesan ke nomor WA beliau. Dibalasnya lagi pakai Bahasa Makassar. Pas Hari-H yang dijanjikan, berangkatlah kami berlima dari Jakarta menuju Bogor. Sempat hilang arah pas nyampe Bogor sih. Ha-ha-ha.
Tiba di depan rumahnya, tampak dari kejauhan Om Remy yang mengenakan kaos merah dan celana pendek hendak bersiap masuk mobil. Cepat-cepat saya turun dari mobil dan menghampiri beliau. 
Ia berkata, “Tayang mako anrinni. Tenaku sallo” Yang artinya “Tunggu saja di sini. Saya keluar tidak lama.” Sekitar 15 menit kemudian, beliau nongol lagi. 
Dibukakannya kami pagar. Saya mengamati rak berisi buku-buku yang nyender di dinding. Tidak lama beliau muncul. Kali ini setelannya sudah ganti dong. Celana corduroy dan topi patinonya warna candy brown, sementara kemeja lengan panjangnya berwarna khaki.
Sambil mengobrol, kami disuguhi jagung dan ubi jalar rebus. Tersaji pula sirup markisa. Mantap punya.
Tanpa berpanjang lebar lagi. Sila membaca memoar dari munsyi yang satu ini.
Remy Sylado sudah tidak muda lagi. Sekitar enam bulan lagi usianya akan menginjak 68 tahun. Rambutnya telah memutih semua, senada dengan warna baju, celana panjang, sepatu, dan beberapa aksesori yang dikenakannya. Boleh dibilang Remy—penulis produktif yang dulu dikenal urakan lewat gerakan sastra mbeling-nya—kini telah memasuki generasi kakek-kakek.
Meski begitu, semangat menulisnya tetap berkobar. Di meja kerjanya, di sebuah pojok perpustakaan pribadinya yang dipenuhi ratusan buku, di rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Remy terus bergulat dengan tulisan. Dia tengah berjuang menyelesaikan novel terbarunya, yang mengambil latar cerita Magelang pada 1898, yang telah digarap sejak 2011 dan baru selesai sekitar 450 halaman dari rencana lebih dari seribu halaman. "Ini novel terlama yang pernah saya bikin," katanya.
Bagi Remy, yang dikenal sebagai penulis cepat, menggarap novel lebih dari setahun sungguh waktu yang sangat lama. Biasanya dalam setahun dia bisa menyelesaikan 2-3 novel, yang rata-rata tebal. Tapi kali ini dia agak tersendat karena memerlukan riset data lagi, termasuk ke museum di Belanda. Menurut Remy, observasi dan pengamatan langsung di lapangan yang menjadi latar cerita sangat diperlukan, karena nuansanya bisa lebih ditangkap.
Menulis novel menjadi aktivitas yang dilakoni Remy sejak remaja. Novel pertamanya, Inani Keke, ditulis ketika usianya belum genap 16 tahun. Sejak itu, Remy tak terbendung: menulis cerpen, novel, puisi, naskah drama, esai, dan syair lagu. Dari hari ke hari, dia bergulat melawan waktu untuk menulis—yang seolah-olah telah menjadi bagian dari setiap tarikan napasnya.
Dan hasilnya luar biasa. Remy telah menulis sekitar seribu puisi, 50 novel, 30 naskah drama, dan puluhan lagu. Ia juga menulis tentang sastra, seni rupa, musik, film, dan teater. Bahkan ia pernah menulis tentang teologi, kamus, dan ensiklopedia. Ya, Remy memang sangat produktif, meski dalam menulis dia menggunakan mesin ketik, bukan komputer atau laptop. "Ah, ini masalah kebiasaan saja," katanya enteng.
Awal Desember 2012, Remy mengajak Tempo menengok rumahnya di Cikarawang, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Selain mempunyai rumah di Cipinang Muara, Remy memang memiliki dua rumah lagi, di Bogor dan Bandung. Biasanya sebulan sekali dia dan keluarganya menginap di dua rumah itu. "Kadang dua-tiga malam kami menginap di sana," ujar penulis bernama lahir Yapi Panda Abdiel Tambayong itu.
Rumah Remy di Cikarawang bergaya joglo. Seperti rumahnya di Cipinang Muara, di dalam rumah bercat putih yang terletak di dekat Sungai Ciapus itu terdapat perpustakaan pribadi dengan koleksi ratusan buku serta belasan mesin ketik kuno. Di beberapa sudut rumah dan dinding terpajang lukisan-lukisan karya Remy dan karya perupa lain. Meja, kursi, dan perabot lainnya yang memenuhi ruangan tampak antik.
Siang itu, sambil menikmati singkong rebus dan kopi kental, Remy berbagi cerita tentang perjalanan hidupnya, dari masa kecil dan remaja di Semarang, berkiprah di Bandung dengan gerakan mbeling-nya, hingga dia dikenal sebagai seniman multitalenta: penulis naskah drama, sutradara dan aktor teater, pemain film dan sinetron, penyair, novelis, serta pelukis.
Saya lahir di Makassar pada 12 Juli 1945. Tapi, ketika berusia sekitar dua tahun, saya sudah di Semarang, tinggal di Jalan Simongan, tak jauh dari Gedong Batu. Sewaktu kecil, saya suka bermain di Sungai Kaligarang meski tak pandai berenang. Sampai-sampai saya pernah nyaris tenggelam di sungai itu.
Ketika kecil, saya juga sering blusukan ke Pasar Bulu dan Pasar Johar. Di sana saya mencari komik-komik kuno dari Amerika serta buku bacaan lain. Kebiasaan ke toko buku di kedua pasar itu masih sering saya lakoni hingga sekarang, jika kebetulan mampir di Semarang. Sejak kecil, saya memang suka membaca.
Semasa SMA di Semarang, saya sudah bermain musik dan membentuk grup Remy Sylado Company. Saat itulah saya kemudian mempunyai ide memakai nama Remy Sylado, yang kadang cukup ditulis 23761. Itu sebetulnya diambil dari chord pertama lirik lagu All My Loving milik The Beatles. Angka 23761 merupakan notasi re-mi-si-la-do.
Lulus SMA, saya kemudian kuliah di Akademi Teater dan Seni Rupa di Solo. Pulang ke Semarang, saya menjadi wartawan Harian Tempo. Koran ini dulunya bernama De Locomotiv, harian yang cukup besar di zaman kolonial Belanda.
Kenapa lulusan akademi seni kemudian memilih jadi wartawan? Boleh dibilang asal-usulnya tidak sengaja. Ceritanya, pada waktu itu Partai Komunis Indonesia dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sangat berkuasa. Sangat luar biasa mereka. Ketika saya kembali ke Semarang, di sana ada tontonan yang digelar Lekra, judulnya Membangun Kebudayaan Nasional untuk Kamerad Mao Zedong karya pengarang Cina, He Tjing-Ce, di Gedung Ngesti Pandowo, Jalan Pemuda.
Saya sempat merasa aneh, kok judulnya membangun kebudayaan nasional tapi ditujukan untuk Mao Zedong. Saya nonton berkali-kali. Saya kemudian membuat resensi pertunjukan itu. Harian Sinar Indonesia, koran yang memuat tulisan resensi itu, rupanya cukup senang dengan tulisan saya. Dan mereka kemudian meminta saya sering menulis untuk koran tersebut.
Karena sering menulis, lama-lama saya ditarik menjadi wartawan di koran itu. Pada 1966, saya bergabung dengan Harian Tempo. Selama menjadi wartawan di harian itu, saya banyak memegang rubrik, termasuk rubrik puisi dan apresiasi seni. Selama bekerja di sana, saya juga menulis novel dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat di Harian Tempo.
Boleh dibilang menulis kayaknya memang bakat saya. Bapak saya dulu pendeta dan editor. Tapi saya enggak kenal sama Bapak karena, saat dia meninggal, saya masih kecil, baru berumur dua tahunan. Jadi saya tidak tahu persis bapak saya itu editor di mana.
