radila-u
Dilatory
48 posts
Tending to be late; Slow to do something
Don't wanna be here? Send us removal request.
radila-u · 1 year ago
Text
Tumblr media
Thank you to everyone who got me to 100 likes!
0 notes
radila-u · 2 years ago
Text
I'm so sorry for these unwanted feelings.
6 notes · View notes
radila-u · 3 years ago
Text
Hiatus Sosial Media
Hari ini adalah hari ke-duaku tanpa Twitter, Instagram, Youtube, Webtoon, dan musik (top-list racunku) dalam rangka mengembalikan konsentrasi dalam berpikir dan menenangkan pikiran. Karena pada dasarnya aku bukan orang yang bisa aktif di sosial media tanpa kehilangan produktivitas. Beberapa hari belakangan, aku yang sedang dalam masa libur kerja dan kuliah--sesuatu yang langka kudapatkan--cuma rebahan scroll timeline ini-itu seharian. Padahal banyak artikel yang harus kubaca dan harus dipahami, revisi proposal yang terus-terusan ditagih pembimbing, serta buku-buku yang belum selesai kubaca. Atau, banyak juga list kdrama yang belum selesai dan ingin kutonton, tapi tak kunjung jadi karena dihantui rasa bersalah dari "Udah tau banyak tugas tapi malah nonton!"
Aku sering terjebak antara "Kalau kamu ga kerja keras, kamu mau gini terus? Memang kamu bisa dan punya apa selain kerja keras?" dan "Sayangi dirimu, jangan terlalu keras. Kamu udah berusaha kok. Gapapa istirahat lihat timeline. You deserve it." Yang mana si "Sayangi dirimu" itu sayangnya tidak ada batasan jelas. Oke mungkin kita bisa buat batasan jam, tapi hal berulang yang terjadi padaku adalah: kehilangan motivasi untuk melakukan tugas yang harusnya dikerjakan. Mungkin bukan zero motivation lagi, tapi sudah minus. Mau pakai pomodoro technique (membagi interval kerja dan istirahat)? Haha, ga mempan. Masalahnya adalah motivasi untuk memulainya itu. Atau kalaupun dipaksakan, cuma bertahan sebentar. Yang ngantuk lah, susah berpikir lah, capek lah. Atau tiba-tiba kepikiran hal-hal random kayak "Apakah bau hutan cemara benar-benar seperti karbol? Apa beda rer. nat dan phil. nat? Siapa saja orang terkenal yang punya kepribadian INTJ?" Jadilah googling dikit (niatnya) padahal bisa berujung sampai nonton di youtube: kucing gosok gigi, orang menggerus kapur, atau kompilasi bersinnya artis kpop. Begitulah, banyak setannya.
Kebetulan, aku pernah nonton youtube (ya, ya, ada juga kok manfaatnya) yang jelasin kenapa kita sering susah berkonsentrasi. Anggaplah suasana untuk bekerja sudah mendukung. Tapi pernah ga mengalami: di suatu pagi yang cerah dan dengan penuh semangat karena semalam sudah berniat untuk produktif, bangun tidur cek hape buka instagram atau twitter, tau-tau udah tiga jam aja masih rebahan. Semacam "ah bentar, ini lagi seru banget." Anak kos sih, terutama. Kalau tinggal sama keluarga mungkin ada rasa nggak enak atau udah disindir karena main hape terus. Mungkin sadarnya kalau pengen ke toilet atau lapar. Trus berujung ga jadi ngerjain tugas. Nah, hal seperti ini yang salah. Kata penjelasan di youtube itu, kalau kita mau fokus dan punya motivasi mengerjakan sesuatu, jangan main sosmed dulu. Karena dengan main sosmed, nonton youtube, dsb, kita akan seperti mendapat reward di awal. Sudah dapat senangnya, jadi lupa kewajiban. Yang harusnya bisa konsentrasi, bisa-bisa jadi kepikiran hal lebih menarik yang dilihat tadi. Dan negatifnya lagi hal-hal seperti itu untukku adalah emosi yang kurang stabil seperti menjadi lebih mudah sedih, lebih mudah kesal. Padahal tidak ada hubungannya dengan konten yang kulihat. Kalau dipikir, sudah seperti orang kecanduan saja. Belum lagi rasa 'penuh' di kepala yang juga menyulitkan fokus karena terlalu banyak informasi yang masuk.
Dari hal-hal tersebutlah aku meniatkan diri untuk berhenti sementara. Sementara karena rasanya aneh kalau benar-benar akan stop. I still need them :D So far aku menemukan ketenangan (meskipun list tugas-tugas tadi tetap belum selesai), dan memang membantu konsentrasi.
Well, ini belum tentu bisa berlaku untuk semua orang sih, karena tentunya pasti ada orang yang kerjaannya main hape terus tapi tetap bisa konsentrasi, tugas tetap selesai tepat waktu. Atau ada juga orang yang mungkin belum ada goals tertentu (and it's totally okay), dan mungkin cuma main hape-lah pelariannya dari beratnya beban hidup.
Harapanku dari niat ini: semoga aku istiqomah dalam waktu yang sangaaaat panjang :D
[PDG, 29 Juni 2021]
5 notes · View notes
radila-u · 4 years ago
Text
Kok Aku Nggak Bisa Kayak Mereka?
Malam ini, ketika sedang berkelana mencari bahan presentasi hingga akhirnya sampai ke website lab Mechanical Ecology University of Bristol dan menemukan anggota labnya, sampailah aku pada tingkat kepo yang berujung pada insecurity. 
Salah seorang anggota lab tersebut adalah seorang mahasiswa PhD, yang meneliti tentang kantong semar. Oke, kuakui aku kepo karena tidak sengaja melihat fotonya dengan peneliti lain, and on the picture he looks cute. :)  Aku menemukan beritanya yang mendatangi salah satu herbarium di Indonesia. Tahu tidak, sejak masih anak-anak dia telah tertarik dengan kantong semar yang menurutnya aneh dan unik, hingga ia menyukainya dan mempelajarinya sampai saat ini. Dan sekarang ia telah memiliki koleksi 90 jenis tanaman pemangsa serangga dari berbagai negara di rumahnya di London. :)
Lalu, muncullah rasa insecure itu. Aku melihat orang-orang sedari kecil sudah memiliki ketertarikan khusus pada bidang tertentu, lalu tetap fokus hingga menghasilkan sesuatu. Aku? Tentu aku punya ketertarikan juga, tapi terhadap banyak hal, dan sifatnya dangkal saja. 