Yang jelas, pemicu saya menulis bisa dibilang karena nonton teater. Saya merasa kurang sreg dengan pementasan sebuah teater, lalu saya membuat resensinya. Kebiasaan ini sudah dimulai ketika saya kuliah teater dan seni rupa di Solo.
Memang antara hobi nonton teater dan menulis resensi tidak ada hubungannya. Tapi, ketika saya berteater, saya menulis naskah drama. Waktu itu ada semacam kewajiban untuk menulis naskah sendiri. Dari situlah bakat menulis saya terasah. Dan kemudian saya memberanikan diri untuk menulis resensi setiap pertunjukan teater yang saya tonton.
Kebiasaan menulis resensi saya bawa ketika hijrah ke Bandung pada 1969. Dan, tak dinyana, dari kebiasaan itu, saya justru dipertemukan dengan para pekerja teater di Kota Kembang. Hingga akhirnya saya mendirikan kelompok teater dan berkiprah di Bandung.
----------------------------------
Sejak pindah dan berkiprah di Bandung, Remy semakin produktif menulis. Dia menulis naskah drama, puisi, cerpen, novel, dan lagu. Jemari Remy terus bergerak di atas mesin ketik. Kecepatannya menulis diperoleh dari pengalamannya sebagai wartawan. Imajinasinya diperoleh dari pelbagai pengalaman serta bakat seni rupa dan musik.
Remy boleh dibilang seorang yang multitalenta. Dia berbakat dan pandai melukis. Karena itu, imajinasinya cepat berbuah menjadi kata-kata yang bisa melukiskan suasana. Remy juga piawai bermain musik. Bertolak dari situlah dia kemudian menguasai irama sebuah karangan.
Toh, menurut Remy, proses kreatifnya dalam menulis berjalan alami saja. "Jadi, kalau mau bikin apa, ya, saya bikin saja. Jadi enggak ada teori-teori sastra atau drama segala," dia menjelaskan.
----------------------------------
Dalam proses kreatif, saya punya prinsip bahwa inspirasi itu diperintahkan, bukan ditunggu datangnya. Kalau kita menulis karya sastra menunggu inspirasi dulu, ya, keburu jatuh miskin, ha-ha-ha.... Soalnya, kalau kita menunggu datangnya inspirasi, kita jadi enggak kerja-kerja, dong. Motivasinya bekerja. Menunggu ilham itu cerita jadul.
Lantas kenapa inspirasi itu justru diperintahkan, bukan ditunggu? Prosesnya kira-kira begini. Bahan untuk menulis itu kita dapatkan dari apa yang dilihat atau diamati dalam kehidupan sehari-hari. Bahan itu lalu kita simpan dalam daya ingat kreatif kita. Maka, sewaktu-waktu kita perlukan, saya tinggal memerintahkannya untuk keluar. "Hai, inspirasi, keluarlah kau, aku membutuhkanmu." Jadi tidak ada harus melalui proses merenung segala. Itu terlalu meromantisasi kemampuan kita.
Tapi, ketika membutuhkan data yang disertai angka, biasanya saya mencatatnya dalam buku. Misalnya, saat akan melukiskan sebuah gedung, saya akan mencatat detail gedung itu, berapa lantai, bentuk tangganya seperti apa, berapa tinggi gedung itu. Itu saya catat dalam buku catatan, bukan ingatan. Meskipun kita membuat karya kreatif yang punya unsur imajinasi, fakta data dan logika tetap harus jalan.
Dengan langkah seperti itu, makanya saya bisa menulis dengan cepat. Sebab, semua kerangka yang hendak saya tuangkan sudah tersimpan dalam ingatan. Misalnya, ketika saya menulis naskah drama anak-anak Roro Jonggrang untuk Teater Tanah Air pimpinan Jose Rizal Manua pada pengujung tahun lalu, saya tulis hanya dalam waktu sekitar dua hari. Padahal saya selingi dengan nonton bioskop dulu.
Selain untuk kepentingan detail, observasi saya lakukan untuk data sejarah. Kebetulan hampir semua novel saya mempunyai ciri berlatar cerita masa silam. Maka saya tetap butuh observasi dan pencatatan data sejarah, tidak cukup hanya disimpan dalam ingatan. Seperti dalam menulis novel saya yang berlatar sejarah Magelang pada 1898.
Sebetulnya, observasi sejarah awalnya menyiksa buat saya. Soalnya, saya termasuk orang yang tidak menyukai sejarah. Ketika sekolah dulu, nilai sejarah saya benar-benar jeblok. Kecintaan saya terhadap sejarah bermula dari kebiasaan saya yang suka mengutak-atik asal-usul sebuah kata.
Dari kebiasaan itu, akhirnya saya sering mencari dari mana asal-usul sebuah kata. Dari ini saja kita sudah masuk ke wilayah sejarah. Lama-lama saya makin hanyut dengan pencarian asal-usul kata yang memang sangat mengasyikkan itu. Akhirnya, saya pun mencintai sejarah. Itu yang kemudian mewarnai novel-novel saya.
----------------------------------
Memang, selain produktif menulis, Remy kemudian dikenal sebagai orang yang cerewet dengan urusan kata dan kalimat yang dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, pemakaian bahasa alay, bahasa gaul anak-anak remaja sekarang, menurut Remy, biarkan saja. Itu akan memperkaya bahasa kita. "Jadi tidak usah takut berbahasa," katanya.
Boleh dibilang langkah kreatif Remy tidak pernah berhenti. Dari seorang wartawan kemudian aktif di teater, musik, novel, dan puisi, serta mengulik asal-usul kata. Atas langkahnya itu, dia menyodorkan alasan: kesenian bukan kutukan dewata, melainkan karunia Ilahi. "Karena itu, kita jangan hanya terpaku di satu ladang," ujarnya. "Sebab, dengan bekerja di ladang yang berbeda, kita enggak lekas frustrasi."
1 note · View note
magang12345 · 5 years ago
Text
Suara Leila Tentang Makna Kebebasan, Keadilan dan Ketimpangan Stigma (RESENSI)
Tumblr media
Judul Buku : Malam Terakhir Penulis Buku : Leila S. Chudori Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Tahun Terbit : 2009 Tebal Buku : 117 halaman ISBN : 978-979-91-0521-9
Leila Salikha Chudori atau yang akrab disapa Leila S. Chudori adalah sastrawan yang dikenal melalui karya-karyanya berupa skenario drama televisi, novel, dan cerita pendek. Dia menulis beberapa kumpulan cerita pendek, salah satunya berjudul Malam Terakhir. Buku ini sebelumnya pernah terbit pada tahun 1989, tepat beberapa bulan sebelum Leila bergabung sebagai wartawan dengan majalah Tempo. Setalah 20 tahun kemudian, pada tahun 2009 kumpulan cerita tersebut dicetak ulang bersamaan dengan buku 9 Dari Nadira.
“Leila bercerita tentang kejujuran, keyakinan, tekad, prinsip, dan pengorbanan…. Banyak idiom dan metafor baru di samping pandangan falsafi yang terasa baru karena pengungkapan yang baru. Sekalipun bermain dalam khayalan, lukisan-lukisannya sangat kasat mata.” – H.B Jassin, pengantar Malam Terakhir edisi pertama 
“Dalam cerpen ‘Air Suci Sita’, ditulis di Jakarta 1987, Leila memulai ceritanya dengan kalimat: 'Tiba-tiba saja malam menabraknya.’ Sebuah kalimat padat yang sugestif dan kental… Dengan teknik bercerita yang menarik, Leila berhasil mengangkat gugatan mengapa hanya kesetiaan wanita yang dipersoalkan, bagaimana dengan kesucian para pria?