Kemudian aku kembali membandingkan diriku yang polos tanpa ide dan pemikiran kritis ini dengannya yang di usia muda sudah menghasilkan berbagai publikasi yang tentunya tidak bisa tercipta tanpa adanya ide-ide dan masalah-masalah penelitian yang ingin dijawab. Begitulah, aku bukan orang yang kreatif secara alami yang punya berbagai ide menarik untuk diteliti. Ini mengingatkanku pada kutipan sampul belakang buku Guns, Germs, & Steel:
PADA 1970-an, ketika sedang berada di Papua untuk meneliti burung, Jared Diamond ditanyai oleh sahabatnya yang orang Papua: Mengapa orang kulit putih membuat banyak barang berharga, sementara orang Papua tidak? Pertanyaan itu sebenarnya adalah pertanyaan mengenai mengapa kemajuan peradaban di berbagai benua itu berbeda-beda.
Memang benarlah adanya. Aku pun sering menyaksikan, para konservasionis, orang-orang yang peduli dan punya peran penting dalam riset maupun akademisi bukanlah orang-orang lokal. Mereka meninggalkan negaranya untuk mengabdikan diri pada penyelamatan sumber daya alam yang tidak mereka miliki di negaranya. Lihat saja Chanee Kalaweit serta Birute Galdikas dan orangutan di Borneo (Kalimantan), Dian Fossey dan gorilla di Afrika, dan yang paling fenomenal di antara mereka: Jane Goodall dan simpanse di Afrika.
Belakangan, rasa ingin tahuku yang muncul hanya sebatas bagaimana cara pembuatan bubble wrap sehingga tercipta benda sederhana pengalih suntuk itu, yang dilatarbelakangi seringnya paket yang kuterima menggunakan bubble wrap. Atau, kenapa di salah satu mata kuliahku dosennya tidak pernah masuk bahkan hingga UTS dan tugas yang diberikan pun ternyata tidak sesuai silabus? Dan sekarang bertambah, apa perbedaan antara orang-orang dari negara maju dan negara berkembang yang membangun karakter dan kebiasaan mereka menjadi lebih maju di bidangnya? Sederhananya: kok aku nggak bisa kayak mereka????
Tapi sudahlah, aku tidak tahu mau menulis apa lagi. Lebih baik aku melanjutkan pencarian bahan presentasi.
1 note · View note
radila-u · 4 years ago
Conversation
Beli Buku
Dua orang penggemar buku dengan keuangan belum stabil ngobrol,
Dia: Aku tuh, kalo beli buku mikir dua kali gitu loh. Kayak sayang aja ngeluarin duit mahal-mahal buat sesuatu yang sekali baca, udah. Selesai. Kalo beli baju, kan nanti bisa dipake.
Aku: (sebagai orang yang milih beli buku daripada baju mengernyit karena buku-bukuku ga cuma kubaca sekali).
*lalu dalam hati mikir:
Yakin kamu masih bakalan make baju itu dua tahun lagi? Kamu kan ngikutin fashion.
(no offense buat fashionista) ✌😁
5 notes · View notes
radila-u · 5 years ago
Text
Wolf Totem yang Tidak Selesai Hingga Review Buku Hidup Sederhana
Wolf Totem sebenarnya mulai saya baca pada tahun 2015. Tapi saat itu saya hanya sanggup membaca beberapa halaman, kira-kira mungkin kurang dari sepuluh halaman(?) Karena ga ngertiiii. Membaca berita yang bahasanya formal, atau sekalian baca jurnal, rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan sulitnya memahami buku ini. Jadilah, hanya saya sampul dan simpan rapi di rak bersama buku lain.
.
Di masa WFH ini, dari challenge-nya kak Nesha dan kebutuhan saya untuk latihan membaca, saya memutuskan 'memberanikan' diri untuk kembali mengulang membacanya. Surprisingly, ternyata justru tidak ada peningkatan pemahaman yang signifikan. Butuh waktu yang lama, suasana hening, dan konsentrasi penuh bagi saya untuk bisa melewati halaman demi halamannya. Selain itu juga sangat banyak kosakata yang belum pernah saya baca dimana pun atau yang memiliki makna lain dari yang biasa saya ketahui. Mungkin kalau setiap kata sulit yang ada saya lingkari dan bubuhkan artinya disana, setiap halaman buku ini pasti penuh dengan coretan.
.
Melihat story peserta challenge lain yang di-repost lumayan bikin saya minder sebenarnya hehe. Ada yang belum tujuh hari sudah selesai satu buku. Sedangkan saya? Sudah satu minggu tapi belum sampai seperlima bagian yang selesai, padahal sudah tiap hari dibaca. Untuk kedua kalinya, saya menyerah lagi untuk sementara dengan Wolf Totem. Ga sanggup lanjut, huhu. Mungkin nanti, kalau reading IELTS saya sudah 9 hehe. Aamiin. Daan, biar ga ngenes-ngenes amat dalam challenge ini, saya tetap lanjut baca, tapi buku lain (sepertinya cuma saya yang tidak menyelesaikan buku pertama tapi sudah lanjut buku kedua; melenceng dari rule).
Kembalilah saya ke salah satu buku favorit yang belum selesai dibaca karena saking sukanya hingga keasyikan, ternyata malah sudah hampir tamat. Dan bacanya justru dihemat biar tidak cepat selesai hehe. "Hidup Sederhana" dari Desi Anwar. Berikut review-nya.
.
Judul: Hidup Sederhana
Penulis: Desi Anwar
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan pertama 2014, cetakan kedua Desember 2014
Jumlah halaman: 286
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa disadari kita sangat ahli dalam membuat segala sesuatu menjadi rumit. Kita memikirkan kesalahan dan kekurangan masa lalu, mencemaskan masa depan, dan terkadang abai terhadap masa kini. Kita berkutat mencari kebahagiaan dari apa yang belum kita capai, dan melupakan sumber-sumber kebahagiaan yang bisa kita dapatkan dari hal-hal sederhana di sekitar yang sering terlupakan. Dalam buku ini, Desi Anwar memberikan sudut pandang, pengamatan, dan pengalamannya dengan cara yang ringan. Setiap bab dalam buku ini hanya terdiri dari kisaran kurang dari lima halaman, yang uniknya, dalam masing-masing bab tersebut terdapat gambar-gambar dari berbagai belahan dunia yang mewakili judul bab, dan dipotret sendiri olehnya.
.
Dari total 51 bab yang ada, saya memiliki tiga bab paling favorit yaitu Teh, Waktu dan Kesibukan, dan Suara di Dalam Kepala.
1. Teh
Pilihan saya untuk bab ini mungkin dipengaruhi oleh kecenderungan saya yang memang menyukai teh. Salah satunya karena teh lebih ringan dan tidak mempercepat degup jantung sekuat kopi. Di bab ini kita diajak untuk sejenak duduk menyesap secangkir teh hangat favorit tanpa gula, susu, atau krimer, dan merasakan rasa dan aroma khasnya sesaat di mulut setelah menelannya. Istilah orang-orang sekarang, merasakan 'after taste'-nya. Nanti akan terasa beban yang ada perlahan akan sedikit menguap.
.
2. Waktu dan Kesibukan
Pada bab ini, Desi Anwar menceritakan tentang Mary, seorang guru keseniannya saat bersekolah di Inggris dulu yang sangat kreatif, inspiratif, dan mampu memunculkan sisi seniman setiap muridnya. Di balik semangat mengajarnya, dia masih bisa menghasilkan karya seni dan tetap membuat rumahnya rapi, sesuatu yang mungkin membuat kita berpikir bahwa dia tidak akan memiliki waktu untuk mengerjakan hal-hal lain. Ternyata tidak.
Sebelum beraktivitas, dia akan memulai paginya dengan berenang seratus lap, dan pergi ke berbagai tempat dengan berjalan kaki sehingga tidak heran dia memiliki postur tubuh yang tegap. Untuk makanan, dia biasa membuat roti sendiri dengan selai dari buah-buahan, alih-alih membelinya. Setiap akhir pekan adalah waktu untuk berkebun; merawat aneka tanaman hias dan herba yang digunakannya untuk memasak. Dia juga menyukai menghiasi rumahnya dengan aneka pernak-pernik indah buatan sendiri. Selain itu, dia juga masih mempunyai waktu untuk membaca buku favorit, pergi ke taman untuk melukis, dan tidur siang setelah menikmati secangkir teh.
"...kita tidak hanya terlalu sibuk untuk mengerjakan apapun, tapi juga sering kali menggunakan kesibukan kita sebagai dalih untuk tidak mengerjakan sesuatu yang benar-benar bernilai..."
"Sibuk itu tidak berarti produktif."
"Orang yang produktif jagoan dalam mengelola waktu dan mengatur hidup sehingga waktulah yang bekerja untuk mereka..."
Sangat menohok dan begitu berkebalikan dengan saya.
.
3. Suara di Dalam Kepala
Dalam keseharian, ada banyak jenis suara yang kita dengar. Suara omelan orang tua atau guru misalnya, yang dalam keadaan tertentu mungkin dapat kita abaikan. Namun ada satu suara yang terus ada bersama kita, yang sulit untuk dibungkam karena ia bersemayam di dalam pikiran kita.
"Kok bisa kamu bertindak sekonyol itu,"
"Yang salah itu pasti kamu sendiri."
Suara semacam ini dapat menjadi alasan kita menjalani aktivitas dengan amarah, memutar kembali kenangan buruk masa lampau hingga menangis di malam hari. Maka, daripada terlarut mendengarkan suara tersebut, kita bisa membuat tandingannya berupa suara yang kita sukai. Guru-guru favorit, atau sahabat-sahabat baik misalnya.
"Tidak seburuk yang kamu pikirkan,"
"Oh yah, lain kali kamu akan lebih baik."
.
Hidup Sederhana adalah buku ketiga Desi Anwar, seorang wartawan dan tokoh pertelevisian Indonesia yang juga merupakan penulis kolom majalah berita Tempo dan koran berbahasa Inggris, The Jakarta Globe. Dengan jam terbang tersebut, Desi Anwar membuat buku ini secara keseluruhan tidak hanya ditulis dengan bahasa yang sederhana seperti judulnya, namun juga sangat mengalir. Setiap babnya menginspirasi pembaca dalam melihat dan menikmati hal-hal di sekitar untuk menenangkan pikiran dari hiruk pikuk kesibukan sekaligus menemukan kebahagiaan sederhana tanpa sama sekali menggurui. Saya tidak tahu apa kata yang pas untuk mewakili perasaan ketika membaca buku ini. Tapi bagi saya rasanya seperti sedang berlibur di sebuah resort dan bangun di pagi hari yang cerah tanpa dihantui deadline tugas, dengan suguhan pemandangan alam yang tenang, indah, udara segar, sambil menikmati secangkir cokelat panas. Oleh karena itu, buku ini sangat cocok dinikmati di waktu santai. Dan kita akan temukan kebahagiaan-kebahagiaan yang tercecer dan terlupakan dari hal-hal sederhana.
|LPK, 30 Maret 2020
2 notes · View notes
radila-u · 5 years ago
Text
Di sebuah kota kecil, seorang ibu menangis karena anak sulungnya yang bekerja di luar negeri hanya mengirimkannya uang Rp 10.000.000,00 di awal Ramadan ini, padahal dahulu, sebelum ia menikah, ia selalu mengirimkan lebih banyak bahkan sebelum Ramadan.
Sedangkan di suatu desa, seorang ibu berkali-kali menangis karena tidak mampu membiayai kuliah anak sulungnya.
Kenyataan di sekitar
3 notes · View notes
radila-u · 6 years ago
Text
Tempat Baru, Jiwa Baru
Beberapa hari menjelang pindah ke kosan baru, aku menganalogikan posisiku dengan Jongwoo dari webtoon thriller Strangers from Hell, yang stress karena tinggal di kosan yang sempit, kotor, dan berisi orang-orang psikopat pemakan daging manusia.
“Tidak ada orang normal yang mau tinggal di tempat seperti ini.”
Baik, penghuni kosan lamaku memang bukan psikopat kanibal. Tapi aku adalah orang normal. Kalau tidak terpaksa, aku tidak akan mau tinggal disana. Dan kebetulan, memang hubunganku dengan mereka tidak bisa dikatakan baik (tapi bukan berarti buruk juga). Aku hanya tidak menyukai karakter mereka yang suka menyindir entah siapa, yang ketika akan kusenyumi membuang muka, ketika bersitatap dan kusenyumi malah tak membalas. Memang terkesan pamrih. Tapi siapa yang suka diperlakukan seperti itu? Belum lagi kebiasaan mereka yang suka meninggalkan sampah-sampahnya di dekat tempat mencuci dan di sudut kamar mandi. Bahkan juga pernah ada kulit dan biji rambutan, yang sampai-sampai sudah berkecambah di sudut kamar mandi itu. Aku sangat tidak mengerti jalan pikiran mereka. Aku memang bukan orang yang sangat bersih dan rapi juga, tapi rasanya tidak membuang sampah di tempat-tempat yang digunakan bersama lalu membiarkannya selama berbulan-bulan adalah hal yang sudah sewajarnya dilakukan setiap orang. Apa aku berlebihan?