(…) sebagai awal dari perjalanan panjang Leila sebagai salah seorang penulis di masa depan, kumpulan ini penuh janji.” –Putu Wijaya, Tempo, Februari 1990 
Begitulah dua paragraf yang menghiasi sampul bagian belakang buku ini. Malam terakhir merupakan buku Leila S. Chudori pertama yang saya baca. Luar biasa, kesan pertama membaca. Buku ini berisi 9 cerita. Leila berhasil menyuarakan makna kebebasan, keadilan dan ketimpangan stigma. Secara umum buku kumpulan cerita pendek ini adalah suara seorang wanita Indonesia masa kini, seperti di salah satu cerita yang berjudul “Malam terakhir”.
Dibuka dengan cerita “Paris, 9 Juni 1988” kita diajak mengarungi kisah dengan latar waktu tahun 80-an. Bercerita tentang kebebasan seperti apa yang manusia butuhkan. Seorang lelaki bernama Marc yang tak percaya apa arti kebahagiaan, maka ia mengekspresikan kebebasannya melalui lukisan-lukisan. Menurut saya, di antara 9 judul cerita ini yang paling sulit untuk dipahami jika tidak dibaca berulang-ulang. Untuk tipe pembaca yang menyukai bahasa yang lebih lugas, mungkin cerita ini terdengar sedikit membosankan.
“Perlahan-lahan ia mencuci tangannya. Tapi ia melakukannya berkali-kali, untuk meyakinkan dirinya bahwa tangannya tak lagi menyebarkan aroma baygon. Dari ruang tamu, ia mendengar suara ibunya yang menyeruduk seluruh isi rumah.” Tulis Leila pada awal cerita pendek kedua yang berjudul “Adila”. Cerita ini menggambarkan seorang ibu yang mengekang anaknya dan tidak memberi kebebasan dalam betindak. Tindakan Adila selalu diatur oleh ibunya. Bahkan, cara Adila berpakaian pun diatur. Tokoh ibu selalu mengomentari Adila. Apa saja yang dilakukannya selalu salah. Hal ini membuat Adila ingin merasakan kebebasan, sehingga ia memiliki teman imajinasi dan pada akhir cerita meminum baygon karena merasa tertekan dengan sifat ibunya. Cerita ini memiliki makna yang mendalam mengenai kebebasan bagi seorang anak.
Leila mengangkat persoalan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada cerita yang berjudul “Sehelai Pakaian Hitam.” Tokoh bernama Hamdani ketika tampil ke muka umum harus mengenakan baju berwarna putih. Seputih tulisan-tulisannya selama ini. Seperti keinginan masyarakat. Mereka menolak Hamdani melihat bahwa di antara warna putih, ada noda dan titik-titik kotor. Hamdani mengakhri nyawanya sendiri karena tidak menjadi dirinya sendiri dihadapan orang lain. Cerita pendek ini mengajarkan bahwa kita harus tampil apa adanya dan tidak perlu mendengar apa kata orang lain.
Untuk Bapak, merupakan cerpen kelima dalam buku ini. Bercerita hubungan seorang anak laki-laki dan bapak. Sederhana, namun penuh makna. Tentang kebijaksanaan bapak yang tetap terkenang dalam jiwa seorang anak, meskipun telah tiada. Cerita pendek yang berjudul “Keats” juga menceritakan tentang hubungan keluarga. Keluarga tokoh Tami memaksanya untuk menikah dengan Hidayat, seorang penyair religius. Hal semacam ini masih sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kisah selanjutnya berjudul “Ilona” juga masih menceritakan hubungan keluarga. Membiarkan anak hidup dengan jalan yang dipilihnya sendiri asal bahagia.
Leila berhasil mengangkat “Air Suci Sita” dengan teknik bercerita yang menarik. Disaat lelaki sibuk mempertanyakan kesetiaan wanita, lalu bagaimana dengan kesucian pria? Seperti dalam kutipan “Aku telah melangkahi kepercayaanmu. Aku sama sekali tak memaklumi kelakuanku.” Cerita “Sepasang Mata Menatap Rain” menyentuh perasaan saya, kepolosan dan kejujuran seorang anak yang tidak ditemukan pada orang dewasa. Seperti judul buku ini, cerpen terakhir berkisah tentang beberapa mahasiswa aktivis demokrasi yang dituduh membakar gerbong kereta. Mereka akan digantung di pusat kota dan pertujukan ini akan disaksikan masyarakat.
Leila S. Chudori menceritakan tokoh-tokoh dalam cerita ini dengan menarik, hanya beberapa cerpen yang bahasanya sulit dipahami. Saya cukup puas dan terseret dalam permainan emosi karakter-karakter. Buku ini mengangkat persoalan tentang kehidupan, permasalahan sosial dan hak kebebasan. Dimana di zaman sekarang, setiap orang berhak atas hak yang dimilikinya.
Penulis : Nita
0 notes
ayojalanterus · 3 years ago
Text
Soal Gugatan Ke Masjid, Dari Pemalsuan Data Hingga Ujaran Kebencian Penggugat
Tumblr media
 OLEH: ILHAM BINTANG  AKSI damai sekitar 20 orang yang mengaku warga Taman Villa Meruya, Jakarta Barat, Jum'at (27/8) siang, hingga kini masih menjadi bahan perbincangan hangat sebagian warga di komplek itu. Ketua Panitia Masjid At Tabayyun, Marah Sakti Siregar memuji Gubernur DKI Anies Baswedan yang secara khusus menemui, dan berdialog dengan mereka. Pertemuan singkat tapi berakhir manis. Pengunjuk rasa meminta foto bersama dan selfie dengan Anies.   “Saya mendampingi Pak Anies waktu menemui mereka. Pertanyaannya tidak ada yang baru. Mengulang-ulang saja seperti  hal di awal yang mereka soal. Semuanya  sudah jadi materi gugatan mereka di PTUN," kata Marah Sakti Siregar. Menurut tenaga ahli Dewan Pers itu, penggugat  sebenarnya tidak banyak. Dari dulu itu-itu saja orangnya.  Tapi, mereka selalu mengklaim  seolah didukung oleh seluruh warga TVM. Dalam gugatan mereka sendiri klaimnya dapat kuasa dari 292 warga. Tapi itu  kini menjadi masalah hukum kemudian, ada warga mengadu ke Polda Metro Jaya karena namanya dimanipulasi  sebagai penggugat, padahal tidak. Laporan Polisi bernomor LP/B/4.058/VIII/2021/SPKT/ Polda Metro Jaya 20 Agustus 2021 mengadukan dugaan Hartono SH dan sepuluh Ketua RT TVM melanggar Pasal 263 KUHP Tindak Pidana Pemalsuan Surat yang ancaman hukumannya 6 (enam) tahun. Kilas Balik Dalam wawancara Minggu ( 29/8) pagi sambil jogging keliling komplek TVM, Sakti menunjukkan hanya sekitar 30 rumah yang pasang spanduk yang isinya sama seperti gugatan mereka di PTUN. Sedangkan komplek TVM dihuni 527 KK atau sekitar 2000 jiwa. Warga Muslim sekitar 300 orang yang solid mendukung pembangunan Masjid. Belum termasuk asisten rumah tangga (ART) sekitar 500 orang -- dengan asumsi satu KK satu ART. Belum supirnya. Kebanyakan warga itulah yang sudah dua hari ini  mengolok-olok aksi unjuk rasa yang dianggap hanya numpang tenar berfoto dengan Gubernur DKI. Dalam foto, wajah mereka tampak sumringah sambil mengangkat jempol dalam formasi mengapit Anies. Bahkan ikut berbaur bersama  warga Muslim  melepas  rombongan Anies meninggalkan  lokasi  acara dengan elu-eluan panjang. Batu Pertama At Tabayyun Jumat (27/8) siang Gubernur DKI Anies Baswedan bersama Ketua MUI KH Miftachul Akhyar (diwakili DR Ihsan Abdullah, Wasekjen MUI) meletakkan batu pertama dan menandatangani prasasti pembangunan Masjid At Tabayyun. Di dalam momen  acara itulah 20 pengunjuk rasa damai menggelar spanduk dan poster. Kelihatan ramai karena bercampur dengan warga Betawi asli dari keliling komplek TVM. Mereka datang dan menonton aksi itu. Mungkin disangka sebuah karnaval, bagian dari acara panitia. “Alhamdulilah, anak saya kebagian disorot TV," aku seorang warga Meruya. Ambigu Seperti halnya Anies, Marah Sakti pun tidak memasalahkan aksi unjuk rasa itu. Dia menganggap itu  bagian dari  kebebasan berpendapat dan berekspressi di alam demokrasi. Malah, Mantan Redaktur Majalah Tempo itu senang karena penggugat kembali memperlihatkan sikap ambigunya. Penggugat dimaksud adalah para Ketua RT. Bukannya menengahi perbedaan pendapat malah memprovokasi warga menentang gubernurnya. “Di Indonesia, hanya di TVM Ketua RT menjadi partisan, atau pencetus pembangkangan kepada pemerintah. Mereka saja yang sibuk kemarin,  warga yang dibawa - bawa namanya tidak muncul,” ungkap Marah. Ada RT Susanto dan bersama wanita yang mengaku dari PSI kepada petugas, ditolak ketika memaksa mau masuk di area ibadah. Entah apa maksudnya. Yang pasti, bukan untuk Salat Jumat. Bukan Menyoal Masjid Sekretaris RW 001 TVM, Ir Ridwan Susanto, yang memimpin unjuk rasa kemarin menyatakan kepada wartawan  bahwa yang mereka soal bukan masjid. Tapi tidak ada sosialisasi kepada seluruh warga sebelumnya. Hal lain, kata Manager Bank Asing HSBC itu, lahan yang digunakan masjid adalah ruang terbuka hijau. Menanggapi itu, Marah menceritakan sosialisasi  pertama  terjadi 3 November 2019. Acara yang dipimpin oleh Ketua RW Irjen pol DR Burhanuddin Andi dihadiri semua Ketua RT. Hari itu berhasil dicapai kesepakatan. Pihak yang menginginkan masjid dibangun di areal yang mereka maui silahkan memproses izinnya masing-masing. Mayoritas RT menginginkan lokasi 312 m2 di dekat St John. Mereka janji akan ajukan tambahan 1000 m2. Pihak Panitia Masjid memilih lokasi di tempat sekarang yang seluas 1.078 m2. Ketua RW bikin aturan: Pihak yang bisa menyelesaikan perizinnya lebih dulu, itulah yang kita akan tetapkan. Sedangkan yang  lain harus legowo dan ikhlas menerima. Rapat itu ada absensinya, notulennya, dan foro-foto pada waktu itu. “Jadi, tidak ada masalah, kan? Namun, mereka  tidak memproses izin. Belakangan kita ketahui, yang  dilakukan sibuk mengirim surat ke berbagai instansi mencegat kami. Lalu mengeluh,  suratnya tidak ada yang merespons. Begitu tahu kami dapat izin dan rekomendasi dari instansi yang sama yang mereka kirimi surat, langsung kalap. Bukannya konsisten pada kesepakatan 3 November 2019, tahu- tahu layangkan gugatan ke PTUN. Yang, apa boleh buat kita harus terima kenyataan itu dengan mengikuti persidangan,” papar Sakti. Hakim PTUN: Silahkan Bangun Gugatan Para Ketua RT itu difaftarkan di PTUN 30 Maret 2021. Persidangan berlangsung sejak April hingga 23 Agustus. Keputusan hakim akan disampaikan Senin, 30 Agustus. Pada persidangan tatap muka pertama 27 Juli lalu, Ketua Majelis Hakim DR Andi Muh. Ali Rahman menerangkan posisi hukum Masjid At Tabayyun. SK Gubernur No 1021/2020 tanggal 9 Oktober dan izin lain termasuk rekomendasi FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) adalah payung hukum yang sah dan berlaku, sampai ia dibatalkan pengadilan. Sedangkan PTUN  hingga kini belum memutuskan apa-apa. Saat Tergugat II Marah Sakti Siregar menanyakan ihwal itu di persidangan, jawaban sama didampaikan Hakim DR Ali Rahman. “Kalau sudah mengantongi semua izin silahkan  bangun. Kalau pun, nanti panitia kalah, Anda bisa naik banding. Demikian juga sebaliknya Pengugat. Kalau gugatan ditolak, Banding lagi. Kalah lagi, lanjut ke kasasi. Demikian seterusnya. Proses hukum itu memang panjang dan lama," kata Andi Rahman. Pengunjuk rasa juga menyoal itu kemarin. Kenapa pembangunan sudah dimulai sedangkan putusan PTUN belum ada? “Itu dia, kasihan kan mereka sudah kepanasan berjemur matahari tapi tidak diberikan informasi yang benar dari kuasa hukum dan ketua RT nya,” prihatin Sakti. Menurut pengakuan Marah, pihaknya  sebenarnya cukup lelah  menghadapi Penggugat itu. Ikut sidang tapi tidak menyimak jalannya sidang. Belum lagi menghadapi sikap ambigunya. Kepada media Pengugat selalu mengatakan yang mereka gugat bukan masjid. Tapi jejak digitalnya tersimpan, mereka gugat masjid. Terbukti dalam somasi yang dilayangkan kuasa hukumnya pada 15 April 2021. Untuk kebutuhan beribadah Salat Taraweh di bulan Ramadhan lalu, Panitia Membangun Tenda Arafah di areal yang izinnya sudah dikantongi. Kuasa Hukum Penggugat mengultimatum Panitia Masjid membongkar tenda itu dalam waktu 3 X 24 jam. Nyaris saja rumah kuasa hukum dan Ketua RT digeruduk massa waktu itu. Ambigu yang lain, mereka  telah menempuh saluran hukum lewat PTUN. Namun, menjelang peletakan batu pertama pembangunan masjid, ada Ketua RT menginstruksikan lewat WAG agar pendukungnya memasangi rumahnya spanduk-spanduk yang isinya, seperti sudah disebut, sudah menjadi materi gugatan. Pas hari H  momen peletakan batu pertama, Jumat siang, Ketua-Ketua RT itu mengomando lagi warganya untuk bikin aksi damai. Di depan wartawan narasinya aksi damai. Namun, di balik itu terekam lewat WAG, sekurangnya di WAG Warga RT 001 Ketua RT Andi Wijijanto mengintimidasi warganya agar bergerak menentang kunjungan Gubernur DKI Anies Baswedan meresmikan masjid. Selain provokasi dan agitasi, terekam juga di WAG itu ujaran kebencian kepada Muslim yang dilakukan oleh pengurus RT atas nama Dendy Jo. Kata "gabener" dan “kadrun" yang dulu digunakan PKI mengagitasi rakyat sebelum G-30-S meletus, berhamburan di situ. Sabtu pagi, WAG bermasalah itu ditutup oleh Dendy Jo, sekaligus “menendang” ke luar delapan membernya. Menurut informasi warga itu sedang menyiapkan laporan polisi dugaan pelanggaran UU ITE oleh Andi Wijianto dan Dendy Jo. “Ya, saya sudah dihubungi warga untuk menemani mereka melapor ke Polda Metro Jaya. Nanti sore saya koordinasi dengan mereka,” kata lawyer Jamaluddin Mahmud, SH. Namun, ketika ditanya, Jamal tidak bersedia menyebut nama warga yang menghubunginya.
from Konten Islam https://ift.tt/3sVcI6g via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/08/soal-gugatan-ke-masjid-dari-pemalsuan.html
0 notes
ochalina · 5 years ago
Text
Beda Swasta dengan PNS
Hola!
Kali ini aku mau cerita tentang bedanya kerja di perusahaan swasta dengan kerja jadi PNS. Ini tidak ada maksud negatif atau tujuan tertentu ya, cuma mau cerita pengalaman pribadi tanpa tendensi apapun. Cerita ini pun hanya dari sudut pandangku aja, murni apa yang aku rasakan.