***
Kamarku dulu sangat sempit. Di salah satu sisi dindingnya ada bercak besar yang kemungkinan disebabkan jamur yang membuatku bergidik sehingga aku tidak mau meletakkan tempat tidur di sisi itu. Lampunya sangat redup, jadi aku membeli lampu belajar untuk membaca di malam hari. Kamar mandinya, aku tak mau mendeskripsikannya. Yang jelas, pertama kali melihat aku berpikir ‘ini benar-benar ada yang memakai?. Airnya berbau dan berwarna. Tidak cocok dengan kriteria air bersih yang seharusnya tidak berasa, berbau, dan berwarna. Pernah air galonku habis, jadi aku menggunakan air di keran luar untuk menanak nasi. Nasiku menguning seperti sudah berhari-hari disimpan di dalam magic jar. Airnya juga sepertinya mengandung basa yang agak tinggi (ini agak sok tahu sih), karena lebih lama membersihkan sabun.
Kalau aku membuka keran dengan kucuran terbesar, nanti akan keluar jentik-jentik nyamuk dari sana. Jadi percuma walaupun baknya sering dikuras, sampai kapan pun airnya tak akan pernah menjadi bersih. Bak yang dalamnya kurang dari satu meter itu pun jarang terlihat dasarnya. Setidaknya, tidak ada keluhan gatal-gatal atau sakit kulit karena air itu.
***
Aku suka hari-hari penghujan. Tidak banyak orang-orang berlalu lalang. Aku pun lebih aman pulang karena tidak akan dikejar anjing di depan kosan ketika pulang malam, hal yang kujadikan alasan untuk pindah (anjing kan tidak suka air), karena dikejar anjing bukan hal sepele untukku. Saat melewati rumah yang ada anjing di depan kosan, aku selalu melihat-lihat dengan teliti dulu sambil berjalan cepat dengan jantung berdebar.
Adakalanya aku melewati jalan lain yang lebih gelap untuk menghindari anjing. Kontan saja, sebagai perempuan yang berjalan sendiri di malam hari, aku mendapat catcalling dari pemuda-pemuda nongkrong (assalamualaikum~, sombong~) atau tukang-tukang Jawa (mbak e~). Jangan ditanya rasanya. Kesal sampai rasanya ingin melabrak, tapi juga risih. Lupakan saja estetika atau bahkan kebersihan kosan itu. Aku tidak bisa merasa aman (sesuai dengan tingkatan kebutuhan menurut Maslow; setelah kebutuhan fisiologis manusia butuh akan rasa aman). Setiap malam dikejar dua ekor anjing gigih atau mendapat catcalling, menurunkan rasa amanku hingga titik yang sangat rendah.
Akan tetapi, sayangnya kalau hujannya terlalu deras, bagian depan pagar kosan itu justru akan tergenang air. Aku benci ini. Sepatu atau sendalku (yang jumlahnya tidak banyak) bisa rusak kalau terus-terusan tergenang air seperti itu. Dan sepertinya tidak ada inisiatif dari pemilik kosan untuk memperbaikinya. Well, kalau melihat kondisi kos secara umum memang tidak aneh sih.
Belum lagi aroma tidak sedap disana. Tahu bau pelimbahan/ got yang besar? Kira-kira seperti itulah aroma yang sesekali tercium ketika aku membuka pintu kamar. Menurutku, ada dua macam aroma pembuangan. Aroma dari pelimbahan/ got adalah tipe pertama yang terbentuk karena akumulasi selama berminggu-minggu hingga bulanan. Sedangkan yang satunya lagi adalah aroma yang lebih ‘segar’ dalam artian baru. Ya, yang baru dibuang.
Hanya dua hal yang kusukai dari kosan itu. Ketika membuka pintu kamar, aku langsung dihadapkan pada suasana luar, dan tempat jemuran yang terbuka dan dekat dari kamar. Itu saja.
Lalu, kenapa aku bertahan? Kalau diingat, ternyata aku sudah bertahan selama setahun disana. Ya cuma karena terpaksa. Tidak ada tempat lebih baik yang murah. Jadi ketika ada tawaran untuk tinggal sekamar dengan seorang teman di kosan baru ini, tanpa pikir panjang langsung kuiyakan.
Dulu sering aku melewati jalan di kosan baru ini, sambil membayangkan nyamannya. Melewatinya saja sudah menyenangkan, apalagi kalau bisa tinggal disini. Tapi aku cepat-cepat menepis kemungkinan itu. Melihat rumah-rumah dengan pagar-pagar tinggi, rasanya tidak mungkin disewakan untuk kos. Begitupun ketika aku melihat langsung kosan baru ini, dengan segala kenyamanan yang ‘aku banget’, akupun tidak mau berharap terlalu tinggi. Nanti ketika aku tidak jadi pindah, sementara aku terlanjur berandai-andai, akan tidak nyaman jadinya. Dan aku pun takut berekspektasi terlalu tinggi, takut bertolak belakang dengan kenyataan.
Pertama kali aku mendatangi kosan baru ini, aku melihat ibu kos dengan cucunya. Duh, aku tak suka ini. Aku tak suka anak-anak. Aku tak pernah bisa berbaur dengan mereka, kecuali mereka nyaman duluan denganku. Anak-anak itu sulit. Dan lebih sulit lagi, aku untuk memulai interaksi dengan mereka. Aku sering lihat orang-orang yang sangat luwes bercengkrama dengan anak-anak. Aku menilai mereka sangat menyukai anak-anak (ah, siapa yang tak suka anak-anak? Oh, ada. Itu aku), atau punya keponakan di rumah. Tapi bagaimanapun aku mencoba, aku tak pernah bisa. Seolah mereka bisa membedakan orang yang luwes secara alami dengan orang yang memaksakan diri kakunya seperti aku.
Tapi, mungkin itu saja yang kurang kusukai. Selebihnya: aku suka sekali. Suasana asrinya, terasnya yang bisa untuk ngobrol dengan tamu, ruang depan yang ada meja dan kursi untuk menonton tv (bisa kupakai untuk belajar), lantai keramiknya yang menimbulkan kesan menempel saat diinjak (berarti sering disapu dan pernah dipel), wastafel tempat mencuci piring, kamar mandi yang manusiawi (ada showernya pula), lingkungan sekitar yang tenang. Aku pun langsung jatuh hati. Belum lagi bapak dan ibu kos yang lumayan baik serta kedua anaknya yang sopan walaupun jauh lebih tua dariku. Aku betaaah disini. Aku pindah ke tempat yang jauh lebih baik, istilahnya: berhijrah (secara harfiah bisa kan, dikatakan begitu). Seperti terlahir kembali, aku memiliki semangat baru (untuk membaca, belajar, mencuci) dan memperbaiki kebiasaan menjadi lebih baik (tidur sebelum jam 11 malam, bangun subuh). Secara kebetulan, ajaibnya dari hari pertama aku di kosan baru ini aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa terbangun tengah malam untuk ke kamar mandi, tidak guling kiri guling kanan saat tidur, dan tidak sulit untuk bangun pagi. Sederhana, tapi inilah yang setahun belakangan susah payah kuperjuangkan. Tekanan pekerjaan dan jam pulang malam membuatku yang normalnya adalah morning bird menjadi night owl, kebiasaan yang tidak bagus dari segi apapun.