Kenapa aku mau cerita tentang beda rasa kerja swasta dengan PNS? Jawabannya sederhana aja sih. Tahun ini, tepat 5 tahun aku kerja di pemerintahan. Lima tahun lalu aku bekerja sebagai karyawan swasta, setelah itu keluar dan mencoba peruntungan masuk PNS. Alhamdulillah keterima :)
 Oke, mungkin aku mulai dari masa ketika lulus kuliah ya. Seperti lulusan fresh graduate lainnya, aku langsung mencari-cari pekerjaan begitu wisuda. Lamar sana sini, wawancara sana sini, ikut tes kesana kemari. Sampai akhirnya aku diterima bekerja di Tempo, perusahaan media nasional. Karena aku kuliah jurusan jurnalistik, aku bekerja sebagai wartawan Tempo. Kerjanya ya mencari berita. Liputan kemana-mana, wawancara narasumber, nulis berita. Setahun-dua tahun gitu-gitu aja. Pelan-pelan jenjang karir juga meningkat, pendapatan naik, kehidupan mulai tertata baik, tapi tanggung jawab dan beban juga pasti lebih besar. Dimulai dari wartawan online, wartawan koran, wartawan majalah, hingga akhirnya dipercaya untuk bisa mengedit tulisan dan mengunggahnya ke situs berita. 
Aku merasa kerja sebagai wartawan di perusahaan swasta sangat menyenangkan, karena memang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keinginan sejak awal. “Aku mau jadi wartawan!” pikirku setelah lulus kuliah.
Di Tempo, aku dan rekan-rekan kerja lainnya sudah seperti keluarga sendiri. TIdak ada sebutan “Pak” atau “Bu”. Semua dipanggil dengan sebutan “Mas”, “Mba”, dan ada juga “Kak”. Itu untuk menghilangkan suasana kaku dalam bekerja dan berkoordinasi. Di perusahaan swasta, aku mengerjakan tugas dengan satu fokus. Memproduksi berita sesuai standar perusahaan. Tidak dicampuri dengan urusan harus mengerjakan laporan keuangan, persuratan, atau tugas-tugas lain di luar job desk. Ini salah satu hal yang membedakan kerja di swasta dan kerja jadi PNS.
Tumblr media
Sebagai wartawan, tentu ada juga penugasan ke luar kota. Bedanya penugasan luar kota di swasta dengan dinas luar kota PNS adalah proses dan prosedurnya. Penugasan luar kota di perusahaan media tidak membutuhkan laporan keuangan secara detail. Ada 2 jenis penugasan, penugasan khusus dari kantor atau istilahnya liputan khusus dan investigasi, dan penugasan karena mendapat undangan dari kementerian, lembaga, atau institusi lain. Prosesnya hampir sama. Setelah mendapat tugas dan izin dari bos, persiapan, berangkat, liputan, bawa bahan tulisan, balik ke kantor, setor berita, dan menyerahkan bon-bon ke bagian keuangan untuk diganti oleh kantor. Kalau penugasan yang berasal dari undangan, gak perlu lagi menyerahkan bon-bon. Sederhana, mudah, cepat.
Perbedaan yang agak berasa antara swasta dan PNS adalah kerumitan pembuatan laporan setelah tugas dan pembagian kerja sehari-hari.
Selama jadi PNS, setiap staf harus siap ditugaskan untuk pekerjaan apapun, bahkan di luar tusi (tugas dan fungsi). Misalnya, pada saat mendaftar jadi CPNS, aku melamar untuk posisi analis berita. Kenyataannya, aku banyak mengerjakan hal lain di luar tusi. Lebih banyak mengerjakan administrasi dan laporan-laporan perjalanan. Bahkan, aku merangkap sebagai bendahara :(
Tentunya,kerja jadi tidak fokus. Terkadang, di saat ada kegiatan atau pekerjaan tusi sendiri, harus menyelesaikan juga tugas bendahara.
Perbedaan lain yang sangat terasa adalah kedekatan staf dengan para bos-bos. Di perusahaan swasta, seperti Tempo, hubungan wartawan dengan redaktur (dalam perusahaan media, ada jenjang redaktur dari yang rendah sampai tertinggi) -bisa disebut editor- tidak terlalu kaku. Wartawan bisa bebas mengungkapkan ide, pendapat, bahkan beradu argumen soal berita yang akan ditulis. Sedangkan di pemerintahan, hubungan staf dengan atasan cenderung lebih banyak kaku, terutama dengan bos dengan jenjang 2 tingkatan di atas. Kalau bos di jenjang atas sudah memberikan perintah atau “arahan” ya kudu wajib dan harus dikerjakan.
Tumblr media
Rasa pekerjaan yang berbeda juga dirasakan untuk aspek penilaian karyawan. Di perusahaan tempatku bekerja dulu, penilaian dilakukan setiap 3 bulan sekali. Pekerjaan dan tulisan wartawan akan dinilai dan dievaluasi. Di situlah kita bisa tahu di mana kekuatan kita dan kelemahannya. Dapat saran dan arahan positif dari pemberi nilai. Semuanya terbuka, akuntabel, terpercaya, lugas, membangun, dan memang dinilai langsung oleh atasan. -Mulai lebay dan berlebihan bahasanya, hahaha...- Tapi semua ini berpengaruh untuk peningkatan jenjang karir di perusahaan.
Kalau jadi PNS, penilaian meliputi banyak aspek. Tapi yang dinilai hanyalah pekerjaan yang berkaitan dengan tusi masing-masing. Jadi, pekerjaan tambahan banyak yang tidak masuk penilaian, anggap saja kita jadi agen khusus dan perbanyak pahala. (huehehe..)
Yaaahhh segitu dulu deh ceritaku soal beda jadi karyawan swasta dan PNS. Ini bener-bener cuma berdasarkan perasaan dan pengalaman pribadi ya, dan cuma pengen barbagi aja. Pengalaman orang lain pasti berbeda.
Tumblr media
Intinya, nikmati pekerjaanmu saat ini ^.^
0 notes
adeirwansyah · 5 years ago
Text
[REVIEW BUKU] Menjegal Film Indonesia (2011)
Tumblr media
JURNALRuang
Film | Ulasan
Masihkah Film Indonesia Dijegal?
oleh  Ade Irwansyah
11 Januari 2018 Durasi: 10 Menit
Momen itu masih saya ingat. Usai film Black Swan (Darren Aronofsky, 2010) diputar bagi wartawan di bioskop Djakarta Theatre XXI, Jakarta Pusat, 17 Februari 2011, seorang bule nongol bilang, “Terima kasih sudah datang menonton film ini. Anda semua termasuk yang beruntung menontonnya di bioskop, karena bisa jadi film ini takkan edar di bioskop,” yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Frank S. Rittman, Vice President Deputy Managing Director Regional Policy Office Asia-Pasific MPAA (Motion Picture Association of America).[1]
Itulah awal kisruh pajak film impor. Film-film Hollywood dari enam studio besar Hollywood (Sony Pictures, Paramount, Universal, Disney, 20th Century Fox, dan Warner Bros.) yang tergabung dalam MPAA tak bisa masuk lantaran terkendala persoalan pajak. Persoalan yang semula perkara pemerintah hendak menagih pajak pada importir film Hollywood berkembang jadi peristiwa sosial budaya yang pelik.
Selama film-film blockbuster Hollywood tak tayang sejak awal Maret 2011, bioskop megap-megap karena sepi. Imbasnya, film Indonesia juga kurang diminati lantaran tak banyak lagi orang ke bioskop.
Menjelang musim edar film-film musim panas, studio besar Hollywood masih tak mengedarkan filmnya di sini. Banyak yang resah tak bisa nonton film anyar Harry Potter dan Transformers. Yang banyak uang pergi ke negeri jiran, Singapura atau Malaysia demi menonton film blockbuster Hollywood. Menteri Pariwisata dan Kebudayaan kala itu, Jero Wacik, berinisiatif membuka lagi keran impor, meski persoalan pajak yang membelit serta tudingan monopoli distribusi film belum selesai. 
Baginya, yang penting dahaga orang Indonesia menonton film Hollywood terpenuhi.[2] 
Ketika orang Indonesia kembali bisa menonton film Hollywood, padahal persoalan pajak yang jadi pangkal soalnya belum tuntas, ketika itu pula kesempatan membenahi industri film nasional lepas begitu saja. Industri ini kembali ke masa status quo. Kisruh pajak film impor akhirnya jadi sekadar disrupsi bisnis. Kasus itu batal jadi momentum membenahi perfilman.   
Di tengah momentum yang lepas tersebut terbitlah buku Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. Buku ini diterbitkan Perkumpulan Rumah Film dan Yayasan Tifa pada Agustus 2011. Buku itu dieditori Eric Sasono dan ditulis awak situs Rumah Film, yakni Eric, Ekky Imanjaya, Ifan Adriansyah Ismail, dan Hikmat Darmawan berdasar penelitian yang mereka lakukan.
Buku ini berangkat dari asumsi kecenderungan film Indonesia, meminjam istilah Rosihan Anwar, “back to basic” dalam arti mengeksploitasi tema-tema yang mudah dan cepat dicerna penonton (halaman 1). Yang menjadi pertanyaan yang coba dijawab buku ini adalah situasi macam bagaimana sehingga muncul film-film Indonesia semacam itu. Kisruh pajak film impor hanya puncak gunung es persoalan film nasional yang telah mengalami pembusukan sejak lama. Dari uraian panjang lebar di buku ini, film Indonesia dijegal maupun terjegal dari berbagai aspek, mulai dari sisi produksi, distribusi, dan ekshibisi.
Pertanyaannya lalu, selewat enam tahun bukunya rilis, apa kabar jagat perfilman Indonesia? Masihkah dijegal? Siapa yang menjegalnya?
Sebelum menjawabnya izinkan saya bicara dahulu tentang Rumah Film. Situs Rumahfilm.org jadi oase bagi pecinta film untuk memeroleh ulasan yang kritis, mendalam serta bermutu. Film-film Indonesia diulas secara serius selayaknya sebuah makalah ilmiah atau dalam bentuk esai panjang.
 Punggawanya adalah para kritikus film pasca-generasi Salim Said, JB Kristanto, Arya Gunawan, dan Seno Gumira Ajidarma. Generasi Salim dkk besar di media cetak  masing-masing, seperti Tempo, Kompas dan Jakarta-Jakarta. Ulasan khas media cetak yang punya keterbatasan ruang.
 Sedangkan Eric dkk diuntungkan internet yang tak mengenal batasan ruang. Sebuah film atau masalah perfilman bisa diulas panjang lebar dengan menelisik setiap sisinya.
 Situs Rumahfilm.org kini almarhum. Namun, situs yang bertahan sekitar empat tahun itu (2007-2011) meninggalkan banyak bekas bagi pecinta film dan pecinta ulasan film berkualitas.
Lewat surat elektronik pada saya, Eric yang tengah menempuh pendidikan S-3 di Inggris menulis, Rumah Film dibangun karena, “Adanya dorongan untuk menulis dan membahas film lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga melihat signifikansi medium itu dalam konteks budaya, ekonomi, sosial bahkan pembentukan identitas kemanusiaan—dalam konteks negara Indonesia.”[3]
Sayang memang, umur situs yang dikelola swadaya oleh awak redaksinya sendiri—dari mulai peliputan hingga web hosting dan server—ini tak lama.
 Beruntung tongkat estafet ulasan film Indonesia berbobot diteruskan generasi berikutnya yang dahulu jadi pembaca setia Rumahfilm.org. Adrian Jonathan Pasaribu dan Makbul Mubarak, misalnya, membangun Cinema Poetica dengan mengacu pada Rumah Film. Tulisan-tulisan panjang tentang film juga merambah banyak situs lain. Kini tak haram lagi menulis panjang soal film. Ulasan film yang ditulis serius bertebaran di situs-situs, seperti Jurnal Ruang ini maupun Tirto, The Conversation, The Magdalene, Geotimes, hingga yang sedikit nakal, Mojok.co.
 Produksi, Distribusi, dan Ekshibisi Film
Buku Menjegal Film Indonesia juga peninggalan awak Rumah Film yang dikerjakan menjelang situsnya tak aktif. Isinya komplit. Sumbangan paling berharga buku ini adalah pemetaan jagat perfilman kita. Segala informasi yang sebelumnya tercecar di mana-mana, dari kliping koran, majalah, hingga omongan narasumber kompeten dikumpulkan dalam satu buku utuh. Saat terbit dulu pada Agustus 2011, bukunya tak dijual bebas. Hanya didistribusikan secara cuma-cuma ke komunitas film dan media. Sekarang bukunya bisa diunduh gratis.[4] 
 Buku ini lahir dengan semangat menguraikan persoalan industri film kita dari hulu hingga hilir yang terbagi dalam tiga pilar: produksi, distribusi, dan ekshibisi.
 Dari sisi produksi, buku ini menelisik sisik melik produksi dari pendanaan sampai return of investment (ROI) pembuatan film. Ditengarai, demi memenuhi ROI, sebagian produser mencari jalan memprioritaskan membuat film formulaik dan epigon, serta jika perlu dengan bujet rendah dan masa produksi singkat. Cara lain, mencari sumber dana yang aman, termasuk menaruh product placement (build-in) serta dana lembaga donor. Atau juga membuat film yang sudah punya captive market, yakni film adaptasi buku/novel laris, film sekuel, prekuel, dan remake (halaman 179-180).
 Dari sisi distribusi, buku ini menguraikan pola distribusi film sejak Orde Baru berlangsung tanpa transparansi. Di level peredaran tingkat bawah pun medan usahanya dikuasai “raja-raja kecil” yang sangat berkepentingan menjaga suasana pasar yang tidak transparan (halaman 196).
 Sejak masa Orde Lama hingga tahun 1980-an di masa Orde Baru, distribusi film kita mengenal istilah booker dan broker. Kondisi ini lahir karena kondisi geografis Indonesia yang maha luas sementara infrastruktur minim. Lantaran hal tersebut, peredaran film didominasi sistem jual beli putus dan dijalankan oleh pengedar daerah yang biasanya disebut broker dan booker. Pada dasarnya, istilah broker (perantara atau calo) adalah pelesetan yang merendahkan dari booker atau orang yang melakukan pemesanan atau penjadwalan penayangan suatu film di bioskop (halaman 201).
 Keberadaan booker dan broker tak menguntungkan produser sebagai pemilik film. Salah satu contohnya menimpa film Inem Pelayan Seksi (1977). PT Candi Dewi yang memiliki film tersebut menjual hak edar ke broker DKI Jakarta seharga Rp 17,5 juta (angka yang besar masa itu). Filmnya box office, menghasilkan Rp 31,5 juta untuk si broker dari peredaran tahap pertama saja di sembilan bioskop. Kemudian, broker ini  menjualnya ke rekannya untuk mengedarkan di tahap kedua senilai Rp 20 juta. Broker kedua dapat Rp 25,5 juta dari sebelas bioskop. Untuk tahap ketiga, broker ketiga menawar Rp 20 juta. Untuk tiga tahap peredaran di DKI saja Inem menghasilkan Rp 70 juta, sedangkan produser hanya dapat Rp 17,5 juta karena dijual putus (halaman 228).
 Booker dan broker kemudian menghilang bukan lantaran niat baik rezim membenahi perfilman nasional. Namun, karena perilaku nepotisme. Sebagaimana lazimnya rezim Orde Baru yang membagi-bagi lahan bisnis bagi keluarga Presiden Soeharto, sektor perfilman pun tak luput dari praktik itu. Pertengahan 1980-an, Sudwikatmono yang terhitung masih famili Soeharto merambah bisnis peredaran film berkongsi dengan Benny Suherman.