Kenapa baru sekarang aku bisa tinggal di tempat seperti ini?
Nah, kalau ditelaah, mungkin kuncinya adalah menerima. Bisa jadi dalam pencarian kita akan menemukan berbagai tempat yang kita sukai tapi kita tidak mampu tinggal disana, atau justru kita terpaksa tinggal di tempat yang tidak kita sukai hingga lama-lama menjadi terbiasa, menerima. Aku jadi ingat kosan di masa kuliah dulu, betapa tidak nyamannya ketika makanan-makanan di kamar dan baju-baju favoritku hilang secara misterius, hingga tetangga-tetangga yang meludah dekat jendela kamarku atau ketika aku lewat. Terima saja. Tapi alhamdulillah sekarang inilah gantinya. Tempat baru yang melahirkan jiwa baru.
4 notes · View notes
radila-u · 6 years ago
Text
Hidup Minimalis
Gaung gaya hidup minimalis sepertinya sudah mulai ada sejak beberapa tahun yang lalu. Namun saya sendiri baru pertama kali tahu setelah membaca artikel yang menjelaskan dua selebriti Hollywood yang memulainya. *sayangnya saya lupa siapa. Mereka menjual barang-barang dan rumah mewah mereka. Intinya, mereka merelakan tidak memiliki hal-hal seperti itu walaupun mereka mampu.
Selanjutnya, beberapa bulan terakhir saya kembali mendengar gaya hidup ini semakin populer karena dijalani oleh orang-orang Jepang, Raditya Dika, dan beberapa youtuber yang memberi tips untuk memulainya.
Dari awal saya memang tertarik dengan konsep ini. Awalnya saya hanya mengira hidup minimalis berarti berhenti memiliki barang mewah (yang artinya konsep ini tidak berlaku untuk saya), tapi setelah menonton dan membaca lebih banyak saya jadi tahu lebih rinci dan semakin merasa cocok.
Ada orang yang menjual koleksi jam-jam tangan mahalnya (Raditya Dika), (eh, jam tangan apa topi ya?), yang menyadari betapa tidak perlunya mengoleksi berbagai barang seperti itu, sementara dia cukup hanya punya satu yang fungsinya tidak akan berkurang. Hal ini malahan dibandingkan oleh Dedy Corbuzier dengan seorang youtuber lain (yang sangat direlakan oleh netizen Indonesia kalau dia sekeluarga diklaim Malaysia), yang terkenal suka memperkenalkan kemewahan miliknya (baca: pamer). Buat apa? Biar jadi inspirasi? Mendidik? Menghibur? Well, 'hiburan' semacam ini yang menjadi salah satu alasan saya berhenti dari Instagram.
Oke, balik lagi ke minimalis-minimalis tadi. Ada pula orang-orang Jepang yang berhasil berhasil menyulap tempat tinggalnya seminimalis mungkin hingga terlihat seperti tidak berpenghuni, saking sedikitnya barang-barang mereka. Mereka bukan saja tidak menggunakan barang mewah, tapi benar-benar hanya memiliki barang-barang yang sangaaat dibutuhkan. Bahkan jumlah barang yang benar-benar penting pun dibatasi. Sekilas yang saya lihat, hanya ada meja, kursi, laptop, gantungan dengan beberapa helai baju (sepertinya tidak lebih dari sepuluh). Tidak ada karpet, bunga meja, lukisan dinding, dan hiasan-hiasan lain.
Selain itu, juga ada beberapa tips yang diberikan oleh seorang youtuber untuk memulai gaya hidup ini. Misalnya memiliki satu macam tas yang nyaman dipakai, dompet yang tidak besar, tebal, dan panjang, memilih sabun batang daripada sabun cair karena lebih hemat, dll.
Lalu tahu kan, orang-orang IT sukses seperti Mark Z. dan Steve Jobs? Mereka terkenal dengan pakaian ikonik yang (paling tidak terlihat) selalu sama. Entah ini strategi tertentu atau apa, tapi yang penting, kesederhanaan ini yang kemudian membuat saya bercermin.
Saat kuliah dan bekerja saya melihat orang-orang dan sepupu-sepupu yang terlihat fashionable, mengenakan pakaian yang hampir terlihat selalu berbeda, dengan gaya mereka masing-masing. Rasanya, semakin hari mereka semakin 'wah'. Tentu saya juga mau. Tapi apa daya, oeang adalah koentji. Saya cuma gigit jari, melihat dari bulan ke bulan, mereka punya koleksi baju, tas, dan sepatu terbaru, sementara saya dari tahun ke tahun begini-begini saja.
Ketika awal diterima bekerja, salah satu prioritas dalam bayangan saya untuk membelanjakan gaji adalah pakaian. Kakak sepupu saya bercerita bahwa ketika kuliah dia diberi uang saku harian yang sangat pas-pasan. Tapi dia bisa menyisihkan setengahnya untuk membeli pakaian setiap bulan. Saya merasa saya juga akan bisa.
Namun saat bekerja sekarang ini, saya baru menyadari satu hal: di sekeliling saya ada orang-orang yang dalam seminggu setidaknya dua kali menggunakan pakaian yang sama. Namun justru ternyata bagi saya mereka terlihat lebih bersahaja. Bukan penampilan yang membuat mereka terlihat lebih baik, tapi integritas, profesionalitas, wawasan, dan karakternya yang beruntungnya tidak tertutupi oleh hal semu yang tampak luar saja.
Lalu, saya tersadar lebih dalam. Saya masih orang yang belum sanggup untuk rutin membeli pakaian (ingat: oeang adalah koentji). Dan yang lebih penting lagi, ternyata saya tidak butuh pakaian baru. Masih ada baju-baju kuliah yang lama. Masa bodoh lah, walaupun kakak sepupu yang satu lagi bilang,
"Kamu ganti gayanya dong, udah umur segini. Pake baju yang cantik.."
Saya jawab, "Aku lebih nyaman pake baju kaos."