 Pada 1985, mereka mendirikan perusahaan-perusahaan importir film yang di kemudian hari dikenal sebagai bagian dari kartel penguasa jalur film impor yang memungkinkan terjadinya monopoli, yaitu PT Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Esthetika. Ekspansi diam-diam juga dilakukan dengan merangkul pengedar film daerah ke dalam pangkuan PT Subentra, perusahaan lain yang dimiliki Benny dan Sudwikatmono yang bergerak di bidang ekshibisi. Dominasi Subentra hingga ke daerah-daerah membuat produser mau tak mau menjual film kepada distributor yang mereka tentukan. Artinya, posisi distributor menentukan harga lebih kuat. Contohnya pada film Pagar Ayu. Di Jawa Tengah, film itu cuma dihargai Rp 30 juta untuk empat kopi, padahal modal membuat kopi film dan iklan saja Rp 12,5 juta (halaman 247).
PT Subentra lantas mengembangkan jaringan bioskop 21 sejak akhir 1980-an. Bioskop-bioskop megah dengan banyak layar yang disebut cineplex (cinema complex) tumbuh di kota-kota besar. Lantaran bioskop non-jaringan seret mendapat pasokan film lambat laun mereka tutup. Saat itulah sisi distribusi dan ekshibisi hanya dimiliki satu kelompok.
 Awal 1991, pemerintah bertemu dengan studio-studio besar Hollywood yang tergabung dalam MPEAA (Motion Picture Exports Association of America). Hollywood merasa terganggu dengan kuota film impor dari 80 jadi 40 film setahun, ramainya pembajakan, dan distribusi yang dimonopoli asosiasi importir film Eropa dan Amerika. Hollywood ingin mendistribusikan filmnya langsung ke Indonesia  seperti dekade 1960-an atau era AMPAI. Setelah acara ancam-mengancam kuota impor dicabut, Hollywood memilih perusahaan yang dimiliki maupun punya hubungan dekat dengan Benny dan Sudwikatmono, PT Camila dan PT Satrya, untuk mendistribusikan film-film mereka (halaman 259). Usai Soeharto lengser, nama PT Subentra Nusantara berubah jadi PT Nusantara Sejahtera Raya pada 14 Desember 1998. Sudwikatmono pun tak lagi bermain di bisnis bioskop.
 Pada titik ini, praktik monopoli kelompok tersebut mencapai puncaknya. Mereka menguasai jalur distribusi dan ekshibisi plus jaminan pasokan film dari Hollywood. Praktik itu langgeng hingga kisruh pajak film impor tahun 2011.
 Enam Tahun Kemudian…
Ketika film Hollywood milik studio besar yang tergabung di MPAA tak diputar di bioskop Indonesia, jaringan bioskop 21 pantas panik. Kala itu mereka tengah giat melakukan peremajaan bioskop, mengganti interior lebih berkelas serta mengganti logo dari 21 ke XXI. Mereka pantas berbenah sebab tak ada lagi Sudwikatmono yang dapat perlindungan Soeharto. Orde Baru telah tumbang, digantikan Orde Reformasi yang memberi hak hidup bagi pemain lain di bisnis ekshibisi film.
 Pemain baru itu adalah jaringan bioskop Blitz Megaplex yang juga menyasar pasar jaringan bioskop 21: kelas menengah atas perkotaan. Bioskop Blitz dibangun mewah di mal seperti bioskop 21. Walau bioskop Blitz kala itu hanya hitungan jari, rupanya cukup membuat pihak 21 merasa was-was dan berbenah. Masalahnya, bagaimana bila pasokan film blockbuster Hollywood terhenti akibat kasus pajak?
 Seperti disinyalir Eric Sasono lewat artikelnya di majalah Rolling Stone Indonesia pada 2011, industri film mana pun di dunia ini sudah terintegrasi dengan kekuatan global seperti MPAA, maka kalau MPAA memboikot, bioskop akan kehilangan 60 persen pemasukan mereka.[5]
 Publik tak pernah benar-benar tahu bagaimana ujung persoalan pajak impor film tersebut. Apakah tunggakan pajak yang nilainya konon mencapai Rp 30 miliar itu akhirnya dilunasi, kita tak pernah dikabari. Yang kita tahu film-film milik MPAA diputar lagi. Film-film itu tak didistribusikan ke PT Camila dan PT Satrya yang menunggak pajak, namun lewat PT Omega Film yang tak tahunya dimiliki oleh orang-orang yang sebelumnya mengelola dua perusahaan terdahulu.[6] Begitu pasokan film lancar kembali, peremajaan jaringan bioskop 21 menjadi XXI berlanjut. Proyektor-proyektor seluloid diganti digital. Tahun 2012, mereka membuka teater IMAX.[7]
 Lebih dari enam tahun setelah kisruh pajak film impor berakhir, bagaimana nasib perfilman Indonesia?
 Secara de facto, sebagaimana ditulis di buku Menjegal Film Indonesia, saat ini hanya ada dua entitas yang bermain dalam industri film, yaitu produser dan importer (keduanya dihitung pemilik film) dan bioskop. Badan khusus yang bergerak di bidang distribusi/pengedar praktis tak ada (halaman 196).
 Itu sebabnya, seorang produser film nasional menanggung risiko pembuatan film sendirian. Setelah merogoh kocek untuk memproduksi film, ia harus mengeluarkan uang lagi untuk membiayai distribusi dan promosi. Ia yang harus aktif beriklan memasarkan filmnya ke khalayak. Pihak bioskop cukup menyediakan tempat dan waktu tayang, lalu dapat bagian 40 persen dari tiap tiket yang terjual (40 persen lainnya untuk produser/pemilik film, 20 persen untuk pemerintah).
 Masalahnya, bioskop tak menyediakan tempat dan waktu yang layak bagi film nasional. Meski pasal 32 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman mengamanatkan pihak bioskop mengalokasikan 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut bagi film nasional, tak pernah lahir petunjuk pelaksanaannya (juklak) berupa peraturan menteri (permen). Tidak ada yang bisa sahih menafsirkan apa yang dimaksud dengan 60 persen dari jam pertunjukan selama enam bulan, bagaimana menghitungnya, dan acuan teknis lain.
 Yang terjadi, sewaktu-waktu film Indonesia bisa diturunkan dari layar bila tak memenuhi jumlah minimal kursi yang terisi. Siapa yang menentukan jumlah minimal tersebut? Apa yang jadi acuan? Apakah pertimbangan ekonomi semata?
 Di buku Menjegal Film Indonesia terungkap, pada 14 Maret 1986, terjadi pembicaraan antara PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia), GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), PT Perfin, dan AIF (Asosiasi Importir Film Asing) di Cipayung. Pertemuan itu menemukan kesepakatan bahwa setiap film harus menyerap 125 penonton untuk tiga kali pertunjukan. Hasil[1]  kesepakatan ini dikenal dengan nama Kesepakatan Cipayung.
Kesepakatan itu menimbulkan masalah. Yang paling terkenal menimpa film Langitku, Rumahku. Baru sehari tayang pada 16 November 1990, malamnya film tersebut langsung diturunkan. PT Perfin menunjuk Kesepakatan Cipayung sebagai dasar hukumnya. Sang pemilik film, Eros Djarot, kemudian menuntut ke pengadilan. Ia kalah (halaman 212).
Bertahun-tahun setelah Eros kalah, entah sudah berapa film nasional jadi korban. Dijegal. Tahun 2015, misalnya, film Mencari Hilal harus turun layar karena disinyalir untuk memberi tempat bagi film superhero Marvel Ant-Man yang siap diputar.[8] Kala itu, pengamat film Yan Widjaya mengatakan pada saya, “Jika di satu bioskop ada empat layar, dan dari empat layar itu ada empat film dengan jumlah masing-masing penonton 400, 300, 200 dan 100, maka yang dapat jumlah penonton paling sedikit harus tersingkir diganti film lain." Mencari Hilal memang yang paling sedikit dapat penonton, hanya tujuh ribuan dalam sepekan.[9] 
 Sampai di sini rasanya tak ada yang berubah dari aspek distribusi dan ekshibisi perfilman kita. Film Indonesia harus tetap bersaing di pasar yang tak adil dengan film Hollywood. Sesekali kita memenangkannya.
 Bila tahun 2011 saat buku Menjegal Film Indonesia terbit, film terlaris sepanjang masa adalah Laskar Pelangi (2008) dengan angka 4,5 juta penonton, kini rekor itu terpecahkan oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss—Part I (2016) yang meraup 6,8 juta penonton. Tahun lalu kita juga menyaksikan Pengabdi Setan menjadi film horor nasional terlaris sepanjang masa dengan jumlah penonton 4,2 juta.
 Namun harus diingat, kini rata-rata beredar seratusan film dalam setahun sejak 2014. Pada 2011, film yang beredar 82 judul. Dari 117 film yang beredar pada 2017, hanya delapan yang meraih penonton di atas 1 juta.[10]  
Tengok misalnya hitung-hitungan Raksa Santana. Meski 2016 mencatatkan rekor film terlaris sepanjang masa, kenyataannya dari 34,5 juta penonton film Indonesia pada 2016, sekitar 80 persennya atau 27 juta penonton disumbang oleh sepuluh film. Rata-rata untuk 110 film lainnya hanya memperoleh 67 ribu penonton.[11]
 Sampai di sini membuat film tetap merupakan ladang usaha yang lebih besar risiko gagalnya daripada untung. Angka 6 atau 4 juta penonton memang menggiurkan. Namun, itu hanya terjadi pada film-film istimewa. Bila ingin membuat film karena alasan ekonomi, kemungkinan film Anda hanya ditonton ribuan orang lebih besar.
 Yang sedikit bergairah dibanding enam atau tujuh tahun lalu adalah bisnis bioskop. Sekarang pemainnya bukan hanya jaringan XXI dan Blitz Megaplex. Jumlah layar jaringan XXI telah berjumlah hampir 1.000, sementara investor Korea Selatan menanam modal di Blitz dan mengubah nama bioskop itu jadi CGV Blitz. Pemain besar lain yang juga ikutan di bisnis bioskop adalah Group Lippo lewat jaringan Cinemaxx serta Flix Cinema milik Agung Sedayu Group.
 Selain itu, kini kian banyak pula ruang pemutaran alternatif. Tidak hanya di Jakarta (Kineforum, Kinosaurus, Paviliun 28, Radiant Cinema), tapi juga tersebar ke pinggiran, seperti Tangerang (Cinespace), juga kota lain macam Semarang (Sine[room]), Yogyakarta, dan banyak lagi. Keberadaan ruang pemutaran ini berperan memperpanjang daur hidup sebuah film. Jika tak dapat penonton di bioskop mainstream, masih ada kesempatan bertemu penonton di ruang pemutaran alternatif.
 Enam tahun sejak diterbitkan pertama kali, kini buku Menjegal Film Indonesia sudah bisa diunduh gratis, dan perlu dipikirkan sebuah terbitan edisi baru yang menggambarkan wajah perfilman kita saat ini. Yang sudah membacanya pasti mendapati bahwa buku ini punya banyak kesalahan ejaan, tanda baca, dan pengulangan konten di beberapa bagian. Saya teringat resensi Adrian di majalah Tempo yang berharap bukunya dikemas apik.[12] Saya juga berharap serupa, dan berharap pula situs Rumahfilm.org bangkit lagi dari kuburnya.
 Di luar urusan buku, yang jadi pertanyaan krusial sebetulnya adalah: walau bioskop kian banyak, tapi apakah nasib film Indonesia telah jadi lebih baik? Jumlah penonton yang bejibun dan daftar sepuluh film terlaris tak menggambarkan situasi sesungguhnya. Sepanjang tak lahir aturan yang mengatur kuota layar film nasional di bioskop, film Indonesia akan senantiasa terjegal dalam pertarungan di sebuah mekanisme pasar yang tak adil.
 Kabar buruknya adalah, tak seorang pun berniat mengubah status quo ini. Jangan-jangan kita perlu sekali lagi boikot film-film MPAA, tapi lain kali kita jangan mudah menyerah, melainkan benahi infrastruktur perfilman jadi lebih sehat, baru persilakan Hollywood putar filmnya. Beranikah kita? (*)
  Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia  Eric Sasono, Ekky Imanjaya, Ifan Adriansyah Ismail, dan Hikmat Darmawan  Rumah Film dan Yayasan Tifa  Agustus 2011
 [1] Lihat Ade Irwansyah, "Wah, Kita Terancam Cuma Bisa Nonton Film Nasional di Bioskop!", dimuat Tabloidbintang.com, 17 Februari 2011, diakses 4 Januari 2018 di link https://archive.tabloidbintang.com/film-tv-musik/kabar/9061-wah-kita-terancam-cuma-bisa-nonton-film-nasional-di-bioskop.html  
 [2] Periksa "Tak Peduli Monopoli, Jero Wacik Utamakan Film Hollywood Masuk", dimuat Detik.com, 6 Juli 2011, diakses 4 Januari 2018 di link: http://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/1675730/tak-peduli-monopoli-jero-wacik-utamakan-film-hollywood-masuk
 [3] Komunikasi pribadi, 19 Desember 2017.
 [4] Silakan unduh bukunya di sini:https://ericsasono.wordpress.com/2017/05/21/unduh-gratis-buku-menjegal-film-indonesia/
 [5] Eric Sasono, “Yang Luput dalam Kisruh Pajak Film Impor”, Rolling Stone Indonesia, Mei 2011.
 [6] Periksa tulisan Lisabona Rahman, Adrian Jonathan Pasaribu "Kronologi Kasus Tarif Impor Film 2011", dimuat 25 Juni 2011 dan di-update 3 Agustus 2011. Pada poin 19 Januari 2011 dan 15 Juli 2011, PT Omega Film punya kaitan dengan Group 21. Diakses 4 Januari 2018 di link: http://filmindonesia.or.id/article/kronologi-kasus-tarif-impor-film-2011#.Wk4Cf9KWbct
 [7] Corporate Secretary Cinema 21, Catherine Keng mengatakan, XXI adalah rebranding dari Cinema 21 yang telah berlangsung sekitar satu dekade sejak 2004. Periksa berita Muvila.com, 8 Maret 2015, "Ini Bedanya Bioskop 21 dan XXI" di linkhttp://www.muvila.com/film/artikel/ini-bedanya-bioskop-21-dan-xxi-150306p.html. Mengenai kisruh pajak impor yang berimbas pada rencana bisnis bioskop bisa diperiksa di berita Detik.com, 30 Juni 2011, "21cineplex Tunda Ekspansi Gedung Bioskop Baru" di link:https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/1671950/21cineplex-tunda-ekspansi-gedung-bioskop-baru. Kedua link diakses 4 Januari 2018.
 [8] Periksa berita Detik.com, "UU Perfilman Tak Maksimal, PPFI Desak Pemerintah Keluarkan PP", 28 JUli 2015, di link:https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/1671950/21cineplex-tunda-ekspansi-gedung-bioskop-baru. Diakses 4 Januari 2018.
 [9] Periksa Ade Irwansyah, "Kenapa Penonton Mencari Hilal Sedikit?", dimuat Liputan6.com, 27 Juli 2015, di link:http://showbiz.liputan6.com/read/2280614/kenapa-penonton-mencari-hilal-sedikit, diakses 4 Januari 2018.
 [10] Berdasar data situs filmindonesia.or.id, diakses 25 Desember 2017.
 [11] Raksa Santana, “Laris Tak Selalu Manis,” dimuat situsCinemaPoetica pada 9 Juni 2017, diakses 25 Desember 2017 lewat tautan: http://bit.ly/2C4MRRr.
 [12] Lihat Adrian Jonathan Pasaribu, “Berayun di Antara Rezim dan Pasar”, Tempo, 5 Februari 2012.
Ade Irwansyah, wartawan. Bukunya, Seandainya Saya Kritikus Film diterbitkan penerbit indie di Yogyakarta, Homerian Pustaka pada 2009.
Link asli: https://jurnalruang.com/read/1515678753-masihkah-film-indonesia-dijegal
    [1]
0 notes