Tidak hanya pakaian, gaji yang tidak banyak juga berhasil mengubah pola pikir saya setiap membelanjakan uang untuk hal lain. Saya pernah sangat ingin punya kamera DLSR atau setidaknya kamera digital biasa karena pernah sangat menyukai fotografi. Tapi ternyata saya tidak sesuka itu. Kalau dipikir lagi, saya tidak punya waktu untuk hunting foto segala. Ujung-ujungnya mubazir, kan? Saat ini, fungsinya pun sudah bisa digantikan ponsel pintar. Begitu pula untuk barang-barang yang tidak mahal. Setiap melihat barang-barang lucu (contoh: gantungan kunci), saya menahan hasrat kuat untuk membelinya dengan mengucapkan mantra yang saya kutip dari film The Confession of Shopaholic, "Do I need this? DO I NEED THIS?!". Lalu saya akan geleng-geleng sambil meletakkannya kembali.
Dari hal-hal tersebut, refleksi terdalam saya adalah orang-orang sukses saja, yang mampu berpenampilan mewah justru memilih tampil sederhana. Lalu kenapa saya justru mengejar hal yang bukan terpenting, padahal saya tidak semampu itu?
37 notes · View notes
radila-u · 6 years ago
Text
Minggu, 9 Desember 2018
Sore itu di Gramed:
A: (memperhatikan judul tumpukan buku di depannya satu-persatu)
B: (tiba-tiba datang dan berhenti di depan tumpukan buku dan sedikit merapikan beberapa buku yang sebenarnya tidak perlu dilakukan)
"Ini bagus", (sambil mengetuk sampul Sirkus Pohon dari Andrea Hirata dengan telunjuknya)
A: (sejenak memperhatikan wajah pemilik suara yang berbicara padanya, menilai alisnya bagus).
"Udah baca"
B: "Kata juga bagus. Bestseller juga." (sambil menunjuk ke arah rak di kanannya, lalu pergi)
A: (diam-diam terkekeh dengan cara rekomendasi pramuniaga yang tidak biasa itu, juga karena Sirkus Pohon tidak bagus baginya. Dan oh ya, Kata ada di rak sebelah kiri)
5 notes · View notes
radila-u · 6 years ago
Text
Untuk apa mengetahui isi hati orang lain? Setelah tahu, mau apa? Belum tentu pula isinya sesuai harapan ilusi yang kau buat.
@radila-u
2 notes · View notes
radila-u · 6 years ago
Text
Aloneness
Tadi saya lihat-lihat pesan-pesan lama dari beberapa tahun lalu. Iya, saya tipikal orang sentimen, apa-apa disimpan, haha. Singkatnya, berasa banget bedanya dengan sekarang. Dulu saya berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai usia. Dulu saya tipikal yang rada cuek. :( Waktu masih belum punya smartphone, dan cuma ngandalin sms-telpon buat komunikasi, saya cenderung selektif buat menanggapi pesan-pesan orang *duh, arogan ya :(
Biasanya saya tidak balas sms praktikan-praktikan bandel yang telat acc laporan praktikum lalu tiba-tiba mau acc tanpa sebelumnya minta izin/ memberi tahu alasan yg ditolerir untuk telat, atau sms yang isinya cuma 'hai kak', collect pula. Sekarang kalau dipikir-pikir, harusnya saya balas saja baik-baik, toh mereka tidak ada niat jahat. Apalah arti beberapa ratus rupiah dibanding hubungan yang harmonis?
Sekarang, palingan di WA (platform yg paling sering saya pakai tiap hari), isinya ya notif2 grup, serta sesekali pesan dari teman-teman yang masih sering komunikasi. Yang jumlahnya makin sedikit. Sekarang saya cuma berinteraksi di sosmed dengan beberapa teman seangkatan (kuliah atau sekolah). Lain dari itu, cuma sesekali dg senior atau junior, untuk chit-chat atau menanyakan hal yang penting. Sepiii banget. Ditambah lagi keputusan egois saya dari awal untuk membatasi diri dengan rekan-rekan di lingkungan kerja. Alasannya karena sudah jengah memulai basa-basi dengan ramah, di tempat yang saya tidak mau berlama-lama disana. Lalu juga karena canggung, dan tidak mau begitu terikat dengan orang-orang :(. Saya takut ketika suatu saat saya harus pergi dari sana, sedangkan saya menikmati momen bersama mereka, akan berat untuk meninggalkannya. Beruntungnya, mereka orang-orang positif dan tulus. Walaupun saya tidak tahu persis pandangan mereka, apakah menganggap saya sekedar introvert, pendiam, pemalu, sulit bersosialisasi, atau bisa jadi angkuh, tapi sejauh ini mereka mau memulai interaksi dengan saya yang 'tidak ramah' ini 😭. Padahal seharusnya sebagai orang baru saya yang mendekatkan diri dengan mereka.
Dari kesendirian ini, saya mulai semakin terbiasa kemana-mana sendiri. Beli apa-apa sendiri, makan di luar sendiri. Bukan semata-mata karena unsociable, tapi karena kadang tidak ada orang yang bisa diajak bareng (berhubung lingkaran sosial saya makin sempit), atau memang sedang ingin sendiri. Biar lebih bebas. Misalnya, saya suka ke toko buku, tidak beli apa-apa. Cuma lihat-lihat, baca sedikit-sedikit, siapa tahu ada yang kapan-kapan tertarik untuk dibeli. Mungkin lamanya ada sekitar satu jam-an. Makanya, memangnya ada, orang yang betah menemani lama untuk lihat-lihat tanpa tujuan jelas? Paling nanti kode2 dengan satu kata, "udah?".
Kalau di budaya kita, di Indonesia, sendirian, apalagi cewek, masih dicap aneh, individualis. Karena budaya kita kebalikannya. Iyalah, cewek, ke toilet saja minta ditemani. Jadilah beberapa teman suka meledek saya yg kemana-mana sendiri, dengan ekspresi 'ga-habis-pikir/ kok-bisa?'. Atau kalau kebetulan ditanya dari-mana-sama-siapa dan saya jawab sendiri, ekspresinya jadi salut gitu. Apaan deh. Pun orang asing. Seperti tadi, ketika saya pesan beberapa makanan. Lalu waitress-nya bertanya, "Sendiri aja, Kak?". So what?
Semakin bertambah usia, lingkungan pertemanan yang dekat pun makin kecil. Saya percaya itu. Satu persatu dari mereka akan pergi. Bisa jadi lulus duluan, pulang ke kampung halamannya, mendapat pekerjaan di kota lain, atau melanjutkan kuliah di kampus lain. I'm used to it. Apalagi nanti kalau sudah berumah tangga dan memiliki anak. Seperti yang saya lihat pada teman-teman yang sudah menikah. Untuk berkumpul dengan kami yang masih single ini saja ragu-ragu, apakah boleh mengajak pasangan untuk ikut, atau apakah nanti dibolehkan pasangan untuk pergi tanpa ditemani. Beberapa bulan ketika diberi tahu seorang teman akan menikah, saya nyeletuk "Wah, sudah mau menikah saja.. Berarti kita bakalan lebih jarang ketemu dong ya.." Although she denied it, pretended like nothing would change, it's happening right now. Kami tidak pernah lagi bertemu sejak dia mengantarkan undangan pernikahannya. I'm okay, I'm used to it. Saya sadar diri lah ya, sebagai istri sekarang dia tidak hanya mengurus dirinya sendiri, tapi juga suaminya (dan calon baby-nya 😍)
Begitu pula yang saya lihat pada orang tua sendiri. Lingkungan terdekat mereka adalah keluarga intinya: pasangan dan anak-anaknya. Tidak pernah saya tahu ortu hangout secara berkala dengan teman-temannya seperti anak muda sekarang. Karena waktunya lebih fokus untuk bekerja (demi keluarga), mengurus rumah tangga (untuk keluarga), lalu beristirahat (bersama keluarga!).
So, it's OK to life a life that others don't understand.
|PDG, 27 Agustus 2018
13 notes · View notes
radila-u · 6 years ago
Text
Kadang ada perasaan ingin settle down bersama seseorang, lalu menua bersama.
@radila-u
0 notes
radila-u · 6 years ago
Text
Hal-hal yang Mengagumkan dari Tiongkok
Berikut hal-hal yang pernah saya amati langsung dalam waktu satu bulan. Beberapa bisa dikatakan merupakan perpaduan prinsip-prinsip yang telah mengakar pada masyarakatnya. Jika selama ini mungkin terlalu banyak stereotip negatif terkait penduduk negara ini yang (mungkin) justru mengubur kelebihannya di mata dunia, maka (mungkin) ini hal-hal yang bisa dikagumi dan ditiru. Yah, mungkin (lagi) untuk menilai sesuatu lebih akurat dibutuhkan waktu yang agak panjang (seperti halnya penelitian: semakin lama waktu pengamatan, semakin baguslah data). Tapi satu bulan kan bukan waktu yang sangat singkat juga. Satu hal yang penting, penilaian ini bersifat relatif. Berhubung saya hanya tinggal di Kota Guangzhou, Provinsi Guangdong.
1. Rajin
Selama ini, saya hanya dengar bahwa orang Jepang rajin. Saya hanya mendengar bahwa Chinese Overseas identik dengan kecerdasannya, kesuksesan finansial (kalau di Indonesia) dan sepertinya juga rajin dan selalu bersungguh-sungguh. Tapi saya tidak tahu apa-apa mengenai Mainland Chinese. Ternyata mereka juga rajin. Saaaangat rajin.
Seorang dosen perempuan lulusan S3 di Jepang yang merupakan manajer lab (bukan kepala lab) disana, mau bersih-bersih toilet, menyapu halaman belakang lab, mencari tanah untuk ditanami bunga, sendirian, setibanya di lab di pagi hari sebelum mengerjakan kegiatannya. Setiap pagi. Padahal ada beberapa mahasiswa disana. Tidak ada wajah masam atau sindiran halus dan kasar. Padalah itu dosen, loh! Entahlah, entah kebetulan itu kewajiban di posisinya, atau memang dasar orangnya rajin, atau apa, saya tidak tahu.
Contoh lain dalam hal akademik. Seorang mahasiswa PhD yang hampir setiap hari datang ke lab, akan duduk berjam-jam di depan komputer untuk mengerjakan tugasnya dengan tidak santai seolah-olah deadline-nya besok, padahal tidak ada deadline. Datang ke lab jam 9, dan pulang sekitar jam 5 atau 6 sore. Selama itu, dia hanya akan beranjak dari kursinya untuk menyeduh kopi, ke toilet, dan makan sebentar. Walaupun dengan koneksi internet yang bagus, tidak ada cerita seling-selingan membuka sosmed. Semua dilakukan karena kesadaran sendiri. Kenapa?
Well, ini pernah saya tanyakan. Mereka, Mainland Chinese ternyata memang terkenal dengan sifat rajinnya, karena mereka berkompetisi. Tahu kan sepadat apa penduduk dengan negara seluas itu? Maka untuk survive, mereka harus memperbaiki kualitas diri, untuk mendapatkan pekerjaan terbaik, untuk setidaknya mapan secara finansial (kalau seandainya menjadi kaya masih agak susah, berhubung Tiongkok negara komunis).
2. Bijak menggunakan waktu
Seperti halnya rajin, mereka juga bijak dalam menggunakan waktu. Seorang profesor disana membandingkan, "Orang Jepang menyusun rencana untuk beberapa bulan ke depan, orang Tiongkok menyusun rencana untuk beberapa minggu ke depan, sedangkan orang Indonesia menyusun rencana untuk besok." Tidak tanggung-tanggung, bukan lagi untuk beberapa hari ke depan, tapi cuma untuk besok cuy! Well, kalau dipikir-pikir benar juga sih. Mereka sudah punya semacam jadwal sendiri. Berdasarkan pengalaman, saya berencana pergi bersama dua orang mahasiswa Tiongkok berbeda di waktu berbeda pula, harus 'mencocokkan jadwal' dulu. Lebih tepatnya, sayalah yang mencocokkan jadwal berhubung saya kan orang Indonesia~😂 Jelasnya, saya bisa pergi di hari apa pun, sedangkan mereka tidak. Jadi, adakalanya saya ikut hari jadwal kosong mereka. Seperti misalnya untuk makan bersama saja, saya diberi pilihan selain jam makan malam Selasa dan Kamis. Kalau dipikir, memang semenghabiskanwaktu itukah, makan bersama? Lagipula, kami kan tinggal di area kampus.
Ada juga yang ketika dimintai-tolong menemani ke pasar untuk belanja, terlihat berat mengiyakan, sehingga hanya bilang tanya temannya dulu tanpa ada kejelasan bisa pergi atau tidak. Begitulah, mereka punya jadwal yang memang dipatuhi.
3. High-achiever
Bisa dibilang kalau mereka bermimpi, tidak tanggung-tanggung. Mau melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi? Di luar negeri. Mau kuliah di luar negeri? Negaranya harus maju, yaitu Amerika Serikat. Mana level kuliah ke luar negeri ke negara berkembang? (yang ini menusuk). Ini sangat menarik bagi saya. Kenapa mereka seperti benar-benar terobsesi dengan negara yang satu itu? Memang, negara itu memang sangat maju dalam berbagai sektor. Tapi, kenapa tidak Eropa, Australia, dll. Walaupun tidak mutlak semuanya begitu, tapi memang sebagian besar mereka demikian.
4. Nasionalisme yang tinggi
Saya pernah menanyakan apa yang mereka lakukan di hari libur kemerdekaan. Jawabannya menonton pidato presiden.
Dari segi bahasa, mereka semacam punya prinsip "kalau kamu berurusan dengan kami, bicaralah dengan bahasa kami."
Awalnya, saya punya ekspektasi yang cukup tinggi dari segi bahasa, mengingat negara ini memang lebih maju daripada Indonesia. Saya merasa tidak terlalu khawatir tidak bisa berbahasa Mandarin, jadi saya hanya mempelajari bahasa Mandarin sebagai ketertarikan saja. Seadanya. Namun ternyata semua jauh berbeda dari yang saya harapkan. Ketika belanja di supermarket, jangan harap ada tulisan berbagai bahasa di kemasan produknya seperti di Indonesia. Semua aksara Cina. Bukan cuma produk lokal, tapi juga merek-merek internasional seperti Nivea, Pantene, Lays, Colgate, dsb. Paling-paling hanya mereknya saja yang bisa dibaca.
Begitu pula dengan penduduk lokal. Walaupun semacam world-class university yang bahkan punya beberapa asrama untuk mahasiswa Internasional, tapi tetap saja saya tidak pernah mendengar manajer asramanya berbahasa Inggris selain 'hello'.
Pernah saya ingin beli minuman di kantin muslim yang karyawan-karyawannya sedang beres-beres hendak tutup. Seorang karyawan di dekat pintu mengatakan bahwa makanan sudah habis, dalam bahasa Mandarin. Saya jawab dengan bahasa Inggris bahwa saya hanya ingin beli minuman. Kembali, ia berbicara dalam bahasanya tanpa ada usaha mengerti apalagi berbicara bahasa Inggris. Saya kembali mengulang perkataan lebih pelan, dan menyadari itu hanya sia-sia. Jurus terakhir yang diajarkan sewaktu kelas bahasa Inggris 1 di semester 1 pun saya keluarkan. Saya pakai gestur minum. Sederhana, dan dia mengerti, lalu menunjuk ke arah dalam kantin. Ah, mau minum saja repot!
5. Sangat peduli dengan kesehatan
Ini mungkin cukup terkenal dimana-mana. Mereka adalah orang-orang sehat. Di pagi, sore, atau malam hari, sangat mudah menemukan pasangan lansia yang bersepeda atau sekedar jogging di sekitar area kampus. Sedangkan mahasiswanya biasanya rutin melakukan olahraga favorit masing-masing.
Mahasiswanya, sangat memperhatikan makanannya.
-Makan tiga kali sehari dan tepat waktu itu penting bagi mereka. Sepertinya akan sulit menemukan orang yang sakit maag disini.
-Kalau tidak sempat atau sedang malas makan, diganti dengan buah-buahan.
-Mi instan itu tidak baik bagi kesehatan.
-Air dan makanan yang hangat lebih baik untuk kesehatan
-Mengkonsumsi teh hijau panas dalam keseharian seperti minum air.
-Aneka tumbuhan dijadikan teh, mulai dari berbagai bunga, hingga daun bambu. (yang terakhir agak sulit dibayangkan)
-Mengkonsumsi nutrisi tambahan alami; seperti madu, obat-obat herbal tradisional, susu kambing, dll.
-Merokok (sepertinya) adalah kebiasaan buruk, apalagi bagi Muslimnya. Haram hukumnya!
6. Tidak Ribet
Ini yang paling saya suka. Cara berpakaian sehari-hari mereka di kampus sangat santai, tidak ada pakaian yang diseterika! Kebanyakan mahasiswi tidak menggunakan make up apa pun, bahkan biasanya mereka tidak mandi pagi.
7. Rendah Hati
Mahasiswanya banyak yang memiliki potensi yang sangat besar, tapi walaupun tidak minder mereka juga tidak terlihat begitu bangga dengan diri mereka. Bahkan terkesan mereka sama sekali tidak merasa bahwa mereka sangat luar biasa. Berbeda dengan budaya barat yang penuh percaya diri, mereka cenderung down to earth (benar kan, ini idiomnya?)
Di hari pertama saya bertemu dengan manajer lab (yang rajin itu), ketika berkenalan dia langsung menyatakan nahwa bahasa Inggrisnya tidak bagus. Memang tidak lancar, tapi dia mengakuinya dengan sangat humble. Orang-orang seperti ini jarang saya temukan.
8. Belanja Serba Online
Sistem belanja online di Tiongkok sudah sangat bagus menurut saya. Mulai dari kelengkapan produk yang ditawarkan, hingga waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tangan konsumen.
Bisa dibilang sistem online di negara ini serba ada. Mulai dari yang berbau fashion, kosmetik, makanan (bahkan makanan pesan antar di jam makan), hingga mencit untuk pakan ular. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tangan konsumen juga sangat singkat. Kalau di Indonesia butuh waktu seminggu, disana hanya beberapa hari bahkan ada yang cuma 30 menit!
|LPK, January 30 2017, posted June 17 2018
1 note · View note
radila-u · 7 years ago
Text
“Be the Muslim you want to meet.”
— Abdulbary Yahya
202 notes · View notes
radila-u · 7 years ago
Text
Kalau ada teman yang berkeluh-kesah padamu, ketahuilah bahwa bukan berarti baginya kamu adalah pemberi solusi terhebat atas masalahnya. Ia tidak minta solusi, tapi hanya ingin didengar :)
@radila-u
11 notes · View notes
radila-u · 7 years ago
Text
Afirmasi Positif
Tulisan ini dibuat secara khusus agar teman-teman bisa meneruskannya dengan menambahkan afirmasi positif apapun agar pesan berantai ini bisa sampai ke lebih banyak orang, bertambah seiring tulisan ini tiba disetiap orang yang membacanya. Silakan reblog dan tambahkan afirmasi positif menurut teman-teman semua yang layak kita miliki untuk menjalani hidup ini, agar hidup ini lebih menenangkan dalam perjuangan, lebih bergairah dalam menjalani, juga lebih yakin untuk menghadapi setiap ujian yang pasti akan ada disepanjang perjalanan.
Hal-hal yang akan aku tanamkan dalam hidup ini :
Tidak berharap pada manusia
Menjaga shalat tepat pada waktunya
Menghubungi orang tua lebih sering
Menjadi pendengar yang baik
Bersyukur
Berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain
Menutup halaman sosial media yang destruktif
Menahan diri untuk berkomentar
Menahan diri untuk menghakimi
Membaca lebih banyak buku
dst
silakan teman-teman teruskan poin-poin tsb sesuai pemahaman masing-masing :)
2K notes · View notes